Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Asal-Usul si Kocak Deadpool
SUPERHERO berbalut kostum tactical merah ketat is back ! Setelah sukses dengan film perdana Deadpool (2016) yang masih dalam lebensraum -nya semesta Marvel, Ryan Reynolds kembali memerankan pahlawan konyol tapi mematikan dalam Deadpool 2 . Sekuel kali ini digarap sutradara David Leitch (Deadpool 2016 disutradari Tim Miller), menampilkan petualangan lanjutan mutan kocak yang punya kelebihan bisa menyembuhkan diri dari berbagai luka. Di film yang rilis perdana 10 Mei 2018 ini, nyaris 119 menit durasinya berisi beragam adegan kocak yang akan membawa penonton terpingkal-pingkal sekaligus terpukau dengan akhir cerita nan mind-blowing yang mungkin melebihi Avengers: Infinity War. Jalannya cerita terbilang sederhana, namun tak mudah ditebak. Fokusnya ada pada sang Deadpool yang –ber-alter ego Wade Wilson– ngotot menyelamatkan seorang bocah mutan lain, Firefist/Russell Collins (Julian Dennison), jadi target pembunuhan mutan lain yang datang dari masa depan, Cable (Josh Brolin). Firefist ternyata memporak-porandakan dunia sebagai penebusan dendam gara-gara di masa kecil acap disiksa di rumah rehabilitasi mutan yatim piatu. Cable kembali ke masa lalu demi melenyapkan Firefist dengan harapan anak-istrinya bisa hidup kembali jika mencegah Firefist tumbuh dewasa dan jadi bencana di masa depan, di mana salah satu korbannya adalah keluarga Cable. Sementara, Deadpool membentuk tim X-Force yang berisi sejumlah mutan lain seperti Domino (Zazie Beetz), Shatterstar (Lewis Tan), Zeitgeist (Bill Skarsgard), Vanisher (Brad Pitt), Yukio (Shioli Kutsuna), Negasonic Teenage Warhead (Brianna Hildebrand), dan Colossus (Stefan Kapicic). Nama kedua terakhir ‘ cabutan ’ dari X-Men. Selain sekuel kali ini lebih kocak, nyeleneh dan konyol, Rhett Reese, Paul Wernick, dan Ryan Reynolds yang juga tergabung di tim penulis skenario, tak segan-segan menyelipkan beberapa scene hingga dialog yang nyerempet film-film lain macam X-Men, karakter Wolverine (Hugh Jackman), hingga menyindir karakter Green Lanter dari DC Comics yang notabene pernah pula diperankan Reynolds pada 2011. Soal efek CGI (Computer-Generated Imagery), Deadpool 2 cukup halus dan keren. Terlebih saat menampilkan tokoh Colossus yang sepenuhnya tubuhnya chrome. Maka, khusus adegan-adegan yang menampilkan Colossus, diambil beberapa kali lebih banyak untuk menghadirkan efek pantulan cahaya mengingat chrome selalu memantulkan cahaya. Efek suara juga sangat digdaya, bisa membawa suasana tegang saat Deadpool terlibat pertarungan. Sebagaimana film Deadpool pertama, sekuel ini juga banyak diramaikan sisipan lagu-lagu lawas macam All Out of Love (Air Supply), Papa Can You Hear Me? (Barbra Streisand), If I Could Turn Back Time (Cher) dan lagu-lagu genre dubstep. “Setelah ini Anda pasti akan mencari tentang Dubstep di Google,” canda Deadpool di suatu adegan, seolah berinteraksi dengan penontonnya. Satu hal yang perlu diperhatikan, film ini meski menampilkan pahlawan super, bukan berarti bisa dinikmati semua kalangan, terutama anak-anak, mengingat banyaknya adegan kekerasan nan berdarah-darah. Lahirnya Deadpool Berkalang Kontroversi Deadpool 2 merupakan seri ke-11 dari “franchise” X-Men keluaran Marvel Entertainment. Karakter Deadpool sebelumnya muncul sebagai karakter ekstra di X-Men Origins: Wolverine (2009) dan X-Men: Days of Future Past (2014). Deadpool juga muncul di beragam komik. Eksistensi Deadpool pertama kali muncul di komik Marvel, The New Mutants Nomor 98 pada 10 Februari 1991. Deadpool pertama kali muncul di komik The New Mutants #98 pada 10 Februari 1991/Foto: marvel.com Karakter Deadpool lahir dari karya ilustrator komik Rob Liefeld dan penulis komik Fabian Nicieza. Awalnya, Deadpool diciptakan sebagai super-villain alias penjahat super. Dia seorang pembunuh bayaran dengan beragam skill bertarung dengan senjata tajam maupun senjata api. Kostumnya dibuat berwarna merah darah berkonsep tactical untuk menunjang sang karakter menyimpan sejumlah senjatanya. “Kenapa merah? Agar musuh-musuh tak bisa melihat saya berdarah,” tutur Wade Wilson dalam sebuah dialog di Deadpool 2016. Namun dari penciptaan itu, banyak kontroversi muncul lantaran karakternya dianggap menjiplak dua karakter lain: Spider-Man (Marvel) dan Deathstroke (DC Comics). Deathstroke (kiri) & Spider-Man dianggap jadi inspirasi penciptaan Deadpool/Foto: Youtube Liefeld akhirnya memang mengakui bahwa Deadpool terinspirasi dari karakter-karakter yang lebih dulu muncul itu. Saat Liefeld sedang melanjutkan seri komik The New Mutants , dia terinspirasi menciptakan satu karakter tambahan kala sahabatnya, Todd McFarlane, juga sedang menyelesaikan salah satu seri komik Spider-Man. “Faktanya, Spider-Man tak hanya jadi pengaruh dan inspirasi sebagai pahlawan berkostum ketat dan bertopeng. Liefeld berniat membuat Deadpool sebagai versi jahatnya Spider-Man,” ungkap Brian Cronin dalam 100 Things X-Men Fans Should Know & Do Before They Die . Tentu saja Liefeld dan Nicieza tak membuat Deadpool punya kemampuan serupa Spider-Man atau mungkin karakter Wolverine untuk dimasukkan ke seri komik The New Mutants . “Wolverine dan Spider-Man adalah dua karakter yang jadi saingan saya setiap saat. Saya harus membuat Spider-Man dan Wolverine (versi) saya sendiri,” kenang Liefeld kepada Forbes , 12 Februari 2016. Mereka memilih kemampuan yang “dicontek” dari Deathstroke, salah satu karakter DC Comics – saingan Marvel, yang diidolakan Liefeld. Ini lantas jadi kontroversi kedua yang mengiringi kelahiran Deadpool. Kemahiran Deadpool menggunakan senjata tajam dan pistol, hingga beberapa detail kostumnya, terinspirasi Deathstroke yang kemampuan andalannya jauh berbeda dari Spider-Man dan Wolverine. “Deadpool jelas-jelas menyontek karakter penjahat DC bernama Deathstroke. Tak hanya figurnya yang mirip, nama (alter ego) mereka pun nyaris serupa – nama asli Deathstroke adalah Slade Wilson dan nama asli Deadpool adalah Wade Wilson,” tulis James Egan dalam 1000 Facts about Superheroes Volume 2. Rob Liefeld, seniman di balik penciptaan Deadpool/Foto: Facebook Rob Liefeld Soal ini, Liefeld tak terima tudingan bahwa dia menyontek DC. Menurutnya, Deadpool hanya terinspirasi DC, bukan menjiplak. “Saya suka Deathstroke. Saya pun mengoleksi banyak seri komiknya. Memang perbedaan keduanya tak terlihat begitu jelas. Tapi seingat saya, (kostum) Deathstroke berwarna biru dan oranye, sementara Deadpool merah dan hitam. Lagipula Deathstroke aslinya orang tua, sementara Deadpool masih muda,” tandas Liefeld kepada Youtuber Nerdy Pop, dikutip screenrant.com pada 2 September 2016.
- Di Balik Heboh Silsilah Soeharto
ADA indikasi keterlibatan Operasi Khusus (Opsus), sebuah unit intelijen yang dibuat dan diketuai Mayor Jenderal Ali Moertopo, di balik heboh silsilah Presiden Soeharto. Ini bisa dilihat dari keberadaan Aloysius Sugianto, tangan kanan Ali Moertopo yang merupakan pendiri dan pemimpin umum majalah POP .
- Hikayat Tan Malaka, Sang Buronan Abadi
SEWINDU yang lalu, di desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, ditemukan sisa belulang atas nama Tan Malaka. Tempat itu diyakini sebagai pusara Tan Malaka yang ditembak mati atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur, 21 Februari 1949. Kesimpulan itu dipastikan setelah para peneliti mencocokan DNA yang terkandung dalam kerangka tersebut dengan DNA keponakan Tan Malaka. “Tapi karena ada kekuatan yang tidak bisa saya mengerti, hingga hari ini Tan Malaka belum memiliki makam yang layak,” kata sejarawan Harry Poeze kepada Historia . Sebagai aktivis cum intelektual zaman pergerakan kemerdekaan, sosok Tan Malaka masih berselubung misteri. Jejak sejarahnya dikaburkan selama masa kuasa Orde Baru. Nama Tan masuk dalam kategori figur terlarang untuk diperkenalkan dalam narasi sejarah resmi. Sebabnya adalah ideologi Marxisme yang dianut Tan. Bahkan kuatnya sensitifitas ketika membicarakan sosok Tan Malaka masih berlangsung hingga kini. Jejak perjuangan Tan Malaka setidaknya terekam lewat buah pemikirannya ketika dia menulis risalah bertajuk Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925. Naar de Republiek Indonesia adalah manisfesto tentang negara Indonesia yang bebas dari imperialisme. Tan menulis konsepsinya jauh sebelum konsep Sukarno dalam Indonesia Menggugat (1930) dan Mohammad Hatta dalam Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka, 1928). Selama 40 tahun meneliti Tan Malaka, Harry Poeze mengurai sosok Tan Malaka dalam berbagai lakon. Menurut penulis lima jilid biografi Tan Malaka itu, alam pikir Tan sesungguhnya amat dipengaruhi alam pikir Minangkabau. “Pendidikan dan kehidupan rantau,” kata Poeze adalah tradisi Minangkabau yang menempa jalan hidup Tan menjadi seorang pejuang intelektual. Hal ini menjadikan Tan sebagai seorang pelahap pengetahuan dan ide-ide dari berbagai aliran. “Sebelum berangkat ke Harleem, Belanda untuk menempuh pendidikan guru pada 1913, Tan Malaka sudah khatam Al-Qur’an. Itu sebabnya datuk-datuk (para tetua adat) mengumpulkan dana untuk menyekolahkan Tan Malaka ke negeri Belanda,” ujar Zulfikar, keponakan Tan Malaka. Poeze juga menyebut Tan sebagai seorang pemikir dan filosof. Ini dapat terlihat dalam karya terpenting Tan Malaka, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika, 1943). Dalam Madilog , Tan mendekonstruksi pandangan kolot manusia Indonesia yang masih percaya terhadap takhayul dan ketakutan yang tidak beralasan. Tan menyebutnya sebagai “Logika Mistika”. Pendidik, nasionalis kiri, politisi praktis, hingga seorang legenda dalam mitos adalah lakon-lakon lain yang disebutkan oleh Poeze menggambarkan Tan Malaka. Namun dari kesemuanya, Poeze memantapkan pandangan terhadap Tan Malaka dalam lakon yang saling bertentangan: seorang maha guru dan buronan abadi. “Saya sendiri lebih melihat Tan Malaka sebagai seorang maha guru dan buronan abadi,” kata Poeze. Menurut Poeze, Tan Malaka tidak punya obsesi menjadi seorang pemimpin politik. Tan Malaka lebih suka memposisikan dirinya sebagai promotor dari kaum muda. Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik, dan Maroeto Nitimihardjo dikenal sebagai pengikut Tan Malaka dalam Partai Murba. Tan Malaka, kata Poeze, “ibarat maha guru, orang di belakang layar yang memberi petunjuk bagi perjuangan politik Indonesia.” Pengalaman dicap sebagai buronan, lanjut Poeze, menyebabkan Tan Malaka sukar menjadi seorang pemimpin politik sekaliber Sukarno atau Hatta. Tan Malaka adalah buronan abadi. Sejak tahun 1924 hingga ajal hidupnya, dihabiskan untuk meloloskan diri dari berbagai kejaran mulai dari dinas rahasia Belanda hingga tentara Indonesia. “Ini nasib yang tragis dari tokoh bernama Tan Malaka,” ujar Poeze.*
- Jenderal Spoor Tewas di Sumatera?
Rabu, 25 Mei 1949 adalah hari hitam bagi dunia militer Belanda. Secara mendadak, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Jenderal S.H. Spoor diberitakan telah wafat “Ia meninggal akibat tersumbatnya sirkulasi darah di jantungnya…” tulis sejarawan J.A. de Moor dalam buku Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia. Penjelasan Moor yang merupakan versi resmi penyebab kematian Spoor, tidak pernah dipercaya oleh sebagian besar eks pejuang di Sumatera Utara. Sumbat Sembiring (88) merupakan salah satunya. Menurut eks anggota pasukan TNI dari Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera itu Spoor tewas dalam suatu penghadangan di antara Sipirok dan Sibolga. Muhammad T.W.H (85), jurnalis senior yang banyak menulis hikayat perang kemerdekaan di Sumatera membenarkan pernyataan Sumbat. “Saya bahkan sudah tulis buku khusus membahas itu, judulnya: Tewasnya Jendral Spoor di Tapanuli Tengah ,” ujar Muhammad T.W.H. Namun, kendati semua pelaku sejarah di Sumatera Utara sepakat Spoor tewas di kawasan itu, mereka tak kompak memberikan penjelasan pasukan atau prajurit mana yang berhasil membunuh Spoor. Setidaknya ada beberapa versi terkait soal tersebut. Klaim Maraden Dalam biografinya: Berjuang dan Mengabdi , Jenderal (Purnawirawan) Maraden Pangabean selaku eks Komandan Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera mengklaim bahwa pelaku pembunuhan Jenderal Spoor adalah pasukannya. “Pasukan saya yang dipimpin oleh Letnan Dua August Marpaung dan Kapten Henri Siregar-lah yang mencegat rombongan Spoor dan berhasil menciderainya,” ujar Maraden. Peristiwa itu terjadi di jalur Sibolga-Tarutung pada 24 Mei 1949. Sebelumnya pihak intelijen TNI (Tentara Nasional Indonesia) telah menginformasikan bahwa “seorang petinggi militer Belanda” akan melewati jalur maut tersebut sepulang dari melakukan inspeksi zuiveringsacties (aksi pembersihan besar-besaran) militer Belanda. Panik karena jenderalnya cidera, maka pasukan Belanda memutuskan untuk berbalik kembali ke arah Sibolga. Mereka sampai di Sibolga pada pukul 11.00 dan langsung membawa “petinggi militer Belanda” yang terluka parah itu ke rumah sakit. Rakyat tak bisa menyaksikan karena selain dihalau oleh para para petugas Polisi Militer Belanda ke tempat yang jauh, juga jalur evakuasi “korban orang penting” itu juga dibuat sejenis cordon supaya lolos dari penglihatan khalayak. Malam hari datang berita susulan dari Sibolga: “petinggi militer Belanda” yang terluka parah itu bernama Jenderal Spoor. Menurut pembawa berita, malam itu juga Jenderal Spoor sudah dievakuasi dengan sebuah pesawat Catalina ke Jakarta. “Besoknya yakni tanggal 25 Mei 1949, kami mendengar dari radio Belanda di Jakarta bahwa Jenderal Spoor telah meninggal akibat serangan jantung…” ungkap Menteri Pertahanan di era Orde Baru (1973-1978) tersebut. Berita itu disambut dengan gembira dan rasa bangga. Seiring dengan itu, beredar pula berbagai klaim tentang pelaku penembakan. Salah satunya yang didengar oleh prajurit Sumbat Sembiring. “Yang menembak itu jenderal Belanda adalah kawanku satu kesatuan, aku lupa nama lengkapnya tapi dia orang dari marga Hutabarat. Dia tembak itu jenderal dengan tiga peluru, satu yang kena lewat jendela kecil yang ada di panser” ujar eks anggota pasukan Sektor IV itu. Maraden sendiri sangat meyakini bahwa Spoor meninggal karena peluru anak buahnya. Dalam otobiografinya, ia mengutip informasi dari seseorang bernama Justin Lumbantobing. Saat peristiwa penghadangan itu, kata Maraden, Justin adalah salah satu prajurit KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) berpangkat kopral yang ditugaskan mengawal Jenderal Spoor yang berada dalam konvoi. Ulah Pasukan Bedjo Versi kedua insiden “pembunuhan Spoor” dinyatakan oleh Brigadir Jenderal (Purnawirawan) Bedjo, eks pimpinan Pasukan Selikur. Itu terjadi pada 23 Mei 1949 ketika Pasukan Selikur di bawah pimpinan Kapten Slamet Kataren dan Kapten Azhari Hasontang berhasil menghancurkan rombongan Spoor di Bukit Simagomago. Dalam laporannya kepada Kapten Azhari (Komandan Operasi Sektor I) Kapten Azhari Hasontang, Letnan Mena Pinim dan Letnan Sahala Muda Pakpahan menyebut bahwa mereka berhasil menewaskan seorang perwira tinggi Belanda yang diperkirakan adalah Jenderal Spoor. “Jenderal itu tewas dalam salah satu panser yang berhasil dilumpuhkan oleh Pasukan Selikur,” tulis Edi Saputra dalam Sumatera dalam Perang Kemerdekaan. Keyakinan Bedjo mengacu kepada pengakuan seorang bekas pengawal Jenderal Spoor bernama Sersan Mayor Tumanggor kepadanya pada 1951. Dia menyatakan bahwa sejatinya Spoor tidak mati akibat hartverlaming , tapi karena luka-luka tembaknya saat dihadang Pasukan Selikur di wilayah Bukit Simagomago. Hingga sekarang, kisah “terbunuhnya” Jenderal Spoor di Sumatera Utara masih menjadi misteri. Dari sekian penulis sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera, hingga kini tercatat hanya Muhammad TWH saja yang secara serius menelusuri kasus yang menarik ini. “Menurut saya, seharusnya pemerintah pun ikut meneliti kebenaran peristiwa tersebut, demi kebenaran sejarah,” ungkap jurnalis senior Medan tersebut.
- Lambang Supremasi Bulutangkis Putri
GENAP 22 tahun Indonesia puasa gelar Uber Cup. Empat tahun berturut-turut para srikandi raket tanah air selalu kandas di perempat final. Terakhir, pil pahit mesti ditelan Greysia Polii cs. di Bangkok, Thailand, 21-26 Mei 2018, lantaran keok 2-3 dari tuan rumah di delapan besar. “Di atas kertas, Thailand masih di atas kita baik dari seeded dan ranking . Saat sempat unggul di atas angin, justru terbeban. Tertekan, main enggak lepas dan tegang. Faktor tuan rumah juga membuat lawan lebih percaya diri. Ini memang sudah sesuai target dan prediksi, paling tidak kita lolos delapan besar,” kataSusi Susanti, manajer tim, disitir situs resmi PBSI, 24 Mei 2018. Pencapaian itu jelas menunjukkan kemunduran prestasi bulutangkis putri Indonesia. Delapan besar dianggap sudah memenuhi target. Tak heran bila perkembangan bulutangkis putri Indonesia tertinggal dari Thailand yang masih se- lichting JKT 48. Di masa bulutangkis putri Indonesia jaya, delapan besar masuk kategori kegagalan akut. Indonesia paling buruk menjadi runner-up . Terakhir, Indonesia meraih Uber Cup tahun 1996 di Hong Kong usai menaklukkan China 4-1. Susi sendiri jadi salahsatu bagian dan bahkan pilar penting dari kejayaan Indonesia di era 1990-an. Prestasi itu melanjutkan estafet prestasi bulutangkis putri Indonesia di Uber Cup, turnamen bulutangkis beregu putri paling prestisius, tahun 1975 dan 1994. Jasa Betty Uber Sebagaimana Thomas Cup lahir dari keinginan Sir Thomas, Uber Cup lahir dari mimpi pebulutangkis Inggris yang mengoleksi 13 gelar All England, Elizabeth “Betty” Uber. “Berbekal pamor internasionalnya, Betty Uber mengajukan pembentukan turnamen beregu khusus putri pada awal tahun 1950 dengan dukungan (tokoh bulutangkis) Nancy Fleming dari Selandia Baru,” tulis Jean-Yves Guillain dalam Badminton: An Illustrated History . Upaya Betty tak mulus. Saat proposalnya dibawa ke International Badminton Federation (IBF), dewan federasi itu tak memberi lampu hijau kendati tertarik atas proyek Betty. IBF beralasan tidak ada dana untuk menggelar turnamen serupa Thomas Cup untuk putri. IBF baru membahas lagi usulan Uber itu pada 1953. Dua tahun berselang, turnamen bernama Women’s Team World Cup itu disetujui IBF dan ditetapkan sebagai turnamen tiga tahunan. Turnamen perdana digelar 1956-1957 dengan format mirip Thomas Cup –sistem kualifikasi Inter-zone– dan putaran finalnya dihelat di Lanchashire, Inggris, 18 Maret 1957. Menurut IBF Handbook 1958-1959 , dari 11 negara peserta, tiga negara lolos ke putaran final: Amerika Serikat (AS), India, dan Denmark. Tim terakhir ini diuntungkan dengan undian bye sehingga langsung ke final. Sementara, setelah menghajar India 7-0, AS digdaya di partai puncak dengan mengubur Denmark 6-1. Trofi Dambaan Sebagai pemenang perdana, AS mendapat kehormatan membawa pulang trofi Uber Cup. Trofi itu merupakan donasi dari Betty Uber kepada IBF, 1955. Dalam biografi Suharso Suhandinata, Diplomat Bulutangkis: Peranannya dalam Mempersatukan Bulutangkis Dunia Menuju Olimpiade disebutkan, trofi yang jadi lambang supremasi bulutangkis putri dunia itu dibuat oleh perusahaan perhiasan asal London, Mappin & Webb. Desain trofi berbahan perak setinggi 20 inci itu berupa globe tiga dimensi dengan topping shuttlecock dan figur pebulutangkis putri di puncak. Betty Uber (kiri) menyerahkan trofi Uber Cup pada pemenang edisi pertama, tim Amerika Serikat diwakili kaptennya, Margaret Varner/Foto: bwfmuseum.isida.pro Awalnya, trofi itu bernama The Ladies International Badminton Championship Challenge Trophy. Beberapa waktu kemudian, untuk mengabadikan nama Betty Uber, nama trofi itu diganti menjadi Uber Cup. Sejak 1984, penyelenggaraan Uber Cup selalu bersamaan dengan Thomas Cup. Indonesia baru ikut meramaikan Uber Cup pada 1963 di Wilmington, AS. Tapi baru pada 1975 saat menjadi tuan rumah Indonesia berhasil merebut piala itu. Di final, 6 Juni 1975, para srikandi Indonesia menang 5-2 lewat atas tim putri Jepang. “Pasangan Indonesia Minarni dan Regina membuat surprise di mana Piala Uber secara resmi berada di pihak Indonesia dengan perincian set pertama 15-8 dan set kedua 15-11 atas pasangan Jepang (Mika) Ikeda/(Hiroe) Yuki,” tulis Media Indonesia , 7 Juni 1975. Tapi, prestasi Indonesia di Uber Cup tak sebesar di Thomas Cup. Uber Cup hingga kini masih didominasi China setelah merebut dominasi AS dan Jepang.
- Batara Simatupang, Pendekar di Usia Senja
Pematang Siantar 31 Agustus 1940, hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina. Ada bocah ikut arak-arakan menjadi boneka melambangkan kemenangan Paman Sam, dengan duduk mentereng di kursi di atas meja yang diusung empat orang. Di depannya ada teks besar yang ditulis ayahnya: Hitler wordt verbannen naar de Stille Oceaan (Hitler dibuang ke Lautan Pasifik). Dari kekalahan fasis menuju kemerdekaan bangsa. Si bocah itu pula yang kemudian, pada 1945, terkagum-kagum mendengar pidato Amir Sjarifuddin: “Siapa lemah, mati dimakan yang lebih kuat. Cacing lemah, dimakan ayam. Rusa lemah dimakan harimau. Indonesia (jika) lemah, akan mati dimakan Belanda!” Betapa tragis-ironis. Bocah itu, Batara Simatupang, kelak harus melanglangbuana untuk mengejar ilmu, membaca tiga jilid Das Kapital di Amerika, mendalami ekonomi-sosialis di Yugoslavia dan Polandia, untuk kemudian, ditengah keras dan pahitnya perjuangan hidup di Jerman dan Belanda, berhasil meraih PhD yang menelisik transisi ekonomi-sosialis di Universitas Amsterdam. Dr. Batara Simatupang, adik almarhum Jenderal TNI (Purn.) TB Simatupang, tutup usia di rumahnya di Amsterdam Noord, Ahad, 27 Mei 2018. Terlahir pada 1932 dari keluarga sederhana –ayahnya seorang pegawai kecil, ibunya berjualan di pasar– dia dibekali ayahnya kecintaannya pada bangsa dan perjuangan Indonesia. Perjalanan hidup Batara semacam mozaik pahit-getir yang merefleksikan nasib bangsa dan negaranya. Dia terpilih menjadi salah satu dari tigabelas ekonom Universitas Indonesia yang dikirim untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat (1959). Bersama karibnya, Emil Salim, yang menuju Berkeley, Batara tiba di Stanford University. Sebagian kelompok tersebut kelak diolok-olok sebagai Mafia Berkeley, tapi Batara menempuh rute dan nasib berbeda. Batara, dengan antusias, menyerap kuliah ekonomi Neo-Marxis dari Paul Baran, P. Sweezy dan pakar Uni Soviet Michael Dobb, tapi, malang, beasiswanya di Stanford dihentikan. Almamaternya, di bawah Prof. Moh. Sadli, menawarkan studi ekonomi-sosialis di Yugoslavia yang spontan diterimanya. Bahkan ketika telepon berdering menawarkan beasiswa baru untuk Stanford, Batara menolaknya. Kelak ketika dia tahu latar belakang si penelpon –Guy Pauker dari Rand Corporation, “pakar PKI” yang akrab dengan CIA– dia pasti senyum-senyum pahit. Tekadnya yang kokoh dan prestasinya yang gemilang membekali perjuangannya di dua sisi –menyambung hidup dan mendalami ekonomi-sosialis. Namun, langit tak selalu cerah bagi Batara. Di Beograd, Yugoslavia, dia harus bekerja di Kedutaan Besar RI demi menyambung studi. Sayang sekali, surat panjang yang diterimanya dari Prof. Sadli yang menugasinya mengkaji ekonomi-sosialis, bersifat pribadi, bukan surat resmi. Surat itu laku untuk meraih akses studi di Beograd dan kemudian di Warsawa, Polandia, tapi tak berbunyi bagi telinga resmi Indonesia yang mempertanyakan statusnya di negeri komunis. Bandul hingar-bingar politik 1965-1966 yang bergoyang dengan ganas di tanah air, segera menghantam mahasiswa di luar negeri juga. Di Warsawa, Batara berserta sebelas rekannya menolak screening lalu KBRI memvonnis dengan mencabut paspor mereka (Oktober 1966). Pedih bagi Batara. Namun, kepedihan batin diperlakukan sebagai “manusia tanpa tanah air” itu tak membuat dia mengeluh. Batara orang yang “pantang menyerah,” tulis Emil Salim dalam Otobiografi Dr. Batara Simatupang (h. xi). Diusir dari Polandia ketika gurubesarnya dipecat di tengah krisis politik, dan izin tinggalnya usai, studi Batara kandas. Dia minta suaka di Jerman Barat dan bekerja di pabrik cat Mainsz-Kastel. “Tidak ada orang tahu bahwa sang buruh yang (selama lima tahun) mengisi ember dengan cat itu adalah putera Indonesia kandidat PhD” ( ibid . h. xii). Memburuh, baginya, bagai terapi untuk mengatasi krisis batin. Tekad kemudian membawa Batara ke Belanda (1978). Dibantu Dr. Peter Idenburg dari Vrije Universiteit (VU), Amsterdam, keduanya menggarap “Proyek Imperialisme Indonesia” yang menarik publik cendekia. Namun ketika Batara melamar posisi dosen Ilmu Politik dan menggagas kajian PhD tentang kemerosotan perdagangan pesisir Jawa di abad XVII, proposal itu ditolak. Sepertinya Batara yang berlatar keluarga Kristen diragukan “kekristenannya” di universitas Kristen tersebut ( Ibid . h. 136-137) (Padahal, di VU ada Prof. J. Verkuyl, guru dan sahabat Amir Sjarifudin, yang pernah membela tokoh Marxis-Kristen Indonesia tersebut). Batara seorang cendekia berwawasan kemasyarakatan mendalam. Kesibukan intelektualnya nyaris tak memberi peluang giat dalam aktivisme LSM seperti Kommittee Indonesie yang dipimpin Prof. W.F. Wertheim. Adalah Wertheim yang memperkenalkan Batara kepada Prof. M. Ellman, pakar ekonomi Eropa Timur, yang kemudian memberi Batara peluang menulis dissertasi tentang krisis ekonomi Polandia 1978-1982. Kajian ini berkembang menjadi buku The Polish Economic Crisis. Background, Causes and Aftermath (1991). Dia pensiun pada 1997. Di masa 1980-an itulah Batara produktif mempublikasi puluhan artikel ilmiah dan memoranda. Di situ, simpul Emil, “pribadi Batara selaku ilmuwan intelektuil bersinar kembali” ( ibid . xiii). Toh, Batara tak absen dalam aktivisme HAM dan pro-demokrasi Indonesia di Belanda. Di era kejayaan Orde Baru di tahun 1980-an, dia rajin membantu publikasi bulanan Berita Indonesia , periodik kritis Tanah Air , juga menjadi mentor Diskusi Rabu di rumahnya di Vinkenstraat No. 1 dan di markas aktivis di Tuinstraat, Amsterdam. Tahun 1984, ketika pertama kali mudik untuk menengok ibunya, setelah 26 tahun “tercampakkan” di rantau, Batara harus berulangkali melapor dinas intel. Bertemu Soepardjo Rustam (yang pernah menjadi ajudan T.B. Simatupang semasa perjuangan), menteri dalam negeri itu berbisik kepadanya “Kalau Batara komunis, Anda (Batara) adalah musuh saya”. Batara, dengan rendah hati, menjawab “kita masing-masing adalah anak dari zamannya” ( Ibid h. 154). Momen emas –momen euforia, saat dipeluk kembali oleh “tanah air” yang pernah hilang– tiba, ketika Batara meluncurkan buku otobiografinya dengan dielu-elukan kerabat dan sahabat-sahabatnya di Jakarta pada 2012. Batara menikah dengan Dra. Sekartini Markiahtoen pada 1985. Bu Tini, dengan penuh kasih, mendampingi Sang Pendekar yang gagah dan gigih itu, hingga akhir hayatnya. Penulis adalah kontributor Historia di Amsterdam, Belanda. Referensi: Otobiografi Dr. Batara Simatupang –Kumpulan Tulisan , dengan pengantar Emil Salim, (Jakarta: Yayasan Del, 2012)
- Dendang Kasidah Modern
Iklan sebuah perusahaan ritel ternama karya sutradara Dimas Djay beberapa waktu lalu membuat heboh warganet. Iklan kocak itu menampilkan aksi delapan ibu-ibu kelompok kasidah Nurul Syifa. Sebuah iklan perusahaan transportasi daring juga menampilkan kasidah sebagai pengiring jualannya di layar kaca. Kasidah memang laku kala Ramadan. Menurut Japi Tambajong dalam Ensiklopedi Musik, kasidah merupakan bentuk puisi Arab pra-Islam. Kemudian ia menjadi media mewujudkan pemahaman iman secara Islam, dan alat dakwah. Japi menulis, di Indonesia definisi kasidah bukan dilihat sebagai sastra, tapi sebagai musik. Virus Kasidah Modern Dalam khazanah musik Indonesia, kasidah menjadi semacam pelengkap orkes gambus. Moeflich Hasbullah dalam Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara menulis, penyanyi orkes gambus kasidah pertama di Jawa yang menyanyikan lagu-lagu Arab dan Indonesia adalah Rofiqoh Dharto Wahab, yang meniti karier sebagai seorang qariah. Dia muncul kali pertama sebagai penyanyi kasidah di sebuah acara keagamaan di Pekalongan pada 1964. “Suaranya mulai dikenal melalui rekaman pita kaset dan ketika pertama kalinya ia masuk ke RRI dan TVRI. Piringan hitamnya meledak di pasaran,” tulis Moeflich . Rofiqoh bernyanyi diiringi orkes gambus Al-Fata. Setelah itu, muncul istilah kasidah modern. Pengamat musik Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia menyebut bahwa pemusik Agus Sunaryo yang memimpin kelompok Bintang-Bintang Ilahi merupakan orang yang memperkenalkan kasidah modern ini. Agus memasukkan unsur-unsur modern dalam musik yang mengiringi kasidah. Instrumen macam keyboard, gitar elektrik, dan bass elektrik dilibatkan di dalamnya. Bintang-Bintang Ilahi pimpinan Agus Sunaryo ini pun mengajak Rofiqoh Dharto Wahab dalam rekaman piringan hitamnya. Album bertajuk Qasidah Modern dirilis awal 1970-an di bawah label Remaco . Demam kasidah modern tiba-tiba menggejala pada 1970-an. Sejumlah musisi pop dan rock mengeluarkan lagu-lagu religi bernuansa kasidah modern, seperti Koes Plus, AKA, dan Fenty Effendy. Denny Sakrie menyebut, pada 1974 Koes Plus menyanyikan syair religi dengan bahasa Jawa dalam lagu “Zaman wis Akhir.” Bimbo mengadopsi musik flamenco asal Spanyol dalam nuansa kasidah. Bimbo pun melepaskan diri dari pakem kasidah yang menggunakan bahasa Arab. Di luar itu, muncul kelompok musik kasidah modern terkenal, Nasida Ria. Kelompok kasidah modern yang dibentuk pada 1975 ini berasal dari Semarang. Nasida Ria mencuat usai gelaran MTQ di Bandarlampung pada 1975. Lagu-lagu mereka, seperti “Perdamaian”, “Dunia Dalam Berita”, dan “Tahun 2000” yang diciptakan KH Ahmad Buchori Masruri, masih sering diputar hingga kini. Kasidah Digugat Kasidah modern bukan tanpa kritik. Kemunculannya, sebagai genre musik yang digadang-gadang penyebar dakwah Islam, mendapat cibiran dari musisi dan budayawan tanah air. Denny Sakrie menyebut, sebuah kritik disampaikan salah seorang ahli musik kasidah yang pernah menjadi pentolan orkes gambus Al Wardah, Mochtar Luthfy El Anshary. Mochtar mengatakan, apa yang dilakukan Agus Sunaryo dengan embel-embel kasidah modern sebenarnya tak bermuatan modernisasi kasidah sama sekali. “Pantun-pantun bahasa Arab itu diletakkan dalam irama yang tidak tepat,” kata Mochtar . Majalah Hai edisi 26 April-2 Mei 1988 menulis, senasib dengan sejumlah genre musik, kasidah modern ternyata kurang diminati penggemar musik di Indonesia, terutama remaja. Musik padang pasir ini kalah bersaing dengan genre pop atau rock. Karena itu, seiring waktu, kasidah modern mencari bentuk lain. Salah satunya, upaya Nasida Ria memasukkan unsur dangdut dalam komposisi lagunya. Lantunan musiknya pun tak melulu mengangkat pesan-pesan agama. Kasidah modern digugat lantaran dianggap sudah keluar dari definisi musik Islam. Urusan musik dan dakwah sampai-sampai menjadi bahan perbincangan hangat dalam seminar sehari bertajuk “Musik sebagai Media Dakwah” di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, pada 16 April 1988. Musisi Debby Nasution menyoroti unsur dangdut dalam kasidah modern. “Itu dia yang membuat saya nggak suka sama kasidah. Mendingan saya matiin pas disiarin di tivi,” kata Debby Nasution dalam seminar itu. Musisi yang ikut membidani lahirnya album Badai Pasti Berlalu (1977) itu mengatakan, kelompok musik kasidah yang mengklaim diri sebagai pengusung kasidah modern itu tak pantas disimak. “Penampil ceweknya kurang Islami!” kata Debby. Budayawan Emha Ainun Nadjib tak kalah pedas. Menurutnya, kasidah modern melenceng dari nilai-nilai yang dikandung Islam. “Wawasan Islam yang mencakup unsur sosial budayanya masih kurang. Masak urusan KB, transmigrasi yang didengung-dengungkan,” kata Emha dalam seminar yang sama. Cak Nun, sapaan Emha, juga menyentil penampilan penyanyi kasidah yang menggoyangkan tubuh, mirip pelantun lagu dangdut. “Mereka bisa maksiatnya sedikit. Tapi justru itu yang bikin celaka. Akhirnya bukan puji-pujian yang disampaikan. Tapi pengkhianatan,” katanya. Musisi Ebiet G Ade memberikan masukan soal kasidah modern ini. Menurutnya, dalam menciptakan musik yang bernapaskan Islam tak cukup hanya menyelipkan kalimat-kalimat yang dipetik dari Alquran dan hadits. Menurut dia, lebih baik musisi menggunakan bahasa yang dipahami dan menuangkannya dalam lagu. “Jangan membuat pendengar seolah berada di Padang Arafah, sementara orang di Arab pun malah nggak ngerti musik yang kita mainkan,” kata Ebiet. Meski begitu, kasidah modern terus bertahan. Nasida Ria memberi pengaruh kepada grup-grup kasidah modern setelah generasi mereka. Termasuk Haddad Alwi dan Sulis yang tenar pada 1990-an. Terbukti, kasidah modern pun hidup hingga kini.
- Dokter Kulit Dokter Kere?
SYARIEF WASITAATMADJA, pakar kesehatan kulit, tak pernah lupa profesi dokter kulit hampir tak dikenal masyarakat sampai menjelang tahun 1980-an. “Dulu orang-orang inginnya ahli bedah, ahli penyakit dalam, dokter anak, dan ahli kebidanan. Yang favorit empat ini,” ujarnya kepada Historia . Ketidakpopuleran itu disebabkan oleh fokus objek penanganan. Dokter-dokter spesialis kulit yang ada ketika awal Indonesia merdeka kebanyakan mendalami penyakit kulit kronis. Profesi itu dekat dengan penyakit kulit semacam kusta, sifilis, dan herpes. Dokter JB Sitanala, salah seorang pendiri Palang Merah Indonesia (PMI), misalnya, mendalami penyakit kusta. Dokter Kodiat lain lagi, dia fokus pada penyakit frambusia. Ketika Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoksi) –dulu bernama Persatuan Ahli Dermato-Venereologica Indonesia– didirikan tahun 1965, jumlah anggotanya hanya 42 orang. Buntut dari ketidakpopuleran itu, profesi dokter kulit menjadi profesi yang kering alias minim mendatangkan keuntungan materi. Bahkan menurut Retno Iswari Tranggono dalam biografinya yang ditulis Jean Couteau, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty , sebutan lain dokter kulit adalah dokter kere . Retno adalah perintis subbagian Kosmetik dan Bedah Kulit di Universitas Indonesia pada akhir 1960-an. “Di dunia seingat saya juga baru memulai penelitian tentang kosmetik dan bedah kulit,” kata Syarief, yang mantap melanjutkan pendidikan ke spesialisasi penyakit kulit dan kelamin selepas lulus tahun 1969 meski jurusan itu bukan jurusan favorit. Syarief tertarik dengan subbagian baru yang didirikan Retno. Dia langsung menemui Profesor M Djuwari, kepala Bagian Kulit dan Kelamin UI, untuk melamar ke bagian itu. Dia menjawab singkat ketika ditanya sang profesor mengapa tertarik melamar ke bagian itu. “Saya mau yang ringan-ringan, Prof. Selain itu, saya bisa menemui orang-orang cantik,” kenangnya sambil terkekeh. Sebagai asisten Retno selama 10 tahun, Syarief mengikuti perumusan kurikulum dan penyusunan buku ajar mengingat ini merupakan ilmu baru dalam dunia kedokteran. Seingat dia, kala itu buku berbahasa Inggris yang membahas tentang kosmetik dan bedah kulit masih minim. Namun, Retno dan Syarief tak pernah bosan untuk terus menggali masalah kulit. Retno antara lain mengikuti Kongres Regional Dermatologi di Bali pada 1978. Di sana, Retno bertemu dengan berbagai ahli kulit dunia. Salah satunya, Irwin Lubowe, dosen pendidikan kedokteran kulit di New York Medical College yang mendalami soal kecantikan kulit dan rambut. Pertemuannya dengan Lubowe membuat hasrat Retno mendalami dan mempopulerkan kesehatan kulit makin menjadi. Subbagian kosmetik dan bedah kulit yang baru dibuka tak langsung mendapat tanggapan positif. Salah seorang profesor di Bagian Kulit dan Kelamin bahkan ada yang mencemooh kosmetik dan bedah kulit adalah ilmu yang tak berguna dan abal-abal. Tapi Syarief berpikir lain, dia menduga subbagian ini kelak akan berkembang pesat, diminati, dan dibutuhkan banyak orang. “Ilmu ini berkembang cukup pesat. Sekarang di Perdoski kami punya kelompok studi dermatologi kosmetik. Saya ketuanya. Ha..ha..ha,” kata Syarief tertawa jahil. Seiring perjalanan waktu, subbagian kosmetik dan bedah kulit memetik buahnya. Banyak mahasiswa kedokteran mengambil spesialisasi tersebut. Pasien-pasien makin ramai berdatangan untuk mencari pertolongan yang bersifat estetik. Terlebih, ketika budaya pop makin memasyarakat. Sejak itu, profesi dokter kulit ramai dikunjungi pasien dan sebutan dokter kere pun tanggal. “Makin tahun makin banyak peminatnya. Kalau dulu waktu saya masuk spesialis kulit cuma satu-dua orang, sekarang yang mau masuk ke dokter kulit banyak sekali,” kata Syarief.
- Thomas Cup, Piala Dunia-nya Bulutangkis
SEJAK juara kali pertama tahun 1958, Indonesia masih jadi negara pengoleksi Thomas Cup terbanyak dengan 14 trofi. Rekor ini mulai dikuntit China dengan mengoleksi 11 gelar. Thomas Cup merupakan turnamen bulutangkis beregu putra paling prestisius. “Thomas Cup digagas Sir George Alan Thomas, pebulutangkis Inggris yang sangat sukses di awal 1900-an, di mana dia terinspirasi Piala Davis tenis dan Piala Dunia sepakbola yang sudah ada sejak 1930,” tulis Anil Taneja dalam World of Sports Indoor . Sir Thomas, presiden International Badminton Federation (IBF), pada 11 Maret 1939 mengajukan ide itu ke komite IBF saat berlangsungnya turnamen All England di London’s Royal Horticultural Hall. Dalam majalah Allsports edisi Mei 1984, Sir Thomas mengajukan gagasan itu karena merasa sudah waktunya ada turnamen internasional yang lebih global dari All England. Setelah membahas ide Sir Thomas itu, Rapat Umum Anggota IBF menyetujui pada 5 Juli 1939. Turnamen yang bernama awal The International Badminton Championship Challenge itu rencananya digelar pada musim 1941-1942. Namun, Perang Dunia II menggagalkannya. Baru pada 1948-1949 Thomas Cup bisa digelar di Preston, Inggris. Formatnya, para partisipan terlebih dulu mesti melewati babak kualifikasi inter-zone: Zona Amerika, Eropa, dan Pasifik. Tiga juara zona berhak ikut putaran final pada 22-26 Februari 1949. Tiga peserta yang menjadi wakil masing-masing zona yakni Amerika Serikat mewakili Benua Amerika, Denmark mewakili Zona Eropa, dan Malaya (kini Malaysia) mewakili Zona Pasifik. Wakil Asia yang dikucilkan, Malaya, justru berhasil merebut Thomas Cup pertama setelah menyingkirkan Amerika di babak pertama dan Denmark di final. Tim Malaya (Malaysia) jadi juara edisi perdana Thomas Cup 1949/Foto: olympic.org.my “Di masa itu, tim besarnya adalah Amerika. Inggris dan Denmark juga hebat. Mereka belum pernah mendengar tentang Malaya. Mereka bahkan tak tahu di mana letak Malaya,” kenang Teoh Seng Khoon, salah satu anggota tim Malaya, sebagaimana diberitakan The Star , 8 November 2008. Trofi dan Kompetisi di Era Modern Trofi Thomas Cup, yang jadi impian para pemain bulutangkis untuk dicium dan dibawa pulang, dibuat oleh perusahaan Atkin Bros asal London. Menurut situs bwfthomasubercups.com , trofi Thomas Cup dengan tinggi 28 inci dan lebar 16 inci berdesain cangkir besar dengan figur pebulutangkis pria di atas tutup cangkirnya. Trofi terbuat dari perak-emas senilai 40 ribu dolar Amerika. Sebagaimana nama turnamennya, trofi ini mulanya juga dinamai The International Badminton Championship Challenge Cup dan sudah dipublikasikan sejak 4 Juli 1940. Di kemudian hari, nama trofi diganti jadi Thomas Cup untuk mengabadikan nama penggagasnya. Seiring berjalannya waktu, jumlah peserta meningkat. Zona kualifikasi ditambah inter-zona Australia dan Zona Pasifik diubah menjadi Zona Asia. Indonesia pertama kali tampil pada 1958. Di momen debut itu Indonesia langsung keluar sebagai juara. Di final yang dimainkan di Singapore Badminton Hall pada 14-15 Juni 1958, Indonesia menggilas Malaya 6-3. Leo Suryadinata dalam Southeast Asian Personalities of Chinese Descent menyebut tim Indonesia berisi pemain multietnis dengan tulang punggungnya pebulutangkis Tionghoa. Mereka adalah Olich Solihin, Eddy Yusuf, Lie Po Djian, Tan King Gwan, Tjan Kim Bie, Ferry Sonneville, dan Tan Joe Hok. China sebagai rival terberat Indonesia baru menjuarai Thomas Cup pada 1982. Sebagaimana Indonesia, China juga menyabet trofi juara di momen debutnya. China mengandaskan Indonesia 5-4 di final yang dihelat pada 20-21 Mei 1982 di London. Sejak 1984, Thomas Cup dan Uber Cup “dikawinkan” sehingga selalu digelar bersamaan. Pada tahun itu juga format baru diperkenalkan, Thomas dan Uber Cup jadi turnamen dua tahunan.*
- Bagaimana Islam Menyebar di Xinjiang?
SETELAH Perang Talas (751) dan Pemberontakan An Shi (755–763), Dinasti Tang perlahan lepas kendali terhadap Wilayah Barat ( xiyu ). Gonjang-ganjing kondisi negeri yang berlanjut pada tercerai-berainya Cina menjadi Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (907–960) sehabis Dinasti Tang bubar pada 907, semakin membuat Cina tak mampu mengurus protektoratnya ( duhufu ) yang sebenarnya mencakup Asia Tengah tapi kelak sejak abad ke-18 cuma tinggal dan lebih dikenal dengan nama Xinjiang itu.
- Kisah Loper Koran Beragam Zaman
KOPI pagi di rumah kurang lengkap tanpa kehadiran koran. Dan koran tak bisa sampai ke rumah pembacanya tanpa jasa seorang loper koran. Selama ratusan tahun, loper koran telah memainkan posisi penting dalam bisnis media cetak dan menopang perekonomian banyak keluarga miskin. Mereka menghubungkan pekerja media cetak dengan para pembacanya dan menjadi salah satu pekerjaan sambilan bagi anak-anak untuk membantu orangtuanya. Loper koran hadir kali pertama di New York, Amerika Serikat, pada 1833. Bruce J. Evensen dalam Journalism and the American Experience mencatat kerja loper koran tak lepas dari ide Benjamin Day, seorang penerbit surat kabar murah ( penny press ) bernama New York Sun . Day telah bekerja seharian untuk menyebarkan edisi perdana New York Sun pada 3 September 1833. Dia terlalu lelah untuk melakukan hal serupa pada keesokan harinya. “Maka dia pasang iklan bagi para pengangguran untuk menjajakan surat kabarnya,” tulis Bruce. Seorang anak lelaki berusia 10 tahun membaca iklan tersebut. Dia mendatangi kantor New York Sun dan mengatakan kepada Day bahwa dia berminat menjuali surat kabar murah itu. Caranya dengan membeli beberapa eksemplar. Tapi ada harga diskon baginya sehingga dia bisa memperoleh keuntungan dari selisih harga diskon dengan harga jual kembali. Nama anak itu Barney Flaherty. Dia mulai bekerja keesokan harinya. “Menjadi yang pertama dari sekian ribu loper koran yang kemudian menjajakan dagangannya sepanjang terang hari dan tidur di jalanan kota pada malam hari,” lanjut Bruce. Kemudian penerbit media cetak di Amerika Serikat mulai memperoleh pelanggan tetap. Keistimewaan pelanggan ialah mereka tak harus mencari koran di tepi jalan. Mereka hanya tinggal menunggu koran datang ke rumah. Di sini tugas loper koran mulai menyempit: tak perlu lagi menjajakan koran, melainkan mengantar koran ke rumah pelanggan. Nama-nama sohor pernah tercatat sebagai loper koran pada masa kecilnya. Antara lain Harry S. Truman, presiden Amerika Serikat 1945-1953; Martin Luther King Jr., tokoh kesetaraan; dan Warren Buffet, pebisnis ulung. NBCnews menyebut loper koran telah menjadi ritus hidup bagi sebagian besar anak-anak di Amerika Serikat. Loper Koran di Indonesia Di Indonesia, kehadiran loper koran kali pertama belum terlacak secara pasti. Tapi mereka sudah berseliweran di kota-kota besar Hindia Belanda pada 1920-an. Masa 1920-an menjadi masa tumbuh-kembang bisnis media cetak di kota-kota besar Hindia Belanda. Bisnis ini berkembang di kota lantaran orang-orang melek huruf latin lebih banyak berada di kota ketimbang di desa. Pemerintah kolonial pun lebih dulu membangun sekolah-sekolah di kota pada awal abad ke-20 ketimbang di desa. Pertumbuhan jumlah orang melek huruf latin di kota mendorong peningkatan kebutuhan terhadap informasi. Media cetak menyediakan beragam informasi. Pada sisi inilah mereka butuh orang untuk menyalurkan informasi kepada pembacanya. Sementara pada sisi lain, ada orang juga butuh pekerjaan. Termasuk anak-anak sekolah. R.H. Iskandar Suleiman, mantan murid Hollandsche Indische School (HIS) —setingkat sekolah dasar— di Batavia pada 1920, mengungkap kenangannya menyambi kerja sebagai loper koran. Dia butuh uang untuk biaya sekolah dan hidup keluarganya. Iskandar berkarib dengan Sugimin, seorang siswa Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Mulo) —setingkat SMP— di sekitar kediamannya. Dia tahu keseharian Sugimin di luar jam sekolah. “Sugimin membiayai sekolahnya dari hasil keringatnya sendiri sebagai krantenloper (pengedar koran) Het Nieuws van den Dag tiap sore,” tulis Iskandar dalam “Dari Asuhan Nenek Sampai Berdiri Sendiri”, termuat di Prisma , No. 10, Oktober 1979. Iskandar mengatakan kepada Sugimin bahwa dia butuh pekerjaan. Dia ingin jadi krantenloper selayaknya Sugimin. Keinginannya terkabul ketika Sugimin mengajaknya ke kantor penerbitan Het Nieuws van den Dag . Di sini dia mendapat pekerjaan dari koran tersebut sebagai krantenloper . Iskandar bekerja mulai pukul 15.00, sepulang bersekolah. “Aku harus mengantarkan koran di daerah Menteng untuk 96 alamat, sebagian terbesar rumah orang Belanda,” tulis Iskandar. Dia kelar kerja pukul 20.00. Selama mengantar koran, Iskandar banyak raih pengalaman suka dan duka. “Sukanya, karena aku dapat menerima imbalan hampir 10 perak sebulan (jumlah cukup besar pada waktu itu; dan dukanya, karena sering aku mendapat gangguan anjing galak dan omelan langganan, kalau koran agak lambat diantarkan),” tambah Iskandar. Beberapa kali juga dia kena hina teman-teman sekolahnya. Iskandar tak ambil pusing soal hinaan teman-teman sekolahnya. Dia menjalani pekerjaan ini sampai duduk di bangku MULO. Fase ini jalan hidupnya mulai berubah. Seseorang menawarinya pekerjaan di percetakan. Iskandar menerimanya dan kelak membuatnya tahu seluk-beluk pers hingga bisa menjadi redaktur majalah Muhammadi , organ bulanan Muhammadiyah. Cerita pekerjaan loper koran mengubah hidup seseorang juga dialami oleh Andi Hakim Nasution, mantan rektor Institut Pertanian Bogor 1978-1987. “Dulu saya pernah jadi loper koran,” kata Andi dalam Femina Vol. 20, 1992. Dia ingat saat itu tahun 1947. Masa-masa sulit bagi banyak keluarga di Bogor lantaran situasi revolusi. Tapi dengan menjadi loper koran, dia bisa ikut membantu perekonomian keluarga. Pengalaman lain menjadi loper koran datang dari Herlina Kasim ‘Si Pending Emas’. Dia sukarelawati pembebasan Irian Barat selama 1960-1965. Di Soasiu, Maluku Utara, Herlina mengupayakan penerbitan mingguan Karya. “Mingguanku dimaksudkan sebagai alat di daerah ini untuk menggembeleng semangat rakyat menghadapi masalah Irian Barat,” tulis Herlina dalam Herlina Pending Emas . Herlina merangkap jabatan sebagai pemimpin umum dan loper. “Repot juga bagiku. Di Soasiu tidak ada nama jalan dan nomor rumah, surat kabar ku antar pada orang yang kira-kira mau berlangganan,” lanjut Herlina. Tapi Karya kurang beroleh sambutan. Makin hari, makin merosot saja peminatnya. Biarpun Karya itu media cetak gratisan. Bahkan Herlina kesulitan mencari orang yang mau menjadi loper koran. Dia membandingkan pekerjaan loper koran di Jakarta dengan di Soasiu. “Setahuku loper di Jakarta atau penjual-penjual koran mempunyai penghasilan yang baik dan merupakan kerja sambilan, ada yang sambil bersekolah,” catat Herlina. Apa sebabnya orang Soasiu tak tertarik menjadi loper koran? Herlina bilang karena pekerjaan itu tidak dibayar, melainkan kewajiban kepada bangsa dan negara untuk turut membantu penyebaran gagasan pembebasan Irian Barat. Kini loper koran berhadapan dengan persoalan baru: revolusi industri 4.0. Revolusi ini mengubah arah bisnis media dari cetak ke bentuk digital. Dan itu bakal mempengaruhi masa depan pekerjaan loper koran. Apakah mereka akan bertahan atau remuk digilas revolusi industri 4.0?





















