top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mencari Mikrofon Proklamasi

    Dalam pidato di hari jadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Jakarta, 5 Oktober 1966, Presiden Sukarno menyampaikan pentingnya mikrofon yang digunakannya untuk membacakan Proklamasi kemerdekaan. “Kita telah memiliki pada tanggal 17 Agustus 1945 itu microphone . Satu-satunya hal boleh dikatakan, materiel yang telah kita miliki, satu microphone , yang dengan microphone ini kita dengungkan ke hadapan seluruh manusia di bumi ini bahwa kita memproklamasikan kemerdekaan kita,” kata Sukarno. Dari mana mikrofon itu? Sukarno menyebutnya hasil curian dari Jepang. “Aku berjalan ke pengeras suara kecil hasil curian dari stasiun radio Jepang dan dengan singkat mengucapkan proklamasi itu,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dalam ceramahnya di Lembaga Pembinaan Jiwa ‘45 Jakarta, 6 September 1972, Sudiro menyinggung seorang mantan pejabat tinggi yang menyebut mikrofon itu curian dari Belanda. “Itu tidak betul!” bantah Sudiro dalam Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945. Sudiro mengungkapkan bahwa mikrofon itu milik Gunawan, pemilik Radio Satriya, yang bertempat tinggal dan berusaha di Jalan Salemba Tengah 24 Jakarta. Mikrofon itu buatan Gunawan sendiri, baik corong maupun standarnya. Begitu pula verstekker ( amplifier atau penguat suara) dan band- nya yang dibuat dari zilverpapiar, selubung rokok. “Semuanya itu adalah hasil kecerdasan otak dan ketrampilan tangan seorang Indonesia yang bernama Gunawan itu,” kata Sudiro. Gunawan mengakui bahwa mikrofon itu buatannya sendiri yang memang darurat sesuai dengan keadaan waktu itu yang serba sulit. “Magnitnya saya buat dari dua buah dynamo sepeda, sementara band -nya hanya dari grenjeng (kertas perak pembungkus rokok),” kata Gunawan dikutip Kompas , 16 Agustus 1984. Keluarga Gunawan berusaha menyewakan mikrofon dan amplifier berikut perlengkapannya. Waktu itu, semua mikrofon dan kelengkapannya habis disewa dan tinggal sebuah untuk kebutuhan keluarganya sendiri. Pada 17 Agustus 1945 pukul 07.00 pagi, Wilopo dan Njonoprawoto mengendarai sebuah mobil datang untuk meminjam mikrofon. Mereka tidak memberitahu Gunawan untuk keperluan apa mikrofon itu. Waktu itu, Wilopo bekerja di Balai Kota Jakarta sebagai pembantu Soewiryo, wakil walikota Jakarta. Wilopo dan Njonoprawoto tidak bisa memasang mikrofon. Maka, Gunawan menyuruh saudaranya, Sunarto untuk membantu memasangnya. Ketika di dalam mobil, Sunarto diberitahu, bahwa mikrofon itu untuk Proklamasi kemerdekaan. Sunarto, yang kemudian menjadi pengusaha dan tinggal di Bogor, memasang mikrofon itu di Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus 1945. “ Standard didirikannya di ruang muka terbuka, dan versterker diletakkan di dalam kamar muka sebelah kiri dari ruang terbuka itu,” kata Sudiro. Setelah selesai dipakai, siang itu juga, mikrofon diserahkan kembali oleh Wilopo kepada Gunawan. “Ternyata,” kata Sudiro, “mikrofon tersebut masih mempunyai peranan lebih lanjut.” Mikrofon itu dibawa hijrah pemiliknya ke Solo pada permulaan tahun 1946. Sejak digunakan Sukarno, mikrofon itu disimpan baik-baik dan hanya diperlihatkan sesekali kepada sahabat-sahabatnya saja dan tidak pernah digunakan lagi. Pada akhir tahun 1949, keluarga Gunawan kembali ke Jakarta. “Mikrofon beriwayat itu dibawanya, versterker- nya telah rusak, dan ditinggal di Yogyakarta,” kata Sudiro. Sumber lain menyebut amplifier yang rusak dan ditinggal di Yogyakarta. Berkali-kali mikrofon itu ditawar orang, tetapi keluarga Gunawan selalu menolaknya. “Ada seorang India dari suku Sikh yang datang malam-malam, menyatakan keinginannya menukar mikrofon itu dengan sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol,” kata Gunarso, putra Gunawan. Tetapi Gunawan menolaknya karena menganggap mikrofon itu tak ternilai harganya. Gunawan kemudian menyerahkan mikrofon itu kepada Harjoto, Sekjen Kementerian Penerangan. “Harjoto menerangkan bahwa dia menyerahkan ‘mikrofon keramat' kepada Presiden Sukarno sebagai hadiah dalam hubungannya dengan ulang tahun Presiden ke-58,” tulis Antara , 17 Juni 1959. Menurut Sudiro, mikrofon beserta standard -nya tanpa versterker diserahkan Harjoto melalui Darmosugondo kepada Sukarno di Tokyo untuk disimpan di Monumen Nasional. “Harus diakui," kata Sudiro, "di samping kertas dengan teks Proklamasi dan Bendera Pusaka, mikrofon inilah benda bersejarah, yang pantas kita simpan sepanjang masa.”

  • Yang Hilang di Tengah Revolusi

    Bagi orang Karawang, nama Suroto Kunto tidak asing lagi. Selain ditabalkan pada satu monumen, dia juga diabadikan sebagai nama jalan di kota penghasil beras itu. Namun, tak banyak orang mengetahuinya. Yang jelas, sejarah mencatat bahwa pemuda yang hidup di era revolusi itu ternyata memiliki banyak peran dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Suroto mengenyam pendidikan AMS-B di zaman Hindia Belanda. Ketika Jepang datang, ia melanjutkan ke Ika Daigaku. Ia tak menuntaskan pendidikan kedokteran itu karena menolak digunduli sebagai syarat menjadi dokter di era kekuasaan militer Jepang. Yudi Latif dalam Indonesian Muslim Intellegentsia and Power menyebutkan, Suroto bersama Bagja Nitidiwirja, Bahrum Rangkuti, M. Sjarwani, Siti Rahmah Djajadiningrat, Anwar Harjono, Karim Halim, serta Djanamar Ajam, lantas memimpin kelompok pemuda Sekolah Tinggi Islam. Mereka salah satu kelompok muda yang kemudian mendesak Proklamasi segera dilakukan Sukarno. Suroto juga ikut dalam perundingan dengan kelompok pemuda lainnya di Laboratorium Bakteriologi Cikini (kini di samping Universitas Bung Karno) pada petang selepas berbuka puasa pada 15 Agustus 1945. Irna Hadi Suwito dalam ChairulSaleh: Tokoh Kontroversial, menuliskan rapat yang dipimpin Chaerul Saleh tersebut membahas strategi untuk menghadapi golongan tua: Sukarno dan Mohammad Hatta. Sebagai pemuda radikal, mereka tidak ingin kemerdekaan dicapai dalam kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) karena dianggap berbau Jepang. Pasca rapat, empat pemuda kemudian diutus untuk menyambangi Sukarno di kediamannya malam itu juga. “Mereka serentak menyatakan kesepakatan: merdeka sekarang juga. Empat pemuda diutus menghadap Bung Karno; Suroto Kunto, Ahmad Aidit (kemudian dikenal dengan nama DN Aidit), Subadio Sastrosatomo dan Wikana,” ungkap Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Di situ pula kemudian muncul “drama” antara Wikana dan Bung Karno. Saat pemuda kerempeng asal Sumedang itu menggertak Sukarno, dengan marah Si Bung lalu berteriak, “Seret aku ke pojok sana, bunuh aku malam ini juga. Tidak usah menunggu sampai besok!” Nyali Wikana pun meleleh. Gagal mendesak Sukarno-Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan sesegera mungkin, keesokan harinya, para pemuda radikal itu “menculik” keduanya ke Rengasdengklok. Belakangan diketahui, “penculikan” itu ternyata diotaki oleh Chaerul Saleh dan Sukarni. Akhirnya, Proklamasi tercetus pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bersama ratusan pemuda lainnya, Suroto hadir sebagai saksi hidup kelahiran bayi Indonesia. Selanjutnya, ia terjun dalam kancah revolusi sebagai tentara republik. Di TKR (Tentara Keamanan Rakjat), karier Suroto termasuk moncer. Setelah sempat menjadi bawahan Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min (Komandan Resimen V Jakarta Raja yang kemudian berubah jadi Resimen Cikampek), Suroto Kunto kemudian mengambil alih jabatan Moeffreni pada pertengahan 1946. Sayang, kariernya tak berlangsung lama. Letnan Kolonel Suroto Kunto yang saat itu baru berusia 24 tahun, justru hilang secara misterius di kawasan Warungbambu, Karawang pada 28 November 1946. Diduga kuat Suroto Kunto beserta kepala stafnya Mayor Adel Sofyan serta dua pengawalnya, Kopral Muhajar dan Murod, diculik dan dibunuh oleh salah satu kelompok lasykar. Bermula dari adanya konflik antara Suroto dengan Laskar Rakyat Djakarta Raja (LRDR), terkait wilayah pertahanan front Jakarta Timur. Her Suganda dalam Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 mengungkapkan, dalam suatu perundingan di Bekasi, LRDR meminta kepada TKR agar daerah dekat Stasiun Karawang diserahkan kepada LRDR. Tuntutan tersebut ditolak keras oleh Suroto. Setelah penolakan itu dalam perjalanan kembali ke Cikampek, Suroto dan ketiga anak buahnya diculik di kawasan Warungbambu. Jasad mereka tak pernah ditemukan, hanya tersisa satu mobil Ford yang sebelumnya mereka kendarai teronggok di tepi jalan raya Karawang-Cikampek. Peristiwa itu menggerakkan segenap kekuatan Resimen Cikampek untuk menghabisi LRDR. Padahal menurut sejarawan Robert B. Cribb, aksi itu belum tentu didalangi oleh LRDR. Namun, bisa jadi itu ulah intelijen Belanda untuk menggerus secara perlahan kekuatan Republik. “Saya pikir bukan suatu hal yang mustahil jika intelijen Belanda bermain dalam konflik TKR-LRDR dan mereka memang berkepentingan dengan itu,” ujar sejarawan asal Australia yang mendalami tema revolusi Indonesia tersebut kepada Historia .

  • Jenderal “Suci” Soedirman

    DUA pria beda generasi itu bersitegang. Yang muda, Soedirman (diperankan Adipati Dolken), meminta yang lebih tua, Sukarno (Baim Wong), untuk ikut bergerilya dengannya. Mohammad Hatta (Nugie), yang berdiri di samping Sukarno, hanya mendengarkan. Soedirman khawatir akan keselamatan Sukarno dan Hatta setelah pendudukan Belanda atas ibukota Yogyakarta.

  • Kabut Pekat di Nanking

    NANKING, 13 Desember 1937, sinar matahari enggan jatuh. Kabut tebal berjelanak dari celah reruntuhan bangunan. Kota itu mendung dan desing senapan terus menggema. Mayat-mayat tergeletak di tiap sudut. Sekumpulan pelacur bergegas dengan kereta kudanya. Sementara itu, belasan siswi Gereja Winchester terus berlari di antara mayat-mayat. Di belakang mereka, tentara Jepang mengejar. Semakin dekat.

  • Kisah Plakat Pelantikan Raja Inggris

    Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia HE Moazzam Malik merasa takjub. Ia tak menyangka di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) Jakarta, begitu banyak hal-hal terkait dengan negaranya tersimpan. Demikian menurut Jaka Perbawa, salah satu kurator di Munasprok kepada Historia . “Beliau baru tahu bahwa ternyata Munasprok pernah menjadi kediaman para duta besar Inggris di Jakarta” ujarnya. Sejarah memang mencatat bahwa jauh sebelum menjadi museum, gedung itu telah digunakan untuk berbagai kepentingan oleh pemerintah Kerajaan Inggris. Sebagai contoh pada 1930-an, gedung itu difungsikan sebagai kantor Konsulat Jenderal (Konjen) Inggris di Hindia Belanda. Lantas pada 1945-1946, gedung itu juga pernah dijadikan markas besar tentara Inggris yang datang ke Indonesia, sebelum kemudian selama dua dekade (1961-1981) berfungsi sebagai kediaman para duta besar Kerajaan Inggris di Indonesia. Namun yang paling membuat takjub Moazzam Malik adalah kisah ditemukannya plakat yang terbuat dari lempengan besi, penanda untuk memperingati pelantikan Raja Inggris George VI pada 12 Mei 1937. Menurut Jaka, ada kemungkinan plakat tersebut dulu pernah dipasang di pohon beringin (yang pada 2013 sudah ditebang). Plakat itu sendiri bertuliskan: THIS TREE...PLANTED TO COMMEMORATE THE CORONATION OF H.M. KING GEORGE VI MAY 12TH 193. Mengapa plakat bersejarah itu sampai terkubur? “Mungkin seiring waktu dan pertumbuhan pohon, plakat itu terlepas lantas terkubur begitu saja di tanah,” kata Jaka. Begitu terkesannya Moazzam Malik, hingga foto plakat itu “nongkrong” di akun Twitter-nya, @MoazzamTMalik. Di situ ia “berkicau”: “ Museum Proklamasi. Indonesia’s Declaration of Independence drafted here. Former British Residence ~ with a tree to mark George VI Coronation (Museum Proklamasi. Naskah Kemerdekaan Indonesia dirumuskan di sini. Bekas kediaman dubes Inggris ~ dengan sebuah pohon penanda pelantikan George IV).” Plakat itu sendiri ditemukan pada sekira pertengahan Maret 2017. Tepatnya saat pihak museum memutuskan untuk menebang pohon beringin yang letaknya sejajar dengan tiang bendera di halaman depan Munasprok. “Karena kondisinya sudah rapuh dan dikhawatirkan menimpa museum, maka kepala museum memerintahkan untuk meniadakan pohon beringin tua itu sampai ke akar-akarnya. Nah plakat itu ditemukan ketika kami membersihkan sisa-sisa akarnya di dalam tanah,” ujar Jaka. Waktu ditemukan, kondisi plakat sudah patah menjadi lima bagian. Untuk supaya lebih jelas, para kurator museum lalu menyusunnya kembali. Kini, plakat itu masih ditempatkan di ruang penyimpanan dan belum bisa dipertontonkan untuk umum. “Saya sempat konfirmasi ke beliau (Dubes Moazzam), apakah mungkin plakat besi ini satu-satunya yang tersisa di setiap rumah Dubes Inggris di seluruh dunia? Dia bilang, ya mungkin saja ini inisiatif Konjen Inggris saat itu dan jadi satu-satunya yang tersisa,” lanjut Jaka. Hingga kini, pihak museum baru sampai mencari tahu lebih dalam tentang sosok Raja George VI. Belum sampai soal siapa Konsul Jenderal Inggris yang menanam pohon beringin itu. George VI dilantik sebagai raja Inggris menggantikan kakaknya, Edward yang tidak boleh jadi raja karena menikahi rakyat biasa. Kendati banyak yang mendukung, George VI memiliki kekurangan yaitu tidak bisa berbicara lancar. Setelah dilantik, barulah dia dilatih berpidato. Pidatonya dalam Perang Dunia II, jadi penanda bahwa Inggris menyatakan perang terhadap Jerman. Kisahnya itu pernah diangkat ke layar lebar oleh Hollywood berjudul The King’s Speech .

  • Ibu Tien dan Rambut Gondrong

    SITI Hartinah Soeharto atau Ibu Tien dikenang sebagai pribadi yang menyukai ketertiban dan kerapihan, termasuk dalam soal rambut. Banyak kalangan menyebutnya sangat anti jika melihat seorang lelaki memelihara rambut panjang. Setidaknya dalam catatan para wartawan Istana, sudah ada dua jurnalis yang pernah kena tegur Ibu Tien terkait soal itu. Jurnalis pertama adalah Dudi Sudibyo, fotografer senior Kompas yang sudah sejak 1975 ngepos di Istana. Ceritanya, pada 9 April 1981 Presiden Soeharto dan Ibu Tien menjamu para penumpang dan awak pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla yang baru saja selamat dari upaya pembajakan kelompok Jamaah Imran. Saat melakukan pemotretan, tetiba Dudi merasa rambut gondrongnya ada yang menjambak halus dari belakang. Ternyata Ibu Tien. “Nanti potong ya, rambut gondrongnya,” tegur Ibu Tien sebagaimana dikisahkan Dudi dalam buku 34 Wartawan Istana Bicara tentang Pak Harto. Dudi mengaku memang saat itu belum sempat mencukur rambut. Dia yang sebenarnya kelelahan setelah meliput pembajakan pesawat Woyla di Thailand harus segera kembali ke Jakarta dan meliput acara di Jalan Cendanan tersebut. Akibat peristiwa “penjambakan” itu, Dudi menjadi pergunjingan seru kawan-kawannya sesama jurnalis yang saat itu datang pula ke Cendana. Jurnalis kedua yang mengalami peristiwa nyaris sama adalah Totok Susilo. Fotografer yang saat itu berkarier di harian Sinar Harapan , sempat pula mendapat teguran perihal rambut gondrongnya dari Ibu Tien. Suatu ketika dalam pesawat yang membawa rombongan presiden dari Surabaya ke Jakarta (selepas meresmikan patung Yos Sudarso), Pak Harto dan dan Ibu Tien berkesempatan mendatangi para wartawan Istana yang juga ikut. Saat giliran Ibu Tien menjabat tangan Totok, tetiba sang ibu negara berkata, “ Lho rambutnya kok gondrong?” Demi mendengar teguran itu, Totok pun hanya bisa tersenyum masam. “Ya, ora opo-opo tho. Lha lagek nglakoni (Ya tidak apa-apa. Sedang melakukan tirakat),” kata Pak Harto seolah mewakili Totok untuk menjawab pertanyaan Ibu Tien. Begitu sampai rumah, Totok langsung mencukur rambutnya. Selang beberapa hari dalam sebuah kegiatan di Istana Merdeka, Totok kembali bertemu muka dengan Ibu Tien dan langsung mendapat pujian “ Lha itu bagus. Rapi, kan ,” kata Ibu Tien. Totok mengaku lega sekaligus senang saat dipuji oleh Ibu Tien. Ia pun menjadi mafhum bahwa diam-diam ternyata Ibu Negara sangat memperhatikan penampilan para wartawan yang ngepos di Istananya.*

  • Dua Perempuan dalam BPUPKI

    Dari 62 anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) hanya ada dua perempuan: Maria Ullfah dan Siti Sukaptinah Soenarjo Mangoenpoespito. Kedua perempuan ini telah aktif dalam pergerakan sejak tahun 1920-an. “Kalau dari segi pendidikan Maria Ullfah yang paling tinggi. Semua keluarganya mengenyam pendidikan barat. Tidak semua golongan bisa masuk ketika itu. Seleksinya ketat sekali untuk menjadi anggota BPUPKI,” kata Mutiah Amini, sejarawan Universitas Gadjah Mada. Maria Ullfah merupakan sarjana hukum perempuan Indonesia pertama lulusan Universitas Leiden, Belanda. Sambil mengajar di Perguruan Rakyat dan Perguruan Muhammadiyah, dia memperjuangkan kaum perempuan. Dia menjadi pendiri organisasi Isteri Indonesia. Melalui tulisan-tulisannya, dia menyoroti berbagai peroalan perempuan seperti pernikahan paksa dan buruh perempuan. Dia juga memperjuangkan gagasan perlunya perempuan Indonesia duduk di parlemen dan dewan-dewan kota. Dan yang paling penting adalah memperjuangkan undang-undang perkawinan yang baru terwujud tahun 1974. Sementara itu, Siti Sukaptinah pernah menjadi guru di Taman Siswa dan aktif dalam organisasi Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (JIBDA). Dia terlibat dalang Kongres Perempuan I sampai IV, memimpin kantor bagian Wanita Putera, dan ketua Fujinkai Pusat (organisasi perempuan zaman Jepang). Widya Fitria Ningsih, kandidat doktor dari Universitas Amsterdam, mengatakan bahwa Sukaptinah yang mengusulkan peringatan Hari Ibu. Dia juga pernah menuntut “Indonesia Berparlemen” kepada pemerintah Hindia Belanda. “Dia merupakan salah satu elite dalam perjuangan gerakan perempuan. Itu mungkin menjadi salah satu pertimbangan dia terpilih menjadi anggota BPUPKI,” kata Widya. Widya menjelaskan bahwa dalam sidang BPUPKI terdapat pembagian panitia berdasarkan cakupan pembahasan. Terdapat tiga pembagian, Panitia Pertama membahas tentang UUD dan Perumusan Undang-Undang. Panitia Kedua membahas tentang urusan ekonomi dan keuangan, sedangkan Panitia Ketiga membahas mengenai pembinaan tanah air. “Maria Ullfah masuk dalam Panitia Pertama sedangkan Siti Sukaptinah menjadi anggota Panita Ketiga,” kata Widya. Dalam Kongres BPUPKI yang berlangsung antara 28 Mei hingga 1 Juni 1945 dibahas mengenai bentuk negara dan luas wilayah. Akan tetapi yang penting dicatat dalam sejarah perempuan Indonesia ialah usulan Maria Ulfah tentang persamaan hak. “Di sidang ke-2 BPUPKI mambahas tentang kebebasan beragama, dibahas juga tentang hak dasar. Maria Ullfah mengusulkan untuk dicantumkan hak-hak dasar dalam UUD, termasuk persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Dia sangat memperjuangkan itu,” kata Widya. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI menyebut bahwa ketika rapat Pantia Perancangan Undang-Undang Dasar tanggal 13 Juli 1945 Maria Ulfah mengusulkan, “Saya memandang perlu hak-hak dasar dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar.” Maria kemudian menjadi menteri perempuan pertama dalam Kabinet Sutan Sjahrir. Usulan Maria diterima dan menjadi Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang kesetaraan warga negara di hadapan hukum. Atas jasanya itu, Komnas HAM memberikan penghargaan Anugerah HAM kepada Maria Ullfah dan Munir Said Thalib pada 2014.

  • Berita Proklamasi Bergema dari Australia ke Papua

    Kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia ternyata tidak terlalu lama sampai ke Australia. Mohamad Bondan, salah satu eks tahanan politik Boven Digul yang bermukim di Melbourne (Australia), sudah mendengarnya pada 18 Agustus 1945. Lewat siaran radio Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatra Barat, Bondan mendengar kabar gembira itu. Setelah mendapat kepastian, ia lantas menerjemahkan isi berita itu ke dalam bahas Inggris dan menyebarkannya ke seluruh Australia. “Bersama Arif Siregar, saya menerjemahkannya dengan bantuan seorang warga Australia yang berprofesi sebagai guru,” ungkap Bondan dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan. Namun, pemerintah Hindia Belanda yang tengah mengungsi di Australia (menyusul serbuah militer Jepang pada 1942) menghalang-halangi upaya tersebut. Dengan sekuat tenaga, mereka berusaha menyembunyikan kabar itu lewat penyensoran sejumlah surat kabar dan siaran radio lain di Australia. Upaya itu justru mendapat perlawanan sengit dari para pemuda Indonesia dan warga Australia yang simpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Karena berita itu, sejumlah pekerja asal Indonesia melakukan mogok kerja. Seperti yang dilakukan 85 pekerja Kapal KPM Bontekoe (kapal yang akan berlayar ke Indonesia dengan membawa sejumlah keperluan militer Belanda), pada 21 September 1945. Pada hari yang sama, di kota Brisbane lahir Komite Indonesia Merdeka (KIM), sebagai kelanjutan upaya mempertahankan proklamasi Indonesia. Dengan antusias, para aktivis pro kemerdekaan RI mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di seluruh kota. “Sebagian bendera diarak keliling sambil meneriakan dukungan kepada 85 pelaut yang tengah menggelar aksi mogok tersebut,” ujar Bondan. Keesokan harinya, aksi mogok kerja menular ke sejumlah kota lain di Australia. Di Sydney,Melbourne dan Selandia Baru, aksi mendukung kemerdekaan Indonesia kian marak. Berita pemogokan semakin meluas lantaran disiarkan dalam bahasa Inggris oleh Molly Warner (kelak menjadi istri Mohamad Bondan). Dampaknya, Sekutu pun tak lagi bisa membendung arus berita proklamasi dan sejumlah kabar situasi di Indonesia. Penyebarluasan berita proklamasi juga disebarkan IPEA (Indonesian Political Exile Association). “Pamflet yang memberitakan proklamasi diterbitkan IPEA dengan ditandatangani Ahmad Soemadi, Ketua SIBAR (Sarikat Indonesia Baru) Cabang Mackay,” ungkap Soewarsono dkk dalam Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel. Pamflet-pamflet itu juga lantas ikut tersebar ke Merauke, Irian Barat (kini Papua). Dari sinilah gema proklamasi itu diketahui para aktivis pergerakan nasional Indonesia asal Irian, seperti Silas Papare, Marthin Indey, hingga Frans Kaisiepo. Lewat mereka masyarakat Papua kemudian mengetahui berita proklamasi. Untuk merespon berita itu, pada 31 Agustus 1945, sejumlah aktivis Papua pro Indonesia merdeka menggelar upacara pengibaran bendera merah putih. Momen ini yang kemudian dikenang sebagai Insiden Bendera di Bumi Cendrawasih. Onnie Lumintang dkk dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare menyebutkan, awalnya pada waktu itu NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) akan merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina dan memerintahkan rakyat Papua untuk mengibarkan bendera merah putih biru Belanda. Alih-alih menururuti perintah tersebut, masyarakat Papua justru mengibarkan bendera merah putih di pucuk tiang, sementara bendera Belanda dan Amerika Serikat dikibarkan setengah tiang. “Itu cermin manifestasi gejolak hati putra-putra Irian Barat untuk menghirup alam kemerdekaan Indonesia,” tulis Onnie Lumintang.

  • Menulis Mencipta Indonesia

    DR. MAX LANE, Indonesianis dari Victoria University Australia, seringkali bingung tiap kali melihat pameran tentang kebudayaan Indonesia. Yang dipamerkan lazimnya batik hingga angklung. “Itu bukan kebudayaan Indonesia. Batik kebudayaan Jawa. Angkung kebudayaan Sunda. Itu sudah ada sebelum negara Indonesia ada. Itu semua warisan dari Indonesia yang sebelumnya belum ada di bumi manusia,” ujar Max Lane dalam peluncuran bukunya, Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia: Esai-esai tentang Pramoedya, Sejarah dan Politik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu, 12 Agustus 2017. Max Lane mengatakan bahwa salah satu elemen dasar kebudayaan Indonesia adalah menulis. Ini yang dilakukan sastawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer lewat sejumlah karyanya, seperti tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca . “Banyak pesan yang terdapat dalam karya-karya Pramoedya yang terinspirasi dari RA Kartini. Pramoedya melihat Kartini sebagai pemikir zaman pencerahan Indonesia. Dalam karya-karya Pramoedya, terkandung pesan-pesan seperti kebangkitan nasional Indonesia di era 1920-an,” kata Max Lane. Max Lane menerjemahkan karya-karya Pramoedya ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Akibatnya, sebagai diplomat muda di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dia ditarik ke negerinya pada 1981. Menurut Max Lane karya-karya Pramoedya penting untuk dibaca oleh generasi muda agar dapat menentukan ke mana arah bangsa ini akan di bawa. Arah bangsa yang sejak era 1950-an selalu memunculkan pertarungan ideologi yang keras. “Setelah Indonesia merdeka, lalu masa depannya mau di bawa ke mana. Makanya di era 1950-an, terjadi pertempuran ideologi. Peristiwa 30 September 1965 jadi titik balik. Orang-orang kiri dipenjara, dibunuh sebagai akibat pertarungan ideologi yang diselesaikan dengan cara kekerasan,” kata Max Lane. Di Indonesia, menurut Max Lane, belum ada sekolah-sekolah menengah yang punya mata pelajaran sastra Indonesia. Padahal, dari sastra dan tulisan pula generasi muda bisa belajar mengenai asal-usul dan budaya Indonesia. “Proses pertama terciptanya Indonesia itu adalah perlawanan terhadap ketidakadilan. Ketidakadilan yang dijalankan kediktatoran kolonialis Hindia Belanda. Yang kedua adalah menulis dan ketiga adalah menyebarluaskan tulisan dan ide-ide. Karena tanpa menulis dan menyebarluaskannya, perlawanan tidak ada gunanya, tidak diketahui dunia,” kata Max Lane. Menurut Max Lane Indonesia juga eksis dan terpelihara sampai sekarang karena revolusi yang memiliki dua sifat utama. Pertama, pembalikan kekuatan kekuasaan seperti yang dilakukan para pejuang terhadap kekuatan penjajah. “Yang kedua, menciptakan sesuatu yang baru. Dalam hal ini, menciptakan Indonesia yang sebelumnya tidak ada di bumi manusia. Tapi setelah tercipta, Indonesia mau dibawa ke mana,” kata Max Lane. Oleh karena itu, Max Lane berpesan agar generasi muda Indonesia aktif mempelajari sastra dan mau berorganisasi. “Karena kalau sendiri, kita tidak bisa buat apa-apa. Kalau bersama-sama dalam berorganisasi, bisa lebih bergerak menentukan masa depan Indonesia,” pungkas Max Lane.*

  • Begum Jaan Menolak Tunduk

    PARTISI India tahun 1947 adalah momen sejarah getir bagi India dan Pakistan. Partisi yang terjadi bersamaan dengan kemerdekaan India itu menimbulkan krisis dan konflik, yang hingga kini membayangi hubungan kedua negara tetangga itu.

  • Hiu Taklukkan Angkatan Laut Amerika Serikat

    Loel Dean Cox ingat betul suasana ketika kapal tempatnya bertugas, USS Indianapolis (CA-35), dihantam torpedo kapal selam Jepang pada dini hari 30 Juli 1945. “Ada air, puing, api, semuanya terlempar ke atas dan kami berada 81 kaki dari garis air,” ujarnya, sebagaimana dilansir dailymail.co.uk . Ketika pria yang waktu itu masih berusia 19 tahun tersebut langsung berlutut tak lama kemudian, torpedo kedua kembali menghantam kapal yang sedang membawa misi khusus itu. USS Indianapolis , yang berada di perjalanan antara Guam-Leyte, Filipina, langsung terbelah dua. Sinyal SOS yang dikirim USS Indianapolis ke markas Angkatan Laut Amerika Serikat sebelum kapal itu tenggelam tak mendapat respons. Angkatan Laut, yang amat ceroboh lantaran gagal mendeteksi masih aktifnya kapal selam Jepang di perairan itu dan sengaja melepas USS Indianapolis tanpa pengawalan, menganggap sinyal itu merupakan jebakan Jepang. Sekira 900 dari 1100-an awak pun langsung menyelamatkan diri. “Orang-orang langsung terjun dari buritan, dan Anda bisa lihat keempat turbin kapal masih berputar,” ujar Cox. Sebagian dari mereka tertampung di sekoci-sekoci, sementara yang lain mengambang dengan jaket pelampung dan banyak dari mereka bertahan tanpa alat bantuan apapun –bahkan ada yang tak berpakaian. Dengan membentuk kelompok-kelompok, mereka mengambang di kegelapan malam laut yang penuh hiu itu. Mereka berharap regu penyelamat datang saat hari terang. Beberapa di antara mereka yang terluka, baik luka bakar maupun patah tulang. Perwira medis Dokter Haynes, tak bisa berbuat banyak dan jadi frustrasi karena tak ada obat untuk digunakan. Akibat syok, banyak di antara yang menderita luka bakar dan patah tulang itu lalu tewas di jam-jam pertama. Namun ketika matahari mulai terang, regu penyelamat tak kunjung tiba. Justru masalah mulai menghinggapi. Tumpahan minyak kapal mereka yang menutupi air membuat mata dan hidung mereka merasa terbakar dan leher tercekik. Sebelum matahari naik ke cakrawala Senin pagi, sekira 50 orang di antara mereka meregang nyawa. Ombak besar yang datang pada siang membuat mayoritas dari mereka menelan air laut yang telah tercemar minyak. “Semuanya muntah. Rasa haus mulai menghinggapi orang-orang itu,” tulis Raymond B. Lech dalam The Tragic Fate of the USS Indianapolis: The US Navy’s Worst Disaster . Dehidrasi dan lapar yang mereka derita kemudian menyebabkan photophobia dan delusi. “Terkadang seluruh kelompok memiliki halusinasi yang sama. Dalam satu kasus, sebuah kelompok bermalam pada suatu malam dan kembali keesokan paginya, mengklaim bahwa Indianapolis tidak tenggelam. Mereka mengatakan bahwa mereka telah naik ke atasnya sepanjang malam, minum air dan susu. Orang-orang lain mempercayai mereka dan berenang bersama mereka. Mereka tidak pernah terlihat lagi,” tulis Marc T. Nobleman dalam The Sinking of the USS Indianapolis . Namun, bahaya baru datang kemudian. Hiu-hiu datang menghampiri mereka, dan memakan mayat-mayat. Seorang marinir, Giles McCoy, melihat seekor hiu menyerang mayat yang ada di dekatnya. Jumlah ikan karnivora itu bertambah saat matahari mulai tenggelam. Para pelaut mulai ketakutan. “Orang-orang yang diteror dalam air, banyak di antaranya bisa merasakan tekstur kasar kulit hiu yang menggores kaki mereka, tidak yakin harus melakukan apa,” tulis Dan Kurzman dalam Fatal Voyage: The Sinking of the USS Indianapolis . Mereka lalu menendang, memukul, dan membuat kegaduhan untuk mengusir hiu-hiu yang mendekat. Tapi upaya itu hanya berhasil pada saat-saat awal. Hiu-hiu itu pun kemudian memangsa orang-orang yang masih hidup secara tiba-tiba. “Hiu-hiu itu kemudian menjadi lebih berani dan menyerang orang-orang secara acak dalam kelompok yang lebih besar,” kata penyintas Lyle M. Pasket, sebagaimana dimuat dalam The Sinking of the USS Indianapolis . “Sepertinya hiu itu pintar.” Kian banyaknya serangan hiu membuat darah yang tumpah ke laut semakin banyak. Bau anyir darah semakin memancing hiu-hiu untuk datang. Setiap malam, tiga sampai empat pelaut hidup jadi mangsa hiu-hiu itu. “Di air yang jernih itu Anda bisa melihat hiu-hiu berputar-putar. Lalu sesekali, bak kilat, seekor langsung naik dan mengambil seorang pelaut dibawa ke dalam. Seekor hiu datang dan mengambil pelaut di sampingku,” kata Cox. Keadaan mengerikan itu berlangsung hingga hari keempat. Malam menjelang pergantian dari hari keempat ke hari kelima, mereka ditemukan oleh pilot Angkatan Laut Letnan Wilbur C. Gwinn yang sedang melakukan patroli rutin menggunakan pesawat PV-1 Ventura. Melihat banyaknya orang di atas air, Gwinn segera mengontak pangkalannya di Peleiu. Sebuah pesawat amfibi di bawah komando Letnan Adrian Marks langsung dikirim untuk membantu. Marks mengontak kapal destroyer USS Cecil Doyle (DD-368) untuk datang membantu, dan permintaannya berhasil. Sekira 300-an pelaut dan marinir USS Indianapolis yang tersisa akhirnya berhasil diselamatkan.

  • Saat Proklamasi Berkumandang di Serambi Mekah

    Meski berusaha dibendung pihak militer Jepang, berita proklamasi lambat laun tetap sampai ke seluruh Indonesia . Termasuk di salah satu provinsi Indonesia paling ujung: Aceh. Namun karena jarak yang sangat jauh dari Jakarta, masyarakat Aceh sendiri baru mendengar berita itu sekira dua pekan sejak dibacakannya teks Proklamasi oleh Sukarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945. Sebagaimana disarikan dari buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang dituliskan Muhammad Ibrahim dkk, masyarakat Aceh secara umum baru mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 29 Agustus 1945. Pun begitu, sedianya para staf kantor berita Hodoka Kutaradja dan surat kabar Atjeh Simbun sudah lebih dulu mendengarnya pada 21 Agustus 1945. Upaya yang terkesan berani juga coba dilakukan tiga pemuda pegawai Kantor Kepolisian Kutaradja (kini Kota Banda Aceh). Mereka nekat mengibarkan bendera merah putih di kantor tersebut pada malam hari, dengan harapan bisa segera dilihat masyarakat keesokan harinya. Itu kali pertama bendera merah putih berkibar di Bumi Serambi Makkah sejak dibacakannya proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Kenekatan lain juga dilakukan seorang pemuda, Teuku Nyak Arif, yang berkeliling Kutaraja (kini Kota Banda Aceh) pada 24 Agustus dengan mengibarkan bendera merah putih di mobilnya. “Maksudnya agar masyarakat luas tahu bahwa Indonesia sudah merdeka dan rakyat tidak perlu lagi tunduk pada penjajahan Jepang,” ungkap Rusdi Sufi, Iriani Dewi Wanti, Seno dan Djuniat dalam buku Sejarah Kotamadya Banda Aceh . Sayangnya usaha-usaha itu pun belum begitu dimengerti masyarakat awam. Justru baru pada 29 Agustus masyarakat Aceh paham bahwa sudah ada yang namanya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kabar proklamasi yang tersebar ke pelosok Aceh setelah kedatangan Teuku Mohammad Hasan dan M Amir dari Jakarta yang singgah ke Kota Medan. Kabar itu lantas ditindaklanjuti oleh para pemuda setempat dengan menaikan bendera merah putih di depan Kantor Kesejahteraan Rakyat dan di Kantor Tyokan (Kantor Baperis). Setiap rumah di Aceh kemudian juga diwajibkan mengibarkan bendera pada 13 Oktober lewat Maklumat Nomor 2 Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh.

bottom of page