top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian I)

    BULUTANGKIS sudah puluhan tahun mendarah daging di Indonesia. Hampir setiap keluarga di perkampungan maupun perkotaan memainkannya, sebagaimana digambarkan Koko Koswara dalam lagu “Badminton”. Wajar bila banyak bintang bulutangkis, lawas maupun kini, yang punya hubungan keluarga baik satu darah ataupun lewat pernikahan. Dari 10 keluarga bulutangkis yang melahirkan bintang dengan prestasi membanggakan buat negeri ini, beberapa di antaranya berdarah Tionghoa. Mayoritas dari Pulau Jawa, sementara satu “dinasti” lainnya datang dari Indonesia Timur. Siapa saja mereka? Berikut rangkuman ke-10 keluarga bulutangkis tanah air sepanjang sejarah: Rudy Hartono Bersaudara Rudy Hartono (kiri) bersama adik (tengah) Utami Dewi dan suaminya, Chris Kinard. (Wikimedia) Rudy Hartono (kiri) bersama adik (tengah) Utami Dewi dan suaminya, Chris Kinard. (Wikimedia). Siapa tak kenal Rudy Hartono? Pemegang rekor juara tunggal putra All England terbanyak ini merupakan putra dari pengasuh PB Suryanaga Surabaya Zulkarnain Kurniawan (Nio Siek In). Bersama seluruh adiknya, Utami Dewi, Eliza Laksmi Dewi, Freddy Harsono, Diana Veronica, dan Tjosi Hartanto, Rudy berkecimpung di dunia yang sama. Namun, hanya Rudy dan Utami Dewi yang punya prestasi bergengsi. Utami anggota tim Indonesia yang memenangkan Uber Cup 1975. Selain itu, dia berbagai event daerah dan nasional. Belakangan, Utami menikah dengan pebulutangkis Amerika Serikat (AS) Chris Kinard dan berpindah kewarganegaraan sejak 1978.  Selain berlatar keluarga bulutangkis, Rudy juga punya hubungan keluarga dengan Christian Hadinata, legenda ganda putra Indonesia. “Jadi istrinya Rudy (Jane Anwar) dengan istri saya (Yoke Anwar) kakak-beradik. Riwayatnya saya bertemu pacar yang kemudian jadi istri juga dikenalkan lewat Rudy,” kata Christian Hadinata kepada , 7 Januari 2019. Liem Swie King Bersaudara Liem Swie King punya dua saudari yang juga pebulutangkis: Megah Inawati dan Megah Idawati. (Randy Wirayudha/Historia). Sebagaimana Rudy Hartono, maestro bulutangkis Indonesia Liem Swie King juga memiliki darah bulutangkis. Langganan juara All England, Kejuaraan Dunia, dan beragam kejuaraan era 1970an-1980an itu dikenalkan bulutangkis oleh dua kakaknya, Megah Inawati dan Megah Idawati. “Kakak-kakak saya pemain nasional zamannya Minarni (Soedarjanto). Lama-lama saya ketularan, jadi sering ikut-ikutan main, jadi hobi,” ujar Liem Swie King saat ditemui , 9 Januari 2019. Baik Inawati maupun Idawati merupakan anggota tim Uber Cup 1966 bersama Minarni, Retno Koestijah, dan Corry Kawilarang. Selain kedua kakaknya, kerabat King yang berkecimpung di dunia bulutangkis adalah pemain tunggal putra era 1980-an Hermawan Susanto. Hermawan merupakan putra sulung pasangan Agus Susanto, pembulutangkis era 1960-an, dan Megah Idawati. Jadi, Hermawan merupakan keponakan King. Tjun Tjun Bersaudara Tjun Tjun, adik dari pemain dan pelatih legendaris Liang Chiu Hsia. Buat generasi kekinian, nama Tjun Tjun jelas asing didengar ketimbang Rudy Hartono atau Liem Swie King. Padahal, dikutip dari karya Pat Davis, Tjun Tjun punya “segambreng” prestasi top di nomor ganda putra dan ganda campuran. Selain peraih medali emas SEA Games (1977), dia merupakan peraih emas Asian Games (1974), juara All England (1975, 1977-1980), dan tiga kali ikut memenangkan Thomas Cup (1973, 1976 dan 1979). Pebulutangkis kelahiran Cirebon, 4 Oktober 1952 itu adalah adik dari Liang Chiu Hsia, pelatih para srikandi Indonesia era 1990-an macam Susi Susanti hingga Yuni Kartika di Pelatnas PBSI. “Dia kakaknya Tjun Tjun. Sempat pindah ke China dan kembali melatih saya di PB Djarum dan kemudian Pelatnas. Termasuk yang menggembleng saya, Susi, Yuliani (Santosa), dan Mia Audina di tim Uber Cup 1994. dilatih sama dia, ampun , sadis, …,” ujar Yuni Kartika kepada , 15 Januari 2019. Berbeda dari Tjun Tjun, Liang Chiu Hsia (kadang ditulis Liang Qiuxia) berkewarganegaraan China meski lahir di Cirebon, 9 September 1950. Liang Chiu Hsia pindah ke China pada 1960 bersama sekitar 100 ribu etnis Tionghoa setelah kerusuhan rasial di Cibadak tahun 1959. Dalam kariernya sebagai pemain, Liang meraih medali emas Asian Games 1974 dan Kejuaraan Asia serta Asian Games 1978 di tunggal putri. Pada 1987 dia kembali ke Indonesia untuk melatih di PB Djarum dan kemudian Pelatnas PBSI. Keluarga Besar Hermawan Susanto Hermawan Susanto bersama istri, Sarwendah Kusumawardhani dan putranya Andrew Susanto. (Sarwendah Badminton Club). Kendati kalah menonjol dari pebulutangkis seangkatannya macam Alan Budikusuma atau Ardy B. Wiranata, Hermawan Susanto bukanlah pebulutangkis sembarangan. Di eranya, mengutip , selain langganan juara sejumlah turnamen terbuka, Hermawan juga berkalung medali perunggu Olimpiade 1992, serta turut meraih Thomas Cup 1994. Darah bulutangkis pria kelahiran Kudus, 24 September 1967 itu mengalir dari kedua orangtuanya, Agus Susanto dan Megah Idawati. Agus merupakan salah satu pionir bulutangkis Indonesia dan anggota tim Indonesia di Thomas Cup 1967, tim yang dikerjai ofisial bernama Herbert Scheele. Agus juga merupakan satu dari dua pelatih awal Swie King di PB Djarum, sejak 1971. Sementara, Idawati bersama kakaknya, Megah Inawati, merupakan anggota tim Indonesia di Uber Cup 1966. Idawati bersaudari merupakan adik Liem Swie King. Hermawan kemudian menikahi ratu bulutangkis Sarwendah Kusumawardhani pada 5 Mei 1995 sebelum gantung raket dua tahun kemudian. Sarwendah merupakan “wakil” Susi Susanti di nomor tunggal putri. Prestasinya antara lain ikut menjuarai Piala Sudirman 1989, juara Kejuaraan Dunia 1990, dan emas SEA Games (1989, 1991,1993). Jejak mereka kini tengah diteruskan putranya, Andrew Susanto. Jejak Kiprah Denny Kantono Denny Kantono dan putrinya, Serena Kani. (pbdjarum.org). Pamornya memang tak sementereng Hariyanto Arbi atau Alan Budikusuma. Pun begitu, Denny Kantono tetap dianggap salah satu legenda PB Djarum. Fotonya terpampang di deretan 20 figur Hall of Fame di GOR Jati, Kudus kala bertandang ke pusat pelatihan bulutangkis terbaik se-Asia itu medio Desember 2018. Prestasi atlet kelahiran Samarinda, 12 Januari 1970 itu meliputi emas SEA Games (1995), Thomas Cup (1996 dan 2000), Kejuaraan Dunia (1995), dan perunggu Olimpiade Atlanta 1996. Selain itu, juara kejuaraan terbuka di Polandia, Prancis (1993), dan Indonesia (1996). Jejak bulutangkis Denny menurun ke putrinya, Serena Kani, yang kini masih jadi atlet binaan PB Djarum. “Aku main bulutangkis awalnya ingin seperti papa, jalan-jalan terus ke luar negeri. Juara-juara. Awalnya hanya main-main tapi akhirnya malah senang dengan bulutangkis,” sebut Serena, dilansir , 23 Februari 2012.

  • Awal Kejayaan Pasar Swalayan

    Senin sore 23 Agustus 1971 menjadi saat bersejarah bagi pasangan suami-istri Muhamad Saleh Kurnia dan Nurhajati. Mereka membuka supermarket pertama di Indonesia bernama HERO Mini Supermarket. “Belum pernah ada pedagang yang merintis atau mengelolanya,” kata Nurhajati kepada Wong Tung To dalam Perintis Ritel Modern Indonesia : Memoar Pendiri Grup HERO. Pesta kecil pun digelar. Kurnia dan Nurhajati mengundang sahabat, teman, dan mantan guru SMA-nya ke HERO di Jalan Falatehan 1 No. 23, Jakarta Selatan. Mereka bersulang cocktail dan melambungkan harapan untuk HERO. “Semoga laris manis dan banyak untung,” kata mereka. Mewujudkan harapan tersebut tak semudah mengucapkannya. HERO masih asing bagi sebagian besar orang Jakarta. Para produsen dan pemasok barang lokal belum mengenal HERO. Kurnia dan Nurhajati harus mengejar produsen dan pemasok hingga ke Singapura. Ini berarti supermarket tak bisa langsung meraih hasil untung. Tapi tantangan tersebut tak menyurutkan pengusaha lain untuk meramaikan bisnis supermarket . Nurhajati mengisahkan sebuah toko P&D di seberang HERO berubah konsep menjadi supermarket pada 1972. P&D merupakan kependekan dari Provisien&Dranken . Istilah ini berasal dari bahasa Belanda untuk menyebut toko ritel makanan dan minuman di pinggir jalan ramai. Nurhajati tidak menyebut nama supermarket tersebut dalam bukunya. Historia menelusuri bahwa supermarket tersebut bernama Gelael. Pendirinya Dick Gelael. Dia pemilik toko P&D di Jalan Falatehan sejak 1957. “Ia banyak mengadakan perjalanan ke luar negeri untuk belajar mengelola supermarket ,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia . Pembeli kelas menengah Setelah HERO dan Gelael, supermarket lain bermunculan. Sebut saja Sarinah Jaya, Grasera, Tomang Tol, dan Metro pada 1970-an. Lalu ada Golden Truly pada 14 Januari 1984. Mereka disebut ritel berskala besar karena modal tetapnya bernilai Rp100 juta dengan luas bangunan sekira 1000 meter persegi. Berbelanja ke supermarket adalah pengalaman baru bagi banyak orang Indonesia pada awal 1970-an. Sebelum masa ini orang terbiasa membeli barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan pangan, daging, sayur, bebuahan, dan minuman ke warung terdekat, pasar tradisional, dan pedagang keliling. Tegur sapa dan tawar-menawar antara pembeli dengan penjual adalah kemestian. Sekelompok kecil orang telah mengenal supermarket dari bahan bacaan dan pengalaman mereka di luar negeri. Kelompok inilah target utama supermarket . Mereka terdiri atas kelas menengah kota dan pekerja asing. “Saat itu penduduk lokal masih belum mencapai taraf berbelanja seperti ini,” kata Nurhayati. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1968 telah membentuk dan memperluas kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta ketimbang di kota lainnya. Gambaran ini terlihat dari tingkat pendapatan mereka. “Penerimaan per kapita di kota Jakarta yang dilaporkan 11 persen lebih tinggi daripada rata-rata kota lain,” tulis Anne Booth dan R.M. Sundrum dalam “Distribusi Pendapatan” termuat di Ekonomi Orde Baru . Kenaikan pendapatan kelas menengah kota berasal dari penerimaan negara di sektor minyak dan gas. Pegawai-pegawai yang menangani penjualan minyak dan gas mendadak jadi orang kaya baru. Bersama itu gaya hidup mereka ikut berubah. Mereka ingin berbelanja dengan nyaman dan praktis. Dan supermarket menawarkan dua hal tersebut. Kemunculan kelas menengah kota dan pekerja asing ditopang pula oleh kehadiran usaha manufaktur di sekitar Jakarta. Rata-rata investasi manufaktur berasal dari modal asing. Pekerja asing pun turut masuk ke Jakarta. Sekaligus juga mencipratkan “Keuntungan kepada mereka yang berpendidikan lebih tinggi.” Begitu menurut Anne dan Sundrum. Dari kondisi itulah supermarket menerapkan kebijakan penyediaan barang dan penentuan harga. Barang-barang yang dijual berbeda dari kebutuhan masyarakat pada umumnya. Hampir 90 persen barang impor, menurut  Kompas , 15 Juli 1974. Barang-barang tersebut mengikuti selera dan kebutuhan kelas menengah kota dan pekerja asing. Harganya juga berada di atas jangkauan orang kebanyakan. Maka muncul anggapan dari banyak orang bahwa supermarket ditujukan hanya untuk segelintir orang berduit. Mau masuk ke sana pun harus berpakaian necis. Demikian gambaran sejumlah orang tentang supermarket, tersua dalam Kompas , 7 November 1977. Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, juga mengakui hal serupa. “Toko serba ada di Indonesia saat ini hanya untuk orang-orang berduit saja,” kata Ali dalam Kompas , 15 Juli 1974 ketika menghadiri peresmian cabang kedua HERO di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Perkataan Ali Sadikin mengaburkan batas antara supermarket dan department store (toserba). Ini bisa dimaklumi mengingat sejumlah supermarket di berbagai negara maju pun telah menjual barang-barang khas toserba seperti pakaian dan alat-alat rumah tangga. Begitu pula sebaliknya: toserba menjual barang khas supermarket . Ali Sadikin menganggap penting kehadiran supermarket dan toserba. “Sebagai salah satu sumber penghasilan negara,” kata Ali dalam Kompas , 15 Juli 1974. Dia berupaya menciptakan iklim yang nyaman bagi kehadiran supermarket dan toserba. Tetapi Ali Sadikin tak mau pemerintah daerah ikut-ikutan berbisnis supermarket dan toserba, mengacu pada pengalaman kegagalan Pemerintah mengelola Toserba Sarinah.   Masalah supermarket Berbeda dari Ali Sadikin, Tjokropranolo (gubernur Jakarta 1977-1982) justru merisaukan kehadiran supermarket. “Akibat sosialnya lebih besar daripada pajak yang diterima pemerintah,” kata Bang Nolly, panggilan akrab Tjokropranolo, dalam Kompas , 7 November 1977. Bang Nolly menganggap supermarket menghilangkan pekerjaan tukang sayur. Asumsi Bang Nolly berangkat dari barang-barang jualan di supermarket : sayur, buah, dan daging. Barang-barang yang juga dijual oleh tukang sayur keliling. Tapi pengusaha supermarket menolak klaim Bang Nolly. Mereka bilang target pasar mereka berbeda dari tukang sayur. Target mereka ialah orang-orang menengah atas kota dan pekerja asing. Masing-masing sudah punya pasar sendiri. Lagipula, menurut mereka, supermarket memperoleh pasokan sayur dari petani dan pedagang di pasar tradisional. Jumlah supermarket di Jakarta mencapai 26 gerai memasuki 1980-an. Mereka mulai mendesak pasar tradisional. “Kini karena adanya persaingan antar supermarket itu sendiri, harga barang dengan mutu dan ukuran yang sama, jauh lebih murah di supermarket dibandingkan dengan di pedagang pengecer di luar supermarket , bahkan di kaki lima,” kata Tini Hadad, dulu sebagai sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) dalam Prisma, No 7, Juli 1987. S upermarket yang berani banting harga adalah Golden Truly. Pendirinya Sudwikatmono, pengusaha yang dekat dengan Presiden Soeharto dan taipan Liem Sioe Liong (Sudono Salim) yang memiliki bisnis makanan dari hulu ke hilir. Strategi Golden Truly tak hanya mengancam pengusaha supermarket lain, tapi juga peritel skala kecil dan menengah. Pemerintah daerah Jakarta mulai menerapkan aturan main untuk supermarket . Tercatat dua Surat Keputusan Gubernur keluar pada 1983 dan 1985. Pertama , SK No 240/1983 tentang kewajiban pengusaha supermarket menyediakan ruang usaha bagi pedagang golongan ekonomi lemah di bangunan supermarket . Kedua, SK No 241/1985 tentang ketentuan pendirian supermarket . Misalnya supermarket harus berbadan hukum. Ada pula ketentuan jarak antara pasar swalayan dan pasar tradisional. Berkisar dari 500 meter hingga dua kilometer. Tergantung besar kecilnya pasar tradisional tersebut. Selain itu ada larangan penggunaan istilah supermarket . Istilah penggantinya adalah pasar swalayan. Seiring waktu dan perubahan keruangan kota, aturan tersebut tak relevan lagi. Pasar swalayan pun mulai muncul di berbagai kota di luar Jakarta. Letaknya suka-suka. Seringkali berada di permukiman. Atau berdekatan dengan pasar tradisional dan usaha peritel skala kecil dan menengah.

  • Skandal Polisi Curup

    INSPEKTUR kepala JJ Harlingen bersemangat. Setelah “diistirahatkan” cukup lama, dia mendapat tugas baru sebagai komandan detasemen Polisi Lapangan (Veldpolitie) di Curup, Rejang Lebong, Bengkulu. “Korps Polisi Lapangan dan Dinas Reserse Daerah didirikan dalam tahun 1920. Adapun maksud pembentukan Polisi Lapangan adalah untuk menyelenggarakan keamanan di daerah luar kota,” tulis Soeparno Soeriaatmadja dalam Sedjarah Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik-Modern . Tugas baru itu menjadi kesempatan emas buat Harlingen, yang dikenal reputasinya sebagai polisi intelek, membuktikan kecakapannya sebagai polisi. Tugas itu sekaligus tempat untuk membuktikan dirinya tidak bersalah dalam penugasan sebelumnya di Muara Enim. Di Muara Enim, Harlingen kehilangan muka akibat lalai dalam tugas. Kelalaiannya membuat para bawahannya leluasa menggunakan kekerasan, hal yang penggunaannya hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, dan melakukan perampasan kebebasan secara melawan hukum. Kepolisian dan pemerintah pusat di Batavia dibuat malu. Jaksa agung langsung mencopot Harlingen dari jabatannya. Affair Harlingen memulai tugasnya di Curup pada Februari 1935. Selain bertanggung jawab atas keamanan 30 bawahan langsungnya dan wilayah Curup, dia bertanggung jawab mengawasi detasemen Polisi Lapangan yang ditempatkan di Moeara Anam dan Kroe. Beratnya tugas Harlingen tak semata berasal dari luas dan terpencilnya wilayah kerja saja. Penduduk setempat, yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil bernama marga yang dipimpin pasirah , memandang sebelah mata Polisi Lapangan dan penduduk Curup juga dikenal Harlingen, berdasarkan gambaran negatif dari pemerintah, sebagai masyarakat yang gemar merampok dan membunuh. Tantangan berat itu memicu semangat Harlingen untuk membuktikan kinerjanya. Dalam waktu sembilan bulan, Polisi Lapangan berhasil menuntaskan 76 kasus yang terkatung-katung penyelesaiannya sembari terus mengungkap kasus-kasus baru. Dengan bangga Harlingen menuliskan 15 kasus pembunuhan yang diungkap detasemennya di Majalah DePolitie edisi Desember 1935. Mayoritas pembunuhan, menurutnya, dilakukan penduduk Redjang dengan korban pendatang asal Jawa yang dikontrak untuk menggarap perkebunan. Motif pembunuhan umumnya masalah ekonomi dan kecemburuan sosial. Kasus pertama yang berhasil diungkap Polisi Lapangan adalah pembunuhan perempuan Jawa bernama Mar oleh pria Redjang bernama Moer. Kasus paling spektakuler dari kinerja anak buah Harlingen itu rekonstruksinya diabadikan menggunakan foto dan pelakunya menunjukkan tengkorak korban yang disembunyikan di bawah sebuah pohon. Tengkorak itu lalu diambil Harlingen dan diletakkan di meja kerjanya. “Tengkorak Ibu Mar menjadi perlambang dari keberhasilan Harlingen. Itulah yang menjadi titik tolak bagi ikhtiarnya untuk membersihkan untuk selamanya wilayah Redjang dari gerombolan penjahat yang dalam bayangannya sudah menjadi ancaman mengakar yang serius,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan . Namun, upaya Harlingen memajang tengkorak Ibu Mar justru menjadi blunder. “Tengkorak itu kerap digunakan oleh Harlingen untuk mengancam dan menakut-nakuti tersangka atau saksi, yakni agar mereka mau mengaku atau memberi keterangan yang diperlukan dalam penyidikan.” Pers mencium ketidakberesan penanganan kasus-kasus oleh detasemen Harlingen. Selain berangkat dari kecurigaan pada banyaknya kasus yang berhasil diungkap Polisi Lapangan dalam waktu relatif singkat, pers juga curiga terhadap banyaknya laporan saksi kepada jaksa agung mengenai banyak nama orang yang disebut sebagai korban pembunuhan ternyata masih segar-bugar. Pers mencurigai kasus-kasus yang diungkap Polisi Lapangan sebagai kasus fiktif. Hal itu diperkuat dengan tidak adanya korban yang berhasil ditemukan setelah Ibu Mar. Dalam pembuktian kasus-kasusnya, Harlingen hanya menyebut keterangan para saksi dan tersangka. Dari laporan para saksi dan tersangka, pers juga mendapati penggunaan kekerasan oleh polisi kepada saksi atau tersangka selama proses penyidikan.  Sorotan terhadap kinerja Polisi Lapangan makin tajam saat sebuah kasus diberitakan Javabode edisi 20 Oktober 1935. Kasus itu bermula dari penangkapan seorang tersangka. Saat digelandang ke markas Polisi Lapangan untuk diinterogasi, tersangka mencoba melarikan diri. Polisi terpaksa menangkap dan memukulinya sampai pingsan dan darah keluar dari hidung dan telinganya. Tersangka itu lalu dimasukkan ke dalam sel. Keesokan harinya, dia ditemukan tewas. Berita yang tersebar, tahanan itu kemungkinan bunuh diri. Kabar kematian tahanan itu membuat geger pemerintah di Batavia. Anggota Volksraad Soetardjo Kartohadikoesoemo pada 30 Oktober mendesak pemerintah menyelidiki kasus tersebut plus kinerja kepolisian Curup. Jaksa agung, yang sebelumnya kerap menerima surat aduan dari penduduk di Redjang, langsung menindaklanjutinya dengan memerintahkan Residen Bengkulu (dulu Bengkoelen) W. Groeneveldt untuk menyelidiki dan melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di Curup. Laporan Groeneveldt tidak memuaskan pemerintah pusat. Pada awal 1936, jaksa agung mengirim wakilnya, Van Maanen, untuk mengambilalih penanganan kasus di Curup. Begitu tiba di lokasi pada pertengahan Januari 1936, Van Maanen langsung melekakukan investigasi. Dia mewawancarai banyak orang: Harlingen, anggota Polisi Lapangan, pejabat kulit putih dan pribumi, korban, saksi, dan para pengirim surat aduan. Van Maanen juga memeriksa berkas-berkas terkait, mulai berita acara pemeriksaan polisi, buku register harian kepolisian, hingga berita acara Rapat atau perkumpulan yang terdiri dari pasirah dan masyarakat Redjang. Banyak kejanggalan dan pelanggaran serius oleh kepolisian dan pengadilan yang ditemukan Van Maanen. Namun, dia kesulitan memastikan apa yang sebenarnya terjadi di Curup. “Tidak ada satu pihak pun yang berdiri netral dalam kasus Tjoeroep. Semua pihak, para kepala marga, informan-mata-mata polisi, reserse, tersangka, saksi-saksi, para pelapor –bahkan juga komandan kepolisian setempat dan pemerintah Eropa (residen Van der Poel dan komisaris besar polisi, Wilten, keduanya lalai mengawasi kinerja polisi lapangan dan peradilan), memiliki agenda dan kepentingan yang berbeda-beda,” tulis Marieke. Meski dengan sangat hati-hati, Van Maanen menuliskan laporannya secara teliti dan kritis. Ada beberapa poin yang dilaporkannya. Antara lain, Polisi Lapangan Curup menggunakan metode penyidikan yang amat menyimpang dari prosedur, Polisi Lapangan menggunakan kewenangannya untuk merampas kebebasan secara melawan hukum, sembarangan dalam menetapkan status tersangka dan saksi, korup, intimidatif, dan intervensif terhadap proses pengadilan. Dari penyelidikan itu pula Van Maanen menemukan banyak kasus pengungkapan kasus pembunuhan yang dibanggakan Harlingen sebenarnya tidak pernah terjadi. “Van Maanen setidak-tidaknya mengungkap dua kasus laporan palsu. Salah satunya berkenaan dengan kasus pembunuhan Ibu Mar: rekonstruksi foto pembunuhan tersebut ternyata diperoleh berdasarkan keterangan seorang tersangka yang mendapat tekanan dan itu pun kemudian ia terbukti bukan pelakunya,” tulis Marieke. Atas temuan itu, Van Maanen merekomendasikan agar Harlingen dimutasi dan dihadapkan ke pengadilan pidana. Sementara mendiskusikan rekomendasi Van Maanen, jaksa agung memutuskan untuk membatalkan proses pemeriksaan pengadilan yang sedang berjalan dari kasus-kasus pembunuhan di Curup karena dianggap tidak berkekuatan hukum. Pemerintah pusat sepakat menganggap Skandal Curup mencemari kewibawaan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, para petinggi di pusat menjatuhkan sanksi administratif ringan kepada para pejabat pemerintahan lokal. Harlingen sendiri dipindahtugaskan ke Bengkulu pada Februari 1936 dan hanya diberi kewenangan mengerjakan pekerjaan administratif sementara tuntutan pidana terhadapnya tetap berjalan. Harlingen menjalani sidangnya di Raad van Justitie (pengadilan untuk golongan Eropa) Padang selama 14 hari pada Desember 1937. Meski jumlahnya sudah dikurangi, dakwaan terhadapnya meliputi tiga hal. Pertama , merampas kemerdekaan secara melawan hukum; kedua , pemalsuan surat; ketiga , menggunakan paksaan atau ancaman kekerasan untuk mendapat pengakuan. Pengadilan akhirnya memutus bebas Harlingen karena menganggap dakwaan yang dituduhkan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Pemerintah, tulis Marieke, akhirnya menyelesaikan perkara Harlingen dengan cara yang kerap dipergunakan untuk menutup kasus-kasus serupa. Pada awal 1939, Harlingen diberitahu akhir April harus sudah berhenti atau mundur dari kedinasan. Kesempatan emas itu dimanfaatkan Harlingen dengan mengajukan pengunduran diri. Dia mendapatkan pemberhentian dengan hormat. Nama baiknya selamat dari pencorengan publik. "Dengan mengambil tindakan setengah hati dan menyapu ‘cara kerja kepolisian yang jorok’ ke bawah karpet, negara kolonial berhasil mencegah eskalasi afair di atas menjadi skandal publik,” tulis Marieke.

  • Tukang Pukul dari Ternate

    TANPA kenal lelah, tangan kanan Richard Mainaky terus mengayunkan raket untuk memukul kok yang diumpan tangan kirinya. Laju demi laju deras kok itu lalu mengarah ke Gloria Emanuelle Widjaja yang berada di seberang net. Begitu intensnya Richard menggojlok skill antisipasi anak asuhnya itu sampai tumpukan kok yang ada ludes. Gloria merupakan satu dari beberapa anak didik Icad (sapaan akrab Richard Mainaky) di Pelatnas PBSI, di mana dia sudah lebih dari dua dekade jadi spesialis pelatih ganda campuran. Pagi itu, Jumat 11 Januari 2019, Icad sedang tidak membesut pasangan top Indonesia Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir lantaran keduanya sedang rehat untuk menghadapi Indonesia Masters 2019, yang –dihelat pada 22-27 Januari– akan jadi turnamen perpisahan Liliyana sebelum pensiun. Kendati usianya sudah 53 tahun, Icad masih segar dan fisiknya masih tegap dan kekar bak tukang pukul. Kerasnya genggaman saat bersalaman menandai reputasinya, yang kadang dijuluki “pelatih bertangan besi” atau “raja tega” oleh beberapa pemain binaannya. “Saya prinsip begini. Sebenarnya pelatih itu bukan pintar ya. Dia harus mau tegas, disiplin, kerja keras. Itu yang membuat atlet berhasil. Kalau pelatih cuma pintar tapi tidak tegas dan kerja keras, mau pemain bagaimanapun, akan sulit. Jadi saya punya prinsip harus tegas, agar pemain punya disiplin dan semua harus jalan,” ujarnya kepada Historia. Perantau dari Indonesia Timur Lahir di Ternate, Maluku Utara pada 23 Januari 1965, Richard Leonard Mainaky memiliki perangai keras. Icad gemar bertualang, berburu kelelawar, hingga berkelahi. Dalam 50 Kisah Sukses dan Inspiratif Diaspora Indonesia karya Fairuz Mumtaz disebutkan, Icad jadi anggota Dinasti Mainaky pertama yang lantas jadi panutan empat dari enam adiknya: Rionny Frederik Lambertus Mainaky, Rexy Ronald Mainaky, Marleve Mario Mainaky, dan Karel Leopold Mainaky. Richard Leonard Mainaky saat ditemui di Pelatnas PBSI. (Randy Wirayudha/Historia) Icad dan adik-adiknya dikenalkan bulutangkis oleh ayahnya, Jantje Rudolf Mainaky. “Papi saya itu juara bulutangkis se-Maluku. Jadi Papi saya kirim kita semua main bulutangkis. Padahal dulu zaman kecil, bukan itu cita-cita kami. Saya ingin jadi tentara. Rexy sebenarnya hobi sepakbola, Marleve senangnya tinju,” kenang Icad. Icad diarahkan bulutangkis oleh pamannya saat sudah diajak merantau ke Jakarta. Dia lalu masuk PB 56 dan dilatih Darius Pongoh, ayah dari pebulutangkis era 1980-an Lius Pongoh. Saat PB 56 bubar, Icad dibawa Darius ke PB Tangkas hingga mampu menembus Pelatnas PBSI Senayan pada 1989. Sayang, di Pelatnas kariernya kurang moncer. Penyababnya, tulis Broto Happy Windomisnowo dalam BaktikuBagiIndonesia , kemungkinan lantaran pelatih Christian Hadinata dan Atik Djauhari kerap membongkar-pasang Icad. Hingga awal 1990, Icad bergonta-ganti spesialisasi dari tunggal putra ke ganda putra, lantas ke ganda campuran. Dari gonta-ganti itu pula Icad punya banyak pasangan. Bermula dari Joko Mardianto, Icad lalu berpasangan dengan Icuk Sugiarto, Aryono Miranat, Imay Hendra, Bagus Setiadi, Thomas Indratjaya, hingga Ricky Subagdja. Tapi sampai diduetkan dengan Ricky, karier Icad pun sulit terdongkrak. Prestasi terbaik Icad bersama Ricky hanya menjuarai Polish International pada 1991. Tiga tahun berselang Icad, mundur dari Pelatnas. Dari debt collector ke pencetak juara Setelah pensiun dari Pelatnas, Icad ikut melatih di PB Tangkas selama dua tahun. Tapi lantaran masih banyak waktu luang, Icad sering ikut pamannya jadi debt collector alias penagih hutang. “Sambil melatih kan banyak lowong (waktu) ya. Ya namanya kita dari Maluku, kan . Kebetulan ada saudara saya, Om saya, semua kan memang pekerjaannya begitu. Ada yang jadi bodyguard lah, ada yang jadi preman lah, ada yang jadi tim debt collector.Nah , saya sempat ikut nagih-nagih hutang,” tutur Icad. Pada 1996, Icad kembali terjun ke dunia bulutangkis dengan menjadi pelatih di Pelatnas. “Awalnya sudah mulai keenakan jadi debt collector , tapi lalu dipanggil Koh Chris (Christian Hadinata). Ya saya senang. Beruntunglah saya. Kalau Koh Chris enggak panggil, mungkin ya bisa keterusan. Bisa-bisa jadi kayak John Kei, hahahaha …,” ujar Icad sambil bercanda. Selain banyak belajar dari Christian Hadinata, Icad mengaku mengandalkan insting dalam melatih. Takdir mengatakan, Icad ternyata lebih sukses jadi pelatih ketimbang jadi pemain. Kesuksesan Icad melatih dibuktikan antara lain dari prestasi duet ganda campuran Tri Kusharjanto/Minarti Timur yang prestasi tertingginya meraih medali perak Olimpiade Sydney 2000 dan keberhasilan Nova Widiyanto/Liliyana Natsir juara dunia tahun 2005. Icad kemudian membesut Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (Owi/Butet). Keduanya berhasil juara All England, Kejuaraan Dunia, dan yang paling membanggakan, meraih medali emas Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro. Hampir bersamaan dengan masuknya Liliyana Natsir ke PB Djarum, Icad juga turut bergabung ke PB Djarum. Sejak 2018, Icad turut membantu memantau bibit-bibit muda di Audisi Umum PB Djarum selain sibuk mempersiapkan pasangan Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti untuk jadi penerus Owi/Butet.

  • Dagelan Politik, Agar Bangsa Sehat Jasmani-Rohani

    SELAIN Jokowi-Makruf Amin dan Prabowo-Sandi, ada pasangan calon (paslon) lain yang wajahnya terpampang dalam poster debat. Mereka adalah Nurhadi-Aldo yang populer disingkat Dildo. Dengan wajah penuh senyum, mengenakan peci, dan kemeja putih, foto paslon Dildo dipajang sejajar dengan dua paslon lain. Namun apa daya, pada debat pilpres 17 Januari 2018 lalu, Nurhadi-Aldo tak dapat menyampaikan pendapat. Mereka pun minta maaf lewat akun Instagram -nya. “Kami paslon No. 10 belum sempat mengutarakan pendapat kami, namun sudah terpotong oleh iklan.” Nurhadi-Aldo memang tak pernah benar-benar mencalonkan diri dalam pilpres. Nurhadi merupakan seorang tukang pijat di Kudus, Jawa Tengah. Semantara, Aldo adalah tokoh fiktif. Wajah rekaan Aldo, gabungan dari dua foto politisi terkenal. Mereka adalah paslon fiktif yang dibuat sekelompok anak muda penggemar shitposting, kegiatan berbagi konten “nirfaedah berkualitas rendah” untuk hiburan, seperti laman Facebook Semiotika Adiluhung 1945 dan Penahan Rasa Berak. Poster debat yang memajang wajah Nurhadi-Aldo pun sebatas guyonan. Poster Debat Pilpres fiktif dari akun Instagram Nurhadi-Aldo. Di tengah ketegangan politik, kehadiran mereka menjadi oase lewat kampanye nyeleneh -menggelitik seperti memberantas korupsi dengan menghilangkan lema korupsi dari KBBI atau mengurangi angka pengangguran dengan menggaji dan menjadikan pengangguran sebagai sebuah profesi. Kampanye Nurhadi-Aldo juga mengandung kritik berbalut humor. Antara lain, menjadikan para petani sebagai PNS golongan O agar kehidupan mereka lebih sejahtera atau reboisasi hutan gundul dengan Dildo Pylox yang akan mengecat seluruh tanah tandus menjadi hijau. Capres fiktif Nurhadi memang hadir sebagai dagelan politik. Mereka memancing gelak tawa di tengah perdebatan sengit kedua kubu pendukung yang sering berujung saling caci dengan mengatai cebong atau kampret. Dalam wawancara dengan Muammar Fikrie, “Cerita di Balik Kampanye Satire Nurhadi-Aldo”, Edwin selaku tim sukses (pengelola akun sosial media) Nurhadi-Aldo mengatakan, Dildo hadir sebagai hiburan di tengah kejengahan polarisasi politik di media sosial. “Dildo lahir sebagai penengah konflik dan hiburan rakyat,” kata Edwin sebagaimana diberitakan Beritagar.id. Kehadiran mereka disambut meriah warganet. Per 21 Januari 2018, pengikut Nurhadi-Aldo di Instagram mencapai 454 ribu, di Twitter mencapai 102 ribu, dan 181 ribu di Facebook . Jumlah ini mengalahkan Instagram resmi Jokowi-Makruf Amin dengan 3214 pengikut, dan Prabowo-Sandi yang mencapai 272 ribu. Dagelan Politik Pasca-Orba Di bawah pohon mangga Taman Budaya Surakarta, Sosiawan Leak berkumpul bersama rekan-rekan seniman. Ada Murtidjono, Suatmadji, dan Ki Slamet Gundono. Kantin Sorlem ( ngisorwitpelem , bawah pohon mangga) begitu mereka menyebutnya. Di kantin itu, mereka membincangkan euforia politik pasca-Orde Baru. Kala itu banyak partai bermunculan sebagai bentuk kekagetan atas kebebasan berpolitik pasca-kelengseran pemerintahan represif Soeharto. Data dari Almanak Parpol Indonesia yang diketuai Julia Suryakusuma menyebut, per Maret 1999 ada 180 nama partai yang beredar. Beberapa partai baru bahkan secara tegas mengakui sebagai penjelmaan yayasan sosial, kelompok kekerabatan, organisasi profesi, atau pecahan organisasi massa besar. Ada pula partai yang berasal dari komunitas lokal setingkat RT atau kelompok mahasiswa. Ramainya kemunculan partai politik, tulis Harry Wibowo dalam “Era Banyak Partai” yang dimuat Almanak Parpol Indonesia, merupakan hentakan awal dalam transisi menuju demokrasi. Pendirian partai yang berasal dari beragam kelompok masyarakat ini kebanyakan punya kinerja, kematangan, dan kesiapan organisasi yang minim. Hal ini menjadi penanda, meningkatnya kuantitas partai tak serta-merta mengubah kualitas perpolitikan. Sebab, kiat pendirian partainya semata “mumpung masih bebas”, lantas partai didirikan. Urusan lain belakangan. “Kalau semua orang jadi politikus kan repot juga. Partainya juga aneh-aneh, seolah serius semua. Padahal banyak yang nggak jelas juga waktu itu,” kata Sosiawan sambil tertawa kepada Historia . Murtidjono yang kala itu menjabat sebagai kepala Taman Budaya Surakarta lantas punya ide untuk mendirikan partai sebagai bentuk sindiran. Ide Murti, begitu ia disapa, disambut baik rekan-rekannya. Murti, Sosiawan, Ki Slamet Gundono, dan Suatmadji lantas menghubungi jaringan seniman untuk menggalang dukungan deklarasi pendirian partai. Segala keperluan partai mereka lakukan dengan kerja bakti gratisan yang serius namun tetap bernuansa humor. Pelukis Suatmadji merancang logo partai yang menyimbolkan kasih sayang, Toriq menjadi penasihat hukum, dan ahli keris Sugiatno menjadi penasihat spiritual. Maka, jadilah Partai Seni dan Dagelan Indonesia (Parsendi). Logo Parsendi rancangan Suatmadji. Garis takterputus menyimbolkan kasih sayang. “Parsendi itu guyonan, sindiran. AD/ART partai juga isinya ndagel semua. Tapi walaupun guyon, harus niat buatnya. Kami juga punya penasihat politik, salah seorang anggota DPRD Solo. Kalau sekarang kayak paslon Nurhadi-Aldo kan nggak mungkin juga mereka nyalon beneran,” kata Sosiawan . Ketika perangkat organisasi sudah siap, Parsendi mengadakan deklarasi pendirian partai di Aula SMKI Surakarta pada 28 Oktober 1998. Sebuah kursi dipajang di depan panggung sebagai simbol tahta. Beberapa seniman, pelawak, dan penyair hadir dalam deklarasi tersebut, seperti Tarzan, I Wayan Sadra, Budi Buyek, dan Idrus Tintin. Selaku penggagas utama pendirian partai, Murti lantas menyampaikan deklarasi yang berisi dagelan. Ketika pemilihan ketua umum partai, Yati Pesek dan Tarzan muncul sebagai calon terkuat. Dalam Basis vol . 47, kedua calon kuat itu tidak bersedia menjadi ketua. Maka terpilihlah pelawak Sri “Milko” Mulyati secara aklamasi. Milko yang buta huruf sengaja dipasang untuk meledek partai-partai politik yang asal-asalan muncul. Ketika harus pidato, misalnya, alih-alih menyampaikan dengan serius, Milko malah bercanda. “Saya tidak siap dialog, tapi siap diolok-olok,” katanya. Selain Milko sebagai ketua umum, terpilih pula Murti sebagai ketua harian, Ki Slamet Gundono sebagai sekretaris jenderal, dan Sosiawan sebagai wakil sekretaris jenderal. Agar wacana sindiran Parsendi meluas ke tingkat nasional, para pengurus partai berkirim surat kepada jaringan seni-budaya mereka untuk mendirikan kantor cabang di daerah masing-masing. Usaha itu berhasil. Parsendi mendapat sorotan dari media massa dan pengamat politik, salah satunya peneliti LIPI Mochtar Pabottinggi. “Parsendi sebenarnya cuma ingin menyampaikan politik yang tidak kaku, yang tidak gontok-gontokan, yang bisa mengubah teman jadi musuh. Saya ingat Mochtar Pabottinggi pernah bilang kemunculan Parsendi memberi angin segar buat situasi politik Indonesia yang lagi tegang karena banyak bermunculan partai baru,” kata Sosiawan. Setelah pesan sindiran mereka berhasil ditangkap masyarakat, Sosiawan dan Murti tenang-tenang saja. Namun, kawan-kawan di daerah yang telanjur membuat kantor perwakilan meneruskan langkah guyonan itu menjadi serius dengan mendaftarkan Parsendi dalam pemilu. Padahal sebelumnya, dalam pertemuan antarpartai di UGM, Murti dengan tegas mengatakan Parsendi tak berminat ikut pemilu. Desakan dari anggota di daerah akhirnya membuat Murti mendaftarkan Parsendi meski hasilnya tak lolos verifikasi. “Pendirian Parsendi menjadi bagian dari kritik lewat karya seni dengan skenario politik. Bikin dagelan kan juga harus niat,” kata Sosiawan.

  • Pernikahan Orang Jawa Kuno

    Ketika seseorang menikah, pertama-tama dia akan pergi ke rumah mempelai perempuan untuk menyelesaikan pernikahan ini. Tiga hari kemudian dia membawa sang istri pulang ke rumah. Pada saat itu, kerabat mempelai perempuan menabuh genderang dan gong tembaga, meniup tempurung kelapa, menabuh genderang bambu, dan menyalakan kembang api. Sejumlah pria bersenjata pedang pendek mengelilingi mereka. Rambut sang mempelai perempuan dibiarkan tergerai. Bagian atas tubuhnya tidak ditutupi pakaian. Kakinya tak mengenakan alas kaki. Sehelai kain hijau bercorak bunga dililitkan di pinggangnya. Rangkaian manik-manik emas menghiasai kepalanya. Gelang emas dan perak yang indah menghiasi pergelangan tangannya. Para kerabat, rekan-rekan dan tetangga membawakan daun sirih dan pinang. Mereka merangkai bunga dan dedaunan membentuk sebuah kapal kecil. Barang-barang ini mereka bawa bersamaan dengan kepindahan keduanya sebagai bentuk ucapan selamat. Setelah tiba di rumah mereka menabuh genderang dan gong dan bergembira selama beberapa hari. Kemudian mereka semua pulang. Gambaran perkawinan itu dicatat oleh Ma Huan dalam jurnal perjalanannya ke Jawa, Yingya Shenglan, pada 1416. Menurut catatan itu, pernikahan pada masa Jawa Kuno tak banyak berbeda dengan masa kini. Perhelatan pertama dilakukan di kediaman pengantin perempuan. Beberapa hari kemudian di kediaman pengantin pria atau yang kini di sebut ngunduh mantu. Selain kesaksian penerjemah Cheng Ho itu, perkawinan masa Jawa Kuno juga disebut dalam beberapa prasasti. Arkeolog Dwi Cahyono menyebut Prasasti Pucangan dari tahun 1042 M yang memberitakan tragedi pernikahan antara Airlangga dan putri Dharmawangsa Teguh. Prasasti Mantyasih (907 Masehi) yang ditulis atas perintah Raja Balitung berisi tentang lima orang patih di daerah Mantyasih yang berjasa mempersembahkan kerja bakti untuk perkawinan raja. “ Wurangan haji , kata warangam berarti pesta perkawinan (untuk anak), dengan menjaga keamanan di Desa Kining yang penduduknya selalu merasa ketakutan,” kata Dwi. Keterangan tata cara perkawinan pada masa Jawa Kuno juga bisa didapatkan dari kitab susastra. Kitab Wangbang Wideya  mengemukakan perkawinan Panji Wireswara dan putri mahkota Daha diselenggarakan di Balairung. Hikayat Panji Kuda Semirang  menyebut pernikahan di Daha diselenggarakan di Bale Tejamaya. Beragam panganan disajikan untuk para tamu. Dalam pesta perkawinan itu, menurut Sumanasantaka,  para tamu undangan memberikan sembah penghormatan kepada mempelai. Dalam kakawin itu, dikisahkan tujuh orang paratanda bergegas mengelilingi mempelai secara bergantian dengan diiringi bunyi padahi dan sorak-sorai para hadirin. Pemberkatan nikah Pada masa lalu berkat nikah menjadi salah satu sesi penting dalam prosesi penikahan. “Bahkan, untuk mendapatkan berkat nikah itu, rombongan calon pengantin mesti berpayah-payah menempuh perjalan jauh ke tempat persemayaman rohaniawan yang berkompeten memberi peresmian serta berkat nikah,” kata Dwi. Kidung Panji Margasmara  yang ditulis era Girindrawarddhana (Majapahit akhir), mengisahkan perjalanan panjang dari Singhasari ke Mandala Kukub atau Sunyasagiri di lereng selatan Gunung Semeru. Ken Candrasari (putri Rangga Singhasari) dan Jaran Warida (putra pendeta sepuh Kagenengan) bermaksud mendapatkan berkat serta peresmian nikah tetapi batal. Mandala Kukub, kata Dwi, adalah situs dari abad ke-15 M yang terletak di Supiturang pada areal pekebunan Gerbo sekarang. Di sana, pernah ditemukan tiga buah prasasti. Satu di antaranya memuat teks ‘ tulusamilu sa den kadi botingakasa lawan pratiwi sorga kabuktiha’ . “Prasasti pendek ini mirip dengan isi Prasasti Pasrujambe yang memuat nasihat nikah iki pangestu yang mami, guru-guru yen arabi den kadi boting ngakasa lawan pratiwi papa kabuktihi ,” kata Dwi. Gambaran pemberian berkat pernikahan juga dijumpai dalam  Kakawin Sutasoma . Di sini dikisahkan ketika perkawinan antara Sutasoma dan Candrawati, di langit para dewa, rsi, dan para ahli filsafat besar memanjatkan doa, mantra, dan himne pemberkatan dari kitab suci Wedha. Sementara dalam Wangbang Wideya dikisahkan pernikahan Panji Wireswara dan putri mahkota kerajaan Daha. Waktu itu, para Brahmana terkemuka dan para punjangga menyanyikan himne-himne pujian. Pemberkatan nikah dilakukan oleh Mpu Brahmaraja. Itu diiringi gong, tatabuhan, genta-genta, peret, dan sangkha. Pada bagian lain dari susastra ini, muncul kisah perkawinan putri Tilakusuma dan Srenggayuda di Gegelang. Kedua mempelai mengucap janji kawin. Lantunan himne pujian dengan iringan padahi dan curing pada upcara perkawian juga dijumpai informasinya dalam Kitab Sumanasantaka . Di sini yang ceritakan adalah perkawinan Aja dan Indumati. Kedua mempelai melakukan pemujaan kepada Dewa Agni, lantas diteruskan dengan upacara di bawah pimpinan pendeta Siwa dan Sugata (Buddha). Setelah pemberkatan nikah, kedua mempelai diarak dalam kemerihan pesta pernikahan. Terkait itu, Hikayat Panji Kuda Semirang mengkisahkan bahwa perkawinan di Daha, bertempat di Bale Tejamaya. Pasangan pengantin diarak keliling alun-alun dengan tandu-tandu berbetuk garuda, naga wilmana sambil menyaksikan tenda-tenda di mana beragam seni pertunjunkan digelar. Arak-arakan ini menuju ke arah pesanggrahan. Begitulah dalam berbagai susastra mendeskripsikan peristiwa perkawinan keluarga raja secara penjang lebar. Sayangnya, belum diperoleh data visual pernikahan itu di relief candi. “Kendati begitu, kandungan data yang cukup banyak dalam beragam sumber-sumber data itu cukup untuk merekonstruksikan prosesi pawiwahan hageng pada masa Hindu-Buddha,” kata Dwi.

  • Salim Said: Mereka Mestinya Baca Dulu

    Untuk kesekian kalinya, aparat TNI melakukan razia buku. Jenis buku yang disasar dari tahun ke tahun masih sama: seputar Peristiwa 1965 yang berkaitan dengan PKI. Baru-baru ini, pihak Kodim (Komando Distrik Militer) 0312 bersama tim Kejaksaan Negeri di Padang menggeledah sejumlah toko buku dan menarik buku-buku yang dicurigai menyebarkan ideologi komunis. Aparat sekonyong-konyong mengadakan razia tanpa kajian terlebih dahulu. Beberapa literatur yang diamankan itu merupakan hasil penelitian akademis ataupun reportase jurnalistik. Mereka memasuki domain sipil dengan dalil melaksanakan TAP MPR No. 23 tentang pelarangan ajaran komunisme. Salah satu buku yang masuk daftar sita adalah Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto karya Profesor Salim Haji Said. Buku itu merupakan bagian kecil dari memoar Salim yang berjudul Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian yang diterbitkan Penerbit Mizan pada 2015. Beberapa bagian mengungkapkan kesaksian Salim tentang apa yang sebenarnya terjadi menjelang, selama, dan sesudah Gestapu. Salim ketika itu telah melek politik karena merupakan aktivis mahasiswa UI di samping menyambi sebagai wartawan. Menilik latar belakang penulisnya, buku ini bersifat semi otobiografi yang dituturkan dengan gaya tutur reportase naratif. Dalam pengantarnya, Salim mengatakan bahwa buku itu diterbitkan bertepatan dengan peringatan 50 tahun Gestapu (Gerakan 30 September 1965) dan percobaan kaum komunis menguasai Indonesia. Melalui buku itu, Salim juga ingin mengenang korban-korban yang tewas, terpenjara, atau terbuang akibat aksi kaum komunis. Singkat kata, buku terebut dipersembahkan Salim kepada publik untuk memperingati kegagalan PKI. “Mestinya kan mereka baca dulu. Atas dasar baca itu baru mereka bertindak. Bahwa ini ada kekeliruan karena mereka tidak baca,” kata Salim Said kepada Historia . Menurut Salim tindakan razia itu menjadi masalah karena aparat tidak melakukan telaah terhadap isinya. Kalau saja mereka membaca sebelumnya, maka bisa diketahui mana buku yang perlu disita dan mana yang tidak perlu. Salim sendiri tidak heran soal kecerobohan tentara seperti ini menyadari minat dan daya baca mereka yang rendah. “Ya baca saja buku itu, jelas kok. Buku saya itu bukan propaganda PKI. Jadi ya, karena keliru saja, kurang waktu untuk membaca. Tapi itulah kelemahan kita. Malas membaca. Nah, terjadilah hal seperti itu, ujar Salim. Kelakuan tentara yang merazia buku ini terasa konyol andai mereka mengetahui siapa sosok Salim Said. Pada 1965, Salim merintis karier jurnalistiknya sebagai wartawan Angkatan Bersendjata , koran partisan dari TNI AD. Salim kemudian lebih dikenal sebagai jurnalis Tempo dan kritikus film. Di bidang akademis, Salim merampungkan studi doktoralnya di Ohio University dengan menulis disertasi tentang peran politik militer era revolusi berjudul “Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-49” (1991). Hingga kini, Salim berkhidmat sebagai guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan yang menjadi tempat bagi para perwira TNI menimba ilmu akademiknya. Dia juga tercatat sebagai penasihat politik Kapolri, pengajar di Sekolah Staf dan Komando TNI AD, AL, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Dalam arus publisitas, namanya kondang sebagai pengamat politik dan militer. “Mestinya pimpinan dari penyita itu mendidik bawahannya bagaimana cara menyita buku. Tidak bisa begitu saja datang ke toko buku lalu menyita buku," kata Salim Said. Meski terkesan semena-mena, Salim dapat memahami tindakan aparat yang asal saja mencokok bukunya dari rak lantaran fobia yang diwariskan dari masa ke masa. Sebabnya, Salim mengusung judul  bukunya “Gestapu 65” yang langsung diasosiasikan sebagai buku PKI. Pun demikian, Salim mengaku tenang-tenang saja menyikapi apa yang terjadi terhadap karyanya. Dia tidak tersinggung atau marah. Buku itu sendiri telah masuk cetakan keempat dan telah beredar luas sejak penerbitannya yang pertama kali. “Saya tidak tersinggung, tidak marah," lanjutnya. “Ya begitulah bangsa kita, bertindak tidak berdasarkan informasi yang cukup.”

  • Ketua Umum PSSI Mundur karena Malu

    KEJUTAN datang dari Kongres PSSI di Sofitel Hotel, Nusa Dua, Bali, Minggu 20 Januari 2019. Di hadapan para peserta kongres, Edy Rahmayadi menyatakan mundur dari jabatannya sebagai ketua umum. Selain karena ingin fokus mengurus Sumatra Utara sebagai gubernur, Edy menyangkal ingin lari dari masalah yang melanda PSSI belakangan ini. Sebagaimana diketahui, belakangan sepakbola Indonesia kembali diguncang “gempa dahsyat” bernama skandal pengaturan skor. Satgas Antimafia yang dibentuk Kapolri sudah menciduk sepuluh tersangka match fixing . Kendati begitu, eks Pangkostrad itu mengaku keputusannya mundur bukan ingin menghindar dari perkara itu. “Biar saya keluar demi PSSI yang lebih baik. Demi Allah bukan karena saya mau menyerah. Tapi kepentingan bangsa ini segala-galanya. Saya mundur bukan karena saya tak bertanggung jawab. Mudah-mudahan wartawan membantu PSSI lebih baik,” kata Edy dalam pidatonya, dikutip Kumparan , Senin 21 Januari 2019. Edy Rahmayadi menyerahkan jabatan kepada Joko Driyono (pssi.org) Dengan begitu, menurut statuta PSSI, Wakil Ketua Umum (Waketum) Joko Driyono akan menjadi pelaksana tugas (plt) hingga masa periode resmi Edy berakhir pada 2020. Tapi toh setelah pengangkatannya sebagai plt, tetap deras di lini masa media sosial muncul tanda pagar #JokoDriyonoOut. Pertanda bahwa sebagian pecinta bola menginginkan sosok pemimpin dari “rezim” berbeda. Belum lagi Joko Driyono juga masuk di daftar figur yang mesti ikut diperiksa Satgas Antimafia Polri sebagai saksi. Sepakbola gajah Guncangan terhadap PSSI hingga mundurnya sang ketum bukan terjadi kali ini saja. Sekira 24 tahun lalu, Azwar Anas juga mundur sebagai ketum PSSI karena timnas Indonesia melakoni dagelan “sepakbola gajah” di Piala Tiger 1998 (kini AFF Cup). Mundurnya Azwar mengharuskan Agum Gumelar mengisi jabatannya. Retno Kustiati dan Fenty Effendy dalam biografi Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani mengungkapkan insiden “sepakbola gajah” terjadi pada 31 Agustus 1998, tatkala timnas Indonesia meladeni Thailand di partai terakhir Grup A Piala Tiger. Dalam laga yang berjalan alot dengan kondisi lapangan Thống Nhất Stadium yang buruk itu, Indonesia sengaja kalah 2-3 dari Thailand. “Mursyid Effendi, bek timnas Indonesia, melakukan gol bunuh diri sehingga membuat Indonesia kalah 2-3. Sebenarnya, sejak awal kedua tim ini tidak menunjukkan sportivitas berolahraga. Baik Indonesia maupun Thailand sama-sama tidak mau menang karena menghindari bertemu tuan rumah Vietnam di semifinal. Thailand memang tidak sportif tapi Indonesia lebih tidak sportif lagi dengan gol bunuh diri itu,” tulis Retno dan Fenty. Di semifinal, Indonesia dikalahkan Singapura (1-2) yang keluar sebagai juara setelah mengalahkan Vietnam (1-0). Sedangkan Indonesia menempati posisi ketiga setelah mengalahkan Thailand melalui adu penalti (5-4). Skandal itu membuat FIFA menjatuhkan sanksi: Mursyid dilarang bertanding seumur hidup, dan masing-masing federasi Indonesia dan Thailand didenda US$40 ribu. Insiden ini juga jadi tamparan keras buat Azwar Anas. “Ya, Azwar Anas sangat terpukul, dan sebagai pemimpin, sebagai ketua umum PSSI yang bertanggung jawab, dia mengundurkan diri secara ksatria,” tulis Abrar Yusra dalam biografi Azwar Anas:Teladan dari Ranah Minang. Azwar Anas (kiri). (Repro Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang ). Keputusan Azwar mengundurkan diri telah bulat setelah Agum Gumelar berkenan menggantikannya. “Tolonglah, Gum. Bapak sudah capek,” ungkap Azwar kepada Agum. Keputusan mundur Azwar diumumkan pada akhir Agustus 1998. “Saya mundur secara ksatria. Orang-orang angkatan saya masih bekerja menurut nilai-nilai. Kami tidak bekerja dengan target utama mencari uang, meskipun uang itu perlu. Kehormatan atau martabat adalah yang nomor satu. Kami tidak sanggup menahan rasa malu, apalagi malu sebagai bangsa! Meskipun demikian, saya tidaklah heran jika ada yang berpendapat bahwa sikap saya terhadap kasus-kasus sepak bola gajah berlebih-lebihan,” kata Azwar . Agum baru secara resmi diangkat jadi pejabat ketua umum pada Sidang Paripurna PSSI pada 30 Oktober 1998. Azwar mengaku percaya pada Agum yang berjanji membenahi PSSI dari sisi organisasi maupun SDM. “Dia bukan orang baru di PSSI. Saya kenal betul dengannya ketika kami sama-sama menjadi pengurus PSSI pada tahun 1991 hingga 1995,” kata Azwar.

  • Charlie Chaplin Berkunjung ke Garut

    PRESIDEN Joko Widodo mengadakan kunjungan kerja ke Bandung, Jawa Barat (17/1). Dari Bandung, Jokowi menuju Kabupaten Garut dengan kereta api untuk meninjau panel reaktivasi jalur kereta api Cibatu-Garut. Dalam akun twitter -nya, Jokowi mencuit: “Komedian legendaris abad ke-20 Charlie Chaplin pernah dua kali berlibur ke Garut dengan kereta api. Jalur yang dilewati Charlie Chaplin di Garut kini jadi rel mati dan akan kita hidupkan lagi untuk pengembangan kawasan wisata dan perekonomian.” Menurut Haryoto Kunto, yang dijuluki “kuncen Bandung”, dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997 , Garut merupakan kota kecil yang sering dikunjungi kaum preangerplanters (tuan-tuan perkebunan) , yang dihubungkan oleh jalur kereta api, di mana Stasiun Cibatu merupakan tempat alih kereta rute Bandung-Surabaya. Ayahnya yang pernah menjadi kepala Stasiun Cibatu (1935-1940) menceritakan, lebih dari selusin sedan taksi dan limousine tua milik hotel parkir di pelataran stasiun untuk menjemput wisatawan mancanegara dan tamu-tamu penting yang akan bertamasya dan liburan di Garut. Garut yang berhawa sejuk dan sempat dijuluki Paradijs van het Oosten (Surga dari Dunia Timur), memiliki sejumlah objek wisata alam yang indah. Sebut saja Situ Bagendit, pemandian air panas di Cipanas Tarogong, situs Candi Cangkuang di Leles atau Talaga Bodas di Wanaraja. Para wisatawan juga bisa melancong ke perkebunan Pamegatan di Cikajang, lalu mampir menginap di Landhuis Darajat. Mereka juga bisa mendaki Gunung Cikuray atau Gunung Papandayan untuk melihat Kawah Manuk serta naik kuda di Engelsche Park (Taman Inggris) yang asri di puncak gunung tersebut. Keindahan arsitektur bangunan rumah tradisional Sunda dari puncak Gunung Papandayan juga menjadi objek wisata yang manarik hati pelancong mancanegara. Untuk menunjang pariwisata di Garut, pengurus Nederlandsch Indische Hotelvereeniging atau The East Indian Traveling and Tourist Office (EITTO) membangun hotel, pesanggrahan, restoran, dan obyek wisata, serta melengkapinya dengan sarana transportasi. Menurut Kunto, hotel tertua di Garut adalah penginapan milik keluarga Van Horck yang kemudian menjadi Hotel Van Horck dan sudah ada sejak tahun 1880-an. Penulis Belanda, Justus van Maurick, yang menginap di hotel itu tahun 1895 terkesan dengan pelayanan dan keramahan Nyonya Van Horck. Dalam sebuah buku, dia menulis: “Wajah anda yang ramah, mulut anda yang bergigi putih penuh gelak tawa, mengiklankan kenyamanan bagi hotel yang anda kelola dengan baik ini!” Lantaran pelayanannya yang ramah itu, Hotel Van Horck dikenal luas masyarakat Eropa, terutama di negeri Belanda. Sehingga dari tahun ke tahun, tamu asal mancanegara yang menginap di Hotel Van Horck semakin berjubel. Sampai akhirnya hotel ini harus memperluas beberapa ruangan dan menambah jumlah kamarnya. Fr. J.A. van Es, ketua Nederlandsch Indische Hotelvereeniging (NIH), orang pertama yang merintis kerja sama antarhotel di Priangan. Pada 1921, Hotel Savoy Homann bekerja sama dengan Hotel Van Horck. Kemudian diikuti hotel lainnya, seperti Hotel Papandayan di Garut dan Grand Hotel Selabatu di Sukabumi. Selain itu, NIH juga membangun sebuah pesanggrahan di Pantai Pameungpeuk, Garut Selatan yang menyajikan hidangan ala Eropa. Di Garut juga terdapat Hotel Villa Dolce yang memiliki pelayanan bertaraf internasional. Menyusul Sanatorium Garoet dan Grand Hotel di Ngamplang, Hotel Villa Pauline di Cisurupan dan pesanggrahan milik Ondernaming Waspada di Lereng Gunung Cikuray yang dilengkapi een Kleine mooi masigit (mesjid mungil nan cantik) milik Tuan Holle, seorang preangerplanters yang dianggap sahabat oleh masyarakat Garut. Sejak saat itu, menurut Kunto, hotel dan objek wisata di Garut makin terkenal di mancanegara. Beberapa orang penting yang pernah berkunjung dan menginap di Garut antara lain Perdana Menteri Prancis Georges Clemenceau yang menginap di Grand Hotel Ngamplang selama tiga hari pada akhir tahun 1920-an. Perdana Menteri Prancis Georges Clemenceau. (Bundesarchiv/Wikimedia Commons). Aktor komedi Charlie Chaplin berkunjung ke Garut pada 1932 (ada sumber yang menyebut tahun 1927). Dia ditemani aktris Mary Pickford. Kunjungan keduanya pada 1936 (sumber lain menyebut tahun 1935 dan 1938) ditemani aktris Paulette Goddard. “Mustahil Si Chaplin sampai berkunjung dua kali ke Garut bila pemandangan daerah ini tidak indah dan memikat hati,” tulis Kunto. Dalam buku lain, Semerbak Bunga di Bandung Raya , Kunto mencatat, dalam kunjungannya ke Garut, Charlie Chaplin sempat menginap di Hotel Villa Dolce. Kamar hotel yang ditiduri Chaplin kemudian selalu menjadi incaran para tamu yang mau menginap. Namun, menurut tulisan di naratasgaroet.net, Charlie Chaplin yang ditemani saudaranya, Sydney Chaplin, menginap satu malam di Grand Hotel di Ngamplang. Mereka tiba di Garut tanggal 30 Maret 1932 malam. Tulisan berjudul “Charlie Chaplin dan Kenangan Guguling ‘the Dutch Wife’ (1932)” itu menyebut Chaplin terkesan dengan Dutch wife atau guling, temannya bantal: “Di sinilah saya menemukan pengalaman pertama saya dengan Dutch wife , yang kalau anda tinggal di daerah tropis untuk waktu yang lama, maka anda akan mengetahui bahwa anda sangat memerlukannya.” Chaplin dan Sydney menikmati kawah Papandayan, Situ Cangkuang, dan Situ Bagendit. Sorenya, 31 Maret 1932, mereka menuju Yogyakarta menggunakan kereta api, tiba di Surabaya pada 1 April 1932, kemudian lanjut ke Bali menggunakan kapal laut.

  • Gertak Sambal ala Timur Pane

    MENTERI Pertahanan Jenderal (Purn.) Ryamizard Ryacudu sesumbar. Di hadapan awak media,  Ryamizard berkata , “Kalau untuk perang 1000 tahun kita mampu kok!” Seruan itu dilontarkan menanggapi pernyataan calon presiden nomor dua, Prabowo Subianto. Dalam pidato kebangsaannya, Prabowo mengatakan  Indonesia hanya mampu berperang selama tiga hari karena terbatasnya ketersediaan peluru. Ucapan Prabowo sendiri menyitir pernyataan Ryamizard dalam twit- nya hasil kajian bersama Kementerian ESDM. Pernyataan Ryamizard soal daya tempur angkatan perang mengingatkan kita pada sosok Timur Pane. Ryamizard dan Timur Pane sama-sama jenderal. Bedanya, Ryamizard adalah jenderal betulan. Pada 2002-2005, Ryamizard adalah orang nomor satu di TNI AD dengan jabatan kepala staf (KASAD). Sementara Timur Pane merupakan tokoh laskar yang mengangkat dirinya sendiri sebagai jenderal mayor. Sebelum menjadi pentolan laskar, Timur Pane dikenal sebagai bandit dan copet di Kota Medan. Namanya kemudian sohor tatkala mengorganisasi pasukan copet dan preman dalam pertempuran Medan Area. Lakonnya dalam sejarah revolusi disebut-sebut menginspirasi sineas Asrul Sani menciptakan karakter Naga Bonar , film yang diproduksi pada 1987 dengan peran utama aktor Deddy Mizwar.     Janji Merebut Medan Pada 15 Juli 1947, Mohammad Radjab, wartawan Antara, mewawancarai Timur Pane di markasnya di Kota Prapat yang sejuk, terletak di tepi Danau Toba. Radjab telah mendapat kabar bahwa Timur Pane seorang figur yang terkenal di Sumatera Timur. “Mungkin juga (Timur Pane) sangat ditakuti, karena tindakannya kerapkali radikal, dan musuh yang ditangkapnya terus dipotong saja,” ujar Radjab dalam reportasenya Tjatatan di Sumatera. Reputasi bengis Timur Pane yang sedemikian rupa itu tampaknya terdengar sampai ke Jawa. Panglima Komandemen Jawa Kolonel Abdul Haris Nasution menyebut Timur Pane sebagai pemimpin legiun “Napindo Naga Terbang”, barisan laskar terkuat di Sumatera Utara. Selain itu, Pasukan Timur Pane suka menebar kekacauan ke kalangan rakyat maupun TRI. Yang paling meresahkan adalah menyerobot basis-basis ekonomi milik pemerintah. “Pasukan ini menduduki kebun-kebun,” catat Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 4: Periode Linggajati. “Maka terjadilah bentrokan antara Napindo dan tentara beserta polisi.” Timur Pane sendiri, kata Nasution berpangkat kolonel. Karena pengaruhnya besar di kalangan laskar, pimpinan Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta memberi pangkat sementara jenderal mayor kepada Timur Pane. Dalam lagaknya, Timur Pane punya ciri khas. Sebagaimana dituturkan Maraden Panggabean dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi , Timur Pane gemar sekali memasang bendera kuning ala Jepang pada kendaraannya untuk menunjukkan bahwa perwira dalam kendaraan itu seorang perwira tinggi, tingkat jenderal. Kepada Radjab, Timur Pane berkata bahwa persediaan alat dan senjatanya cukup untuk berperang delapan belas tahun. Apabila pertempuran pecah lagi di Medan, kota itu dapat direbut oleh pasukannya dalam jangka waktu 24 jam. Radjab hanya bisa terheran-heran. Dia sendiri tak begitu yakin dengan ucapan Timur Pane. Menurutnya, sang jenderal mayor bicara berlebihan. “Seorang jenderal pada pendapat saya, tentulah lebih tepat jika ia berbicara dengan meriam, mortir, mitraliur, dan peluru, daripada dengan lidah,” demikian kata Radjab. Pembuktian yang Gagal Pada 27 Juli 1947, Wakil Presiden Mohammad Hatta berkunjung ke Pematang Siantar, Sumatera Timur. Semua pemimpin barisan bersenjata dikumpulkan baik dari kalangan tentara maupun laskar. Timur Pane datang dari Tapanuli menyambut kedatangan Hatta berikut dengan beberapa golongan laskar dan beratus pucuk senjata. Di lapangan terbuka, Hatta berpidato dan menganjurkan untuk memasuki kota Medan. Saat itu, Belanda baru saja melancarkan agresinya yang pertama.  “Pada hari itu juga kuperintahkan kepadanya (Timur Pane) memasuki daerah Belanda sekitar Medan,” kata Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku Jilid 3: Menuju Gerbang Kemerdekaan. Timur Pane menyanggupi perintah Hatta. Dia berjanji untuk merebut kembali kota Medan dari tangan tentara Belanda. Segenap laskar rakyat disitu bersorak sorai. Semangat bertempur menggelora. “Mulai saat itu berkumandanglah semboyan: rebut kembali kota Medan dari tangan Belanda. Mari bersembahyang Hari Raya Idilfitri di Medan,” tulis Edisaputra dalam Bedjo: Harimau Sumatera dalam Perang Kemerdekaan . Namun keesokan harinya, Belanda melakukan pendaratan besar-besaran di Pantai Cermin, gerbang laut untuk memasuki kota Medan. Militer Belanda berkekuatan 500 orang prajurit yang diangkut oleh tujuh kapal. Pendaratan tentara Belanda mendapat hadangan tetapi bukan dari pasukan Timur Pane. “Dalam gerakan itu batalion KNIL 6 dan 4 mendapat perlawan kuat dari pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mempertahankan setiap jembatan dan persimpangan,” tulis Pramoedya Ananta Toer dkk dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid 3 (1947). Meski terjadi pertempuran sengit, pertahanan kota Medan akhirnya jebol. Dalam waktu singkat, tentara Belanda mencapai jalan besar yang menghubungkan Medan dan Pematang Siantar. Sementara Timur Pane dan pasukannya menyingkir kembali ke markasnya di Prapat. Sesumbarnya untuk merebut kota Medan dalam 24 jam ternyata hanya gertak sambal saja.

  • Prostitusi Masa Jawa Kuno

    JIKA wanita mengiringkan seorang gadis dan mengantarkannya ke rumah seorang pemuda, atau jika ada wanita memberi tempat untuk pertemuan yang tidak senonoh antara seorang pemuda dan seorang gadis, karena mendapat upah dari pemuda dan gadis itu, kedua wanita baik yang mengantarkan gadis maupun yang menyediakan tempat itu dikenakan denda 4000 oleh raja yang berkuasa sebagai penghapus kesalahannya. Begitulah bunyi salah satu pasal dalam undang-undang  Agama tentang Paradara atau perbuatan mesum. Ada 17 pasal dalam bab Paradara. Isinya secara umum mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, terutama larangan mengganggu perempuan bersuami. Dengan peraturan yang begitu ketat, nyatanya keberadaan pekerja seks komersial tetap diakui oleh penguasa pada masa Jawa Kuno. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menerangkan kata jalir berarti pekerja seks. Begitu pula kajaliran . Dua kata itu sering muncul dalam kitab susastra dan prasasti. Dalam karya sastra, kata jalir muncul dalam Kakawin Bharattayuddha , Kidung Sunda , Kitab Tantri Demung , dan Nitisastra . Selain jalir, ada kata  lanji yang dalam istilah Jawa Kuna dan Jawa Tengahan konon digunakan terkait pelacuran. Lanji dijumpai dalam Kakawin Ramayana , Sarasamuccaya , Slokantara , dan Tantri Kadiri . “Secara harfiah ( lanji, red.) berarti berzina, PSK, tergila-gila pada perempuan atau lelaki,” kata Dwi ketika ditemui usai acara Pindah Tongkrongan bersama Komunitas Sahabat Museum (Batmus) di Museum Nasional, akhir pekan lalu. Keberadaan pelacuran juga disebut dalam berita Tiongkok. Kronik Dinasti Tang, Ch'iu-T'ang shu dan Hsin T'ang shu, menyebut di Kerajaan Kalingga (Holing) banyak "perempuan berbisa". Jika seseorang berhubungan kelamin dengannya, dia akan luka-luka bernanah dan mati, tetapi mayatnya tak membusuk. “Berita ini menggambarkan penyakit kelamin telah ada di Jawa pada abad ke-8 Masehi. Dalam istilah Jawa Baru, penyakit ini dinamai rojo singo, ” ujar Dwi. Pemungut pajak dari muncikari Sementara itu, istilah  juru jalir disebut dalam beberapa prasasti dari abad ke-9 M. Misalnya, Prasasti Garaman yang dikeluarkan oleh Mapanji Garasakan dari Kerajaan Janggala pada 975 Saka (1053 M) dan pada sisi belakang Prasasti Waharu I tahun 795 Saka (873 M). Banyak yang mengartikan juru jalir sebagai muncikari. Dwi punya pendapat lain. Menurutnya juru jalir  adalah orang yang bertugas memungut pajak dari para muncikari sekaligus mengatur dan mengawasi pelacuran. “Muncikari mestinya ada istilahnya sendiri. Penarikan pajak itu terhadap muncikari bukan kepada pekerja seks-nya,” kata Dwi. Juru jalir merupakan petugas resmi pemerintah. Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Perdaban Jawa , berdasarkan data prasasti, juru jalir masuk dalam kelompok petugas kerajaan yang disebut mangila drawya haji  artinya memungut milik raja. Sebagian dari mereka berkedudukan sebagai abdi dalem keraton. Hidupnya pun tergantung dari gaji yang diambil melalui bendahara kerajaan. “ Mangilala Drawya Haji adalah sekelompok pejabat rendahan yang sering dianggap sebagai pejabat-pejabat pemungut pajak,” tulis Supratikno. Kelompok itu muncul pada abad ke-9 M hingga awal abad ke-14 M sezaman dengan periode Mataram Kuno hingga awal Majapahit. Ketika kelompok ini disebut pertama kali dalam prasasti masa Mataram Kuno, jumlahnya tidak sampai sepuluh. Jumlahnya bertambah dan mencapai jumlahnya tertinggi lebih dari 100 orang pada periode Tamwlang-Kahuripan. Sesudah periode ini jumlahnya menyusut dan mencapai titik terendah pada masa Majapahit. “Besar kemungkinan semenjak masa Hindu-Buddha pelacuran telah menjadi profesi lewat jasa layanan seks komersial. Bisa dipahami bila prasasti menyebut kata gabung juru jalir . Secara harfiah, istilah juru menunjuk pada kepala, pimpinan, ketua,” kata Dwi. Yang jelas, jika petugas itu disebutkan dalam prasasti, maka muncikari pun pasti telah ada pada masa Jawa Kuno. Begitu pula para pekerja seks. “Sehingga dapat dikatakan dengan adanya jabatan itu, merupakan pengesahan dari penguasa akan adanya pelacuran,” kata Titi Surti Nastiti, arkeolog senior Puslit Arkenas. Namun, menurut Titi dalam Perempuan Jawa, pekerjaan ini tak secara tersurat dijelaskan apakah dilakukan hanya oleh perempuan. Walaupun beberapa karya sastra menggambarkan profesi ini dikerjakan oleh perempuan. Dwi menyebutkan dalam Tantri Demung misalnya, kata putry atau putri yang berarti anak perempuan muncul mendahului kata si jalir. Begitupun dalam Kakawin Nitisastra yang menempatkan kata perempuan ( wadhu ) sebelum kata kajaliran.*

  • Mengenal Empat Perempuan Pertama di Dewan Kota

    KEHADIRAN perempuan Indonesia di legislatif merupakan hasil dari perjuangan panjang untuk mendapatkan hak pilih yang fondasinya dimulai dari jajaran Dewan Kota. Usaha tersebut bermula ketika Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer ditunjuk sebagai anggota Dewan Rakyat pada 1935. Perempuan Indonesia keberatan atas penunjukan itu lantaran tak ada wakil perempuan pribumi di Dewan Rakyat. Mereka lantas memprotes pemerintah Hindia Belanda agar memberikan hak pilih pada perempuan Indonesia. Kendati pemerintah mengabaikan protes itu, Cornelia mau mendengarkannya. Pada 1937, dia ikut mengajukan mosi mendesak pemerintah kolonial memberikan hak pilih perempuan dari semua kelompok masyarakat. Usul Cornelia, tulis Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia, juga diabaikan Dewan Rakyat. Desakan pada pemerintah Belanda terus dilancarkan. Banyaknya protes membuat pemerintah akhirnya mengabulkan keinginan mereka. Pemerintah menjamin hak pilih pasif perempuan dari semua ras untuk mengikuti pemilihan Dewan Kota (Gemeente Raad). Tapi para perempuan tidak punya hak untuk memilih dan hanya bisa dipilih.  “Kemenangan itu 100% tergantung dari kemauannya kaum laki-laki karena kita, kaum perempuan, tidak berhak memilih anggota-anggota dewan gemeente,” tulis Maria Ullfah dalam artikelnya di Majalah Isteri Indonesia tahun 1941, “Soal Hak Pilih”. Pemberian hak pilih pasif di tingkat Dewan Kota itu menjadi setitik cahaya bagi gerakan perempuan. Menanggapi pemberian hak pilih pasif Dewan Kota pada Februari 1938, para perempuan kembali berkumpul. Kongres Perempuan Indonesia (KPI) III di Bandung, Juli 1938, membahas tentang kemungkinan diraihnya hak pilih aktif bagi perempuan dan strategi mengajukan wakil perempuan di Dewan Kota dalam pemilihan berikutnya. Hasilnya, empat perempuan Indonesia terpilih di Dewan Kota pada 1939. Siapa saja mereka? Emma Poeradiredja Emma malang-melintang dalam dunia pergerakan bersama beragam organisasi. Sejak mahasiswa dia aktif di Jong Java dan mengusulkan agar perempuan menduduki jabatan di organisasi tersebut karena melulu didominasi laki-laki. Sembari aktif di Jong Java, Emma rutin menulis di Majalah Tri Koro Darmo . Selepas dari Jong Java, Emma bergabung dengan Jong Islaminten Bond (JIB) pada 1925. Kariernya melesat. Tak lama setelah masuk JIB, Emma dipercaya menjabat sebagai wakil JIB mendampingi Ir Moh. Nur. Pada akhir 1925, Emma naik menjadi ketua JIB, organisasi yang diwakilinya di Kongres Pemuda Indonesia. Tergerak dengan semangat Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1927, Emma mendirikan Dameskring dengan tujuan memupuk semangat kepemimpinan perempuan. Anggotanya terdiri dari sembilan perempuan muda di Jawa Barat dengan rentang usia 17-23 tahun. Emma, tulis Susan, merupakan tokoh penting dalam gerakan perempuan dan nasionalis di Jawa Barat. Pada peristiwa Sumpah Pemuda, Oktober 1928, Emma menjadi satu dari sedikit perempuan yang hadir. Pada April 1930, dia kembali mendirikan organisasi perempuan bernama Pasundan Istri (Pasi). Di Kongres Perempuan Indoensia III di Bandung, Emma menjabat sebagai ketua kongres. Hasil kongres pimpinan Emma inilah yang menyepakati gerakan mulai mengawal isu hak pilih perempuan pribumi dalam tubuh parlemen Hindia. Keaktifan Emma memuluskan jalannya menduduki kursi anggota Dewan Kota Bandung pada 1939. Siti Sukaptinah Siti Sukaptinah atau Nyonya Sunario Mangunpuspito dikenal sebagai tokoh elite dalam gerakan perempuan. Sukaptinah aktif di Kongres Perempuan Indonesia (KPI) sejak pertama diselenggarakan, 1928. Ketika beberapa organisasi perempuan dilebur menjadi Isteri Indonesia, Sukaptinah dipercaya menjadi ketua selama dua periode. Semasa kepemimpinannya, lewat Kongres Isteri Indonesia di Semarang, Isteri Indonesia memutuskan untuk memperingati KPI Pertama sebagai hari ibu. Di masa kepemimpinan Sukaptinah pula Isteri Indonesia getol mengawal isu hak pilih perempuan pribumi. Kedua usulan itu lantas dibawa ke KPI III di Bandung, yang dipimpin Emma Poeradiredja, dan diterima. Selain di gerakan perempuan, Sukaptinah juga aktif dalam gerakan nasionalis. Sejak sekolah di MULO Ngupasan, Yogyakarta, dia ikut Jong Java –tempat dia bertemu Sunario Mangunpuspito yang kemudian jadi suaminya. Sukaptinah juga ikut JIB cabang Yogyakarta dan menjadi ketua JIBDA. Ketika pindah ke Semarang, Sukaptinah bergabung dengan Parindra sekaligus menjadi ketua Isteri Indonesia. Ketika hak pilih perempuan pribumi akhirnya diberikan, Sukaptinah masuk ke Dewan Kota Semarang melalui Parindra. Siti Sundari Sudirman Sundari merupakan tokoh lama dalam gerakan perempuan. Di Kongres Perempuan Indonesia pertama (22 Desember 1928), Sundari yang hadir mewakili Putri Budi Sejati menjadi salah satu pembicaranya. Pidatonya membahas tentang nasib perempuan dalam perkawinan. Sundari mendorong perempuan untuk belajar, meningkatkan kepandaian diri, dan berani menyampaikan pendapat. “Kita kaum perempuan haruslah memperpandai diri kita agar bisa dengan sungguh-sungguh mencukupi kebutuhan umum sesuai dengan tuntutan kehidupan zaman,” kata Sundari dalam pidatonya seperti dikutip Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama. Putri Budi Sejati, organisasi asal Surabaya pimpinan Sundari atau dikenal dengan Nyonya Sudirman (bukan Siti Sundari adik dr. Soetomo), bergerak di bidang pemajuan dan pendidikan perempuan. Dalam Konferensi Putri Budi Sejati tahun 1937, Sundari mengatakan bahwa organisasinya tidak ikut dalam soal politik namun memberi kelonggaran pada anggotanya bila ingin bergerak di jalur politik. Sundari menikah dengan R. Soedirman, wakil pengurus besar Parindra di Surabaya. Lewat Parindra pula Sundari masuk Dewan Kota Suarabaya pada 1939. Sri Oemiati Sri Oemiati atau biasa disapa Yat, adalah adik dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo. Perempuan kelahiran 1903 ini menempuh pendidikan dasar di Koningin Wilhelmina School, Yogyakarta. Dia lantas melanjutkan pendidikannya ke Lyceum di Batavia. Setamat sekolah, Oemiati menjadi guru sambil aktif dalam gerakan perempuan. Menurut Yat, gerakan perempuan dan guru berada di jalur yang sama, keduanya ingin mendidik dan memajukan kaum perempuan. Keseriusannya dalam bidang pendidikan membuat Yat memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Belanda pada 1927. Di Belanda, Yat kuliah selama dua tahun di Den Haag untuk mengambil ijazah guru kepala sekolah ( hoofdacte ). Bersamaan dengan itu, adik Yat, Siti Sundari, berangkat ke Leiden untuk belajar hukum dan kemudian berteman dekat dengan Maria Ullfah. Sepulang dari Belanda, Yat aktif dalam gerakan perempuan, terutama dalam Kongres Perempuan Indonesia. Ketika usaha perempuan untuk mendapatkan hak pilih di tingkat kota dikabulkan pemerintah, Yat diangkat untuk mengisi kursi Parindra yang kosong di Cirebon pada 1941, dua tahun setelah pemilihan anggota Dewan Kota.

bottom of page