Hasil pencarian
9602 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Idul Adha di Kesultanan Aceh
HARI Raya Idul Adha 1637.Peter Mundy terkagum-kagum kala menyaksikan prosesi itu. Seperti dikisahkannya dalam buku Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda , ia melihat semua warga Kesultanan Aceh seolah larut dalam suatu perayaan pesta akbar: seluruh lapangan besar antara pintu masuk istana hingga ke masjid Bait ur-Rahman dihiasi dengan bendera-bendera besar. Sultan datang dengan menaiki gajah yang dihias sangat megah dan mewah. “Kedatangan Sultan diiringi arak-arakan besar yang terdiri atas 30 barisan,” ujar pedagang Inggris tersebut Mundy juga melihat, dalam barisan ke-28 ada 30 ekor gajah yang dihias dengan benda mirip menara kecil di atas punggungnya. Di setiap menara berdirilah dengan gagah masing-masing seorang serdadu yang berpakaian merah seraya memegang bedil. Pada deretan pertama rombongan yang terdiri atas 4 ekor gajah, gadingnya masing-masing dipasangi dua pedang besar. Banyak di antara gajah itu memiliki nama, salah satunya, gajah yang dinaiki Sultan, bernama Lela Manikam. Perayaan Idul Adha yang disaksikan Mundy bertepatan dengan pengangkatan Iskandar Tsani sebagai sultan. Karena itu, tak aneh jika prosesinya berlangsung sangat panjang dan melibatkan banyak petinggi kerajaan, tentara, para pelayan istana, berbagai senjata, dan simbol kebesaran kerajaan. Menurut Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah Budaya dan Tradisi ada banyak alasan yang menjadikan perayaan Idul Adha kerap melibatkan seluruh elemen negeri secara massif. Namun yang pasti, faktor Aceh sebagai seuatu kerajaan Islam menjadikan penguasanya memiliki otoritas politik maupun agama. Perayaan juga menggunakan dua tempat, yakni istana sebagai simbol perayaan sedang masjid sebagai simbol keagamaan. Mundy melanjutkan, ketika sampai di dalam masjid, Sultan dan para pembesar istana masuk untuk melaksanakan ibadah. Setelah beriabadah di masjid bersama Syaikh Syams ud-Din, Sultan pergi ke tempat rajapaksi. Di sana hewan-hewan yang akan dikurbankan sudah diikat di bawah kemah. Sultan kemudian melakukan penyembelihan pertama menggunakan belati emasnya. Begitu muncul tetesan darah pertama, belati diserahkan kepada Syaikh Syams ud-Din untuk meneruskan prosesi penyembelihan hewan kurban. Dari kesaksian Mundy, Sultan saat itu mengurbankan 500 kerbau muda. Tidak hanya Sultan, pejabat kerajaan pun ikut berkurban. Salah satunya adalah Kadi Malik ul-adil. Perayaan Idul Adha di rajapaksi dilanjutkan hingga selesai sementara Sultan kembali lagi ke istananya. Dalam perjalanan pulang Sultan beserta rombongan arak-arakannya diiringi berbagai macam musik. Rakyat sangat tertarik melihat rajanya. Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra menulis bahwa ibu-ibu yang sedang hamil juga keluar untuk menyaksikan rajanya. Banyak yang melahirkan anak di jalan atau di pasar, bahkan ada orang yang tidak mendapat tempat dan harus berdesakan karena terlalu banyak orang yang ingin menyaksikan arak-arakan ini. Begitu banyak orang yang terlibat dan panjangnya prosesi membuat hampir tidak ada ruang yang tersisa dan sedikit kacau. Oleh karena itu, menurut Mundy prosesi tersebut sangat tidak beraturan. Bersumber dari Adat Aceh, disebutkan Amirul Hadi bahwa ada lebih banyak peserta yang terlibat dengan lencana kebesaran kerajaan yang lebih lengkap dibanding perayaan dan prosesi lain di Kesultanan Aceh. Idul Adha memang secara resmi dijadikan perayaan paling penting di sana saat itu.*
- Hoax Masa Revolusi
Pertengahan 1946, Bekasi dibekap kecemasan. Beredar isu bahwa mata-mata Belanda dari arah Jakarta mengalir deras ke daerah-daerah Republik. Ciri-ciri mereka: selalu menyembunyikan kode dengan simbol-simbol merah-putih-biru, corak bendera kebangsaan Belanda. Akibatnya, penjagaan di stasiun-stasiun sekitar garis demarkasi pun diperketat. Kepada Historia , Mat Umar (90) menyatakan kesaksiannya bagaimana para penumpang kereta api dari arah Jakarta diturunkan di stasiun Kranji. Sebagian yang dicurigai kemudian dipisahkan dan langsung dieksekusi di belakang stasiun. “Saya melihat seorang bapak dan anak perempuannya dipenggal dengan sebilah clurit karena membawa kertas warna merah putih biru di tas mereka,” ujar eks anggota lasykar di Bekasi. Sementara itu di daerah Karawang terjadi saling curiga mencurigai di antara para pejuang. Pasalnya, seorang pemuda lasykar yang baru keluar dari tawanan militer Belanda “dipesan”oleh seorang letnan Belanda dari bagian intelijen untuk menyampaikan pertanyaan kepada seorang jenderal: mengapa sudah lama tidak pernah berkirim surat? Alih-alih menyampaikan “pesan” itu langsung kepada sang jenderal, bekas tawanan Belanda itu justru menyampaikan soal ini kepada atasannya langsung di kelasykaran. Maka beberapa hari usai pengaduan itu, seisi kota dipenuhi dengan selebaran gelap yang menyebutkan bahwa “Jenderal A” adalah agen NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda). Di lain kesempatan, seorang agen NICA beneran, secara sengaja menjatuhkan sepucuk surat di lantai sebuah kereta api yang menuju daerah Republik. Isi surat itu adalah “perintah-perintah dari NEFIS (Dinas Intelijen Belanda) kepada Mayor Anu disertai ucapan terimakasih atas laporan-laporannya”. Sesuai target sang intel, surat ini kemudian ditemukan oleh seorang anggota lasykar, dibawa ke markas dan dilaporkan kepada sang atasan. Kegiatan intrik mengintrik, fitnah memfitnah pun dimulai. Hoax (berita bohong) ternyata sudah dijadikan “senjata” sejak masa revolusi oleh intelijen Belanda. Biasanya cara-cara perang urat syaraf itu efektif membuat situasi kacau di garis belakang pihak Republik. Almarhum Jenderal A.H. Nasution menyebut mudahnya pejuang kita terjebak dalam hoax yang diciptakan NEFIS karena banyaknya masalah internal yang belum terselesaikan saat itu. “ Serangan psikologis itu mencapai targetnya karena adanya kekacauan organisasi pertahanan dan masih kurang cerdasnya rakyat kita…” tulis Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia Bagian I . Yang paling menderita dari adanya situasi tersebut tentu saja adalah rakyat sipil. Menurut Jenderal Nasution, akibat “kesembronoan” pihak lasykar dan tentara Republik saat menyikapi hoax , tak jarang jatuh korban jiwa dari kalangan rakyat sipil tak berdosa . Selain ancaman pembunuhan dan penyiksaan, “isu mata-mata Belanda” juga kerap dimanfaatkan oleh “para lelaki hidung belang” untuk menjalankan praktek pelecehan seksual terhadap para pedagang perempuan yang sehari-hari harus melintasi garis demarkasi. Itu bisa dilakukan oleh para anggota lasykar, tentara Republik maupun serdadu Belanda. Soe Hok Gie pernah membahas tentang nasib memilukan para perempuan tukang beras antara Krawang-Bekasi pada era revolusi tersebut. Ia menuliskan bagaimana untuk menghindari tewas atau ditangkap karena hoax , para tukang beras itu tak segan-segan mengorbankan harga dirinya dengan membiarkan mereka dilecehkan(bahkan disetubuhi) oleh para lasykar dan tentara yang menjaga perbatasan garis demarkasi. “ Di daerah garis demarkasi yang dijaga serdadu Belanda , mereka pun harus mengalami kejadian yang sama…” tulis Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan .
- Pembunuhan Keji Panglima Keraton Yogyakarta
DENGAN rasa sedih dan letih rakyat Sumodiningratan menggotong mayat Panglima Pasukan Yogyakarta ke pemakaman keluarga Sumodiningratan. Raden Tumenggung Sumodiningrat tewas dikeroyok pasukan gabungan serdadu Inggris dan Legiun Mangkunegaran pada penyerbuan Inggris ke keraton 20 Juni 1812. " Koyo kewan neng wono mboten ingkang gadah wono". Begitu perumpamaan yang dirasakan pengikut Sumodiningrat sebagaimana yang dikutip sejarawan Inggris Peter Carey dari salah satu surat yang dirampas Inggris. Mereka bingung bagaikan binatang hutan yang tak lagi memiliki hutannya. Dalam Babad Bedhah ing Ngayogyokarta karya Pangeran Panular, menjelang subuh, Pangeran Prangwedono (Mangkunegoro II) dan pasukan Legiun Mangkunegaran disertai Sekretaris Keresidenan John Deans dan pasukan Inggrisnya mendatangi kediaman Sumodiningrat. Gabungan kedua pasukan itu mengepung dan menghujani rumah Sumodiningrat dengan peluru meriam. Ketika itu sumadiningrat sudah ditinggalkan oleh sebagian besar pengikut dan kerabatnya. Mereka terlalu takut untuk bertahan setelah mendengar jatuhnya keraton utama Yogyakarta dalam penyerbuan tentara Inggris. Prangwedono pun maju ke depan masuk ke pelataran dengan niat menangkap Sumodinongrat, jagoan Yogya yang terkenal pemarah sekaligus pemberani. Prangwedono memerintahkan pasukannya untuk memberondong kediaman Sumodiningrat. Namun ternyata sang penasihat dekat Sultan HB II itu tak berada di kediamannya. Namun John Deans menemukan Sumodiningrat berlindung di dalam masjidnya. Tanpa babibu dia pun langsung jadi sasaran tembak para prajurit. Perlawanan tak ada gunanya. Penyerbu terlalu banyak. Kalah jumlah, Sumodiningrat dan pengawalnya pun turut terbunuh. Sementara pengikutnya lari tercerai berai. Tak puas hanya melihat Sumodiningrat mati dihujani peluru, John Deans menebas leher Sumodiningrat dengan pedangnya. Tapi tebasan itu tak sampai memisahkan kepala dari badannya. Menurut Peter Carey hal tersebut dilakukan Deans sebagai cara untuk menunjukkan gengsinya saja. "Saya kira dia ingin pencitraan seolah dia sendiri yang membunuh Panglina Pasukan Jogja walaupun sebenarnya tidak. Dia hanya ikutan mengeroyok," kata Peter, saat mengikuti Tur Sejarah "Jejak Inggris di Jawa 1811-1812", di Yogyakarta, Rabu (30/8). Mayat Sumodiningrat kemudian dikerubuti pasukan. Baju dan perhiasan yang dipakainya jadi rayahan. Tak lama kemudian Prangwedono menyusul masuk masjid, berlama-lama memandangi tubuh Sumodiningrat. Sambil menatap wajah Sumodiningrat yang berjanggut itu dia berkata, " Makane aja kementhus! (jangan belagu – red .)". Episode kekejian selanjutnya adalah perintah Prangwedono dan John Deans untuk membakar serta menjarah wilayah Sumodiningratan dan seluruh daerah selatan keraton itu. Bahkan jenazah Sumodiningrat yang sudah dilucuti itu beberapa bagian tubuhnya dimutilasi. Mengapa Prangwedono sedemikian kesumatnya pada Sumodiningrat? Menurut Peter, Sumodiningrat pernah mengejek Prangwedono sebagai prajurit bayangan yang penuh kepura-puraan dan tak bernyali. Ejekan itu membuat Prangwedono tersinggung karena merasa jadi bahan guyonan. "Dia balas dendam kepada Sumodiningrat. Dengan begitu Pangeran Surakarta itu sangat benci sekali dengan Sumodiningrat," kata Peter. Menurut Peter, Sumodiningrat keturunan bangsawan Kedu yang jadi salah satu ujung tombak politik menantang birokrat kolonial. "Sebelumnya ia pun tak pernah mau menerima apa yang diminta Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Daendels," katanya. Ada banyak kisah kematian Sumodiningrat. Ada versi yang mengatakan dia dibunuh pasukan Letkol. James Dewar yang memimpin serangan ke selatan keraton, sebelum serangan induk ke dalam keraton. Sementara cerita kematian sang panglima versi babad milik Panular tadi didukung Serat Sarasilah Para Leloehoer ing Kadanoerejan. Jenazah Sumodiningrat baru dibawa para punggawanya pada pukul 10.00 malam dengan menggunakan keranda. Sebelum dimakamkan, para pengikutnya itu terlebih dulu memandikannya lantas menguburkannya di Jejeran, 10 kilomter ke arah selatan Yogyakarta, di tepi Kali Code. "Ada lambang dari Keraton Yogya di nisan. Ini tempat akhir dari Sumodiningrat yang dulunya tanah bengkok milik Sumodiningrat," jelas Peter. Kini tak ada lagi warga setempat yang merawat ingatan mengenai tragedi yang menimpa Sumodiningrat itu.
- Kriuk Sejarah Kerupuk
Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu memastikan Indonesia akan membeli sebelas unit pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia senilai Rp15 triliun. Pembelian ini dengan cara barter berbagai komoditas. Menariknya, salah satu produk yang akan dibarter adalah kerupuk. Mungkin ini kali pertama alutsista dibarter dengan kerupuk . Kerupuk merupakan makanan ringan yang disukai banyak orang. Selain bisa dimakan langsung, kerupuk biasanya melengkapi berbagai jenis makanan. Menurut sejarawan kuliner Fadly Rahman kerupuk sudah ada di Pulau Jawa sejak abad ke-9 atau 10 yang tertulis di prasasti Batu Pura. Di situ tertulis kerupuk rambak (kerupuk dari kulit sapi atau kerbau) yang sampai sekarang masih ada dan biasanya jadi salah satu bahan kuliner krecek. “Kerupuk kulit dengan bahannya kulit ternak dibuat dengan cara sesudah lapisan selaput dibuang dan bulunya dihilangkan biasanya dengan jalan dibakar, kulit digodog hingga empuk kemudian diiris-iris dan dijemur hingga kering,” tulis A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum. Pada perkembangannya, kerupuk juga menyebar ke berbagai wilayah pesisir Kalimantan, Sumatra, hingga Semenanjung Melayu. Masyarakat Melayu di sana menjadikan kekayaan laut macam ikan hingga udang, menjadi kerupuk. “Itu tercatat dalam naskah Melayu karya Abdul Kadir Munsyi saat menyebut Kuantan (Malaysia), sekitar abad 19, dia juga membahas keropok (kerupuk). Kerupuk mulai disukai di mancanegara sedari masa kolonialisme Hindia Belanda dan dianggap jadi pelengkap yang harus ada dalam berbagai kuliner Nusantara yang mereka santap,” kata Fadly kepada historia.id . Meski awalnya dianggap pelengkap, namun perlahan kerupuk mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat bangsa Eropa. Sampai-sampai ada ungkapan “kurang nikmat menyantap makanan Nusantara tanpa kerupuk”. “Tentunya juga selain sambal. Di Suriname yang jadi tempat migrasi orang Jawa di masa kolonial, kerupuk jadi makanan yang populer. Buat orang-orang mancanegara, kerupuk jadi satu hal yang melekat dan menarik minat karena menganggap kerupuk adalah identitas kuliner Indies (Hindia Belanda),” kata Fadly. Selain kerupuk kulit, menurut Pringgodigdo, kerupuk juga terbuat dari tepung singkong (tepung kanji), tepung terigu sedikit dan garam secukupnya ditambah daging udang atau ikan. Jenisnya bermacam-macam tergantung bahan lain yang ditambahkan, misalnya kerupuk udang atau kerupuk ikan. “Nama dagang kerupuk juga biasanya diambil dari nama bahan tambahannya: kerupuk udang, kerupuk (ikan) tenggiri, dsb., atau menurut tempat pembikinannya, seperti kerupuk Sidoarjo, kerupuk Palembang, dsb.,” tulis Pringgodigdo. Ada juga nama dagang yang menggunakan nama pemilik perusahaannya. Misalnya, kerupuk “Sudiana” di Jalan Kopo Bandung. Sebelumnya, Sudiana bekerja di pabrik kerupuk milik Sahidin. Keuletannya membuat dia diangkat menantu oleh Sahidin dan membangun perusahaannya sendiri. Sahidin dan Sukarma, pengusaha kerupuk asal Tasikmalaya, memulai usahanya sejak tahun 1930 di daerah Jalan Kopo depan Rumah Sakit Emanuel Bandung. Mereka begitu tersohor sehingga namanya diabadikan menjadi nama gang. “Buruh-buruh pabrik yang pernah bekerja di pabrik mereka tidak sedikit yang bisa berdiri sendiri. Bahkan, 250 pengusaha kerupuk di Bandung sebelumnya pernah bekerja pada Sukarma dan Sahidin,” tulis Tempo , 13 Oktober 1979. Setelah menjadi komoditas ekspor, kini kerupuk menjadi salah satu produk yang akan dibarter dengan pesawat tempur Sukhoi. “Pamornya naik. Ini jadi penanda bahwa sensasi cita rasa kerupuk di mancanegara tidak bisa dianggap remeh,” kata Fadly.
- Larangan Menyirih Beralih Menjadi Merokok
Para perempuan di Batavia (sekarang Jakarta) keluar rumah dengan diikuti para pelayan yang membawa payung, buku doa, kipas, kotak sirih, dan baskom untuk meludah. Kebiasaan menyirih yang menjadi budaya timur rupanya dilakukan pula oleh orang-orang Belanda. Sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana menjelaskan hampir semua kerajaan-kerajaan di Nusantara memiliki kebiasaan menginang atau menyirih. Kebiasaan ini dilakukan para perempuan zaman dulu untuk mempercantik diri agar bibirnya bisa menjadi merah. “Kalau laki-laki di dalam getah pinangnya itu, bila dicampur injit (kapur sirih) bisa membuat rileks, tapi itu bukan nikotin,” ujar Margana kepada Historia . Kebiasaan menyirih kemudian menular kepada orang-orang Belanda melalui pernikahan campuran. Pada masa VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), perempuan Belanda belum diperbolehkan datang ke Batavia. “Jadi, umumnya pejabat VOC menikah dengan perempuan Indonesia atau orang India, budak yang dimerdekakan, atau orang Indo. Orang yang memiliki darah campuran antara Belanda-Indonesia, biasanya ibunya orang Indonesia dan ayahnya orang Belanda, merekalah yang ikut nginang atau nyirih,” kata Margana. Menurut sejarawan University of New South Wales Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia, setiap orang yang datang dari Eropa mengomentari kebiasaan mengunyah sirih yang merangsang air liur dan meninggalkan warna merah sebagai hal yang menjijikkan. Jean mengutip catatan penjelajah Prancis, Jean-Baptiste Tavernier, yang berkunjung ke Batavia pada abad ke-17. “Laki-laki dan perempuan selalu mengunyah (sirih) ketika mereka pergi ke luar, bahkan ketika di gereja ... Mulut mereka dipenuhi air liur merah, seakan-akan mulut mereka habis ditinju,” tulis Tavernier. Bagi Jean munculnya kebiasaan menyirih di kalangan orang Belanda menjadi penanda pembauran ras dan suatu bentuk adopsi terhadap kesenangan Asia. Ketika Inggris berkuasa di Batavia pada awal abad ke-19, istri Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamme Raffles merasa jijik dengan kebiasaan menyirih para perempuan di Batavia. Dia memerintahkan untuk membuang semua tempat ludah dari kediaman resmi gubernur. Dia tidak menawarkan sirih kepada perempuan-perempuan yang menemaninya berpesta selama kurang lebih dua minggu. Ketidaksukaan Olivia diikuti oleh orang-orang Inggris lain di Batavia. Pendatang-pendatang baru dari Inggris yang memiliki posisi tinggi ingin gaya hidup mereka dicontoh oleh kelompok elite Batavia. Jean menulis bahwa para perempuan yang datang ke pesta yang diselenggarakan orang Inggris dilarang untuk membawa kotak sirih. “Karena kesadaran ras dan kelas orang mulai meninggalkan tradisi-tradisi pribumi yang dianggap merendahkan derajat mereka. Lama-kelamaan kebiasaan menyirih hilang kemudian muncul rokok ketika tembakau mulai berkembang di Hindia Belanda. Perempuan juga meninggalkan kebiasaan menyirih dan berganti menjadi rokok,” tulis Jean.
- Cerita Pahit Mobil Rakyat Mazda MR 90
Soebronto Laras, bos PT Indomobil, ingin mengubah visi mobil rakyat dari berbentuk Kijang (Kerjasama Indonesia-Jepang) menjadi sedan. Sebab, konotasi Kijang dan Suzuki Carry adalah mobil niaga atau mobil barang yang dijadikan mobil penumpang. “Obsesi saya adalah membuat mobil rakyat atau yang saya sebut Mobira,” kata Soebronto dalam memoarnya, Meretas Dunia Otomotif Indonesia. Soebronto menggandeng Mazda agar mau menjadi pioner membuat sedan di Indonesia. Selama ini semua sedan yang masuk cuma dirakit dan terkena bea masuk yang sangat tinggi. Sementara itu, Kijang dan Suzuki Carry dibebaskan dari pajak dan bea masuk. Untuk menghindari bea masuk, komponen-komponennya akan dibuat di Indonesia. Mazda setuju namun tidak bisa membuat model sedan baru. Sehingga dipilih model Mazda 323 Familia yang diproduksi pada 1978 sampai 1980. Mazda Motor Corporation, Indomobil, dan Sumitomo Trading Corporation bermitra mendirikan PT Mazda Indonesia Manufacturing (MIM). Peralatan dan segala macam teknisnya disediakan Mazda, sementara lokasi manufaktur disediakan Indomobil di kawasan Tambun, Kabupaten Bekasi. Pada 1 Agustus 1989, peletakan batu pertama pembangunan pabrik PT MIM dihadiri Dirjen Industri Mesin, Logam Dasar dan Elektronika Departemen Perindustrian Soeparno Prawiroadiredjo dan Bupati Bekasi Suko Martono. Pembangunan pabrik direncanakan selesai pada April 1990 dengan investasi keseluruhan sebesar Rp60 miliar. Ditargetkan pada Juni atau Juli 1990, setelah trial run (pengujian), Mobira Mazda dapat diproduksi massal. Mantan pembalap nasional, Benny Hidayat, jadi instruktur trial run mobil rakyat itu. “ Ngetes mobil rakyat itu beberapa kali bolak-balik Jakarta-Bandung nonstop , tidak boleh berhenti. Berhenti sebentar hanya untuk ganti sopir. Tidak hanya membawa muatan orang, tapi juga bawa muatan karung dan timah supaya tidak oleng,” kata Benny kepada Historia. Selesai pengujian yang terbilang sukses, Soebronto menamakan mobil rakyat itu MR 90. “Ketika mengambil nama itu, saya memikirkan bahwa mobil-mobil sedan itu nantinya akan menjadi mobil rakyat tahun ‘90-an karena saat itu kita sudah masuk ‘90-an,” kata Soebronto. Soebronto didampingi Menteri Muda Perindustrian, Tungky Ariwibowo, memperlihatkan prototipe MR 90 kepada Presiden Soeharto. “Wah, ini bagus untuk dikembangkan,” kata Soeharto. Soebronto menyampaikan karena MR 90 jenis sedan maka akan terkena pajak penjualan barang mewah 30%. Soeharto menyuruh Tungky untuk membicarakan dengan menteri keuangan agar pajak penjualan dapat dihapuskan supaya harganya bisa lebih murah lagi. “Saya menyimpulkan bahwa Pak Harto senang dengan adanya prototipe sedan itu,” kata Soebronto. Akhirnya, PT MIM memproduksi massal sedan MR 90. Menjelang peluncuran, Soebronto didampingi Presiden Direktur Mazda yang datang khusus dari Jepang, menyerahkan lima mobil MR 90 produksi pertama kepada Soeharto dalam suatu upacara di Bina Graha. Namun, Soebronto benar-benar kaget ketika permintaan bebas pajak penjualan yang diajukan ditolak menteri keuangan. Alasannya “mobil itu sedan dan tidak bisa membicarakan lokalisasi karena belum ada peraturan mobil nasional. Sehingga PPN BM-nya adalah 30%.” “Saya seperti dihantam. Mati saya!” kata Soebronto. Niat Soebronto menjadikan MR 90 sebagai mobil rakyat gagal. Terkena pajak PPN BM 30% membuat harga MR 90 lebih mahal dari Kijang. “Saya pikir dapat dukungan orang nomor satu, tidak ada yang berani bagaimana-bagaimana. Tapi peraturan sudah baku. Obsesi kami menjual mobil murah tidak terwujud. Bayangkan waktu itu kami harus menjual Rp22 juta, sementara Kijang cuma Rp18 juta, jadi beda Rp4 juta sama Kijang. Gagallah kita,” kata Soebronto. “Kalau tidak kena pajak, mungkin harga MR 90 cuma sekitar Rp12 juta,” kata Benny Hidayat. Mazda MR 90 bermesin 1.300 cc tak laku di pasaran. Target 1.000 unit per bulan tidak tercapai, hanya 150-300 unit. Mobil banyak yang rusak karena menumpuk di gudang. Akibatnya, PT MIM bangkrut. Semua mesin dilelang dan lahan serta pabriknya dibeli Suzuki. Soebronto memindahkan sebagian karyawannya ke Suzuki. “Peristiwa itu menjadi pengalaman yang sangat pahit buat saya, apalagi enam tahun kemudian lahir mobil nasional yang dilindungi SK (Surat Keputusan) Presiden Soeharto dan dihapuskan dari semua kewajiban pajak dan sebagainya,” kata Soebronto. Mobil nasional itu adalah Timor milik Tommy Soeharto, putra Presiden Soeharto. (Baca: Kisah Mobil Timor )
- Kekejaman Inggris di Jawa
BANYAK orang yang menganggap dijajah Inggris lebih baik daripada dijajah Belanda. Barangkali karena mereka melihat kemajuan negara-negara bekas jajahan Inggris. Bagaimana dengan Indonesia, bukankah Indonesia juga pernah dijajah Inggris meski hanya lima tahun (1811-1816)? “Generasi sekarang, khususnya orang Jawa malah menganggap Inggris sebagai bangsa pembebas. Sebelumnya, orang Jawa mendapatkan kekejaman dari Gubernur Jenderal Daendels dan penggantinya Willem Janssens. Penjajahan Inggris kesannya tidak negatif,” kata Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam acara tur sejarah “Jejak Inggris di Jawa 1811-1816,” yang diselenggarakan Penerbit Buku Kompas, di Semarang, Senin, 28 Agustus 2017. Carey, penulis buku Inggris di Jawa (1811-1816) , mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro ketika diminta membandingkan Inggris dengan Belanda oleh menantu Gubernur Jenderal de Kock, dia menilai Inggris dengan positif. “Selama di Jogja saya tidak pernah menjumpai orang secerdas dan seulet John Crawfrud (Residen Inggris di Yogyakarta, red ). Dia menguasai bahasa Jawa Kromo Inggil hanya dalam waktu enam bulan,” kata Carey mengutip ucapan Diponegoro. Carey justru berpendapat sebaliknya bahwa salah satu warisan Inggris adalah untuk meremehkan orang Jawa. Misalnya, buku History of Java karya Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, membuat orang Jawa berpikir saat ini mereka mengalami degradasi. Buku itu menebar desas-desus kalau budaya Jawa sebenarnya pernah unggul dan agung sebelum akhirnya semakin memburuk. “Sebenarnya dulu agung sekali, tapi sekarang menjadi tidak bernyali. Dalam tiga jam Keraton Yogyakarta yang paling hebat di Jawa Tengah bagian selatan itu bisa ditaklukkan,” kata Carey. Lebih dari itu, kata Carey, penjajahan Inggris menyisakan kekejaman seperti terlihat dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1816) karya Pangeran Panular, putra Sultan Hamengkubuwono I dari istri selir. Dalam babad itu tercatat bahwa Pangeran Sumodiningrat, seorang keturunan sultan pertama, meninggal di kediamannya dalam penyerbuan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Sumodiningrat dibunuh pasukan yang dipimpin oleh John Deans, sekretaris Keresidenan Yogyakarta. Pakaian Sumodiningrat dilucuti, badannya dipotong-potong. “Lehernya ditebas. Anak buah John Deans lalu mempreteli semua pakaian dan perhiasan yang dipakai Sumodiningrat,” ungkap Carey. Menurut Carey, kekejaman juga dilakukan oleh Raffles terhadap anak buahnya sendiri. Anak muda banyak yang meninggal ketika melayani letnan gubernur jenderal itu. Dia tidak peduli kepada kesehatan anak buahnya. Jika Inggris melakukan kekejaman, bagaimana bisa penjajahannya dipandang lebih baik daripada Belanda? “Ini soal pencitraan,” kata Carey. “Inggris punya satu industri untuk membuat buku yang mengagungkan Inggris, khususnya Raffles.”*
- Alkisah Kompi Parang Berdarah
Kota Medan, pertengahan 1947. Di tiap-tiap sudut kota berseliweran plakat sayembara. Demikian isinya. “Siapa saja yang berhasil membawa kepala Mayor Bahrin, Mayor Alamsyah, Kapten Bejo dan Kapten Nukum Sanany hidup atau mati dan menyerahkannya kepada Belanda, diberi hadiah uang sebesar Fl.000,- gulden.” Nama pertama barangkali yang paling diburu sekaligus ditakuti pihak militer Belanda: Mayor Bahrin Yoga. Dalam beberapa sumber lain namanya disebut Bahren. “Ia jantan dan galak di medan pertempuran, sehingga pernah dijuluki Singa Medan Area,” tulis Tengku Abdul Karim Jakobi dalam Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area . Bahrin termasuk rombongan dari Aceh pertama yang terjun ke kancah Front Medan Area. Di Aceh, Bahrin berkedudukan sebagai komandan Batalion II Resimen I Divisi Gajah II di Kutacane. Longmarch menuju Medan dilakukan sejak Februari 1946, tak lama setelah kota itu dikuasai Belanda. Dalam rombongan Aceh itu turut serta para pejuang Gayo dari Blangkejeren dan Kutacane, Aceh Tenggara. Di Medan, Bahrin menjadi komandan Batalion I Resimen I dari Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) yang bermarkas di Tuntungan, Medan Barat. RIMA merupakan resimen khusus yang dipersiapkan untuk membebaskan kota Medan dari kekuatan militer Belanda. Dalam batalionnya, Bahrin lebih banyak menggunakan waktunya di front bersama pasukan. Dalam bunga rampai Kisah Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia dari Serangan Belanda disebutkan, Batalion Bahrin kerap beroperasi di malam hari dengan hanya bersenjatakan parang atau senjata tajam lainnya. Operasi yang dipimpin Bahrin biasanya dilakukan menjelang subuh bersama satu atau dua orang pembantu. Target operasinya adalah patroli tentara Belanda yang sedang lengah. Selain itu, penyergapan juga dilakukan dengan menyamar dan menyusup ke asrama serdadu Belanda. “Dari sekian banyak operasi yang dilakukan, tak jarang berhasil menebas patroli Belanda dan mereka kembali biasanya dengan parang berlumuran darah,” tulis Jakobi yang merupakan veteran tentara pelajar dalam pertempuran Medan Area. Dari sinilah awal kisah lahirnya unit pasukan pembunuh berdarah dingin “Parang Berdarah”, yang kemudian dilanjutkan dan ditata kembali oleh Letnan Bustanil Arifin dalam suatu kesatuan yang diberi nama “Kompi Parang Berdarah”. Penggunaan parang bukan tanpa alasan. Menurut Bustanil Arifin dalam biografinya Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru karya Fachry Ali dkk, di dalam kompi itu hanya mempunyai 17 buah senapan api dan selebihnya adalah parang dan kelewang. Pada April 1947, Panglima Divisi Gajah I, Kolonel Husein Yusuf mengangkat Mayor Bahrin menjadi komandan RIMA menggantikan Mayor Hasan Ahmad. Pengangkatan itu didasarkan pertimbangan bahwa Mayor Bahrin yang beroperasi di sekitar Tuntungan cukup berpengalaman dan disegani oleh patroli Belanda. Hanya dua bulan saja Bahrin menjabat komandan RIMA. Mayor Bahrin ditembak mati oleh anak buah kepercayaannya, Letnan Satu Ahmad Ahman Bedus. Tragedi ini justru terjadi di markas Batalion Bahrin di Tuntungan. Setelah peristiwa nahas itu, Letnan Ahmad diinterogasi kemudian di penjara di Pematang Siantar. Motif pembunuhan misterius. Menurut anggota pasukan Batalion Bahrin, sebagaimana dikutip Jakobi, menjelang tertembaknya Bahrin, seorang wanita cantik memasuki kompleks pemukiman Batalion Bahrin yang kemudian menabur isu dan saling curiga antarpasukan. Wanita itu menyamar sebagai istri pemilik warung makanan dalam kompleks pemukiman. Dalam pertempuran Medan Area, Belanda menebar ratusan mata-matanya ke pihak tentara Republik bahkan hingga ke pedalaman Aceh. “Sebagiannya terdiri dari wanita-wanita ayu yang mampu meringkus prajurit yang kelaparan di front,” ujar Jakobi.
- Membela Kebenaran Tanpa Pamrih
Budi Sutomo menekuni kuliner sejak remaja. Dia kemudian mendalami tata boga di bangku sekolah kejuruan dan perguruan tinggi. Pengalaman kerjanya di berbagai hotel, bakery , restoran, hingga industri catering memperkaya pengetahuannya di bidang kuliner. Dia mulai dikenal setelah menjabat radaktur boga di majalah Kartini dan Sartika , food stylist beberapa produk iklan, serta konsultan bakery dan restoran. Lebih dari 50 buku tentang gizi dan kuliner yang sudah ditulis dan diterbitkannya. Saat ini, Budi Sutomo mengasuh rubrik diet dan nutrisi di majalah Dokter Kita , redaktur majalah Sri Arum , kontributor Yahoo Kuliner , pengasuh rubrik Ask the Expert , majalah Pastry & Bakery , redaktur boga majalah TIM Taiwan , chef Nestle Indonesia, serta host acara masak di DAAI TV Indonesia . Di balik kesibukannya dalam dunia kuliner, rupanya Budi mengidolakan sosok Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia yang meninggal dunia akibat racun arsenik. Kepada Historia , Budi berbagi kekagumannya mengenai sosok itu. Mengapa mengidolakan Munir? Dia selalu membela kaum tertindas sampai akhir hidupnya. Membantu total tanpa imbalan. Sejak kapan mengenal sosoknya? Sejak saya kuliah tahun 1990-an. Saya tahu dari buku, majalah, dan media elektronik. Apa yang Anda ingat dari perjuangan Munir? Ketika dia membela kaum buruh. Contohnya kasus Marsinah dan kaum marjinal lainnya. Lalu saya paling ingat soal kasus penculikan aktivis mahasiswa yang sampai sekarang banyak yang tak kembali. Marsinah adalah aktivis dan buruh pabrik PT Catur Putra Surya di Sidoarjo yang diculik dan ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993. Sementara penculikan aktivis terjadi dilakukan Tim Mawar bentkan Kopassus menjelang kejatuhan rezim Orde Baru, dengan 13 di antaranya belum kembali. Bagaimana perjuangan atas kaum marjinal sepeninggal Munir? Keberpihakan Munir dan kesediaannya membantu kaum marjinal menarik simpati. Ini justru menginspirasi banyak anak muda, bahwa hak asasi manusia harus ditegakkan. Sepeninggal beliau, saya pikir sekarang bermunculan banyak pahlawan hak asasi manusia. Perjuangan Munir juga menginspirasi Anda? Ya. Semangat berbagi dan membela kebenaran tanpa pamrih. Juga harus menghargai hak orang lain dan tak boleh melanggar hak asasi manusia. Itu sangat menginspirasi. Menurut Anda, apa tantangan penegakan HAM sekarang? Terkadang nyawa taruhannya. Membela hak asasi manusia kaum marjinal pasti akan berhadapan dengan penguasa yang memiliki power . Apa harapan Anda mengenai kasus kematian Munir? Menolak lupa. Artinya, kebenaran harus diungkap, fakta harus ditegakkan, dan hukum tak boleh memihak. Saya berharap kasus ini akan terungkap oleh pemerintahan sekarang.
- Perempuan Biasa Melawan Nazi-Jerman
Marie Madeleine Fourcade kaget tak percaya. Pada suatu hari di awal 1941, Jenderal Georges Loustaunau-Lacau memintanya memimpin kelompok perlawanan bawah tanah Prancis. Marie, sekretaris di perusahaan penerbitan yang dipimpin Lacau, ragu bisa menjalankan permintaan itu. “Saya hanya perempuan biasa,” kata Marie. Navarre, nama samaran Lacau, tersenyum mendengar jawaban Marie. Dia mendapatkan seseorang yang tepat. “Tak ada prajurit Jerman yang akan mencurigai perempuan biasa,” kata Navarre. Di masa pendudukan Jerman, Prancis tak punya cara lain untuk melakukan perlawanan selain gerakan bawah tanah. Pemerintahan pengasingan di London yang dipimpin Jenderal Charles de Gaulle tak bisa memberi bantuan. Marie menerima permintaan Navarre. “Bersama Loustaunau-Lacau, Fourcade mendirikan salah satu jaringan perlawanan pertama di Prancis, Alliance,” tulis buku Women and War: A Historical Encyclopedia From Antiquity to the Present suntingan Bernard A. Cook. Tugas pertama Marie membuat pembagian zona wilayah Prancis yang tak diduduki, yakni wilayah selatan. Marie kemudian merekrut sebanyak mungkin agen untuk dikirim ke wilayah-wilayah tadi. Jaringan spionase yang dikoordinir Marie kemudian dikenal dengan nama Alliance. Para agen Alliance setiap hari mengamati aktivitas darat dan laut militer Jerman. “Agen-agen Alliance terutama mengumpulkan informasi intelijen militer tentang U-boat di Laut Mediterania, kapal selam-kapal selam Jerman, dan pekerjaan yang dilakukan oleh organisasi Todt di Atlantic Wall,” tulis Sandra Ott dalam Living with the Enemy . Mereka mengirim hasil pengamatannya ke kantor pusat tempat Navarre berada. Setelah menyortirnya, Navarre meneruskan informasi itu ke markas Jenderal de Gaulle di London, yang lalu meneruskannya ke British Intelligence Service dan Special Operations Executive. Pada Mei 1941, Navarre ditahan oleh Pemerintahan Vichy di bawah pimpinan Marsekal Philippe Petain, kolaborator Nazi-Jerman. Marie mengambilalih tugas Navarre, termasuk mengirim informasi ke London. Tentara Nazi-Jerman mengendus keberadaan Alliance. Banyak agen Alliance tertangkap. Meski mayoritas bisa menjaga kerahasiaan, beberapa agen tak kuasa menutup mulut saat menjalani interogasi. Nasib sekira 3.000 agen Alliance berada di pundak perempuan kelahiran Marseilles, 8 November 1909 itu. Untuk menjaga kerahasiaan dan keselamatan mereka, Marie mengganti nama sandi masing-masing agen dari sandi berupa rangakaian tiga huruf diikuti angka menjadi nama binatang –jejaring spion hewan itulah yang kemudian dijadikan dasar oleh tentara Jerman untuk menamakan mereka sebagai Noah’s Ark. Marie sendiri memiliki nama sandi landak. Bahaya makin mendekati para agen Alliance, tak terkecuali Marie. Pada suatu hari, seorang agen dengan sandi Grand Duke mendatangi apartemen Marie. Dia menginformasikan bahwa besok musuh akan menggeledah seluruh kota untuk mencari orang-orang yang terlibat gerakan bawah tanah. Grand Duke meminta Marie menyembunyikan semua alat komunikasi dan ikut kabur bersamanya. Mereka sepakat akan lari esok hari. Tak lama setelah Grand Duke pergi, Marie mendengar keributan di pintu apartemennya yang belum ditutup. Begitu tahu yang datang lebih dari dua lusin serdadu Gestapo, Marie buru-buru masuk dan menutup pintu. Dia terlambat kabur lewat jendela. Para serdadu itu masuk dan menanyakan kenapa Marie tergesa-gesa menutup pintu. Berhasil menguasai diri, Marie pura-pura tak mengetahui bahwa yang datang Gestapo. Bila tahu yang datang Gestapo, dia akan buru-buru membukakan pintu. Aktingnya sangat tenang sehingga para serdadu yang mencari Grand Duke itu, percaya. Sembari mengamati beberapa serdadu Gestapo memeriksa isi ruangan, Marie sesekali mengajak mereka mengobrol. Celakanya, beberapa catatan Alliance masih tersisa di atas meja. Seolah membereskan ruangan, Marie mengamankan catatan-catatan itu dan melemparkannya ke bawah sofa. Marie merasa senang ketika pemimpin Gestapo pamit. Tapi, salah seorang serdadu tiba-tiba melihat sesuatu di bawah sofa dan langsung memeriksa. Marie ditangkap. Di dalam sel, Marie memikirkan cara agar bisa keluar malam itu juga untuk menemui Grand Duke yang tak tahu penangkapan itu. Sebuah celah besar di tengah jeruji jendela sel memberinya harapan. Tanpa buang waktu, dia langsung tanggalkan semua pakaian dan menggigitnya. Setelah berhasil mengeluarkan kepalannya, Marie perlahan mengeluarkan bahunya. Tapi celah jeruji tak cukup lebar untuk tubuh Marie. Dia lalu memiringkan badan dan menekan pinggulnya yang tak muat masuk celah jeruji. Meski amat sakit, dia tak menyerah. Tubuhnya akhirnya jatuh ke tanah, dia berhasil keluar sel. Setelah merangkak dan mengenakan pakaiannya, Marie langsung lari. Menjelang subuh, Marie sampai di pusat kota. Dari kejauhan dia melihat beberapa serdadu Nazi-Jerman mondar-mandir di atas jembatan dan memeriksa semua orang yang hendak melintasi jembatan itu. Beruntung, di bawah jembatan terdapat ladang. Beberapa perempuan tua sibuk memanen tanpa dipedulikan serdadu di atas jembatan. Pelan-pelan, dia bergabung dengan para petani itu. Dia berhasil melewati jembatan tanpa melalui pemeriksaan. Lebih beruntung lagi, dia berhasil sampai di rumah Grand Duke sesaat sebelum pria itu berangkat menjemput Marie. Keduanya langsung melarikan diri. Itu bukan satu-satunya penangkapan yang dialami Marie. Setidaknnya dia empat kali ditangkap. Namun, dia selalu berhasil kabur, di antaranya ke Swiss untuk menitipkan kedua anaknya. Atas saran MI-6, Marie mengungsi ke Inggris pada Juli 1943. Dari sebuah rumah di Chelsea, ribuan agen Alliance di Prancis dikendalikan Marie. Para agen itulah yang kemudian memasok informasi berharga termasuk untuk merancang invasi D-Day. Setelah Sekutu berhasil merebut Prancis usai D-Day, Marie kembali ke Prancis pada Mei 1945. Dia mengunjungi kamp-kamp penahanan untuk mencari anggota jaringannya yang selamat. Marie mencatat dalam memoarnya, Noah’s Ark , setidaknya 438 agennya kehilangan nyawa di kamp-kamp penahanan maupun di luar. Atas perjuangannya, Marie mendapat banyak penghargaan. Pemerintah Prancis menganugerahinya Legion d’Honneur dan Kerajaan Inggris menjadikannya anggota Order of the British Empire.
- Setelah Kiamat Krakatau Mereda
BEBERAPA saat usai letusan pamungkas yang paling mengerikan dari amukan Gunung Krakatau 27 Agustus 1883, orang-orang yang lolos dari maut tersadar selamat dalam berbagai cara yang ajaib. Seorang lelaki yang pada saat kejadian sedang tertidur pulas di rumahnya baru bangun dan tersadar sudah berada di puncak sebuah bukit lengkap beserta ranjangnya. Sementara itu seorang lainnya, sebagaimana dikutip dari Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 , mengaku selamat dari empasan gelombang tsunami dengan menunggangi seekor buaya. Aneka cerita juga muncul di berbagai sumber para petugas Eropa: mulai penjaga menara mercusuar, residen, asisten residen, kontrolir dan para pelaut yang pada saat kejadian menjadi saksi mata dari peristiwa alam itu. Alexander Patrick Cameron, konsul Inggris di Batavia menuliskan laporannya untuk London tentang kerusakan yang ditimbulkan akibat letusan Krakatau. “Kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang-gelombang di pantai, baik terhadap nyawa manusia maupun properti, sekalipun dari laporan-laporan yang sudah diserahkan dinyatakan sangat luas, tidak bisa ditentukan dengan pasti, mengingat laut masih berombak tinggi dan hujan abu masih berlangsung, komunikasi telegraf dan jalan terputus atau terganggung,” tulis Cameron dalam laporan bertitimangsa 1 September 1883 itu. Dalam laporan yang sama, sebagaimana dikutip oleh Simon Winchester, Cameron juga menuliskan tentang kondisi daerah pesisir yang terkena dampak letusan Krakatau. “...seluruh pantai tenggara Sumatera mengalami kerusakan sangat parah akibat gelombang laut, dan ribuan penduduk pribumi yang menghuni desa-desa di pantai pasti telah lenyap. Pantai barat Jawa dari Merak sampai Tjeringin (Caringin, red. ) telah menjadi rata dengan tanah. Anyer, bandar di mana kapal-kapal dengan tujuan laut Jawa dan laut Cina berhenti untuk menunggu perintah, dan yang merupakan kota yang ramai dengan penduduk (pribumi) beberapa ribu orang, telah lenyap, dan lokasinya telah berubah menjadi rawa.” Selain sumber-sumber yang ditulis oleh pejabat kolonial, keterangan ihwal letusan gunung Krakatau juga bisa tersua dalam Syair Lampung Karam yang berhasil disusun dan diterjemahkan oleh Suryadi Sunuri. Syair yang ditulis dalam aksara Arab-Melayu itu banyak memberikan kesaksian situasi di Lampung usai diterpa gelombang tsunami dan hujan abu vulkanik. Hari terang nyatalah, Tuan Turunlah orang berkawan-kawan Mencari rumah serta pakaian Tidak bertemu hilang sekalian. Lalu Berjalan di tepi hutan, Lalu bertemu mayat perempuan, Badannya penuh dengan pakaian, Anaknya dikepit nyawa-nyawa ikan Petikan syair itu menggambarkan betapa ganasnya gelombang tsunami meluluhlantakan rumah penduduk dan menelan banyak korban jiwa manusia. Perempuan dan anak-anak tewas karena tak kuasa lari dari kejaran ombak setinggi puluhan meter yang menggulung mereka hingga menjemput ajal. Naskah syair tersebut mencatat kejadian secara detail, membantu memahami apa yang terjadi saat bencana itu terjadi. Selain naskah arsip yang mencatat keterangan saksi mata, warga Labuan, Pandeglang, Banten, pun hingga kini masih merawat ingatan bencana Krakatau dalam cerita yang mereka peroleh secara turun temurun. Labuan terletak di wilayah pesisir barat Banten, sejajar dengan Caringin yang disebut di dalam laporan Cameron sebagai area yang mengalami kehancuran akibat gelombang tsunami Krakatau. Uyuh Sururi, 74 tahun, salah seorang warga Labuan mendapat kisah tersebut dari mulut ke mulut, semacam legenda yang tersebar secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. “Waktu itu air naik, air laut. Banyak penduduk mengungsi ke sini untuk menyelamatkan diri,” kata dia kepada Historia , ditemui di rumahnya di kampung Karabohong, Labuan, Senin, 28 Agustus. Asrawijaya, 41 tahun, seorang warga Labuan lainnya menuturkan kisah Krakatau yang diperoleh dari penuturan kakeknya. Dia percaya bahwa tanah Labuan yang dipijaknya kini telah bergeser jauh dari posisi semula akibat letusan Krakatau. “Yang sekarang kita duduki ini bukan daratan yang dekat ke pantai. Ini tadinya bukit, dataran paling tinggi. Dataran rendahnya di sana di tengah. Tapi karena tsunami Krakatau, dataran tinggi ini jadi rendah dan dekat ke pantai,” ujarnya kepada Historia . Dia pun menuturkan ketika masa kecilnya, selalu ada acara peringatan meletusnya gunung Krakatau pada 28 Agustus setiap tahunnya. Namun kini tak pernah lagi ada peristiwa serupa. “Dulu waktu masih di bawah Jawa Barat selalu ada peringatan, istighosah, memperingati peristiwa Krakatau. Jadi masyarakat kita ini tidak lupa tentang peristiwa itu. Tapi sekarang kan sudah diambilalih pemerintah provinsi Lampung, jadi sekarang tidak (ada) lagi,” kata dia kepada Historia . Kenangan sisa-sisa kehancuran akibat letusan Krakatau masih bisa terlihat di beberapa titik sepanjang pantai Anyer, Kabupaten Serang. Sebuah gundukan batu karang dengan berat sekitar 600 ton itu diempaskan gelombang laut setinggi 40 meter dari tengah Selat Sunda ke tepi pantai barat Pulau Jawa. Batu itu berada tak jauh dari menara mercusuar Anyer di kampung Bojong, desa Cikoneng, Anyer. Menara mercusuar itu dibangun pada 1885 sebagai menara yang menggantikan menara lama yang tumpas akibat diterjang tsunami Krakatau. Menara yang semula berdiri menjulang puluhan meter itu kini tersisa sebagai bongkahan setinggi kurang dari dua meter, lambang keganasan Krakatau yang masih tersisa. (Tb. Ahmad Fauzi/Kontributor Serang).






















