top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Insentif untuk Para Petugas Medis

    PEMERINTAH mengalokasikan Rp405,1 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menangani wabah covid-19. CNN Indonesia  mengabarkan, dana tersebut akan diberikan untuk insentif kesehatan sebesar Rp75 triliun, insentif perlindungan sosial Rp110 triliun, insentif perpajakan dan Kredit Usaha Rakyat Rp70,1 triliun, dan insentif pembiayaan dan restrukturisasi Kredit Rp150 triliun. Adapun insentif untuk petugas kesehatan yang ikut menangani covid-19 diberikan sebanyak Rp15 juta untuk dokter spesialis, Rp10 juta untuk dokter umum, Rp7,5 juta untuk bidan dan perawat, dan Rp5 juta untuk tenaga medis lainnya. Pada masa kolonial, insentif juga diberikan kepada petugas medis yang dikerahkan untuk menangani wabah. Kala malaria melanda Jawa pada abad ke-19, Kepala Dinas Kesehatan Koloni dokter Willem Bosch mengusulkan agar seluruh petugas kesehatan yang ikut menangani wabah mendapat status pegawai negeri. Sejak 1824 para vaksinatur diangkat sebagai pegawai negeri. Residen Pasuruan dalam suratnya kepada Gubernur Jeneral Duymaer mengusulkan agar vaksinatur atau mantri cacar di daerahnya mendapat gaji f 40 per bulan. Mereka juga diizinkan untuk mengenakan payung kala berpergian. Hal serupa juga berlaku untuk dokter Jawa. Kala itu, payung jadi simbol status sosial bagi orang Jawa dan Madura juga di mata para pejabat Eropa. Bosch tidak menyukai rekomendasi itu. Pada Maret 1853 ia memberi tahu gubernur jenderal bahwa mantri cacar adalah jabatan medis paling rendah. Mereka tak tahu banyak tentang penanganan kesehatan selain instruksi vaksinasi paling sederhana, sehingga tidak seharusnya mereka mendapat penghargaan sebanyak itu. Menurut Liesbeth dalam bukunya Healers on the Colonial Market, Bosch khawatir penghargaan sosial yang tak beda jauh antara mantri dan dokter Jawa akan berdampak negatif pada perekrutan dokter Jawa baru dari keluarga Jawa terpandang. “Tidak jelas juga apakah lulusan sekolah dokter Jawa yang mendapat posisi sebagai pemberi vaksin menikmati gaji dan status yang sama seperti vaksinatur biasa,” kata Liesbeth. Pada 1854 di Priangan kala cacar mewabah, mantri cacar mendapat kenaikan gaji dari 3 gulden menjadi f21 per bulan. Dan usulan residen Pasuruan untuk menggaji mantri cacar sebanyak f40 gulden per bulan dikabulkan. Gaji tersebut dua kali lipat dari standar gaji mantri yang maksimum f25 per bulan. Apresiasi pada kerja para mantri rupanya tak berlanjut kala malaria melanda Jawa. Untuk memberantas malaria, Dokter Eropa JT Terburgh dan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dibantu 10 mantri ditugaskan di daerah terjangkit. Hans Pols dalam Nurturing Indonesia  mengisahkan, para mantri dibayar amat rendah. Mereka pun beerkeluh-kesah pada Tjipto sebagai dokter pribumi sekaligus atasan mereka. Tjipto melaporkan hal tersebut ke pejabat Eropa setempat. Laporan Tjipto disanggah Terburgh dengan menyatakan para mantri Jawa hanya mau bekerja jika dibayar di atas standar upah. Lebih jauh Terburgh menuduh Tjipto dan para mantri Jawa tidak paham dengan kerja kemanusiaan. Tjipto jelas tidak terima dengan tuduhan Terburgh. Tjipto pun mengancam kalau permintaan kenaikan gaji tidak dikabulkan, dia akan mengundurkan diri. Pada akhirnya Terburgh menolak protes Tjipto dan dia mengundurkan diri. Sementara, kala pes pertama kali merebak, dokter Logem datang bersama 14 dokter Jawa ke daerah terjangkit. Martina Safitry, dosen IAIN Surakarta, menyebut dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, para mantri dan dokter Jawa jadi ujung tombak pemberantasan pes yang bermula di Malang pada 1910. Para dokter Eropa enggan masuk ke desa-desa untuk mengobati penduduk pribumi secara langsung. Selain karena sekat rasial dan kelas, akses yang jauh membuat mayoritas dari mereka enggan masuk ke desa-desa. Tjipto menjadi salah satu dokter yang terjun langsung menangani wabah itu bersama para mantri dan dokter Jawa lain. Namun sayang, para dokter Jawa ini mengalami diskriminasi berupa upah yang kecil. Padahal, mereka bertugas sejak jam 6.30 pagi hingga 5 sore. Setelah menangani pasien, mulai pukul 5.30 mereka harus membuat laporan kepada dokter Eropa yang mengawasi kerja mereka. “Bikin laporannya bisa sampai jam 9 malam. Jadi sudah tak ada jeda untuk diri mereka sendiri,” kata Martina pada Historia.   Meski terjun ke lapangan kala wabah pes, nasib para dokter Jawa kian buruk pada masa kepemimpinan dokter O.L.E. de Raadt. Gaji mereka diturunkan dari f60 menjadi f40. Selain itu, menurut Tjahaja Timoer  14 Januari 1914, fasilitas rumah mereka dicabut. “Gaji perawat Eropa yang mengajar perempuan Jawa f250 per bulan. Jauh sekali gajinya, sangat diskriminatif,” kata Martina. Banyaknya beban kerja dus  gaji kecil tersebut akhirnya memicu protes. Martina menyebut banyak konflik ketika kepemimpinan de Raadt yang dipicu pengurangan gaji. Perubahan struktur besar-besaran dalam penanganan pes pun mulai dilakukan pada 1914. Jumlah mantri dan dokter Jawa yang diterjunkan makin banyak. Tugas mantri tidak terbatas pada vaksinasi tetapi juga penerangan (sosialisasi) tentang penyakit pes. Petugas medis Eropa sekali-dua berkunjung ke pedalaman. Namun demikain, ada atau tidaknya perubahan insentif untuk tenaga medis tidak disebutkan. Faktanya, hingga generasi Bahder Djohan menjadi dokter tahun 1927, diskriminasi pada tenaga medis pribumi masih tercatat.*

  • Bantuan Kolonial untuk Pengangguran

    Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merebak di berbagai sektor usaha menyusul pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Roda ekonomi melambat. Pemasukan perusahaan mampat. Ratusan ribu orang menjadi penganggur. Menanggapi keadaan ini, pemerintah mengeluarkan kartu prakerja bagi para penganggur terpilih. Bentuknya transferan uang untuk pelatihan dan kebutuhan hidup sementara. Sejarah Indonesia mencatat campur tangan pemerintah dalam menekan kenaikan angka penganggur. Terlebih lagi pada masa ekonomi sulit seperti ini. Dekade 1930-an menjadi titik mula melihat kembali fenomena ini. Saat itu, perekonomian Hindia Belanda rontok tertular depresi ekonomi dari Amerika Serikat dan Eropa. Dua wilayah ini membatasi impor dari negara lain. "Krisis ekonomi dekade 1930-an digerakkan oleh perkembangan buruk pasar dunia yang berlangsung sejak pertengahan dekade sebelumnya. Indonesia kolonial menjadi korban ketergantungan yang sangat tinggi terhadap permintaan pasar ekspor," catat J. Thomas Lindblad dalam "Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20" termuat di Dari Krisis ke Krisis . Barang-barang melimpah di pasaran, tapi tak ada pembelinya. Harganya pun meluncur ke titik terendah. Pengusaha dan industriawan barang-barang ekspor kehilangan pemasukan. Mereka memotong biaya operasional dengan mem-PHK sebagian buruhnya, baik anak negeri, Eropa, dan Tionghoa. Semua kena. Kemunculan Penganggur Penganggur muncul di kota-kota. Kebanyakan mereka memilih pulang kampung. Lainnya tetap tinggal di kota dan menjadi gelandangan sembari menunggu bantuan. "Pengangguran di kalangan bangsa Eropa diperkirakan berjumlah 10.000. Akhir tahun 1934, mungkin adalah puncaknya," ungkap John Ingleson dalam Tangan dan Kaki Terikat . Pengangguran anak negeri lebih banyak daripada Eropa dan Tionghoa. Tapi secara umum, data John Ingleson menunjukkan peningkatan angka penganggur dari semua golongan penduduk sejak 1931 sampai 1936. Peningkatan angka penganggur bikin khawatir pemerintah kolonial. Mereka mengira akan ada pihak tertentu menjadikannya alat politik untuk menyerang tatanan kolonial. Selain segi politis kekhawatiran lainnya menyangkut dugaan akan munculnya ketegangan sosial. "Ada banyak tanda tentang hal ini yang bisa dilihat: meningkatnya pencurian dan bahkan pembentukan kelompok-kelompok kecil garong beranggotakan kuli kontrak yang pulang kampung," catat Ben White dalam "Pengalaman Tiga Resesi: Yogyakarta Masa 1930-an, 1960-an, dan 1990-an", termuat di Dari Krisis ke Krisis . Demi mencegah hal-hal tersebut terjadi, pemerintah kolonial melakukan beberapa kebijakan untuk menekan angka penganggur. Mereka memulainya dengan menggelar survei pengangguran melalui Kantor Tenaga Kerja. Komite Sentral dan Lokal Para petugas mendatangi kampung dan bertanya kepada kepala kampung atau bahkan penganggur itu sendiri di Batavia. Bandung, Semarang, dan Surabaya. Mereka meminta kepala kampung dan penganggur agar jujur dalam memberikan keterangan. Tapi survei itu kurang mendapat tanggapan dari para penganggur. "Dan bila saya jujur dengan jawaban-jawaban saya, upah apa yang akan diberikan mereka pada saya? Akankah mereka menolong saya? Tidak akan pernah!" kata seorang penganggur seperti termuat di Sin Po , 12 Agustus 1933. Meski banyak kelemahan dalam metode pengumpulan data, pemerintah kolonial tetap menggunakan hasil survei itu untuk merumuskan kebijakan bantuan bagi penganggur. Langkah selanjutnya adalah membentuk Komite Pendukung Pengangguran Pusat di Batavia pada Desember 1930. Kedudukan komite berada di bawah Kantor Tenaga Kerja. Sesuai asas desentralisasi pemerintahan sejak 1905, pemerintah kolonial juga membentuk komite-komite lokal untuk mengurus penganggur di luar Batavia. Sampai 1932, komite itu telah ada sebanyak 36 di seluruh Jawa. Komite lokal bertugas menyalurkan bantuan langsung tunai dan menyelenggarakan latihan keterampilan kepada para penganggur. Syaratnya, penggangur sudah tidak mampu lagi mengandalkan keluarga dan jejaring kampungnya untuk bertahan hidup. Kelompok ini disebut penganggur individual. Pejabat pemerintahan mengusulkan bantuan hanya bagi penganggur Eropa saja. "Batasan tersebut sebagian untuk alasan finansial, namun sebagian juga karena pemerintah percaya bahwa kebutuhan dari kebanyakan pengangguran Indonesia dan Cina telah terpenuhi," tulis John Ingleson. Bahkan untuk memperkecil bantuan bagi penganggur anak negeri dan Tionghoa, pemerintah kolonial menetapkan dua syarat tambahan. Semua calon penerima harus sudah menganggur sedikitnya satu tahun terakhir. Upah minimalnya pun mesti di atas f.100 per bulan. "Mengingat tingkat gaji para pekerja kerah putih, seperti guru dan supir —yang hanya separuh dari jumlah minimum— kita melihat bahwa sasaran program kantor pemerintah adalah pegawai lapis atas," ungkap Ben White. Pemerintah kolonial agak mengubah kebijakannya setelah menimbang bahwa dampak pengangguran kalangan anak negeri dan Tionghoa dapat mempercepat ketegangan sosial. Tetapi mereka juga tak bisa membantu semua penganggur dari kalangan luar Eropa. Akhirnya mereka tempuh jalan tengah. "Pengangguran Indonesia dari para pekerja utama (mereka setara dengan status juru ketik atau yang lainnya di atas) harus diperlakukan serupa dengan pengangguran Eropa," terang John Ingleson. Dalam bayangan para pejabat pemerintah, jumlah pekerja anak negeri semacam itu tidaklah sebanyak golongan Eropa. Tapi cukup untuk bisa meredam gejolak sosial jika mereka dapat bantuan. Sumber Dana Bantuan Dana bantuan berasal dari kocek Komite Sentral dan usaha mandiri Komite Lokal seperti pasar malam, pesta dansa, dan lotere. Tapi usaha tersebut bisa berbeda jauh satu sama lain. Di Bandung, Komite Lokal mengajak anak sekolah membawa uang beberapa sen untuk menolong penganggur. Di Blitar, Komite Lokal membuka bengkel sepeda dan sepatu untuk mempekerjakan para penganggur. Di Semarang, Komite Lokal berhasil membangun pabrik rokok kecil dari pengumpulan dana. Di Batavia, Komite Lokal membuka kursus montir selama 4 bulan dan menyerap lebih dari 1.000 penganggur. Selain itu, ada juga kursus stenograf dan elektronika. Peserta kursus harus membayar, kecuali sudah tidak punya uang sama sekali.  Selama empat tahun bekerja, Komite Sentral telah menyalurkan dana sebesar f.0.8 juta kepada komite-komite lokal untuk membantu 6.675 penganggur terpilih. Rinciannya: 2.532 Eropa, 3.372 anak negeri, dan 771 Tionghoa. Rincian angka tadi cukup menarik. Sebab jumlah penerima bantuan dari kalangan anak negeri justru lebih tinggi daripada orang Eropa. Padahal pejabat pemerintahan berupaya keras mempersempit ruang gerak bantuan bagi kalangan anak negeri. Angka penerima bantuan dari kalangan anak negeri bisa tinggi karena kebijakan pengurus komite lokal. Berbeda dari kebanyakan pengurus Komite Sentral yang berasal dari kalangan Eropa, sebagian besar pengurus komite lokal dipegang oleh anak negeri. Termasuk pula sub-sub komite lokalnya. Bila pengurus komite lokal mempunyai keberpihakan kepada kalangan anak negeri, jumlah penerima bantuan anak negeri akan besar. Sebaliknya, jika mereka memilih menurut pada atasan mereka di Komite Sentral dan minimal perhatian pada nnak negeri, penerima bantuan akan lebih banyak dari kalangan Eropa. Perubahan terjadi pada tahun-tahun setelah 1934. Penerima bantuan lebih banyak kalangan Eropa. Ini tersua di Yogyakarta. "Pada akhir 1938 kantor di Yogyakarta mengeluarkan dana sebesar f.3.250 tiap bulan kepada penganggur Eropa, f.300 untuk orang pribumi, dan f.150 untuk orang Cina," catat Ben White. Jumlahnya terlihat jomplang antara Eropa dan anak negeri. Kemungkinan ada perubahan susunan pengurus pada Komite Lokal pada 1938. Tahun 1938, perekonomian Hindia Belanda berangsur bangkit mengikuti keadaan di negara lain. Tapi kedatangan Jepang pada 1942 menenggelamkan kembali perekonomian Hindia Belanda.

  • Upaya Belanda Mengalahkan Aceh

    Rencana cepat Belanda mengamankan seluruh wilayah Sumatera terganjal di wilayah Aceh. Kerasnya perjuangan rakyat, serta medan yang asing membuat orang-orang dari Benua Biru ini harus rela mengalihkan seluruh fokusnya ke sana. Tentu bukan perkara mudah. Kurangnya informasi tentang daerah tersebut benar-benar membuat Belanda kewalahan. Terbukti ketika pasukan tempur Belanda melakukan serangan ke wilayah itu pada 1873 –dikenal sebagai Perang Aceh Pertama. Di bawah pimpinan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah, rakyat Aceh berhasil memukul mundur J.H. Kohler dan ribuan pasukannya. Mereka yang selamat kocar-kacir meninggalkan Aceh, sementara Kohler sendiri tewas dalam upaya pendudukan tersebut. Kehilangan muka pada percobaan pertama membuat Belanda kembali merapatkan barisan di tahun berikutnya. Dalam penelitian Arndt Graf, dkk dalam Aceh: History, Politics, dan Culture, para pemimpin Belanda bersikeras menguasai wilayah Aceh yang strategis bagi kepentingan dagang mereka. Serangan besar pun disiapkan. Kekuatannya diperkirakan tiga kali lipat dari pendaratan yang pertama. “Kehilangan muka itulah hendak ditebusnya dengan segala keangkaramurkaan dan cara-cara yang jauh dari peri kemanusiaan, bahkan juga melanggar hukum internasional sendiri,” tulis Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua . Namun Belanda harus menghadapi kenyataan bahwa persiapan perang rakyat Aceh begitu matang. Bagian pantai utara dan timur yang biasa menjadi tempat masuk kapal-kapal ke wilayah tersebut dijaga dengan sangat baik. Begitu pula jalur darat di selatan dan pantai barat yang tidak kalah ketat penjagaan dari pasukan kerajaan Aceh. Menyerang dari Dalam Demi bisa menghancurkan pertahanan rakyat di daerah-daerah tersebut, kata Said, Belanda menggunakan dua cara: Pertama, menghancurkan perkampungan dan pelabuhan dengan tembakan meriam dari kapal-kapal perang mereka. Kedua, mengangkat orang-orang yang mudah diperalat untuk menjalankan siasat pecah belah. Mengenai cara yang kedua, para penjajah ini telah menjalankannya selama bertahun-tahun sebelum dimulainya Perang Aceh Pertama. Salah satunya melalui Sultan Mahmud dari Kesultanan Deli. Ia yang bersedia menandatangani perjanjian politik dengan Belanda, pada 22 Agustus 1862, menjadi jalan bagi Belanda untuk melancarkan rencananya. Deli menjadi batu loncatan bagi mereka menguasai daerah-daerah di sekitar pusat Kerajaan Aceh. Dari wilayah milik Sultan Deli tersebut, Belanda berhasil melebarkan kekuasaannya ke daerah Asahan dan Pulau Kampai. Dijelaskan Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh: dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19 , bersedianya Deli membantu Belanda tidak lain karena wilayah mereka telah lama diusik oleh Aceh. Sehingga datangnya orang-orang Eropa ini menjadi harapan Deli menjauhkan Aceh dari wilayahnya. “Deli mencari perlindungan dari serangan Aceh, sedangkan Serdang tidak dapat menentukan mana yang tidak terlalu buruk dari kedua yang buruk itu,” ujar Reid. Selain Sultan Deli, seorang Minangkabau bernama Raja Burhanuddin diikutkan juga dalam pengumpulan infromasi tentang Aceh. Menurut Anthony Reid, Raja Burhanuddin tercatat sebagai pegawai tetap Belanda di Batavia. Mula-mula ia pergi ke Serdang, menyamar sebagai haji dan pedagang. Tugasnya menghentikan keterlibatan Tanah Batak ke dalam Perang Aceh. “Provokasi yang dilancarkan oleh Burhanuddin, bahwa Aceh hendak memaksa Batak masuk Islam, ternyata tidak mempan. Terus terang dijawab oleh raja-raja Batak, bahwa mereka tidak ingin memusuhi Aceh. Baru mereka bersedia melawan siapapun kalau mereka diserang, sebelum itu tidak percaya provokasi Belanda,” tulis Said. Gagal di Tanah Batak, Raja Burhanuddin melanjutkan perjalannya ke Barus, baru ke Aceh Besar. Hampir selama 25 hari pegawai tetap Belanda ini berada di Aceh, ia sudah mendapat begitu banyak informasi untuk dilaporkan. Raja Burhanuddin berkesimpulan bahwa kekuasaan yang disiapkan di banyak daerah hanya ditujukan bagi penjagaan lokal, tidak untuk bergabung dengan pasukan utama Aceh. Upaya memasuki wilayah Aceh rupanya datang juga dari penduduk asing. Menurut Said, beberapa tahun sebelum penyerangan Belanda, ada seorang Tionghoa yang datang dari Penang telah berhasil mendekati Sultan Mansur Sjah di ibukota. Tionghoa itu adalah Ang Pi Auw. Ia menyatakan diri masuk Islam dan diberi nama Chi’ Putih, serta diberi gelar kepercayaan (Panglima Setia Bakti) oleh Sultan Mansur. Namun belakangan diketahui Tionghoa ini berperan sebagai agen ganda, baik bagi Aceh maupun Belanda. “Sejauh mana keyakinan Sultan Aceh kepadanya tidaklah jelas, tapi sukar untuk mencari nama Ang Pi Auw yang sudah disebut panglima dalam usaha perlawanan rakyat ketika Belanda menyerang. Nama Ang Pi Auw muncul kembali sesudah dia mendapat angkatan sebagai “luitenant de Chineezen” dari Belanda. Rupanya dia memperoleh tanda jasa pula dari Belanda,” ujar Said. Demi mematangkan rencananya, Belanda mengirim mata-mata lain. Adalah G. Lavino, konsul Belanda di Penang. Sebagai sekutu, basis kekuatan Aceh di Penang cukup besar sehingga Lavino ditugasi mengacaukannya. Tugas pertama Lavino adalah mengusik Panitia Delapan –dewan penasihat Aceh di Penang yang juga bekerja membantu memasok persediaan logistik Aceh semasa perang. Lavino mencari informasi sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang berada di antara Panitia Delapan tersebut. “Jaringan-jaringan spionase Belanda giat dan harus diakui cukup aktif. Lavino mempunyai banyak pembantu, mereka dapat saja lolos keluar masuk Aceh tanpa diketahui,” tulis Said.

  • Pesta Makan Daging sebelum Puasa di Aceh

    Pada masa lalu, daging merupakan makanan mewah bagi orang Aceh. Sehari-hari mereka lebih banyak mengkonsumsi sayuran dan ikan. Mereka akan mengganti menu harian saat tiba bulan istimewa: Ramadan. Masyarakat Aceh berusaha membeli daging pada hari  mameugang  untuk dimakan bersama keluarga. Tradisi turun-temurun ini membuat permintaan daging sapi atau kerbau menjelang Ramadan sangat tinggi. Kebiasaan itu dijumpai Snouck Hurgronje ketika tinggal di Aceh dari 1857 hingga 1936. Ia mencatatnya dalam De Atjehers yang terbit pada 1893. Sajian Khas Bagi orang Aceh, puasa merupakan kesempatan untuk memakan makanan yang bergizi. Tiga hari menjelang puasa, mereka ramai-ramai membeli dan memakan daging. Sisanya diawetkan dengan garam dan cuka atau cara lain agar bertahan paling tidak hingga 15 hari. Menurut Moehammad Hoesin dalam  Adat Atjeh, daging kering khas Aceh yang diawetkan dengan garam, asam, dan dikeringkan, disebut Sie balu . Sedangkan Siemeutjuka  adalah daging yang dimasak dengan cuka enau supaya tahan lama. Biasanya orang Aceh juga menyiapkan bahan bubur kanji dari daun-daun kayu gunung yang disebut  breueh kanji masam peudaih . Daun ini ditumbuk dan disimpan baik-baik sehingga tak masuk angin. Mereka juga membuat tepung beras ketan dan tepung beras biasa, serta gula dan agar-agar untuk buka puasa. "Orang Aceh menganggap mempersiapkan pangan untuk puasa sebagai adat yang tak boleh diabaikan," kata Hoesein. Tiga hari sebelum bulan puasa, orang Aceh akan memastikan stok makanan cukup selama sebulan. Ini dilakukan agar tidak membeli makanan terlalu banyak selama bulan puasa. Pasalnya, bahan makanan yang dijual biasanya lebih cepat habis pada siang hari selama Ramadan. Pasar-pasar pun sepi selama tiga hari itu. Bahkan, sebelum perang melawan Belanda akan ada pekan raya di Banda Aceh selama tiga hari sebelum puasa. Sebagian besar penduduk dari tiga  sagi akan datang ke ibu kota kerajaan itu. "Baik laki-laki maupun perempuan di Aceh sangat bersemangat melakukan kesibukan ini," kata Snouck. Kendati selama pekan raya itu banyak pedagang yang menjual beragam kebutuhan, daging tetaplah primadona. Karenanya stok daging menjelang sebulan berpuasa harus benar-benar dijaga. Pada saat itu penduduk dari dataran tinggi turun membawa ternaknya untuk dijual. Ini demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging. Menjaga Pasokan Daging Sejak pertengahan Sya’ban biasanya para  keuchi’  (kepala atau bapak gampong ) dan  teungku  (seseorang yang dihormati karena memiliki kelebihan ilmu) memperkirakan seberapa banyak daging yang dibutuhkan masyarakat. Masing-masing penduduk ditanya berapa uang yang akan dibelanjakan untuk daging. Mereka juga akan menghitung berapa banyak ternak yang harus dibeli. "Dua atau tiga kepala adalah jumlah perkiraan umum untuk setiap  gampong, " catat Snouck. Keuchi’  menunjuk seorang penduduk  gampong  untuk mengumpulkan uang warga. Ia menerima upah setelah pekerjaannya selesai. Sebelum masa perang, upah itu biasanya ditunda sampai menjelang berakhirnya bulan puasa, saat penduduk dari dataran tinggi membawa ternaknya. Penyembelihan akan dilakukan untuk menyediakan daging bagi perayaan yang menandai berakhirnya puasa. Tapi kali ini tak sebesar yang pertama. Snouck mengamati kebiasaan berbeda masyarakat di tiga sagi . Masyarakat Mukim XXII yang tinggal di bagian tengah dan selatan Aceh dan sebagian dari Mukim XXVI di bagian timur Aceh, biasanya menyembelih beberapa ekor sapi. Sementara masyarakat Mukim XXV di bagian barat yang tak masuk dalam tiga  sagi , lebih suka menyembelih kerbau jantan. "Diyakini terlalu banyak makan daging sapi akan mengakibatkan penyakit  siawan  atau sariawan, gejalanya kulit melepuh, gigi busuk, dan rambut rontok," kata Snouck. Menurut sejarawan Anthony Reid dalam  Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia , hari kurban merupakan perayaan tahunan yang paling bermakna, namun perayaan sebelum dan sesudah bulan puasa juga diadakan secara besar-besaran. "Di Aceh bulan puasa diawali dan diakhiri dengan suara mendentum yang keras dari meriam," kata Reid.   Hoesin menyebut puasa adalah masa ketika masyarakat menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka akan kembali ke pekerjaan masing-masing sesudah puas berhari raya dengan anak istri. Lazimnya sesudah puasa syawal. "Mereka bersama keluarga hidup tenang selama puasa. Tak bekerja keras sebagaimana bulan lainnya," jelasnya. Bahkan, pemerintah kolonial Belanda tak menyuruh orang kerja rodi saat bulan puasa. Mereka tahu keamanan akan terganggu bila menyuruh orang bekerja di bulan puasa.

  • Ode untuk Legenda Renang Lukman Niode

    GELANGGANG olahraga Indonesia berduka. Salah satu legenda terbaiknya, Lukman Niode, mengembuskan nafas terakhir di Rumahsakit Pelni Jakarta, Jumat (17/4/2020) siang. Atlet renang yang acap mengharumkan nama bangsa di era 1980-an itu meninggal di usia 56 tahun setelah dinyatakan positif virus corona. “Iya (positif virus corona ), informasi dari dokter teman Mas Luki (sapaan Lukman Niode) yang ikut mengawal beliau,” ujar Krisna Bayu, legenda judo yang juga rekan satu naungan di Indonesian Olympian Association (IOA), saat dihubungi Historia. Idrus Niode, kakak Lukman, memberitakan bahwa Lukman sudah masuk RS Pelni sejak Selasa (14/4/2020). Usai dilakukan swab test sehari kemudian, ia dinyatakan positif tertular virus coron a. Setelah dua hari perawatan, ia dinyatakan meninggal pada pukul 12.58 WIB, Jumat (17/4/2020). Perenang pertama Indonesia yang turun di pentas Olimpiade Los Angeles 1984 itu dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta. “Dia sebelumnya ikut tim relawan dari KSP (Kantor Staf Presiden),” sambung Bayu. Sejak beberapa waktu belakangan, Lukman ikut tim KSP yang menyalurkan barang-barang bantuan COVID-19 dari para penyumbang. Saat itulah dia terserang penyakit maag sejak Selasa (14/4/2020). Namun lantaran bolak-balik ke rumahsakit (RS Setia Mitra, RS Pondok Indah, RSPI Sulianti Saroso, RS Persahabatan, hingga RS Pelni), Lukman kemudian terkena COVID-19. Olympian Krisna Bayu mengenang sosok mentor Lukman Niode (Fernando Randy/Historia). Saat kondisinya kian parah, paru-parunya mengalami flek. Setelah dilakukan tes swab , barulah terang-benderang bahwa ia positif corona meski dari dua rapid test yang dijalani Lukman sebelumnya hasilnya negatif . “Jujur saya masih syok sampai sekarang. Istri saya (Dida) juga masih sedih banget. Karena belum lama juga diskusi sama Mas Luki untuk membuat program (olahraga berkuda). Dengan perginya Mas Luki, separuh hidupnya sudah didedikasikan untuk olahraga,” lanjut Bayu. “Saat ini olahraga Indonesia sangat berduka kehilangan pahlawan olahraga. Ilmu-ilmu yang sudah dia berikan pasti akan dikenang semua atlet. Karena dia aktif ikut bantu organisasi, tidak hanya PRSI (Persatuan Renang Seluruh Indonesia) tapi juga di banyak cabang olahraga, termasuk soal sport science- nya. Bagi saya dia adalah pahlawan olahraga Indonesia sejati,” imbuh ketua umum Persatuan SAMBO Indonesia itu. Darah Renang Lukman yang berdarah Gorontalo itu lahir di Jakarta, 21 Oktober 1963 sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnya, M. Niode, seorang pelatih renang di klub Tirta Kencana. Hasrat renang Lukman muncul sejak usia dini, berangkat dari rasa penasarannya untuk ikut-ikutan tiga kakaknya yang dilatih sang ayah: Idrus, Nana, dan Burhanudin Niode. “Saya belikan dia celana renang supaya bisa ikut-ikutan berenang dengan kakak-kakaknya,” ujar J. Niode, ibunda Lukman Niode, dikutip Kompas , 27 September 1981. Mulanya Lukman hanya sekadar main air di kolam renang. Obsesinya menseriusi olahraga renang muncul di usia sekolah dasar ketika acap melihat ketiga kakaknya mendulang prestasi di berbagai ajang perlombaan. Melihat gairah itu, ayahnya pun akhirnya ikut melatihnya. Menahan nafas sebagai teknik dasar olahraga renang menjadi pelajaran pertama yang diberikan sang ayah. Itu dilakukan di rumah dengan menggunakan wastafel yang dipenuhi air. “Muka saya masukkan ke dalamnya, lalu tiap tiga hitungan saya mengambil nafas,” tutur Lukman, dikutip dari Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1983-1984 . Metode itu jadi dasar Lukman untuk mendalami renang gaya bebas. Seiring berkembangnya skill , Lukman justru menyenangi gaya punggung. Raja PON ke Arena Olimpiade Seiring beranjak usianya, pundi-pundi prestasinya makin penuh. Pada Kejurnas 1976 saja, Lukman menyabet sembilan emas. Pada Pekan Olahraga Nasional IX 1977, Lukman yang ikut Kontingen DKI menyapu bersih 10 emas dari 10 nomor cabang renang sekaligus menetak tiga rekor nasional. di PON berikutnya (1980), dia mendulang tujuh emas. Capaian itu kemudian membuat Lukman diikutsertakan ke timnas renang kala Indonesia pertamakali ikut SEA Games, di Kuala Lumpur, 19-26 November 1977. Dalam persiapannya, ia bersama timnas renang dibawa pelatih kepala MF Siregar ke Amerika Serikat untuk digembleng. “Pemusatan latihan nasional di San Diego, Amerika Serikat selama dua tahun. Semua biaya penyelenggaraan latihan ditanggung PT Pertamina dan KONI Pusat. Seluruhnya 15 perenang, antara lain Lukman Niode, Kristiono Sumono, Gerald HP Item, dan Johnny Item,” tulis Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani dalam biografi MF Siregar, Matahari Olahraga Indonesia . Lukman Niode (kiri) bersama pelatihnya Mangombar Ferdinand Siregar (Foto: Repro "Matahari Olahraga Indonesia") Persiapan tersebut tak sia-sia. Di SEA Games 1977, kontingen Indonesia yang menjalani debutnya langsung jadi juara umum. Dari total 62 emas, 19 di antaranya datang dari cabang renang. Lukman sendiri menyumbang tiga emas dari nomor 100 meter dan 200 meter gaya punggung serta 4x100 meter medley relay putra . Prestasi itu kemudian diulanginya di SEA Games 1979 Jakarta, SEA Games 1981 Manila, dan SEA Games 1983 Singapura. Adapun di Asian Games 1978, Lukman mendulang sekeping perunggu di nomor 4x100 meter medley relay putra. Sementara di Asian Games 1982, Lukman mengalungi enam perunggu dari nomor 100 meter gaya bebas, 100 meter gaya punggung, 200 meter gaya punggung, 4x100 meter gaya bebas relay , 4x200 meter gaya bebas relay , dan 4x100 meter medley relay. Capaian di Asian Games 1982 itulah yang mengantarkannya jadi satu-satunya wakil Indonesia di cabang renang untuk turun di Olimpiade Los Angeles 1984. Gemilangnya Lukman di Asian Games 1982 itu juga merupakan buah dari sokongan KONI Pusat yang mengirimnya belajar ke Cypress High School dan Golden West Collenge, keduanya di Los Angeles. Di Olimpiade Los Angeles, Lukman berlaga di McDonald’s Olympic Swim Stadium, 31 Juli 1984. Ia turun di tiga nomor. Sayangnya ia gagal melangkah ke ronde final. Di nomor 100 meter gaya bebas, ia finis di urutan enam, sementara di nomor 100 meter dan 200 meter gaya punggung Lukman masing-masing hanya finis di urutan kelima. Lukman gagal pulang membawa medali. Prestasi internasional terakhir yang ditorehkannya untuk Indonesia datang dari Asian Games 1986. Sekeping perunggu di nomor 4x100 meter medley relay dipersembahkannya. Dedikasi Olahraga hingga Akhir Hayat Setelah pensiun pada 1988, Lukman tetap berkecimpung di dunia renang. Kurun 1988-1990, ia jadi pelatih kepala tim renang putra Golden West Collenge. Ia lalu masuk di tim pelatih UCLA (University of California, Los Angeles) sepanjang 1989-1991, sembari menyelesaikan studi arsitektur S1-nya di UCLA, dan gelar masternya di UCI (University of California, Irvine). Meninggalkan renang sejak 1991 untuk jadi arsitek di firma Mackenzie McKay & Partner di Los Angeles, Lukman pulang ke tanah air pada 1996. Seiring kerinduannya pada olahraga, ia mengalihkan waktunya untuk mengenyam studi manajamen olahraga dan sport science di Australian Institute of Sports pada 1997.  “Hidupnya banyak ikut mengurusi cabang-cabang olahraga, ikut membantu bagaimana sport science itu bisa masuk, mengingat dia sekolah (studi) itu di luar negeri. Tidak hanya PRSI. Dia orang yang lurus dalam membantu, tanpa tendensi atau kepentingan tertentu,” kata Bayu lagi. Selain berkiprah di olahraga, Lukman Niode juga punya gelar master di bidang arsitektur. (Fernando Randy/Historia). Sembari mendirikan firma desain dan arsitektur Principal pada 2000 dan Surya Institute pada 2008, ia mendedikasikan hidupnya di organisasi olahraga. Ia dipercaya menjadi kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi KONI Pusat pada 2003, ketua Komisi Atlet di Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada 2007, dan Sekjen Indonesia Olympians Association sejak 2018. “Di KONI dia bikin konsep PAL (Program Atlet Andalan). Inisiasi Prima (Program Indonesia Emas) konsepnya dari dia juga. Dia bisa mikir jauh ke depan, bagaimana prestasi Indonesia 10-25 tahun ke depan. Dia bahkan punya master plan untuk bagaimana atlet-atlet Indonesia bisa terus ada yang juara di olimpiade. Tapi dia kalah terus, gagal, kepentok birokrasi,” tambahnya. “Di luar sistem (organisasi) dia juga banyak bantu, apalagi pada sesama olympian . Dia banyak bantu saya ketika lagi membangun organisasi SAMBO. Di mata saya, Mas Luki adalah mentor, kakak yang baik. Dia praktisi olahraga yang seumur hidup didedikasikan kepada olahraga. Penggebrak yang bicara real apa adanya tanpa tendensi politik. Dia patriot olahraga sejati,” tandas Bayu mengenang sosok Lukman.

  • Merawat Kisah Nabi Yusuf

    BERALASKAN tikar, sejumlah orang duduk bersila, berjajajar, saling berhadapan. Sebuah kitab diletakkan di atas bantal. Lalu, secara bergiliran, dengan takzim mereka mendendangkan larik-larik puisi Yusuf dalam ragam tembang cara Osing. Ya ta rawuh Jabra'il, angucaping rasul ika, mawa surat Yusuf age, serawuhireng ayunan, tumulya tur peranata, punika jeng surat Yusuf. (Maka tibalah Jibril, berucap kepada Sang Rasul Muhammad, membawa surat Yusuf, setiba di hadapannya, lalu berhatur sembah, inilah surat Yusuf). Demikianlah petikan Lontar Yusuf, yang tertulis dengan aksara pegon dan berisi tentang kisah Nabi Yusuf. Di Banyuwangi, Jawa Timur, Lontar Yusuf bukan hanya disimpan tapi juga dibacakan atau ditembangkan ( mocoan ). Tradisi mocoan  Lontar Yusuf masih bertahan di desa-desa Osing, suku asli Banyuwangi, seperti Olehsari, Bakungan, Kemiren, Rejosari, dan Cungking. Biasanya dilakukan dalam prosesi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup manusia seperti kelahiran, khitan, perkawinan atau ritual bersih desa dan tolak bala. Gunawan Suroto dalam “Dolan Menyang Blambangan”, dimuat majalah Kunthi , Juni 1973, menyebut mocoan  di Banyuwangi mirip dengan macapat  di Jawa Tengah dan mamaca  di Madura. Bahannya dari dongeng atau cerita-cerita yang tertulis dalam lontar, buku-buku babad Jawa, ataupun kisah para nabi. Membacanya bergiliran. “Tembangnya tembang Banyuwangi. Jika ditemukan ada tembang-tembang Jawa Tengahan, seperti Asmarandana , Durma , Pangkur , dan lain-lain, caranya juga menggunakan tembang atau cengkok Banyuwangi,” tulis Suroto. Kisah Nabi Yusuf Kisah Nabi Yusuf dalam bentuk tembang ditemukan di berbagai tempat di Jawa, Madura, Lombok, dan daerah lainnya. Jumlahnya mencapai tak kurang dari 1.000 naskah. Sebagian besar bersumber dari surat Yusuf dalam Al-Qur'an. Pigeaud, javanolog asal Belanda kelahiran Jerman, dalam Literature of Java  menduga kisah Nabi Yusuf merupakan hasil transformasi dari naskah Melayu yang dikreasi ulang berdasarkan teks asli Arab oleh para pujangga di Nusantara (Jawa). Siapa penulisnya tak diketahui. Mungkin seorang sarjana di komunitas keagamaan Muslim di Giri atau Gresik atau Surabaya pada abad ke-17. Namun Bernard Arps, ahli sastra Jawa dari Leiden, Belanda, menyebut asal-usul dan perkembangan yang tepat masih perlu diteliti. Ada beberapa versi kisah Nabi Yusuf yang terbit dan mirip dengan “teks Jawa Timuran lama”. Salah satunya ditransliterasi dan diterjemahkan Titik Pudjiastuti dan Hardjana HP dengan judul Kitab Yusuf  (1981). Titik dan Hardjana sendiri menyebut Lontar Yusuf Banyuwangi kemungkinan besar merupakan salinan tak langsung dari sebuah manuskrip dari Cirebon, yang disusun pada tahun Jawa 1555 (1633-1634 M). Tapi, di antara kedua naskah tersebut, terdapat perbedaan yang menonjol, terutama dalam hal pemilihan kosakata dan detil pengisahannya. Transliterasi dari manuskrip Cirebon itu juga mencantumkan toponim Karangpura. Dalam “Yusup, Sri Tanjung, and Fragrant Water: The Adoption of A Popular Islamic Poem in Banyuwangi, East Java”, dimuat Looking in Odd Mirrors suntingan V.J.H Houben dkk, Bernard Arps menduga Karangpura sebagai Karang kedhaton di Giri, salah satu tempat yang disebut Pigeaud. Yang berkuasa saat Kitab Yusuf  ditulis adalah Panembahan Kawis Tuwa atau Kawis Guwa. Namun, Lontar Yusuf mungkin dikenal di Blambangan –nama lama Banyuwangi– pada tahap awal. Mungkin pula sudah ada komunitas Muslim di Blambangan ketika Lontar Yusuf ditulis atau disalin di Karangpura. “Kemungkinan besar itu digunakan, sesuai dengan isinya, antara lain untuk mendukung pengenalan Islam,” tulis Bernard Arps. Di sisi lain, di Blambangan berkembang tradisi seni mocoan  kitab-kitab keagamaan. Maka, tradisi mocoan  Lontar Yusuf berkembang seiring menguatnya pengaruh Islam. Dipakai sebagai sarana menarik hati masyarakat yang umumnya beragama Hindu. Ini mirip dengan pengislaman ala Sunan Kalijaga; memadukan kebudayaan Islam dan lokal (Hindu). Tak heran jika mocoan  juga dilakukan dalam ritual adat di desa-desa Osing, suku asli Banyuwangi. “Di Banyuwangi, Lontar Yusuf merupakan satu-satunya naskah kuno yang hingga kini masih dirawat dan ‘hidup’ dalam masyarakat lokal, terutama di wilayah pedesaan, Banyuwangi,” tulis Wiwin Indiarti, yang mentransliterasi dan menerjemahkan naskah berangka tahun Jawa 1829 (1890-an M) dengan judul Lontar Yusup Banyuwangi  (2018). “Naskah-naskah kuno Banyuwangi lainnya, seperti Kidung Sritanjung  dan berbagai varian Babad Blambangan , hampir tidak pernah dibacakan lagi saat ini.” Merawat Tradisi Kegiatan mocoan  mirip sebuah pengajian. Para pembaca setianya rutin membaca seminggu sekali dari rumah ke rumah secara bergiliran. Pembacaannya tidak lengkap hingga 12 pupuh melainkan hanya 2-3 pupuh awal. Namun jika mau dibaca lengkap semua pupuh, mocoan  dimulai selepas Isya dan baru berakhir menjelang Subuh. Di sejumlah desa Osing, mocoan  Lontar Yusuf biasa digelar dalam prosesi selamatan terkait kelahiran, khitan, perkawinan. Mereka berharap limpahan berkah Nabi Yusuf menular dalam kehidupan mereka. Para orangtua berharap anak yang akan lahir memiliki wajah dan tabiat seperti Nabi Yusuf atau anak yang dikhitan tak merasakan sakit. Pasangan pengantin berharap rukun dan bahagia hingga akhir hayat. Mocoan  Lontar Yusuf juga mengiringi prosesi adat bersih desa dan tolak bala, sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus doa agar terhindar dari segala bencana dan penyakit. Misalnya, ritual Ider Bumi , Tumpeng Sewu , dan Seblang Bakungan . Ritual-ritual adat tersebut masuk dalam agenda Banyuwangi Festival 2020; yang masing-masing digelar pada 25 Mei, 23 Juli, dan 9 Agustus. Namun, setua apapun sebuah tradisi atau budaya, ia akan punah jika tanpa regenerasi. Perlu sebuah gerakan kultural agar warisan leluhur tersebut tak tergerus arus zaman. Awal 2017, kaum muda Osing membentuk sebuah lembaga bernama Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Osing. Salah satu programnya adalah merintis sekolah adat Osing. Mocoan  Lontar Yusuf merupakan salah satu materi pembelajaran di sekolah adat Osing tersebut. Mereka juga melakukan beragam bentuk kerja, dari pendokumentasian hingga pelatihan, untuk menjaga keberlangsungan mocoan  Lontar Yusuf. Dan semua usaha itu berbuah manis. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Mocoan  Lontar Yusuf sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) 2019. “Alhamdulillah, tahun ini budaya dan tradisi Banyuwangi kembali ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), melengkapi tradisi lain yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain apresiasi dari pusat, ini akan menambah semangat untuk terus lebih giat menjaga dan melestasikan tradisi luhur Banyuwangi,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas , Agustus 2019. Hal ini menambah daftar budaya tradisi Banyuwangi yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda seperti Janger, Seblang Olehsari dan Bakungan, hingga Keboan Aliyan.*

  • Mitos dan Fakta Kolera di Aceh

    KONON penyakit kolera ( ta’eun ) yang membuat masyarakat Aceh kalang kabut adalah akibat ulah perang jen (jin). Jin kafir menyerang jin muslim dengan panah. Mereka berlindung di antara manusia tanpa membedakan muslim atau bukan. Akibatnya, banyak manusia terkena panah itu yang menyebabkan penyakit kolera. Mitos muasal kolera itu disebut dalam buku De Atjehers  karya Snouck Hurgronje. Ia tinggal di Aceh dari 1857 hingga 1936. "Sebagaimana di Jawa," kata Snouck, "kekuatan-kekuatan gaib memainkan peran penting berkaitan dengan cacar dan kolera, meskipun konsepsi orang Aceh sangat berbeda rinciannya dengan konsepsi Jawa." Di balik mitos itu, ternyata epidemi kolera di Aceh berawal dari serangan Belanda yang bagi orang Aceh adalah perang sabil melawan kafir.  "Terhadap Belanda, rakyat Aceh sudah bertekad sabil, menang atau syahid," tulis Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid 2.   Perang Sabil Perang Aceh pecah pada April 1873, tak lama setelah Traktat Sumatra ditandatangani Belanda dan Inggris pada 1 November 1871. Tujuannya mengganti Traktat London 1824 yang menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh. Kesepakatan baru itu memberi peluang kepada Belanda untuk menguasai Aceh. Serangan pertama Belanda berhasil dipatahkan pasukan Aceh. Belanda menderita banyak kerugian, bahkan panglima perangnya, Jenderal J.H.R. Kohler tewas. Serangan kedua dilancarkan pada 9 Desember 1873 di bawah komando Letjen Jan van Swieten yang sudah pensiun. Belanda menduduki keraton pada 31 Januari 1874. Sultan Mahmud Syah mengungsi ke Pagar Ayer, di mana ia meninggal dunia karena kolera. "Pada agresi yang kedua pihak Aceh tak akan keluar dari  dalam (istana raja)   jika bukan karena kolera. Lihat saja agresi Belanda yang pertama," tulis Said. Van Swieten segera memproklamasikan kemenangannya. Ia mengira seluruh wilayah Aceh akan menyerah. Ternyata, perlawanan malah semakin meningkat. Kolera yang Menyusup Belanda mengerahkan 8.500 serdadu, 4.300 pelayan dan kuli ke Aceh. Tak lama kemudian, 1.500 pasukan cadangan didatangkan dari Padang. Hampir separuh dari pasukan ini adalah serdadu bayaran, terutama yang dihimpun di Belanda. Mereka berasal dari kalangan sampah masyarakat dari berbagai negera di Eropa. "Kolera menjadi bagian yang menyusup di dalam ekspedisi pasukan terbesar yang pernah dikerahkan Belanda di timur," tulis sejarawan Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh, dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19 . Kolera telah merajalela di Batavia pada November 1873. Kolera menyerang pasukan Belanda sehari setelah meninggalkan pelabuhan Batavia. Sedikitnya 80 orang tewas sebelum mendarat di Aceh pada 9 Desember 1873. Kolera yang dibawa serdadu Belanda menulari orang-orang Aceh. Kolera juga menyerbu masuk istana. Panglima Tibang, pembesar Aceh yang menyeberang ke pihak Belanda, menceritakan kala Belanda menyerang di saat itu pula pihak Aceh menghadapi serangan kolera di dalam istana. Setiap hari lebih dari 150 orang dimakamkan di pekarangan istana.  Van Swieten mengepung istana pada 24 Januari 1874. Pasukan Aceh secara diam-diam meninggalkan benteng yang telah terjangkit penyakit. Mereka mundur ke bukit-bukit. "Menurut Tibang, dia dan sultan yang terakhir kali menyingkir. Ketika itu kolera sudah menyerang tubuh sultan. Tibang sendiri pun merasa diserang oleh kolera, selama delapan hari dia menderita dan mengatasinya," tulis Said mengutip  Biografie van den Toekoe Panglima Maharadja Tibang  karya J.A. Vink. Sementara itu, pihak Belanda yang merasa sudah menang, terkepung di Kutaraja. "Orang Belanda tak mempercayai orang Aceh. Mereka tak berani keluar jauh-jauh dari kubu pertahanan. Akhirnya, mereka terpaksa mendatangkan semua bahan makanan dan perbekalan dari Penang," jelas Reid. Belanda kehilangan 1.400 serdadu terutama karena kolera. Korban terus bertambah sekira 150 orang setiap bulan sepanjang tahun. Korban orang Aceh jauh lebih besar. Berdasarkan surat dari Aceh ke Penang, diperkirakan 37.000 orang Aceh mati karena kolera dan pertempuran pada akhir 1874. Termasuk Sultan Mahmud Syah. "Kesulitan yang dihadapi Van Swieten bertambah besar lagi dengan meninggalnya Sultan Mahmud karena penyakit kolera pada 26 Januari 1874 tanpa meninggalkan pengganti yang jelas," tulis Reid. Sengaja Ditularkan Mohammad Said mencurigai Belanda sengaja menularkan kolera ke penduduk Aceh. Alasannya karena orang Belanda sudah tahu penyakit itu ada di kapal sejak di pelabuhan Priok, Batavia. Kapal itu lekas diberangkatkan untuk menjaga agar yang di darat tak sampai kena. "Kenapa mendadak saja orang di kapal kena jika bukan karena 'barang' ini disimpan di situ?" tulis Said. Alasan lain, kapal itu sengaja tak dikarantina dan terus berlayar menuju perairan Aceh tanpa singgah di pulau atau tempat manapun yang tak ada manusianya. Said menyebut bahwa menurut laporan di perairan Aceh, seluruh armada Belanda menaikkan bendera kuning. Ini tanda internasional untuk menunjukkan kapal perang sedang dihinggapi penyakit menular. "Tidak berani masuk pantai Aceh, berhubung sudah disiarkan di kapal dan di pantai-pantai Aceh penyakit itu sudah menjalar," tulis Said. Keanehan lainnya berkaitan dengan pensiunan tentara Italia di Mincio bernama Nino Bixio. Awalnya, ia ditawari menjadi nakhoda kapal pengangkut Maddaloni . Ia menjual kapal itu kepada Belanda setelah mendapat tawaran tinggi. Ternyata, ia menjadi korban penipuan Belanda. "Sungguh menjadi tanda tanya serius bagi orang luar ketika mendengar Nino turut menjadi salah seorang korban (kolera,  red. ). Padahal di kapal Maddaloni  itu tak diketahui ada orang lain yang menjadi korban," tulis Said. Said menduga, Nino sengaja dikorbankan menjadi sasaran kolera. Mayatnya dibuang ke darat di salah satu pantai Aceh. Orang Aceh segera menyingkirkan mayat itu. Namun, mayat itu sudah terlanjur berada di sana beberapa waktu. "Wabah kolera sudah sempat menjalari badannya. Itu pulalah yang menyebabkan wabah turut mendarat bersama dengan mendaratnya tentara agresi Belanda waktu itu," tulis Said. Tak akan ada yang mengetahui rahasia itu selain Van Swieten dan orang-orang kepercayaannya. "Rahasia seperti ini jika terbongkar akan menjatuhkan prestise Belanda," tulis Said. "Walau masih abad ke-19, tapi sudah dikenal juga hukum internasional yang melarang suatu bangsa menyerang bangsa lain dengan alat bengis seperti bibit kolera." Memang tak bisa dipastikan penyebab wabah kolera menyebar di Aceh. Namun dari kejadiannya, menurut Said, sudah cukup alasan untuk menuduh Belanda sebagai pihak yang sengaja menyebarkan kolera ke tengah masyarakat Aceh.*

  • Peter Carey: Tak Ada Bantuan Turki untuk Diponegoro

    PANGERAN Diponegoro memiliki beberapa nama dalam hidupnya. Lahir di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1785, ia diberi nama Raden Mas Mustahar. Menginjak dewasa, berusia dua puluh tahun, ia menyandang nama Raden Ontowiryo. Ketika berziarah ke Pantai Selatan, Diponegoro menyandang nama Syekh Ngabdurahim. Berasal dari bahasa Arab, Syekh 'Abd al-Rahim, nama ini mungkin disarankan oleh penasihatnya di bidang agama, barangkali oleh Syekh al-Ansari di Tegalrejo. Diponegoro kemudian mengubah nama Ngabdurahim menjadi Ngabdulkamit. Menurut sejarawan Peter Carey, penulis biografi Diponegoro, Kuasa Ramalan , perubahan nama dari Ngabdurahim ke Ngabdulkamit mempunyai makna penting. Ngabdulkamit adalah nama yang disandang oleh Diponegoro selama Perang Jawa dan yang disenyawakan dalam gelarnya sebagai raja, yakni Sultan Erucokro. Diponegoro juga menggunakan nama Ngabdulkamit di Manado. Setelah tiba di pengasingan itu, ia meminta dipanggil hanya dengan nama Pangeran Ngabdulkamit bukan Pangeran Diponegoro, gelar yang diteruskannya kepada putranya yang sulung. Di Makassar, ia juga menggunakan nama Abdulkamit dalam karya-karya tulis keagamaannya. Nama Ngabdulkamit begitu penting bagi Diponegoro karena nama itu merujuk kepada nama sultan Turki, bangsa yang dikaguminya. 'Abd al-Hamid I, sultan Turki Usmani (bertakhta 1773–1787). (Wikimedia Commons). Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, pilihan nama itu mungkin berkaitan dengan 'Abd al-Hamid I, sultan Turki Usmani akhir abad ke-18 (bertakhta 1773–1787), raja Turki pertama yang mengaku memiliki kewenangan sebagai khalifah, pelindung kaum muslim di seluruh dunia. Diponegoro mengetahui tentang aneka upaya Sultan 'Abd al-Hamid I dalam memperbarui tentara Turki Usmani dan pendakuannya sebagai khalifah dari mereka yang pulang dari naik haji. "Lagi pula banyak orang Jawa kagum dengan Kemaharajaan Turki Usmani waktu itu sebagai benteng kekuasaan Islam di Timur Tengah dan sebagai pelindung terhadap meluasnya kekuatan Eropa yang Kristen," tulis Peter Carey. Kekaguman Diponegoro ditunjukkan dengan menyalin sejumlah pangkat dan nama-nama resimen yang digunakan dalam kemiliteran Turki Usmani. Pasukan kawal elitenya yang mengenakan sorban aneka warna dan panji-panji resimen berlambang ular, bulan sabit, dan ayat-ayat Alquran, ditata dalam kompi-kompi dengan nama seperti Bulkio, Turkio, dan Arkio. Nama resimen itu meniru nama-nama Bölüki (dari bölüki , satu regu), Oturaki, dan resimen kawal para sultan Turki Usmani, Janissar Ardia. Dalam waktu yang sama, panglima tentaranya yang terkemuka, Sentot yang baru berusia 17 tahun, menerima gelar Ali Basah, yang mungkin diambil dari istilah Turki 'Ali Pasha ('al-Basha al-'Ali/Pasha Yang Mulia) atau dari nama Muhammad Ali Pasha, penguasa Mesir, gubernur atau wakil (pasha) terkemuka Kesultanan Turki Usmani awal abad ke-19. Para pangeran dan pejabat tinggi Yogyakarta yang berjuang di pihak Diponegoro juga menggunakan nama dan gelar Turki Usmani, seperti Basah dan Dullah. "Diponegoro juga menyebut dalam babad karyanya teladan sultan Turki Usmani sebagai penguasa tertinggi di Mekah," tulis Peter Carey. "Panji perang pribadi Diponegoro sendiri pola layar segitiga hijau dengan bulatan matahari di tengah dan panah bersilang mungkin juga diilhami oleh tradisi militer Turki Usmani." Meskipun mengagumi Turki Usmani, menurut Peter Carey, Diponegoro tidak mendapatkan balabantuan langsung dari Turki Usmani dalam Perang Jawa. "Ketika mengajukan Babad Diponegoro sebagai warisan dunia, kami ditanya apakah pentingnya naskah ini bagi dunia," kata Peter Carey dalam live instagram@historiadotid tentang "Sisi Lain Kehidupan Pangeran Diponegoro" pada Kamis, 16 April 2020, pukul 12.00 WIB. Untuk menjawab pertanyaan itu, Peter Carey menanyakan kepada koleganya Ismail Hakki Kadi , sejarawan muda Turki dan penulis buku Ottoman–Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives , apakah ada hubungan atau dukungan Turki Usmani kepada Diponegoro dalam Perang Jawa. "Sayangnya, tidak ada. Jika ada akan menguatkan pengusulan Babad Diponegoro sebagai warisan dunia," kata Peter Carey. Meskipun demikian, pada 21 Juni 2013, UNESCO (organisasi PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya), tetap menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia ( Memory of the World ). “Meski menetapkan busana dan memberikan pangkat Turki Usmani seperti Ali Basah (Pasha Tinggi) buat para panglima tertingginya, Diponegoro bukanlah pembaru Islam," tulis Peter Carey. "Sebaliknya, ia seorang muslim Jawa tradisional yang tidak mengenal pertentangan antara dunia kerohanian Jawa dan keanggotaannya dalam umat internasional yang pusat kerohanian serta budaya politiknya adalah Hejaz (Arab Saudi sekarang ini) dan Turki Usmani."*

  • Kehidupan di Tangsi KNIL yang Kumuh

    Setelah lulus sekolah pendidikan perwira cadangan, resmilah Abdul Haris Nasution menjadi tentara Hindia Belanda (KNIL). Nasution tergolong perwira rendahan. Pangkatnya masih pembantu letnan satu. Bersama Kartakusumah, rekannya sesama bumiputra, Nasution ditempatkan dalam Batalion X, Kompi Jawa di bilangan Senen, Batavia. “Kehidupan dalam tangsi ‘kompeni’ adalah merupakan pengalaman baru, terutama di mana terasa diskriminasi antara suku, Kompi I adalah Belanda, Manado, dan Kompi III adalah Jawa. Skala gaji dan menu makanan juga tidaklah sama,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1: Kenangan Masa Muda .    Nasution menuturkan kegiatan sehari-hari para serdadu adalah baris-berbaris di Lapangan Banteng, di depan kediaman Panglima Divisi I KNIL. Ada kalanya latihan luar lapangan atau latihan menembak di Sunter. Sesekali Nasution ikut komandan kompi meninjau persiapan perbentengan di Cilincing. Dalam tugas lapangan, disiplin dijunjung tinggi sebagaimana lumrahnya dunia militer yang keras. Namun ketika kembali ke tangsi, Nas mengalami kehidupan sosial yang sangat berbeda. Menjaga ketertiban bukan perkara gampang. Pada siang hari, kamar-kamar mesti dikosongkan dan diinspeksi oleh petugas piket.   “Di Batalion X inilah saya mengalami kehidupan ‘kompeni’, yang melahirkan sebutan ‘anak kolong’,” ujar Nasution. “Kiranya sulit memelihara privasi dalam asrama demikian. Dan anak-anak pun sudah banyak yang tahu.” Nasution tidak mengungkapkan secara gamblang seperti apa anak kolong yang dimaksud. Namun menurut Misbach Yusa Biran, seniman yang sering nongkrong di kawasan Senen, anak dari serdadu berpangkat prajurit disebut sebagai “anak kolong”. Istilah ini muncul karena tentara berpangkat prajurit diharuskan tinggal dalam tangsi. Mereka hanya diberi satu kamar sempit untuk satu keluarga sehingga anak-anak terpaksa tidur di kolong ranjang. Misbach juga menyebut, kawasan sekitar Batalion X tempat Nasution bernanung ini menjadi wilayah yang sangat “angker”. Pribumi yang lewat dekat sana sering dicap pro-Indonesia dan akan disiksa, termasuk oleh anak kolong. Maka tidak heran kalau kelompok anak kolong dikenal karena kenakalannya.   “Mereka sering berkelahi dengan anak kampung, orang kelas bawah. Anak serdadu menghina anak kampung dan sebaliknya mereka dikatai sebagai anak kolong,” tulis Misbach Yusa Biran dalam  Kenang-kenangan Orang Bandel . Menurut Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda,  dalam lingkungan tentara kolonial, pergundikan dan pelacuran merupakan bagian dari realitas sehari-hari. Serdadu pribumi dan Eropa hidup bersama dalam tangsi-tangsi prajurit. Para istri dan anak-anak prajurit pribumi mempunyai tempat tersendiri dalam tangsi. Sementara itu, serdadu-serdadu Eropa hidup bersama nyai  (gundik) mereka. Sepertinya kenyataan miris itulah yang disebut Nasution dengan “sulitnya memelihara privasi.” Menurut Nasution, pagi hari menjadi waktu yang paling merepotkan dalam kehidupan tangsi. Keluarga serdadu (anak dan istri) harus lekas membersihkan tempat dan pergi. Suara menangis anak-anak selalu ramai. Bocah-bocah ini pun kadang tidak sempat buang hajat ke kakus. Kartakusumah sewaktu bertugas jadi komandan piket pernah diuji kesabarannya karena menyakiskan seorang anak yang berak sembarangan di pekarangan. “Namun demikian kehadiran keluarga-keluarga ini ada pula segi enaknya. Kami selalu dapat memesan nasi pecel dari dapur bersama,” ujar Nasution berkelakar. Demikianlah pengalaman Nasution di tangsi Belanda dalam masa awal bertugas sebagai tentara jauh sebelum menjadi jenderal dalam ketentaraan Republik Indonesia.

  • Nasution dan Lubis Akur, Gatot Subroto Senang

    DEMI bisa melihat upacara pelantikan suaminya, Kolonel AH Nasution, menjadi KSAD untuk kali kedua, di Lapangan Banteng pada 1 November 1955, Johana Sunarti terpaksa menumpang pada seorang kenalan suaminya, Kadir. Dari rumah Kadir yang berada di pinggir Lapangan Banteng itulah Johana bisa leluasa melihat upacara pelantikan itu. “Beda dengan protokol masa Orde Baru (Orba), maka di masa liberal itu sang isteri pejabat tidak masuk protokol, jadi tidak diundang, kebiasaan dari masa perjuangan 1945-50 masih dihayati,” kata Nasution dalam otobiografinya,  Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 3 . Upacara pelantikan itu juga berbeda dari pelantikannya sebagai KSAD saat pertamakali (1949) dan pelantikan-pelantikan para petinggi militer lain sebelumnya. “Sejak 1945 baru kali inilah pelantikan pejabat tinggi TNI dilakukan di depan pasukan. Sejak dulu pelantikan dilakukan di Istana Presiden. Prakarsa ini datang dari Kolonel Z. Lubis, yang menganggap lebih tepat di depan pasukan daripada di Istana. Saya sependapat dengan beliau,” sambung Nasution. Kolonel Lubis yang dimaksud Nas, sapaan akrab Nasution, merupakan Zulkifli Lubis “bapak intelijen Indonesia” yang saat itu menjadi Pejabat KSAD. Dalam status keluarga, Lubis dan Nas merupakan sepupu. Sama dengan Nas, Lubis juga Muslim taat yang hidup sederhana, anti-korupsi, dan anti-Komunis. Namun, hubungan keduanya tak akrab dan bahkan justru lebih banyak bertentangan. “Kebetulan kalau dengan saya, tidak pernah cocok. Saya termasuk yang diinteli terus,” kata Nas. Penyebab utama pertentangan itu yakni latar belakang pendidikan, di mana Nas mantan KNIL dan Lubis mantan Peta.“Memang sejak masa Yogyakarta sementara orang mengetahui bahwa kami seringkali bertentangan dalam pembawaan diri. Rupanya ia melihat saya sebagai militer profesional ala dunia Barat. Memang pula saya merasakan pembawaannya sebagai seseorang yang punya latar belakang pendidikan intel Jepang,” kata Nas. Pertentangan keduanya bahkan ikut mewarnai perpolitikan nasional era 1950-an. Setelah Peristiwa Oktober 1952, di mana Nas menjadi pemimpin gerakan dan Lubis berada di kubu kontra-gerakan, Nas kehilangan jabatan KSAD-nya dan Lubis diangkat menjadi wakil KSAD. Puncak konflik keduanya terjadi justru ketika keduanya berpasangan memimpin AD sejak akhir 1955. Penolakan KSAD Nas terhadap usul Wa-KSAD Lubis (Wa-KSAD) agar KSAD lebih memfokuskan urusan luar sementara Wa-KSAD mengurus internal AD, membuka puncak konflik itu. Eskalasi Konflik meningkat saat Lubis akan digeser menjadi panglima Teritorium I Sumatra Utara dalam rencana mutasi yang dibuat Nas untuk memperbaiki organisasi AD.   Berkelindan dengan gejolak politik nasional di mana sejumlah daerah menuntut keadilan kepada pemerintah pusat dan beberapa panglima daerah menuntut Nas dicopot, sebuah upaya kudeta rancangan Lubis –dinamakan Nas sebagai “Peristiwa Lubis”– yang gagal akhirnya menabuh gong perang antara Nas dan Lubis. Nas, tulis Peter Kasenda dalam Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD , “memberhentikan Lubis dari TNI AD dan membatalkan pengangkatannya menjadi Panglima Divisi Bukit Barisan.” Lubis akhirnya buron dan kemudian bergabung bersama para panglima daerah bergejolak dan politisi anti-Komunis mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Lubis lalu dipenjara begitu PRRI dihancurkan pemerintah pusat. Keduanya baru akur ketika sudah sama-sama “menganggur” setelah Orde Baru berdiri. Nas hanya menjadi penulis dan pengisi ceramah di kampus-kampus usai MPRS yang dipimpinnya dibubarkan Presiden Soeharto. Sementara, Lubis berwiraswasta setelah dibebaskan dari tahanan pada 1966. Keakuran keduanya di masa aktif dalam militer jadi hanya terjadi sesaat, yang dimulai saat Nas diangkat kembali menjadi KSAD. Usai dilantik di Lapangan Banteng, Nas melakukan serah terima dengan Lubis di aula Mabes AD. “Setelah kami berdua menandatangani piagam serah-terima itu, maka saya bacakanlah order harian saya,” kata Nas. Prosesi serah-terima itu berjalan lancar dalam suasana akrab. KSAD Nas dan Wa-KSAD Lubis pun bisa tertawa bersama. Keakuran itulah yang mengundang kelakar dari Kolonel Gatot Subroto, yang di kemudian hari dipilih Nas untuk menggantikan Lubis sebagai wakilnya. “Kita aman kalau kedua saudara dari Mandailing ini tidak berkelahi,” kata Gatot, dikutip Nas.

  • Kesko Siliwangi, Cikal Bakal Kopassus

    MALAM menuju puncaknya. Gulita membekap kawasan Asrama Militer Batujajar, Jawa Barat ketika sekelebat bayangan bergerak cepat di belakang pos penjagaan. Sejurus kemudian, dari bagian belakang, secara kilat bayangan hitam itu membekap prajurit penjaga pos. Sang prajurit tergagap. Dia coba melawan. Namun pitingan tangan yang kuat disertai ancaman pisau komando yang terhunus membuatnya tak bisa berkutik. “Sang penyergap itu tak lain adalah Visser, instruktur sekaligus komandan kami. Dia memang begitu, nyaris setiap waktu selalu menguji kesiapsiagaan kami sebagai pasukan komando,” kenang almarhum Marzoeki Soelaiman, salah satu anak didik generasi pertama dari Roden Barendrecht Visser alias Mochamad Idjon Djanbi. Marzoeki juga masih ingat bagaimana aksi Visser saat  melakukan latihan penyerbuan dari laut di Pelabuhan Ratu. Dalam skenario,  para siswa peserta pelatihan dengan menggunakan beberapa perahu karet akan melancarkan penyerangan ke arah sebuah lapangan udara di muara Sungai Cimandiri. Namun saat tiba di tengah lautan, mendadak mereka disiram dengan peluru-peluru senapan mesin. Siapa gerangan yang melakukan manuver berbahaya tersebut? Siapa lagi jika bukan Mayor Mochammad Idjon Djanbi. Yang mengagumkan, kendati peluru-peluru tajam itu ditembakan dari darat ke laut dalam situasi gelap gulita namun sasarannya tetap terukur sehingga tak seorang prajurit pun tersentuh. “Kami hanya menyaksikan peluru-peluru itu jatuh tak lebih satu meter jaraknya dari perahu kami” kenang eks anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) generasi pertama itu. Selain penyerangan dari laut, sebelumnya para siswa pelatihan pasukan khusus itu dibekali juga dengan pengetahuan survival, perang hutan, membaca gelombang, belajar mendayung secara efektif dan melancarkan penyerangan senyap. “Visser benar-benar membentuk kami sebagai prajurit komando yang tangguh dan teruji di berbagai medan,” ujar Marzoeki. Panglima operasi penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) Kolonel A.E. Kawilarang tak pernah bisa melupakan musuhnya. Sebagai orang militer, dirinya merasa terpesona dengan pergerakan para prajurit eks anggota RST (Resimen Pasukan Khusus KNIL) tersebut. “Mereka mampu berpindah ke sana ke mari untuk mengacau kedudukan musuh,” ungkap Kawilarang kepada penulis Julius Pour dalam buku  Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan. Menurut Kawilarang, keleluasaan dalam mobilitas itu bisa dilakukan karena kekuatan eks pasukan Baret Hijau dan Baret Merah itu sangat ramping: hanya terdiri dari beberapa unit kecil. Kendati demikian, secara individu mereka terdiri dari prajurit-prajurit yang memiliki ketrampilan tempur yang mumpuni terutama dalam pergerakan senyap. Ketika berdiskusi dengan Letnan Kolonel Slamet Rijadi, koleganya dari Jawa Tengah yang juga terlibat dalam penumpasan RMS, soal itu sempat menjadi perbincangan serius. Di akhir diskusi, kedua perwira kharismatik tersebut sepakat bahwa suatu hari militer Indonesia harus memiliki sejenis kesatuan seperti itu. “Sayangnya, sebelum obsesi itu terwujud, Letnan Kolonel Slamet Rijadi keburu gugur, ditembak brengun musuh di palagan Maluku Selatan,” ujar Julius Pour. Dua tahun Kawilarang memendam mimpinya memiliki sebuah kesatuan pasukan komando. Hingga pada awal 1952 saat dirinya diangkat sebagai Panglima Tentara Teritorium III Siliwangi (sekarang Kodam III Siliwangi), dia berkesempatan mewujudkan obsesinya tersebut menyusul semakin mengganasnya serangan para gerilyawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosoewirjo di Jawa Barat. Langkah pertama yang dilakukan Kawilarang adalah berdiskusi dengan Kepala Seksi I Mayor Inf. Djuchro dan salah satu staf kepercayaannya, Mayor Soewarto. Dari perbincangan itu lantas muncul nama Rokus Bernardus Visser, seorang Belanda kelahiran 1914 yang pernah menjadi anggota KST (Korps Pasukan Khusus) Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Visser merupakan prajurit pasukan khusus yang pernah dididik Resimen Pasukan Payung Inggris. Pada September 1944, bersama kesatuan lintas udara Amerika Serikat, Visser sempat diterjunkan di Arnhem, Belanda dan terlibat pertempuran melawan tentara Jerman dalam Operasi Market Garden. Usai berakhirnya Perang Dunia II, dia kemudian bergabung dengan KST dan sempat ikut terlibat dalam pembentukan lembaga pendidikan pasukan payung. Saat berpangkat kapten, Visser mengundurkan diri dari militer Belanda. Dia lantas menikahi seorang gadis Sunda bernama Suyatni dan merintis usaha perkebunan bunga di Lembang. Setelah memeluk agama Islam, Visser merubah namanya menjadi Mochamad Idjon Djanbi. Djanbi sebelumnya pernah didapuk oleh Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) untuk menjadi instruktur dalam suatu program bernama Combat Intelligence Course (CIC) di Bogor pada 1950. Salah satu yang menjadi siswa CIC angkatan pertama adalah Letnan Dua Aloysius Sugiyanto, eks ajudan Kolonel Kawilarang. “Jadilah saya diperintahkan oleh Pak Kawilarang untuk berangkat ke Lembang dan membawa Pak Idjon Djanbi ke Bandung menghadap Pak Kawilarang,” kenang Aloysius, berusia 92 tahun. Sesampai di Bandung, Djanbi diminta Kawilarang untuk merintis pembentukan satu kompi pasukan komando di lingkungan Siliwangi. Upaya itu diawali dengan membentuk perwira-perwira berkualifikasi komando. Tanpa banyak bernegoisasi lagi, Djanbi mengiyakan permintaan Kawilarang. Sebagai syarat pengangkatannya dia hanya meminta pangkat mayor. “Alasannya pangkat dia harus lebih tinggi dibanding para calon siswanya yang sudah ada berpangkat kapten,” ungkap Aloysius. Kawilarang setuju. Sebagai wakil Idjon Djanbi, diangkatlah Kapten Marzoeki Soelaiman, eks prajurit Divisi Siliwangi dari Batalyon Kala Hitam. Diangkatnya Marzoeki karena dia dianggap sangat mengerti bahasa Belanda. “Sebab selain menjadi pelancar komunikasi antar anggota pasukan, tugas saya juga adalah menerjemahkan bahan-bahan pelatihan pendidikan komando dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia,” ujar Marzoeki. Singkat cerita, pelatihan pun berjalan lancar. Setelah menghabiskan waktu selama dua bulan di hutan-hutan Gunung Burangrang, Pelabuhan Ratu dan Pulau Nusakambangan, maka calon kesatuan khusus itu telah memiliki 8 perwira berkualifikasi komando. Pada 16 April 1952, Kawilarang meresmikan pembentukan Kesatuan Komando (Kesko) Tentara Teritorium III Siliwangi. Karena jumlah instruktur dinilai masih kurang, maka Idjon menghubungi para mantan tentara Belanda asal Indonesia Timur yang dulu pernah menjadi anak didiknya untuk bergabung dengan Kesko. Selanjutnya pendidikan pasukan khusus pun digelar. Sekira 400 prajurit dari berbagai kesatuan di Siliwangi mendaftar. Namun setelah lima bulan dididik dalam suatu penggojlokan yang sangat keras, termasuk terjun langsung dalam operasi-operasi perburuan gerilyawan DI/TII, hanya tersisa 242 prajurit yang mampu bertahan dan dinyatakan lulus. Merekalah prajurit-prajurit komando pertama di Indonesia. Kegemilangan pasukan berbaret coklat itu dalam berbagai operasi militer di Jawa Barat membuat MBAD tertarik untuk mengadopsinya sebagai pasukan khusus di Angkatan Darat. Maka pada 18 Maret 1953, resmilah Kesko TT III Siliwangi menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD) dengan baret merah darah sebagai ciri khasnya. “Dua tahun kemudian (25 Juli 1955), KKAD berubah menjadi RPKAD,” ungkap Aloysius. Pada 12 Desember 1966, RPKAD berganti nama menjadi Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD). Lima tahun kemudian berubah lagi menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Terakhir pada 26 Desember 1986, Kopassandha merubah dirinya menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Sampai detik ini, nama itu terus melekat untuk pasukan baret merah tersebut.*

bottom of page