top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Memperjuangkan Indonesia Lewat Bahasa

    MESKI terbilang masih muda, 24 tahun, Sarmidi Mangunsarkoro menyampaikan pidato dengan lantang ketika menjadi pembicara di sesi pertama hari kedua Kongres Pemuda tahun 1928. Dalam sesi dengan tema pendidikan kebangsaan itu, Mangunsarkoro menyampaikan gagasan tentang pentingnya kebudayaan bangsa untuk dijadikan landasan pendidikan putra-putri Indonesia. Menurutnya, pendidikan yang berlandaskan kebudayaan bangsa sendiri akan menjadi pupuk istimewa untuk menyuburkan pengetahuan. “Beliau bicara tentang pentignya pendidikan kebangsaan, pendidikan yang seimbang antara sekolah dan rumah, dan pendidikan demokrasi,” kata Anik Yudhastowo Mangunsarkoro, menantu Mangunsarkoro, pada Historia . Jalan Hidup Mangunsarkoro Mangunsarkoro, anak priyayi rendah yang lahir di Surakarta pada 23 Mei 1904, mengenyam pendidikan dasar sekolah ongko loro. Dia setelah itu melanjutkan sekolah di Yogyakrta, pertama di Prinses Juliana School lalu ke Sekolah Guru Arjuna. Lulus dari Sekolah Guru Arjuna, dia langsung berkecimpung dalam dunia pendidikan sembari menulis tentang pendidikan. Beberapa tulisannya seperti pendidikan nasional, ilmu kemasyrakatan, dan masyarakat sosialis. Mulanya, Mangunsarkoro mengajar di Taman Muda Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta. Setelah pindah ke Jakarta, dia menjadi kepala sekolah HIS Budi Utomo dan kepala sekolah HIS Marsudi Rukun tahun 1929. Sebagai sesama mantan guru Taman Siswa dan orang yang memperjuangkan pendidikan, Mangunsarkoro bekerjasama dengan Ki Hadjar Dewantara. Mangunsarkoro Ialu mengutarakan keinginannya untuk mendirikan Taman Siswa di Jakarta. Atas restu Ki Hadjar dan bantuan Mohamad Husni Thamrin, berdirilah Perguruan Taman Siswa Jakarta pada 1926 dengan modal 500 gulden. Perguruan yang terletak di Jalan Garuda No.71 Kemayoran itu merupakan penyatuan dari HIS Budi Utomo dan HIS Marsudi Rukun yang dipimpin Mangunsarkoro. Perubahan dari HIS ke Perguruan Taman Siswa menjadi titik mula penanaman bibit-bibit kebangsaan di Jakarta. Dwi Rahmanto Yahya dalam tulisannya, “Peranan Ki Sarmidi Mangunsarkoro Dalam Bidang Pendidikan”, menyebut warga Kemayoran menyambut baik pendirian Perguruan Taman Siswa Jakarta ini. Kerjasama Ki Hadjar Dewantara terus berlanjut hingga 1930. Menyepakati hasil Sumpah Pemuda, Ki Hadjar meminta Ki Mangunsarkoro menyusun rancangan pelajaran baru yang mengacu pada hasil Kongres Pemuda 1928. Pada rancangan baru ini pengajaran ditekankan untuk mengajarkan bahasa Indonesia pun bahasa pengantar yang digunakan. Kesempatan ini digunakan Mangunsarkoro untuk menuangkan ide-idenya tentang pendidikan bagi bangsa Indoensia. Rancangan ini kemudian disahkan pada 1932 dan menajdi kurikulum Taman Siswa, dikenal sebagai Daftar Pelajaran Mangunsarkoro. Pengajaran bahasa Indonesia pun dimasukkan dalam Daftar Pelajaran Mangunsarkoro. Perubahan bahasa pengantar di Perguruan Taman Siswa menjadi bentuk perlawanan politis Mangunsarkoro lewat bangku sekolah. Kala itu, dan bahasa resmi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah Belanda adalah bahasa Belanda. Usaha-usaha melanggengkan bahasa Indonesia terus dilakukan hingga Indonesia merdeka. Lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1532/A, pemerintah pada 26 Februari 1948 mendirikan Balai Bahasa yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mangunsarkoro masuk dalam Dewan Penasihat bersama Dr. Poerbatjaraka, Dr. Prijana, Dr. Priohutomo, Dr Soemadi, dan Ki Hadjar Dewantara. Satu tahun setelah duduk di Balai Bahasa, Mangunsarkoro dipercaya menjadi menteri pendidikan, menggantikan Ali Sastroamidjojo. Saat dilantik, Mangunsarkoro mengenakan sarung dan peci sampai-sampai media meledeknya sebagai Ki Mangunsarungan. “Tahun 1949 bentuk negara masih RIS, beliau tidak sepakat dengan itu. Beliau bersumpah kalau Indonesia belum menjadi negara kesatuan, seterusnya akan memakai sarung dan tidak akan pernah mengenakan celana karena sarung dan peci bagi beliau itu pakaian kebangsaan,” kata Anik. Semasa menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Mangunsarkoro ikut menggagas UU No. 4 tahun tahun 1950 yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Regulasi itu mencakup penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan pendidikan gratis untuk murid-murid sekolah rendah serta berkebutuhan khusus. Perjuangan Mangunsarkoro baru berhenti tahun 1957 ketika radang selaput otak mengakhiri hidupnya. Kepergian Mangunsarkoro mengejutkan rekan-rekan seperjuangannya, seperti Natsir dan Hamka. “Natsir dari Masyumi beda pandangan dengan Ki Mangunsarkoro yang PNI tapi ketika kepergiannya, Natsir menangis mendengar kabar kepergian Mangunsarkoro yang mendadak,” kata Anik.

  • Pejabat yang Bersyahwat Tinggi

    ALKISAH hiduplah sepasang pengantin yang baru menikah. Keduanya saling mencintai satu sama lain. Yang laki-laki bernama Gajahpara. Yang perempuan namanya Ken Endok. Suatu hari, Ken Endok pergi ke sawah untuk mengantar makanan bagi suaminya. Sementara itu, di angkasa Dewa Brahma tengah melihat-lihat siapa yang akan dijadikan temannya bersetubuh. Melihat Ken Endok, turunlah sang dewa. Lalu disetubuhilah istri Gajahpara itu. “Janganlah engkau bersetubuh dengan suamimu lagi. Jika engkau bersetubuh dengan suamimu, suamimu meninggal, karena kecampuran dengan anakku,” kata Dewa Brahma. Ken Endok pun bercerai dengan suaminya. Bahkan, beberapa hari kemudian, Gajahpara mati tapi tak diketahui penyebabnya. Begitulah awal mula Ken Angrok lahir menurut  Serat Pararaton.  Banyak peneliti yang menafsirkan a yah Angrok yang disebut Dewa Brahma adalah perumpamaan untuk seseorang yang punya jabatan tinggi. Tandanya, pamor sang ayah sangatlah kuat. Sebelumnya, Boechari dalam artikelnya “Ken Angrok: Bastard Son of Tunggul Ametung?" (1975), menyebut Dewa Brahma adalah penguasa yang bisa lepas dari jangakauan hukum.  Bahkan punya kekuasaan untuk menyingkirkan suami seorang perempuan yang diinginkannya.  Namun, apakah semua pejabat kerajaan pada masa Jawa Kuno mempunyai kekebalan hukum semacam itu? Dalam tata pemerintahan kerajaan masa Jawa Kuno terdapat sekumpulan kitab perundang-undangan agama. Tujuannya mengatur tata kehidupan pemerintahan dan masyarakat. Secara umum, kata sejarawan Malang, Suwardono, undang-undang itu diambil dari kitab  Manawa  dan kitab  Kutara. Untuk kasus ayah Ken Angrok, dalam teks undang-undang agama diatur oleh bab mengenai  paradara . Terdapat 17 pasal tentang  Paradara, yaitu pasal 198-214. Secara harfiah,  berarti istri orang lain atau perbuatan serong. Dalam bab ini menyebutkan berbagai jenis hukuman dan denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengganggu perempuan. Pasal  paradara  begitu keras. Pun sebenarnya tak ada kekebalan bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran termasuk pendeta sekalipun. “Dalam melakukan kejahatan, tak ada pandang bulu antara golongan tinggi dan golongan rendah,” jelas Suwardono. Hal itu, kata Slamet Muljana dalam Perundang-undangan Madjapahit , ditegaskan lewat pasal 11 undang-undang agama: “Siapapun, guru, anak-anak, orang yang telah lanjut usianya, brahmana, cendikiawan, dan semua orang yang dipandang pendeta seperti kata orang banyak, jika ia melakukan  tatayi  (kejahatan), kemudian perbuatannya itu terbukti, maka ia akan dikenakan hukuman mati.” Sementara Suwardono dalam bukunya Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok menjabarkan . perbuatan yang masuk ke dalam  tatayi,  adalah membakar rumah orang, terutama rumah raja yang berkuasa. Lalu meracuni sesama manusia, menenung sesama manusia, mengamuk, memfitnah raja yang berkuasa, dan merusak kehormatan perempuan. “Siapa yang melakukan salah satu dari enam kejahatan di atas, tidak layak diampuni oleh raja yang berkuasa,” kata dia. Jika kesalahannya terbukti, dia harus dijatuhi pidana mati tanpa proses apapun. Menjatuhi hukuman bagi yang bersalah ini bahkan bisa dihitung sebagai dharma seorang raja yang tak boleh dihindarkan. “Ditinjau dari pasal dan tuan pejabat yang menghamili Ken Endok hingga menghasilkan anak dijerat banyak pasal. Dia harus menjalani hukuman mati, atau minimal denda sangat berat,” jelas Suwardono. Lalu bagaimana dia bisa kebal hukum? Rupanya, pada masa Jawa Kuno ada beberapa pejabat yang memang diberikan hak istimewa semacam itu. Ada beberapa prasasti yang mengindikasikan kalau ada pejabat yang diberi hak istimewa. Mereka biasanya punya jasa terhadap raja. Beberapa prasasti yang menyebutkan soal anugerah raja, misalnya dari masa Tamwlang-Kahuripan: Prasasti Waharu IV (931 M), Prasasti Sobhamerta (939 M), dan Prasasti Kakurugan (1023 M). Dari masa Singhasari misalnya Sarwwadharma (1269 M). Sedangkan dari masa Majapahit: Tuhanaru (1323 M), Waringin Pitu (1447 M), Pamitihan (1437 M), dan Trilokyapuri I (1486 M). Prasasti lainnya yang tak berangka tahun: Waharu III, Leran, Biluluk IV, dan Trilokyapuri III. Prasasti-prasasti itu di dalamnya menyertakan pemberian berbagai jenis kewenangan kepada seseorang atau kelompok yang dianugrahi. Namun, di antara itu hanya sedikit yang menyebutkan soal pejabat yang diberikan pengecualian dalam penegakkan aturan tertentu. Prasasti Waharu IV (931 M) berisi pemberian hadiah Raja Sindok kepada warga Waharu. Itu terutama kepada yang bernama buyut Manggali. Ia diberikan hak untuk berhubungan badan dengan seorang gadis yang sudah diikat lamaran atau dengan perempuan yang telah bersuami. Dalam Prasasti Kakurugan (1023 M) dari zaman Raja Airlangga disebut pejabat bernama Dyah Kakingadulengen berhak mendatangi atau memperoleh seorang gadis yang sudah diikat lamaran atau seorang perempuan yang sudah bersuami. Dua prasasti itu juga menyebutkan alasan mengapa orang-orang tadi mendapatkan hak istimewa .  Yang bersangkutan rupanya rela berkorban mempertaruhkan jiwa dan raganya dalam membela sang raja ketika perang. Namun, selain itu, tak diketahui jelas apa indikator seseorang bisa mendapat kekebalan hukum. Yang jelas hak itu muncul sebagai suatu ketetapan istimewa masa Jawa Kuno. “Dari hasil perbincangan singkat dengan beberapa sarjana epigrafi, sementara dugaan mengarah kepada pemberian hak  paradara  itu hanya dilakukan terhadap seseorang yang memiliki syahwat seksual tinggi,” jelas Suwardono.

  • Aparat Militer Larang Seminar Sejarah di Universitas Negeri Malang

    SEMINAR sejarah bertajuk “Perubahan dan Kesinambungan Historis dalam Perspektif Keilmuan dan Pembelajaran” yang semula bakal digelar pada 24 Oktober mendatang dibatalkan setelah aparat militer mendesak pihak kampus Universitas Negeri Malang (UM). Dalam surat pemberitahuan bernomor 10.10.85/UN32.7.5.3/KP/2018 yang diperoleh redaksi Historia.id , alasan pembatalan terdiri dari lima butir, antara lain mengkhawatirkan meluasnya pemahaman keliru dari masyarakat setempat yang beredar di media sosial hingga jadi sorotan pihak keamanan Kota Malang. Selanjutnya, penundaan itu merupakan hasil negosiasi panitia (Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Sejarah UM) dengan pihak Komando Resort Militer (Korem) dan Komando Distrik Militer (Kodim) Kota Malang. Seminar sedianya akan menghadirkan empat pembicara, yakni Asvi Warman Adam (sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI), Sri Margana (sejarawan Universitas Gajah Mada), Abdul Syukur (sejarawan Universitas Negeri Jakarta) dan Ari Sapto (sejarawan/Ketua Jurusan Sejarah UM). Dalam surat penundaan seminar yang mestinya dihelat di Aula Utama A3 Lantai 2 UM itu disebutkan pula bahwa penundaan berlangsung untuk batas waktu yang belum ditentukan. Sejarawan UGM Sri Margana yang diundang sebagai pembicara mengherankan alasan pembatalan tersebut. “Iya, saya dikirimi surat resmi yang ditandatangani (Ari Sapto selaku Ketua Jurusan Sejarah FIS UM dan Reza Hudiyanto selaku ketua pelaksana). Alasannya karena dianggap pihak Korem maupun militer, akan mengganggu stabilitas keamanan,” kata Sri Margana kepada Historia. Padahal menurutnya tema seminar bertema umum dan tak ada kaitannya dengan politik. “Tema akademik, kok. Saya juga belum membayangkan nanti mau membicarakan apa. Karena kan memang tema besarnya historiografi dan metodologi sejarah,” sambungnya. Doktor sejarah alumnus Universiteit Leiden, Belanda itu menduga kehadiran koleganya, Asvi Warman Adam, jadi pemicu larangan seminar ini. Sebagaimana diketahui, pada 26 Juli 2018 Asvi dikukuhkan sebagai professor riset LIPI, terkait tiga periode perdebatan dalam historiografi peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Asvi juga sejarawan yang selama ini dikenal luas giat menganjurkan penulisan sejarah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Soeharto. “Mungkin karena ada nama Pak Asvi di situ dan bidang yang ia tekuni kan memang politis dan sensitif,” imbuh Sri Margana singkat. Perihal ini, Asvi pun turut memberi klarifikasi. Bahwa ia juga dikirimi surat yang sama Rabu (10/10/2018) petang tanpa ada penjelasan lebih lanjut dari pihak panitia. “Tema seminar kan sangat umum. Para pembicara yang lain kan juga macam-macam (bidangnya), pasti tidak semua setuju dengan saya. Saya juga belum memberikan judul (pembicaraan). Belum juga saya siapkan materi apa. Bisa saja yang saya sampaikan makalah tentang (sejarah pertempuran) 10 November 1945,” timpal Asvi dihubungi Historia. Yang dipermasalahkan Asvi adalah alasan penundaan atau pembatalan seminar itu. Terutama soal poin di mana penundaannya setelah ada konsultasi dengan pihak aparat Korem dan Kodim Kota Malang. “Apa hubungannya? Agak aneh itu kalau dibatalkan. Apalagi undangan sudah disebar. Berita yang beredar di media sosial juga tidak dijelaskan. Lalu panitia berkonsultasi dengan Kodim dan Korem, itu kenapa? Biasanya perizinan kan dari kepolisian. Mestinya juga kalau kegiatan di kampus mestinya tak perlu minta izin. Kalau ada pihak yang tidak setuju, menurut hemat saya pribadi, memang ada panitia yang takut,” tandasnya. Menurut Asvi semua kegiatan di kampus yang bersifat akademik, mestinya bebas digelar. Dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, di mana kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi merupakan tanggung jawab civitas akademika. Sayangnya, pihak kampus UM tak juga bersedia memberi keterangan soal pembatalan seminar ini. Narahubung seminar itu, Arif Subekti, tak kunjung mengangkat telepon kala dihubungi Historia. Sementara ketua pelaksana Reza Hudiyanto, malah sempat mengaku tak tahu-menahu tentang seminar itu? “ Oh , saya tidak tahu soal seminar itu, Mas. Maaf sebentar, saya sedang repot,” singkatnya. Sampai berita ini diturunkan, pihak Universitas Negeri Malang belum bisa dihubungi.

  • Sejarah Gempa Bumi dan Tsunami di Bulukumba

    UNIT Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Polres Bulukumba, Sulawesi Selatan, menangkap IA (15 tahun) yang menyebarkan video hoax tentang gempa Bulukumba, pada Senin malam (8/10). Sebelumnya, pada Minggu (7/10) memang terjadi gempa dengan magnitudo 4,8 di wilayah Bulukumba. Merespons video yang beredar di berbagai media sosial tersebut, Sutopo Purwo Nugroho melalui akun twitter -nya (@Sutopo_PN), menjelaskan bahwa “beredar banyak hoax dampak gempa 5,2 SR di Palu dan 4,8 SR di Bulukumba. Kedua gempa tersebut tidak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan rumah, jalan dan bangunan lain. Video ini adalah dampak gempa 7,4 SR di Donggala pada 28/9/2018. Jangan ikut menyebarkan hoax .” Dalam sejarah, Bulukumba pernah diguncang gempa yang mengakibatkan tsunami besar. Menurut Imanuela Indah Pertiwi, peneliti dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah IV Makassar; M. Hattah Fattah dan Abdul Rauf, keduanya peneliti dari Universitas Muslim Indonesia, Makassar; secara geografis sebelah selatan Provinsi Sulawesi Selatan berbatasan langsung dengan Laut Flores yang memiliki sesar aktif yang memanjang dari pantai utara Lombok hingga sebelah timur laut Bali. Sesar aktif ini dikenal sebagai Back Arc Thrust (sesar naik belakang busur kepulauan). Aktivitas sesar aktif tersebut yang menyebabkan banyak terjadi gempa bumi di utara kepulauan Sumbawa hingga Flores. Seperti pada 29 Desember 1820, gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,5 dengan pusat di Laut Flores mengguncang Sumbawa dan Sulawesi. Menurut para peneliti tsunami tersebut terjadi di beberapa lokasi, membentang dari Sumenep ke beberapa daerah di sepanjang pantai selatan Sulawesi. Di Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, gempa berlangsung lebih dari dua menit, diikuti tsunami yang mengempaskan kapal yang berlabuh di teluk ke pedalaman, rumah dan pohon-pohon tumbang, dan banyak struktur batu runtuh. Setelah gelombang tsunami, lumpur menutupi tanah dan rumah, serta beberapa orang tewas akibat reruntuhan bangunan. Di Makassar, Sulawesi Selatan, gempa berlangsung dua setengah menit ( Bataviashe Courant , 28 April 1821), yang juga dirasakan di tempat-tempat lain di pantai selatan Sulawesi. Tsunami menghancurkan desa-desa di barat Bonthain sampai timur Bulukumba, termasuk desa Terang-Terang dan Nipa-Nipa. Di Bulukumba gempa berlangsung sekitar 4-5 menit. Gempa mengakibatkan tsunami setinggi 25 meter menyapu pelabuhan Bulukumba dan merendam daratan sejauh 350-450 meter. Beberapa kendaraan terlempar dari pantai ke sawah, serta barak dan benteng hancur. Tsunami menewaskan sekitar 500 orang. Berdasarkan data sejarah gempa dan tsunami (29 Desember 1820) dan gempa berpotensi tsunami (3 Maret 1927), para peneliti menghitung potensi kejadian gempa dan tinggi tsunami di Bulukumba. Hasil penelitiannya dimuat di Jurnal Geofisika , Vol. 16, No. 01 (2018) yang diterbitkan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia. Hasilnya, menurut mereka, berdasarkan data historis gempa bumi di Laut Flores yang berpotensi tsunami adalah gempa bumi magnitudo 7,5 (1820) dan 7,1 (1927). Berdasarkan perhitungan, mereka memprediksi pengulangan gempa bumi dengan magnitudo 7,5 dan 7,1 adalah 41 tahun (1861) dan 22 tahun (1949). Sedangkan tinggi tsunami dengan magnitudo 7,1 (17 meter) dan magnitudo 7,5 (25 meter). Prediksi itu terjadi pada 1949, gempa bumi di Laut Flores berkekuatan magnitudo 6,4 (bukan 7,1). Sedangkan pada 1861 tidak terjadi gempa bumi.

  • Nyai Tak Pernah Diakui

    MENGENAKAN kebaya putih berhias renda, seorang perempuan berjalan sambil membawa kunci rumah. Sepasang kakinya memakai terompah atau selop. Di sela jarinya terselip sapu tangan putih. Jika tuannya orang cukup kaya, perempuan itu akan memakai beberapa perhiasan seperti anting atau kalung. Itu merupakan gambaran nyai, perempuan pribumi yang dijadikan teman hidup tuan berkulit putih tanpa ikatan resmi. Ada beragam cara seorang perempuan bisa diangkat menjadi nyai. Beberapa diambil dari salah satu pelayan rumah. Ada juga yang dimakcomblangi jongos si tuan. Begitu si tuan Belanda memerintahkan “cari perempuan” pada seorang jongos, tak lama kemudian disodorkanlah seorang gadis pribumi. Cara paling menyakitkan adalah “dijual” oleh keluarga atau suaminya. Si perempuan yang semula orang bebas langsung terikat untuk menghamba pada tuan Belanda. Sementara, suami atau keluarganya menikmati uang hasil menjual istri atau kerabat sendiri. Nasib si perempuan memang berubah begitu dijadikan nyai oleh lelaki Belanda. Statusnya lebih tinggi dari pelayan-pelayan lain di rumah orang Belanda. Kebaya sederhananya tak pernah lagi dipakainya. Namun, status nyai tak pernah diakui masyarakat kolonial, bahkan dianggap aib atau setara dengan pelacur. Meskipun fenomena umum di kalangan lelaki Eropa, hubungan nyai-tuan selalu disembunyikan. Pada 1620-an, gereja melarang pegundikan. Dengan ancaman tak boleh kembali ke negaranya, VOC pun melarang pegawainya menikahi perempuan pribumi. Namun, larangan yang terus dikeluarkan tak sanggup menghentikan fenomena itu. Hingga akhir abad ke-19, hampir separuh lelaki Eropa di Hindia Belanda masih tinggal dengan nyai. Awetnya fenomena pergundikan ini, menurut Ann Stoler dalam “Making Empire Respectable”, terjadi lantaran ambivalensi masyarakat kolonial dalam memandang nyai. Mereka tak ingin mengakui pergundikan karena dianggap nista, tapi mereka merasa diuntungkan karena menimbulkan stabilitas politik dan kesehatan kolonial. Nyai membuat mereka tak perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, juga tak perlu pusing oleh penyakit kelamin yang tersebar di rumah bordil. Tak ada yang menyenangkan dari hubungan nyai-tuan: status tak jelas, hak pun tak ada. Nyai tak punya hak resmi hingga tak bisa menuntut ke mana pun bila tertimpa hal buruk. Ketiadaan pengakuan secara hukum oleh pemerintah itu menimbulkan perlakuan semena-mena. Bataviaach Nieuwsblad , 9 Maret 1898, sepeti dikutip Reegie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, memberitakan tentang seorang nyai yang dipukuli tuannya. Nyai yang tak tahan sikap kasar si tuan itu lantas mengadu pada tetangganya. Alih-alih mendapatkan permintaan maaf, nyai yang ketahuan mengadu itu justru dapat makian dan pukulan yang makin keras, bukan hanya oleh si tuan tetapi juga ayah si tuan. Tak sampai di situ, si nyai diminta mencuci sendiri bajunya yang berlumur darah dan membersihkan sisa-sisa penganiayaan pada dirinya. Yang lebih buruk lagi, tak ada ganjaran hukum yang diterima si penganiaya. Lelaki Eropa membenarkan diri untuk berlaku kasar dan tidak beradab karena superioritas kulit putih, uang, dan keinginan menunjukkan maskulinitasnya. Jika menyangkut perilaku seksual, tulis Baay, mereka berlaku sangat buruk, bahkan kotor. Lelaki Eropa menganggap perempuan pribumi hanya objek untuk dinikmati secara seksual dan diperlakukan semena-mena. Jika sudah diusir, para nyai tak bisa menolak. Pun hak atas anak dari hasil hubungannya dengan si tuan. Hal itu diatur pemerintah kolonial lewat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1848 pasal 40 dan 354. Legislasi itu berbunyi hak asuh anak hasil pergundikan tidak dapat diambil oleh ibunya sekalipun si tuan meninggal. Celakanya, pemerintah kolonial juga menganggap anak hasil hubungan nyai-tuan tidak sah secara hukum. Baru pada awal abad ke-19 pemerintah menerima pendaftaran kelahiran anak di luar nikah. Lelaki Belanda yang enggan mengakui anak hasil pergundikannya bisa mendaftarkan kelahiran anak mereka namun dengan nama belakang dibalik. Misal, pegawai kehakiman Belanda, JTL Rhemrev yang lahir dari seorang gundik dan tuannya, bernama belakang Vermehr. Status anak yang tak diakui pun sama tak jelas dengan ibunya, tak diterima sebagai orang Eropa karena mengancam prestise kulit putih tapi tidak juga masuk golongan pribumi. Pada abad ke-19, si tuan bisa mengakui anak hasil hubungan pergundikan. Namun berapa pria Eropa yang secara sah mengakui keturunan mereka, banyak yang dipulangkan ke Belanda, Inggris, atau Prancis. Hal itu memutus hubungan sekaligus menelantarkan nyai dan anak-anaknya, meninggalkan si nyai dan jabang bayi tanpa bekal hidup. Ann menyebut buruknya perlakukan Belanda kepada para nyai sebagai eksploitasi seksual dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar.

  • Pemburu dari Masa Lalu

    IA gagah bertengger di kanan depan halaman gedung Museum Mesin R. Ahmad Imanullah. Sejak kedatangannya bersama tiga mesin perang udara baru lain pada April 2018, ia menambah ramai kompleks Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta. Tapi tak seperti yang lain, pernah mengawal dirgantara republik, ia justru pernah jadi musuh Indonesia di angkasa. Puluhan tahun lalu, ia “mangkat”. Ironisnya, ia ditinggalkan begitu saja oleh Belanda sementara ke-11 kawannya dibawa pulang ke Negeri Tulip. Begitu lama ia hanya jadi bangkai di pangkalan udara (lanud) di Pulau Biak, Papua, sebelum direstorasi total. Burung besi itu adalah jet tempur Hawker Hunter (varian) F.4 yang kadang disebut Hawker Hunter Mk (Mark) 4. Pesawat bernomor registrasi N-112 yang tertera di kedua sisi haluannya itu berbeda dari koleksi-koleksi lain Museum Dirgantara. Nomor registrasi itu milik pesawat-pesawat AU Belanda. Siapa pemilik awalnya dipertegas oleh roundel (logo Angkatan Udara/AU) biru-merah-putih di kedua sisi bagian ekor dan masing-masing sepasang di atas dan bawah sayap menegaskan. Roundel atau logo AU Belanda di Bawah Sayap Pesawat (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Memang sengaja kita tampilkan persis seperti aslinya agar jadi pembelajaran dan pengetahuan bahwa Belanda bercokol lama sekali di negara kita. Termasuk saat operasi-operasi pembebasan Irian Barat (kini Papua),” terang Kepala Museum Dirgantara Mandala Kolonel (Sus.) Dede Nasrudin kepada Historia . Perongrong Angkasa Indonesia Timur Di eranya, pesawat buatan Hawker Aircraft (kini Hawker Siddeley) yang diproduksi dengan total 64 varian ini pernah jadi salah satu pesawat pemburu terbaik. Namun, sejatinya pesawat ini merupakan multirole fighter dengan kemampuan mengemban beragam tugas sekaligus mulai pengintai, penyerang darat, hingga pembom. Selain Royal Air Force (RAF/AU Inggris), penggunanya adalah Koninklijke Luchtmacht (AU Belanda), Uni Emirat Arab, Belgia, Cile, Denmark, Irak, India, Yordania, Kenya, Kuwait, Lebanon, Oman, Peru, Qatar, Rhodesia, Arab Saudi, Somalia, Zimbabwe, dan Singapura. Menurut David J. Griffin dalam Hawker Hunter: 1951-2007 , pesawat ini bisa mengangkasa dengan dua mesin: Rolls-Royce Avon 107 dan Armstrong Siddeley Sapphire 101. Untuk persenjataannya, selain dibekali empat senapan mesin ADEN kaliber 30 milimeter, Hawker Hunter dilengkapi misil AIM-9 Sidewinder dan AGM-65 Maverick. Pesawat Hawker Hunter F.4 di depan Museum Mesin R. Imanullah (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Khusus untuk varian F.4, spesifikasinya memiliki konfigurasi single seat , ditenagai mesin Rolls Royce Avon 115, dan dilengkapi tangki bahan bakar cadangan di bawah kedua sayapnya. Varian ini muncul pertamakali pada 20 Oktober 1954. Varian inilah yang lantas jadi bagian dari AU Belanda di Biak, pulau kecil di utara Papua yang hingga awal 1960-an tak kunjung diserahkan Belanda kepada Indonesia  kendati penyerahan kedaulatan telah dilakukan Belanda sejak 27 Desember 1949. “Hawker Hunter yang ini (N-112) merupakan bagian dari Skadron 322 AU Belanda. Sejak 1958 kekuatan militer Belanda di Irian Barat terus bertambah, termasuk didatangkan 12 Hawker Hunter F.4 yang diangkut Kapal Induk (HNMLS R81) Karel Doorman pada 1961,” ujar pengamat sejarah militer Wawan Kurniawan Joehanda kepada Historia . Penulis KNIL: Dari Serdadu Kolonial menjadi Republik , Djocjakarta: Mereka Pernah di Sini dan Palagan Maguwo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia: 1945-1949 itu menambahkan, operasi-operasi Hawker Hunter kian intens sejak Presiden Sukarno menyerukan Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda pada 19 Desember 1961. “Ke-12 Hawker Hunter itu ditempatkan di Lanud Mokmer (kini Lanud Manuhua), Biak. Pilot dari N-112 ini Sersan Van Soest. Dalam sebuah latihan pada 30 Mei 1962, mengalami kerusakan di sabuk pasokan peluru. Akibatnya magasennya meledak hingga sistem kelistrikannya ikut mati,” lanjut Wawan. Tampak Asli Pesawat Hawker Hunter F.4 saat Kokpitnya Dibakar Belanda pada 1962 (Foto: Dok. Ministerie van Defensie) Dalam kondisi rusak parah di mana tekanan hidrolik pesawatnya ikut hilang, pilot Van Soest mati-matian berusaha mendaratkan pesawat ke Lanud Mokmer. Dia berhasil mendaratkan pesawatnya meski sampai melewati batas landasan dan menabrak pepohonan di ujung landasan. Pesawat pun ringsek. “Setelah diplomasi Belanda di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) gagal mempertahankan Irian Barat dan kuatnya tekanan serta kecaman dunia internasional, Belanda akhirnya angkat kaki. Semua alutsistanya ditarik, kecuali N-112 karena sudah tak lagi bisa diperbaiki. Kokpit pesawat dibakar habis agar teknologi avionik-nya tak jatuh ke tangan militer Indonesia,” lanjutnya. Direstorasi Lama menjadi rongsokan, pesawat N-112 direstorasi akhir tahun lalu. “Pesawat ini setelah terlunta-lunta di dekat sebuah hanggar Lanud (Manuhua) Biak, dibawa ke sini atas perintah Panglima TNI (Marsekal Hadi Tjahjanto, red .). Dibawa dari Biak via Makassar dan diperbaiki di Malang. Di Malang direstorasi selama 3-4 bulan. Setelah itu baru dibawa ke museum dan dirangkai lagi terlebih dulu selama dua minggu,” sambung Dede. Restorasi digarap 30 teknisi Sathar 32 dari Depo Pemeliharaan 30 Lanud Abdulrachman Saleh, Malang di bawah pimpinan Mayor (Tek) Slamet Riyanto. Untuk menyamai aslinya, tim museum diikutsertakan untuk melakukan riset mendalam. Kepala Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Kolonel (Sus.) Dede Nasrudin (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Riset dari tim museum dan hasilnya kita berikan ke para teknisi agar ukuran, logo ( roundel ), nomor registrasi, bahkan warna kamuflase Belanda-nya benar-benar sama seperti aslinya. Kokpit yang dibakar habis juga dibuat seperti aslinya. Hanya saja, memang tidak ada engine -nya karena memang sepertinya dulu sempat dibawa pulang Belanda,” imbuhnya. Pesawat N-112 akhirnya diresmikan Panglima TNI pada 24 April 2018 bersamaan dengan peresmian tiga koleksi baru: Hercules C-130B, Fokker F-27, dan Ilyushin Il-14 Avia, serta Museum Mesin R. Ahmad Imanullah. “Pesan Panglima, agar penambahan koleksi museum ini tak hanya dijadikan wahana edukasi dan rekreasi, tapi juga agar bisa dirawat betul. Karena perjuangannya luar biasa untuk membawa dari Biak ke sini. Orang Belanda pun dari Museum Soesterberg (Nationaal Militair Museum) sampai kaget kita punya koleksi ini. Di sana pun mereka cuma punya dua yang seperti ini,” tandas Dede.

  • Jenderal Soedirman Menjadi Tawanan

    PADA masa perjuangan muncul suasana saling mencurigai. Sampai-sampai rombongan gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman pernah ditawan oleh Batalion 102 pada 23 Desember 1948 di Bendo, kurang lebih 24 kilometer dari Tulungagung. Kapten Soepardjo, ajudan merangkap sekretaris pribadi Soedirman, dibawa ke markas batalion. Sedangkan Soedirman tetap di dalam mobil dengan pasukan pengawal yang telah dilucuti. Di markas batalion, Soepardjo hanya bertemu beberapa perwira yang tak dikenali. Dia pun meminta bertemu dengan komandan batalion, Kapten Zainal Fanani. Seorang perwira menjawab sulit bagi tawanan bertemu dengan komandan. Soepardjo digeledah dan didapati buku harian yang isinya lengkap dengan gambar pertahanan dan catatan yang berhubungan dengan ketentaraan. Untung ada seorang perwira yang mau memanggil komandan batalion. Waktu sudah magrib. Soedirman minta supaya diizinkan ke mesjid untuk salat. Permintaan itu dipenuhi dan dia dibawa ke mesjid yang letaknya tidak jauh dari markas batalion. Harsono Tjokroaminoto, penasihat politik Soedirman, yang besarung dan kaos oblong keluar dan duduk di teras mesjid. Dia bercakap-cakap dengan pasukan penawan. Tak lama kemudian datanglah komandan batalion dengan mengendarai jip. Kepala piket melapor bahwa pasukannya telah menawan satu rombongan dan melucuti senjatanya. Sementara komandan menerima laporan, matanya tertuju kepada Harsono dan mengenalinya. Zainal Fanani menanyakan, “di manakah tawanan itu?” “Di mesjid,” jawab Harsono. Zainal Fanani kemudian masuk ke mesjid dan menghampiri tawanan itu. Dia terperanjat ketika melihat bahwa tawanannya adalah Jenderal Soedirman. “Mayor Fanani langsung sujud di depan Pak Dirman sambil menangis dan meminta maaf atas kekeliruan pasukannya,” kata Harsono dalam otobiografinya, Selaku Perintis Kemerdekaan . Zainal Fanani kemudian memberi hormat militer. Seketika itu juga Soedirman dipindahkan ke tempat yang baik. Semua anggota pasukan, termasuk para perwira merasa heran, mengapa komandannya memberi hormat kepada tawanan yang berpakaian preman, pakai peci yang sudah tua, mantel hijau dan tak memakai sepatu, hanya slof saja. Mereka pun terperanjat setelah diberi tahu bawah tawanan itu adalah panglima besar yang sedang menyamar. Malam itu, beberapa orang dikirim ke Tulungagung supaya mengadakan hubungan telepon dengan Kediri. Beberapa jam kemudian, dari Kediri datang mobil dengan para perwira staf Kolonel Soengkono untuk menjemput Soedirman. Malam itu juga rombongan berangkat menuju Kediri.

  • Asal-Usul Nama Haji Agus Salim

    Pada 8 Oktober 1884, seorang bayi laki-laki lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat. Dia diberi nama Masyudul Haq, nama seorang tokoh dari sebuah buku yang dibaca ayahnya, Sutan Mohammad Salim. Orang tuanya berharap anaknya itu kelak menjadi seorang yang sesuai dengan arti namanya: “pembela kebenaran.” Bagaimana Masyudul Haq berubah menjadi Agus Salim? Menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam H. Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, ketika Masyudul kecil, dia diasuh oleh seorang pembantu asal Jawa yang memanggil anak majikannya “den bagus” yang kemudian dipendekan menjadi “gus.” Kemudian teman sekolah dan guru-gurunya pun ikut memanggilnya “Agus”. Ketika berusia 6 tahun, Agus Salim diterima pada sekolah dasar Belanda, ELS (Europeese Lagere School). Setelah lulus, dia dikirim ke Batavia untuk belajar di HBS (Hogere Burger School). Dia lulus dengan angka tertinggi, tidak saja di sekolahnya, tetapi juga untuk sekolah HBS lain (Bandung dan Surabaya). Namanya terkenal di seantero Hindia Belanda di kalangan kaum kolonial dan terpelajar. Sayangnya, beasiswa kedokteran yang diajukan Agus Salim ditolak pemerintah Belanda. RA Kartini mengusulkan agar beasiswa yang diterimanya sebesar 4.800 gulden diberikan kepada Agus Salim juga tidak dikabulkan. Pada 1905, Agus Salim mendapatkan tawaran bekerja di konsulat Belanda di Jedah sebagai penerjemah dan pengurus urusan haji. Pada periode inilah, dia memperdalam agama Islam dengan berguru pada pamannya, Syeh Ahmad Khatib. Sepulang ke Tanah Air, dia sempat bekerja di dinas pekerjaan umum. Pada 1917, dia terjun ke dunia media massa dengan mendirikan dan sebagai pemimpin redaksi harian Neratja, Hindia Baroe , Fadjar Asia , dan Moestika . Bersamaan dengan itu, dia terjun ke dunia politik pergerakan melalui Sarekat Islam. Pada 1921-1924, Agus Salim menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Sarekat Islam. Meskipun poliglot (menguasai sembilan bahasa asing), dia justru yang pertama kali berpidato dalam bahasa Melayu/Indonesia di sidang Volksraad. Selama penjajahan Belanda, Agus Salim memang tak pernah ditangkap karena kegiatan politiknya. Namun, setelah Indonesia merdeka, dia bersama pemimpin pergerakan seperti Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, beberapa kali diasingkan. Agus Salim beberapa kali menduduki posisi menteri muda luar negeri Kabinet Sjahrir II, menteri luar negeri kabinet Amir Sjarifuddin dan Kabinet Mohammad Hatta. Dia dan beberapa tokoh lain berjasa dalam pengakuan kedaulatan dari negara-negara Timur Tengah. Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada 1953 Agus Salim mengarang sejumlahbuku, di antaranya Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal . Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai delapan orang anak, salah satu anaknya, Theodora Athia Salim (Dolly). “ The Grand Old Man (orang besar yang sudah tua). Haji Agus Salim seorang ulama dan intelek,” kata Sukarno. Agus Salim meninggal dunia pada 4 November 1954 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Namanya diabadikan sebagai nama jalan dan stadion sepakbola di Padang.

  • Keraguan Terhadap Pararaton

    PENUTURANNYA yang penuh mitos membuat  Serat Pararaton  banyak yang menyangsikan sebagai sumber sejarah. Namun, sejauh ini Pararaton masih belum tergantikan sebagai sumber penting yang mengungkap kondisi sosial, teruatama era Ken Angrok. Di samping Kakawin Nagarakrtagama yang ditulis Mpu Prapanca, Pararaton yang tak diketahui siapa penulis juga meriwayatkan era Singhasari hingga Majapahit. Tepatnya dimulai pada masa Ken Angrok, abad ke-13 sampai ke-14. Bahasannya, Jawa Madya. Sejarawan R. Pitono Hardjowardoyo mengatakan jika dibandingkan dengan Nagarakrtagama, maka isi Pararaton lebih beragam terutama ditinjau dari sudut sejarah kebudayaan. “Lazimnya, oleh para ahli sejarah, Nagarakrtagama lebih bisa dipercaya daripada Pararaton,” katanya Peneliti sejarah Jawa Kuno asal Belanda, C.C. Berg salah satu yang skeptis pada Pararaton. Terutama pada bagian awalnya yang tak jelas mana yang fakta dan mana yang khayalan. Dia berpendapat teks Pararaton secara keseluruhan lebih bersifat supranatural dan bukan berdasarkan kejadian sejarah. Sedangkan Bernard H.M.Vlekke menyebut kisah Pararaton menunjukkan konsep mitologis dan fakta historis terjalin, tak terpisahkan dalam kitab sejarah Jawa ini. “Sebagian pencampuradukan fakta dan fantasi tersebut, yang bagi sejarawan didikan Barat modern sangat menjengkelkan, memang disengaja,” tulisnya dalam . Maksud disengaja bahwa penulis Jawa Kuno punya tujuan yang bukan sekadar mendokumentasikan suatu peristiwa. “Tugas mereka juga untuk memperkokoh raja yang tenaga dalamnya menjadi saka guru kerajaan dan kesejahteraan rakyatnya,” kata Vlekke. Pitono pun mengatakan perlu diwaspadai jika Pararaton hanya dilihat dari sudut pandang politik. “Keterangan dalam tak diketahui dengan jelas asal-usulnya,” ujarnya yang pernah membuat tafsiran Serat Pararaton . Kendati begitu, kata Pitono, di Katuturanira Ken Angrok banyak unsur mitos yang sebenarnya punya latar belakang politis. Di dalamnya juga bisa didapat latar belakang sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari peristiwa sejarah pada abad ke 13-15.  Pararaton juga bisa dijadikan sebagai sumber pembanding. Pada 1897, penelitian pertama tentang Pararaton oleh filolog Belanda, J.L.A Brandes, diterbitkan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia) di Batavia. Penerbitan ini meliputi transliterasi naskah lontar  Pararaton  disertai terjemahan dan pembahasannya dalam bahasa Belanda. Hasan Djafar mengatakan penerbitan itu membuat sumber penelitian sejarah Singhasari dan Majapahit bertambah. “Walaupun pemberitaan  Serat Pararaton  tidak dapat seluruhnya diterima, dengan sumber lain sebagai bahan pembanding dan pelengkap, Pararaton  ternyata sangat berguna,” ujarnya. Khususnya periode Majapahit akhir yang menurutnya sangat gelap dan sedikit sumbernya. Pasalnya, Pararaton juga memberitakan raja-raja Majapahit akhir meski sangat berbelit.  “Genealogi dan urutannya sukar diikuti. Namun, dengan bantuan beberapa buah prasasti dan sumber sejarah Majapahit lainnya, kami coba susun,” kata Hasan.  Menurut Pitono, Pararaton dihasilkan di Pulau Bali pada abad ke-16. Sedangkan menurut Hasan Pararaton ber asal dari masa Majapahit akhir. Petunjuknya, kata Hasan, pada bagian akhir diketahui peristiwa yang disebutkan adalah gunung meletus pada 1403 Saka (1481 M). Tahun ini bisa jadi pegangan menetapkan waktu penulisan  Pararaton.  “ Serat Pararaton  ditulis tak lama setelah 1403 Saka, yaitu periode Majapahit akhir, pada masa pemerintahan Raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya,” tulis Hasan dalam Masa Akhir Majapahit . Lebih jauh lagi, sejarawan Warsito S. menilai kalau Pararaton adalah manifesto politik dari Maharaja Majapahit keturunan Ken Angrok, yaitu Girindrawardhana.  “Jadi Maharaja Majapahit, yang menyusun Pararaton  itu, mengesahkan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Ken Angrok terhadap Tunggul Ametung, karena Ken Angrok adalah ahli waris yang berhak atas takhta Tumapel,” tulis Warsito dalam “Benarkah Ken Arok Anak Desa?” termuat di Madjalah Bulanan Pusara Djilid XXVII No. 3-4 Maret-April 1966 . Terlepas dari itu, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menilai kalau Pararaton tetaplah memuat informasi penting. Sejauh ini Pararaton memuat info terlengkap mengenai sosok Angrok. “Bahkan bisa dibilang sebagai balada Angrok. Dari sebelum lahir sampai meninggal sampai beberapa penguasa pengganti,” kata arkeolog itu.

  • Salam Satu Nyali, Wani!

    CAK Gepeng begitu menggebu kala menyinggung Bonek, suporter klub Persebaya Surabaya. Selepas kenyang melahap nasi pecel di pinggir jalan dekat Tugu Pahlawan, semangatnya menyala lagi untuk berkisah. “Dari kecil, Mas. Sudah senang Persebaya walau aku kecilnya di Malang,” ujar anggota Bonek yang tinggal di kawasan Tambak Bayan itu kepada Historia . Gepeng tak segan memperlihatkan t-shirt hijau bertuliskan lirik ikonik chant , Bonek: ‘ Persebaya Kami Haus Gol Kamu ’ dan kaus jadi atribut fenomena ‘Tret Tet Tet’, sebuah mobilisasi Bonek ke Jakarta untuk final Perserikatan 1987-1988 kontra Persija Jakarta. “ Nah , kalau ikioleh dike’i (ini dikasih) Bobotoh waktu ikut pertandingan tandang ke Bandung,” lanjutnya menunjukkan syal bertuliskan ‘Bonek-Viking’. Dua kelompok suporter itu sejak beberapa waktu lalu bisa beraliansi. Cak Gepeng alias Liem Kim Hau, Satu dari Sekian Bonek Militan yang Pernah Turut Fenomena 'Tret Tet Tet' (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Dari kecil wes mbonek (sudah jadi Bonek), sudah sering mbolos buat nonton Persebaya di (stadion) Tambaksari (kini Stadion Gelora 10 November). Mulai besar, mulai ikut pertandingan-pertandingan luar kota. Ya termasuk pas ‘Tret Tet Tet!’ ke Jakarta. Pokok’e sering ikut keluar (Surabaya), yo Wani ! Sampek Matek (ya berani, sampai mati) bela Persebaya,” tandasnya. Muasal Bonek Dari Gepeng-lah Historia bisa bersua salah satu dedengkot Bonek, Andi Kristianto, di sebuah taman depan Kebun Binatang Surabaya (KBS). Seperti Gepeng, pentolan Bonek yang akrab disapa Andie Peci itu juga bukan asal Surabaya, melainkan Madiun. Fakta itu itu membuktikan Persebaya melekat dan mendarah-daging bagi segenap orang Jawa Timur. “Bonek itu awalnya hanya nilai-nilai saja. Di musim (kompetisi Perserikatan) 1987-1988, ketika itu Suratkabar Jawa Pos yang punya satu istilah Bonek. (Akronimnya) Bondo Nekat atau artinya modal nekat. Awalnya waktu itu nilai-nilai suporter memang diharuskan jadi suporter yang nekat. Waktu itu kan suporter yang berangkat ke Senayan membludak. Lahir juga (fenomena) ‘ Tret Tet Tet ’,” ujar Andie Peci kepada Historia. Di masa itu, belum lazim suporter tamu datang ke markas tim lawan. Bonek mempelopori suporter ikut datang ke markas tim lawan. Menukil Arek Bonek: Satu Hati untuk Persebaya karya Nor Islafatun, istilah Bonek pertamakali dicetuskan bos Jawa Pos , Dahlan Iskan, saat melihat banyak fans Persebaya di final Perserikatan 1987-1988 tak bisa masuk stadion lantaran zonder tiket. “ Wah, koen iku Bonek, Rek ! (Wah, kamu itu modal nekat!)” celetuk Dahlan, dikutip Nor Islafatun. Namun, pengamat sejarah Persebaya Dhion Prasetya punya pendapat lain soal muasal istilah Bonek. “Waktu itu Ketua DPRD Jawa Timur ngomong sama Pak Purnomo Kasidi (Ketum Persebaya). Dia lihat di bawah hotel tempat dia menginap (di Jakarta) banyak suporter berhamparan di halaman hotel. Dia bilang: ‘Wah, Bonek tenan arek-arek iku!’ Ya maksudnya, nekat tanpa bondo buat menginap. Sejatinya mereka bondo tapi pas-pasan” kata Dhion kepada Historia. Sementara, istilah ‘Tret Tet Tet” berkelindan dengan mobilisasi oleh Jawa Pos dan beberapa pihak lain di Surabaya untuk memberangkatkan puluhan ribu suporter ke Jakarta menggunakan bus, kereta api, kapal laut, hingga pesawat terbang. Dari upaya mobilisasi mencontoh suporter-suporter di Inggris itu Jawa Pos mendapat feedback oplah yang besar dengan pemberitaan Persebaya dan Bonek. Apapun Dilakukan Bonek untuk Mengawal Persebaya Bermain Laga Tandang di Manapun (Foto: Repro "Arek Bonek: Satu Hati untuk Persebaya") “Tradisi itu kian masif di tahun-tahun berikutnya. Mereka yang enggak punya modal bisa tetap berangkat karena situasi transportasi saat itu masih relatif longgar ya, tidak seperti sekarang. Contoh, bisa naik kereta sampai ke atas-atas begitu,” sambung Andie Peci. Sebelum momen 1988 itu, belum pernah ada suporter terkoordinir di tanah air. “Istilahnya ya pendukung dulu sebutannya ‘ Arek ’. Ya budaya khas Suroboyo yang dibawa sebagai identitas dan asalnya. Misal, Arek Wonokromo, Arek Tambak Bayan, Arek (Tanjung) Perak,”. Di tahun 1988 itupun baru berupa sebutan. Tapi kalau kita bilang Bonek secara (komunitas) suporter, baru muncul tahun awal 2000-an,” tambah Dhion. Akur Tanpa Organisasi Terstruktur Berbeda dari Viking (suporter Persib) atau The Jakmania (suporter Persija), Bonek tak punya organisasi terstruktur. Pun begitu mereka tetap akur dalam beratraksi, berkoreo hingga beryel-yel saat mendukung Persebaya. “Memang Bonek tidak ada struktur yang tersentralisir. Tapi bahwa ada struktur-struktur (informal) kecil di komunitas, di kota-kota, kabupaten, itu ada. Tapi tidak ada organisasi yang memberi arahan atau instruksi. Dulu pernah dibentuk Arek Bonek 1927 di mana saya ditunjuk presidium-nya. Tapi itu hanya sebatas sampai perjuangan melawan ketidakadilan PSSI saja di 2010,” tambah Andie Peci. Ketiadaan organisasi membuat Bonek tak punya ketua umum, presiden, apalagi panglima resmi. Untuk mengurus laga kandang dan mengatur bagaimana koordinasi koreo maupun atraksi, lazimnya tiga koordinator informal –yang biasa menempati tribun utara, timur, dan selatan– akan berembuk. Itu berlaku sebatas untuk di stadion. Usai pertandingan, mereka bubar ke kelompok masing-masing. Dedengkot Bonek Andie 'Peci' Kristianto (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Sebenarnya usulan itu pernah diusulkan banyak komunitas, membuat struktur organisasi yang baku. Tapi ada hal yang kita harus pikirkan secara bersama. Karena kan tipikal dan karakter arek-arek Suroboyo berbeda-beda. Ya seperti Perang 10 November (1945) saja, rakyat berjuang tanpa ada struktur,” tutur pria kelahiran Madiun 40 tahun silam itu. Adanya organisasi, kata Andie Peci, juga akan diikuti beberapa dampak dan potensi negatif. Salah satunya, kekhawatiran dibawa ke arah politik di samping monopoli kekuasaan di bawah satu kepemimpinan. Nantinya, yang paling ditakutkan adalah timbulnya perpecahan, gontok-gontokan akibat dua potensi dampak negatif tersebut. “Menjadi suporter yang baik itu sederhana: mendukung klubnya dan tidak merugikan klubnya. Kalau semua sudah bisa begitu, struktur tidak dibutuhkan. Cukup menjadi Bonek yang tidak merugikan Persebaya,” jelas Andie Peci. Meski tanpa organisasi, Bonek bisa berelasi dekat dengan klub. Hal itu tidak muncul begitu saja. “Sebenarnya sudah mulai diawali dengan pengadaan Kartu Persebaya Selamanya. Langsung terafiliasi dengan klub. Untuk saat ini tercatat 55 ribu yang resmi memegang kartu anggotanya walau aslinya jumlah Bonek lebih dari itu,” imbuhnya. Sebagai pengikat kesetiaan dengan manajemen klub, sambung Andie Peci, sudah lama terjadi komitmen bersama walau tak tertulis. Yang menjadi pegangan Bonek adalah pengaruh besar mereka di hadapan manajemen klub. “Kami sering kritik tajam, demo besar-besaran terhadap manajemen. Seperti tahun kemarin, kita lengserkan pelatih Iwan Setiawan. Bonek punya posisi bargain , kekuatan kami luar biasa di hadapan manajemen. Padahal dulu Bonek tidak seperti ini. Sikap kritis terbangun setelah adanya perjuangan beberapa dari kami, di masa kritis (Persebaya tidak diakui 2010),” tutup Andie Peci.

  • Kemal Idris Ingin Kawin Saat Disergap Tentara Sekutu

    PADA April 1946, Mayjen TNI Didi Kartasasmita, komandan komandemen Jawa Barat, tiba-tiba memerintahkan Mayor Kemal Idris, Komandan Batalion Resimen Tangerang, untuk meninggalkan Tangerang dan mundur ke markas di Balaraja, lalu membuat pertahanan di Cikupa, Curug. Sesampainya di Balaraja terjadi pertempuran. Sekutu melakukan serangan besar-besaran. Karena kekuatan tidak seimbang, tentara Indonesia secara berangsur melarikan diri, kecuali lima orang yang ditahan oleh Kemal agar tidak meninggalkan medan pertempuran. Mereka terperangkap dalam kepungan musuh. Dalam pikiran Kemal terbayang dua pilihan ditangkap atau ditembak mati. “Dalam keadaan terjepit itu, saya berkaul dalam hati: jika saya lolos dari kepungan ini hidup-hidup, saya akan kawin,” kata Kemal dalam biografinya, Bertarung dalam Revolusi. Mengapa kawin? Kemal berpikir jika mati dalam pertempuran tentu tidak ada yang melanjutkan keturunannya sementara dia masih jejaka. Kemal memberikan instruksi, “mari kita serang satu titik, kita berlari sambil menembak!” Kemal dan anak buahnya berhasil lolos dan melepaskan diri dari sergapan musuh dan kemudian mencari tempat perlindungan yang aman. “Sesuai dengan kaul saya, maka saya menemui ibu pacar saya Herwinur Bandiani Singgih yang biasa dipanggil Mami,” kata Kemal. “Mami, saya mau kawin.” “Iya, saya sudah tahu.” “Dengan anak Mami.” “Saya sudah tahu. Apakah kamu sudah memberi tahu pada yang bersangkutan?” “Belum, Mami.” “Tanya dulu dong sama yang bersangkutan.” Hari itu, Kemal tidak memperoleh jawaban dari pacarnya yang baru duduk di SMP. Setelah Tangerang jatuh, ada perintah supaya pasukan dipindahkan ke Purwakarta. Kemal berpisah dengan pacarnya. Keluarga pacarnya lewat Pelabuhan Ratu, sedangkan pasukan Kemal lewat daerah Gunung Salak. Di daerah Leuwiliang dan Jasinga ada sebuah perkebunan karet, Kemal bertemu kembali dengan pacarnya. “Kamu mau nggak kawin dengan saya?” Pacarnya menggeleng kepala. Kemal mengancam, “Kalau kamu nggak mau kawin dengan saya, sudahlah. Saya mau gila-gilaan.” Mereka berpisah, tetapi kemudian bertemu kembali di Sukabumi. Di sana, Kemal tanya lagi kesediaannya berumah tangga. Dia mengangguk setuju. Kemal menikah dengan Herwinur Bandiani Singgih pada 13 Juli 1946 di Sukabumi. Karier militer Kemal mencapai Panglima Kostrad dan Panglima Komando Antar Daerah di Indonesia Timur. Setelah itu, dia menjadi duta besar Yugoslavia dan Yunani.

  • Operasi Militer Amerika Terbodoh

    DI bawah kabut pekat dan udara dingin yang nyaris membekukan, 600 personil Special Service Forces (SSF) Amerika Serikat (AS) mendayung perahu karet-perahu karet mereka untuk mencapai Pulau Kiska di Kepulauan Aleut. Pukul enam pagi 15 Agustus 1943, pasukan gabungan dari angkatan darat dan angkatan laut itu menginjakkan kaki di pantai. Setelah mengamankan garis pantai, mereka langsung merangsek ke bagian lebih dalam pulau. Tiga puluh menit kemudian, gelombang pertama pasukan utama tiba di pantai Kiska. Kabut pekat yang membuat jarak pandang nyaris nol meter membuat pergerakan mereka amat lambat. Namun, baik personil SSF maupun pasukan utama semua mengalami kebingungan di detik-detik awal Operasi Cottage –operasi amfibi yang dilakukan AS dan Kanada untuk merebut Pualu Kiska– itu. Alih-alih mendapat sambutan tembakan gencar dari tentara Jepang seperti sebelumnya di Pertempuran Attu, mereka justru disambut oleh kesunyian. Tak ada satu suara lain yang menghampiri telinga mereka selain suara mereka sendiri. Mengembalikan Pulau yang Hilang Pendudukan Kepulauan Aleut oleh Jepang menjadi pukulan terhadap Amerika. Sejak direbut AL Jepang pada 7 Juni 1942, Aleut menjadi satu-satunya wilayah AS yang dikuasai Jepang. Pendudukan Aleut juga mengancam keamanan Kanada selaku tetangga AS. Upaya merebut kembali Pulau Kiska mulai dirintis akhir 1942. Laksamana Ernest J. King (kepala Operasi AL AS) memerintahkan Laksamana Chester Nimitz (panglima Armada Pasifik AL AS cum panglima Tertinggi Pacific Ocean Arena) menyiapkan pasukan untuk merebut kepulauan di lepas pantai Alaska itu. Bersama Letjen John L. DeWitt (panglima Komando Pertahanan Barat), Nimitz merancang operasi pembebasan Kiska. Setelah menunjuk Laksda Thomas Kinkaid sebagai komandan pasukan gabungan yang akan menyerbu Kiska dan pulau-pulau lain di Aleut, AS mulai memblokade laut dan membombardir Aleut dari udara. Akibatnya, sejak Maret 1943 Jepang hanya bisa menyalurkan logistiknya lewat kapal selam. Kesuksesan Kinkaid merebut Pulau Attu lewat Operasi Landcrab pada Mei 1943 membuat AS semakin siap merebut Kiska yang dijaga lebih dari 7000 personil garnisun Jepang. Operasi merebut Kiska, dinamai Operasi Cottage, akhirnya difinalisasi. “Skemanya diantisipasi dengan menggunakan dua gugus tugas penuh AL AS, TF51 dan TF16, ditambah lima tim tempur resimen. Kinkaid akan memimpin invasi, yang dijadwalkan 15 Agustus itu,” tulis Glen Roger Perras dalam Stepping Stones to Nowhere: The Aleutians Islands, Alaska, and American . Untuk pasukan daratnya, staf gabungan menunjuk Mayjen Charles Corlett. Total pasukan berjumlah 34 ribu personil terdiri dari pasukan AS dan Kanada. Pasukan AS akan mendarat di pantai selatan dan pasukan Kanada di pantai utara. Operasi didukung oleh 40-an kapal perang dari berbagai jenis dan lebih dari 250 pesawat. Namun, pada akhir Juli patroli udara Sekutu mendapatkan keanehan dari pengamatannya terhadap Kiska. Selain tembakan anti-pesawat Jepang menurun drastis, rutinitas di pulau hampir tiada. Pelabuhan Kiska tak lagi memperlihatkan aktivitas. Bangunan-bangunan rusak tak diperbaiki. Pun landas pacu yang rusak, tak sedikit pun mendapat perbaikan. Pada 28 Juli, sinyal radio dari Kiska berhenti total. Para analis dari intelijen Sekutu beranggapan Jepang telah mengevakuasi pasukannya dari Kiska secara diam-diam. Kinkaid menolak pandangan itu dan menetapkan Operasi Cottage tetap berjalan. Maka, pada 15 Agustus pagi Kiska kedatangan mula-mula 600 personil pasukan SSF, kemudian ribuan pasukan TF51 dan TF16. Pendaratan berjalan lancar karena terlindungi kabut pekat. Namun, hingga beberapa jam kemudian pasukan Sekutu tak menemukan seorang pun tentara Jepang. “Laporan pertama pasukan SSF disampaikan kepada kami sekitar pukul 09.15. Laporan ini adalah indikasi awal mengenai pergerakan musuh. Laporan mengatakan ‘pos-pos terdepan musuh semua telah tutup, semua personil telah pergi’,” ujar Mayor James Low, salah seorang komandan unit pasukan Sekutu, dikutip Michael G. Walling dalam Bloodstained Sands: US Amphibious Operations in World War II . Ketiadaan satu pun personil tentara Jepang membuat para personil Sekutu justru bingung dan khawatir. Veteran Pertempuran Attu yang ikut ke Kiska meyakini pasukan Jepang bersembunyi untuk memancing Sekutu. Begitu malam, tembak-menembak pun dimulai. Baik pasukan AS dari selatan maupun pasukan Kanada dari sisi utara beberapakali mengalami pertempuran-pertempuran sporadis singkat. “Terkadang suara ledakan granat tangan meyakinkan kami bahwa kami akhirnya berkontak dengan musuh. Laporan-laporan bahwa orang-orang telah dibayonet ketika sedang tidur dan bahwa mereka, musuh, dapat terlihat bergerak dalam kabut membuat kita percaya bahwa besok akan mendapatkan pertempuran besar,” ujar Kolonel Sutherland, komandan Sektor Selatan, dikutip Walling.   Setelah melewati malam dingin tanpa tidur, psikologis pasukan Sekutu makin tak karuan di hari kedua. Meski mereka telah terlibat kontak senjata di malam sebelumnya dan patroli-patroli menemukan tak hanya perlengkapan militer Jepang seperti jip atau kapal yang terbakar di pelabuhan, tapi juga rokok, kopi yang masih berasap, dan makanan yang seperti ditinggal sebentar oleh si empunya, tak satu pun serdadu Jepang terlihat. Kebingungan pasukan Sekutu makin bertambah ketika mengangkut mayat atau membawa rekan-rekan mereka yang terluka ke rumahsakit di pantai. “Ada yang salah di sini. Tak satu pun tubuh Jepang ditemukan. Bahkan, tak ada yang bisa ditemukan untuk menunjukkan musuh telah mendekati garis kita. Hanya ada darah orang Amerika yang tumpah. Apakah kita pintar untuk pertempuran ini atau apakah kita telah membunuh orang-orang kita sendiri?” lanjut Sutherland. Ketika pada 18 Agustus para personil Sekutu tetap tak menemukan seorang Jepang pun, pimpinan akhirnya memutuskan Operasi Cottage selesai. Pulau Kiska kembali ke pangkuan Amerika. Para analis intelijen AS benar, Jepang sudah pergi. “Pasukan Kimura tiba di Kiska pada pukul 1.40 malam 29 Juli tanpa insiden lebih lanjut. Dalam waktu satu jam, kapal-kapal itu dengan cepat memuat 5.100 personil dan memulai perjalanan pulang berisiko. Tidak satu pun anggota garnisun yang tersisa meskipun sebagian besar senjata ditinggalkan atau dibuang di pelabuhan. Sebelum berangkat, para insinyur Jepang menyetel peledak berjangka waktu untuk memberi kesan bahwa pertahanan pulau itu tetap berjalan,” tulis Glen Perras. AS dan Kanada kehilangan 92 prajuritnya plus ratusan lain yang luka-luka. Mayoritas yang tewas terjadi ketika kapal perang AS USS Abner Read menabrak ranjau Jepang. Sebagian lain, tewas oleh jebakan-jebakan Jepang, dan 24 lain oleh friendly fires antara pasukan AS dan Kanada yang saling salah sangka.

bottom of page