Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menumpas Pengikut Tan Malaka (2)
Pertempuran di pinggir Kali Citarum itu berlangsung selama dua hari dua malam. Masing-masing pihak saling bergantian melakukan serbuan. Tak jarang pertempuran harus diakhiri dengan perkelahian brutal jarak dekat menggunakan bayonet, klewang dan golok. Korban pun berjatuhan, baik dari pihak Tentara Repoeblik Indonesia (TRI) maupun dari pihak Lasjkar Rakjat (LR). “Orang-orang LR itu memang pandai silat. Mereka rata-rata adalah jawara atau jago di era sebelum Jepang berkuasa,” ujar Endin (93), eks prajurit dari Batalyon Beruang Merah. Karena kalah taktik dan kurang menguasai medan, pasukan gabungan TRI sempat dipukul mundur dari wilayah Lamaran . Kekalahan TRI itu, otomatis menjadikan gerak LR semakin melaju ke arah kota Karawang, di mana satu unit pasukan anak buah Sutan Akbar itu tengah dikepung oleh pasukan Siliwangi pimpinan Kapten Lukas Koestarjo. Tak ingin kehilangan Karawang yang merupakan front penting menghadapi militer Belanda, Panglima Divisi Siliwangi Kolonel A.H. Nasution lantas memerintahkan Batalyon Garuda Hitam pimpinan Mayor Mohamad Rivai, satu kompi eks Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) pimpinan Kapten Dodong dan satu kompi eks Barisan Banteng Repoeblik Indonesia (BBRI) pimpinan Kapten K.Kamil untuk berangkat ke palagan Karawang. “Dari Garut kami bergerak memakai kereta api menuju Kroya di Jawa Tengah, terus ke Cirebon dan turun di Stasiun Klari yang jaraknya hanya 5 km dari markas besar LR di Lamaran,” ungkap Mohamad Rivai dalam Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 . Rivai menetapkan Stasiun Klari sebagai basis pasukan gabungan. Dengan menetapkan strategi serangan dadakan sebagai cara untuk menghadapi para gerilyawan LR, dia membagi pasukan menjadi dua bagian: lambung kanan melalui Palawad dipimpin oleh dia sendiri dan lambung kiri melalu Warung Bambu dipimpin oleh Kapten Gultom. “Sebagai upaya penyesatan, saya menempatkan satu regu dari Batalyon Garuda Hitam di antara dua lambung itu yakni di Pasar Jengkol,” ujar Rivai. Pada akhirnya serangan mendadak itu harus gagal, karena gerak pasukan yang dipimpin oleh Kapten Gultom terlanjur diketahui oleh pasukan LR pimpinan Wahidin Nasution. Maka terjadilah pertempuran seru yang menyebabkan terpukul mundurnya pasukan Kapten Gultom. Untunglah bala bantuan pasukan pimpinan Mayor Neman cepat datang dan menyebabkan anak-anak TRI cepat menguasai medan kembali. Sementara itu mengetahui pasukan Kapten Gultom tertahan di lambung kiri, maka Mayor Rivai berinsiatif langsung menyerbu Lamaran. Sebelum menjalankan raid , dia memerintahkan untuk menghujani kawasan markas LR dengan peluru mortir. “Ternyata serangan ini mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan: (kedudukan) pasukan LR yang serba kuat itu hancur seketika tanpa meninggalkan bekas,” tutur Rivai. Wahidin Nasution sendiri berhasil menyingkir ke kota Karawang bersama beberapa pengawalnya. Dia lantas bergabung dengan unit LR pimpinan Sutan Akbar di sana. * Sementara itu, pengepungan terhadap kota Karawang dilakukan secara rapat oleh gabungan pasukan TRI. Beberapa kali kota itu dihujani oleh artileri dan mortir yang menyebabkan perlawanan pasukan LR menjadi semakin lemah. Pada 26 April 1947, secara resmi TRI memenangi perang. Tanpa tertahan sedikitpun mereka melenggang saat masuk Karawang dan hanya menemukan beberapa unit LR dan salah satu pimpinannya (Wahid Nasution) bertekuk lutut. “Wahidin kemudian ditahan di penjara Purwakarta,” ungkap sejarawan Robert B. Cribb. Pasca penyerahan itu, pasukan gabungan TRI lantas menjalankan berbagai razia di jalanan menuju Cirebon dan Purwakarta. Maka tertangkaplah beberapa gembong LR seperti Sidik Kertapati, Akhmad Astrawinata dan Hassan Gayo. Mereka kemudian dipenjarakan di Tasikmalaya. Pemimpin-pemimpin LR yang lain seperti Sutan Akbar, Armunanto, Hasnan Cinan dan Kusandar berhasil meloloskan diri dengan kereta api ke Jawa Tengah. Beberapa unit LR yang salah satunya dipimpin oleh “jagoan Pasar Senen” Imam Syafe’i berhasil dinetralisir lantas digabungkan dengan kekuatan TRI di Cirebon. Pentolan-pentolan LR lainnya seperti Wim Mangilap, Pandji, Sudjono dan Harun Umar melarikan diri ke wilayah Belanda. Di sana mereka kembali menjadi unit-unit liar yang berprofesi sebagai perampok dan penyamun. Wim sendiri yang di kalangan orang-orang Karawang dikenal sebagai “Pak Kilap atau Pak Kilat” lantas membentuk laskar baru bernama Matjan Tjitaroem. Sedangkan Padji, Sudjono dan Harun Umar kemudian ditangkap militer Belanda di wilayah Kleder, Jakarta Timur. Sejarah mencatat, (kecuali Wim Mangilap) eks para pengikut Tan Malaka itu kemudian berhasil dibujuk oleh militer Belanda untuk masuk dalam suatu kesatuan baru bernama HMOT (Pasukan Non Organik Ratu Belanda). Mereka inilah yang pada 21 Juli 1947, menjadi garda terdepan dalam aksi militer Belanda ke-1 bertajuk Operasi Produk di wilayah Karawang. “HMOT sudah bersiap di sana untuk menghadapi musuh lama mereka: Beruang Merah…” ungkap Cribb.
- Jurus Diplomasi Artati Memimpin Sidang Chernobyl
BEGITU mendengar kabar adanya kecelakaan nuklir di Chernobyl, Uni Soviet pada 26 April 1986, Artati langsung mengirim kabar kepada para koleganya untuk mengadakan pertemuan membahas kecelakaan tersebut. Kala itu, Artati duduk sebagai ketua Dewan Gubernur Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency, IAEA), yang dijabatnya sejak 1 Oktober 1985. Sejak IAEA didirikan pada pada 22 Juli 1957, Indonesia langsung bergabung di tahun yang sama dan beberapa kali menduduki posisi penting di lembaga nuklir dunia ini. Sebelum Artati, ada Sudjarwo Tjondronegoro yang menjabat sebagai President of the General Conference pada 1958. Artati Marzuki kala mengepalai sidang khusus Chernobyl 1986. (dok. Ceniza Marzuki). Menurut Artati dalam memoarnya di Bunga Rampai Kenangan dalam Dinas Luar Negeri terbitan Kementerian Luar Negeri, ketua dewan yang dipilih selalu berasal dari negara yang tidak memiliki senjata nuklir. Ketua dewan juga harus menjaga keseimbangan kepentingan antara negara-negara adikuasa yang memanfaatkan nuklir. Dalam dewan gubernur terdapat 35 anggota. Artati merupakan perempuan kedua yang berhasil menduduki posisi pimpinan IAEA. Perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua Dewan adalah Duta Besar Margaret Meagher dari Kanada (1962). “Terpilihnya seorang perempuan sebagai Ketua Dewan merupakan peristiwa kedua kalinya terjadi dalam sejarah IAEA dan kejadian itu lebih menonjol karena Ibu berasal dari negara berkembang,” kata Ceniza Marzuki, anak pertama Artati, pada Historia. Artati di masa senja bersama anaknya Ceniza Marzuki, dan dua cucunya Achmad dan Artati Sirman. (dok. Ceniza Marzuki). Sidang Komite Administrasi dan Anggaran IAEA (6-9 Mei 1986) yang diketuai Artati situasinya mencekam. Para perwakilan negara yang hadir khawatir awan radio aktif dari sisa ledakan akan jatuh di negara-negara sekitar Uni Soviet. Sementara, keterangan faktual tentang kronologi kejadian dan situasi terkini amat sedikit karena minimnya informasi dari Uni Soviet. Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap, Direktur Jenderal IAEA Dr. Hans Blix, mantan menteri Luar Negeri Swedia, dan timnya berangkat ke Uni Soviet. Pada musim semi 12 Mei 1986 di Wina, diadakan pertemuan di mana Dr. Hans Blix menceritakan kondisi yang mereka temui sebagai dampak kecelakaan nuklir tersebut. “Wakil Tetap Jerman Barat Karl Paschke meminta bicara dengan saya. Saya teringat akan gejolak politik yang sedang menimpa negaranya sebagai akibat musibah Chernobyl,” kata Artati. Dalam pertemuan dengan Dr. Hans Blix, Artati mendapati hal tak biasa di mana roman muka koleganya itu tampak murung. Paschke menceritakan, negaranya sedang menghadapi pemilihan umum dan salah satu partai politik sudah cenderung menghentikan pembangunan dan pengoperasian PLTN. Pemerintah Jerman merasa perlu mengadakan pembahasan keselamatan instalasi nuklir di forum internasional. Sebelum Perdana Menteri Helmut Kohl mengajukan permintaan resmi untuk mengadakan sidang khusus mengenai kecelakaan nuklir di Chernobyl, Duta Besar Paschke sudah memberitahu Artati lebih dulu. Perasaan khawatir akan dampak nuklir juga menyebabkan beberapa negara Eropa Barat, seperti Italia, mengeluarkan peraturan ketat mengenai penjualan bahan makanan karena banyk bahan makanan yang ditemukan mengandung radio-aktivitas tinggi. Beberapa bahkan disalurkan ke negara-negara berkembang. Keprihatinan para pemimpin dunia juga bertolak dari fakta kecelakaan Chernobyl telah menimbulkan singgungan antarnegara. Negara-negara yang karena alasan politis tidak mengoperasikan PLTN kemudian merasa terancam karena adanya dampak nuklir yang melintasi batas nasional. Mereka menyatakan pembangunan instalasi nuklir di suatu negara harus dirundingkan terlebih dahulu dengan negara tetangga. Sikap ini menimbulkan ketegangan antara beberapa negara, seperti Austria dan Jerman Barat. “Pada waktu itu dalam forum IAEA masih sering ditemukan perbedaan paham antara Kelompok Eropa Barat dan Eropa Timur. Sehingga tantangannya adalah bagaimana mengusahakan masalah kebocoran nuklir Chernobyl, tidak menjadi permainan politik,” kata Ceniza mengenang ibunya. Artati bersama koleganya para duta besar di Wina 1986. (dok. Ceniza Marzuki). Dalam proses persiapan Sidang Khusus Chernobyl, delegasi Uni Soviet jelas-jelas menyatakan akan menentang tiap usaha untuk mengeluarkan suatu resolusi yang akan memojokkan Uni Soviet. Sedangkan negara-negara Amerika Utara, yang tidak langsung terkena dampak radioaktif tersebut, lebih memikirkan masa depan industri nuklirnya. Artati berusaha menghindari perdebatan politik yang emosional dan lebih fokus pada penanganan dan analisis pasca-musibah, seperti pemberian bantuan, pengukuran tingkat radiasi, dan penanganan jangka panjang agar PLTN dapat dioperasikan secara aman. Maka sebelum Sidang Khusus BOG, 21 Mei 1986, ia mengadakan lobi-lobi dan mengumpulkan pendapat dari para perwakilan negara. “Ibu mengumpulkan pendapat-pendapat mereka dan itu yang terkenal dengan The Summing-up of the Chairman of the Board of Governors,” kata Ceniza. Setelah melalui lobi-lobi sebelum sidang, mayoritas anggota ternyata tidak menghendaki resolusi. Mereka menyadari yang perlu diutamakan adalah meringankan kesengsaraan para korban kecelakaan radiasi dan memikirkan berbagai tindakan keselamatan jangka pendek dan panjang. Sidang sepakat bahwa tidak ada jalan lain selain mengambil tindakan konkret secara multilateral untuk meningkatkan keselamatan nuklir juga penanggunalangan musibahnya. Jerman Barat dan sebagain negara Barat beranggapan bahwa sasaran utama baik yang bersifat politis maupun teknis telah tercapai. Sementara, Uni Soviet tidak merasa terpojokkan karena tidak ada resolusi yang menyalahkan pihaknya sehingga masalah Chernobyl terhindar dari pembahasan politis. “Jadi chairman -nya tidak mengambil putusan, hanya mengumpulkan pendapat-pendapat yang kemudian menyusun teks singkat sebagai dasar untuk meningkatkan kerjasama internasional di bidang keselamatan instalasi nuklir,” kata Ceniza mengenang kisah ibunya.
- Gandum Belum Umum
KIRAB gunungan mengawali Festival Panen Gandum yang digelar di Kebun Percobaan Salaran, Semarang, pada 8 September 2016. Acara ini memeriahkan panen gandum varietas dewata, berasal dari galur DWR-162 asal India, yang ditanam Pusat Studi Gandum Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bekerja sama dengan PT. Bogasari.
- Artati Sang Srikandi Diplomasi
Dengan radio amatir milik ayahnya, Artati Sudirdjo berusaha terhubung dengan dunia luar. Berbekal pelajaran morse di kepanduan, ia tak kesulitan berkomunikasi menggunakan radio amatir untuk mencari sahabat pena. “Sejak remaja Ibu menjalin hubungan dengan dunia luar melalui sahabat pena,” kata Ceniza Marzuki, putri pertama Artati Sudirdjo, pada Historia. Artati lahir di Salatiga pada 15 Juni 1921 dan tumbuh di Bandung. Ia anak sulung dari 10 bersaudara pasangan R. Sudirdjo Djojodihardjo dengan R.A. Sumiati Reksohaminoto. Artati kecil bercita-cita menjadi pekerja di Dinas Luar Negeri meski ia menganggapnya hanya khayalan, sebab Indonesia belum merdeka. Namun Artati dan adik-adiknya, baik perempuan maupun lelaki, semua mendapat kesempatan sama menempuh pendidikan hingga ke jenjang tinggi dari orang tuanya. Artati bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS V) Bandung. Ia lulus pada 1939 kemudian meneruskan ke Rechts Hoge School di Batavia. Namun pendidikannya di sekolah hukum tak bisa dilanjutkan karena Perang Dunia II. Selain diberi kesempatan mengenyam pendidikan formal, semua anak Sudirdjo-Sumiati juga dididik untuk bisa merawat diri sendiri. Sejak kecil Artati dan saudara-saudaranya diajari membersihkan rumah, menjahit, dan memasak. “Saya sangat berterima kasih kepada kedua orang tua saya untuk pendidikan yang menyeluruh dan berimbang ini,” kata Artati seperti dimuat dalam buletin Dharma Wanita Departemen Luar Negeri Nomor 40 tahun XI-1990. Artati juga gemar membaca tentang kehidupan masyarakat negara lain dan belajar bahasa asing. “Malahan saya pernah belajar bahasa Esperanto yang dicita-citakan dapat menjadi bahasa dunia,” kata Artati. Artati Sudirdjo kala berbicara di forum PBB. (Dok. Ceniza Marzuki). Sudirdjo amat mendukung hobi anaknya dengan menyediakan fasilitas untuk menunjang hobi tersebut. Sebagai kepala Tekniksi Stasiun Radio di Malabar, Bandung, Sudirdjo juga jadi tempat Artati belajar komunikasi radio. Artati amat dekat dengan ayahnya. Kala Perang Kemerdekaan, Artati mengikuti Sudirdjo membantu Palang Merah Indonesia. Pada peristiwa Bandung Lautan Api, radio tempat Sudirdjo bekerja pindah ke Dayeuhkolot dan dikuasai para pejuang. Artati bergabung menjadi staf Penerangan Luar Negeri (Voice of Free Indonesia) dan menjadi penyiar yang mengumumkan kemerdekaan Indonesia dalam bahasa Inggris melalui radio tersebut. Pasca-proklamasi, Artati mengawali karier di Kementerian Luar Negeri di bidang politik/konsulet. Ia menjabat sebagai Sekretariat Jenderal Kementerian Luar Negeri ketika ibukota pindah ke Yogyakarta. “Ibu adalah diplomat wanita pertama termuda (29 tahun) yang dikirim ke Perwakilan Tetap Republik Indonesia di New York dan menyaksikan pengibaran bendera Merah-Putih saat Indonesia diterima sebagai anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950,” kata Ceniza. Semangat belajar Artati tak pernah hilang. Begitu situasi aman pasca-penyerahan kedaulatan, Artati melanjutkan pendidikannya dengan Kursus Diplomatik dan Konsuler selama setahun di Kementerian Luar Negeri, Jakarta. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia namun harus terhenti pada 1950 karna mewakili Indonesia di PBB. Sekjen Deplu Artati Sudirdjo duduk bersama Menlu Adam Malik dan pegawai Deplu. (Dok. Ceniza Marzuki). Sebagai mahasiswa, Artati aktif sebagai awak redaksi majalah yang dikeluarkan oleh Unitas Studiosorum Indonesiensis dan Indonesische Vrouwelijke Studenten Vereniging. Ia juga menjadi pengurus redaksi Majalah Karya yang ditujukan untuk perempuan pekerja. Dari 1958 hingga 1961, Artati bertugas di Kedutaan Besar RI di Roma. Setelah itu dia dipercaya menjadi kepala Direktorat Organisasi Internasional Departemen Luar Negeri hingga diangkat menjadi menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI (1964-1966). Karier Artati mayoritas dihabiskan di bidang diplomatik. Usai menjadi menteri, ia kembali ke Departemen Luar Negeri sebagai Sekretaris Jenderal (1966-1971) dan Inspektur Jenderal (1971-1973). Pada 1973 hingga lima tahun kemudian, Artati menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI. Dari 1978–1982, ia bertugas sebagai Panitia Tetap Hukum Humaniter di Departemen Kehakiman. Pada 1980-an, Artati kembali ke dunia diplomatik dengan menjadi duta besar RI untuk Swiss, Austria, merangkap wakil tetap RI di PBB dan organisasi-organisasi Internasional di Wina. Di antara posisi penting yang dipegang Artati ialah ketua Dewan Gubernur di Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan ketua Sidang Khusus tentang Kecelakaan Nuklir di Chernobyl, yang membahas solusi untuk para korban. Artati Sudirjo di masa senja bersama anak pertamanya, Ceniza Marzuki. (Dok. pribadi Ceniza Marzuki). Meneladani Kedisiplinan Artati Dalam ingatan Ceniza, Artati adalah sosok ibu yang disiplin dan perhatian. “Kedisiplinannya kemudian menjadi pedoman Ibu Artati dalam kesehariannya,” kata Ceniza. Sikap disiplin Artati diajarkan oleh ayahnya yang amat disiplin dan terorganisasi. Itu bisa dilihat dari pembagian tugas di rumah kala Artati masih kecil. Kedisiplinan dan sikap terencana Sudirdjo pula yang membuatnya berhasil menyelamatkan alat-alat stasiun radio dalam pengungsian dari Malabar ke Dayeuhkolot saat peristiwa Bandung Lautan Api. Disiplin dan teratur adalah ciri khas karakter Artati. Ia selalu tepat waktu dan suka menata berkas-berkasnya dengan sangat rapi, kronologis, dan terawat. Ceniza mencontohkan, surat dari 30 tahun lalu pun masih disimpan oleh Artati. Hal itulah yang diajarkan dan diturunkan pada Ceniza untuk menjaga dan merawat segala berkas tua. “Hubungan kami unik karena membahas dan mempersiapkan untuk wafatnya, hal mana saat itu dianggap ‘tabu’, membahas persiapan kematian,” kata Ceniza. Ceniza ingat, ibunya selalu berusaha mempersiapkan segala sesuatu untuk dirinya sendiri, anak, ataupun cucunya. Pesan Artati yang masih diingat Ceniza, perempuan dan lelaki memiliki hak dan kewajiban serta kesempatan sama, yang terpenting adalah pembagian tanggung jawab yang seimbang, selaras, dan serasi. “Ayah dan ibu sangat maju pemikirannya. Dalam lingkungan keluarga saya untuk pertama kali melihat penerapan prinsip non-diskriminasi terhadap perempuan. Ketika itu saya tidak menyadari, akan tetapi contoh orang tua saya itu akan sangat berpengaruh dalam kehidupan dan pekerjaan saya kemudian,” kata Artati.
- Bencana Gunung Api Menghantui Majapahit
Endapan lahar Gunung Kelud dari ratusan tahun lalu menjangkau 40 km lebih wilayah di sekitarnya. Tanah yang subur menjadi tandus. Candi, sarana kota, permukiman, semua porak poranda, terkubur material muntahan Sang Giri. Inilah yang terjadi pada pusat Kerajaan Majapahit di timur laut Kelud. "Ini yang mengubur peradaban, yang sekarang ditemukan di beberapa tempat, di antaranya Situs Kedaton di Jombang, Sumberbeji di Jombang, dan Kumitir di Trowulan," kata Amien Widodo, peneliti Departemen Teknik Geofisika ITS, dalam webinar "Bencana Alam dan Jejak Peradaban Abad 12-14 M" yang diadakan Teknik Geofisika ITS. Serat Pararaton mencatat bencana terjadi berkali-kali. Naskah yang ditulis pada masa akhir Majapahit itu menyebut gunung meletus pada 1233 Saka (1311), 1317 Saka (1395 M), 1343 Saka (1421 M), 1373 Saka (1451 M), 1384 Saka (1462 M), dan 1403 Saka (1481 M). Diikuti bencana lainnya, seperti gemuruh lahar dingin ( guntur banyu pindah ) pada 1256 Saka (1334 M) dan muncul Gunung Anyar (Baru) pada 1307 Saka (1385 M). Letusan gunung pada 1343 Saka (1421 M) disusul kekurangan pangan pada 1348 Saka (1426 M). Gempa bumi ( palindu ) terjadi pada 1372 Saka (1450 M) sebelum gunung meletus pada 1373 Saka (1451 M). "Banjir dan perpindahan meander (kelokan sungai di sepanjang alirannya, red .) Kali Brantas menjadi salah satu penyebab terkuburnya peradaban," kata Amien. Menyeret Mundur Majapahit Sejarah aktivitas Gunung Kelud sangat panjang. Gunung ini aktif sejak abad ke-10 hingga masa Majapahit, bahkan sampai sekarang. Dalam Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi (2013), peneliti Badan Geologi Bandung, Akhmad Zaennudin, Sofyan Primulyana, dan Darwin Siregar, mengungkap bahwa letusan Gunung Kelud selama kurun waktu 1380–1420 menghasilkan endapan batuan vulkanik berupa endapan aliran piroklastik, jatuhan piroklastik, dan lahar yang menutupi wilayah di sekitar gunung api itu hingga lebih dari 40 km. Mereka memilih empat lokasi endapan piroklastika yang terjadi masa Majapahit, yakni Gunung Pedot, Bambingan, Sepawon, dan Candi Tondowongso. Lokasinyaberada pada sisi barat dan barat laut dari Gunung Kelud. "Bukaan kawah sejak abad ke-10 sampai sekarang belum mengalami perubahan yaitu ke arah barat, sehingga wilayah barat daya, barat, dan barat laut merupakan daerah yang sangat parah terkena dampak letusan khususnya endapan," tulis laporan itu . Penelitian itu mengungkapkanbahwa lahar dari letusan dahsyat Gunung Kelud merusak dan mengubur peradaban Majapahit. Para petani tak bisa lagi menggunakan lahannya karena kekeringan. Bencana itu diduga turut menyeret Majapahit ke kemunduran. "Semua fasilitas hancur tertimbun oleh endapan jatuhan piroklastika dan lahar, sehingga dapat melumpuhkan semua sendi-sendi kehidupan masyarakat dan pemerintahan kerajaan," tulis laporan itu. Situs Terkubur Endapan Lahar Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog BPCB Jawa Timur, menerangkan selama dua tahun terakhir situs-situs yang digali menunjukkan adanya aktivitas vulkanik pada abad ke-12–14. Tampak dari irisan lapisan tanah yang menimbun situs-situs itu. Misalnya, di Situs Petirtaan Sumberbeji di Ngoro, Jombang, ditemukan pecahan porselen dari Dinasti Song. Namun, fragmen porselen dan uang kepeng dari Dinasti Yuan lebih dominan. Jadi,situs ini dari abad ke-13–14. Pada irisan stratigrafi tanahnya terdapat lapisan pasir cukup padat dengan isian krikil dan krakal. "Ini muncul hanya di dinding galian bagian selatan. Lapisan ini sampai ke lantai. Ketika menggali, kami seperti mengupas cor-coran lantai," ujar Wicaksono. Wicak sono mengajukan hipotesis bahwa Situs Sumberbeji bagian dari Situs Kedaton di Sugihwaras. Ia menduga , situs ini merupakan kawasan yang hampir mirip dengan kawasan Trowulan, ibu kota Majapahit. "Dalam catatan sejarah pernah terjadi perpindahan keraton. Hanya pada masa kapan, kenapa, dan bagaimana , butuh waktu untuk menjawab," kata Wicak sono . Di Situs Kedaton dan Bulurejo, Jombang, juga ditemukan lapisan pasir dan isian krakal. "Malah bongkah. Ini karena proses sungai, larutan banjir dari Kelud yang terbawa aliran sungai," kata Wicaksono. Di Situs Kedaton ditemukan pecahan porselen dari Dinasti Yuan dan Ming, fragmen tembikar kasar dan halus bergaya Majapahit, dan fragmen genteng dan ukel (hiasan pinggir atap rumah). Maka,Situs Kedaton dan Bulurejo diperkirakan kompleks situs permukiman atau kedaton Majapahit dari abad ke-13–14. Endapan lapisan tanah serupa juga terindikasi di wilayah selatan dari Trowulan, yakni Situs Kumitir, Tikus, dan Grogol. Situs Kumitir di Jatirejo, Mojokerto, belum lama ditemukan. Saat ditemukan, situs ini tampak tidak signifikan.Situs ini awalnya hanya 10 meter, setelah penggalian dilanjutkan menjadi sepanjang 21 meter. Peneliti mengaitkan temuan talud ( tembok panjang ) di Situs Kumitir dengan temuan yang sudah di data sejak 2017 hingga 2018. Mereka melakukan penggalian di situs ini pada akhir Oktober hingga awal November 2018 . Ada sepanjang 187 m eter struktur lurus yang tampak. Situs Kumitir dihubungkan dengan naskah Nagarakrtagama, Pararaton , dan kitab Wargasari. " Raja Majapahit melewati Kumitir sebagai sisi timur dari Kotaraja Majapahit. Kami simpulkan ada candi pendharmaan di Kumitir milik Mahisa Campaka masa Singhasari, kemudian pada masa Majapahit di Trowulan ini dikembangkan menjadi sisi timur Majapahit," kata Wicaksono. Situs Petirtaan Sumberbeji, Kedaton,dan Bulurejo,terpendam karena banjir lahar Kelud melalui sungai-sungai di sekitarnya, termasuk Sungai Konto. Sementara itu, Situs Kumitir terpendam oleh banjir lahar Arjuno yang diduga mengalir melalui Sungai Pikatan. "Karena sungai ini cukup dekat dengan Kumitir atau mungkin karena erupsi Gunung Welirang, karena gunung ini juga pernah erupsi besar sampai membelah," ujar Wicaksono. Yang terbaru adalah Situs Petirtaan Geneng di Brumbung, Kediri. Endapan vulkanik di situs itu jelas berasal dari letusan Gunung Kelud. Letaknya di Kepung, kecamatan terakhir yang paling dekat dengan aktivitas vulkanik dari Gunung Kelud. "Erupsi Gunung Kelud cukup hebat beberapa kali terjadi, salah satunya beberapa kali pada 1500-an. Mungkin bisa terjadi di tahun-tahun itu untuk Situs Geneng," kata Wicak sono . Amien Widodo menjelaskan keberadaan aliran Kali Brantas di sekitar permukiman membuat dampak kerusakan letusan Gunung Kelud semakin parah. "Lihat Kali Brantas, sungai besar dan panjang, alirannya deras. Jika ditambahi material gunung berapi ini bisa sangat merusak," ujar Amien. Untuk mengantisipasinya, pemukim membuat dawuhan , yakni tanggul disekitar Kali Brantas. Jika tidak, mereka akan hancur karena banjir. "Kerajaan yang ada di sepanjang sungai mestinya sudah melakukan upaya pengolahan sungai agar tidak merusak," ujar Amien. Letusan Gunung Kelud sebelum tahun 1920 dikenal dengan letusan lumpur atau banjir bandang. Sebelum tahun 1920 Gunung Kelud merupakan danau kawah. Pemerintah Hindia Belanda sampai membuat terowongan yang selesai pada 1924. Dengan terowongan itu, ketinggian air dapat dikurangi. "Sebelum itu kalau meletus dikenal dengan letusan lumpur atau banjir bandang," ujar Amien. "Sebelum meletus didahului banjir bandang. Peradaban masa lalu mereka berhadapan dengan hal-hal ini."
- Heydrich, Jagal Nazi Berhati Besi
DI mobil Mercedes 320 convertible hijau yang menggelinding dari rumahnya menuju markasnya di Kastil Praha, 27 Mei 1942 pukul 10.32, SS-Gruppenführer (setara jenderal) Reinhard Heydrich mengobrol santai dengan sopir cum pengawalnya, Oberscharführer (sersan mayor) Hans Klein. Namun tak lama usai melewati tikungan di Distrik Libeň, sang Reichsprotektor Bohemia dan Moravia (kini Rep. Ceko) itu terkejut. Seorang pemuda membidikkan senapan mesin ringan Sten ke arahnya. Seketika Heydrich panik. Untung dia bisa mengendalikan diri untuk kemudian mengambil pistol Luger dari pinggangnya. Lebih beruntung lagi, si pemuda itu gagal melepaskan tembakan lantaran Sten-nya macet. Tetapi hanya sampai di situ keberuntungan Heydrich. Saat ia tengah gencar membalas tembakan dan memerintahkan Klein mengejarnya, seorang pemuda lain melemparkan granat dari arah belakang dan meledak mengenai ban belakang mobil berplat SS 3 itu. Paru-paru, limpa, dan tulang rusuk Heydrich terluka oleh pecahan granat itu. Heydrich yang mengerang kesakitan tertatih-tatih mencoba keluar dari mobilnya untuk mengejar sang pelempar granat. Tapi tak sampai 10 langkah, Heydrich ambruk. Heydrich segera dilarikan ke Rumahsakit Bulovka oleh seorang wanita dan polisi di dekatnya. Mobil Mercedes convertible Heydrich yang hancur akibat percobaan pembunuhan (Foto: Bundesarchiv) Baca juga: Heinrich Himmler, Arsitek Genosida Nazi Mendengar kabar pahit itu, atasannya, Panglima Schutzstaffel (SS) Reichsführer Heinrich Himmler, sampai mengirimkan dokter pribadinya, Karl Gebhardt ke Praha. “Himmler juga sampai datang menjenguknya pada 2 Juni. Tetapi Heydrich jatuh koma pada 3 Juni dan tak pernah siuman lagi. Ia dinyatakan meninggal pada 4 Juni, di mana otopsi menyimpulkan ia meninggal karena infeksi,” ungkap Steven Lehrer dalam Wannsee House and the Holocaust. Kematian Heydrich “si arsitek Holocaust ” kemudian memicu kebrutalan pasukan Jerman-Nazi terhadap ribuan orang tak berdosa atas nama pembalasan. Antisemit Sejak Dini Reinhard Tristan Eugen Heydrich merupakan anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Richard Bruno Heydrich dan Elisabeth Anna Maria Amalia Krantz, yang lahirkan pada 7 Maret 1904 di Kota Halle, Jerman. Ia berasal dari keluarga kaya Katolik-Protestan lantaran Bruno Heydrich merupakan salah satu komposter ternama di Jerman. Disingkap Fred Ramen dalam Reinhard Heydrich: Hangman of the Third Reich , mulanya Heydrich seorang bocah pemalu yang menyalurkan energinya lewat musik dan olahraga. Heydrich kecil menutupi rasa mindernya lantaran sering di- bully karena suaranya yang ‘cempreng’ dengan menekuni instrumen biola dan olahraga renang serta anggar. Baca juga: Anggar untuk Hitler Situasi Jerman pasca-Perang Dunia I menyeret Bruno untuk aktif politik di kubu nasionalis antisemit. Kedengkiannya pada Yahudi terpupuk gegara Bruno bertubi-tubi dihantam rumor bahwa dia keturunan Yahudi. “Ibunya menikah lagi setelah ayahnya (Karl Julius Reinhold Heydrich) meninggal dan ibunya memakai nama suami barunya, Suess, di mana di Jerman saat itu nama tersebut berbau Yahudi. Suami barunya itu bukan Yahudi, namun rumor itu membuatnya jauh dari kalangan kelas atas di Halle. Sungguh ironis bahwa orang-orang yang membenci Yahudi mempersekusi seseorang yang juga sangat membenci Yahudi,” tulis Ramen. Politik baru benar-benar merasuk ke diri Heydrich ketika Jerman diguncang Revolusi Jerman pada Februari 1919. Heydrich yang berusia 15 tahun merasa harus terlibat dengan menggabungkan diri ke laskar sukarela Freiwilliges Landesjägerkorps pimpinan Generalmajor Ludwig Maercker. Selepas masa konflik, Heydrich meninggalkan dunia musik untuk menseriusi politik di organisasi pemuda antisemit Deutschvölkischer Schutz- und Trutzbund pimpinan Albert Roth. Kolase foto masa kecil Heydrich (kiri) & saat jadi kadet Reichsmarine (AL Jerman) (Foto: Wikipedia) Namun belum lama berkecimpung di politik, Heydrich terpaksa harus menanggung nafkah keluarganya akibat sekolah musik yang didirikan ayahnya pailit pada 1921 menyusul depresi ekonomi. Demi gaji dan iming-iming tunjangan pensiun menggiurkan, Heydrich memutuskan masuk akademi Reichsmarine (Angkatan Laut Jerman) pada 1922. Cerdas dan disiplin sejak kecil, dalam kurun enam tahun ia mampu mencapai pangkat Oberleutnant zur See (letnan laut). Dengan memadukan paras tampannya, pangkat itu dipergunakan Heydrich untuk menjerat banyak wanita. Salah satu yang terjerat adalah Lina Mathilde von Osten, gadis dari keluarga aristokrat yang ia temui dalam sebuah pesta medio 1930. Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Pelukan Hitler Namun meski sudah punya Lina, Heydrich masih jelalatan dengan wanita lain. Ulah “playboy”-nya itu akhirnya membuatnya dipecat dari Reichsmarine pada April 1931 dengan pesangon 200 Reichsmarks (RM) per bulan selama dua tahun. “Banyaknya petualangan cinta membuatnya mendapat masalah dari atasannya ketika seorang ayah dari salah satu teman wanitanya, seorang direktur I.G. Farben dan teman Laksamana Erich Raeder (Panglima AL), komplain; tidak hanya si gadis hamil, namun saat disidang Heydrich juga berusaha melimpahkan kesalahan pada si gadis,” tulis Richard J. Evans dalam The Third Reich in Power. Penjagal di Bawah Ketiak Himmler Pemecatan tak mengurungkan niat Heydrich bertunangan dengan Lina. Gadis yang merupakan kader Partai Nazi sejak 1929 itu punya tempat tersendiri dalam hati Heydrich. Lina menularkan virus Naziisme dan membuat Heydrich menaruh minat terhadap Partai Nazi hingga masuk partainya Adolf Hitler itu pada 1 Juni 1931. Berbekal pengalaman militer di Reichsmarine sebagai perwira bagian sinyal, Heydrich bergabung ke Schutzstaffel (SS), sayap militer Nazi, enam pekan berselang sebagai perwira bagian informasi. Mengutip George C. Browder dalam Foundations of the Nazi Police State: The Formation of Sipo and SD, Heydrich melihat kesempatan untuk naik jabatan dengan sekejap kala mendengar desas-desus bahwa komandan SS, Himmler, akan membentuk sebuah badan intelijen baru di luar Reichswehr (angkatan bersenjata Jerman). “Jalan pintas” itu ia bangun memanfaatkan kenalan dekat tunangannya yang seorang petinggi Sturmabteilung (SA), Oberführer Baron Karl von Eberstein, ketika akan rapat dengan Himmler soal konsolidasi unit intel baru, Ic-Dienst. Baca juga: Joseph Goebbels, Setia Nazi Sampai Mati Heydrich (kiri/berdiri) & Himmler (duduk, kedua dari kanan) "duet maut" penguasa internal pemerintahan Jerman-Nazi (Foto: Bildagentur für Kunst, Kultur und Geschichte) Dengan kereta malam dari Hamburg, berangkatlah Eberstein membawa serta Heydrich menuju Munich untuk bertemu Himmler di markas Partai Nazi. Tanpa persiapan apapun, Heydrich bakal menjalani interview yang akan mengubah catatan sejarah hidupnya. “Himmler disebutkan bertanya tentang pengalamannya dalam kontra-intelijen dan Heydrich sebenarnya mengarang cerita tentang ini-itu. Himmler lalu memberinya waktu 20 menit untuk membuat kerangka organisasinya. Dengan mudah, Heydrich merancang semuanya mulai dari perlengkapan militernya, hingga jargonnya. Himmler terkesan dan merekrutnya saat itu juga,” tulis Browder. Kandidat-kandidat lain dari perwira kepolisian pun seketika itu disingkirkan Himmler. Heydrich mulai bekerja pada 10 Agustus 1931 di Munich dengan pangkat sturmbannführer (setara mayor). Seksi intel SS saat itu masih bernama Ic-Dienst dan anggotanya baru Heydrich seorang. Ia bertanggungjawab langsung pada Himmler. Baca juga: Selusin Jenderal yang Disingkirkan Hitler (Bagian I) Dalam kurun dua tahun, Heydrich banting-tulang untuk membuat Himmler terkesan. Dengan rapi dan cermat, ia rutin memberi laporan-laporan intelijen dan kontra-intelijen terkait manuver-manuver politik Partai Nazi. Tidak hanya jadi mata-mata di lingkaran luar, namun juga di internal partai. “Heydrich mengembangkan sebuah visi tentang Ic-Dienst sebagai sebuah instrumen pemantauan terhadap segenap kehidupan nasional Jerman, menjamin dominasi total partai, dan dia meyakinkan Himmler tentang visinya ini. Sebagai balasannya, pekerjaan Heydrich sangat diapresiasi Himmler yang menerima laporan-laporan tentang orang-orang yang berpotensi menjadi musuh di luar maupun di dalam partai,” tulis Adrian Weale dalam The SS: A New History. Pembantaian Yahudi dan tahanan politik di Polandia lewat instruksi Heydrich dan Himmler (Foto: nac.gov.pl/Repro "Believe & Destroy: Intellectuals in the SS War Machine" Heydrich pun jadi perwira intel kepercayaan Himmler untuk menjabat kepala unit-unit kepolisian yang diambilalih Himmler. Selain Kepolisian Munich, ada Gestapo (Polisi Rahasia) yang didirikan Hermann Goering. Himmler mempercayakan jabatan deputi kepala Gestapo kepada Heydrich pada 1934. Jadilah Himmler dan Heydrich sebagai duet paling berkuasa dalam internal pemerintahan. Ic-Dienst yang sejak 1932 bertransformasi menjadi Sicherheitdienst (SD), agensi intel saingan Abwehr (Intel Angkatan Bersenjata Jerman), juga jadi dinas yang dipegang Heydrich sebagai direkturnya dengan pangkat brigadeführer (mayor jenderal). Dalam operasi Malam Belati Panjang (30 Juni-2 Juli 1934), operasi pembersihan SA yang dilancarkan Hitler setahun setelah jadi kanselir, Heydrich berperan menyuplai informasi pada Hitler terkait siapa saja yang akan dilenyapkan agar kelanggengan jabatannya sebagai kanselir tak digembosi dari dalam. Baca juga: Selusin Jenderal yang Disingkirkan Hitler (Bagian II–Habis) Dua tahun pasca-aneksasi Jerman terhadap Austria, 12 Maret 1938, Heydrich mengambilalih kepemimpinan Komisi Kepolisian Kriminal Internasional –pendahulu Interpol– (ICPO) sehingga jabatannya merangkap deputi Himmler, kepala Kepolisian Jerman, dan direktur SD. Semakin berkuasanya Heydrich, semakin menyebar pula teror terhadap ras-ras inferior lewat berbagai institusi yang didirikannya. Tak hanya di Jerman dan Austria, namun juga di negeri-negeri yang lantas diduduki Jerman-Nazi. Di Polandia, Heydrich mendirikan cabang Gestapo, Zentralstelle IIP Polen, dan gugus tugas SS, Einsatzgruppen . Unit paramiliter Nazi itu kondang menggelar pengusiran, deportasi, hingga pembantaian massal lewat Operasi Tannenberg dan Intelligenzaktion (1939-1940). Sekira 100 ribu nyawa melayang atas perintah Heydrich lewat dua operasi itu. “Sejak 1941, sangat jelas bahwa Heydrich jadi salah satu motor utama penggerak kebijakan anti-Yahudi. Dia tak hanya mengontrol organisasi polisi, namun organisasi-organisasi lain yang dipercayakan oleh Himmler sebagai perantara antara dia dan Hitler untuk mencari dan mengimplementasikan ‘solusi akhir’,” tutur sejarawan Robert Gerwarth dalam Hitler’s Hangman: The Life of Heydrich . Lewat surat instruksi Reichsmarschall Hermann Goering, Heydrich menggelar Konferensi Wannsee untuk menentukan "Final Solution" (Foto: ihffilm.com/ghwk.de ) Di tahun itu dan tahun berikutnya, Heydrich dipercaya memegang jabatan direktur Reichssicherheitshauptamt (RSHA) atau Badan Keamanan Negara dan Reichsprotektor Bohemia dan Moravia. Pangkatnya dinaikkan menjadi gruppenführer (jenderal). Ia dianggap paling cocok untuk meredam sentimen anti-Jerman yang mulai tumbuh di Praha dan sekitarnya. “Ia dikenal dingin ketika menjalankan tugasnya sebagai motivator (pasukan SS), perencana dan organisator. Pernah satu ketika Hitler memujinya dengan sebutan ‘sosok berhati besi’,” ungkap Mario R. Dederichs dalam Heydrich: The Face of Evil. Baca juga: Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman Namun, lama-kelamaan para prajuritnya merasa jengah membantai korban dengan penembakan massal. Mereka juga menganggap peluru lebih bernilai untuk kebutuhan perang dibanding untuk genosida. Tak mungkin mereka menghabisi ratusan ribu Yahudi yang tengah ditahan di kamp-kamp konsentrasi dengan metode itu lagi. Maka dibutuhkan solusi final untuk “pertanyaan (tentang) Yahudi” ini. Diungkapkan Christopher R. Browning dalam The Origins of the Final Solution: The Evolution of Nazi Jewish Policy, September 1939-March 1942 , perkara ini ditetapkan Reichsmarschall Hermann Goering dalam suratnya kepada Heydrich pada akhir Juli 1941. Intinya Goering memberi otoritas pada Heydrich untuk merancang solusi apapun guna mengatasi masalah Yahudi. “Rencana tentang solusi itu diresmikan di Konferensi Wannsee, 20 Januari 1942. Konferensi dipimpin langsung Heydrich dan dihadiri 15 pejabat yang mewakili segenap pemerintahan Jerman-Nazi. Dalam rencana itu, sekitar 11 juta Yahudi Eropa akan masuk ke dalam solusi final itu,” tulis Browning. Upacara pemakaman Heydrich (atas) & pembantaian serta penghancuran desa Lidice sebagai pembalasan atas kematian Heydrich (bawah) (Foto: Library of Congress/Bundesarchiv) Hasil dari Konferensi Wannsee itu diimplementasikan dengan pendirian kamar-kamar gas untuk melenyapkan Yahudi yang ada di ghetto-ghetto dan kamp-kamp konsentrasi. Sekira tiga juta Yahudi tewas oleh metode itu sampai perang usai. Heydrich tak pernah mengetahui hasil akhir kebijakan itu maupun Perang Dunia II karena keburu tewas ketika perang masih berkecamuk. Ia tutup usia beberapa hari setelah percobaan pembunuhan oleh dua patriot Ceko yang dilatih intelijen Inggris, Jan Kubiš dan Jozef Gabčík. Kematian Heydrich karena percobaan pembunuhan tak membuat Hitler heran mengingat Heydrich selalu nekat berperjalanan dengan mobil terbuka yang tak dilapisi baja dan tanpa pengawalan. “Tidak hanya pembunuh, pencuri pun punya kesempatan melihat gestur heroik dengan mobil terbuka, tanpa lapisan baja atau berjalan-jalan tanpa pengawalan dan itu tindakan bodoh. Mestinya orang yang tak tergantikan seperti Heydrich tak mengekspos dirinya dari bahaya semacam itu. Saya hanya bisa menyatakan hal ini sebagai kebodohan dan pikiran yang idiot,” kata Hitler ketus menanggapi kematian Heydrich, dikutip Callum MacDonald dalam The Killing of Reinhard Heydrich: The SS ‘Butcher of Prague’ . Kendati begitu, Hitler memerintahkan Himmler melancarkan aksi pembalasan atas kematian Heydrich. Sehari setelah Heydrich dimakamkan di Berlin pada 10 Juni 1942, pasukan SS dan Gestapo mengepung Desa Lidice dan Ležáky, 22 mil barat laut dari Kota Praha. Dua desa itu dicurigai Gestapo sebagai tempat persembunyian para pelaku. Total 1.300 laki-laki warga dua desa itu langsung dieksekusi, sementara 200 warga perempuan dikirim ke kamp konsentrasi. Dua desa itu pun hangus dibakar. Baca juga: Adik Goering Anti-Nazi dan Penyelamat Yahudi
- Dari Cara Mengetahui Waktu hingga Zona Waktu
Bagaimana manusia pada masa lampau mengetahui waktu? Untuk mengetahui waktu, manusia biasanya menggunakan matahari. Seperti dilakukan Ibnu al-Shatir, astronom Arab, pada abad ke-14. Dia memanfaatkan sinar matahari yang menimpa benda tegak pada sebuah bidang landai. Bidang itu terbagi atas 12 sudut. Masing-masing menunjukkan pergerakan waktu karena bayangan benda tegak itu akan bergerak sesuai pergeseran matahari. Tiap pergeseran bayangan satu sudut, Shatir menghitungnya satu jam. Orang mengenal alat ini sebagai jam matahari. Prinsip jam matahari telah dikenal sejak 3500 SM. Kala itu, orang-orang Mesir Kuno membangun sebuah obelisk berupa jam matahari. Dari sinilah, Shatir mengembangkan prinsip jam matahari. Tapi obelisk ini hanya menunjukkan waktu siang. Untuk menyiasatinya, mereka kemudian menggunakan pasir dan air sebagai media penunjuk waktu malam. Bagaimana perhitungan waktu menurut Suku Maya di Meksiko? Perhitungan waktu atau penanggalan yang dipercaya oleh Suku Maya berlandaskan pada perputaran Tanah Suci selama 260 hari, tahun matahari 365 hari, dan satu putaran 18.980 hari. Perputaran tersebut terdiri atas 52 tahun matahari atau 73 tahun suci. Suku Maya yakin bahwa sejarah berulang-ulang dalam daur yang mereka sebut “katun”. Setiap katun mengikuti daur sebelumnya dan berakhir pada hari yang sama dalam perputaran 18.980 hari dan pada hari itu mulailah katun baru. Sistem perhitunganwaktu Suku Maya ini lebih rumit dibandingkan sistem kabisat. Disebut-sebut tahun 2012 menurut perhitungan ini akan terjadi kiamat karena hari dalam waktu penghitungan Suku Maya ini berakhir. Mungkin artinya bukanlah kiamat, tapi tahun ini menjadi perputaran baru daur waktu dengan katun yang baru. Bagaimana cara orang bangun tepat waktu sebelum ditemukan jam alarm? Masyarakat Mesir kuno pada 245 SM telah menggunakan jam mekanik pertama di dunia dengan media air. Caranya air dialirkan ke dalam bejana yang bagian dasarnya dilubangi. Air ditampung wadah yang diberi tanda untuk menunjukkan tingkat perubahan ketinggian air sekaligus menunjukkan waktu. Teknik ini kemudian dikembangkan Tiongkok dengan menambahkan gong atau lonceng sebagai penanda waktunya. Penduduk asli Amerika hingga abad ke-20 punya cara unik: jam biologis. Sebelum tidur, mereka meminum air berlebihan. Hasrat buang air menyebabkan mereka bangun lebih awal. Sementara itu, di Eropa pada era Revolusi Industri, bos-bos pabrik mempekerjakan seseorang untuk mengetuk jendela mess dengan tongkat panjang atau penembak kacang. Cara ini bertujuan membangunkan buruh dan memastikan mereka tiba di pabrik tepat waktu. Bagaimana manusia zaman dulu menentukan arah mata angin? Seorang pangeran dari Tiongkok menghadiahkan sebuah kereta kepada utusan raja muda dari sebelah selatan negeri Tiongkok pada 1000 SM. Kereta itu dilengkapi boneka kayu, dengan magnet di telunjuknya, yang selalu menunjuk ke selatan. Dengan kompas kuno itu, raja muda tak tersesat meski berada di rimba raya. Kompas ini perlahan menggantikan cara menentukan arah dengan melihat matahari atau konstelasi bintang. Orang lalu berpikir menggunakan alat serupa di laut. Orang Arab menyempurnakannya untuk pelayaran pada abad ke-8. Pedoman ini melengkapi alat navigasi lain yang lebih dulu dikenal: peta. Penemuan ini tersebar ke Eropa. Salah satu orang Eropa yang mengembangkan kompas ini adalah Flavio Gioja. Mulanya orang di sana tak percaya dengan sifat magnet pada pedoman. Mereka lebih percaya magnet diisi kekuatan setan. Berapa kali Indonesia mengalami perubahan pembagian zona waktu? Sejak merdeka, Indonesia tercatat mengalami beberapa kali perubahan pembagian zona waktu. Mulanya pengaturan zona waktu masih mengikuti Jepang. Barulah pada 1947, kala Belanda kembali menduduki Indonesia, zona waktu Indonesia berubah. Belanda membagi Indonesia menjadi tiga zona waktu yang berselisih masing-masing enam, tujuh, dan delapan jam dengan Greenwich Meridian Time (GMT). Melalui Keputusan Presiden RI No. 152 Tahun 1950, Indonesia memiliki enam zona waktu dengan selisih 30 menit pada tiap zona waktu. Keputusan ini berubah lagi pada 1963. Indonesia kembali dibagi atas tiga zona waktu dengan selisih 60 menit pada tiap zona waktu. Pada 1987, Keputusan Presiden menyangkut zona waktu dikeluarkan. Namun tak ada perubahan pembagian zona waktu dalam aturan itu. Hanya beberapa wilayah yang ditukar ke dalam zona tertentu. Peraturan tersebut bertahan hingga sekarang .
- Letusan Gunung Tambora Musnahkan Dua Kerajaan
Baru sehari masuk bulan Jumadilawal. Subuh tak kunjung benderang tatkala petaka menyembur dari dalam Tanah Bima. Seakan meriam perang tengah diletuskan. Batuan dan hujan abu seperti dituang. Tiga hari dua malam tak berkesudahan. Ketika tiba terang, tampaklah rumah dan tanaman rusak seperti diterjang perang. Gunung Tambora telah membawa tamat bagi dua negeri: Tambora dan Pekat. Dari penuturan naskah Bo’ Sangaji Kai itu bisa dibayangkan letusan Gunung Tambora seakan kiamat khususnya bagi Kerajaan Tambora dan Pekat. Penyebabnya, menurut naskah itu akibat tindakan jahat Sultan Tambora, Abdul Gafur. Malapetaka baru berakhir berkat orang bersembahyang. Namun, kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tak bisa tertolong. Orang mati bergeletakan di jalan. Mereka tidak dikubur, tidak pula disembahyangkan. Mayatnya menjadi santapan burung, babi, dan anjing. Andai tidak datang pedagang dari luar, penduduknya pasti habis, mati kelaparan. Para pedagang datang dari pulau-pulau sekitar. Mereka ada orang Arab, Tionghoa, dan Belanda. Beras, gula, susu, jagung, kacang kedelai yang mereka bawa ditukar dengan piring, mangkok, kain tenun, senjata, barang emas dan perak, sereh, gambir, serta budak. Penelitian membuktikan amukan Gunung Tambora terjadi pada April 1815. Igan Sutawidjaja, peneliti dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia menjelaskan, terjangan awan panas yang menggempur hampir sekeliling Gunung Tambora pertama kali terjadi pada 10 April 1815. Dampak terdahsyat dirasakan mereka yang bermukim di barat, selatan, dan utara gunung. Selain Tambora dan Pekat, Kerajaan Sanggar juga lebur diterjang awan panas mencapai 800°C. "Ke timur, ke arah Sanggar tidak begitu besar. Jadi, raja Sanggar masih bisa menyelamatkan diri dan pindah ke Sanggar sekarang," kata Igan dalam diskusi daring berjudul "Jejak-jejak Peradaban Tambora: Secercah Harapan di Balik Bencana" yang diselenggarakan Balai Arkeologi Bali. Sebelum musnah, kerajaan-kerajaan di wilayah Semenanjung Sanggar itu sempat mengalami kemakmuran. Menurut I Made Geria,kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), dalam Menyingkap Misteri Terkuburnya Peradaban Tambora, penelitian arkeologi memunculkan dugaan bahwa warga kerajaan-kerajaan itu telah membangun peradaban yang tinggi. "Peristiwa itu bisa dibayangkan sebagai sebuah peristiwa kiamat di wilayah Tambora sendiri dan penelitian juga sudah membuktikan bahwa wilayah Tambora luluh lantak," tulis I Made Geria. Pengaruh Majapahit dan Gowa-Tallo Pada pertengahan abad ke-17, sumber lontara Makassar menyebut Tambora dan Pekat memiliki kedudukan khusus dalam pemerintahan negeri-negeri Pulau Sumbawa. Sonny C. Wibisono, peneliti Puslit Arkenas, dalam Bencana & Peradaban Tambora 1815 ,menunjukkan peta tahun 1659 koleksi KITLV yang memuat gambaran wilayah Tambora dan Pekat. Peta ini termasuk salah satu dokumen Barat awal tentang wilayah itu. Bila mundur lagi ke masa lampau, sejumlah kerajaan di wilayah Sumbawa sudah dikenal sejak Raja Hayam Wuruk memerintah Majapahit. Dalam naskah Negarakertagama disebutkan negeri Dompo, Sang Hyang Api, dan Bima. Menurut I Made Geria, kemungkinan ketiga kerajaan itu terkena pengaruh Majapahit. Kendati dalam catatan sejarah hanya Dompo yang ditaklukkan Majapahit di bawah komando M pu Nala. Ketika Majapahit jatuh, kerajaan-kerajaan di Sumbawa menjadi negeri-negeri mandiri yang selanjutnya berada dibawah pengaruh Kesultanan Gowa-Tallo di Makassar pada abad ke-17. “Negeri ini berada di bawah penguasaan Makassar, khususnya dipimpin oleh para pangeran,” tulis Sonny. Sejak itu, Tambora diwajibkan membayar upeti dan menyediakan 40 budak. Demikian pula Pekat, pelabuhan yang sebelumnya di bawah Dompu. "Ketika Raja Rigaukanna atau Ala’uddin dari Goa menundukkan Sumbawa, Pekat diserahkan kepada Karaeng Maroanging. Rajanya selain harus memasok 20 budak ke Makassar, juga membayar upeti dengan tenun kain yang mereka buat," tulis Sonny. Tempat Persinggahan Hubungan perdagangan dengan Pulau Jawa dan kawasan barat Nusantara terus berlangsung meskipun Majapahit tak lagi berpengaruh. Pelaut Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental , menyebut kapal-kapal dari Malaka dan Jawa yang berlayar ke Maluku untuk mencari rempah-rempah singgah di Bima. Mereka berdagang, mengambil air minum danbahan makanan. Hubungan pelayaran-perdagangan itu menjadikan Bima salah satu bandar terpenting di kawasan Nusa Tenggara, kendati sudah terjadi sejak era Majapahit. Lokasi bandarnya di Teluk Sape dan Teluk Bima. Pada masa berikutnya, Bima berkembang menjadi pusat penyiaran Islam berkat letak geografisnya yang merupakan jalur lintas perdagangan. Keadaan itu juga membawa keberuntungan bagi Tambora, Pekat, dan Sanggar. Suplai komoditas dari kerajaan-kerajaan kecil itu ke Bima semakin lancar. "Ketiga kerajaan kecil ini mempunyai akses ke jalur lintas laut yang selalu dilalui para pedagang dari luar apabila menuju bandar Bima," tulis I Made Geria. "Kerajaan di sekitar Bima memiliki peran strategis yang mendukung perdagangan Bima." Kerajaan Tambora bahkan ber dagang langsung dengan Kerajaan Makas s ar. Hubungan kedua ke rajaan itu dibuktikan oleh surat-menyurat. Selain kaya sumber daya alam, wilayah Tambora juga strategis. Peta tahun 1659 koleksi KITLV menunjukkan wilayah raja ( koningrijk ) Tambora berada di bagian utara, wilayah yang lebih besar, di Semenanjung Sanggar. Sementara itu, bagian selatan Semenanjung Sanggar merupakan wilayah raja ( koningrijk ) Pekat. Lokasi Tambora berdekatan dengan Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh. Karenanya ia termasuk jalur lintas perdagangan yang ramai disinggahi kapal asing. "Karena ramainya jalur pelayaran di wilayah sekitarnya seperti pantai Kore, Sanggar, sering terjadi peristiwa serangan bajak laut," tulis I Made Geria. Potensi Tambora yang kaya sumber daya alam dan signifikan dalam perdagangan juga tak luput dari penguasaan bangsa Belanda, dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-19. "Pertimbangan Belanda untuk melakukan penguasaan terhadap kerajaan kecil karena dianggap lebih mudah ditundukkan sehingga potensi alam penyangga perdagangan Bima akan lebih mudah dikuasai," tulis I Made Geria. Ternyata, Tambora dan kerajaan lainnya tak mudah ditundukkan. Digunakanlah politik adu domba dengan Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Isinya di antaranya, Kerajaan Gowa dilarang mengirim bantuan ke Bima dan diperintahkan untuk menangkap raja-raja di kerajaan kecil. P erintah itu tidak dilaksanakan oleh Kerajaan Gowa. Namun, alam berkehendak lain. Tambora dan kerajaan lainnya mendapatkan pukulan dahsyat setelah Gunung Tambora meletus. I Made Geria mengutip catatan residen Tobias yang mendata: sebelum letusan, Tambora berpenduduk sekira 40.000 jiwa pada 1808. Setelah letusan dahsyat itu, 30.000 jiwa lebih penduduk tewas. Pada 1816, sisa penduduk yang masih hidup tewas semua karena diterjang banjir bandang dan banjir lahar. "Selanjutnya bekas Kerajaan Tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam tersebut digabungkan dengan wilayah Kerajaan Dompu," catat I Made Geria. Setelah bencana terjadi, Tambora tetap masyhur. Banyak pedagang datang untuk menukar dagangannya dengan barang berharga, sebagaimana dikisahkan syair Bo’ Sangaji Kai. Penduduk kembali ramai meninggali kawasan Tamborapada 1907. I Putu Yuda Haribuana, peneliti Balai Arkeologi Denpasar, menyebut ada peninggalan bangunan Belanda di sekitar situs Tambora, salah satunya bekas pabrik kopi. Menurut I Made Geria, temuan berbagai artefak disertai rangka manusia juga komponen sisa bangunan membuktikan bahwa Situs Tambora telah dihuni oleh sekelompok masyarakat yang memiliki peradaban cukup tinggi , jauh sebelum letusan Tambora 1815.
- Setelah Siliwangi (Diisukan) Takluk
Soempena masih ingat peristiwa itu. Ketika dirinya baru saja akan berangkat memimpin satu seksi pasukan untuk menghajar iring-iringan konvoi militer Belanda di jalur Purwakarta-Karawang pada 23 Juli 1947, tetiba seorang petugas perhubungan dari brigade induk tergopoh-gopoh datang menemuinya. Dalam wajah berduka dia memberitahu Soempena untuk membatalkan pencegatan. “Itu perintah siapa?!” hardik Soempena. “Panglima Divisi barusan mengumumkan di radio: kita harus menghentikan perlawanan karena Belanda terlalu kuat buat kita!” jawab sang petugas. Begitu mendengar itu, sang komandan seksi tersebut langsung lemas. Baginya kabar itu sangat sulit dipercaya. Namun apa boleh buat sebagai bawahan dia harus menuruti perintah atasan tertingginya itu. Sementara itu, Panglima Divisi Siliwangi Kolonel A.H. Nasution sendiri saat itu tengah berkeliling Jawa Barat untuk mengkoordinasi pasukannya. Dari bagian intelijen, Nasution sudah mafhum bahwa Belanda akan mematahkan Perjanjian Linggarjati dengan melakukan agresi ke wilayah-wilayah Republik. Begitu tiba di wilayah Ciwidey, Nasution sangat terkejut ketika Komandan Batalyon 26 (Siluman Merah) Kapten Achmad Wiranatakusumah menyodorkan dua salinan radiogram mengatasnamakan Panglima Divisi Siliwangi. Isinya: perintah kepada Batalyon 26 dan Batalyon 22 untuk menyerah kepada Belanda karena sudah tidak ada gunanya lagi untuk bertempur. Sementara itu salinan radiogram satu lagi berisi perintah agar Siliwangi menangkapi semua anggota badan perjuangan dan kelaskaran terutama pimpinan mereka Mayor Jenderal Djokosujono. Mereka dianggap sebagai para pengkhianat dan pengacau perjanjian damai. “Saya jelaskan bahwa kawat-kawat itu palsu sama sekali, sudah terang (militer Belanda) telah menggunakan cara perang psikologis. Mereka menggunakan zender yang lebih kuat dari zender kita dengan tujuan untuk mengacaukan kita,” ungkap Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid V: Agresi Militer Belanda I. Dalam kenyataannya, persoalan bukan hanya sekadar “lebih besar-nya zender milik militer Belanda dibanding milik TNI”. Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya Sejarah Kodam Siliwangi, adanya perintah palsu itu juga karena telah bocornya sandi-sandi rahasia Siliwangi ke intelijen militer Belanda. Isu takluknya Siliwangi, ternyata “dimakan” juga oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta. Menurut Nasution, isu bahwa “Panglima Divisi Siliwangi telah kapitulasi” beredar bukan hanya di kalangan para pejabat sipil RI dan para jenderal di MBT saja, namun juga sudah sampai ke pergunjingan isteri-isteri para menteri. “Mereka bilang saya telah berkhianat dan saat itu tengah ditahan dalam sel di Markas Besar,” kenang Nasution. Sejarawan Robert B. Cribb menyebut isu kekalahan Siliwangi yang selalu dibangga-banggakan sebagai “contoh tentara Republik yang modern”, harus diakui sama sekali bukan berita yang enak didengar oleh kalangan TNI di Jawa Tengah. “Berita kekalahan itu menjadikan mereka semakin yakin bahwa sejatinya yang lebih penting untuk menghadapi Belanda adalah mental berperang,” ungkap Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949 . Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman (yang langsung percaya akan berita takluknya Siliwangi) langsung bergerak cepat. Dia mengangkat Mayor Jenderal Soedibjo sebagai Komandan Pertempuran Jawa Barat. Nasution sendiri merasa maklum akan tindakan atasannya itu. “Di tangan Presiden, Menteri dan Panglima Besar (memang sebelumnya) sudah bertimbun-timbun pula laporan yang menyebutkan bahwa saya adalah agen NICA,” ungkapnya. Guna membangkitkan kembali semangat perlawanan, pada 2 Agustus 1947, Soedirman mengucapkan suatu pidato yang ditujukan kepada rakyat dan “sisa-sisa” TNI di Jawa Barat. “Ambillah insiatif dan hancurkan musuh yang sangat ganas itu! Jangan bimbang! Percayalah kepada keadilan Tuhan dan kekuatan kita sendiri. Lebih baik negeri ini tenggelam dalam lautan api, daripada dijajah kembali!” Diputuskan pula oleh Soedirman bahwa sebagai pendukung, kekuatan pro Republik di Jawa Barat akan dibantu oleh pasukan-pasukan resmi dari Jawa Tengah. Sejarah mencatat, baik Soedibjo maupun pasukan-pasukan itu tak pernah tiba di Jawa Barat. Yang terjadi kemudian, secara “diam-diam” Soedirman mengirimkan para eks gerilyawan Lasjkar Rakjat (LR) pimpinan Sutan Akbar untuk kembali ke Jawa Barat. Mereka ditugaskan untuk membentuk unit baru bernama Divisi Gerilya Bamboe Runtjing sebagai pengganti Divisi Siliwangi. Seiring kesibukan di Yogyakarta, Nasution sendiri cepat mengkonsolidasikan kembali kekuatan divisi-nya. Rupanya para komandan lapangan di seluruh Jawa Barat masih menaruh kepercayaan yang tinggi kepada eks tentara KNIL itu. Sementara itu, tujuan utama lain dari Operasi Produk yakni menghancurkan kekuatan TNI sama sekali tak terpenuhi. Alih-alih mencapai hasil maksimal, kekuatan TNI secara kilat malah mulai berhasil memukul balik posisi militer Belanda. Seorang Komandan Batalyon militer Belanda bernama Letnan Kolonel J. Flink dari Divisi C mengakui situasi itu. Sebulan lebih setelah Operasi Produk, memang pasukannya bisa mempertahankan kondisi kemanan. Namun mulai 31 Agustus 1947 keadaan berubah. “Batalyon saya mulai mendapat serangan-serangan gencar dan sistematis. Akibatnya, kami tidak hanya mengalami kekalahan demi kekalahan tapi juga meningkatnya kerugian personil di atas tingkat yang normal,” katanya seperti dikutip Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948 . Apa yang dikatakan oleh Flink memang bukan isapan jempol semata. Sejak kota-kota besar di Jawa dan Sumatera dikuasai oleh militer Belanda, praktis kedudukan para serdadu Belanda terkunci. Jangankan melakukan pembersihan secara total, untuk berpindah dari pos satu ke pos lainnya, mereka harus melewati penghadangan-penghadangan maut yang tak jarang menimbulkan kerugian besar. “Otomatis mereka hanya bisa menunggu. Insiatif serangan justru jadi berpindah ke tangan kita,” ungkap Nasution. Lantas bagaimana dengan Divisi Gerilja Bamboe Runtjing? Alih-alih menjadi mitra Siliwangi dalam menghadapi militer Belanda, yang ada konflik lama di antara mereka malah semakin terpupuk. Harapan Sutan Akbar sendiri yang memimpikan para eks LR akan memimpin revolusi di barat Jawa sama sekali tak terwujud.
- Ketika Orang Jerman Dibuat Kagum Orang Indonesia
Ketika memulai tugasnya sebagai perwakilan perusahaan telekomunikasi Jerman Telefunken di Indonesia pada akhir 1963, Horst Henry Geerken kaget lantaran menemukan banyak hal baru. Udara panas dan bau rokok kretek di hampir tiap tempat yang disinggahinya amat mengganggunya. Namun, hal yang paling sulit dipahaminya adalah kebiasaan “ngaret”, istilah untuk menamakan sikap tidak tepat waktu, orang Indonesia. Bukan perkara mudah baginya untuk bisa menyesuaikan diri dengan kultur tersebut. “Di mata saya, jam karet melambangkan ketidakpedulian terbesar sehingga pada awalnya, saya sulit mengerti karakter orang Indonesia yang satu ini. Jam karet adalah idealisme orang Indonesia. Bagi kami, hal ini membuat pekerjaan jauh lebih sulit dan makan waktu. Salah satu aspek positifnya adalah kelenturan di mana beberapa masalah dapat diatasi dengan lebih mudah dibandingkan di negara-negara lain,” ujarnya dalam memoar berjudul A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno . Namun, Geerken akhirnya bisa beradaptasi dan mengatasi semua kendala itu. Dari 18 tahun masa tinggalnya di Indonesia untuk mengerjakan beragam proyek pemerintah Indonesia, Geerken berubah menjadi pengagum Indonesia. Dia kagum pada kekayaan alam Indonesia, pada tradisi-budayanya yang amat beragam, dan senang pada orang Indonesia yang umumnya ramah, sopan, setia, dan berselera humor tinggi. “Di mana-mana di negara kepulauan ini, baik di kota besar maupun kota kecil, kita selalu berjumpa dengan orang-orang yang selalu punya bahan tertawaan. Sulit mencari orang Indonesia yang tidak punya selera humor,” ujarnya. Humor berkesan didapatnya ketika berkenalan dengan Ir. Gunung Marpaung, kepala penerbangan sipil di Jakarta, saat mengerjakan proyek bandara internasional Tuban (kini Bandara Internasional Ngurah Rai) di Bali pada awal 1964. Pria berdarah Batak itu memperkenalkan dirinya berdarah Jerman meski berkulit gelap dan postur tubuhnya seperti orang Melayu kebanyakan. Pernyataan itu mengejutkan Geerken yang jelas tak paham arah omongan Marpaung sebagai banyolan “gaya Medan”. Dia baru paham ketika Marpaung menjelaskan lebih lanjut. “Kakek saya makan misionaris Jerman,” kata Marpaung, dikutip Geerken. Kesan baik yang didapat Geerken juga datang dari tingginya penguasaan orang-orang Indonesia pada pekerjaan dan kreativitasnya. Itu antara lain dilihatnya dari seorang pembantu di rumahnya yang bertugas sebagai koki. Meski tak pernah membaca resep, pembantu itu hapal begitu banyak cara memproses masakan dan cepat menguasai ketika diajarkan menu baru. Kemampuan para dukun mengobati juga amat mengagumkan Geerken, yang antara lain didapatnya dari cerita seorang dokter di Kedubes Jerman yang mengalami kecelakaan mobil. Luka-luka sang dokter sembuh begitu diobati seorang dukun atas saran kawannya yang Indonesia. “Setelah pulang, dokter itu bercerita panjang lebar tentang pengobatan ajaib ini. Luka itu tak kelihatan lagi 24 jam kemudian. Dia bisa meneruskan perjalanannya tanpa kesulitan. Katanya, hal ini mustahil dengan pengobatan Barat yang ortodoks,” ujar Geerken. Kreativitas orang Indonesia amat dikagumi Geerken. Yang paling berkesan adalah ketika dia bersama Sudjono, supir Geerken, ke Bali menggunakan mobil. Di tengah perjalanan, tangki mobil mereka bocor setelah menghantam batu besar. Alih-alih bingung, Sudjono bersikap tenang sambil berkata “tidak apa-apa” dan turun dari mobil. Sudjono lalu mengambil sebuah pisang dari pohon yang banyak tumbuh di pinggir jalan. Pisang tersebut lalu diremasnya berbarengan dengan sepotong sabun sehingga bentuknya berubah menjadi seperti permen karet. Adonan itulah yang digunakan Sudjono untuk menambal tangki bahan bakar mobil. Hasilnya, ajaib, tangki tak bocor lagi bukan hanya bertahan sampai bengkel terdekat namun hingga mencapai Bali dan kembali lagi ke Jakarta. “Orang Indonesia memang genius dalam soal improvisasi. Saya terus saja terkaget-kaget dengan keahlian dan kemampuan mereka mengatasi masalah yang paling sulit dengan cara yang paling sederhana,” kata Geerken.
- Romantika Cinta Gus Dur dan Nuriyah
Sejak remaja Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak pernah lepas dari buku. Dari sekian waktu yang dijalani, dia lebih memilih menghabiskan untuk membaca. Itulah yang membuat Gus Dur, meski sudah berusia 20-an, belum pernah berkencan, apalagi mempunyai pacar. Fokusnya teralihkan oleh alam pikir yang liar, hasil kebebasan membaca beragam buku. Ditambah dia pun "menggilai" sepakbola dan film. Gus Dur dikenal sebagai pria serius, tapi pemalu. Melihat sifatnya itu, K.H. Fatah, paman Gus Dur merasa khawatir. Apalagi keponakannya itu telah mendapat tawaran kuliah di Kairo, Mesir. Makin jauh saja dia dengan romantika percintaan yang seharusnya dirasakan oleh remaja seusianya. Sang paman menganjurkan agar Gus Dur mencari istri terlebih dahulu sebelum berangkat ke Kairo. “Soalnya, kalau menunggu pulang dari luar negeri, kamu hanya akan mendapat wanita tua dan cerewet,” ujar K.H. Fatah kepada Gus Dur seperti ditulis M. Hamid dalam Gus Gerr: Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa . Gus Dur cukup tertegun dengan ucapan sang paman. Rupanya dia juga khawatir jika perkataan itu menjadi kenyataan. Untungnya K.H. Fatah tidak cuma memberi saran saja. Sejak awal dia memang berniat mencarikan calon buat keponakannya. Lalu disodorkan putri seorang pedagang terkenal di Jombang, H. Abdullah Syukur, bernama Sinta Nuriyah. Gus Dur tidak menolak. Sayangnya, Nuriyah tidak langsung menerima Gus Dur. Ada keraguan dalam diri si gadis tentang calon pendamping hidupnya itu. Gus Dur pun mau tidak mau terbang ke Kairo masih dengan status lajangannya. Kepada Greg Barton, Gus Dur mengenang jika selama menghabiskan tahun-tahun di Kairo dia terus berkorespondensi dengan Nuriyah. Surat yang datang secara teratur membuktikan bahwa Gus Dur tidak benar-benar ditolak. Dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of KH. Abdurrahman Wahid , Barton menyebut kalau keduanya mulai yakin satu sama lain menjelang tahun 1966. Bahkan demi meyakinkan dirinya, Nuriyah sempat pergi ke “tukang ramal”. Dia ingin memastikan jika pemuda yang dipilihnya itu benar-benar tepat untuknya. “Jangan mencari-cari lagi. Yang sekarang ini akan menjadi teman hidup Anda,” ujar Nuriyah, menirukan perkataan si “tukang ramal”, kepada Barton. Meski begitu, Nuriyah masih belum sepenuhnya yakin. Gus Dur sebenarnya bukanlah satu-satunya pemuda yang tertarik kepadanya. Banyak pemuda lain yang menaruh hati dan bahkan berusaha meminangnya. Tetapi pribadi yang halus, serta pikiran yang tajam, sebagaimana terlihat dari surat-suratnya, menjadi Gus Dur memiliki nilai lebih di mata Nuriyah. Dan dia menyukai sisi Gus Dur tersebut. Pertengahan tahun 1966, seperti biasa Gus Dur mengirimi Nuriyah sepucuk surat. Namun isi surat kali ini amat berbeda dengan surat-surat sebelumnya. Gus Dur mencurahkan segenap perasaan sedih karena kegagalan studinya di Mesir. Mengungkapkan rasa putus asa, dan segala hal yang telah dialaminya di negeri itu. “Mengapa orang harus gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi, tetapi paling tidak Anda berhasil dalam kisah cinta,” kata Nuriyah. Surat balasan Nuriyah menjadi obat bagi Gus Dur. Kesedihannya berubah menjadi kebahagiaan. Tanpa menunggu Gus Dur segera menulis surat kepada ibunya di Jombang untuk meminang Nuriyah. Pernikahan Unik Tahun 1968, Nuriyah diterima di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebelum memulai studi dan mondok di Kota Pelajar itu, orang tua Nuriyah memutuskan agar putrinya melangsungkan pernikahan terlebih dahulu dengan Gus Dur. Namun ada sedikit kendala. Gus Dur saat itu belum pulang ke tanah air. Dia baru setengah jalan menempuh studi di Baghdad, Irak. Setelah berembuk, permasalahan jarak itu akhirnya dapat dipecahkan. Kedua keluarga pun sepakat melangsungkan pernikahan bulan September (sumber lain menyebut Juli) tahun itu juga. Lalu bagaimana dengan Gus Dur yang terpaut jarak lebih dari 12.000 kilometer dari Indonesia? Di sinilah keunikan pernikahannya. “Pemecahan masalah ini malah menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak bagi mereka yang tidak tahu apa rencana ini sebenarnya,” ungkap Barton. Gus Dur tidak bisa meninggalkan studinya. Dia juga tidak bisa seenaknya pulang ke tanah air. Sebab tidak bisa hadir langsung sebagai mempelai pria, sosok Gus Dur diwakilkan oleh Kiai Bisri Syansuri, kakeknya. Para tamu mendadak heboh ketika melihat seorang kiai berusia 80 tahun bersanding di pelaminan dengan seorang pengantin perempuan belia. “Walaupun secara teknis Gus Dur dan Nuriyah telah menikah, mereka menganggap pernikahan itu tak lebih daripada sekedar pertunangan. Mereka sepakat bahwa mereka akan hidup bersama hanya setelah keduanya menyelesaikan studi mereka masing-masing,” lanjut Barton. Pada 1971, setelah gagal melanjutkan studi di Eropa, Gus Dur pulang ke Jawa. Pasangan yang selama tiga tahun terakhir menjalani hubungan jarak jauh itu pun akhirnya bertemu. September 1971 mereka mengadakan resepsi pernikahan dan memulai hidup berumah tangga. Nuriyah pun kerap menemani Gus Dur dalam banyak kegiatan, seperti berkunjung secara teratur ke Jombang.
- Menumpas Pengikut Tan Malaka (1)
Yogyakarta, 18 Maret 1947, Presiden Sukarno mengumumkan penyatuan nasional antara kekuatan tentara resmi yakni Tentara Repoeblik Indonesia (TRI) dengan kekuatan lasykar langsung di bawah pimpinan Jenderal Soedirman. Hal itu dilakukan demi mengikat kekuatan dalam menghadapi ancaman agresi militer Belanda. “Rumor bahwa Belanda akan menyerang kedudukan Republik memang sudah santer terdengar saat itu,” ungkap sejarawan Robert B. Cribb. Baca juga: Ketika Karawang Jatuh ke Tangan Belanda Namun dalam kenyataannya, seruan itu hanya diikuti oleh 5 lasykar terbesar. Masing-masing adalah Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia (BPRI), Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Pemoeda Sosialis Indonesia (Pesindo), Lasjkar Boeroeh (LB) dan Markas Poesat Hizboellah Sabilillah (MPHS). “Kelima kelompok lasykar itu lantas digabungkan ke dalam suatu unit bernama Detasemen Gerak Cepat bagi Badan Perjuangan...” ungkap buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya Sejarah Kodam Siliwangi. Satu-satunya yang menolak adalah Lasjkar Rakjat Djawa Barat (singkatannya biasa disebut LR saja), organ bersenjata pimpinan Sutan Bahar yang anggotanya terdiri dari para pengikut Tan Malaka. Menurut Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949 , bagi LR, bergabung dengan Divisi Siliwangi adalah sebuah mimpi buruk. Baca juga: Tentara Rakyat Ikut Murba “Itu terjadi tak lepas dari citra Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Nasution yang sudah kadung dikenal sebagai “tukang lucut” laskar,” ungkap sejarawan asal Australian itu. Pembangkangan LR tentu saja membuat berang TRI. Terlebih setelah pos-pos TRI di sepanjang Lemahabang-Cikarang diserang oleh para gerilyawan LR dan satu kekuatan besar pasukan LR pimpinan Sudjono bergerak dari Lamaran ke dalam kota Karawang guna memperkuat kedudukan pasukan LR di sana. “LR menuduh bahwa tentara akan merampas kehidupan mereka yang miskin,” ungkap Cribb. Dua manuver LR tersebut sudah cukup menjadi alasan bagi Nasution untuk menggelar suatu operasi militer. Dan memang sejak TRI menuduh LR terlibat dalam penculikan para petinggi Divisi Siliwangi di Karawang (Letnan Kolonel Soeroto Koento dan Mayor Adel Sofyan ) pada akhir November 1946, Nasution sudah merencakan untuk menghabisi LR. Baca juga: Yang Hilang di Tengah Revolusi Maka pada 24 Maret 1947, Nasution memerintahkan pasukannya untuk melancarkan operasi militer ke Karawang. Rencana itu dimatangkan dalam suatu rapat antara petinggi Siliwangi di markas besar Brigade III/Kian Santang dua minggu kemudian. Bahkan demi melancarkan operasi penumpasan itu, komandan Brigade III Letnan Kolonel Sidik Brotoatmodjo mengirim telegram khusus kepada dua pertinggi militer Belanda di Jawa Barat (Mayor Jenderal Durst Britt dan Kolonel A.A.J.J. Thomson) berisi harapan akan adanya “pengertian” pihak Belanda untuk tidak ikut campur. “Saya berencana membersihkan wilayah saya. Saya akan sangat menghargai sikap jantan anda di wilayah anda sendiri,” demikian isi pesan Sidik tersebut. * Operasi Karawang tahap awal melibatkan sekira 3.000 prajurit. Menurut Mohamad Rivai dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 , ada 8 unit yang menjadi bagian utama kekuatan pasukan. Mereka terdiri dari: 1 kompi polisi dari Batalyon 35 Resimen Sukapura Tasikmalaya Batalyon Beruang Merah pimpinan Mayor Abdullah Saleh Hasibuan Detasemen Siliwangi pimpinan Letnan Satu Suparman Detasemen Panah Merah pimpinan Letnan Satu Eman 2 kompi dari Batalyon 30 (eks Pesindo) pimpinan Letnan Cucu Ardiwinata Batalyon 33 Pelopor pimpinan Mayor S. Tobing Detasemen Kuda Putih 2 kompi dari Batalyon Tengkorak pimpinan Kapten A. Nasuhi. Gerakan operasi militer itu diawali dengan menghabisi unit-unit kecil LR di perbatasan Purwakarta-Karawang. Di Rengasdengklok, pasukan penumpas sempat mengalami salah pengertian dengan satu unit kecil gerilyawan dari Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi (KRIS). Mereka sempat dilucuti senjatanya. Pembersihan sekitar perbatasan Purwakarta-Karawang menyebabkan gerak pasukan penumpas bisa leluasa menyisir pinggiran Karawang. Begitu memasuki Karawang pada 17 April 1947, mereka langsung terlibat dalam pertempuran dengan gerilyawan LR pimpinan Harun Umar dan tanpa ampun langsung melibasnya. Baca juga: Yang Raib Ditelan Bumi “Secara bodoh, pasukan Harun Umar (yang kekuatannya tidak sebanding) menghujani pasukan TRI dengan mortir. Tentunya itu dijadikan alasan oleh TRI untuk menghabisi pasukan tersebut tanpa ampun,” ungkap Cribb. Selanjutnya pertempuran brutal pun terjadi. Para gerilyawan LR maju bak macan kelaparan. Secara nekat, mereka menerabas apapun yang menjadi penghalang hingga menyebabkan banyaknya jatuh korban di pihak pasukan penumpas terutama dari Batalyon Beruang Merah yang kehilangan salah satu komandannya. (Bersambung) Baca juga: Pasukan Bumiputera Pembela Ratu Belanda






















