top of page

Hasil pencarian

9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dari Diskriminasi ke Apresiasi

    ALI Shahabudin, 65 tahun, sudah tiga jam berbicara. Namun, dia belum menunjukkan tanda kelelahan. Mulut dan hidung lancipnya mengeluarkan asap rokok. Asbak di atas meja tak cukup lagi menampung puntung dan abu rokok. Sementara kopinya tandas, tinggal ampas. “Saya masih punya banyak cerita tentang peranakan Arab,” ujarnya kepada Historia .

  • Citarasa Hadrami, Citarasa Indonesia

    SEJARAWAN Yunani, Herodotus, pada abad kelima sebelum masehi mencatat munculnya keingintahuan orang Barat akan asal-muasal rempah-rempah. Namun, pedagang Arab yang kala itu menjadi perantara niaga rempah di Eropa berhasil menyembunyikan asal-usul rempah-rempah itu.

  • Busana Arab dari Kesalehan hingga Mode

    KETIKA berkunjung ke Kerajaan Mataram pada pertengahan abad ke-17, Rijckloff van Goens, seorang wakil VOC, mengamati kebiasaan berbusana para bangsawan. Di atas kuda, para bangsawan berkumpul di alun-alun dan “dengan sangat tekun” mengamati penutup kepala yang dikenakan Raja Amangkurat I: apakah tutup kepala gaya Jawa atau turban ala Turki.

  • Bertanah Air Indonesia, Bukan Hadramaut

    PARA peserta Konferensi Peranakan Arab di rumah Said Bahelul di Kampung Melayu, Semarang, tegang. Suasana perkenalan berjalan canggung, karena sejak lama komunitas Arab mengalami konflik yang dipicu soal strata sosial antara sayid dan non-sayid. Sayid, atau disebut juga alawi, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut keturunan Nabi Muhammad dan karenanya membuat mereka merasa istimewa. Abdul Rahman (A.R.) Baswedan mencairkan suasana dengan mengajukan jalan tengah.

  • Berawal dari Sebuah Paviliun

    TJIPTO Mangunkusumo paling tua di antara para aktivis muda yang berkumpul di sebuah paviliun rumah, di Regentsweg No. 22 (kini Jl. Dewi Sartika), Bandung, pada malam 4 Juli 1927 itu. Rata-rata umur mereka baru seperempat abad, sedang Tjipto sudah malang melintang di dalam pergerakan politik. Keberadaannya di Bandung pun dalam status sebagai orang buangan, yang dilarang berpolitik praktis. Pemerintah kolonial menghukumnya atas tuduhan membantu anggota PKI yang memelopori pemberontakan pada 1926.

  • Tidak Lagi Memunggungi Afrika

    DARI tanggal 21 Agustus sampai 24 Agustus Presiden Joko Widodo melakukan lawatan ke empat negara Afrika: Kenya, Tanzania, Mozambik, dan Afrika Selatan. Momen ini historis karena merupakan kunjungan luar negeri pertama Jokowi ke kawasan Afrika selama menjabat sebagai presiden.

  • Simpang Jalan Milisi Partai

    JALAN sunyi di pusat kota Cianjur itu masih menyisakan masa lalu. Pohon-pohon mahoni tua berderet, menaungi rumah-rumah lama dan bangunan-bangunan toko. Sementara itu, di ujung jalan, beberapa gedung sekolah milik yayasan Katolik berdiri megah. Orang-orang Cianjur mengenal ruas jalan itu sebagai Jalan Barba (Barisan Banteng).

  • Sejarah Sebagai Ilmu Berbangsa

    MENGAPA kita perlu belajar dari sejarah? Kita semua mengenal sejarah, karena sejarah merupakan mata pelajaran yang mulai dikenalkan kepada kita sejak masih duduk di Sekolah Dasar hingga menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas. Kedudukannya sebagai mata pelajaran wajib menempatkan sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari oleh semua generasi muda bangsa.

  • S.K. Trimurti di Tengah Tokoh Kiri

    S.K. TRIMURTI kerap datang ke rumah Ahmad Subardjo, yang sudah jadi menteri luar negeri, di Jalan Cikini Raya untuk meminjam buku. Namun, dalam suatu kunjungan, Subardjo memperkenalkannya dengan seorang lelaki bernama Hussein, yang sejak berada di Jakarta melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh terkemuka Republik. Subardjo kemudian memberitahu nama sebenarnya pada bulan September. Kapan pertemuan pertama terjadi, Trimurti tak ingat. Dia hanya mengatakan, setelah perkenalan itu, dia sempat beberapa kali bertemu lagi dengan Hussein sebelum akhirnya tampil terbuka di muka umum dengan nama sebenarnya: Tan Malaka.

  • PNI Lahir Kembali di Masa Revolusi

    TAK lagi menjabat sebagai menteri, Sartono mulai memikirkan tentang partai. Dia mengajak beberapa teman dekatnya berdiskusi tentang pembentukan sebuah partai nasionalis yang meneruskan cita-cita Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).

  • Nyanyi Sumbang Desa Kingkang

    TAK peduli apapun risikonya, pada Maret 1964, Kartonodimedjo mendatangi Pantosuhardjo yang menyewa tanahnya. Dia menuntut Pantosuhardjo menyerahkan separuh lahan sewaannya yang seluas 3.235 m2 untuk digarapnya sendiri.

  • Merawat Semangat Oposan

    KABAR pertemuan Arnold Manonutu dengan Semaoen di kota Amsterdam, Belanda, tercium intelijen Belanda. Dia pun mulai dimata-matai. Bahkan, pemerintah Hindia Belanda melarang orangtuanya mengirim uang bulanan.

bottom of page