top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mengelola Film Lama

    FIRDAUS, staf pemeliharaan film Sinematek Indonesia, masuk ke ruang penyimpanan film di basement gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), yang berlokasi di Jalan Rasuna Said Kav C-22, Jakarta Selatan. Begitu melewati pintu masuk, aroma pengap yang kuat tercium. Bau itu, yang berasal dari film seluloid, bisa membuat pusing. Namun, tanpa mengenakan masker, Firdaus tetap melenggang masuk.

  • Kisah Dua Kampung Halaman

    KETIKA melakukan perjalanan ke Tiongkok bersama Yin Hua Meishu Xiehui (Lembaga Seniman Indonesia Tionghoa) tahun 1956, Wen Peor sempat berkunjung ke kampung halamannya di Meixian, sebuah distrik di Kota Meizhou, Provinsi Guangdong, Tiongkok. Bahkan menghasilkan lukisan cat minyak “Terang Bulan di Kampung Halaman” yang dibeli oleh Presiden Sukarno. Siapa sangka dia akan kembali karena situasi pelik di Indonesia.

  • Kembalinya Si Burung Camar

    IBARAT burung camar, pelukis Wen Peor mencari kebebasan sekaligus mencoba mengatasi situasi sulit dengan cara yang anggun. Ketika situasi di Indonesia tak menentu pasca-Peristiwa 1965, dia memutuskan pergi, menetap, dan berkarya di tanah leluhurnya.

  • Kelompok Tanpa Nama

    AYANDE Sloan berusia 14 tahun ketika Jepang mendarat di Tarakan, Januari 1942. Karena berparas bule, gadis muda itu tak bisa keluar rumah. Dalam tempo-tempo tertentu, saat serdadu Jepang merazia rumah-rumah penduduk untuk mencari orang bule, Ayande digulung dalam kasur oleh ibunya.

  • Geger Sampai ke Negeri Induk

    PEMBERONTAKAN awak kapal De Zeven Provincien dengan cepat menimbulkan berbagai reaksi, baik di Hindia Belanda maupun di Belanda. Di Batavia, kecaman datang dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda B.C. de Jonge yang dalam pidatonya pada 7 Februari 1933 menyebut aksi para matros kapal perang Hindia Belanda itu sebagai tindakan tak bertanggungjawab.

  • Dari Poster hingga Cukil Kayu

    “GARIS-garis cukilan kayu Wen Peor adalah garis-garis pemberontakan seorang seniman…,” catat JJ Kusni, penyair yang pernah gabung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dalam arsip surel berjudul “Surat Sutera Putih: Menyertai Kepergian Pelukis Wen Peor”.

  • Bukan Sekadar Urusan Upah

    MASYARAKAT Nusa Tenggara Timur melakukan tabur bunga di makam para pahlawan pemberontakan kapal De Zeven Provincien di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, 4 Februari 2016. Dalam acara ini hadir keluarga dari pemimpin pemberontak, yaitu curu Martin Paradja serta anak, menantu dan cucu Josias Kolondam Kawilarang.

  • Bandit dari Lereng Gunung

    DI Surakarta, kabar proklamasi kemerdekaan mendorong bandit-bandit ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Beberapa di antara mereka baru keluar dari penjara. “Banyak dari para tahanan yang seharusnya belum waktunya bebas dikeluarkan dengan alasan diikutkan untuk berjuang,” tulis Julianto Ibrahim dalam Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta .

  • “Darah Rakjat” di Perayaan Kemerdekaan

    PERAYAAN Hari Kemerdekaan Indonesia biasanya dipersiapkan jauh-jauh hari. Sebuah panitia dibentuk. Acara disusun. Namun, pada 1950-an, susunan acara perayaan Hari Kemerdekaan mendapat protes karena menyertakan lagu-lagu berbau kiri.

  • Antara Raja Gowa dengan Portugis

    SULTAN Hasanuddin, pahlawan nasional dari Kerajaan Gowa-Tallo, dikenal gigih melawan maskapai dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Namun karena kalah, dirinya terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).   Gowa bukan tak memiliki teman bangsa Eropa. Portugis, yang jauh sebelum VOC berkuasa sudah lama di Makassar, merupakan sekutunya. Kedekatan Portugis membuat ada raja Gowa yang membiarkan agamawan dari Portugis menyebarkan agama Katolik di Makassar. Sebuah sekolah Katolik kemudian didirikan di sana era tersebut. Christian Pelras dalam Manusia Bugis  mencatat, ada raja Gowa yang pernah jadi kristen meskipun belakangan raja-raja di Sulawesi Selatan, baik kawasan Bugis maupun Makassar, memilih Islam.   Portugis di Makassar hanya fokus berdagang. Untuk itulah hubungan dengan raja-raja setempat seperti penguasa Tallo, Karaeng Pattinggaloang, dijalin Portugis.   Karaeng Pattinggaloang tidak tertarik dengan ilmu pengetahuan Barat kendati menyukai benda-benda terkait dengannya. Dia kolektor peta, globe, dan barang-barang lain terkait ilmu pengetahuan. Benda-benda itu diperolehnya dari para pedagang Eropa yang membawakan padanya. Selain itu, Karaeng Pattinggaloang juga paham bahasa-bahasa dari Eropa.   Sebelum ke Makassar, Portugis terlebih dahulu ke Malaka. Di sekitar Malaka, Portugis memperkuat diri. VOC adalah bahaya tersendiri bagi Portugis.   “Setahun setelah menguasai negara-kota Melayu, mereka menjalankan program pembangunan ghali mereka sendiri untuk penggunaan lokal,” tulis Pierre-Yves Manguin dalam “Lancaran, Ghurab and Ghali: Mediterranean Impact on War Vessels in Early Modern Southeast Asia”, termuat dalam buku Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past .   Ghali, yang juga disebut galion, galleon, galley, gale atau gali, disebut William Henry Smyth dalam The Sailor's Word-book  merupakan sebuah kapal rendah, berstruktur datar, dengan satu dek, dan digerakkan oleh layar dan dayung. Sebelum di Asia Tenggara, ghali berkembang di Laut Mediterania.   Tak hanya untuk dirinya, Portugis juga membuat armada ghali untuk sekutunya. Termasuk di Sulawesi Selatan.   “Salah satu bantuan yang paling penting, di samping kerjasama, bantuan senjata dan amunisi, adalah pembenahan armada laut Kerajaan dengan memberikan instruktur dalam membangun kapal perang tipe gallei,” catat Mukhlis Paeni dkk dalam Sejarah Kebudayaan Sulawesi .   Pada 1620-an, puluhan ghali dibuat Portugis untuk Kerajaan Gowa. Portugis melakukannya agar sekutunya bisa mengalahkan VOC yang juga menginginkan rempah-rempah dari Nusantara. Portugis dan Belanda saling bersaing sebagai “pemain” rempah-rempah di Maluku Utara. Masing-masing punya koneksi dengan raja-raja lokal.   Dengan sokongan persenjataan Portugis, senjata api dan kapal, Gowa tentu bertambah kuat di awal abad ke-17 itu. Bahkan kerajaan Bugis seperti Bone pun kemudian diserang dan dikuasainya. Politik pendudukan Gowa sebelum era Sultan Hasanuddin itu membuat Gowa punya beberapa musuh di kemudian hari. Yang termasyhur Arung Palaka dari Bone.   Setelah Bone dijajah Gowa, Arung Palaka berpihak kepada Belanda. Mendekatnya Arung Palaka tentu menambah kekuatan Belanda. Akhirnya, dengan bantuan Arung Palaka Belanda berhasil mengalahkan Gowa dan merebut bandar dagang Makassar yang ramai di zaman Gowa berkawan dengan Portugis itu.   Berkuasanya Belanda yang Protestan belakangan ikut mempengaruhi penyebaran Katolik di Sulawesi Selatan. Dalam beberapa kasus, Belanda menekan Katolik dan membiarkan Protestan atau Calvinis berkembang. VOC mewaspadai agama yang dianut orang Portugis hingga lebih suka orang pribumi memeluk agama yang dianut orang Belanda. Alhasil, Katolik kurang berkembang di sana. Sebaliknya, Protestan lebih bisa berkembang sebelum abad ke-19 itu dan penganutnya lebih banyak daripada agama yang dianut orang Portugis.*

  • Gejolak Muda Iwa Kusuma Sumantri

    BANDUNG, 1915. Iwa Kusuma Sumantri memulai pendidikan di Sekolah Pribumi Pamong Praja Hindia Belanda (OSVIA). Dia yang merupakan putra guru Sekolah Kelas Dua bernama R. Wiramanti diharapkan sang ayah memperoleh  masa depan yang cerah. Seseorang yang memegang ijazah OSVIA akan dengan mudah memperoleh pekerjaan di pemerintahan. Pada waktu itu jabatan pegawai negeri juga merupakan pekerjaan terhormat di masyarakat. Mereka yang bekerja di pemerintahan akan hidup dengan layak.  Akan tetapi harapan ayahanda itu rupanya tidak sesuai dengan keinginan hati Iwa. “Sesungguhnya, apabila pada saat itu saya mampu menolak perintah orang tua, maka dapatlah saya katakan bahwa sekolah ini sama sekali tidak sesuai dengan hati maupun cita-cita saya sendiri,” kata Iwa. Meski begitu, Iwa tetap mengikuti ucapan sang ayah untuk bersekolah di OSVIA. Diceritakan Iwa dalam otobiografinya Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah , dia melakukan hal itu karena tidak ingin mengecewakan harapan orang tuanya. Setidaknya, imbuh Iwa, dia harus menunjukkan kepatuhan sebagai bukti jasa terhadap apa yang telah diberikan kedua orang tua dalam hidupnya. Dengan perasaan antipati, Iwa memulai kehidupan sebagai pelajar OSVIA. Pemuda asal Ciamis itu tinggal di asrama mahasiswa di Bandung. Sekolah yang dia masuki adalah sekolah bagi kalangan elit. Tidak semua orang bisa memasukinya. Bukannya merasa beruntung, Iwa malah tertekan dengan kondisi di sana. Keadaan OSVIA tidak menyenangkan bagi Iwa. “Cara-cara kehidupan mahasiswa tidak dapat saya terima begitu saja. Pelaksanaan perpeloncoan terhadap calon-calon mahasiswa baru tidak sesuai dengan makna perpeloncoan itu sendiri. Dalam praktiknya perpeloncoan lebih dititikberatkan pada tindakan-tindakan yang berlandaskan sentimen atau balas dendam saja,” kata Iwa. Tidak hanya itu, Iwa juga mengkritisi cara bergaul anak-anak di sekolahnya. Murid OSVIA kerap terlibat dalam persaingan dengan sekolah Belanda lain di Bandung. Mereka saling berlagak ingin terlihat lebih unggul, baik dalam penampilan maupun pelajaran. Tidak jarang hal tersebut membawa perselisihan di antara para pelajar. Iwa merasa hal itu sama sekali tidak ada gunanya dan hanya mendatangkan kerugian. Karena sudah benar-benar tidak tahan dengan lingkungan belajar di OSVIA, pada 1916 Iwa memutuskan melarikan diri dari asramanya. Bersama seorang kawan, yang memiliki pandangan dan pendirian serupa, Iwa pergi menuju rumah kakaknya di Kandanghaur, Indramayu. Dari sana, Iwa dan kawannya melanjutkan perjalanan menuju rumah kakaknya yang lain di Cirebon.  “Kami sama-sama menyadari bahwa OSVIA tidak sesuai dengan jiwa kami. Lebih dari itu, kami tidak sudi untuk menjadi alat Belanda nanti, sesudah kami tamat,” ujar Iwa. “Kami muak terhadap sikap Belanda yang sombong dan berkuasa itu, dan kami lebih muak terhadap sikap orang-orang Indonesia yang sok Belanda, lebih dari orang Belanda totok itu sendiri.” Iwa tahu jika perbuatannya itu bisa merugikan dirinya. Dia juga telah mengecewakan kedua orang tuanya yang telah berjuang memasukkannya ke sekolah pamong praja tersebut. Tetapi Iwa sudah tidak peduli lagi. Saat itu di benaknya hanya ada keinginan untuk menjauhi Bandung, dengan OSVIA yang tidak dia senangi di dalamnya. Iwa tidak ingin meneruskan hidup yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Setelah kurang lebih seminggu tinggal di Cirebon, keberadaan Iwa diketahui orang tuanya. Dia lalu disusul oleh Partadireja, guru bahasa Sundanya di OSVIA. Partadireja membujuk Iwa kembali ke Bandung. Karena bujukan manis sang guru, Iwa akhirnya setuju untuk kembali bersekolah. Kepada pihak OSVIA, kedua orang tua Iwa meminta kebijaksanaan agar mereka memaklumi kondisi Iwa yang masih sangat muda. Permohonan itu dikabulkan: Iwa tidak diberi sanksi. “Namun tetap saya tidak dapat hidup tentram serta belajar sebagaimana mestinya di OSVIA ini. Pergolakan jiwa semakin hebat dalam pribadi saya. Bagi saya, seolah-olah OSVIA merupakan penjara yang mengungkung saya, saya ingin bebas,” kata Iwa. Perasaan tidak senangnya semakin hari semakin kuat bergojak di dalam diri Iwa. Dia pun kembali memikirkan cara untuk bisa keluar dari OSVIA. Akhirnya Iwa menemukan cara baru untuk mewujudkan impiannya tersebut. Alih-alih memberontak seperti sebelumnya, dia memilih mengungkapkan seluruh isi hatinya kepada sang ayah bahwa dia tidak ingin berada di OSVIA. Sekolah pamong praja itu bertentangan dengan cita-citanya dan selama berada di sana dia sama sekali tidak merasa senang. Mendengar ucapan tersebut, kedua orang tua Iwa sangat terkejut. Mereka merasa telah menempatkan putranya di tempat terbaik yang akan mendukung masa depannya kelak. Namun setelah Iwa mengutarakan cita-cita dan keinginannya, sang ayah menerima sikap Iwa tersebut. Mereka membebaskan putranya memilih sekolah yang dikehendaki. Sekira akhir 1916, dengan persetujuan kedua orang tua, Iwa pindah ke Batavia. Dia memutuskan bersekolah di sekolah hukum, Recht School . Telah lama ilmu hukum dan sejarah menarik minat Iwa. Dia akhirnya mencurahkan seluruh kemampuannya di sekolah baru tersebut.*

  • Cerita Cinta Iwa Kusuma Sumantri

    MENDAPAT restu dari keluarga, pada 1921 Iwa Kusuma Sumantri dan Emma Puradireja “kawin gantung”, sah sebagai suami-istri tapi belum boleh hidup bersama sebelum pernikahan resmi. Namun Iwa harus melanjutkan studi ke Fakultas Hukum di Universitas Leiden, Belanda. Emma, yang juga tokoh pergerakan, mengerti keinginan dan cita-cita suaminya. Di Belanda, Iwa aktif di Perhimpunan Indonesia (PI). Ketika “front rakyat”, garis politik Komunis Internasional, menarik perhatian PI, Iwa bersama Semaun mengunjungi Moskow. Kepergian Iwa berdampak pada kehidupan pribadinya. Menduga Iwa komunis, keluarga Emma minta Iwa melepaskan ikatan perkawinan. Iwa kecewa. “Saya masih mencintainya, tetapi saya harus meluluskan permintaan tersebut,” kata Iwa dalam otobiografinya, Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah . Namun Iwa sendiri mengakui tak bisa berlagak sebagai suami setia. Dia menikmati pergaulan dengan nona-nona Belanda. Salah satunya, Mien (Wilhelmina) van Z, membuatnya jatuh hati. “Kekecewaan saya atas Emma merupakan luka di dalam hati saya. Hati saya belum memiliki kepastian apakah saya mampu berkeluarga setelah tragedi yang saya alami,” ujarnya. Pada akhir 1925, lulus dari Leiden, Iwa masuk Eastern University, semacam universitas persahabatan untuk orang-orang Timur, di Moskow. Dia sempat berpacaran dengan seorang gadis cantik Rusia asal Polandia tapi harus berakhir karena gadis itu meninggal. Dia kemudian menemukan penggantinya, gadis cantik asal Ukraina bernama Anna Ivanova, yang ditemuinya di sebuah club . Iwa Kusuma Sumantri dan anaknya, Sumira Dingli, berziarah di makam istrinya, Anna Ivanova di Rusia. (Repro Iwa Kusuma Sumantri: Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah ). Anna sangat berjasa bagi Iwa: mengenalkan kehidupan masyarakat Rusia, mengajarinya bahasa dan kesusastraan Rusia, bahkan dengan gajinya yang tak seberapa sebagai pembantu dokter dia membantu ekonomi Iwa. Pada Januari 1926, Iwa menikahi Anna. Adik Anna, Varia, kelak menikah dengan Semaun. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang dinamai Sumira Dingli –nama kedua diambil dari nama Iwa di Rusia. Setelah satu setengah tahun hidup di Rusia, dan merampungkan buku The Peasants’ Movement in Indonesia , Iwa kembali ke Indonesia pada akhir 1927. Istri dan anaknya tak bisa ikut karena kebijakan pemerintah Rusia yang melarang warganya ke luar negeri. “Dengan uang yang penghabisan, Anna mengirimkan saya kembali kepada bangsa saya,” kata Iwa. “Saya seolah-olah kehilangan sebagian dari semangat saya.” Di Indonesia, Iwa menjadi pengacara di Bandung, Jakarta, dan Medan serta aktif di sejumlah organisasi. Di Medan, Iwa tinggal di rumah pamannya, Abdul Manap. Sepupunya, seorang janda muda bernama Daru Kuraisin, juga tinggal di sana. Atas saran pamannya, Iwa menikahi Kuraisin pada Maret 1928. Kuraisin-lah yang menemani Iwa hingga ajal menjemput. “Istri saya mengikuti saya dengan rela dan setia. Seorang wanita muda yang berkorban pada suaminya yang dikarenakan penjajahan yang kejam. Saya merasa berterima kasih kepadanya karena kesetiaan dan ketabahannya selama dia menjadi teman hidup saya,” kata Iwa. Namun, Iwa tak bisa melupakan Anna dan anaknya di Rusia. Ketika menjadi rektor Universitas Padjajaran, Iwa sempat menghubungi Anna dari Peking. Anna melarangnya ke Moskow karena sedang musim dingin dan dia sedang sakit parah. Tiga tahun kemudian, ketika menjadi menteri perguruan tinggi ilmu pengetahuan, Iwa akhirnya sampai di Rusia tanpa bisa menatap wajah Anna. “Saat inilah kesempatan saya untuk bertemu dengan anak saya Mira dan keluarganya. Bersama mereka saya pergi ke kuburan Anna,” kata Iwa. “Anna telah melakukan tugasnya sebagai seorang ibu yang berbudi luhur.”*

bottom of page