Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Berdakwah Sampai Jauh
ABDURRAHMAN Wahid (Gus Dur) pernah berkomentar tentang Hamka yang disebutnya sebagai ulama tingkat nasional dengan orientasi pesan toleran kepada penganut agama lain.
- Anak Nakal Menjelma Ulama
MALAM Senin, 16 Februari 1908. Haji Rasul yang sedang berbaring di bangku terbangun mendengar tangisan bayi dari rahim istri keduanya, Siti Shafiah. Dia sumringah sambil berkata, “sepuluh tahun!”
- Akar Ranting Keluarga Hamka
RAIHANA telah menjatuhkan pilihannya pada Haji Rasul untuk jadi suaminya. Dia menampik lamaran pemuda lain yang kabarnya jadi sakit karena keputusannya itu. Begitu sakit hatinya si pemuda, dia pun menempuh jalan lain: mengirim sihir supaya pasangan muda itu ditimpa bencana.
- Ziarah Sejarah ke Petamburan (2)
BERANJAK ke bagian belakang TPU Petamburan, kita akan menemukan salah satu makam yang cukup megah. Meski tak semegah mausoleum Oen Giok Khouw, makam ini tampak bersepuh marmer berwarna hitam sepenuhnya. Nisannya juga besar sehingga memuat banyak keterangan tentang siapa sosok yang dimakamkan. Sayang, bingkai kaca tempat memuat foto di sudut atas kanan nisan retak. Sehingga, potretnya pun tak terlihat jelas.
- Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI
Aksi kartu kuning Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Zaadit Taqwa, menjadi perbincangan. Pasalnya, protes simbolik itu dilayangkan kepada Presiden Jokowi ketika menghadiri sidang Dies Natalis Universitas Indonesia ke-68, (2/2). Meski mendapat dukungan karena dianggap berani, tak sedikit pula yang mengecam perbuatan mahasiswa jurusan Fisika fakultas MIPA tersebut. Cercaan bahkan datang dari sesama almamater. Tersiar kabar bahwa Zadit membawa muatan kepentingan dari partai politik tertentu dalam sepak terjangnya di kampus. Cuitan dari Saifulloh Ramdani, Ketua BEM FIB UI periode 2013, misalnya. Dalam serangkaian twit- nya , Saifulloh membeberkan adanya penyusupan kader-kader PKS (Partai Keadilan Sejahtera) di kampus UI yang telah menggeliat sejak lama. Kepentingan politik tertentu yang dibawa oknum-oknum mahasiswa UI memang telah berlangsung lama. Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa UI Angkatan ’66 tak tutup mata akan masalah itu. Dalam artikelnya berjudul “Wajah mahasiswa UI yang bopeng sebelah” (dimuat dalam harian Indonesia Raya, 22 Oktober 1969) Gie membongkar prilaku tersebut. “Sebagai aktivis mahasiswa saya ‘kenyang’ dengan pengalaman ini. Di ‘republik kecil’ saya (UI), saya pernah menjadi ‘gubernur’ (ketua senat) dan saya kira saya cukup tahu betapa tidak sehatnya kehidupan kemahasiswaan di tempat saya. Di ‘republik kecil’ yang bernama Universitas Indonesia kita bisa jumpai segala macam kejorokan-kejorokan yang biasa kita temui dalam republik yang lebih besar – dalam Republik Indonesia,” ungkap Gie. Gie tak mengetahui persis ada berapa ormas yang menempatkan UI sebagai project utamanya. Istilahnya: “menggarap UI”. Namun tak dimungkiri, beberapa tokoh mahasiswa telah “dititipkan” membawakan misi organisasi. Melawan Tiran di Kampus Pada pertengahan 1968, Gie masih mengingat bagaimana pimpinan mahasiswa UI geger karena mendapatkan dokumen HMI (Himpunan Mahasiswa Islam – red ) mengenai pengambilalihan Dewan Mahasiswa UI oleh PB HMI. “Pernah soal ini dikonfrontir secara lisan, tetapi jawabannya berbelit-belit, walaupun tidak disangkal,” tulis Gie. HMI diduga kuat mempunyai kaitan erat dengan Masjumi, partai politik Islam yang dilarang pada 1960. Selain itu, pada waktu pembentukan Dewan Mahasiswa, senat-senat tak didekati dan dimintakan pendapatnya. Yang didekati adalah komisariat-komisariat ormas dari PMKRI (Perkumpulan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), dan lainnya. Gie dan mahasiswa-mahasiswa lain yang bukan anggota ormas menyaksikan bahwa aktivis-aktivis ormas bermaksud mendominasi Dewan Mahasiswa. Pihak yang paling dirugikan adalah golongan mahasiswa independen yang berorientasi intra kampus. Kelompok ini banyak terkonsentrasi di Fakultas Sastra, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Kedokteran Gigi. Ketiga fakultas tersebut memiliki sentimen anti ormas yang sangat kuat. Para ketua senat ketiga fakultas, pada Juni 1969 kemudian membentuk Koordinasi Kegiatan Kemahasiswaan (KKK) untuk menarik diri dari manipulasi ormas yang menjangkiti kampus. Pertemuan antara ketiga ketua senat yang membangkang itu dengan Rektor Sumantri Brodjonegoro gagal mencapai penyelesaian tentang komposisi Dewan Mahasiswa. Seminggu setelah pertemuan itu, Dewan Mahasiswa malah melarang KKK-UI berikut program kegiatannya. “Ormas-ormas sering berpretensi bahwa mereka adalah ‘pemilik’ dari UI. Soal ini amat menyakitkan hati orang yang tidak berormas,” tulis Gie dalam Indonesia Raya . Kebobrokan lain yang disoroti Gie adalah penyalahgunaan dana infrastruktur kampus. Dalam catatan hariannya, 23 Oktober 1969, Gie mengungkap korupsi di mesjid kampus yang mencapai jutaan rupiah setiap tahun. Gie mengilustrasikan, jika ada yang bilang tak ada korupsi di UI, maka ada dua kemungkinan: ia bodoh sekali sehingga tak dapat mencium bau korupsi atau apatis karena menganggapnya sebagai urusan internal UI. Dalam berbagai media massa, beberapa kali Gie mengangkat persoalan dan carut-marut yang terjadi di UI. Artikel Gie ditulis dengan kemarahan bercampur muak. Dia menyalahkan ormas-ekstra atas kebuntuan dalam masalah kemahasiswaan di UI. Khawatir kritiknya bisa menjadi batu sandungan, Gie sempat mengajukan pengunduran diri sebagai dosen muda di Fakultas Sastra. Namun pengajuan itu ditolak oleh Harsja Bachtiar, Dekan Fakultas Sastra. Secara tersirat, Harsja tak melarang Gie untuk bersuara. “Sekali-kali mereka juga harus digituin agar mereka juga giat memperbaiki situasi keuangan,” kata Harsja Bachtiar sebagaimana dikutip Gie dalam catatan hariannya tertanggal 22 Oktober 1969 yang kemudian dibukukan Catatan Seorang Demonstran . “Saya merasa hormat atas sikap Harsja yang begitu etis dan jujur,” tulis Gie. Menurut John Maxwell, Soe Hok Gie telah terlibat dalam pergolakan politik sepanjang dasawarsa 1960-an, tetapi ia merasa bahwa konflik di kampusnya sendiri adalah pengalaman yang paling menyedihkan. “Tidak hanya menentang lawan-lawannya di lembaga mahasiswa, ia juga menjadi lawan para pemimpin senior universitas,” ujar Maxwell dalam disertasinya yang dibukukan Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . “Tetapi ia merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali memancing opini publik terhadap masalah ini.”*
- Prajurit Keraton Ikut PKI
WOENTOE dan Tombeng merupakan dua pemuda asal Minahasa yang menjadi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Keduanya bertugas di Batalyon Infanteri ke-15 di Cimahi, Bandung. Pada pertengahan 1927, keduanya berada di Semarang entah karena sedang bertugas atau ada kegiatan lain non-tugas. Ketika di Semarang itu lah pada 13 Juli 1927 Woentoe dan Tombeng bertemu seorang Kopral Wakidi alias Prawirosoengoto dari Legiun Mangkunegara. Ketiganya lalu membicarakan politik. Algemeen Dagblad tanggal 26 Juli 1927 menyebut, selain membicarakan tentang Rusia dan Tiongkok yang bergolak, mereka bicara soal “pemerintahan asing dan kaum kapitalis.” Kopral dari pasukan keraton Mangkunegara itu kemudian kembali ke Solo. Legiun Mangkunegara merupakan hulptroepen (pasukan bantuan) bagi militer Belanda. Ketika itu yang berkuasa di keraton Mangkunegaran adalah Kanjeng Pangeran Aria Adipati Mangkunegoro VII (Raden Soerjo Soeparto). Woentoe dan Tombeng kemudian juga pergi ke Solo naik mobil. Kedua orang Minahasa itu menuju tangsi tentara kavaleri di Solo guna mereka mencari prajurit kavaleri KNIL bernama Rangkap. Ternyata Rangkap baru saja dari Manado. Rangkap amat senang bertemu Woentoe dan Tombeng. Suasana hangat menyelimuti pertemuan mereka bertiga. Rangkap lalu diajak ikut dalam sebuah pertemuan di rumah Atmodikromo, yang juga serdadu Mangkunegara, pada Jumat (15 Juli 1927) malam. Atmodikromo alias Soekarmin berpangkat soldaat schoenmaker (prajurit pengurus sepatu) di Legiun Mangkunegara. Ia bawahan dari Wakidi. Di sana, Rangkap berkenalan dengan pria yang tampak hebat di matanya dengan lencana kopral di seragamnya. Wakidi lalu bercerita soal pangkatnya. “Saya telah melakukan yang terbaik dan belum lama ini diangkat menjadi kopral juru tulis," terang Wakidi kepada Rangkap. Usia Wakidi alias Prawirosoengoto ketika itu 44 tahun. Sedangkan Soekarmin masih 33 tahun. Singkat kata, Rangkap tertarik ikut gerakan yang dihelat di rumah Soekarmin itu. gerakan yang dimaksud adalah gerakan politik. Orang Minahasa dalam KNIL punya catatan setidaknya tiga kali memberontak terhadap Belanda di abad ke-20. Rangkap lalu diberi uang 500 gulden dan diminta mengajak prajuarit-prajurit kavaleri lain di kesatuannya untuk mendukung gerakan rahasia mereka. Rangkap setidaknya hendak membujuk 36 prajurit kavaleri di Solo untuk ikut dalam gerekan. Pun Kopral Prawirosoengoto, juga terus mencari kawan di kesatuannya. “Dalam bulan ini, akan ada pemberontakan komunis, dan saat itu kau tidak boleh menembak mereka,” terang Kopral Prawirosoengoto. Di masa itu, prajurit yang terlibat dalam komplotan itu makan mie yang cukup enak dan tak lupa mengajak orang-orang yang mau ikut untuk makan enak pula. Rangkap juga suka berbagi uang kepada kawan-kawannya di kesatuannya yang orang Madura. Masing-masing 5 gulden. Namun, tiada rahasia yang benar-benar aman di dalam kesatuan militer. Dua di antara kawannya itu lalu melapor kepada Kapten Gaerlings di garnisun Solo tentang adanya gerakan makar. Kerusuhan yang direncanakan terjadi pada 17 dan 18 Juli 1927 di Solo itu akhirnya mati sebelum lahir. Pembersihan dengan cepat dilakukan. Rangkap jelas diperiksa komandan kesatuannya, Letnan Dua Fockema. Kopral Prawirosoengoto dan Atmodikromo juga kena gulung. Rencana pemberontakan militer itu kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 13 November 1926, orang sipil banyak terlibat pemberontakan yang terkait dengan PKI pula. Seperti orang sipil yang terlibat pemberontakan PKI pada 13 November 1926 di Jawa, Atmodikromo dan Wakidi juga diberi hukuman yang sama. De Indische Courant tanggal 20 Juli 1928 memberitakan, Kopral Prawirosoenggoto alias Wakidi dan Prajurit Atmodikromo alias Soekarmin lalu dibuang ke Boven Digoel. Keduanya adalah propagandis Sarekat Rajat Baroe yang tinggal di Surakarta. Kedua bekas Legiun Mangkunegaran itu pun menjalani isolasi di tengah belantara Papua yang sunyi dan sulit untuk melarikan diri.*
- Harrison Ford dan Kepedulian Lingkungan
SUATU hari di sebuah supermarket di San Carlos, California, Amerika Serikat, Harrison Ford mengelilingi hampir setiap lorongnya didampingi Lefcadio Cortesi, aktivis lingkungan Rainforest Action Network. Dengan menenteng keranjang belanja, mereka mencermati banyak produk yang komposisinya mengandung minyak sawit.
- Tarik-Ulur Karet KB
SELEPAS meraih gelar doktor antropologi dari Australian National University (ANU), Masri Singarimbun memutuskan menetap di Australia. Dia bekerja sebagai pembantu Atase Militer KBRI di Canberra sekaligus research fellow di ANU.
- Siasat Bakker di Maluku
SEORANG calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat kehebohan di Maluku. Surat ajakan untuk memilih partainya beredar luas dan mengundang protes dari guru-guru Gereja Protestan Maluku dan pegawai-pegawai yang berasal dari Ambon. Dianggap mengandung kebencian, penghinaan, dan fitnah terhadap suku-suku Ambon.
- Sekolah Islam ala Hamka
LEPAS Ashar pada pertengahan 1952, Gazali dan Salim dari Yayasan Pesantren Islam (YPI) berkunjung ke rumah Hamka di Gang Toa Hong II. Mereka meminta saran Hamka tentang rencana YPI membangun masjid dan gedung kuliah di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Masalahnya dana YPI hanya cukup untuk membangun salah satunya. Mereka bertanya, “Manakah yang harus didahulukan?”
- Riwayat Bola Sodok
RICKY Yang Han Tjong memulai break di babak ketujuh. Badannya membungkuk, matanya membidik sasaran. Stik di genggamannya bergerak maju-mundur mengunci tikaman. Dan… prakkk! Kumpulan bola bercerai membentuk skema. Satu per satu bola diantarkannya ke lubang, tanpa memberi seterunya, pebiliar tuan rumah, Jeffry De Luna mencicipi tikaman.
- Pecah Kongsi Perkawinan S.K. Trimurti dan Sayuti Melik
KEDUA remaja ini kerap bertukar pikiran dan perdebatan. Yang dibahas bukan soal sepele; teori, strategi, dan siasat perjuangan. Kadang sengit. Masing-masing mempertahankan pendapatnya. Tak mau kalah atau mengalah. Tapi masing-masing menghargai pendapat lawan. “Saya senang sekali bertukar pikiran dengannya, dan terus terang, tak pernah terpikir bahwa dialah yang akan menjadi suami saya di kemudian hari,” tulis S.K. Trimurti.





















