Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ke Jakarta Kami Kembali
Siang nyaris mencapai puncaknya, ketika lima truk berisi masing-masing 12 prajurit dari Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi memasuki wilayah Jatinegara. Semula tak ada sambutan. Para prajurit Belanda yang tengah berjaga di pos masing-masing hanya bisa bengong. Sementara khalayak pun cuma berbisik-bisik dengan sesamanya. “Barulah setelah melihat bendera merah putih yang kami pasang di bagian belakang truk, mereka berteriak riuh: “merdeka” dan “hidup TNI” sembari berlari ke arah kami…”kenang Ido bin Tachmid (95), eks kopral TNI yang saat itu ikut rombongan tersebut. Kompi I pimpinan Letnan Satu Marzoeki Soelaiman memang ditugaskan untuk memasuki Jakarta. Mereka merupakan salah satu pasukan yang akan mengamankan proses penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sekaligus mengawal Presiden Sukarno yang akan datang ke Jakarta pada 28 Desember 1949. Sebagai markas sementara, Letnan Kolonel Taswin A. Natadiningrat (pimpinan Markas Komando Basis Jakarta) menempatkan pasukan Marzoeki di sebuah asrama milik Muhammadiyah yang terletak dalam kawasan Pasar Senen. Marzoeki masih ingat, keberangkatan pasukannya dari Markas Komando Basis Jakarta, berjalan sangat lambat. Itu dikarenakan ribuan orang Jakarta ikut mengantar mereka. “Jarak Matraman-Senen kan sebetulnya tidak begitu jauh, tapi karena banyaknya tukang becak dan khalayak Jakarta yang ikut mengantar rombongan kami, jalanan jadi macet…”kenang Kapten (Purn) Marzoeki Soelaiman kepada Historia . Ada rasa haru dan bangga di dada setiap prajurit TNI saat mendapat sambutan yang sangat antusias tersebut, terutama bagi prajurit-prajurit kelahiran Jakarta seperti Marzoeki. Setelah sekian lama meninggalkan rumah, mereka akhirnya dapat melihat Jakarta lagi. “Setelah hampir tiga tahun bergerilya di hutan-hutan Cianjur dan Sukabumi, akhirnya kami bisa ke Jakarta untuk kembali …”ujar Marzoeki. Selanjutnya bersama pasukan Siliwangi lainnya dari Batalyon Siloeman, Batalyon Banteng dan Batalyon Kilat, anak-anak Kala Hitam terlibat dalam berbagai kegiatan di ibu kota termasuk upacara penyerahan kekuasaan militer dari KNIL kepada TNI pada 24 Desember 1949 dan penyerahan kedaulatan dari pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS di Istana Negara pada 27 Desember 1949. Namun dari sekian kegiatan penting itu ada yang membuat kesan tersendiri bagi Marzoeki, yakni saat pasukannya harus menjemput Presiden Sukarno di Lapangan Udara Kemayoran pada 28 Desember 1949. Marzoeki masih ingat, dengan kekuatan dua seksi (peleton), siang itu mereka berjaga di tepi landasan pesawat. Singkat cerita, pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Sukarno pun tiba. Begitu menjejak tanah Jakarta, Marzoeki bergegas menghampiri Sukarno dan dengan sigap memberikan penghormatan secara militer. “Selamat datang di Jakarta, Pak Presiden!”ujar Marzoeki. Sukarno sumringah. Sambil terseyum lebar, ia menjabat kuat tangan Marzoeki. “Bung dari Divisi Doponegoro ya?” tanyanya. Setelah terdiam sejenak, Marzoeki lantas menjawab: “Siap! Bukan Pak, saya dari Divisi Siliwangi…” Tiba-tiba wajah Sukarno langsung berubah. Sambil bermuka masam, ia tidak berkata lagi lalu meninggalkan Marzoeki begitu saja. Tentu saja sikap Sukarno itu membuat sang komandan kompi menjadi serba salah sekaligus merasa heran. Ada apa dengan Siliwangi? Hingga usianya kini 88 tahun, Marzoeki belum mendapat jawaban yang pasti akan sikap Sukarno itu.
- Demi Pengakuan Kedaulatan
Sebelum berangkat ke negeri Belanda untuk berunding, delegasi Republik dan BFO (Majelis Permusyawaratan Federal) telah sepakat soal Irian Barat. Keduanya sama-sama berpendirian bahwa Irian Barat harus dimasukan ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Terlebih bagi BFO yang mewakili Negara Indonesia Timur (NIT) karena memiliki ikatan sejarah dan politik yang kuat dengan wilayah itu. “Sukarno telah menginstruksikan agar Hatta tidak pulang (ke Indonesia) tanpa Irian Barat,” tulis Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta. Pada penghujung perundingan, Menteri Maarseveen menyingung isu sensitif. Dia mengecualikan wilayah Irian Barat dalam klausul penyerahan kedaulatan. Alasannya, Irian Barat bukan bagian dari Indonesia secara etnis dan kultural. Hatta dan wakilnya Mr. Mohammad Roem dari delegasi Republik menyanggah argumentasi Maarseveen. Mereka menyatakan bahwa Irian Barat tak dapat dipisahkan dengan dalil perbedaan etnisitas ataupun kebudayaan. Secara politis, Irian Barat terintegrasi ke dalam koloni Hindia Belanda. Sementara pokok penyerahan kedaulatan Belanda kepada RIS didasarkan atas semua wilayah yang dahulu merupakan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Perwakilan BFO untuk NIT ikut menyampaikan pendapatnya melalui Ide Anak Agung Gde Agung. Perdana Menteri NIT tersebut menjelaskan bahwa sebelum menjadi salah satu keresidenan Hindia Belanda, wilayah Irian Barat merupakan vassal dari Kesultanan Tidore Maluku yang kini (pada perundingan) termasuk dalam lingkup NIT. Menurut Agung, anggapan delegasi Belanda jika Irian Barat bukanlah lingkungan dari Indonesia tak dapat diterima dan sangat disesalkan. Tanpa mampu membantah apa yang dikatakan Hatta, Roem dan Agung, Menteri Maarseveen justru tetap pada pendiriannya. “Bahwa dengan sangat menyesal pemerintah Kerajaan Belanda tidak dapat memenuhi keinginan delegasi Indonesia,” demikian kata Maarseveen sebagaimana dikutip Agung dalam Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Perdebatan tentang Irian Dalam KMB, sesungguhnya Belanda belum mau mengakui kekalahnnya sepenuhnya. Untuk melepaskan daerah jajahan yang sangat berharga, diperlukan undang-undang yang disetujui mayoritas duapertiga anggota Parlemen Belanda yang ketika itu dikuasai golongan konservatif. “Dalam praktiknya itu berarti dua hal: dipertahankannya Papua Barat dalam kekuasaan Belanda dan pengaturan peralihan kedaulatan yang melindungi kepentingan ekonomi Belanda,” tulis Robert Elson, sejarawan Universitas Queensland yang mengkaji kawasan Asia Tenggara dalam The Idea of Indonesia . Dengan menguasai Irian Barat sekaligus akan menegakkan kembali harga diri Belanda sebagai salah satu negara imperialis terbesar di dunia. Menurut Mavis Rose, Hatta tampaknya memahami hal tersebut sebagai penyebab keengganan pemerintah Belanda menyerahkan Irian Barat. Oleh sebab itu, Hatta tidak meneruskan perdebatan ke arah tuntutan yang lebih jauh. Lagi pula, dia tak ingin mengorbankan kesepakatan perundingan yang telah diperoleh jauh-jauh hari sebelumnya. Bagi Hatta, revolusi telah selesai dengan memperoleh kedaulatan politik. Misi pengakuan kedaulatan menjadi yang terpenting sedangkan masalah Irian Barat dapat diselesaikan di kemudian hari. Berbeda halnya dengan Agung. Dia tetap berpandangan bahwa pemisahan Irian Barat dari RIS bertentangan dengan mandat yang diberikan kepadanya mewakili rakyat NIT. Hatta tak menampik pandangan Agung tersebut. Walau demikian, Hatta menambahkan jika perundingan KMB berakhir dengan kegagalan maka mereka akan pulang ke Indonesia tanpa pengakuan kedaulatan. Hal itu berarti perjuangan bersenjata untuk menghentikan penjajahan Belanda harus dilakukan bersama-sama. Anjuran serupa juga disampaikan oleh delegasi Republik untuk bidang militer, Kolonel T.B.Simatupang terhadap kelompok BFO. Simatupang menyatakan bahwa keadaan militer Republik sedang mengalami kekurangan logistik (peluru dan persenjataan). Kondisi tersebut akan menyulitkan jika pengakuan kedaulatan harus diperoleh lewat perjuangan fisik kembali. Pernyataan Simatupang itu bagi Arnold Mononutu – delegasi BFO mewakili parlemen NIT - memberikan pilihan yang sulit. Di saat yang sama, wilayah NIT juga sedang dikuasai oleh tentara Belanda. Dalam biografinya Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot yang ditulis Robert Nalenan, Arnold menyatakan BFO tidak akan mampu berbuat banyak untuk membantu Republik guna mengimbangi kekuatan militer Belanda yang jauh lebih kuat dan modern. Delegasi BFO akhirnya menimbang kembali tuntutannya. Usulan Hatta untuk berkompromi diterima. Memprioritaskan Pengakuan Kedaulatan Pada tanggal 31 Oktober, Merle Cochran dari UNCI membentuk suatu panitia kecil. Anggotanya terdiri dari Prof. Dr. Supomo (mewakili Republik), Mr. S. Blom (mewakili Belanda), dan Ide Anak Agung Gde Agung (wakil BFO). Panitia ini bertugas merancang formula untuk memecahkan masalah Irian Barat. Pada pukul 2 dini hari tanggal 1 November 1949, tercapailah kompromi mengenai status Irian Barat yang dapat diterima semua pihak. Isinya: Irian Barat berada dalam status quo dibawah penguasaan Belanda dan perundingan akan dilanjutkan kembali setahun kemudian. Keesokan harinya, naskah piagam penyerahan kedaulatan telah dirampungkan. Dengan status quo nya, pemerintah Belanda secara aktif melakukan perluasan wilayah eksplorasi di Irian Barat dengan membangun berbagai pos-pos pemerintahan. Kenyataan yang mesti di terima ini bertentangan dengan cita-cita Indonesia Raya dari Sabang sampai Merauke. Maka setelah itu, dimulailah perjuangan mengintegrasikan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia.
- Muda Melegenda, Tua di Panti Wreda
KAMAR sederhana itu setengah temboknya berkeramik. Beberapa foto seorang pembalap motor sedang beraksi memenuhi salah satu sisi dinding itu. Sebuah walker , alat bantu jalan mirip jemuran kecil, teronggok di sudut lain. Kamar itu merupakan kamar sebuah panti jompo Panti Wreda Karitas, Cimahi. Di kamar sederhana itulah Tjetjep Euwyong Heriyana, legenda hidup balap motor Indonesia, menjalani hari tuanya. Sudah sejak 2016 pembalap berdarah Tionghoa itu menjadi penghuni di sana. Meski masih punya empat anak, Tjetjep hidup sebatang kara. Dia tak ingat lagi kapan terakhir kali keluarganya datang. Hanya dua sahabatnya yang masih punya pertalian darah dengan mantan pembalap Bun Ki Yit, Leo dan Max Bunardi, yang kerap datang menjenguknya. Tak satupun foto istri atau anak-anak Tjetjep yang menempel di dinding kamarnya. “Ya memang tidak ada (foto keluarga). Tinggal itu saja (foto-foto lawas) yang tersisa. Piala-piala zaman dulu sudah pada hilang entah ke mana. Ya karena sebelumnya kan tinggal sama anak-anak pindah-pindah,” kata Tjetjep, menceritakan koleksi foto pajangan dindingnya yang hanya berisi foto masa keemasannya sebagai pembalap (1954-1974), kepada Historia . Dengan mata sayu, Tjetjep bercerita bahwa dulu dia memang pernah ditampung berpindah-pindah dari rumah anak yang satu ke rumah anak lainnya. Kadang di Bekasi, Gedebage (Bandung), Lembang, dan Bali. Pada akhirnya Tjetjep memilih untuk menetap di panti jompo. Warna mukanya berubah cerah ketika topik obrolan berganti dari persoalan keluarga ke pengalamannya semasa menjadi pembalap. Semangatnya berkobar lagi kala menceritakan bagaimana awalnya berkenalan dengan dunia balap. Tjetjep, yang lahir di Bandung pada 1939, baru mengenal dunia balap ketika remaja, 1950-an. Dia langsung gemar. Kegemaran itu dia seriusi sampai akhirnya menjalani debut balapan resmi perdana pada sebuah ajang road race di Tanjung Perak, Surabaya pada 1954. “Dari muda mah sudah suka kebut-kebutan di kota. Bapak saya bilang, ‘kalau berani, balapan di lapangan (sirkuit balap) saja.’ Ya saya mulai balapan tahun 1954 di Surabaya, pakai motor (merk) Jawa 350cc buatan Cekoslovakia. Lawannya waktu itu masih banyak orang-orang Belanda. Saya kalah di balapan pertama itu,” tuturnya dengan logat Sunda. Bukan Tjetjep namanya kalau patah arang. Sejumlah ajang balap terus dia ikuti kemudian. Sayangnya, dia tak ingat lagi menang atau kalahnya. Yang pasti, Tjetjep pernah memenangi Grand Prix (GP) Curug pada 1958 di Lapangan Terbang API (Kini STPI/Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia) Curug. “Tjetjep meraih (juara) pemenang pertama untuk klas senior 500cc yang diadakan di lapangan terbang API yang diselenggarakan oleh Posidja bersama Persatuan Penggemar Sepeda Motor BSA Djakarta,” tulis suratkabar Bintang Timur , 25 Juli 1958. Pada 1960-an, Tjetjep merambah Asia. "Sebelum zaman Pak Harto (Soeharto,presiden kedua) itu sulit bikin visa untuk balapan di luar negeri. Baru setelah 1966, zamannya Pak Harto, itu dipermudah buat pembalap tampil di luar negeri. Makanya ya kira-kira tahun 1966-lah baru pertama ikut GP di luar Indonesia," kenang Tjetjep. Dia beberapa kali mencicipi Grand Prix di Singapura, Malaysia, hingga Makau. Prestasi terbaiknya baru dicapainya di GP Makau 1970. Ketika itu, Tjetjep dibawa tim Yamaha dan meraih podium ketiga dengan menunggangi motor Yamaha TR2. Rekan setimnya, Benny Hidayat, memijak podium pertama alias juara dengan motor Yamaha YSI. Nahas, Tjetjep terpaksa gantung helm pada 1974. Kecelakaan parah di GP Batu Tiga, Kuala Lumpur, Malaysia, memastikan kondisi fisiknya tak lagi bisa melanjutkan karier balap. Sekitar sebulan Tjetjep menjalani perawatan patah tangan dan kaki di sebuah rumahsakit di Malaysia sebelum akhirnya dipindah perawatannya ke tanah air. “Di awal-awal sih enggak terlihat dia kenapa-kenapa. Tapi kemudian di pertengahan balapan, dia jatuh. Jatuhnya tidak ada insiden dengan pembalap lain, ya jatuh sendiri saja, begitu. Mungkin fisiknya masih kelelahan karena kan dia pas saat itu belum sepenuhnya sembuh dari cedera bahu sehabis jatuh sebelumnya,” ungkap Benny Hidayat kepada Historia . Kondisi fisik itu masih membekas di hari tuanya. Untuk berjalan, Tjetjep mesti dibantu sebuah walker . “Tapi untuk berdiri sih masih bisa. Sedikit-sedikit belajar jalan lagi pakai ini,” kata Tjetjep sambil menunjuk walker- nya. Kehidupannya perlahan memburuk selepas tak lagi balapan. Dia sering menganggur. Pekerjaannya hanya serabutan menjadi tukang kayu dan kusen. Selebihnya, dia menjalani hari-harinya dalam keprihatinan tanpa perhatian sedikit pun dari pemerintah hingga harus “ditampung” bergantian di rumah keempat anaknya sebelum menetap di panti jompo. “Ya yang namanya olahragawan zaman dulu ya. Dari pemerintah ya memang seperti tidak ada perhatian. Tidak seperti atlet-atlet sekarang yang bagus ekonominya. Tjetjep ya sekarang begini saja, sendiri di panti jompo. Kita yang kadang-kadang suka jenguk ke sini,” sahut Max Bunardi.*
- Tamu Pertama dari India
LAPANGAN Udara Maguwo, tepat 68 tahun yang lalu. Seorang perempuan India baru saja menjejak tanah Yogyakarta, ketika tangannya melambai ke arah khalayak. Mulutnya tak pernah berhenti tersenyum dan menyapa ramah setiap orang Indonesia yang menyambutnya. “Begitu mengetahui ada tamu negara dari India, masyarakat Yogyakarta berbondong-bondong datang ke Istana (Gedung Agung),” tulis Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid V (1949) . Rajkumari Amrit Kaur adalah tamu istimewa bagi rakyat Indonesia. Bisa disebut, Menteri Kesehatan India itu adalah orang asing pertama yang bertamu usai Indonesia secara resmi “lepas” dari Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949. Dan memang, selain untuk mengantarkan Dr. Subbaroyan (calon Duta Besar India untuk Indonesia), Rajkumari juga diamanahkan oleh Perdana Menteri Jawaharlal Nehru untuk mengucapkan selamat dari rakyat India kepada rakyat Indonesia. Saat tiba di Gedung Agung, Sukarno dan Fatmawati langsung menyambut murid kesayangan Mahatma Gandhi itu. Mereka lantas terlibat dalam pembicaraan yang sangat akrab. Ketika memperkenalkan Rajkumari kepada khalayak di depan Gedung Agung, Sukarno menyatakan bahwa tidak ada kawan yang paling akrab untuk Indonesia seperti India. “Kita berutang budi kepada India atas segala yang dilakukan mereka bagi kemerdekaan Indonesia,” demikian pidato Sukarno seperti dilansir Antara , 27 Desember 1949. Merespons pidato hangat dari Sukarno, Rajkumari mengingatkan adanya hubungan yang sudah berusia lama antara kedua bangsa. “Dan hubungan itu akan terus diperkuat karena India dan Indonesia kini sudah menjadi bangsa yang benar-benar merdeka,” ujarnya. Kepada media, Rajkumari juga menyampaikan kesan yang mendalam atas sambutan luar biasa rakyat Indonesia atas kedatangannya. Secara pribadi, ia pun menyatakan rasa senangnya bertemu langsung dengan Sukarno. “Dia adalah kepala negara paling mempesona yang pernah saya temui,” katanya seperti dicatat Antara . Rajkumari Amrit Kaur adalah intelektual perempuan terkemuka India. Besar dalam didikan dunia Barat namun pada akhirnya memutuskan untuk berguru kepada tokoh bangsa India, Mahatma Gandhi. Ketika India merdeka pada 1947, Rajkumari Amri Kaur didapuk sebagai Menteri Kesehatan dan merupakan menteri perempuan pertama yang duduk dalam kabinet India. Sejarah mencatat, Rajkumari pernah menjadi Presiden World Health Assembly pada 1950. Di negerinya, ia juga dikenal sebagai aktivis pemberantasan buta huruf dan penentang adat perkawinan paksa terhadap anak-anak kecil. Dalam usia 75 tahun, pada 1964, Rajkumari wafat. Rakyat India pun berkabung dan menyatakan duka mendalam atas kepergian perempuan yang selalu tersenyum itu. “Bagi bangsanya, Rajkumari adalah seorang putri penyelamat. Dia menghembuskan nafas terakhirnya saat berada di tengah orang miskin, anak-anak dan para perempuan lemah,” demikian tulis The New York Times edisi 7 Oktober 1964.*
- Mata Uang Zaman Kuno
JUAL beli bukan hal baru bagi masyarakat Hindu-Buddha awal. Wli, istilah Jawa Kuno, untuk beli ditemukan dalam prasasti dari 878 M. Begitu juga istilah Sansekerta, wyaya, ditemukan pada tahun yang sama dalam prasasti lain. “Ini mengindikasikan memang sudah ada transaksi jual beli pada masa itu. Namun, belum diketahui dengan pasti apakah memang semua transaksi menggunakan mata uang,” tulis arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa . Prasasti dari akhir abad 9 M hingga awal 10 M mengindikasikan mata uang perak dan emas telah umum digunakan. Jumlahnya terbatas dilihat dari nilai mata uang emas dan perak yang berharga besar. Maksudnya, untuk pembelian barang berharga tinggi, misalnya seekor kerbau kira-kira 39,569 gram emas atau mas 1 su. Jika dengan perak seberat 212,301 gram atau dha 5 ma 8. Sementara kambing, harganya pirak 4 ma. Menurut berita Cina yang ditulis Chau Ju Kua, uang emas pada abad 13 M digunakan pula untuk menggaji pegawai. “Untuk barang yang berharga kecil tentunya ada jenis mata uang lain yang sampai sekarang belum pernah ditemukan,” tulis Riboet Darmosoetopo, epigraf dan pengajar arkeologi Universitas Gadjah Mada, dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Kuno IX-X TU. Sebagian transaksi kemungkinan besar tidak menggunakan mata uang tetapi barter atau dengan mata uang Cina pada masa yang lebih muda. Namun, penggunaan mata uang logam khususnya emas dan perak telah dikenal di Jawa sejak akhir abad 8 M. Satuan untuk mata uang emas antara lain kati (754,667 gram) , suwarna (39,569 gram) , masa (2,473 gram) , kupang (0,618 gram) , dan saga (0,012 gram). Dalam penulisan satuan itu disingkat, seperti ma untuk masa. Satuan untuk uang perak adalah kati (617,610 gram), dharana (38,601 gram), masa (2,412 gram), dan kupang (tak diketahui); atak sama dengan 2 kupang atau 0,5 masa. “Satu kati sama dengan 20 dharana atau 20 suwarna sama dengan 20 tahil. Satu suwarna atau satu tahil sama dengan 16 masa dan 1 masa sama dengan 4 kupang ,” tulis Titi Surti Nastiti, arkeolog Puslit Arkenas, dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi. Mata Uang Emas Mata uang emas paling awal agaknya dibuat dalam bentuk batangan. Jumlahnya mungkin sedikit dan ukurannya, baik bentuk maupun berat, tak tentu. Berdasarkan temuan di Wonoboyo yang diperkirakan berasal dari abad 9-10 M, diketahui ada sebanyak 6000 mata uang emas dan 600-700 perak. Dari temuan itu hanya enam buah berupa batangan dengan ukuran kecil. Sementara bentuk dan beratnya tak terpola. “Ini mengindikasikan jenis mata uang ini tidak digunakan secara umum sebagai alat tukar,” tulis Supratikno. Mata uang emas tipe piloncito paling umum ditemukan di Jawa Tengah periode abad 9-10 M. Ukurannya kecil, bentuknya seperti dadu gepeng, sudutnya membulat. Sebagian besar berupa segi empat dengan ukuran 6x6 mm atau 6x7 mm dengan ketebalan umum sekira 4 mm. Hampir semua mata uang mewakili satuan nilai satu masa. Umumnya semua uang ini dikerjakan dengan hati-hati sehingga sesuai dengan satuan bakunya. Mata uang dari masa ini juga punya ciri lain. Ada simbol baku yang dikenal dengan pola bijian atau wijen pada satu sisi. Di sisi lainnya memuat huruf Nagari dari India Utara dengan bacaan ta , singkatan dari tahil. Istilah tahil biasanya dijumpai dalam prasasti abad 9 M terutama berhubungan dengan pajak. “Mata uang huruf ta tampaknya merupakan alat pembayaran pajak resmi,” lanjut Supratikno. Huruf Nagari sendiri biasanya digunakan dalam prasasti Sanskerta yang berkaitan dengan Buddhisme, terutama abad 8 hingga awal abad 9 M, dan abad 13 M di Jawa Timur. Ketika ibukota Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur, tampaknya percetakan uang tetap berjalan. Ada temuan di Kediri yang diperkirakan berasal dari abad 12 M. Bentuknya lebih membulat daripada tipe piloncito. Namun, beratnya relatif sama. Dibanding di Jawa Timur, distribusi uang emas di Jawa Tengah lebih banyak. Dari 51 penemuan di wilayah pusat dan pinggiran Jawa Tengah ditemukan sebanyak 5.583 buah. Sementara di Jawa Timur hanya delapan penemuan dengan jumlah total 537 buah. Berdasarkan temuan di Jawa, Bali, dan Filipina, diketahui satuan masa umum digunakan secara luas di wilayah Asia Tenggara abad 10-13 M. Mata Uang Perak Mata uang perak mungkin lebih dulu dipakai sebagai alat tukar dibanding emas. Temuannya banyak didapat di Jawa Tengah selatan. Berdasarkan paleografinya, temuan ini diperkirakan berasal dari abad 8 M. Mengenai fungsinya, tak banyak yang bisa dideskripsikan. Kendati begitu diperkirakan uang itu digunakan sebagai hadiah, sebagaimana informasi yang sering didapat dari prasasti. Tanda baku mata uang perak berupa segi empat yang memuat gambar pola empat kelopak bunga cendana dengan pahatan yang dalam. Pola hias ini tak banyak berubah selama berabad-abad. Meski begitu, ukiran kelopak cendana tak hanya ditemukan pada uang perak. Beberapa uang logam lainnya juga dijumpai pola hias yang sama. Seperti pada mata uang emas dan perak di Sumatra dan Semenanjung Melayu. Penyebutan mata uang perak dalam prasasti sampai puncaknya pada masa Balitung (898-910 M). Kala itu, mata uang mengalami penyeragaman, baik dalam bentuk seperti mangkuk maupun ukurannya. “Mungkin ada pengendalian sistem moneter oleh pemerintah,” tulis Supratikno. Sebaliknya, pada masa Jawa Timur, khususnya pada akhir abad 11 M, pengendalian satuan baku mata uang perak tampak makin lemah. Sebagian besar mata uang perak yang beredar lebih ringan. Kandungan tembaga makin banyak dibanding yang ditemukan dari periode Jawa Tengah. Penyebabnya kemungkinan karena inflasi atau adanya penyesuaian nilai mata uang dengan nilai intrinsiknya. Gejala lainnya pada periode Jawa Timur sangat jarang ditemukan satuan mata uang perak dengan nilai kecil, terutama di bawah satu masa. Hal ini mungkin berkaitan dengan meningkatnya penggunaan mata uang Cina yang terbuat dari tembaga. Mata uang jenis ini makin dikenal sejak akhir abad 10 M atau awal abad 11 M seiring hubungan dagang yang terus meningkat dengan Dinasti Sung.
- Duri dalam Daging Bernama Irian Barat
Mohammad Hatta, ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) boleh bernapas lega. Hari itu, 27 Desember 1949, pemerintah Kerajaan Belanda bersedia mengakui kedaulatan negeri jajahannya yang telah merdeka: Republik Indonesia. Seremonial yang berlangsung di Istana Kerajaan Belanda di Amsterdam itu menyudahi konflik kolonial antara kedua negara. “Konferensi Meja Bundar adalah salah satu konferensi yang besar, yang memakan waktu beberapa bulan, dimana lebih dari 250 orang anggota delegasi dan penasihat atas salah satu cara terlibat,” tulis Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . Perundingan yang pelik telah digelar sejak 23 Agustus sampai 2 November 1949. Ada tiga pihak yang menjadi delegasi dalam perundingan: Indonesia, Belanda, dan United Nations Commissions for Indonesia (UNCI) sebagai penengah. Delegasi Indonesia terdiri dari dua kelompok yaitu Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Badan Permusyawaratan Federal (BFO) dengan Sultan Hamid II sebagai ketuanya. Sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Menteri Wilayah Seberang Lautan Mr. Johannes Henricus van Maarseven. Meski demikian, kesepakatan damai itu tak serta merta mengakhiri sengketa. Pengakuan tersebut mengecualikan Irian Barat dari peta teritorial Indonesia. Pemerintah Belanda menangguhkan penyerahan wilayah itu ke dalam kekuasaan Indonesia. Kepentingan Belanda Ide Anak Agung Gde Agung adalah satu delegasi Indonesia dalam KMB dari kelompok BFO. Dalam buku Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat , Agung mencatatkan pengalamannya mengenai perdebatan dan situasi KMB. Sebagai tuan rumah, Perdana Menteri Belanda William Drees memimpin perundingan itu yang bertempat di Gedung Parlemen Rideerzaal (Bangsal para Ksatria) di Den Haag. Dari berbagai kesepakatan yang tercapai hingga tanggal 29 Oktober, perundingan terbentur pada pembicaraan tentang penentuan status kenegaraan wilayah Irian Barat. Keesokan harinya, persoalan Irian Barat kembali dirundingkan sebagai agenda pembicaraan terakhir. Perdebatan bermula ketika Menteri Maarseveen menerangkan bahwa masyarakat Irian Barat bukanlah bagian dari lingkungan Indonesia secara etnologis dan kultural. Selain itu, Maarseveen juga meragukan kemampuan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dalam membangun kesejahteraan rakyat Papua. “Dengan mengacu kepada keadaan penduduk asli yang masih terbelakang, ia (Maarseveen) menyatakan bahwa kepemimpinan Belanda di wilayah itu akan lebih baik dalam mengembangkan martabat masyarakat Irian Barat,” tulis Agung. Menurut Agung, sikap politik yang kuat dari pemerintah Belanda mempertahankan Irian Barat dipengaruhi situasi dalam parlemen Belanda. Partai Katolik yang saat itu menguasai parlemen Belanda menginginkan penguasaan Irian Barat di bawah kendali pemerintah Belanda yang juga didukung oleh golongan Protestan dan Partai Liberal. Hal ini dapat dipahami mengingat sejak tahun 1855 telah dimulai aktivitas penyebaran agama Kristen melalui missi (Katolik) dan zending (Protestan) di Irian Barat. Tetap dipertahankannya Irian Barat di bawah penguasaan Belanda dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral (politik etis) terhadap masyarakat asli. “Jika Irian Barat dimasukan ke dalam agenda penyerahan kedaulatan, dapat dipastikan ratifikasi hasil KMB di parlemen tidak akan mendapat dua pertiga suara mayoritas menurut ketentuan konstitusi Kerajaan Belanda,” ungkap Agung. Tak dapat dikesampingkan pula nilai strategis Irian Barat sebagai motif tersembunyi di pihak Belanda. Arti penting Irian Barat bagi pemerintah Belanda adalah untuk mengatasi masalah kepadatan penduduknya. Pemerintah Belanda merasa terbebani dengan banyaknya repatriasi orang Belanda dari Indonesia terutama kaum Indo-Belanda. Dalam surat-menyuratnya yang dibukukan berjudul Melintasi Dua Jaman , Elien Utrecht menyebutkan transmigrasi ke Irian Barat sebagai ruang hidup baru bagi kaum Indo-Belanda merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi persoalan demografi ini. Ditinjau dari segi ekonomi, Irian Barat menawarkan daya tarik yang menjanjikan. Sejak tahun 1935, Belanda telah mengusahakan eksplorasi minyak bumi oleh perusahaan swasta NNGPM (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschaapiij). Pusat pertambangan minyak NNGPM berada di Sorong yang disebut-sebut sebagai ibu kota kongsi minyak di Irian Barat. Usaha ini telah membawa hasil yang baik namun harus terhenti ketika Perang Dunia meletus di Eropa. “NNGPM sudah memulai kembali kegiatannya sesudah perang. Apalagi terdapat juga petunjuk-petunjuk kuat bahwa terdapat bauksit di pegunungan Syklop,” tulis Drooglever. Menurut Drooglever, Menteri Maarseveen telah menyadari potensi ekonomi Irian Barat setelah menerima laporan dari kepala residen Irian Barat, J. P. K van Echoud dalam ‘Nota inzake de economische toekomst vanNieuw-Guinea’ (nota mengenai masa depan ekonomi Nieuw-Guinea). Nota itu menyebutkan bahwa tim geologi telah menemukan jejak-jejak mineral berupa nikel dan tembaga dengan konsentrasi tinggi di pegunungan sekitar ibu kota, Hollandia. Dengan demikian, Irian Barat menjadi harapan bagi Belanda untuk memperbaiki perekonomiannya yang terpuruk akibat Perang Dunia II sekaligus kompensasi atas kehilangan Hindia Belanda. Akhirnya, pada penandatanganan KMB, dikompromikan bahwa persoalan Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian. Selama masa jeda tersebut, Irian Barat berada dalam status quo di bawah penguasaan sementara Belanda. Pada kenyataannya, masalah Irian Barat kian berlarut-larut. Kedua negara berdaulat ini saling mengklaim bahwa Irian Barat merupakan wilayah kekuasaannya yang sah. Adu klaim ini berbuntut panjang. Untuk bertahun-tahun kemudian, Irian Barat menjadi duri dalam daging hubungan bilateral Indonesia dan Belanda.
- Setelah Multatuli Mudik
TAK begitu sulit menemukan bangunan tempat Multatuli alias Eduard Douwes Dekker pernah tinggal di Brussel, Belgia. Ia terletak pada sebuah sudut dari jalan bersimpang lima, tepat di seberang gereja katedral. Pintu masuk ke dalam gedung terimpit di antara dua kafe dan toko roti. Sebuah plakat peringatan terpasang di atas pintu, ditulis dalam dua bahasa: Belanda dan Prancis. “Pada September–Oktober 1859 Multatuli (Edward Douwes Dekker) menulis adikaryanya Max Havelaar di penginapan “Au Prince Belge” yang sampai 1876, dengan alamat Bergstraat No 80, berada di bangunan ini.” Demikian bunyi plakat tersebut. Dalam secarik surat bertitimangsa 22 September 1859 yang ditujukan kepada istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen, Multatuli menyebutkan bahwa dia sedang menulis sebuah naskah buku di losmen tersebut. Pada 13 Oktober tahun yang sama, buku tersebut selesai ditulis. Namun ada dua versi lain tentang berapa lama naskah Max Havelaar ditulis: mulai dua minggu sampai tiga bulan. Namun kini penginapan itu sudah tak ada lagi. Fungsi gedung sudah berubah, begitu pula dengan penomoran jalan. Kecuali bagi orang yang sengaja ingin mencarinya, plakat informasi sejarah itu agaknya bakal terlewatkan begitu saja: letaknya tersamar dan papan plakat mulai menghijau berlumut. Terkesan seperti tak ada lagi yang peduli pada kisah yang pernah terjadi di sana. Kesan itu bukan terjadi di Belgia saja. Di Belanda tempat asal Multatuli juga demikian. Museumnya sepi pengunjung, pemerintah kurangi subsidi. Lizzy van Leeuwen, penulis di majalah De Groene Amsterdamer , beberapa waktu menulis tokoh sejarah Belanda, seperti Multatuli, mulai terdesak ke pinggiran karena memang sejarah Belanda dan Hindia Belanda sejak dulu selalu dipisah. Ada pula kesan kalau Multatuli jadi “kuda tunggangan” sebagian kalangan di Belanda tentang contoh manusia Barat beradab yang membela bangsa jajahan. Kesan tersebut justru dibangun untuk menutupi penindasan yang sesungguhnya terjadi di Hindia Belanda. Maklum saja, sebagaimana umumnya kaum kolonialis, penguasa kolonial Belanda selalu bersembunyi di balik tujuan mulia “mengadabkan” rakyat jajahan yang tertinggal di belakang. Padahal, “30 juta rakyat Hindia ditindas dan dihisap atas nama Anda,” kata Multatuli di dalam suratnya kepada Raja Willem III. Soal pemisahan sejarah antara Belanda dan Hindia Belanda, tak terjadi di Belanda saja, ada miripnya dengan Indonesia. Penulisan sejarah di Indonesia terkesan menjaga jarak dengan tokoh-tokoh Belanda yang berperan dalam dinamika kehidupan warga jajahan di Hindia Belanda. Mungkin ini ada kaitan erat dengan perspektif sejarah Indonesia-sentris yang dirintis oleh para sejarawan Indonesia generasi awal pascakemerdekaan. Narasi tersebut menempatkan orang Indonesia sebagai faktor dalam sejarahnya, membalikkan cara pandang yang pernah dibangun di dalam historiografi Hindia Belanda karya para sejarawan Belanda. Ini bisa dipahami karena konteks cara pandang tersebut dilahirkan dalam suasana semangat kemerdekaan dan anti-kolonialisme Belanda yang masih euforia. Kongres pertama sejarah Indonesia pun diselenggarakan pada 1957, 12 tahun setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Walhasil tak banyak kisah tentang orang-orang Belanda (juga orang dari bangsa lain) yang diperkenalkan kepada masyarakat, betapa pun pentingnya peranan mereka bagi pembentukan negara-bangsa Indonesia. Pemahaman terhadap sejarah memiliki kecenderungan yang bias rasisme: terbatas pada pengertian bahwa kolonialisme adalah penindasan kaum kulit putih terhadap kulit sawo matang (baca: bumiputra) dan seringkali hitam-putih. Tidak mengherankan jika karya sastra seperti Max Havelaar tak jadi bacaan wajib di sekolahan. Tokoh-tokoh penting seperti Henk Sneevliet , J.E. Stokvis, Adolf Baars serta figur lain yang berlatar belakang ras berbeda, jarang kelihatan perannya kecuali sebagai figuran yang muncul dalam beberapa kalimat pelengkap narasi yang sepenuhnya disesaki oleh orang Indonesia. Suatu identitas kebangsaan yang baru lahir pada abad 20. Barangkali inilah salah satu sebab mengapa, mengutip Ariel Heryanto, kita memiliki historiografi yang rasis. Kecenderungan yang sama juga akhirnya menyebarluas lebih dari sekadar perspektif sejarah, tapi juga menjadi sikap di dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam urusan politik. Jangan heran kalau belakangan muncul ego-sentrisme peran pribumi di dalam sejarah, betapapun buramnya istilah pribumi itu . Sejarah memang perlu ditulis lebih gamblang. Seperti kisah Multatuli: seorang kulit putih yang menjadi advokat rakyat kecil; Poncke Princen serdadu Belanda yang berpihak kepada Republik atau malah kisah Mas Slamet, orang Jawa yang memihak kepada Ratu Belanda karena tidak “sreg” pada kemerdekaan Indonesia . Dengan demikian banyak orang memahami bahwa cita-cita Indonesia merdeka dari penindasan kolonialisme, ada di banyak kepala orang dengan beragam latar belakang ras dan agama. Bukan milik sepihak dengan klaim paling berjasa bagi bangsa Indonesia.
- Pahit-Manis Kisah Martunis
Hari ini 15 tahun lalu. Martunis, bocah berusia tujuh tahun, amat bersemangat Minggu pagi itu. Meski rencananya baru akan bermain bola pada sore hari, sejak pagi usai mandi dia sudah mengenakan kaos kesayangannya, jersey timnas Portugal bernomor punggung 10 milik Manuel Rui Costa. Martunis amat mengidolakan mantan playmaker Fiorentina dan AC Milan itu. Untuk menunggu waktu, dia dan adiknya nonton televisi. Saat itulah tiba-tiba dia merasakan ruangan bergoyang seperti perahu di atas laut. Buru-buru dia, adik, dan ibunya keluar rumah. Orang-orang sudah berkerumun di luar setelah gempa terjadi. Sarbini, ayah Martunis, pulang tak lama kemudian. Namun, pertemuan keluarga secara utuh untuk terakhir kali itu tak berlangsung lama. Beberapa orang berteriak air laut naik. Sarbini segera menyuruh anak-istrinya naik pick up di depan mereka untuk menyelamatkan diri, dia sendiri memilih berlari ke arah jalan raya. “Padatnya jalan yang dipenuhi orang-orang yang berlarian membuat mobil yang ditumpangi Martunis tidak dapat melaju kencang. Dalam kepanikan tersebut, gelombang air segera menyapu mobil tersebut. Mobil pun terguling-guling. Para penumpang yang berada di datas mobil berhamburan diterjang gelombang,” tulis kbr.id . Martunis melihat Annisa, adiknya, terus memanggil namanya. Dia segera meraih tangan bocah itu namun kemudian terlepas. Pertemuan terakhir Martunis dengan Annisa itu berjalan amat cepat. Martunis terus berusaha menyelamatkan diri dengan bergonta-ganti pegangan, hingga akhirnya dia berhasil meraih sebuah kasur spring bed . Lantaran kelelahan, Martunis akhirnya pingsan di atas kasur itu. Ketika siuman, dia mendapati dirinya telah berada di tengah lautan. Dalam kesendirian itu, Martunis bertahan hidup dengan mengandalkan mie instan yang ditemukannya pada hari ketiga. Hitungann jarinya telah mencapai angka tujuh, tapi daratan tak kunjung ada di hadapan. Martunis bosan dan putus asa hingga di suatu siang dia tertidur. Begitu bangun, matanya melihat daratan tak jauh dari tempatnya. Seorang pemulung sedang mengais-ngais reruntuhan di sana. Martunis segera berteriak minta tolong. Sempat takut, pemulung itu akhirnya menolong Martunis. Dia menyerahkan Martunis kepada Ian Dovaston, reporter TV Sky News yang sedang meliput daerah Pantai Kuala. Wartawan asal Inggris yang prihatin itu segera memberi air minum dan biskuit yang dibawanya. “Kondisi badannya sangat kurus dan sekujur tubuhnya penuh bekas gigitan nyamuk,” kata Dovaston, dikutip Frank Worrall dalam The Magnificent Sevens: They All Wore the No 7 Shirt . Dovaston dan seorang penerjemah lantas mengevakuasi Martunis ke Yayasan Save the Children, untuk dirawat di RS Fakinah. Beruntung dalam pemeriksaan medis Martunis tak mengalami luka dalam, hanya luka ringan. Namun Martunis tetap harus berduka setelah tahu hanya ayahnya yang selamat. Dovaston kemudian meliput tentang bocah itu. Yang kemudian menjadi sorotan besar adalah, Martunis ditemukan dan diselamatkan setelah tiga pekan terdampar dengan mengenakan jersey merah-hijau, warna seragam timnas Portugal. Kisahnya mendapat perhatian di Semenanjung Iberia, terutama karena beberapa stasiun TV Portugal menyiarkan berita Sky News hasil liputan Dovaston. Dari situlah kisah Martunis mulai menarik simpati hampir segenap publik Portugis. “Gilberto Madail dari Federasi Sepakbola Portugal menjadwalkan klub-klub yag tergabung di liga (Portugal) untuk menghimpun bantuan solidaritas. Dia mengontak Dovaston dan menanyakan hal apa yang bisa dilakukannya untuk bocah itu dan keluarganya,” tulis Luca Caioli dalam biografi Ronaldo, Obsession for Perfection . Sejumlah pemain timnas Portugal juga bersimpati. Lebih-lebih Luiz Felipe Scolari (yang saat itu masih melatih) dan Ronaldo yang emosional mendengar kisah Martunis. “Saya terhenyak melihat bocah berumur 7 tahun itu bisa bertahan hidup setelah hanyut berhari-hari,” kata Ronaldo dalam biografinya. Selebihnya, hidup Martunis begitu berbeda. Bersama ayahnya, Martunis sampai diundang ke Portugal pada akhir Mei 2005. Mereka disambut pelatih Scolari dan kapten tim Luis Figo. Mereka diajak bertemu para punggawa timnas Portugal, termasuk Ronaldo di hotel tim, sekaligus menyaksikan langsung laga kualifikasi Piala Dunia 2006 antara Portugal vs Slovakia di Estadio Da Luz, Lisbon. “Kami berbicara dengan bantuan penerjemah. Tapi dia anak yang pemalu dan nyaris tak bicara sepatah katapun. Saya memperlihatkan telepon selular saya dan dia langsung meminta nomor saya. Ketika saya membuka komputer (laptop) saya dan menunjukkan foto-foto dan video games, matanya berbinar-binar. Dia anak istimewa yang sudah melalui pengalaman yang belum tentu bisa dilalui orang dewasa,” ungkap Ronaldo lagi. Sebelum kembali ke tanah air, Martunis diberi bantuan uang sebesar 40 ribu Euro yang berasal dari sumbangan para pemain, pelatih, dan ofisial timnas Portugal untuk membangun kembali rumah Martunis. Ronaldo berjanji untuk menyambangi Indonesia, utamanya Aceh dan Jakarta untuk bertemu Martunis lagi. “Perasaan kami luar biasa. Sebelum tsunami, untuk bisa ke Jakarta saja rasanya sudah mewah sekali. Sekalinya ke luar kota, kami hanya pernah ke Medan. Kemudian tiba-tiba kami berkesempatan ke Eropa,” cetus Sarbini, ayah Martunis, dikutip situs resmi FIFA. Ronaldo memenuhi janjinya. Medio Juni 2005, bintang yang masih memperkuat Manchester United itu datang ke Serambi Mekah. Kedatangannya ke Stadion Neusu, Banda Aceh, disambut antusiasme penggila bola. Ronaldo lantas terbang ke Jakarta untuk bersua Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di kediamannya, dalam rangka makan malam amal. Cita-cita Martunis untuk jadi pesepakbola sebagaimana kakeknya, perlahan mulai terwujud. Terlebih, setelah Martunis diangkat anak oleh Ronaldo yang lantas membiayai semua kebutuhan pendidikannya. Kian dekatnya Martunis dengan ayah angkatnya memberinya kesempatan lebih sering ke Eropa. Martunis berkesempatan menonton laga-laga yang dimainkan Ronaldo, termasuk ketika sang bintang sudah pindah ke Real Madrid. Status istimewa Martunis ikut berperan dalam mengasah skill bolanya di akademi Sporting Lisbon, klub yang membesarkan nama Ronaldo. Meski sempat menandatangani kontrak, Martunis akhirnya dinyatakan gagal di tahun kedua dengan alasan usia. Namun, Martunis tak patah arang. Pesan Ronaldo yang selalu melekat dalam kepalanya membuatnya terus optimis. “Ia bilang kalau belajar ilmu sepak bola sudah dimulai sejak usia delapan tahun. Kalau misalnya tetap ingin jadi pemain profesional, ia bilang harus kerja keras, disiplin,” ujar Martunis sebagaimana dilansir liputan6.com .
- Alkitab Seribu Bahasa
Ketika berkunjung ke Perpustakaan Wurttembergische Landesbibliothek di kota Stuttgart, Jerman, Harsiatmo Duta Pranowo, sekretaris umum Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), berniat membuat replika Injil Matius terjemahan Albert Cornelisz Ruyl. Pihak perpustakaan memberikan dukungan dan kemudian mengirim scan naskah Ruyl dalam resolusi tinggi. LAI segera bekerja. Rencananya, replika itu akan diterbitkan pada 2014 saat perayaan 60 Tahun Pelayanan LAI dan 385 Tahun terbitnya Injil Matius tersebut. Namun, sebagaimana diberitakan dalam laman LAI, alkitab.or.id , permintaan dan pesanan datang dari Pertubuhan Bible Malaysia, yang 5 November lalu memperingati 400 tahun penerjemahan Injil ke dalam bahasa Melayu-Indonesia kali pertama. Ruyl, seorang pedagang Belanda, berlayar ke Nusantara pada 1600, empat tahun setelah armada Belanda pertama mendarat di Nusantara. Di luar kesibukannya berdagang, dia menerbitkan semacam buku pelajaran bahasa Melayu dan beberapa buku gerejawi. Merasa bahwa penduduk setempat perlu membaca Alkitab, dia membujuk rekan-rekannya untuk patungan biaya penerbitan untuk proyek terjemahannya. Duabelas tahun kemudian Ruyl menyelesaikan penerjemahan Injil Matius dalam dua bahasa, Belanda dan Melayu –satu tahun setelah terbit Alkitab bahasa Inggris The King James Version. Sayangnya, baru 17 tahun kemudian karyanya diterbitkan, oleh Jan Jacobiz Palenstein di Enkhuizhen, Belanda. Inilah untuk kali pertama Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa non-Eropa untuk kepentingan penginjilan. Cetakan aslinya, selain di Jerman, kini tersimpan di British Museum di London, Inggris. Namun, upaya menterjemahkan Alkitab secara lebih baik dan lengkap dilakukan Mechior Leijdecker, pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia. Pada 1691, atas permintaan majelis gereja di Batavia dan disponsori Kongsi Dagang Belanda (VOC), dia mulai menerjemahkan Alkitab lengkap ke dalam bahasa Melayu Tinggi. “Tujuannya untuk melayani para jemaat Kristen Eurasia, Ambon, Jawa, Tionghoa, dan etnis lainnya,” tulis Lourens de Vries, “Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia”, dimuat dalam Sadur . Vrije adalah profesor linguistik umum dan penerjemahan Alkitab di Universiteit Amsterdam. Belum sempat merampungkannya, Leijdecker meninggal dunia. Proyek penterjemahannya dilanjutkan penggantinya, P. van der Vorm. Meski rampung lama, terjemahan ini baru terbit pada 1733. Terjemahan Leijdecker terus dipakai bertahun-tahun, serta direvisi dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa daerah. Puncak penterjemahan Alkitab terjadi pada abad ke-19. Muncul Alkitab dalam ragam bahasa. “Abad ke-19 menjadi saksi terbitnya berbagai Alkitab dalam bahasa Jawa (1854), Sunda (1877), Bugis (1888) dan Batak Toba (1878), sekadar menyebut beberapa di antaranya,” tulis De Vries. Setelah Indonesia merdeka, alihbahasa Alkitab ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah berada di tangan LAI, yang dibentuk pada 1950.
- Pasang Surut Kristen di Sulawesi Tenggara
KRISTEN Protestan di Sulawesi Tenggara pernah berjaya di era Hindia Belanda. Jumlahnya terus meningkat: 2609 jiwa pada medio 1930-an, 2806 jiwa pada akhir 1937, 3270 jiwa pada akhir 1940 masih ditambah calon baptis 6000 jiwa. Pada masa yang sama, majalah De Opwekker khusus Kristen berbahasa Belanda, mencatat jumlah penganut Protestan di seluruh Hindia Belanda sekira 700.000 orang, 100.000 orang di antaranya adalah orang Eropa. “Fakta ini menimbulkan pertanyaan, mengapa di Sulawesi Tenggara pada masa kolonial Hindia Belanda mengalami perkembangan yang pesat. Berbanding terbalik dengan kondisi kekinian di mana penganut Protestan hanya sekitar satu persen dari seluruh jumlah penduduk Sulawesi Tenggara,” ujar Basrin Malamba, sejarawan dari Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Kristen Protestan di Sulawesi Tenggara dibawa oleh Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV). Misi zending atau pekabaran injil ini mulai bekerja disana sejak 1916 hingga runtuhnya negara kolonial, 1942. “NZV didirikan di Rotterdam pada 2 Desember 1858 oleh beberapa orang yang kecewa terhadap Nederlanche Zending Genootscap (NZG). Mereka menganggap NZG telah dirasuki oleh teologi modern. Para pendirinya banyak tinggal di kota Rotterdam, Belanda,” tulis Th. van den End dalam Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-1963. Semula NZV melakukan syiar di Jawa Barat, tetapi kurang berhasil. NZV mengalihkan pekabaran injil ke Sulawesi. Hendrik van der Klift, utusan NZV, tiba di Sulawesi Tenggara –dulu Sulawesi Timur– pada 8 Mei 1915. Klift mendirikan pos-pos guru agama di pedalaman seperti Mowewe, Lambuya dan Moronene. Dari kampung Mowewe ini, pekabaran Injil menyebar keseluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Mereka fokus melakukan pendekatan bagi masyarakat yang masih beragama asli yang ada di pedalaman Sulawesi Tenggara. “Wilayah Moronene dan Tolaki merupakan wilayah subur yang menjadi sasaran zending protestan di Sulawesi Tenggara. Jika dibandingkan pulau Muna dan Buton yang begitu tandus. Pulau Muna menjadi basis pewartaan bagi misi Jesuit Katholik, sementara pulau Buton, baik misi dan zending tidak berkembang karena kesultanan Buton melarang keduanya menyebarkan pengaruh di Buton,” tulis Basrin dalam “Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dan Kristen Protestan di Asia Tenggara 1915-1942,” termuat dalam Agama dan Negara di Indonesia suntingan Sri Margana. NZV melakukan pekabaran injil melalui pendidikan. Bagi para zending, pendidikan penting untuk penduduk agar dapat membaca dan menulis supaya memahami ajaran Kristen dalam Injil. Pemerintah kolonial mengizinkan NZV mengelola pendidikan di Tolaki dan Moronene, terutama di Kolaka, Kendari, Taubonto, Poleang. “Salah satu yang paling efektif mengkristenkan orang, ya melalui pendidikan. Mereka mau naik status, kok. Selain itu juga dukungan para elite lokal. Di Sulawesi Tenggara, kemampuan agensi para pendeta mendekati para bangsawan, berhasil. Mereka tidak mendapat tantangan. Kalau bangsawan bilang jangan diganggu, ya dipatuhi. Bahkan, anak mereka dikasih masuk. Di sana ada juga bangsawan Islam yang anaknya masuk kristen. Jadi, dalam satu rumah ada dua iman, Kristen dan Islam. Mereka melakukan konversi agama,” ujar Basrin. Guna menunjang pembelajaran, Klift menyusun buku bagi sekolah dasar dalam bahasa Tolaki berjudul Sura Pobasaa , dan Sala Salamaa (Jalan Keselamatan) berisi bagian-bagian dari Alkitab. Hingga 31 Juli 1941, ada 60 sekolah dasar negeri berbahasa lokal untuk kelas 1 sampai kelas 3 dengan jumlah siswa mencapai 7078 anak. Sepuluh sekolah dasar swasta dengan subsidi pemerintah memiliki 598 siswa dan 74 sekolah swasta berbahasa Belanda memiliki murid 8335 anak. Data tersebut sudah mencakup sekolah-sekolah yang dikelola zending Protestan di Sulawesi Tenggara. Menurut Basrin, pemberian izin kepada NZV juga dilandasi cara berpikir praktis. Pemerintah berharap penduduk yang sudah bertautan dengan zending atau bersekolah di sekolah-sekolah zending akan dapat menurut dan tunduk kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Setelah runtuhnya kolonial Belanda pada 1942 dan Jepang masuk, zending di Sulawesi Tenggara mengalami kemunduran. Basrin mengungkapkan tentara Jepang membunuh banyak jemaat dan merusak gereja. Keadaan tersebut berlanjut pasca kemerdekaan, terutama masa DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang melanda sebagian besar Sulawesi, termasuk Sulawesi Tenggara. Gerakan ini mengusung pendirian negara Islam yang berdampak buruk pada kehidupan sosial warga Kristen Sulawesi Tenggara. “Masa DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakkar itu, basisnya juga ada di Sulawesi Tenggara. Saat itulah Sulawesi Tenggara porak poranda. Gereja dibakar, banyak pendeta dibunuh, jemaat yang tertekan mengungsi, bahkan untuk alasan keamanan mereka rekonversi agama kembali ke Islam,” ujar Basrin. Kini, jumlah penduduk Sulawesi Tengara yang memeluk Kristen Protestan sudah jauh berkurang. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Sulawesi Tenggara tahun 2015, penganut Kristen Protestan di Kolaka hanya 8394 jiwa. Padahal, basis zending NZV di era kolonial Belanda berada di Kolaka.
- Dari Bola Turun ke Hati
BAGI bintang sepakbola putri Papat Yunisal dan bintang sepakbola putra Zulkarnain Lubis, lapangan hijau tak hanya mendatangkan kebahagiaan lewat permainan, persaingan, dan gol. Lapangan hijau bagi keduanya juga mendatangkan kebahagiaan hati. Papat dikenal sebagai salah satu maestro sepakbola putri Indonesia era 1980-an. Tak hanya mengukir prestasi di level klub bersama Putri Priangan, sejak 1981 penyerang mungil kelahiran Subang pada 1963 itu juga berseragam timnas. Bahkan, Papat menjadi penentu kemenangan yang membawa timnas putri Indonesia ke final ASEAN Women’s Championship 1982. Meski sudah menikah, Papat tetap bermain. Sayang, pernikahannya kandas kendati sudah dianugerahi seorang anak. Dia dan suaminya cerai tak lama setelah Papat ikut orangtuanya pindah dari Bandung ke Batam, Kepulauan Riau. “Iya, waktu itu sudah punya anak dan (sang suami) tidak mau tinggal di Batam. Ditinggal lama-lama, akhirnya bermasalah ya. Karena memang saya juga yang merasa salah pada suami,” kata Papat kala berbincang dengan Historia di STKIP Pasundan, Cimahi beberapa waktu lalu. Namun, kecintaannya pada sepakbola tak pernah kandas. Setelah gantung sepatu, Papat kursus kepelatihan dan pada 2004 mendirikan Sekolah Sepakbola (SSB) Putri Queen di Bandung. Sementara, Zulkarnain Lubis di era 1980-an merupakan bintang andalan klub-klub yang dibelanya dan juga timnas. Pemain yang mengidolakan legenda Inggris Kevin Keegan itu sampai mendapat julukan “Diego Maradona-nya Indonesia”. “Saya memang senang dengan pemain-pemain itu (Maradona dan Keegan),” ungkap Zul sebagaimana dimuat Kompas, 11 Agustus 1986. Sayangnya, setelah pensiun di tahun 2000 Zul terpuruk. Legenda hidup kelahiran Binjai, Sumatra Utara tahun 1958 itu harus pontang-panting mengais nafkah. Dari berbisnis kecil-kecilan sampai berjualan nasi goreng di Cimahi pernah dilakoninya. Baru pada 2003 Zul mulai bangkit setelah diminta Ronny Pattinasarani untuk membantu menjadi pemandu bakat bibit-bibit pesepakbola U-15. Setahun berselang, kehidupan Zul kian membaik setelah dipercaya melatih SSB Queen milik Papat. Terpilihnya Zul terjadi tak lama setelah Papat mendirikan SSB Queen. Papat mencari pelatih untuk melatih para pelajar SSB-nya. Salah seorang temannya lalu menyarankan nama Zul. “Sebenarnya sudah lama kenal dari dulu, tapi tidak begitu akrab. Karena waktu itu (semasa di timnas) training camp -nya bareng antara timnas wanita dengan timnas yang pria. Latihannya juga sama-sama di Senayan (Stadion Senayan, kini Stadion Utama Gelora Bung Karno),” kata Papat. Papat langsung menawari Zul. Pria yang sedang menganggur tapi punya beberapa tawaran pekerjaan di bidang sepakbola itu langsung menerima tawaran Papat. “Dia mau saya tawari. Enjoy katanya melatih cewek,” ujar Papat sambil berkelakar. Kerjasama dua mantan bintang lapangan hijau itu membuat penasaran banyak orang. “Banyak yang nanya emang berapa sih dibayar di Queen? Saya jawab aja, bayarnya pakai cinta,” cetus Papat sembari tertawa. Kerjasama itu berjalan mulus di Queen. Pada akhirnya bukan semata urusan bola, tapi juga asmara. Benih-benih cinta antara Papat dan Zulkarnain muncul di sana. “Cukup sering dan banyak yang tanya, soal di mana saya ketemu Pak Zul. Ya sering juga saya bercandain. Saya bilang aja pertama kali ketemunya di musala, hehehe...,” cetus Papat sembari terkekeh. Seringnya bertemu di SSB Queen membuat Papat mengaku lama-lama ada kedekatan, ada kecocokan. Mereka akhirnya menikah di tahun itu juga (2004).
- Jalan Berliku Federasi Perempuan
Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), mengatakan gerakan perempuan “mati” setelah rezim Orde Baru berkuasa. Penguasa militer itu menggunakan intimidasi untuk menaklukkan semua elemen, termasuk gerakan perjuangan perempuan, agar tunduk dan sejalan dengan misi pemerintahannya. “Kalau nggak (sejalan – red .), dianggap musuh negara,” ujarnya kepada Historia . Dalam kacamata penguasa, tempat perempuan hanya di dapur dan kasur. Penguasa memberi citra negatif kepada perempuan yang berpolitik. Alhasil, gerakan perjuangan perempuan yang telah dilakukan berbagai organisasi perempuan sejak masa kolonial langsung mandek. Perjuangan mereka untuk memperjuangkan hak dan memajukan kaum serta bangsanya seketika digantikan oleh aktivitas-aktivitas seremonial ibu-ibu Dharma Wanita atau PKK. Perjuangan Nan Terpaksa Kembali ke Dapur dan Kasur Budaya patriarki yang meletakkan perempuan semata hanya dalam urusan dapur dan kasur menimbulkan ketidakadilan sejak lama. Perempuan menjadi korban darinya. Dalam rumahtangga, ruang geraknya terbatas karena posisinya yang selalu dibuat bergantung pada pria. Syahdan, hal itulah yang coba dilawan oleh para perempuan aktivis pada paruh pertama abad ke-20. Lewat berbagai organisasi, mereka memperjuangkan hak-hak perempuan guna memajukan kaumnya. Namun, meski organisasi perempuan sudah banyak berdiri kala itu, mereka masih berjuang sendiri-sendiri. Pikiran untuk mengadakan kongres guna menyatukan gerakan belum terbersit. Dua kongres pemuda, pada 1926 dan 1928, lalu membuka mata para aktivis perempuan. Kongres itu menginspirasi Nyonya Soekonto, Nyi Hadjar Dewantoro, dan Nona Sujatin untuk menginisiasi diadakannya Kongres Perempuan (KPI). Upaya ketiganya berhasil dengan suksesnya Kongres Perempuan I di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928. Menurut Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, di kongres pertama itu yang menjadi perhatian utama adalah masalah perkawinan yang adil bagi perempuan, pendidikan perempuan, dan pernikahan dini. Hak-hak perkawinan dibicarakan dalam sejumlah pidato oleh perempuan anggota oragnasasi yang tidak berlandaskan agama. Kongres itu lalu menghasilkan keputusan untuk mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Di kemudian hari, PPPI berubah menjadi Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII), cikal-bakal Kowani kini. Pada masa itu politik belum menjadi perhatian utama gerakan. Ia (hak politik perempuan) baru terpikir di kongres Surabaya, akhir 1930. Kongres itu sendiri menghasilkan keputusan pembentukan badan perantara. Selain mengurusi masalah kematian bayi, perburuhan, dan perdagangan anak, badan itu bertugas mempelajari hak pilih kaum perempuan. Hampir bersamaan, hak politik juga dibicarakan dalam internal Kongres PPII tahun 1930. Dua tahun kemudian, Istri Sedar (IS) mendeklarasikan diri sebagai organisasi politik pada kongres keduanya di Bandung. IS menyerukan kepada para anggotanya untuk aktif berpolitik. Tapi, IS tak mau bergabung dalam KPI dengan alasan perkumpulan organisasi yang terlalu berbeda dari segi agama, sosial, dan masalah nasional akan sulit bersepakat untuk menyelesaikan masalah perempuan. KPI sendiri baru memutuskan terjun ke politik pada kongres keempatnya, 1941. Kongres itu, menurut sebuah Arsip Kowani, menghasilkan keputusan mendukung Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan mengajukan tuntutan agar perempuan Indonesia mempunyai hak pilih aktif dan pasif. Namun, baru sekira setahun keputusan itu berjalan, Jepang keburu masuk lalu membekukan KPI. Satu-satunya organisasi perempuan yang diperbolehkan adalah Fujinkai, organisasi perempuan yang berbau militeris. KPI baru mengadakan kongres kembali pada 1946 dengan mengganti nama payung organisasi menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Berkongres di masa perang, hasil dua kongres tahun 1946 memutuskan mendukung perjuangan kemerdekaan. Para perempuan berhasil menjalankan kongres di masa-masa sulit untuk mempertahankan kemerdekaan antara 1946-1950. Setelah penyerahan kedaulatan, Kowani kembali menyelenggarakan kongres pada 1950 dan mengganti nama federasi menjadi Kongres Wanita Indonesia (KWI). Cora Vreede-deStuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menulis, pada 1953 hasil kongres juga membentuk komite yang mengurus Yayasan Hari Ibu. Perayaan 22 Desember sebagai Hari Ibu sebelumnya diputuskan dalam kongres KPI ketiga di Bandung, Juli 1938. Arsip Kowani mencatat, maksud pemaknaan Hari Ibu dalam kongres adalah hari dimulainya derap kesatuan pergerakan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan harkat, martabat, dan negaranya. SK Trimurti dari Gerakan Wanita Istris Sedar (Gerwis), yang sudah bergabung dengan federasi, menjadi salah seorang yang dipilih sebagai panitia Yayasan Hari Ibu. Menurut kesaksian Sukanti Suryochondro dalam Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, Gerwis menjadi salah satu pemimpin KWI setelah kongres tahun 1958. Sejak 1950-an hingga 1966, KWI sangat aktif menyuarakan hak-hak perempuan. Para anggotanya aktif dalam politik. Hal itu sejalan dengan kondisi sosial-politik yang mendorong perempuan untuk menjadi ibu progresif revolusioner yang aktif dalam politik dan memiliki kewenangan besar dalam keluarga. Menurut Cora, setelah kemerdekaan, gerakan perempuan aktif dalam membangun dan memperkuat negara yang baru merdeka. Namun, G30S 1965 mengubah segalanya. Orde Baru (Orba) memberangus seluruh organisasi yang dianggap berhaluan kiri. Gerwani dan beberapa organisasi perempuan yang dianggap berhaluan kiri dikeluarkan dari Kowani. Orba juga memastikan bahwa organisasi-organisasi yang hidup bisa dikontrol untuk kepentingan politiknya. Setelah Sidang Umum MPRS 1966, Pemerintah Orba melakukan konsensus politik dengan semua ormas, termasuk Kowani. Maka, diselenggarakanlah Kongres Luar Biasa Kowani pada pertengahan 1966. Ada sekira 35 organisasi yang mengirimkan wakilnya. “(Suharto memastikan – red. ) mereka mendukung pemerintahan yang sah, yakni Suharto yang mendapat wewenang Supersemar. Semua takut. Karena kalau enggak, dianggap musuh negara,” kata Ruth Indiah Rahayu. Lebih lanjut Ruth menjelaskan, strategi Orba untuk menundukkan gerakan perempuan adalah dengan memegang federasinya, yakni Kowani. Dengan demikian, organisasi yang berada di bawah payung Kowani juga ditundukkan. “Jamannya Pak Harto itu ditunjuk aja. ‘Kamu jadi ketua umum’. Pimpinan itu sudah diarahkan. Ya kan waktu itu begitu iramanya,” kata Sri Yulianti Sugiri, ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Kowani.






















