top of page

Hasil pencarian

9573 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mengapa Manusia Prasejarah Menggambar di Gua?

    DI salah satu situs kompleks prasejarah Leang-leang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, terdapat tangga berbahan besi yang menghubungkannya menuju mulut gua. Namanya Leang Pettakere. Leang dalam bahasa setempat berarti gua. Di dinding dan langit-langit ada beberapa lukisan cap tangan dan gambar binatang. Pettakere memiliki dua mulut gua. Udara dalam gua cukup baik, tidak pengap dan cukup sejuk. Inilah yang dikatakan peneliti gambar gua dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Pindi Setiawan, sebagai pemilihan lokasi tempat tinggal yang tepat. “Masyarakat pada masa lalu tidak memilih gua secara acak. Mereka melihat sirkulasi udara, atau pun faktor kenyamanan,” katanya. Bagi Pindi, masyarakat penghuni gua yang diperkirakan menjejak Sulawesi sejak 40.000 tahun lalu sesuai hasil penanggalan, adalah masyarakat yang sama saja dengan manusia saat ini. Mereka hidup dengan relasi sosial, antara hubungan satu sama lain hingga spiritual. “Saya kira gambar-gambar yang tertera di langit-langit gua menunjukkan unsur spiritual,” katanya. Di situs-situs gua prasejarah Maros dan Pangkep, ada tiga periode yang terlihat dalam penggambaran lukisan. Pertama gambar cap tangan biasa berwarna merah. Kedua gambar cap tangan merah dengan ujung-ujung jari yang runcing. Ketiga adalah gambar yang berwarna hitam. Dalam skala waktu, gambar gua yang berwarna merah usianya lebih tua. Dibanding dengan gambar berwarna hitam yang diperkirakan dari masyarakat Austronesia sekitar 2500-4000 tahun lalu. Perbandingan ini diperoleh Pindi, melalui hasil analisis bersama kelompok peneliti gambar gua yang tersebar di 400 buah situs seluruh dunia. Di Maros dan Pangkep, manusia penghuni gua awal adalah masyarakat pemburu tua. Penggunaan alat batu masih sedikit, mereka membidik mangsa buruan dengan menjepit di tebing-tebing karst, lalu menimpuknya. Gambar-gambar binatang yang diletakkan di dinding gua, adalah untuk makanan. Sementara yang berada di langit-langit gua untuk persembahan ataupun yang disembah. “Di Kalimantan ada gambar binatang Cicak. Di Afrika ada gambar Singa. Di Eropa ada gambar Bison, namun ketika dilakukan penggalian di situs ditemukan malah tulang binatang Beri-beri. Artinya, biantang-binatang yang memiliki posisi atas itu tidak untuk dikonsumsi,” kata Pindi. Tak hanya itu, bagi Pindi, masyarakat gua menggambar dan memilih objek adalah tentang apa yang paling menggugah hati. Maka, untuk meletakkan gambar diperlukan tempat yang tepat. “Mereka menggambar cap tangan, karena mencapai tahap sosial tertentu. Kelahiran mereka melakukannya, ataupun mencapai tahap kemahiran memburu mereka mencap. Jadi ini, adalah perayaan dalam sebuah tingkatan. Seperti orang modern, dari lajang menjadi pasangan. Kan, kalau cerai tidak dirayakan,” katanya. Literatur lain menuliskan, jika gambar-gambar dalam gua adalah sebuah karya seni. “Oh itu saya tidak setuju,” kata Pindi. Menurut dia, perbincangan mengenai gambar gua ( rock art ) bermula ketika seni modern di Eropa mencapai tahap puncak. Beragam aliran mulai muncul, dari abstrak, realis, hingga surealis. Lalu beberapa orang Eropa memunculkan beberapa gambar dari gua. “Mereka (orang Eropa) memilih gambar-gambar yang bagus. Gambar yang kurang baik menurut selera seni pada masa itu tidak ditampilkan,” katanya. Namun, pada awal 1980-an, setelah beberapa peneliti melakukan pengujian dan melakukan penanggalan pada gambar-gambar gua, Eropa kembali mendata ulang dan meluruskan beberapa kekeliruan mengenai gambar. Tapi apa yang terjadi, puluhan tahun pengaruh Eropa ke Indonesia, rupanya cukup kuat. “Ketika orang-orang Eropa mulai menata ulang pemikiran tentang gua, kita masih menggunakan teori lama. Jadi tak heran masih banyak orang yang mengatakan gambar gua itu adalah karya seni masyarakat prasejarah,” katanya. Hal yang sama diungkapkan arkeolog Universitas Hasanuddin Makassar, Iwan Sumantri. Menurutnya gambar-gambar dalam gua menunjukkan aktivitas masyarakat. “Gambar cap tangan memperlihatkan jika pada masa itu sudah ada tradisi ritual,” katanya.

  • Misteri Kerajaan Jampang Manggung di Cianjur

    PAHATAN tapak kaki kiri tergambar pada batu hitam berukuran sekitar 30x14 cm. Kehadiran batu bergambar tersebut hampir tak kentara, tertutupi semak belukar dan rerumputan, serta pohon tumbang dan ranting-ranting berserakan. "Orang-orang sini mengenalnya sebagai Sanghyang Tapak,” kata Hendrawan (37), penduduk Cianjur. Sanghyang Tapak terletak tepat di puncak Gunung Mananggel, bukit berketinggian sekitar 800 meter dpl (dari permukaan laut). Kendati populer, tetapi penduduk kota tauco itu jarang mengetahui asal-usul Sanghyang Tapak. Yana (59), menyatakan bahwa kaki kiri itu dahulu kala konon milik seorang sakti yang menguji ilmu kanuragannya. “Ia meloncat-loncat dari satu gunung ke gunung lainnya, bahkan konon tapak kaki kanannya ada di Gunung Geulis,” ujarnya seraya menunjuk bukit besar lain, tetangganya Gunung Mananggel. Penjelasan masuk akal baru didapatkan dari K.H. Djalaluddin Isaputra (49), tokoh masyarakat setempat. Menurut lelaki yang akrab dipanggil Ustadz Jalal tersebut, Sanghyang Tapak merupakan tapak kaki Resi Pananggel alias Pangeran Laganastasoma, salah satu keturunan raja-raja Jampang Manggung, kerajaan yang didirikan Prabu Kujang Pilawa pada tahun 330 saka (sekitar tahun 406-407 M). Jadi, keberadaannya jauh mendahului Kabupaten Cianjur yang baru didirikan pada 1677. Tetapi, dalam catatan sejarah resmi tentang kota Cianjur, nama Jampang Manggung tak pernah disebut. Bahkan, dalam Sajarah Cianjur Sareng Raden Jayasasana Dalem Cukundul karya Bayu Surianingrat dituliskan bahwa saat Dalem Cikundul baru datang ke Cianjur, situasi kawasan itu sama sekali belum diatur oleh suatu pemerintahan resmi dan masih berupa hutan rimba yang hanya dihuni sekelompok jawara. Lantas dari mana datangnya nama Jampang Manggung tersebut? Dalam Lalakon ti Cianjur , pegiat sejarah Cianjur, Luki Muharam menyebut informasi-informasi tersebut didapatnya dari Wawacan Jampang Manggung , sebuah kitab tua yang saat ini berada di tangan Ustadz Jalal dan diwariskan oleh karuhunnya secara turun-temurun. “Dalam Wawacan Jampang disebutkan bahwa saat Raden Jayasana datang ke kawasan yang sekarang disebut Cianjur, sejatinya telah terdapat suatu pemerintahan yang sudah berdiri sejak ratusan tahun, namanya Kerajaan Jampang Manggung,” tulis Luki. Bahkan disebutkan juga, saat Raden Jayasana alias Dalem Cikundul datang, Kerajaan Jampang Manggung tengah dipimpin Prabu Laksajaya. Karena sang raja lumpuh dan tidak memiliki putera, pemerintahan dijalankan oleh wakilnya, Patih Hibar Palimping. “Saat Raden Jayasana datang, rakyat Jampang Manggung sudah menganut agama Islam dan memiliki mata pencaharian sebagai petani huma,” kata Ustadz Jalal. Patih Hibar menikahkan puterinya, Dewi Amitri dengan Raden Jayasana karena tertarik dengan kedalaman ilmu agama Islam dan keahliannya mengembangkan ilmu pertanian baru bernama “huma banjir” (penanaman padi khas Mataram yang menggunakan air). “Karena Hibar Palimping tidak memiliki seorang putera maka saat dia memutuskan menjadi seorang ulama, pemerintahan lantas diserahkan kepada menantunya tersebut,” ungkap sesepuh Pesantren Bina Akhlak Cianjur itu. Begitu menerima limpahan kekuasaan dari Patih Hibar, Raden Jayasana (kemudian menyebut dirinya sebagai Aria Wiratanu) memindahkan pusat pemerintahan dari kaki Gunung Mananggel ke kawasan yang hari ini disebut sebagai Cibalagung. Dia lantas meresmikan nama baru dari daerah yang dia pimpin itu menjadi Kadaleman Cikundul, cikal bakal Kabupaten Cianjur. Hingga kini belum ditemukan sumber lain, seperti penelitian para sejarawan Belanda, mengenai Kerajaan Jampang Manggung. Selain Sanghyang Tapak yang mengindikasikan keberadaan kerajaan tersebut, juga terdapat makam tua di kaki Gunung Mananggel dan sekitarnya. Selebihnya, Kerajaan Jampang Manggung masih menjadi misteri sejarah yang harus dieksplorasi oleh para sejarawan dan arkeolog.

  • Tentara Jerman dalam Perang Kemerdekaan Indonesia

    SELAMA penggojlokan di Sarangan, kadet Sayidiman Suryohadiprojo mengenal lelaki berkulit putih sebagai pelatih jasmani terbaik: disiplin dan ulet. Dengan gayanya, dia berhasil menjadikan anak-anak Akademi Militer Yogyakarta menguasai gerakan-gerakan senam yang sebelumnya hanya bisa dikuasi orang-orang Belanda. Adalah Her Hufper, seorang Jerman yang mengajar senam dan atletik bagi para kadet Akademi Militer Yogyakarta. “Hufper bukan pelatih sembarangan, dia adalah pelatih senam tim Jepang dalam Olympiade tahun 1940 yang kemudian gagal diadakan,” ujar Sayidiman, terakhir pangkat Letnan Jenderal. Menurut lulusan terbaik Akademi Militer Yogyakarta angkatan pertama tersebut, Hufper bukanlah satu-satunya orang Jerman yang terlibat dalam pendidikan calon-calon perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di Sarangan terdapat para instruktur Jerman yang mengajarkan bahasa asing (Jerman, Inggris, Prancis) dan keterampilan morse. Untuk materi yang terakhir ini, para kadet Akademi Militer Yogyakarta dididik secara khusus oleh bekas markonis Jerman yang memiliki kemampuan mengirimkan dan menangkap tanda morse dalam kecepatan tinggi. Sejarawan militer Nino Oktorino menyebutkan bahwa sejak menginjakan kaki di tanah Nusantara pada awal-awal balatentara Jepang datang ke Jawa, sudah banyak perwira Jerman menyimpan simpati terhadap rakyat Indonesia. “Saat berkumpul, mereka kerap mendiskusikan tentang kemerdekaan Indonesia…” tulis Nino dalam Nazi di Indonesia, Sebuah Sejarah yang Terlupakan. Soal ini juga diakui oleh sejarawan Jerman Herwig Zahorka. Dia bahkan menyebut, pasca berakhirnya Perang Dunia II, setidaknya ada dua prajurit Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) dari Kapal Selam U-219 yang bergabung dengan gerilyawan Indonesia untuk memerangi militer Belanda. “Nama mereka adalah Warner dan Losche…” ungkap ahli sejarah militer Jerman di Indonesia tersebut. Lantas bagaimana nasib mereka berdua? Zahorka hanya mengatakan bahwa begitu lolos dari kamp konsentrasi Sekutu di Pulau Onrust (masuk wilayah Kepulauan Seribu), Warner dan Losche menjadi pelatih militer pada sebuah kesatuan tentara Indonesia di pulau Jawa. “Salah seorang dari mereka yakni Losche malah gugur dalam suatu kecelakan saat melatih para gerilayawan republik membuat sejenis pelontar api,” kata Zahorka. Menurut Nino, Warner dan Losche, serta satu Jerman lain yang tidak diketahui namanya, memang ditugaskan untuk melatih suatu kesatuan tentara Indonesia di perkebunan kopi di Ambarawa, Jawa Tengah. Sumber NEFIS (Dinas Intelijen Militer Belanda) membenarkan adanya puluhan orang Jerman yang memihak Indonesia dalam perang kemerdekaan (1945-1949). Hal ini diungkapkan oleh Jenderal Simon Hendrik Spoor dalam biografinya, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, karya sejarawan militer Belanda J.A. de Moor. Spoor menceritakan adanya orang-orang Jerman dalam suatu pertempuran: “…Sepuluhan orang Jerman katanya memperdengarkan diri dengan keras dan jelas di dalam semak, tanpa pernah secara fisik menampakan diri.”

  • Sniper Kopassus Stres, Menembaki Orang di Lapangan Terbang Timika Papua

    PADA 3 November 2015, Serda Y.H, anggota Divisi I Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), menembak seorang pengendara ojek di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.  Penyebabnya, ojek yang menyerempet mobilnya tidak berhenti untuk meminta maaf. Penembakan oleh oknum tentara sering terjadi. Korbannya, bisa sipil maupun militer, seperti terjadi pada 1996. Pada 15 April 1996, Letnan Sanurip, seorang sniper atau penembak jitu Kopassus, menembaki orang-orang di lapangan terbang Timika, Papua. Sepuluh tentara tewas, empat warga sipil dan satu orang pilot maskapai Twin Otter Airfast, berpaspor Selandia Baru. Sepuluh tentara dan tiga warga sipil luka-luka. Brigadir Jenderal Amir Syarifudin, Kepala Pusat Penerangan ABRI, menceritakan kejadian itu bahwa Letnan Sanurip bangun pagi hari di dalam hanggar. Karena berisik (mungkin karena gangguan kejiwaan), dia ditegur oleh rekannya. Tidak terima ditegur, dia langsung memberondong rekan-rekannya dengan senapan yang dibawanya. “Setelah menembaki rekan-rekanya, dia berlari keluar dari hanggar dan menembaki siapa saja yang ada di situ,” kata Amir, dikutip Kompas , 16 April 1996. Pihak ABRI mengindikasikan Letnan Sanurip melakukan aksi koboi itu karena mengalami gangguan kejiwaan akibat malaria yang merusak sistem saraf. Namun, keterangan berbeda dikemukakan mantan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI, Letnan Jenderal Soeyono. Menurutnya, Letnan Sanurip adalah penembak jitu ( sniper ) dan pelatih tembak tempur yang diterjunkan di daerah operasi untuk membantu pembebasan sandera oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM menyandera selama 130 hari Tim Lorentz ’95, terdiri dari sebelas peneliti dari Indonesia dan Inggris, serta dua orang dari WWF (World Wildlife Fund) dan seorang dari Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). “Karena stres dan kecewa tidak diikutkan dalam beberapa gerakan operasi, pada suatu subuh dia nekat menembaki siapa saja yang dilihatnya di kawasan landasan lapangan terbang Timika. Sekitar lima belas orang  menjadi korban penembak jitu pelatih tembak tempur itu. Yang menjadi korban antara lain Komandan Satgas, yakni seorang pewira menengah Kopassus yang sedang naik daun,” kata Soeyono dalam biografinya, Bukan Puntung Rokok, karya Benny S. Butarbutar. Theo Syafei, mantan Pangdam Udayana (1993-1994) menyatakan seharusnya Sanurip bisa mengendalikan diri karena dia seorang Letnan. “Kalau memang dia seorang Letnan, benar-benar kejutan. Seharusnya dia sudah mempu menahan tekanan psikis yang dihadapinya,” kata Theo, dikutip Kompas , 16 April 1996. Sanurip berhasil ditangkap dan dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Kopassus terkesan menutupi kasus tersebut. Tim dari Pusat Polisi Militer (Puspom) ABRI, tidak bisa leluasa memeriksa Sanurip. Komandan Puspom ABRI, Mayor Jenderal Syamsu Djalal, kemudian melapor ke Kasum ABRI, Soeyono. Baru setelah diperintahkan langsung oleh Soeyono, Kopassus akan menyerahkan Sanurip ke Puspom. Namun kenyataannya, Syamsu Djalal dan tim tetap mendapat hambatan dalam memerika Sanurip. Mereka dilarang masuk ke Ksatrian Kopasus untuk memeriksa Sanurip. “Nampaknya Prabowo khawatir Sanurip akan mengungkapkan hal-hal yang  dapat membuka aibnya,” kata Syamsu dalam biografi Soeyono. Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Brigadir Jenderal Prabowo Subianto, mengambil kesimpulan sendiri bahwa “Sanurip merupakan personel yang keadaan mental ideologinya harus dicurigai karena berasal dari keluarga yang tidak bersih lingkungan (istilah yang diciptakan Orde Baru kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengan komunis, red ).” Prabowo memimpin langsung pembebasan sandera. Kepada Soeyono yang mengizinkan operasi, Prabowo meyakinkan bahwa 80-90 persen operasi akan berhasil. Secara keseluruhan, operasi pembebasan sandera Mependuma ini memang berakhir dengan sukses. Namun, pada menit-menit pertama, Soeyono memperoleh laporan bahwa sebuah helikopter mengalami kecelakaan fatal pada saat mendaratkan pasukan dengan tali dan menimpa sedikitnya satu regu pasukan. “Laporan keberhasilan 80-90 persen itu omong kosong belaka dan ini tidak lebih dari suatu kecerobohan,” tukas Soeyono. Sementara itu, Soeyono tidak bisa mengikuti kelanjutan penyelidikan kasus Sanurip karena dinonaktifkan dari dinas. “Yang saya dengar berikutnya adalah Sanurip mengalami keadaan yang mengenaskan karena bunuh diri di selnya,” pungkas Soeyono.

  • Kampung Sindangbarang Menghadirkan Sejarah dan Budaya Sunda

    ANDA ingin berkunjung ke masa lalu? Datanglah ke Kampung Sindangbarang Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Selain menghadirkan suasana rumah adat Sunda, di kampung yang terletak dalam wilayah kaki Gunung Salak tersebut, anda akan mendapatkan makanan khas Sunda zaman baheula dan kesenian Sunda yang sekarang nyaris punah. Adalah Maki, panggilan akrab Achmad Mikami Sumawijaya, yang membangun kampung sejarah dan budaya itu di lahan seluas 8600 meter persegi. Hampir delapan tahun dia merintis upaya itu. Langkah pertamanya membangun beberapa jenis rumah adat khas Sunda Bogor: imah gede, girang serat, saung taluh, saung lisung, leuit, pasanggrahan, imah kokolot, bale pangriungan, tampian dan saung sajen . Di juga menghidupkan tradisi lokal setempat, seperti seren taun, parebut seeng, malem opatwelasan,rebo kasan dan angklung gubrag . “Upaya revitalisasi budaya ini takan terjadi tanpa bantuan dari para sesepuh Bogor dan para inohong (pejabat) Jawa Barat,” ujar lelaki kelahiran Jakarta, 11 Mei 1970 itu. Asal muasal ide tersebut muncul kali pertama saat Maki melakukan kunjungan kerja ke Manado, Sulawesi Utara pada 2004. Dia tak sengaja menyaksikan sekelompok bule dari New York bermain gamelan Sunda di televisi. Dia merasa malu. “Ketika bangsa lain mencintai budaya Sunda, lalu di mana orang-orang Sunda?” ujar pengusaha di bidang teknologi informasi tersebut. Pulang dari Manado, Maki langsung beraksi. Dengan memanfaatkan lahan miliknya di Kampung Sindangbarang, dia mendirikan Giri Sundapura. Di padepokan itu, dia mengadakan latihan gratis bagi anak-anak muda Sindangbarang yang ingin belajar tari Sunda Bogor. Dalam waktu yang tidak lama, Giri Sundapura dikenal sebagai sanggar tari yang disegani di Bogor dan sekitarnya. Bersama Giri Sundapura, Maki dibantu Anis Djatisunda, sesepuh Sunda Bogor, berhasil menyelenggarakan lagi upacara seren taun pada 2006. Setelah 36 tahun upacara penghormatan untuk Dewi Sri Pohaci (dewi padi) ini raib dari bumi Bogor. Terakhir dilakukan di Sindangbarang pada 1970 oleh kepala desa Etong Sumawidjaya, kakek Maki. “Pada saat itu kami melakukannya belum di Kampung Sindangbarang tapi di lapangan depan SDN Pasireurih,” kata Maki. Pada 2004, Maki berhasil menampilkan kembali sebagian kegiatan tradisi lama Sunda Bogor. Namun, satu hal yang masih mengganggu pikirannya, yakni belum adanya kampung budaya. “Padahal menurut ketentuannya, kehadiran kampung budaya adalah salah satu prasyarat utama untuk  mengadakan berbagai kegiatan tersebut,” kata suami dari Aulia Dewi Hardjakusuma tersebut. Lantas, Maki menghubungi para sesepuh Bogor. Di antaranya Anis Djatisunda dan Eman Sulaeman. Lewat mereka, Maki bisa terhubung dengan para inohong Kabupaten Bogor dan Provinsi Jawa Barat. Usai berembuk mereka sepakat membangun kampung budaya di Sindangbarang. Total jenderal dana yang diperlukan Rp1,3 milyar. “Kami setuju untuk patungan, pemerintah provinsi Jawa Barat 750 juta rupiah, Pemkab Bogor 25 juta rupiah dan sisanya dari saya,” kata Maki. Di Kampung Sindangbarang, kini berdiri sekitar 10 bangunan adat Sunda Bogor yang mengelilingi sebidang tanah  seluas lapangan sepakbola yang disebut alun-alun. Pembuatan bangunan tidak sembarangan, harus mengikuti petunjuk karuhun (nenek moyang) dan melalui upacara khusus. “Posisi, bahan, bentuk dan arah disesuaikan dengan petunjuk yang kami dapat dari Pantun Bogor ,” ujar Maki. Pantun Bogor adalah naskah tua yang berfungsi sebagai rujukan sejarah bagi orang-orang Sunda Bogor. Proses pembangunan kampung budaya dan penyelenggaraan kegiatan tradisi lama berjalan mulus. Di Sindangbarang ada sebagian pihak masyarakat menolak upaya revitalisasi tersebut. Alasannya macam-macam. Salah satunya yang paling gencar adalah alasan agama. Maki dan kawan-kawan cukup sabar menghadapinya. Setelah melalui pendekatan persuasif dan diskusi, pihak yang menolak akhirnya bisa menerima. Siapun bisa datang ke kampung budaya Sindangbarang, termasuk para peneliti. “Sudah banyak yang datang meneliti ke sini, untuk mereka kami menyediakan fasilitas tempat tinggal dan makan secara gratis. Ya, tentunya dengan kondisi seadanya,” ujarnya. Apa sebenarnya harapkan Maki menghadirkan kembali budaya Sunda Bogor? Sambil tersenyum dia menyatakan sekadar memenuhi bakti kepada para karuhun . Sebagai bentuk rasa hormat anak kepada orangtuanya. “Banyak orang bilang saya buang-buang duit, tapi ini bukan soal duit atau kekayaan materi. Ini sesuatu yang tak bisa dihargai dengan uang,” katanya.

  • Pemuda di Balik Senjata Berat dalam Pertempuran Surabaya

    LETNAN Kolonel (Purn) Moekajat tak pernah melupakan kejadian di hari kedua Pertempuran Surabaya. Suasana di garis depan mendadak heboh. Sejumlah mantan anggota PETA (Pembela Tanah Air) dan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang melayani senjata penangkis serangan udara, Bofors 40, menembak jatuh tiga pesawat Mosquito milik RAF (Angkatan Udara Inggris). “Termasuk satu pesawat yang berisi seorang jenderal Inggris yang ikut mati di dalamnya,” ujar mantan anggota BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia) itu. Namun, pihak Inggris menampik jika kematian itu disebabkan tembakan pihak Indonesia. “Mereka menyebut Brigjen Robert Guy Loder Symonds tewas akibat pesawatnya mengalami kecelakaan di Lapangan Morokembangan,” kata sejarawan Batara Hutagalung, penulis 10 November 45: Mengapa Inggris Membom Surabaya? Peran para pemuda di balik senjata-senjata berat dalam Pertempuran Surabaya tak bisa dinafikan. Sebagai contoh, pada 14 November 1945, pasukan meriam Akademi Militer Yogyakarta pimpinan Mayor Jenderal Suwardi berhasil membombardir Tanjung Perak dengan meriam kaliber 10,5 cm. “Saat dicek ke lapangan langsung oleh Mayjen Suwardi esok harinya, dia melihat sebuah kapal yang masih merapat di pelabuhan nampak terbakar dan asapnya yang tebal membumbung ke udara,” tulis Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949. Tembakan artileri itu sempat disitir New York Times , 15 November 1945, sebagai salah satu faktor yang menjadikan Pertempuran Surabaya semakin berdarah-darah. Namun, dalam koran itu pula Inggris menyatakan bahwa untuk menghadapi serangan gencar artileri itu “hanya menggunakan kekuatan minimum.” Inggris juga menyangkal jika kapal yang tertembak di Tanjung Perak miliknya. Itu terbukti dari keterangan dokumentasi foto yang memuat pemandangan akibat pemboman Tanjung Perak di situs Imperial War Museum (IWM): “Bekas kapal tanker Jepang, Osaka Maru , terbakar di dermaga Pelabuhan Surabaya.” Grup pelayan senjata berat lainnya yang dinilai cukup merepotkan pertahanan Inggris adalah kompi bantuan mortir dari Resimen Sidoarjo. Mereka terdiri dari anggota-anggota eks cudanco (komandan kompi) dan budanco (komandan regu) yang pernah mendapat latihan menggunakan mortir dari Kaigun (Angkatan Laut Jepang). “Posisi mereka ada di belakang Pasar Wonokromo, di bawah pimpinan Kapten Suwarso,” tulis Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya . Di samping kedua grup itu, ada pula  batalion artileri pimpinan Minggu dari Resimen TKR Gajah Mada. Batalion ini memiliki 28 pucuk meriam penangkis serangan udara dalam berbagai kaliber, yang ditempatkan di Karangpilang, Gresik dan sebelah selatan Kali Brantas. Untuk menghindari pesawat pengintai musuh (VCP = Visual Control Post) biasanya mereka beraksi malam hari. Pernah pada suatu siang, grup ini nekad melakukan tembakan ke posisi tentara Inggris. Akibatnya, posisi penembak meriam secara cepat diketahui musuh dan langsung dibungkam oleh tembakan dari sebuah pesawat tempur. “Meriam tersebut ikut hancur bersama awaknya dan ditinggalkan begitu saja di tengah jalan,” ujar Moekajat. Sejatinya, mayoritas awak penembak senjata berat kurang berpengalaman. Namun, situasi perjuangan menuntut mereka untuk mengendalikannya.  Karena kurang pengalaman ini, tak jarang peluru meriam nyasar ke kubu kawan sendiri. Seperti peluru meriam yang mengenai kubu BKR di muka Viaduct. Lewat radio, Bung Tomo segera memberitahu kepada grup senjata berat tersebut untuk menghentikan tembakan. Celakanya, sambil berseru, Bung Tomo menyebut posisi grup senjata berat tersebut. Akibatnya fatal: grup itu malah dihujani serangan udara Inggris. “Seseorang bernama Isa Idris kemudian dengan cepat bergerak ke tempat Bung Tomo melakukan pidato siaran langsung dan mengingatkan keteledorannya itu,” tulis Nugroho

  • Museum Lima Malam untuk Mengenang Masa Kelam

    BANGUNAN itu terdiri atas puluhan perancah yang terpasang membentuk kubus berukuran sekira 200 meter persegi dengan tinggi lima meter. Jaring hitam menyelubungi bangunan, membuat bagian dalam ruangan tetap bisa dilihat sama-samar dari luar. Ia bukan sembarang bangunan tanpa makna, paling tidak untuk seminggu ke depan. Bangunan itu didapuk sebagai museum bertajuk Rekoleksi Memori. Puluhan karya instalasi, seni fotografi dan videografi tersaji di dalamnya. Hasil kerja bareng Komisi Nasional HAM, Dewan Kesenian Jakarta dan Partisipasi Indonesia itu digelar di pelataran sisi timur Taman Ismail Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, mulai 7 sampai 12 Desember mendatang. Pameran dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia Internasional 10 Desember itu dipersembahkan kepada seluruh korban pelanggaran HAM dan mereka yang masih terus memperjuangkan keadilan. “Dari kegiatan ini, harapan kita, dapat mendorong untuk pendirian museum nasional HAM. Dari museum HAM ini, kita bisa belajar masa lalu. Museum HAM bisa jadi akan menjadi model bagi penyelesaian masalah HAM,” kata Nur Kholis, Komisioner Komnas HAM dalam sambutannya. Sementara itu Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno mengatakan program ini merupakan wujud kehendak bersama seluruh masyarakat untuk menumbuhkan budaya dan peradaban yang lebih baik. Hal senada dikatakan oleh Yulia Elvina Bhara, direktur Partisipasi Indonesia dengan mengajukan pertanyaan sejarah seperti apa yang akan diwariskan kepada generasi penerus jika kebohongan terus direproduksi? “Tak ada pilihan lain. Kita harus sudi menengok ke belakang, mencoba menggali suara dari masa lalu, merekoleksi memori kita untuk dapat memahaminya dengan nalar dan matahati,” katanya. Museum Rekoleksi Memori ini mengikutsertakan beberapa pegiat seni dan kreatif yang sudah mengakrabi masalah HAM dalam setiap karya mereka. Salah satunya karya fotografer Sigit Pratama yang yang berjudul or.de . Begitu masuk ke museum, pengunjung langsung disuguhi sepuluh karya Sigit, mulai dari sosok kanak kanak hingga potret bangunan beton menara TVRI dan monumen Lubang Buaya. Karya menarik lain adalah karya videografer Yovista Ahtajida. Anak muda yang biasa nongkrong di sekitar museum Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur itu itu membuat instalasi video kanal ganda bertajuk Wahana Loebang Maoet . Menurutnya, monumen Lubang Buaya bukan lagi wahana pembelajaran, melainkan wahana penyebar horor. “Hanya ada kengerian di sana. Seperti masuk rumah hantu saja. Dan itulah karya terpenting Orde Baru,” ujar lelaki berambut kriting jebolan FISIP UI itu. Dia mengaku, tak banyak kesulitan membuat video solo pertamanya ini. Dalam salah satu video, memperlihatkan bagaimana Yovi membuat semacam print ad yang disebar dibeberapa wilayah Jakarta untuk memperluas jangkauan pembentukan wacana baru terhadap museum Lubang Buaya. Beberapa karya lainya adalah Pemenang Kehidupan karya fotografer Adrian Mulya tentang sepuluh potret perempuan penyintas, mantan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Lalu karya Elizabeth Ida yang berjudul Sejarah Siapakah? ; karya video instalasi Kiki Febriyanti berjudul His (story) (a) history yang menggambarkan anak kecil berseragam SD yang memakai topeng bergambar wajah Soeharto dan menanyai setiap orang yang ditemuinya tentang topeng yang ia kenakan; kemudian ada karya instalasi Jompet Kuswidananto bertajuk Untitled . Selama enam hari, lima malam, masyarakat disuguhi gambaran kelam masa lalu bangsa ini untuk memetik pelajaran dari pelbagai peristiwa sejarah yang mengempaskan nilai-nilai kemanusiaan ke jurang peradaban terendah. “Museum ini untuk generasi muda, untuk dapat membantu memberikan informasi tentang sejarah pelanggaran HAM yang sampai saat ini tak ada di buku pelajaran sejarah,” pungkas Yulia.

  • Peran Kurir dalam Perjuangan Kemerdekaan

    SHOLEH, petani Salam Mulya, Purwakarta, didatangi seseorang yang tidak dikenalnya saat menuai padi di sawah. Lelaki itu menyampaikan pesan bahwa dia dipanggil oleh Syafei, yang juga tidak dia kenal. Kejadian itu berlangsung pada 1948. Berdasarkan Perjanjian Renville, Jawa Barat bukan daerah Indonesia. Tentara Belanda leluasa menguasai daerah tersebut. Tentara Siliwangi meninggalkan Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah. Namun, tak semua pejuang hijrah; beberapa laskar seperti Hizbullah masih bertahan untuk mengganggu Belanda. Sholeh berangkat menuju markas gerilya di Selaawi, Pesawahan, Purwakarta. Dia bertemu dengan Syafei yang memintanya menjadi kurir surat kepada pejuang di daerah lain. “Mengingat demi perjuangan saya pun mengiyakannya,” kata Sholeh dalam majalah Pertiwi , No. 32 tahun 1987 . Seorang pejuang memberikan pengarahan dan surat beramplop kepada Sholeh. Sholeh harus memberikan surat itu kepada seseorang di Purwakarta, dengan ciri lengan bajunya tinggi sebelah, pada pukul empat sore. Warna bajunya hijau macam seragam TNI AD jaman sekarang. Sholeh menjalankan tugas pertamanya dengan hati-hati. Dia melewati hutan dan perkampungan menuju Purwakarta. Sesampainya di Purwakarta sesuai jadwal dan menemui orang dengan ciri-ciri lengan bajunya tinggi sebelah. Sholeh mengatakan sandi: “Ada kiriman kain putih dari hutan.” Orang itu berdiri, terkejut. “Mendengar ucapan saya, orang itu langsung menatap saya dan mengatakan dengan kata sandi juga, pintu kami tidak di kunci . Yang dimaksud keadaan di sekitar aman,” kata Sholeh. Sholeh dibawa ke tempat aman untuk menyerahkan surat yang dia bawa. Setelah itu, pejuang itu memberi tanda silang di lengan baju Sholeh dan berpesan agar tanda itu tidak hilang.  Soleh tidak tahu isi surat dan maksud tanda silang itu. Setelah Sholeh kembali dan menemui Syafei, barulah dia tahu maksud dari tanda silang itu. “Setibanya di markas, lengan saya segera diperiksa kembali. Setelah melihat tanda silang, Pak Syafei bersama anak buahnya tersenyum puas. Saya pun merasa puas, karena telah menyelesaikan tugas dengan baik,” kata Sholeh. Sukses melaksanakan tugas pertama, Sholeh sering mengirim surat dari Syafei kepada pejuang di daerah lain. “Dengan berjalan kaki berpuluh-pulih kilometer, saya berjalan dengan sikap waspada. Maklum Belanda pun menyebar mata-matanya yang juga orang pribumi,” kata Sholeh. Berbagai cara dilakukan Sholeh agar surat yang dibawanya aman. Dia memasukannya di saku baju atau celana, diselipkan di peci, namun tempat paling aman diselipkan di sadapan enau atau lahang. Satu ketika, Sholeh membawa amplop dengan cara digenggam. Dia melihat tentara Belanda dari kejauhan.  Dia membuang surat tersebut ke semak-semak. Dia melewati tentara Belanda dengan wajah pucat dan tangan yang dingin. Setelah lumayan jauh, Sholeh kembali ke semak-semak untuk mengambil amplop itu. Sholeh tidak mengetahui siapa sebenarnya Syefei saat awal-awal ditugaskan sebagai kurir. “Yang saya tahu, dia berwibawa dan penentu semua tindakan kami. Tapi, setelah saya pelajari atasan saya bahwa Pak Syafei berasal dari Cianjur, seorang pejuang dari kelompok Hizbullah dan saat itu menjabat sebagai Residen Purwakarta,” kata Sholeh. Belanda berhasil menangkap kelompok Syafei di rumah anggota yang akan menikahkan anaknya di Jukut Riut.  Semua anggota tertangkap termasuk Sholeh dan Syafei. Mereka dibawa ke markas Belanda di Panglejer. Setelah itu, mereka menuju Bojong Pangkalan dan berhenti di pasar. “Ketika berhenti tampak Pak Syafei berbincang dengan Belanda. Dan hati saya sangat bahagia, di situ dia dilepaskan. Saya yakin Belanda tak sadar siapa yang dilepaskannya itu,” kata Sholeh. Dari Bojong Pangkalan, Sholeh dan lainnya dibawa ke penjara di Tegal Waru. Sholeh dipenjara sendiri dan diintrogasi tentara Belanda yang bertanya lokasi persembunyian Syafei. Selain itu, dalam posisi tangan terikat digantung, dia dipukul dibagian dahi dengan gagang pistol, tidak diberi nasi dan hanya diberi air selama tiga hari. Tak lama kemudian, Sholeh melihat Syafei di lingkungan penjara. Syafei berbicara kepada tentara Belanda. Sholeh dibebaskan setelah menandatangai surat pembebasan. “Saking gembiranya, surat tersebut saya tandatangani tanpa dibaca,” kata Sholeh.

  • Membawa Kasus 1965 ke Publik Internasional

    BEBERAPA elemen masyarakat, dari aktivis hingga akademisi, bergabung untuk mengadakan International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965) atau Pengadilan Rakyat Internasional. Langkah ini diambil karena pemerintah belum mampu menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan genosida yang terjadi pada 1965-1966. “Setelah lima puluh tahun, apa political will dari pemerintah? Hampir gak ada,” kata Reza Muharam, aktivis IPT 1965. IPT 1965 merupakan sebuah pengadilan alternatif. Bentuknya tidak formal seperti pengadilan negara atau lembaga yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Putusannya tidak mengikat. Reza menjelaskan, IPT merupakan pengadilan moral. Kendati pengadilan nonformal, IPT tidak dibuat secara asal. Format pengadilan dijalankan sesuai prosedur pengadilan HAM formal. Ada hakim, penuntut, saksi, dan yang dituntut. Jaksa akan mendakwa negara Indonesia sebagai yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM 1965. Sidang akan dilangsungkan pada 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda. Tahun 2015 dipilih karena bertepatan dengan peringatan 50 tahun tragedi tersebut. Sedangkan putusan akan diselenggarakan di Jenewa pada 2016. Rencananya akan ada tujuh sampai sembilan hakim yang akan dipanelkan. Salah satu hakim yang sudah memberikan konfirmasi adalah Asma Jahangir, pengacara senior dari Pakistan yang pernah menjadi Special Rapporteur PBB mengenai eksekusi kilat, sewenang-wenang, dan di luar hukum dari tahun 1998 sampai 2004. Tujuan IPT 1965 untuk mendapat pengakuan nasional maupun internasional atas tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia pada peristiwa 1965 dan setelahnya. Tujuan lainnya, agar tindakan serupa tidak terjadi lagi di Indonesia. Pengadilan serupa pernah dilakukan negara lain. Misalnya, Pengadilan Rakyat untuk kasus kekerasan seksual oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II, yang dikenal dengan Tokyo’s People Tribunal: The Woman’s International War Crimes Tribunal for The Trial Of Japan’s Military Sexual Slavery, Japan (TPT). Dilangsungkan pada 2000 dan diputuskan tahun 2001. Hasilnya, sepuluh orang tertuduh (Kasiar Hirohito, sembilan komandan militer berpangkat tinggi, serta menteri terkait) dinyatakan bersalah. Salah satu pelanggaran HAM setelah G30S adalah genosida. Saat itu terjadi pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Faktanya, yang menjadi korban bukan hanya dari kalangan PKI, tapi orang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan PKI pun menjadi korban. “Genosida lebih tinggi dari pelangaran HAM berat,” kata Bonnie Setiawan, aktivis IPT 1965. Hasil IPT yang tidak formal merupakan suatu kelemahan. Namun, dengan adanya IPT, kasus pelanggaran HAM tersebut terangkat ke ranah Internasional. Hasil dari IPT akan menjadi tekanan publik kepada pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan HAM setelah kasus G30S. “Yang kita harapkan dari IPT, kita punya dokumen lengkap di luar yang sudah ada. Misinya untuk memobilisasi tekanan publik kepada negara,” kata Reza.*

  • Sejarawan Asvi Warman Adam: Saya Bukan Pengkhianat Negara

    SEJARAWAN Dr. Asvi Warman Adam memberikan kesaksiannya di Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 di Den Haag, Belanda. Dia dihadirkan sebagai saksi ahli untuk menjelaskan peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa Orde Baru. Sebelum menyampaikan kesaksiannya, Asvi terlebih dahulu menjelaskan kenapa dia hadir dan memberikan kesaksiannya dalam pengadilan ini. “Saya bukan pengkhianat negara. Kesaksian saya ini berdasarkan tugas saya sebagai peneliti yang ditunjuk oleh Komnas HAM pada 2003 untuk meneliti pelanggaran HAM Orde Baru,” kata Asvi. Pada 2003, Komnas HAM meminta Asvi untuk meneliti dan menginventarisasi kejahatan kemanusiaan apa saja yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Setelah menemukan bukti-bukti yang kuat, Asvi dan tim bersepakat untuk menjadikan kasus pemenjaraan paksa anggota dan simpatisan PKI di Pulau Buru sebagai kasus pelanggaran HAM berat. “Pulau Buru itu jelas pelanggaran HAM berat. Ada sekitar sepuluh ribu orang ditahan tanpa pengadilan. Pulau Buru persis seperti gulag di masa Stalin memerintah Uni Soviet,” kata sejarawan LIPI itu. Menurut Asvi pemerintah Orde Baru juga dengan sengaja melanggengkan isu bahaya komunisme sebagai cara untuk menundukkan lawan politik mereka. Bahkan tuduhan ini digunakan untuk melancarkan proyek-proyek pembangunan pemerintah. Masyarakat yang tidak mau tunduk kepada pemerintah seringkali dicap sebagai PKI. Asvi mengungkapkan hal yang sama terjadi baru-baru ini di Jatigede, petani di Jatigede dituduh PKI karena tidak mau menyerahkan lahannya untuk dijadikan waduk. Menurut saksi ahli ini, tuduhan tersebut merupakan dampak yang berlaku sejak zaman Orde Baru.  Selain Asvi ada empat saksi lain yang telah memberikan kesaksiannya. Namun berdasarkan pertimbangan keselamatan diri para saksi, saksi-saksi tersebut dirahasiakan nama dan penampilannya di dalam persidangan. Salah satu saksi korban memberikan keterangan tentang penderitaan dia sebagai tahanan di Pulau Buru. “Kami makan tikus dan ular. Ular yang paling panjang yang pernah kami tangkap panjangnya sembilan meter. Ular itu dibagi-bagi dagingnya untuk makan kami ketika di Pulau Buru,” tuturnya. Seorang peneliti juga memberikan kesaksiannya mengenai pembunuhan massal yang terjadi di luar Jawa. Saksi ketiga tersebut mengungkapkan tentang apa yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. “Di Pulau Sabu ada 34 laki-laki ditembak, itu terjadi pada kurun tanggal 29-30 Maret 1966. Di Sumba Barat dan Sumba Timur 40 orang laki-laki ditembak mati, di Alor 409 laki-laki dibunuh, di Kupang Timur 58 orang itu semua terjadi pada kurun tahun 1966-1968,” kata saksi. Ketika jaksa mengajukan pertanyaan siapa yang melakukan eksekusi mati di luar hukum tersebut, saksi tersebut menjawab pelaku datang dari TNI dan polisi dengan bantuan warga setempat yang dipaksa. “Kalau mereka tidak membantu, mereka diancam akan dibunuh,” katanya. Sampai berita ini diturunkan, keterangan saksi-saksi masih terus berlanjut. Ratusan peserta turut hadir dalam pengadilan ini, termasuk wartawan dari pelbagai media massa mancanegara.

  • Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

    SIDANG perdana Pengadilan Rakyat Internasional ( International People’s Tribunal ) dalam kasus kejahatan serius terhadap kemanusiaan pada 1965-1966 akan diselenggarakan di Den Haag hari ini, Selasa, 10 November, pukul 09:00 pagi waktu Belanda. Inisiatif masyarakat sipil Indonesia itu berangkat dari itikad menyelesaikan perkara yang tak pernah terlihat jelas titik terang penyelesaiannya oleh negara Indonesia. Berikut sepuluh hal yang perlu diketahui tentang Pengadilan Rakyat Internasional 1965. 1. Apa itu International People’s Tribunal? International People’s Tribunal adalah bentuk pengadilan yang digelar oleh kelompok-kelompok masyarakat dan bersifat internasional untuk membahas kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan dampaknya. Mekanisme ini berada di luar negara dan lembaga formal seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kekuatannya berasal dari suara para korban dan masyarakat sipil, nasional dan internasional. 2. Apakah People’s Tribunal sama dengan Pengadilan Internasional? Tidak. IPT berbeda dari pengadilan internasional seperti ICTR di Rwanda dan ICTY (Yugoslavia). Pengadilan internasional dibentuk Dewan Keamanan PBB atau Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Otoritas IPT terletak pada landasan moralnya bahwa hukum adalah juga instrumen masyarakat sipil yang tidak dimiliki semata oleh kekuasaan negara. 3. Kenapa People’s Tribunal harus diselenggarakan? Sebagai pengadilan rakyat, kekuatan Tribunal terletak pada kapasitasnya untuk memeriksa bukti-­bukti, melakukan pencatatan sejarah yang akurat mengenai genosida dan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan, dan menerapkan prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional pada fakta-fakta yang ditemukan. Selanjutnya, Tribunal ini melangkah memasuki kekosongan yang ditinggalkan oleh negara, tetapi tidak dimaksudkan menggantikan peran negara dalam proses hukum. 4. Bagaimana mekanisme dan prosesnya? Tribunal memiliki format pengadilan HAM secara formal. Pada tahap awal, IPT membentuk Tim Peneliti profesional dan menyusun Dewan Hakim internasional. Tim peneliti bertugas menghimpun, meneliti, dan mengkaji data dan kesaksian, dan merumuskannya secara hukum dan menyerahkannya kepada Tim Penuntut/jaksa. Jaksa akan mendakwa negara, berdasarkan bukti-bukti yang disajikan tentang pihak mana yang bertanggung jawab atas genosida dan kejahatan kemanusiaan yang meluas atau sistematis yang dilakukan negara. Bukti yang disajikan terdiri dari dokumen, bahan-bahan visual (audio), keterangan-keterangan saksi, dan sarana hukum lain yang diakui. Berdasarkan bahan dan bukti tersebut, Dewan Hakim akan menimbang, merumuskan dakwaan, dan menjatuhkan sanksi-sanksi hukum kepada para tersangka, serta mengusulkan reparasi dan ganti rugi bagi para korban dan penyintas kepada negara yang harus menyelesaikannya secara hukum. Para hakim akan menghasilkan putusan berdasarkan materi yang disajikan dan memanggil negara terkait agar mereka menyadari bahwa sejauh ini mereka telah gagal untuk bertanggung jawab kepada para korban, baik secara hukum maupun moral. Putusan ini juga akan digunakan sebagai dasar untuk mengubah narasi sejarah; selain itu digunakan sebagai dokumen lobi untuk resolusi PBB mengenai kejahatan-­kejahatan ini. 5. Apa saja contoh kasus yang menggunakan mekanisme tribunal ini dan bagaimana hasilnya? Tokyo’s People Tribunal: The Women’s International War Crimes Tribunal for the Trial of Japan’s Military Sexual Slavery, Japan (TPT). TPT dibentuk tahun 2000 sebagai respon atas kejahatan seksual yang dilakukan Jepang pada Perang Dunia II. Tribunal ini bertujuan mengangkat “comfort system” agar menjadi perhatian komunitas internasional, menuntut keadilan terhadap mereka yang bertanggung jawab, serta dampak berkelanjutan dari impunitas tersebut yang dialami para korban. Russell Tribunal on Palestine (RtoP) . RToP dibentuk tahun 2009 sebagai tindakan atas diamnya komunitas internasional terhadap berbagai pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel. Tujuanya memobilisasi dan mendorong keterlibatan masyarakat sipil internasional dalam isu Palestina. Tribunal ini menyelidiki keberlanjutan pendudukan Palestina oleh Israel serta tidak dipenuhinya berbagai resolusi PBB, termasuk opini dari Mahkamah Keadilan Internasional ( International Court of Justice) mengenai pembangunan tembok pemisah oleh Israel di wilayah Palestina. RToP juga menyelidiki tanggung jawab Israel dan negara-­negara lain, khususnya Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, dan organisasi internasional terkait (PBB, Uni Eropa, Liga Arab). Nama Russel diambil dari nama filsuf Inggris Bertrand Russel yang pertama kali merintis penyelenggaraan tribunal dalam kasus kejahatan kemanusiaan Amerika dalam perang Vietnam. 6. Apa saja contoh kasus-­kasus kejahatan serius di negara lain yang belum terselesaikan? Di negara-negara lain, kasus-kasus kejahatan serius ada yang terselesaikan dan ada yang masih menuntut penyelesaian. Yang terselesaikan bisa dengan pendekatan keadilan yang retributif ( retributive justice ), misalnya melalui mekanisme pengadilan, atau melalui mekanisme restoratif ( restorative justice ) seperti rekonsiliasi, pemulihan dan kompensasi serta memorialisasi. Sementara itu beberapa kasus kejahatan serius yang pernah terjadi di dunia masih menunggu penyelesaian. Salah satu yang cukup terkenal adalah kejahatan serius masa lalu yang terjadi di bawah kediktatoran Presiden Fransisco Franco di Spanyol, di mana lebih dari 100.000 orang dibunuh dan dihilangkan, 300.000 bayi diculik, serta ratusan ribu lainnya menjadi korban kekerasan. Hingga hari ini, pemerintah yang berkuasa di Spanyol masih belum menindaklanjuti tuntutan penyelidikan atas kejahatan serius ini. 7. Apa tujuan IPT 1965? IPT bermaksud mendesak penyelesaian secara hukum dan berkeadilan oleh negara atas kasus-kasus pelanggaran HAM seputar pembantaian 1965 dan dampaknya yang selama ini terabaikan melalui pengadilan formal. IPT tidak dimaksud, dan tidak bertugas, menjadi pengganti ( substitute ) dari negara untuk menggelar pengadilan formal, menjatuhkan sanksi hukum, dan menjamin ganti-rugi dan reparasi bagi para korban dan penyintas. Sebagai sarana tekanan politik dan moral, IPT mendorong masyarakat, yaitu warga, partai politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, para korban dan penyintas, dan masyarakat internasional, negara-negara luar, lembaga PBB dan organisasi lain agar mendesak negara melakukan tugas peradilan formal, yaitu melakukan penelitian seksama, memeriksa kasus-kasus dan kesaksian korban dan penyintas, serta menyelesaikan kasus kasus tersebut secara hukum. 8. Kenapa IPT diselenggarakan sekarang? Presiden baru, Joko Widodo, (sejak 20 Oktober 2014) berjanji selama kampanye pemilihannya untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu, termasuk yang terkait dengan 1965. Namun, persoalan ini kemudian dikesampingkan dari daftar prioritas. Jaksa Agung yang baru, HM Prasetyo, menyatakan bahwa “solusi permanen” harus dicari untuk pelanggaran hak asasi manusia masa lalu termasuk “tragedi 1965” ( The Jakarta Post , 22 Mei 2015). Solusi ini akan dicari dalam upaya rekonsiliasi. Dengan demikian pemerintah mengabaikan fase pencarian kebenaran dan keadilan, padahal tanpa fase tersebut upaya rekonsiliasi tak banyak bermakna. Dari reaksi pemerintah saat itu telah jelas bahwa mekanisme domestik untuk dapat melaksanakan apa yang direkomendasikan laporan Komisi 2012 sama sekali tidak memadai. 9. Mengapa Den Haag, Belanda, yang dipilih penyelenggaraan Tribunal? Tribunal akan diselenggarakan pada 10-13 November 2015 di Den Haag. Den Haag dipilih karena kota ini dikenal sebagai simbol keadilan dan perdamaian internasional. Peace Palace terletak di sana, sebagaimana juga Mahkamah Pidana Internasional. Beberapa pengadilan khusus dan penting diselenggarakan di sana atau memiliki sekretariat di kota tersebut, seperti Tribunal Yugoslavia. Tribunal Tokyo (Pengadilan Perempuan Internasional atas Kejahatan Perang karena Perbudakan Seksual Militer Jepang) menyelenggarakan sidang putusannya di Den Haag (2001). 10. Apa hasil dan dampak yang diharapkan dari IPT 65 ini? a) Untuk pemerintah Indonesia . Hasil Tribunal ini memang tidak otomatis mengikat negara Indonesia secara legal-formal. Tetapi karena sifatnya sebagai mekanisme Pengadilan Rakyat di tingkat internasional, ia dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat untuk menuntut negara agar menghadirkan keadilan pada tragedi 1965 sekaligus memutus impunitas para pelaku peristiwa 1965-1966. Hasil Tribunal kasus 1965 juga dapat menjadi sumber legitimasi bagi negara Indonesia untuk membuktikan diri sebagai negara yang mampu memenuhi pertanggungjawaban dan menjadi bagian dari komunitas internasional yang dihormati karena ketanggapannya dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. b) Untuk masyarakat umum. Hasil Tribunal ini akan menjadi preseden yang baik dalam proses penyelesaian sejarah konflik politik Indonesia periode 1965-1966 secara lebih adil. Dengan demikian diharapkan berkontribusi pada penciptaan iklim politik Indonesia yang mengakui dan menghormati hak azasi manusia. Di masa depan, cara-cara berpolitik dengan menggunakan kekerasan (baik genosida maupun kejahatan kemanusiaan) tidak akan dengan mudah ditolerir, baik oleh negara maupun masyarakat. c) Untuk korban . Bagi para korban tragedi 1965-1966 dan keluarganya, hasil Tribunal ini dapat berkontribusi pada proses pemulihannya sebagai korban genosida dan kejahatan kemanusiaan. Sebab, proses Tribunal ini dipandang sebagai salah satu upaya pencarian kebenaran tentang peristiwa 1965 dan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi pada para korban (dan keluarganya). Adanya pengakuan dari negara bahwa telah terjadi ketidakadilan dan kekerasan yang sistematis dan meluas dalam bentuk genosida dan kejahatan kemanusiaan pada periode 1965-1966 merupakan kunci dari proses pemulihan para korban. Upaya-upaya pemulihan korban yang dimaksud di antaranya dengan proses rehabilitasi, reparasi, dan restitusi. Dampak lain yang diharapkan dari hasil Tribunal ini adalah menyurutnya stigmatisasi terhadap para korban dan keluarganya sebagai pihak yang memiliki kaitan, secara langsung maupun tidak langsung, dengan PKI. Menyurutnya stigmatisasi tersebut diharapkan akan berujung pada pulihnya kedudukan hukum para korban dan keluarganya di hadapan hukum. IPT juga ditujukan untuk mendapatkan pengakuan internasional atas tindak genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia pada “peristiwa 1965” dan setelahnya, juga atas keterlibatan negara Barat tertentu dalam kampanye militer terhadap mereka yang disebut-sebut sebagai pendukung Gerakan 30 September. Selain itu untuk menarik perhatian internasional yang berkelanjutan terhadap genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia pada peristiwa pembantaian 1965 dan setelahnya; dan terhadap kelambanan negara untuk membawa pelaku ke pengadilan, antara lain dengan mengundang Pelapor Khusus Pelanggaran HAM di Masa Lalu ke Indonesia.*

  • Arsip Konferensi Asia Afrika Menjadi Warisan Ingatan Dunia

    SEBANYAK 565 lembar arsip foto, 7 reel arsip film, dan 37 berkas arsip tekstual setebal 1778 lembar menjadi saksi sejarah berlangsungnya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 18-24 April 1955. Arsip KAA mulai dari potret para delegasi, notulensi rapat, rekaman pidato, hingga surat menyurat, terdokumentasi dengan baik dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pada 8 Oktober 2015, UNESCO (Organisasi PBB bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan), mengumumkan Arsip KAA itu sebagai Warisan Ingatan Dunia. Sepanjang peradaban dunia modern, KAA menjadi konferensi internasional pertama yang mempertemukan antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Pencetusnya adalah Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma (Myanmar) yang diwakili perdana menteri masing-masing (Ali Sastramidjojo, Pandit Jawaharlal Nehru, Muhammad Ali, Sir John Kotelawala, dan U Nu). Kelima negara sponsor itu mempersiapkan KAA dalam Konferensi Panca Negara yang diadakan di Bogor tahun 1954. Mereka mengupayakan forum yang bisa menggaungkan suara rakyat Asia dan Afrika ditengah dominasi bangsa kulit putih dan Perang Dingin. Dari 29 negara peserta dan 200 delegasi itu lahirlah manifesto Dasasila Bandung. Sepuluh prinsip yang termaktub dalam Dasasila Bandung mencerminkan cita-cita luhur seluruh peserta KAA: merdeka dari imperialisme dan hidup berdampingan secara damai. Dari perspektif kearsipan, konten dan konteks KAA punya nilai historis yang amat penting.  “Peristiwa ini adalah peristiwa yang langka. Karena setelah itu tidak ada lagi Konferensi Asia Afrika. Jadi, arsipnya  sangat bernilai,” kata Mustari Irawan, Direktur Arsip Nasional Republik Indonesia dalam diskusi publik bertajuk “Arsip Konferensi Asia Afrika Diakui UNESCO Jadi Warisan Dunia” di Gedung ANRI Jakarta Pusat, 28 Oktober 2015. Bagi Indonesia, KAA menorehkan tinta emas dalam perjalanan sejarah bangsa. Republik yang belum genap  berusia sepuluh tahun itu, tampil sebagai pelopor kebangkitan bangsa-bangsa kulit berwarna. Beruntung, sebagai tuan rumah, pemerintah Indonesia  menyimpan segala rupa arsip terkait KAA. Kementrian Sekretariat Negara menjadi penyumbang terbanyak Arsip KAA yang dihimpun ANRI. Selain dari lembaga resmi, ANRI juga menghimpun memori KAA dari arsip-arsip pribadi. Tokoh Indonesia yang menyimpan rekaman penting KAA diantaranya: Roeslan Abdulgani (sekretaris jenderal KAA), Lambertus Nicolas Palar (duta besar Indonesia untuk PBB), dan Mohammad Yamin (delegasi Indonesia untuk KAA bidang kebudayaan). Semua arsip itu dapat diakses dan masih terawat dengan baik sampai saat ini. Sejak tahun 2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ANRI, Kementrian Luar Negeri, dan Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) telah menominasikan Arsip KAA untuk diajukan ke UNESCO. “Proses nominasi itu diajukan bersama negara sponsor KAA yang lain, yaitu, India, Pakistan, Srilanka, dan Myanmar. Tujuannya adalah untuk melestarikan memori bersejarah itu sebagai Warisan Ingatan Dunia,” tutur Wardiman Djojonegoro, anggota KNIU. “Arsip KAA ini menjadi pencerahan bagi bangsa kita. Kita harus hidupkan. Agar masyarakat tahu pada masa lalu bangsa kita adalah bangsa yang besar. Bangsa yang menginspirasi bangsa lain untuk memerdekakan diri dari kolonialisme” kata Mustari. Diterimanya Arsip KAA sebagai Warisan Ingatan Dunia , menurut Al Busyra Basnur, Direktur Diplomasi Publik Kementrian Luar Negeri Indonesia, kian menegaskan penerimaan dunia atas peran internasional Indonesia di masa lalu.  “Semangat Bandung masih tetap relevan hingga sekarang dan untuk masa depan. Penerimaan ini  diharapkan mendorong bangsa kita untuk berperan lebih besar di panggung internasional sesuai dengan semangat Bandung,” kata Busyra Sementara itu, Duta Arsip Indonesia, Rieke Dyah Pitaloka menekankan pentingnya sosialisasi Arsip KAA kepada masyarakat. Menurut Rieke, sebelum menjadi memori dunia, penting kiranya menjadikan Arsip KAA sebagai memori publik Indonesia. “Kita tidak bisa mendorong orang lain untuk mau memasukan ingatan-ingatan tentang Konferensi Asia Afrika jika bangsa kita sendiri tidak mau melakukan hal itu,” kata Rieke. Arsip KAA, lanjut Rieke, juga punya nilai pembelajaran bagi para pengambil kebijakan yang saat ini duduk dalam pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat.  “Dari Arsip KAA kita bisa bercermin dari masa lalu, menyerap spirit para negarawan saat itu. Mereka mengambil keputusan politik yang betul-betul memayungi semua kepentingan,” pungkas Rieke. Menurut rencana, ANRI selanjutnya akan mengusulkan Arsip Gerakan Non Blok (GNB) tahun 1961 dan Arsip Tsunami Aceh tahun 2004 sebagai Warisan Ingatan Dunia.

bottom of page