top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Neraka Pasukan Gurkha

    JEMBATAN usang itu terpuruk seperti orang sakit. Selain kanan-kirinya tak bertangan lagi, badan jalannya bolong di sana-sini. Sekitar 30 meter di bawahnya, sungai Cisokan yang berwarna coklat tengah dihinggapi belasan perahu kecil milik para penambang pasir. Tak banyak orang tahu, jika 72 tahun lalu, di jembatan ini banyak prajurit Inggris meregang nyawa akibat serangan pejuang Indonesia dari tebing-tebing bukit sekitar Sungai Cisokan. Mereka berasal dari Batalion 3/3 Gurkha Riffles Divisi ke-23 The Fighting Cock (Divisi Ayam Jago), sebuah batalion elite Angkatan Darat Kerajaan Inggris yang termasyhur dengan pisau khukrinya. Cerita berawal dari tertahannya Batalion Jats (termasuk dalam Divisi Ayam Jago) di Sukabumi pada 9-10 Desember 1945, akibat gempuran TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan laskar. Untuk membantu kedudukan pasukan tersebut, pada 11 Desember 1945 bergeraklah konvoi pasukan penolong itu. “Mereka terdiri dari pasukan 3/3 Gurkha Riffles yang dikawal sejumlah tank Sherman, panser Wagon dan brencarrier ,” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi dalam Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946 . Namun, radiogram markas besar Sekutu yang memerintahkan pengiriman pasukan penolong itu bocor ke pihak Republik. Atas dasar informasi tersebut, Resimen III TKR Sukabumi memerintahkan Bataliton III pimpinan Kapten Anwar Padmawidjaya menghadang konvoi itu mulai dari jembatan Cisokan sampai Gekbrong. Sejak pagi, Kompi II di bawah Kapten Dasuni Zahid dan pasukannya menyiapkan posisi stelling  di sekitar jembatan Cisokan. Mereka berlindung di balik pepohonan dan di atas tebing di kedua sisi jalan dekat jembatan Cisokan. Sekitar pukul 09.00, konvoi pasukan Gurkha mulai memasuki zona merah. Mereka bergerak lambat dengan dipandu satu pesawat pengintai. Begitu tiba di bagian tengah jembatan, tanpa ampun mereka dihajar hamburan peluru dan granat dari pasukan Kompi II. Mereka kocar-kacir dan beberapa kendaraan tempur meledak karena menggilas ranjau darat. “Beberapa prajurit Gurkha yang nekad keluar dari kendaraannya langsung menjadi sasaran para penembak runduk Kompi II,” kisah Eddie kepada Historia . Kendati dihujani peluru dan granat, konvoi pasukan Gurkha berhasil lolos. Namun, kerugian tak bisa dihindari. Selain korban jiwa, menurut almarhum Idris Priatna, eks Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia cabang Cianjur, mereka juga harus kehilangan satu pesawat pengintai yang hancur menubruk puncak pohon kelapa karena terbang terlalu rendah. Di kawasan Cikijing, konvoi pasukan Gurkha kembali diserang pejuang Cianjur. Akibatnya, satu truk yang mengakut pasukan meledak bersama para penumpangnya. Untuk menghindari ranjau darat, sejumlah kendaraan tempur berjalan agak ke pinggir. Konvoi terus mempercepat perjalanannya. Tetapi di wilayah Belendung, lagi-lagi satu truk menggilas ranjau darat hingga meledak dan melontarkan belasan penumpangnya ke udara. Menghadapi situasi kritis itu, pasukan Gurkha hanya bisa berteriak kebingungan sambil menembak dengan sasaran membabi buta. Memasuki kota Cianjur, konvoi Gurkha dijadikan mainan oleh pasukan gabungan dari berbagai laskar (Barisan Banteng pimpinan Suroso, Hizbullah, Pemuda Sosialis Indonesia dan Sabilillah). Mereka dibuat bingung dengan serangan pararel yang dilancarkan dari balik tembok toko-toko yang berderet sepanjang jalan dan dari gang-gang sempit. Di Cikaret, aksi penembak runduk dari Kompi III pimpinan Kapten Musa Natakusumah cukup merepotkan kedudukan konvoi Gurkha. Tidak berhenti di Cikaret, Rancagoong, Warungkondang, Gekbrong, dan Sukaraja, neraka tetap mengikuti konvoi tersebut. Di tikungan Rancagoong, mereka kehilangan satu tank Sherman yang menginjak ranjau darat lantas oleng terperosok ke jurang dangkal. Setelah berulang kali diserang, pasukan Gurkha dalam kondisi babak belur berhasil mencapai kota Sukabumi menjelang malam. Dalam buku The Fighting Cock, The Story of the 23rd Indian Division karya Letnan Kolonel A.J.F. Doulton diceritakan bagaimana kagetnya prajurit-prajurit Batalion Jats begitu menyaksikan pasukan penolongnya dalam kondisi yang sama dengan mereka.*

  • Ketidakadilan Mengancam Kemajemukan

    Indonesia merupakan negeri multikultural dan majemuk yang sedang menghadapi tantangan karena krisis sosial dan ekonomi. Masalah ini juga muncul di berbagai negara, terutama negara-negara yang justru merayakan multikulturalisme. “ Brexit , munculnya pemerintah yang tidak lagi menghargai multikulturalisme, dan fenomena terakhir adalah Donald Trump,” kata Hilmar Farid, sejarawan dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, dalam pidato sebagai pembicara kunci dalam “Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII-2017” di Museum Nasional, Jakarta (2/9). Oleh karena itu, menurut Hilmar, multikulturalisme dan kemajemukan tidak seharusnya dipersepsi secara lugu sebagai cita-cita tatanan sosial-budaya yang serba harmonis dan serba-baik. Tak mungkin hanya dengan merayakan kemajemukan dan berupaya membuat orang memiliki rasa toleransi, maka semua bisa teratasi. Multikulturalisme dan kemajemukan selalu merupakan bagian dari suatu proyek politik dan ekonomi. Di Indonesia, politik kemajemukan budaya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak era kolonial. Kolonialisme Belanda dibangun di atas dasar pertimbangan yang dewasa ini kita kategorikan sebagai kebijakan multikultural. Hilmar merujuk kepada kajian sejarah legal Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Van Vollenhoven Institute, 2014), untuk mengidentifikasi beberapa fase dalam perkembangan politik multikultural kolonial di Indonesia. Fase awal dari era VOC sampai tahun 1870. Sejak VOC membuka kantor di Batavia dan Ambon, kepentingan awalnya bukanlah mengembangkan kekuasaan politik, melainkan kepentingan dagang dan penguasaan akses ke sumber daya alam. Oleh karenanya, VOC tidak berkepentingan untuk menyeragamkan atau menyatukan kemajemukan hukum adat masyarakat Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda pun meneruskan pendekatan semacam itu. Hal ini tampak dalam Regeringsreglement 1854 Pasal 75 Ayat 3 yang menyatakan bahwa untuk orang-orang pribumi akan diterapkan “hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi” ( de godsdienstige wetten, instellingen en gebriuken der Inlanders ). Inilah akar dari “multikulturalisme kolonial”. Fase tengah dari tahun 1870 sampai tahun 1910. Pluralisme hukum itu mengalami perubahan arah pada tahun 1870. Regeringsreglement 1854 mencantumkan pasal tentang kemungkinan diberlakukannya toepasselijkverklaring (penerapan hukum Belanda untuk orang-orang pribumi). Kemungkinan itu ditindaklanjuti menjadi hukum khusus untuk orang-orang pribumi melalui pengesahan Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders pada 1870. Di dalamnya, antara lain, diatur tentang kewajiban para pekerja pribumi yang mengikat kontrak dengan majikan Belanda. Pada tahun yang sama diundangkan pula Agrarisch Wet yang memperkenalkan sistem hak milik ( eigendom ) dan hak guna usaha ( erfpacht ). Baik hukum yang mengatur ketenagakerjaan dan pertanahan ini bertentangan dengan kemajemukan pranata adat. Sebagai ganti kerja wajib, Belanda mengenalkan kerja upahan; sebagai ganti tanah adat yang dikelola secara komunal, Belanda mengenalkan tanah swasta. Kendati begitu, sebagian besar pranata adat yang tidak mengganggu jalannya liberalisasi dibiarkan bertahan. Fase akhir dari tahun 1910 sampai tahun 1942. Usaha untuk mengunifikasi hukum Hindia Belanda tetaplah berlangsung setengah-setengah karena kebijakan pengakuan pada kemajemukan budaya dan pranata adat kaum pribumi masih diadopsi Belanda. Pengakuan itu justru mendapat angin dengan upaya kodifikasi hukum adat yang dibuat Van Vollenhoven dalam kitab kompilasi hukum adat terlengkap yang disusunnya pada 1910, yakni Adatwetboekje voor heel Indie . Pengakuan pada kemajemukan hukum adat (seperti dikodifikasi Van Vollenhoven) dan otoritasnya untuk menentukan putusan hukum diterima pada dekade 1920-an dan bertahan sampai dengan kedatangan Jepang tahun 1942. Dengan begitu, Belanda mengkonsolidasikan Hindia Belanda ke arah “kolonialisme multikultural”. Dari uraian tersebut, menurut Hilmar, tampak bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia tidak asing dari kebijakan multikultural. Yang terjadi justru pemanfaatan multikulturalisme untuk tujuan kolonial. “Dalam hal itu, kita dapat memotret keseluruhan proses kolonisasi sejak VOC sampai jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda sebagai proses peralihan dari multikulturalisme kolonial ke kolonialisme multikultural,” kata Hilmar. “Artinya, peralihan dari kebijakan kolonial yang membiarkan kemajemukan budaya Nusantara asal tidak mengganggu perdagangan, ke kebijakan kolonial yang secara aktif memanfaatkan kemajemukan budaya untuk mengkonsolidasi rezim kolonial.” Perlu diingat bahwa Van Vollenhoven terinspirasi dari kajian antropologi Snouck Hurgronje, De Atjehers (1893), yang memperkenalkan untuk pertama kalinya istilah Adatrecht . Snouck Hurgronje, menulis kajian itu dalam rangka mencari solusi kultural untuk penundukan militer atas Aceh yang telah memakan biaya teramat besar, seperti Perang Diponegoro yang hampir membikin Belanda kolaps secara ekonomi. Jadi, dari situ dapat dibaca bahwa upaya Van Vollenhoven mengkodifikasi hukum adat dan mendorong pengakuan atasnya adalah tawaran solusi untuk konsolidasi kolonialisme yang lebih stabil dan murah. Dengan kata lain, tawaran untuk sebuah kolonialisme multikultural. “Kolonialisme memang berdiri dari prinsip perbedaan. Ini yang memungkinkan ia hidup. Namun, kolonialisme tidak akan hidup jika prinsip keadilan ditegakkan. Saya kira transformasi dari masa kolonial sampai hari ini belum sepenuhnya terjadi,” kata Hilmar yang meraih gelar doktor di bidang kajian budaya di National University of Singapore pada 2014. Dari uraian sejarah tersebut, lanjut Hilmar, tampak pula akar ekonomi politik dari multikulturalisme dan kemajemukan. Dalam situasi kekinian, akar ekonomi politik itu juga dapat kita temukan dalam gejala sektarianisme dan fanatisisme. “Sektarianisme dan fanatisisme religius di kalangan kaum miskin perkotaan karena kesenjangan ekonomi yang begitu tajam memicu tumbuhnya harapan akan keadilan Ilahi. Itulah yang menyebabkan mengapa kaum miskin kota dengan cepat mengalami radikalisasi oleh isu agama,” kata Hilmar. Sektarianisme primordial dan puritanisme religius di kalangan kelas menengah atas perkotaan disebabkan oleh persaingan kerja dan alienasi sosial akibat kapitalisme high tech memicu tumbuhnya kebutuhan atas identitas primordial dan cara beragama yang zakelijk . Inilah yang menyebabkan mengapa kelas sosial yang mapan justru menjadi pelaku utama sektarianisme dan puritanisme. Sentimen rasis dan merebaknya kontroversi tentang isu “invasi pekerja Cina” yang begitu cepat diyakini orang-orang. Sumber sesunggguhnya terletak pada ketidakpastian kerja yang merupakan konsekuensi logis dari fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diakibatkan oleh kebijakan neoliberal global. “Kemajemukan yang sehat hanya dapat diwujudkan apabila sumber masalah ketidakadilan ekonomi dibereskan terlebih dulu,” pungkas Hilmar.

  • Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika

    ASLINYA dari mana? Begitu biasanya orang-orang memulai percakapan. Pertanyaan ini kadang sulit untuk dijawab. Itu baik hanya untuk sekadar basa-basi maupun benar-benar ingin tahu. “Saya sendiri selalu mengaku sebagai orang Pare karena lahir di sana,” kata Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, mengawali pemaparannya dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII-2017 di Auditorium Museum Nasional, Jakarta. Kepulauan Nusantara telah lama menjadi kediaman bagi ratusan populasi etnik dan budaya. Kini jumlahnya paling tidak sudah lebih dari 500 populasi. Penduduknya juga menuturkan lebih dari 700 bahasa yang berbeda. Kenyataan ini sering kali memunculkan pertanyaan: siapa sebenernya manusia Indonesia? Datang dari mana leluhurnya? Sejak kapan mereka mendiami kawasan ini? Secara geografis, kata Herawati, Kepulauan Nusantara berperan penting sebagai penghubung daratan Asia dan Kepulauan Pasifik. Dua model telah digunakan untuk menerangkan migrasi yang kemudian membentuk populasi penghuni Asia Tenggara masa kini. Berdasarkan temuan arkeologi, Asia Tenggara mulai dihuni manusia modern sekira 50.000-70.000 tahun lalu. Studi genetik yang dilakukan oleh konsorsium HUGO-Pan Asia memperlihatkan, semua populasi Asia Timur maupun Asia Tenggara berasal dari gelombang pertama migrasi Out of Africa. Migrasi ini menyusuri jalur selatan sekira 40.000-60.000 tahun lalu. Sementara itu, berdasarkan model Out of Taiwan, penyebaran penutur Bahasa Austronesia terjadi sekira 5.000-7.000 tahun lalu. Baca juga:  Leluhur langsung bangsa Indonesia dari Taiwan Dalam pembentukannya menjadi manusia Indonesia, kata Herawati, secara genetis terdapat empat gelombang migrasi yang berkontribusi. Gelombang awal, nenek moyang datang 50.000 tahun lalu melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda yang ketika itu masih menggabungkan Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaya. Cikal bakalnya, dalam pengembarannya, manusia modern ( Homo sapiens ) dimulai dari Benua Afrika sekira 150.000 tahun lalu. Pada 30.000 tahun kemudian, sekelompok manusia melakukan perjalanan ke utara melalui Mesir dan Israel. Namun, jejak mereka hilang. Kelompok lainnya, sekira 72.000 tahun lalu berpindah ke bagian selatan semenanjung Arab menuju India. “Manusia non-Afrika, termasuk kita, merupakan kelompok keturunan ini,” jelas Herawati. Herawati melanjutkan, pada 40.000 tahun lalu ada dua kejadian migrasi. Ada kelompok yang pindah ke utara dari Pakistan melewati Sungai Indus dan bergerak ke Selat Bering. Inilah para penghuni Benua Amerika yang sebenarnya baru dihuni kurang lebih 15.000 tahun lalu. Jauh lebih muda dari penghuni Kepulauan Nusantara. “Pada jalur lebih muda, memperlihatkan nenek moyang yang berasal dari Afrika Timur pergi ke utara menyebar melalui lembah Sungai Nil, Semenanjung Sinai atau melalui Laut Merah ke Saudi Arabia ke selatan, melewati Indonesia sampai ke Australia,” papar Herawati. Gelombang kedua adalah kontribusi dari Asia daratan. Ini adalah kelompok yang menuturkan Bahasa Astroasiatik. Mereka berpindah ke selatan masuk ke Nusantara dari daratan Asia melewati Semenanjung Malaya. Saat itu, Semenanjung Malaya masih menyatu dengan Pulau Sumatera dan Kalimantan. Gelombang ketiga merupakan ekspansi dari utara. Pada periode sekira 4.000 tahun lalu mereka bermigrasi dari daerah Cina Selatan, menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi, dan Kalimantan. Mereka inilah yang membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini terjadi mulai dari Madagaskar hingga ke Pulau Paskah di dekat Amerika. Baca juga:  Nenek moyang penduduk Madagaskar berasal dari Indonesia “Kalau lihat dari bahasanya, bahasa yang kebanyakan dipakai sekarang adalah Bahasa Austronesia. Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” jelasnya. Gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah. Ini termasuk periode Indianisasi dan Islamisasi di Kepulauan Nusantara. Empat gelombang migrasi yang melalui Kepulauan Nusantara itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya keragaman pada masa kini. Tapi seberapa jauh pembauran yang ada? Herawati membuktikannya melalui studi genetika. Dia melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda DNA. Berdasarkan sampel penanda DNA mitokondria yang hanya diturunkan melalui garis ibu, diketahui periode hunian awal di Kepulauan Nusantara berkisar antara 70.000-50.000 tahun lalu. Sementara analisis penanda kromosom Y yang hanya diturunkan dari garis ayah memperlihatkan adanya bukti pembauran beberapa leluhur genetik. “Pembauran makin jelas dengan menggunakan penanda genetik yang ditemukan dalam inti sel, yaitu DNA autosom, yang diturunkan dari kedua orang tua,” jelas Herawati. Baca juga:  Ikuti Proyek DNA: Sebineka Apa Kamu? Penelitian tersebut menguak populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang terungkap dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya. Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo. Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa Austronesia. Baca juga:  Indonesia penutur Austronesia terbesar di dunia “Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya. Dengan gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri sendiri,” jelas Herawati. Lalu bagimana menjelaskan adanya perbedaan fisik, seperti kulit misalnya? Dia menjelaskan, dalam pengembaraan para nenek moyang hingga ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering, pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA. “Pigmentasi itu ada kodenya oleh DNA,” ucapnya. Bagaimana kemudian kondisi itu bisa menciptakan warna kulit, bahkan perbedaan jenis rambut, penelitian mengenai itu hingga kini masih berlanjut. Menurut Herawati, melalui penelitian genetika, kita mengetahui migrasi manusia sampai ke Nusantara yang menjadi nenek moyang orang Indonesia. Agaknya tak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Sebab, tak ada pemilik gen murni di Nusantara. “Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika, yang pada awalnya berasal dari Afrika,” tegas Herawati.

  • Tan Jin Sing, Pembuka Jalan Pertama ke Candi Borobudur

    PADA 3 Agustus 1812, Tan Jin Sing bertamu ke rumah Residen Inggris di Yogyakarta, John Crawfurd yang sedang bersama atasannya, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Tan Jin Sing memberi tahu Raffles dan Crawfurd bahwa dirinya sebagai bupati Yogyakarta yang diangkat oleh Sultan Hamengkubuwono III, akan menggunakan nama Secodiningrat. Sultan memberinya gelar Tumenggung, sehingga nama lengkapnya Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat. Raffles menyatakan gelar itu pantas karena Tan Jin Sing berjasa kepada Sultan Hamengkubuwono III. Dia menyerahkan surat kuasa penarikan pajak di daerah Kedua kepada Tan Jin Sing. Selain itu, Raffles juga mengungkapkan ketertarikannya pada candi-candi peninggalan nenek moyang orang Jawa dan ingin menelitinya. Dia telah melihat Candi Prambanan dan akan memerintahkan Letkol Colin Mackenzie untuk meneliti dan memugarnya dengan bantuan dari Crawfurd. Mackenzie berpengalaman dalam hal pengumpulan data geografis, sejarah dan artefak purbakala kala di India. Namun, Mackenzie keburu kembali ke India pada Juli 1813. Tan Jin Sing menanggapi minat Raffles akan candi. “Tan Jin Sing mengatakan bahwa salah seorang mandornya pernah mengatakan bahwa di Desa Bumisegoro deket Muntilan, dia melihat sebuah candi besar. Memang kejadian ini telah puluhan tahun silam ketika mandor itu masih kecil,” tulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta . Raffles langsung tertarik dan meminta Tan Jin Sing pergi ke Bumisegoro untuk melihat keberadaan candi tersebut. Hari minggu, Tan Jin Sing dan mandornya, Rachmat, berangkat naik kereta kuda ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka mengajak warga desa bernama Paimin, sebagai penunjuk jalan. Paimin berjalan di muka, membuka jalan sembari membabat semak belukar dengan parangnya. Setelah menaiki bukit, mereka sampai di lokasi candi. “Menurut Paimin namanya candi Borobudur,” tulis Werdoyo. Keadaannya menyedihkan, tubuhnya ditumbuhi tanaman, bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sehingga candi itu seolah-olah berada di atas bukit, Sekelilingnya penuh semak belukar. Selesai mengamati monumen kuno itu, mereka kemudian kembali. Setelah memberi upah secukupnya kepada Paimin, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat pulang. Sepanjang perjalanan, dia mengutarakan ketakjubannya akan Borobudur kepada Rachmat. Dia menaksir candi itu sudah berumur 1000 tahun dan merupakan peninggalan orang Jawa yang beragama Hindu dan Budha. “Setelah orang Jawa menganut Islam, upacara di candi ditinggalkan sehingga pemeliharaan candi itu terabaikan. Dia juga berpikir tentang orang Belanda yang sudah lebih dari 100 tahun di Pulau Jawa tetapi kurang memberi perhatian pada candi-candi itu. Atas dasar ini dia merasa heran dan kagum bahwa orang Inggris yang justru tertarik pada monumen itu,” tulis Werdoyo. Setiba di rumah, Tan Jin Sing membuat peta lokasi Borobudur dan menulis secara singkat laporan pandangan mata tentang keadaan sekeliling candi. Dalam suratnya, dia mengusulkan supaya diperkenankan membersihkan pepohonan dan semak belukar di sekitar candi, serta membuat akses jalan menuju candi supaya tim yang akan dikirim Raffles tidak kesulitan dalam menelitinya. Laporan itu dikirim kepada Raffles di Batavia. Pada November 1813, Raffles mengirim surat kepada Tan Jin Sing. Dia mengizinkan Tan Jin Sing membersihkan hutan belukar yang menutupi candi dan membuat jalan menuju candi. Dia ingin bertemu dengan Tan Jin Sing di Semarang pada 12 Januari 1814. Setelah itu, dia dan tim ahli purbakala akan meneruskan perjalanan ke Bumisegoro. Setelah membaca surat tersebut, keesokan harinya, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka meminta Paimin dan penduduk setempat membersihkan 20 meter sekitar candi. Mereka juga membuat jalan selebar lima meter dari Bumisegoro menuju candi. Pekerjaan harus selesai sebelum akhir Desember 1813. Pagi 11 Januari 1814, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat menuju Semarang. Rachmat turun di Bumisegoro. Tan Jin Sing berpesan kepada Rachmat bahwa lusa dia dengan Raffles dan rombongannya akan meninjau candi Borobudur. Untuk itu, Rachmat diminta tetap tinggal di situ sambil melakukan persiapan. Di Semarang, Tan Jin Sing diperkenalkan kepada Mayor Herman Christian Cornelius, arkeolog berkebangsaan Belanda dan ketiga stafnya. Raffles tidak bisa ikut dengan rombongan karena harus segera ke Surabaya. Keesokan harinya, Tan Jin Sing beserta Cornelius dan stafnya bertolak menuju Bumisegoro. Sesampainya di lokasi candi, Tan Jin Sing berkata kepada Cornelius: “Seperti tuan lihat, candi ini tampaknya berada di atas bukit. Kaki candi ada di bawah tanah, tetapi saya tidak berani menyuruh mandor saya, Rachmat, untuk melakukan penggalian karena khawatir bila tidak dilakukan dengan pengawasan yang cermat, bisa merusak batu-batu yang tertimbun di bawahnya. Di atas candi itu masih ada tetumbuhan. Saya tidak berani menyuruh mencabutnya takut kalau batu-batu itu akan runtuh.” Cornelius mengapresiasi pekerjaan Tan Jin Sing. “Tuan sudah bersihkan tanah dua puluh meter di sekeliling candi. Ini cukup bagus, tetapi saya pikir perlu diperluas hingga lima puluh meter. Siapa yang tuan minta mengerjakan ini?” Tanya Cornelius. Tan Jin Sing meminta Rachmat dan Paimin mengerahkan penduduk untuk memperluas areal yang dibersihkan sampai lima puluh meter. Setelah pekerjaan itu selesai, Cornelius dan stafnya mulai bekerja melakukan pengukuran dan membuat gambar. Cornelius menargetkan pekerjaannya selama dua bulan. Frederik Coyett boleh jadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Borobudur pada 1733 dan mencuri sejumlah patung. Begitu pula dengan Raffles yang berperan dalam menugaskan Cornelius dan stafnya untuk melakukan penelitian di candi Borobudur. Namun, pembuka jalan pertama ke Borobudur adalah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing dibantu mandornya, Rachmat dan Paimin serta penduduk setempat. Tan Jin Sing atau Raden Tumenggung Secodiningrat menjabat bupati Yogyakarta sampai meninggal pada 10 Mei 1831. Namanya sempat diabadikan menjadi Jalan Secodiningratan, namun kemudian diganti menjadi Jalan P. Senopati.

  • Soeharto Meminta Bantuan CIA

    TELAH diketahui umum bahwa CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) membantu Angkatan Darat dalam menumpas PKI pasca Peristiwa 30 September 1965. Kita mengetahuinya dari sumber-sumber CIA dan pengakuan agen-agennya. Sedangkan dari pihak Angkatan Darat hampir tidak ada pengakuan sampai seorang jenderal mengungkapkan bahwa dirinya diperintahkan oleh Mayjen TNI Soeharto untuk menghubungi CIA, para duta besar asing, dan perusahaan-perusahaan besar.

  • Damai Sebagai Jalan Keluar

    Mulanya nama dara cantik ini lebih dikenal di atas panggung catwalk. Namun beberapa tahun terakhir Olga Lydia justru lebih dikenal sebagai artis sinetron dan presenter. Bahkan, saat pesta rakyat menyambut presiden baru Joko Widodo, Olga turun tangan dan bergabung dalam Tim Nasional Syukuran dan Selamatan Rakyat. Finalis Wajah Femina 1994 ini memang serba bisa. Dia piawai berakting film dengan beragam genre. Sebagai pembawa acara, dia luwes masuk ke segala acara. Dari gaya hidup, olahraga, hingga parodi politik. Diam-diam Olga Lydia mengidolakan sosok Mahatma Gandhi, “Bapak Negara India”. Mohandas Karamchand Gandhi lahir di Porbandar, Gujarat, sebelah barat India, pada 2 Oktober 1869. Gandhi berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya perdana menteri di negara bagian tersebut, dan banyak kerabatnya bekerja untuk pemerintah kolonial Inggris. Di masa dewasa, Gandhi menentang kolonialisme Inggris. Ajarannya berupa protes tanpa kekerasan, Ahimsa, memberi pengaruh luar biasa. Akibatnya, Inggris pun hengkang. Olga Lydia bicara tentang tokoh idolanya di sesela aktivitasnya sebagai pembawa acara pemutaran perdana film Senyap atau Look of Silence karya Joshua Oppenheimer di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Kapan mula mengagumi sosok Mahatma Gandhi? Gara-garanya saat saya menonton film berjudul Gandhi. Saya melihat dia tokoh luar biasa, yang dilahirkan dan menciptakan dirinya sendiri sebagai orang istimewa. Kenapa Gandhi? Dia, kalau boleh dibilang, bapak bangsa-nya India. Meski terlahir dari keluarga bangsawan, ternyata dalam perjalanan hidupnya, dia mampu berdiri paling depan dalam menentang kolonialisme. Dia menentang penjajahan, seperti Inggris yang kala itu menguasai India. Apa yang menarik dari perjuangan Gandhi? Dari cara dia menentang penjajahan, yaitu dengan cara damai. Bisa dibayangkan, Inggris yang kuat bisa hengkang dari India, dengan cara-cara damai yang disebar Gandhi. Dari tokoh ini saya banyak belajar bahwa selalu ada cara-cara damai untuk menyelesaikan masalah yang sedemikian besar. Adakah ucapan Gandhi yang melekat di ingatan Anda? Jika ucapannya, seingat saya, kalau tidak salah, bahwa derajat suatu bangsa dapat dinilai dari cara pandang terhadap binatang. Saya pikir ini benar juga. Di negara yang sudah maju, binatang-binatang bisa hidup berdampingan dengan manusia tanpa ada rasa takut untuk diburu. Burung bebas hinggap di mana pun ia suka. Nah, di Indonesia, belum sampai. Masih banyak orang berburu burung hanya untuk kesenangan. Apa sisi kelemahan pada dirinya? Saya belum menemukan kelemahannya. Mungkin sikap keras kepala. Tapi itu kan saat menentang kolonialisme Inggris. Dia keras kepala untuk tidak tunduk kepada penjajah.

  • Logistik

    HIRUK pikuk arena politik seakan tak pernah ada habisnya. Dari ratusan perhelatan pemilihan kepala daerah di negeri ini hanya Jakarta yang jadi panggung tempat pentas politik paling ramai dibicarakan. Siaran televisi, media cetak sampai media sosial membahasnya seakan Jakarta adalah Indonesia dan Indonesia hanya Jakarta. Saling serang antar pendukung persis tawuran kata-kata di media sosial. Isu yang diperbicangkan meluas mulai soal banjir, kemacetan, fasilitas sosial, penggusuran sampai soal agama yang berpotensi menimbulkan konflik. Dari sekian isu yang menjadi tema pembicaraan, ada satu hal yang pula selalu jadi bahan pembicaraan: logistik. Entah sejak kapan istilah yang merujuk kepada ketersediaan duit itu mulai digunakan. Menjelang perhelatan pemilihan kepala daerah secara serentak pada 15 Februari 2017 istilah tersebut kian sering terdengar. Ketersediaan logistik dari pasangan calon kepala daerah jauh lebih menarik diperbincangkan ketimbang program kerjanya. Bahkan di beberapa daerah isu kekuatan logistik dari pasangan calon kepala daerah dijadikan ukuran untuk memenangkan pertarungan. Misalnya di Banten, wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta, desas desus tentang kekuatan duit lebih menentukan dari soal apapun. Dugaan itu diperkuat oleh hasil survey SMRC yang menyebutkan bahwa 70 persen warga provinsi di ujung barat pulau Jawa itu permisif terhadap money politic . Uang jadi faktor penentu kemenangan pada masyarakat bawah yang memang terbelit oleh masalah kebutuhan hidup sehari-hari. Isu-isu penting seperti korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih hanya jadi konsumsi masyarakat kelas menengah. Jika demikian apakah sebetulnya yang sedang terjadi pada era demokrasi elektoral ini? Apabila analisis historis bisa diajukan sebagai alternatif memahami kekinian kita, maka hiruk pikuk demokrasi dengan segala macam problematikanya kemungkinan berakar jauh ke masa silam. Sebelum angin kebebasan politik berembus, kita semua tahu Orde Baru membatasi jumlah partai politik menjadi tiga sebagai hasil fusi partai politik pada 1973. Hanya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai bercorak Islam, Golongan Karya partainya penguasa dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mewakili kelompok nasionalis. Sementara itu keterlibatan rakyat di dalam politik didesain sedemikian rupa agar tak terlalu aktif bahkan cenderung dijauhkan kecuali lima tahun sekali untuk urusan Pemilu. Kebijakan massa mengambang berhasil menjadikan rakyat apolitis, tak terlibat pada urusan-urusan politik. Pengekangan kebebasan sedikit memberikan peluang kepada rakyat untuk kritis melihat kebijakan pemerintah. Setelah Soeharto lengser pada 1998, segera keadaan berubah. Partai politik bermunculan dalam sistem demokrasi elektoral. Ideologi tak lagi sekaku pada era perang dingin. Malah seringkali bersifat transaksional untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang hendak diraih oleh partai politik. Ideologi yang kaku mendadak tampak menjadi usang. Kelenturan jauh lebih ditekankan untuk alasan eksistensi partai di atas panggung politik. Sementara itu masyarakat yang semua apolitis bahkan dibuat jauh dengan urusan politik secara formal, mendadak terseret arus politik elektoral. Partai politik membutuhkan massa, sementara massa yang apolitis disodori berbagai macam pilihan dari partai politik, baik dalam masa pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan eksekutif. Maka dalam masa-masa seperti ini, gagasan-gagasan besar hanya jadi materi kampanye. Masyarakat yang sudah dihimpit persoalan sehari-hari dan terlalu banyak dipermainkan dalam setiap perhelatan demokrasi terjatuh dalam pilihan yang pragmatis. Maka terciptalah logika pasar dalam praktik demokrasi elektoral, di mana politikus berperan sebagai pembeli dan rakyat sebagai penjual suara. Maka wajar kekuatan logistik dalam keadaan seperti ini menjadi hal yang cukup menentukan. Sedangkan masyarakat mendapat julukan “pemilih profesional” yang menentukan pilihannya berdasarkan seberapa besar uang yang diterimanya. Jika demikian, akan sesuram apakah demokrasi di Indonesia? Mungkin kelak puluhan tahun ke depan para sejarawan generasi baru akan bisa memberikan jawabannya.*

  • Digulung dan Disingkirkan

    SIAPAKAH sebenarnya Raden Saleh, perupa yang karyanya berjudul Boschbrand  (kebakaran hutan) sempat menimbulkan keheranan karena telah dijual secara tidak menguntungkan oleh para cucu Ratu Juliana? Aneh juga kalau pelukis yang terkenal dan banyak dipuji di pentas internasional dengan karya-karya yang sekarang bernilai sampai jutaan dolar, justru bukan nama yang dikenal pada setiap rumah tangga Belanda. Kembali meningkatnya penghargaan terhadap karya-karya Raden Saleh terjadi berkat jasa pengamat seni Prancis dan terutama Jerman yang begitu fanatik memujanya. Mereka berhasil mengorbitkan Raden Saleh pada pentas internasional sebagai salah satu seniman besar abad 19, tanpa secuilpun keterlibatan Belanda. Itu jelas janggal.

  • Pahlawan Tanpa Senapan

    SEORANG pria terpental diterjang peluru. Tak lama kemudian bom meledak dan mengobarkan api. Korban-korban berjatuhan. Di bawah hujan peluru, empat pria berpakaian hijau sibuk mengangkat para korban. Adegan-adegan pertempuran, dari Perang Saudara hingga Perang Pasifik, menjadi pembuka film ini. Setelah itu kita dibawa ke masa lalu ( flashback ) dengan suasana alam di Pegunungan Blue Ridge, Virginia, Amerika Serikat, tahun 1929. Dua bocah Doss bersaudara, Desmond dan Harold, sering menghabiskan waktu bermain di sana. Namun sebagaimana umumnya anak-anak, keduanya juga kerap ribut dan berkelahi.

  • Jenazah Kahar Muzakkar Dikenali dari Celana Dalam

    PADA akhir Januari 1965, Peleton I/Kompi D seharusnya sudah kembali ke basis karena perbekalan sudah habis sehingga mereka makan dedaunan. Pasukan di bawah komandan Peltu Umar ini bagian dari Operasi Kilat yang mengerahkan empat Kompi Yon 330/Kujang, pasukan RPKAD, dan Kompi Raiders/Hasanuddin. Peltu Umar meneruskan patroli sepanjang Sungai Lasolo karena mendapat petunjuk baru letak markas Kahar Muzakkar, pemimpin DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mendeklarasikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII). Markas persembunyian Kahar dibocorkan oleh perwira kepercayaannya, Letkol Kadir Junus yang menyerahkan diri kepada TNI. Dia memberitahu bahwa Kahar bersembunyi di suatu tempat di Sulawesi Tenggara, sekitar Sungai Lasolo, Kabupaten Kendari. Tetapi, menurut Brigjen TNI M. Jusuf, Panglima Operasi Kilat, kepastian persembunyian Kahar didapat setelah pasukan RPKAD menyergap sekelompok orang di sekitar Lawate pada 22 Januari 1965. Di antara dokumen yang disita terdapat surat-surat yang baru ditulis oleh Kahar kepada Mansjur. Pada awal Februari 1965, Peltu Umar dan pasukannya berhasil menangkap Menteri Kesehatan RPII dengan 144 orang penduduk dan pengikutnya. Dari mereka diperoleh informasi yang memastikan posisi markas Kahar. Keesokan hari, pasukan Peltu Umar melihat seorang membawa senjata sedang naik rakit menuju perkemahan terdiri dari bivak-bivak berjejer di tepi sungai. Mereka melihat lebih banyak lagi orang bersenjata yang mandi di sungai. “Sayup-sayup terdengar suara radio transistor, dan lagu yang keluar dari radio adalah lagu kenang-kenangan. Ini, menurut penunjuk jalan mereka, adalah lagu kesayangan Kahar,” kata M. Jusuf dalam biografinya, Panglima Para Prajurit karya Atmadji Sumarkidjo. Pada dini hari, 3 Februari 1965, Peltu Umar memerintahkan 30 orang pasukannya menyeberangi sungai dan mengepung perkemahan. Empat prajurit ditinggal di seberang sungai untuk mencegah ada yang melarikan diri. Mereka mengepung sambil menunggu terang tanah agar bisa melihat sasaran dengan lebih jelas. Pukul 4.00, beberapa orang keluar dari bivak menuju sungai. Empat prajurit menembak orang itu disusul tebakan-tembakan dari prajurit yang mengepung perkemahan. Kepanikan menyergap para penghuni bivak. Pertempuran hanya berlangsung lima menit. Mayat-mayat yang ada dikumpulkan untuk diidentifikasi. Salah satunya diyakini mayat Kahar, orang yang ditakuti sejak tahun 1950 dan mengangkat dirinya sebagai khalifah RPII. Kahar meninggal akibat tembakan peluru tepat di Hari Raya Idulfitri pada 3 Februari 1965. Mayat Kahar dinaikkan ke rakit untuk dibawa ke pos TNI terdekat. Dari pos tersebut barulah informasi kematian Kahar disampaikan melalui radiogram ke pos komando di Pakue. M. Jusuf dan Brigjen TNI Rukman kebetulan berada di sana sedang merayakan Lebaran bersama pasukannya. Jusuf lalu meneruskan berita kematian Kahar kepada Menteri/Pangad Letjen TNI Achmad Yani yang saat itu juga langsung melaporkannya kepada Presiden Sukarno. Dari pos komando Pakue, Jusuf membawa jenazah Kahar dengan helikopter Mi-4 ke bandar udara Hasanuddin di Makassar. Achmad Yani mengutus Deputi I/Pangad Mayjen TNI Moersid untuk memastikan yang mati benar-benar Kahar. Setelah melihat jenazah itu di bandara, Moersid dibekali sejumlah foto segera terbang ke Jakarta untuk melaporkannya kepada Achmad Yani. Jenazah Kahar lalu dibawa ke rumah sakit tentara di Makassar. Jusuf memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihat jenazah itu dan memastikan sendiri bahwa yang mati benar-benar Kahar. “Sejak di Pakue saya telah memastikan bahwa yang meninggal adalah Kahar,” kata Jusuf. “Ciri utama dari Kahar adalah tahi lalat, gigi emas, dan yang paling penting adalah celana dalam dengan bordiran huruf KM (Kahar Muzakkar). Beliau tidak mau memakai sembarang celana dalam, kecuali yang dibordir khusus oleh istrinya yang keempat.” Salah satu orang yang mendapat kesempatan langka memotret jenazah Kahar adalah wartawan Boet Ph M. Rompas. Dia juga memotret celana dalam Kahar dengan inisial dua huruf KM yang jelas terlihat,” tulis Atmadji. Berpuluh tahun kemudian ketika ada yang menyebarkan isu bahwa Kahar masih hidup, foto-foto itu ditunjukkan dan menjadi bukti yang tidak bisa dibantah. Sejak diizinkan sampai petang, masyarakat, pejabat, wakil rakyat dan bekas anak buahnya, berdatangan ke rumah sakit untuk memastikan wajah Kahar. Setalah itu, Jusuf memerintahkan jenazah Kahar dikuburkan. Hanya sedikit pejabat militer yang mengetahuinya di mana Kahar dikuburkan. Jusuf dan Kolonel Solichin GP, Kepala Staf Operasi Kilat, tidak pernah menceritakan di mana Kahar dimakamkan dan siapa yang diperintahkan memakamkannya. “Jusuf sendiri tetap konsisten dengan sikapnya, dan tidak pernah mau menceritakan di mana dia memerintahkan Kahar Muzakkar dimakamkan sampai dia meninggal pada September 2004,” tulis Atmadji.*

  • Barisan Jenggot Berbahaya

    Laskar atau barisan perjuangan memainkan peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka dibentuk di berbagai daerah di seluruh Indonesia dengan nama-nama yang menarik. Seperti Barisan Jenggot di Kalimantan. Dari namanya, badan perjuangan ini terdiri dari para ulama dan pengikutnya. Barisan Jenggot (Barisan Ulama), menurut Sulaiman Al-Kumayi dalam Islam Bubuhan Kumai, bermarkas di Masjid Besar al-Baidha, Kumai, selama perjuangan mengusir penjajah Belanda. Pada 14 Januari 1946, tentara Belanda (NICA atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) masuk Kalimantan. Mereka berjumlah kurang lebih 250 orang dengan senjata lengkap menumpang lima kapal. Mereka menyerang daerah Kota Waringin. “Seluruh kekuatan yang ada bangkit membalas dan menyerang tentara NICA. TKR (Tentara Keamanan Rakyat), Angkatan Muda, Barisan Jenggot dan seluruh rakyat Kumai dan Pangkalan Bun bangkit melawan, melibatkan diri dalam kancah pertempuran yang sengit,” tulis JU Lontaan dalam Menjelajah Kalimantan . Pertempuran mengakibatkan 21 pejuang gugur dan 50 tentara Belanda yang tewas diangkut ke kapal. Dalam Kronik Revolusi Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer, dkk., disebutkan bahwa pada 21 Februari 1946 enam anggota Barisan Jenggot dari Kalimantan yang dikepalai oleh Haji Abdul Kadir tiba di Yogyakarta. “Mereka berumur antara 50-60 tahun dan pernah bertempur melawan NICA yang mendarat dengan lima buah kapal di Kalimantan. Dalam pertempuran itu musuh mengalami kekalahan besar,” tulis Pram. “Mereka datang ke Jawa untuk mempelajari siasat pertempuran dan kemudian akan kembali lagi ke Kalimantan untuk berjuang dengan tekad merdeka atau syahid.” Kemungkinan juga mereka ikut parade laskar dari Kalimantan dalam pembentukan Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang di Yogyakarta pada 12 November 1946. Tidak hanya di Kalimantan, Barisan Jenggot juga didirikan di Semarang, Sumatera Barat, dan Aceh. Di Solo, Laskar Jenggot dan laskar-laskar perjuangan lainnya disatukan dalam Brigade XXIV di bawah Letkol Iskandar. Sedangkan di Malang, Barisan Jenggot adalah sebutan untuk Batalion E Tentara Nasional Indonesia. “Karena anggota-anggotanya sudah berjenggot dan berusia rata-rata setengah abad. Mereka bermarkas di Sumberpucung, Malang,” demikian tertulis dalam Kisah-kisah Kepahlawanan Perang Kemerdekaan 1945-1949 dan Perang Merebut Kembali Irian Barat I. Delapan orang anggota Barisan Jenggot gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Di Taman Makam Pahlawan Malang terdapat empat makan nisan bernomor 408, 410, 412, dan 414. Setiap nisan dikubur dua jenazah, salah satunya Kasan Moestiar. Pada setiap nisan tertulis “TNI Barisan Jenggot”.

  • Menjemput Tan Malaka Sang Pemimpin Adat

    RASA haru memancar di mata Hengky Novaron Arsil Datuk Tan Malaka kala menyerahkan penampan berisi bendera merah putih dan kelengkapan penghulu di Ranah Minang kepada Direktur Eksekutif Tan Malaka Institute Khatibul Umam Wiranu, dalam prosesi adat penjemputan jasad Tan Malaka, di Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sabtu, 14 Januari 2016.

bottom of page