top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI

    Aksi kartu kuning Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Zaadit Taqwa, menjadi perbincangan. Pasalnya, protes simbolik itu dilayangkan kepada Presiden Jokowi ketika menghadiri sidang Dies Natalis Universitas Indonesia ke-68, (2/2). Meski mendapat dukungan karena dianggap berani, tak sedikit pula yang mengecam perbuatan mahasiswa jurusan Fisika fakultas MIPA tersebut. Cercaan bahkan datang dari sesama almamater. Tersiar kabar bahwa Zadit membawa muatan kepentingan dari partai politik tertentu dalam sepak terjangnya di kampus. Cuitan dari Saifulloh Ramdani, Ketua BEM FIB UI periode 2013, misalnya. Dalam serangkaian twit- nya , Saifulloh membeberkan adanya penyusupan kader-kader PKS (Partai Keadilan Sejahtera) di kampus UI yang telah menggeliat sejak lama. Kepentingan politik tertentu yang dibawa oknum-oknum mahasiswa UI memang telah berlangsung lama. Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa UI Angkatan ’66 tak tutup mata akan masalah itu. Dalam artikelnya berjudul “Wajah mahasiswa UI yang bopeng sebelah” (dimuat dalam harian Indonesia Raya, 22 Oktober 1969) Gie membongkar prilaku tersebut. “Sebagai aktivis mahasiswa saya ‘kenyang’ dengan pengalaman ini. Di ‘republik kecil’ saya (UI), saya pernah menjadi ‘gubernur’ (ketua senat) dan saya kira saya cukup tahu betapa tidak sehatnya kehidupan kemahasiswaan di tempat saya. Di ‘republik kecil’ yang bernama Universitas Indonesia kita bisa jumpai segala macam kejorokan-kejorokan yang biasa kita temui dalam republik yang lebih besar – dalam Republik Indonesia,” ungkap Gie. Gie tak mengetahui persis ada berapa ormas yang menempatkan UI sebagai project utamanya. Istilahnya: “menggarap UI”. Namun tak dimungkiri, beberapa tokoh mahasiswa telah “dititipkan” membawakan misi organisasi. Melawan Tiran di Kampus Pada pertengahan 1968, Gie masih mengingat bagaimana pimpinan mahasiswa UI geger karena mendapatkan dokumen HMI (Himpunan Mahasiswa Islam – red ) mengenai pengambilalihan Dewan Mahasiswa UI oleh PB HMI. “Pernah soal ini dikonfrontir secara lisan, tetapi jawabannya berbelit-belit, walaupun tidak disangkal,” tulis Gie. HMI diduga kuat mempunyai kaitan erat dengan Masjumi, partai politik Islam yang dilarang pada 1960. Selain itu, pada waktu pembentukan Dewan Mahasiswa, senat-senat tak didekati dan dimintakan pendapatnya. Yang didekati adalah komisariat-komisariat ormas dari PMKRI (Perkumpulan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), dan lainnya. Gie dan mahasiswa-mahasiswa lain yang bukan anggota ormas menyaksikan bahwa aktivis-aktivis ormas bermaksud mendominasi Dewan Mahasiswa. Pihak yang paling dirugikan adalah golongan mahasiswa independen yang berorientasi intra kampus. Kelompok ini banyak terkonsentrasi di Fakultas Sastra, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Kedokteran Gigi. Ketiga fakultas tersebut memiliki sentimen anti ormas yang sangat kuat. Para ketua senat ketiga fakultas, pada Juni 1969 kemudian membentuk Koordinasi Kegiatan Kemahasiswaan (KKK) untuk menarik diri dari manipulasi ormas yang menjangkiti kampus. Pertemuan antara ketiga ketua senat yang membangkang itu dengan Rektor Sumantri Brodjonegoro gagal mencapai penyelesaian tentang komposisi Dewan Mahasiswa. Seminggu setelah pertemuan itu, Dewan Mahasiswa malah melarang KKK-UI berikut program kegiatannya. “Ormas-ormas sering berpretensi bahwa mereka adalah ‘pemilik’ dari UI. Soal ini amat menyakitkan hati orang yang tidak berormas,” tulis Gie dalam Indonesia Raya . Kebobrokan lain yang disoroti Gie adalah penyalahgunaan dana infrastruktur kampus. Dalam catatan hariannya, 23 Oktober 1969, Gie mengungkap korupsi di mesjid kampus yang mencapai jutaan rupiah setiap tahun. Gie mengilustrasikan, jika ada yang bilang tak ada korupsi di UI, maka ada dua kemungkinan: ia bodoh sekali sehingga tak dapat mencium bau korupsi atau apatis karena menganggapnya sebagai urusan internal UI. Dalam berbagai media massa, beberapa kali Gie mengangkat persoalan dan carut-marut yang terjadi di UI. Artikel Gie ditulis dengan kemarahan bercampur muak. Dia menyalahkan ormas-ekstra atas kebuntuan dalam masalah kemahasiswaan di UI. Khawatir kritiknya bisa menjadi batu sandungan, Gie sempat mengajukan pengunduran diri sebagai dosen muda di Fakultas Sastra. Namun pengajuan itu ditolak oleh Harsja Bachtiar, Dekan Fakultas Sastra. Secara tersirat, Harsja tak melarang Gie untuk bersuara. “Sekali-kali mereka juga harus digituin agar mereka juga giat memperbaiki situasi keuangan,” kata Harsja Bachtiar sebagaimana dikutip Gie dalam catatan hariannya tertanggal 22 Oktober 1969 yang kemudian dibukukan Catatan Seorang Demonstran . “Saya merasa hormat atas sikap Harsja yang begitu etis dan jujur,” tulis Gie. Menurut John Maxwell, Soe Hok Gie telah terlibat dalam pergolakan politik sepanjang dasawarsa 1960-an, tetapi ia merasa bahwa konflik di kampusnya sendiri adalah pengalaman yang paling menyedihkan. “Tidak hanya menentang lawan-lawannya di lembaga mahasiswa, ia juga menjadi lawan para pemimpin senior universitas,” ujar Maxwell dalam disertasinya yang dibukukan Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . “Tetapi ia merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali memancing opini publik terhadap masalah ini.”

  • Hijrah Sang Maung

    WAJAH Letnan Kolonel A.E. Kawilarang mendadak berubah kelam. Ketika pasukannya tengah asyik-asyiknya menghadapi tentara Belanda di wilayah Sukabumi dan Cianjur, tetiba datang perintah dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta lewat Mayor Islam Salim bahwa seluruh kekuatan Brigade II Soerjakantjana yang dia pimpin harus hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. “Seperti (mendengar) halilintar di siang hari bolong rasanya…”ungkap Kawilarang seperti dituliskan dalam biografinya yang disusun Ramadhan KH, Untuk Sang Merah Putih . Kawilarang hanya salah satu dari unsur Divisi Siliwangi yang merasa kecewa dengan hasil Perjanjian Renville. Umumnya tak ada prajurit yang paham, mengapa pemerintah menyetujui kesepakatan yang kesannya sangat merugikan pihak Republik itu . Namun, sebagai seorang tentara yang harus patuh pada disiplin, para komandan di lapangan akhirnya bisa menguasai diri. “Daripada kita capek mikirin politik pemerintah, ya sudah kita terima saja perintah itu, kita ini kan cuma bawahan…” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, salah satu eks perwira dari Brigade IV Guntur I. Turun Gunung Awal Februari 1948, para maung (sebutan untuk para prajurit Siliwangi yang artinya harimau) mulai keluar dari hutan dan gunung di seluruh Jawa Barat. Mereka bukan saja membawa diri mereka masing-masing tetapi ada juga yang mengikutsertakan seluruh anggota keluarganya. Menurut buku Hijrah Siliwangi yang diterbitkan oleh Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, jumlah keseluruhan peserta hijrah adalah 30.000 orang. Sebagai titik temu seluruh rombongan Divisi Siliwangi dari pelosok Jawa Barat, dipilihlah Cirebon. Dari kota udang tersebut, mereka berangkat ke wilayah Republik dengan menggunakan tiga cara: diangkut dengan kapal laut menuju Rembang, menggunakan kereta api hingga Yogyakarta dan berjalan kaki hingga Wonosobo atau Gombong. Selanjutnya dari kedua kota itu, rombongan menggunakan kereta api dan truk menuju Yogyakarta dan sekitarnya. Saat menuju tempat tujuan hijrah inilah, pihak Belanda dikejutkan dengan performa prajurit-prajurit Siliwangi. Kendati berpakaian compang-compang, mereka tetap menunjukan disiplin tinggi laiknya tentara profesional. Termasuk saat seluruh prajurit harus menyerahkan senjata masing-masing guna diangkut secara terpisah, sesuai kesepakatan dengan pihak pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN). “Berbeda dengan penggambaran yang kerap ditulis koran-koran Belanda bahwa TNI itu sejenis kumpulan perampok dan ekstrimis, mereka justru terlihat seperti pasukan yang sangat teratur dan memiliki disiplin…” ujar Piere Heyboer dalam De Politionele Acties . Dukungan Rakyat Pihak Belanda pun harus menemukan kenyataan bahwa “para gerombolan” tersebut mendapat dukungan penuh dari rakyat. Itu dibuktikan dengan sambutan antusias masyarakat sepanjang rute hijrah. Ketika memasuki Cirebon saja (yang merupakan wilayah Belanda), rakyat sudah berderet sepanjang jalan seraya tak henti-hentinya memekikkan kata “merdeka” setiap lewat barisan prajurit Siliwangi yang tengah bergerak menuju stasiun kereta api dan pelabuhan. “Untuk menghentikan histeria rakyat, tentara Belanda yang mengawal para prajurit Siliwangi itu tak jarang menembakkan senjatanya ke udara,” tulis Himawan Soetanto dalam Yogyakarta, 19 Desember 1948 . Sebaliknya, para pengawal dari pihak tentara Belanda terutama dari satuan KST (Korps Pasukan Khusus) dan Batalyon Infanteri V Andjing NICA (yang anggotanya terdiri dari orang-orang Indo Belanda dan bangsa Indonesia) kerap berprilaku provokatif. Selain mengejek dengan sebutan “rampokers”, mereka pun kerap menyanyikan lagu-lagu berbahasa Belanda yang isinya menghina kaum gerilyawan. Banyak anggota Siliwangi yang paham bahasa Belanda merasa terhina dengan provokasi tersebut, namun demi disiplin mereka terpaksa mendiamkannya. Selama perjalanan perlakuan buruk juga diterapkan oleh pihak militer Belanda. Menurut Maman Soemantri, salah satu veteran Siliwangi yang ikut hijrah, pemberian jatah makan dilakukan laiknya kepada binatang. “Mereka menyajikan makanan buat kami dalam kaleng-kaleng bekas kornet dan sardencis yang kadang sudah berkarat,” ujar eks prajurit Divisi Siliwangi dari Brigade Kian Santang tersebut. Kapal Plancius yang disediakan untuk pengangkutan pun kondisinya sangat kotor, hingga menyebabkan banyak prajurit dan anggota keluarga prajurit yang sakit. Perlakuan-perlakuan buruk itu tak jarang menimbulkan keributan kecil di antara para prajurit Siliwangi dengan prajurit Belanda. Sepuluh hari kemudian, hampir seluruh kekuatan Divisi Siliwangi telah sampai ke wilayah Republik. Di Stasiun Tugu Yogyakarta, mereka langsung disambut oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan ribuan masyarakat Yogyakarta.

  • Menggenjot Citra Fasis Lewat Sepakbola

    SEBAGAI seorang fasis, Benito Mussolini memanfaatkan betul kesempatan saat mendapat kepercayaan dari Raja Victor Emmanuel III untuk menjabat perdana menteri. Il Duce , demikian dia menjuluki dirinya, mengubah hampir semua aspek pemerintahan dan kebijakan sesuai doktrin fasisme. Namun, Mussolini punya cara jitu menyatukan rakyat Italia di bawah panji “fascio”: lewat sepakbola. Sang diktator yang fans klub SS Lazio itu memang hobi menonton sepakbola. “Mossolini rutin menonton (laga-laga Lazio) di tribun stadion. Il Duce bahkan membangun stadion baru (Stadio Olimpico) untuk Lazio, menggantikan stadion lama, Stadio del Partito Nazionale Fascista,” tulis Franklin Foer dalam Mussolini’s Team . Bak ketiban durian runtuh, Mussolini berkesempatan mempopulerkan fasisme ke khalayak dunia lewat Piala Dunia 1934. Mussolini langsung bergerak cepat melobi petinggi FIFA. Hasilnya, Italia ditetapkan jadi tuan rumah event empat tahunan itu dalam pertemuan para petinggi FIFA di Stockholm, Swedia, 9 Oktober 1932. “Demi menyukseskan Piala Dunia 1934, pemerintah Italia mengucurkan dana 3,5 juta lira,” singkap David Goldblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Football . Mussolini bahkan turun tangan sendiri dalam komite persiapannya. Dia pribadi yang memilih delapan lokasi penyelenggaraan: Bologna, Firenze, Genoa, Milan, Napoli, Trieste, Roma, dan Turin –tempat stadion yang menyandang nama Mussolini, Stadio Benito Mussolini, berada. Rakyat kelas pekerja dimanjakan dengan disediakannya tiket keretaapi gratis menuju stadion. Pemerintah juga memberikan ribuan tiket dengan harga murah meriah. Campur tangan Mussolini tak hanya sampai situ, tapi juga merambah ke internal Gli Azzurri (timnas Italia). “Dia ikut berbicara dengan pelatih timnas Victorio Pozzo untuk memastikan Italia menurunkan tim terbaik,” tulis Fernando Fiore di buku The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Berbekal keleluasaan memanfaatkan “diaspora” berlandaskan kebijakan dwi-kewarganegaraan dari Mussolini, Pozzo memanggil lima pemain oriundi (orang yang lahir dan menetap di Amerika Selatan tapi berasal dari keturunan para imigran Italia). Satu diambil dari Brasil: Anfilogino Guarisi. Empat lainnya dari Argentina: Raimundo Orsi, Enrique Guaita, Luis Monti, Attilio DeMaria. Dua nama terakhir ikut memperkuat timnas Argentina di Piala Dunia 1930. Pozzo “memanggil paksa” kelima oriundi tersebut dan menyamakan tugas membela timnas Italia selayaknya wajib militer. “Jika mereka rela mati untuk Italia, maka mereka bisa bermain sepakbola untuk Italia,” cetus Pozzo dikutip Clemente Angelo Lisi dalam A History of World Cup: 1930-2010. Agenda besar Mussolini berjalan mulus. Polesan doktrin fasisme lewat sepakbolanya ikut menentukan keberhasilan Italia merebut Piala Dunia 1934. Di final, Italia menang 2-1 atas Cekoslovakia. Namun, kontroversi menyelimuti partai final. Mussolini dituding meramu match-fixing demi kemenangan Italia. Sehari sebelum final, Mussolini mengundang Ivan Eklind, wasit asal Swedia yang ditunjuk memimpin laga final, untuk makan malam. “Eklind diduga sudah disuap dan kemudian memang terbukti bahwa dia dan Mussolini, makan malam bersama di malam sebelum final untuk membicarakan taktik dalam tanda kutip,” sebut Kevin E. Simpson dalam Soccer under Swastika .

  • Dari Lapangan Kembali ke Lapangan

    BETAPAPUN jauhnya melangkah hingga ke dunia perbankan dan hiburan, Muthia Datau tetap kembali ke lapangan. Namun bukan lagi sebagai pemain, tapi sebagai pegiat sepakbola putri. Muthia memulai karier sepakbolanya di usia belasan tahun bersama tim Buana Putri Jakarta. Perkembangannya yang pesat menjadikannya pilar inti di bawah mistar tim nasional PSSI putri sejak 1977. Kariernya berhenti setelah dia gantung sarung tangan di Buana Putri pada 1985. Seperti lazimnya pesepakbola putri, Muthia pensiun dari sepakbola lantaran menikah. Perempuan cantik itu dipinang Herman Felani, aktor yang beradu akting dengan Muthia antara lain di film Malu-Malu Kucing (1980), Sirkuit Kemelut (1980), dan Intan Mendulang Cinta (1981). Kebintangan di lapangan membuat Muthia bisa terjun ke dunia hiburan, mulai dari model foto majalah hingga bintang iklan. Bekal itu kemudian membukakan jalan bagi masuknya tawaran main film. Muthia langsung menyambarnya. Pendapatan di dunia hiburan jauh lebih menjanjikan daripada di sepakbola. “Kalau dibilang upah (dalam sepakbola), ya mohon maaf ya, kita enggak ada. Begitu juga dengan gaji (tidak ada). Karena kita itu di sepakbola memang karena hobi. Bisa jalan-jalan ke luar negeri saja kita sudah senang. Uang saku juga saya lupa, pernah dapat atau tidak. Paling hanya ongkos saja, saya juga lupa berapanya,” tutur Muthia kepada Historia. Namun di dunia layar lebar, ibu tiga anak itu tak bertahan hingga tahun 1990-an. Muthia terakhir tampil di layar lebar tahun 1983 lewat film perjuangan Tapak-Tapak Kaki Wolter Monginsidi . Muthia justru banting setir ke dunia perbankan. “Sempat jadi ibu rumah tangga. Kemudian kerja di Bank Duta 10 tahun. Terus, di Bank Nusa juga kira-kira 10 tahun. Saya berhenti setelah kedua bank itu merger,” lanjutnya. Memasuki tahun 2000, Muthia mulai gandrung olahraga kebugaran yoga. Yoga merupakan resep perempuan berusia 58 tahun itu bisa tetap fit dan segar sampai zaman now hingga bisa terus menyelesaikan beragam kesibukan dari segudang aktivitasnya. “Saya yoga sudah dari tahun 2000. Tubuh kita ini kan semakin tua akan semakin bungkuk. Tapi yang saya rasakan dengan yoga, saya semakin sehat, tulang saya masih kuat, pernapasan saya bagus, tulang belakang saya tetap sehat,” imbuhnya . Setelah mengambil program instruktur, tahun 2013 Muthia mendirikan sanggar bernama “Yoga by Muthia Datau” di Jalan Warung Jati Barat (Warung Buncit), Jakarta Selatan. Kini, selain disibukkan jadwal syuting, Muthia “kembali” ke lapangan dengan menjadi anggota kepengurusan Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASWI). Organisasi yang terbentuk 8 Desember 2017 itu diketuai Papat Yunisal . “Saya sekarang duduk di Komite ASWI. Saya di bidang (Komite) Bisnis, di bawah bu Papat. Sepakbola wanita sekarang digalakkan lagi, ini karena kita tuan rumah Asian Games (2018). Mau enggak mau kita harus ikut. Kita lihat saja nanti. Kita sendiri enggak ada target muluk-muluk. Jangan sampai ada beban, berikan saja yang terbaik,” tandas Muthia.

  • Lika-liku Perjuangan Hak Pilih Perempuan

    KENDATI diskriminasi terhadap perempuan di ranah domestik maupun publik masih terjadi hingga detik ini, perempuan Indonesia tak lagi direpotkan oleh perjuangan hak pilih. Di masa lalu, hak politik personal sebagai warganegara itu merupakan impian. Perjalanan perjuangan hak pilih perempuan dimotori organisasi-organisasi perempuan Indonesia pada 1930-an. Di tahun-tahun sebelumnya, sedikit sekali catatan tentang perjuangan mereka. “Ada beberapa alasan atas kelambanan dalam menyadari isu hak pilih. Organisasi konservatif, biasanya berdasar agama, meyakini bahwa perempuan tidak siap untuk berperan dalam urusan politik dan tidak pernah didorong untuk melakukannya. Selain itu, politik selalu diartikan sebagai dunia laki-laki,” tulis Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia. Hal itu membuat perempuan Belanda di Hindia-Belanda lebih cepat memperjuangkan secara terorganisir hak pilih ketimbang perempuan Indonesia. Pada 1908, mereka mendirikan cabang Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht, VVV) di Hindia Belanda. Ketika Dewan Rakyat (Volksraad) didirikan tahun 1918, VVV langsung merespons dengan mengajukan usul soal hak pilih aktif perempuan. Mereka juga mendesak gubernur jenderal memberi kesempatan pada perempuan ikut pemilihan dewan kota. Di Dewan Rakyat, baik anggota yang orang Belanda maupun Indonesia sebetulnya sepakat Dewan Rakyat boleh diisi perempuan. Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia mencatat beberapa dukungan dari laki-laki Indonesia pada rapat Dewan Rakyat tanggal 5 Juli 1919. AL Wawo Runtu, bupati Sonder di Minahasa, mendukung hak-hak perempuan untuk hadir menyuarakan pendapat baik di Dewan Rakyat maupun jenjang di bawahnya. Kedudukan perempuan Jawa pun dibela oleh Tjipto Mangunkusumo dan Achmad Djajadiningrat. Dukungan para lelaki terhadap kedudukan perempuan di Dewan Rakyat terjadi lantaran belum adanya perempuan yang bisa masuk ke Dewan Rakyat dan minimnya perempuan Indonesia yang tertarik dengan ide hak pilih. Pandangan itu sejalan dengan pandangan Menteri Kolonial Belanda Plyte. Dia mendukung hadirnya perempuan di Dewan Rakyat karena tak ada alasan kuat untuk melarang kehadiran perempuan di Dewan Rakyat. Bermula di Tahun 1930-an Dari penelusuran Historia , pembahasan tentang hak pilih pertamakali muncul di Kongres Perikatan Perempuan Istri Indonesia (PPII) I yang dilaksanakan di Surabaya, 13-18 Desember 1930. Hasil kongres menyepakati dibentuknya Badan Perantara (BP). Selain menjadi perantara pengurus PPII dengan organisasi anggota, BP bertugas mempelajari hak pilih. Namun, kongres-kongres berikutnya tak lagi membahas hak pilih perempuan. Kongres Perempuan lebih menitikberatkan perjuangannya dalam masalah pendidikan, perburuhan, dan perkawinan. Suara perempuan tentang hak pilih kembali terdengar pada 1935 ketika pemerintah kolonial menunjuk Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer, seorang perempuan Belanda, sebagai anggota Dewan Rakyat. Penunjukan itu melukai hati aktivis perempuan Indonesia lantaran usulan mereka menghadirkan wakil perempuan Indonesia di dewan itu tak digubris. Ketika pemerintah kolonial akhirnya memberikan hak pilih pasif Dewan Kota pada Februari 1938, para perempuan kembali berkumpul. Kongres Perempuan Indonesia (KPI) III di Bandung, Juli 1938 membahas tentang hak pilih aktif bagi perempuan. Aktivis VVV Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung juga hadir di pertemuan itu untuk memberi ceramah. Hasil kongres menyepakati bahwa hak pilih harus terus diperjuangankan sekaligus mendeklarasikan perjuangan KPI di ranah politik. “Jika kita kaum perempuan cuma diberi hak dipilih maka itu suatu kepincangan. Kita boleh duduk dalam Dewan Gemeente (Kota) tapi kita tidak boleh memilih wakil kita sendiri. Artinya, seorang perempuan harus dipilih oleh kaum lelaki. Jadi, jika kita ingin mempunyai wakil di Dewan Gemeente kita harus meminta-minta pada saudara kita kaum lelaki yang punya actiefkiesrecht (hak pilih aktif),” tulis Maria Ulfah dalam “Soal Hak Pilih” yang dimuat di Isteri Indonesia No. 8, Agustus 1941. Menjelang pemilihan Dewan Kota tahun 1939 para perempuan tak patah arang untuk mengusulkan wakil mereka di Dewan Rakyat. Mereka mengajukan wakil dari perempuan Indonesia yang dirasa layak menjadi anggota Dewan Rakyat: Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung dan Maria Ulfah. Lagi-lagi, suara para perempuan Indonesia tak diacuhkan. Cornelia terpilih lagi. Sebagai wujud protes, mereka merencanakan demonstrasi, namun dilarang pemerintah. Empat puluh lima organisasi perempuan kemudian mengadakan pertemuan umum memprotes ketidakpedulian pemerintah. Tuntutan perempuan Indonesia akan hak pilih secara menyeluruh kembali dibahas pada KPI IV di Semarang, Juli 1941. Hasil kongres kemudian dikirim melalui telegram pada anggota Dewan Rakyat. Soeroso, anggota Dewan Rakyat, membacakan tuntutan para perempuan di sidang Dewan Rakyat tangal 4 September 1941. Sidang berlangsung cukup alot lantaran beberapa anggota Dewan Rakyat, T de Raadt, Soeangkoepon, dan Loa Sek Hie, menolak tuntutan itu. Pemerintah Kolonial menanggapi tuntutan dari KPI pada sidang kedua, 9 September 1941. Mr. Van Hasselt sebagai perwakilan dari Pemerintah Kolonial menyatakan belum saatnya memberi hak pilih pada perempuan Indonesia dan perempuan bangsa asing. Akan tetapi, secara prinsip pemerintah tidak keberatan dengan hak pilih perempuan Indonesia dan bangsa asing. Pernyatan ini mengecewakan para perempuan. Perjuangan para perempuan didukung pula oleh perempuan Belanda yang duduk di Dewan Rakyat. “Apakah perempuan di sini, sama seperti di negara beradab lain, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menentukan hukum yang akan dibuat kemudian dipatuhi? Tidak? Lalu, harusnya perempuan Belanda juga tidak bisa. Ya kan? Lalu, itu (hak pilih) seharusnya berlaku untuk semua perempuan yang punya bekal pendidikan,” kata Neuyen Hakker, anggota Dewan Rakyat yang aktif di VVV. Atas desakan dari berbagai pihak, pemerintah akhirnya memberikan hak pilih untuk perempuan Indonesia.Tanggal 20 September 1941 keluar keputusan pemerintah tentang hak memilih secara penuh untuk Dewan Kota. Tapi karena hak pilih ini menyasar perempuan berpendidikan, hanya mereka yang mendaftarkan diri yang bisa ikut memilih anggota Dewan Kota. Meski demikian, hak itu tidak bisa dilaksanakan. Pemerintah kolonial tidak pernah menyelenggarakan pemilihan lagi karena Jepang keburu menduduki Indonesia. Tapi setelah Indonesia merdeka, perempuan langsung memiliki hak pilih yang sama seperti laki-laki walaupun angka partisipasinya masih sangat minim.

  • Perempuan Pertama di Parlemen Hindia Belanda

    Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer menjadi perempuan pertama yang duduk di Dewan Rakyat Hindia-Belanda (Volksraad). Ia mengisi kekosongan wakil perempuan yang tak pernah ada sejak parlemen Hindia Belanda itu didirikan tahun 1918. Sebelumnya, lembaga legislatif (meski wewenangnya terbatas) itu hanya diisi laki-laki. Cornelia berhasil menduduki kursi Dewan Rakyat pada 1935 melalui penunjukan dan memperoleh hak pilih pasif, yakni bisa dipilih tapi tak bisa memilih. Sepak terjang Cornelia dalam gerakan perempuan di Hindia-Belanda bermula dari pertemuannya dengan EGGR. Ellendt pendiri Perhimpunan Indo-Eropa (Indo-Europeesche Verbond, IEV) yang juga dicalonkan sebagai anggota Volksraad dari organisasinya. Ellendt juga salah satu pendiri Organisasi Perempuan Indo-Eropa (Indo-Europeesche Vrouwen-Organisatie, IEVO). Mereka bertemu dalam perjamuan di kediaman keluarga Razoux Schultz, suami Cornelia, beberapa saat setelah Cornelia pindah ke Hindia-Belanda dan tinggal di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara). Ellendt menceritakan rencananya untuk membentuk organisasi wanita yang sehaluan dengan perjuangan IEV dan khusus mewadahi perempuan Indo-Eropa. Rencana ini disambut baik oleh Cornelia. Selanjutnya, menurut artikel “De Eerste Vrouw in den Volksraad”di harian Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie tanggal 15 Mei 1935, Cornelia memenuhi syarat yang dicari Ellendt. Ia menginginkan perempuan yang dekat dengan lingkaran IEV, memiliki keberanian untuk memimpin organisasi perempuan, dan bersimpati pada program IEV. Kebetulan, suami Cornelia merupakan orang cukup penting. Razoux Schultz bekerja sebagai insinyur bidang perawatan kesehatan di kantor Pusat Dinas Kesehatan Rakyat (Dienst van Volksgezondheid, DGV), Batavia. Cornelia juga tertarik dengan tujuan IEV untuk mengupayakan perjanjian Indo-Eropa dan siap menerima tugas baru untuk memimpin organisasi perempuan. Artikel “De Eerste Vrouw in den Volksraad” juga menggambarkan Cornelia sebagai pribadi yang energik, berani, cekatan, dan teguh pada pendirian. Akhirnya Ellendt menyerahkan rencananya pada Cornelia. Dari sinilah awal mula Cornelia terjun dalam aktivisme perempuan di Hindia-Belanda. Ia terpilih sebagai Presiden IEVO. Sebuah komite kepala kemudian dibentuk di bawah kepemimpinan Cornelia tahun 1931. Cornelia bersama IEVO fokus pada peningkatan kesejahteraan dan pendidikan. Ia membangun sekolah-sekolah yang mengajarkan keahlian mengasuh, memasak, dan membuat pakaian. Di daerah Kramat dibangun sebuah sekolah negeri kelas dua ( tweede klasse , ongkoloro ) yang melayani lebih banyak murid setiap tahunnya. Sekolah ini ditujukan untuk memberikan pelatihan kilat pada anak perempuan untuk menjadi pengasuh atau pengurus rumah. Pendirian sekolah-sekolah itu dibarengi dengan pembuatan perpustakaan yang dilakukan di berbagai tempat di Jawa, termasuk Bandung dan Mojokerto. Fokus perjuangan Cornelia pada pendidikan dan pendirian sekolah tidak lepas dari aktivitasnya di Eropa. Cornelia yang lahir 27 Oktober 1898 di Duisburg, Jerman menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Arnhem. Dia mengenyam pendidikan di Kweekschool untuk menjadi guru. Ketika berusia 19-20an tahun dia meminta ditempatkan di sekolah rakyat yang mengajar anak-anak usia 14-15 tahun. Sebagai guru muda, Cornelia kerap membantu orang-orang yang kesusahan. Ia menyakini bahwa pemerataan kesejahteraan hidup sesama manusia adalah hal yang penting. Pemikiran ini membuatnya menjadi sosok berpengaruh di kalangan anak muda. Atas kepedulian Cornelia dalam bidang pendidikan, Kerajaan Belanda memberinya penghargaan Ksatria Ordo Oranje-Nassau. Sebuah penghargaan yang diberikan pada orang yang dianggap berjasa pada masyarakat. Tidak hanya soal pendidikan, Cornelia juga aktif memperjuangkan hak pilih perempuan ketika menjadi anggota Dewan Rakyat. Pada 1937 Cornelia mengajukan mosi di Dewan Rakyat yang mendesak Pemerintah Kolonial untuk memberi hak pilih perempuan bagi semua ras. Cornelia tetap setia pada keinginannya untuk mendukung hak pilih perempuan dari semua ras ketika Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht, VVV), organisasi yang juga dia ikuti selain IEVO, memutuskan untuk menghentikan pejuangan mereka. VVV yang sebelumnya aktif mendesak pemerintah untuk memberikan hak pilih pada perempuan dari semua ras, mengganti tuntutannya dengan meminta hak pilih hanya bagi perempuan Belanda. Protes Para Perempuan Indonesia Keputusan Pemerintah Kolonial untuk mengangkat Cornelia sebagai anggota Dewan Rakyat memancing protes para perempuan Indonesia. Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menulis, para perempuan menginginkan seorang wakil perempuan Indonesia di Volksraad. Tapi alih-alih memilih perempuan Indonesia, pemerintah Belanda menunjuk seorang perempuan Belanda yang aktif di organisasi perempuan sayap IEV. Sudah begitu, Cornelia hanya memperoleh hak pilih pasif, yakni boleh dipilih tapi tak boleh memilih. Sementara di Negeri Belanda sendiri hak perempuan untuk dipilih (hak pilih pasif) disetujui pada 1917. Dikutip dari Atria.nl , dua tahun setelah penetapan hak pilih pasif tersebut, pada 1919 perempuan Belanda baru memperoleh hak untuk memilih dan dipilih. Padahal, perjuangan mereka untuk mendapatkan hak pilih sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 dengan Aletta Jacobs sebagai sebagai salah satu pemimpin pergerakannya. Di negeri jajahan, hal ini terjadi jauh setelahnya. Masalah hak pilih baru dibahas perempuan Indonesia pada Kongres ke III di Bandung tahun 1938. Hasil kongres mengamanatkan untuk melakukan penyelidikan tentang hak pilih perempuan Indonesia. Selain itu, 18 organisasi perempuan juga mengatur pertemuan pada 8 Agustus 1938 di Jakarta untuk membahas lebih lanjut tentang hak pilih mereka. Menjelang pemilihan kembali anggota Dewan Rakyat tahun 1939, para perempuan kembali berkumpul. Mereka kembali meminta agar dipilih wakil dari perempuan Indonesia. Sarikat Kaum Ibu Sumatera bahkan mengirimkan telegram hasil keputusan pertemuan mereka ke Pemerintah Kolonial pada 20 Januari 1939. Isinya menyatakan Maria Ullfah sebagai kandidat yang paling pantas untuk mewakili perempuan Indonesia. Tidak hanya Maria Ullfah, ada calon lain yang diajukan organisasi perempuan, yakni Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung yang aktif di VVV. “Seorang perempuan Belanda, bukan Indonesia, sekali lagi yang dipilih menjadi anggota Volksraad. Hasil ini lebih mengecewakan karena Maria Ullfah, seorang lulusan Hukum Universitas Leiden, telah dicalonkan oleh para perempuan Indonesia,” tulis Cora. Meski sudah berusaha semaksimal mungkin, suara para perempuan Indonesia tak didengar. Pemerintah Kolonial kembali memilih Cornelia menjadi anggota Dewan Rakyat pada 1939. Tak ada wakil perempuan Indonesia di sana.

  • Selayang Pandang Kisah Mampang

    RENCANA pergantian nama Jalan Mampang Prapatan Raya dan Jalan Warung Buncit Raya menjadi Jalan Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution dihentikan karena mendapat penolakan dari komunitas warga Betawi. Sebagaimana Warung Buncit, asal usul Mampang Prapatan juga ada tiga versi. Versi pertama dalam buku 212 Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe karya Zaenuddin MH. Mampang Prapatan berakar dari kata “Mampang” yang artinya terpampang atau terlihat jelas dan “Prapatan” yang artinya simpang atau pertemuan empat jalur. Jadi, Mampang Prapatan adalah persimpangan empat jalur yang terpampang jelas oleh para pengendara. Lain lagi dengan versi Rachmat Ruchiat, budayawan dan penulis buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta . Menurutnya, kata “Mampang” berasal dari nama sebuah kali atau sungai yang berhulu di kawasan Ragunan (kini Kebun Binatang Ragunan) hingga bermuara di Kali (Sungai) Krukut, sebagai tanda batas kekuasaan tuan tanah Belanda. “Dari hulu sampai muara Mampang tersebut tercatat tanggal 2 Desember 1695, sebagai milik tuan tanah Belanda bernama asli Hendrik Lucasz Cardeel alias Pangeran Wiraguna,” kata Rachmat kepada Historia . Setelah sang tuan tanah tiada, tanah di sekitar aliran Kali Mampang dipecah-pecah jadi tanah-tanah partikelir. Sementara Mampang dan Ragunan, pada akhir abad ke-19, dimiliki dua tuan tanah bumiputra. “Berdasarkan Regeerings Almanak tahun 1881, Mampang tercatat sebagai tanah partikelir yang dikuasai tuan tanah bernama Said Aidit dan Said Hoesin,” kata Rachmat. Yahya Andi Saputra punya versi lain. Menurut budayawan dan ketua Asosiasi Tradisi Lisan Jakarta tersebut, Mampang asal katanya dari nama sebuah pohon. “Mampang asalnya nama pohon. Dulu sudah cukup lama ada, walau kita belum riset mendalam tentang sejak kapan adanya. Intinya, keberadaan pohon-pohon Mampang itu sebagai penanda pemeliharaan lingkungan hijau,” kata Yahya kepada Historia. Selama beberapa waktu belakangan ini, kawasan Mampang Prapatan menjadi satu dari sekian simpul kemacetan di Jakarta Selatan. Tak hanya karena tingginya volume kendaraan di jam-jam sibuk, namun juga karena adanya proyek underpass . Belum lagi kawasan itu turut disesaki sejumlah bangunan pertokoan. Padahal sampai tahun 1975, menurut sejarawan-cum-wartawan senior Alwi Shahab, kawasan itu masih sangat sepi meski sudah ada jalan beraspal. Namun, di kedua sisi jalan, masih berupa hutan. Dalam tulisannya di Republika , 24 Juli 2005, Alwi menguraikan kawasan Mampang hingga Warung Buncit, masih sekadar “diramaikan” kebun-kebun belimbing, empang dan sejumlah peternakan sapi.

  • Kekecewaan Didi kepada Nasution

    JAUH sebelum adanya rencana Pemerintah DKI Jakarta menggantikan nama Jalan Warung Buncit Raya dengan Jalan Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution, nama sang jenderal legendaris itu sudah ditabalkan sebagai nama jalan yang membentang antara Cicaheum-Cibiru, Bandung, Jawa Barat. “Itu sudah pasti, walau dia orang Mandailing tapi sejak awal pembentukan Divisi Siliwangi namanya sudah berkibar di Jawa Barat,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Divisi Siliwangi dan A.H. Nasution memang dua nama yang tak bisa dipisahkan. Ketika Komandemen Jawa Barat dibubarkan, namanya langsung tercantum sebagai panglima di Divisi I Siliwangi (nama pengganti Komandemen Jawa Barat). Padahal di Jawa Barat saat itu masih banyak senior-senior Nasution semasa di KNIL. Sebuat saja di antaranya adalah Mayor Jenderal Didi Kartasasmita dan Kolonel Hidajat Martaatmadja, dua perwira Sunda alumni KMA Breda. Didi menyebut Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin lebih munyukai para juniornya. Itu disebabkan para senior eks KNIL seperti dirinya dan Hidayat dianggap “kurang revolusioner”. Dia juga tak menafikan bahwa di antara eks KNIL sendiri terdapat friksi antara kelompok tua (sebagian besar alumni KMA Breda) dengan kelompok muda (lulusan KMA Bandung dan CORO, sekolah perwira cadangan KNIL). “Situasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah pusat,” ujar Didi seperti disampaikan kepada Tatang Soemarsono dalam Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan . Merasa Dilompati Usai menjadi Panglima Divisi Siliwangi, karier Nasution kian meroket. Ketika pemerintahan Amir Sjarifuddin jatuh lantas digantikan oleh Mohammad Hatta, Nasution didapuk sebagai Kepala Staf TNI, menggantikan Suryadi Suryadarma. Menurut Didi, langkah para tokoh sipil itu sudah sangat keterlaluan dan membuatnya kecewa. Secara gamblang, dia menyebut pencopotan Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo dari jabatan Kepala Staf TNI sebagai upaya membunuh karier militer seniornya tersebut. “Tindakan itu betul-betul melukai hati saya,” ungkapnya. Didi bisa menerima jika pengganti Oerip adalah Suryadarma, teman seangkatannya di KNIL. Namun, jika pemerintah mengangkat Nasution sebagai Kepala Staf TNI, itu menyalahi prosedur ketentaraan. Kata Didi, seorang opsir yang “dilompati” juniornya otomatis dia harus mengundurkan diri, karena dianggap sebagai opsir yang tidak becus melaksanakan tugas. “Itulah yang menyebabkan saya mundur dari TNI,” ujar mantan Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut. Presiden Sukarno sendiri tak pernah mengizinkan Didi untuk keluar dari TNI. Usai melayangkan surat pengunduran dirinya yang kesekian kali, Sukarno pernah mengutus Kolonel T.B. Simatupang untuk mengurungkan niatnya dengan alasan dia akan dijadikan salah satu delegasi khusus ke Amerika Serikat. Alih-alih merasa tersanjung dengan ajakan itu, Didi malah sudah terlanjur mutung. “Ketika dulu saya membentuk tentara, saya lakukan demi pengabdian. Karena itu kalau pun hari ini saya akan mundur, tak ada seorang pun yang bisa menghalangi saya,” jawabnya kepada Simatupang. Dikeluarkan dari KNIL Usai mundur dari TNI, Didi ditangkap oleh tentara Belanda di wilayah sekitar Purwokerto. Setelah beberapa bulan ditahan, dia dilepaskan atas jaminan langsung dari mantan instrukturnya di KMA Breda, Jenderal S.H. Spoor. Didi lantas hidup sebagai seorang sipil di Bandung dan sempat mengabdi sebagai pegawai biasa di lingkungan Kementerian Kesehatan Negara Pasundan. “Itu saya lakukan untuk sekadar bertahan hidup,” ujar Didi. Pemerintah Republik Indonesia berang dengan keputusan Didi. Secara terbuka, Nasution sendiri pernah menyebut Didi sebagai “tukang menyebrang” dan orang-orang yang pro federalisme. “Penyebrangan-penyebrangan terakhir seperti dilakukan Didi Kartasasmita cs. tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap pemerintahan RI,” ungkap Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 9 . Didi menampik bahwa dia telah melakukan pengkhianatan. Jika mau, selepas dari tahanan Belanda dia bisa saja bergabung kembali dengan KNIL atau menerima tawaran menjadi Komandan Batalion Pertahanan Negara Pasundan. Tapi itu tak pernah dia lakukan karena masih ada mencintai Republik Indonesia. Usai menolak masuk kembali KNIL, Didi diberi surat pemecatan dari KNIL terhitung tanggal 17 Agustus 1945. Namun, surat itu baru diberikan pada awal 1949. Bisa jadi jika Didi menerima tawaran itu, surat pemecatan tak akan pernah sampai kepadanya. Anehnya, Nasution sendiri tak termasuk dalam daftar anggota KNIL yang dipecat karena keberpihakannya kepada Republik Indonesia. Menurut Manai Sophian dalam Apa yang Masih Teringat , hanya Didi, Oerip, Suryadarma dan beberapa eks perwira tinggi Republik lainnya yang dinyatakan dikeluarkan secara tidak hormat dari KNIL.

  • Kala Jawa Memesona Eropa

    GUNA menarik lebih banyak wisatawan Prancis ke Indonesia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Marseille membuat promosi pariwisata dan kebudayaan Indonesia. Promosi itu dilakukan dengan membuka paviliun Indonesia di pameran tahunan Salon du Tourisme et des Activities Nature yang akan berlangsung pada 9-11 Februari 2018 di Kota Touluse. Bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Visit Indonesia Tourism Office France, KJRI akan mengisi paviliun Indonesia dengan sajian video, brosur, games, suguhan kue tradisional, pertunjukan tari dan musik tradisional oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Toulouse, dan presentasi selama tiga hari. Lewat pameran itu, kata acting Konjen RI di Marseille Elisabeth Heri Budiastuti sebagaimana dimuat kompas.com 30 Januari 2018, masyarakat Prancis bisa semakin mengenal Indonesia. Melalui pameran ini, mereka akan ditunjukkan lebih banyak kekayaan alam dan budaya Indonesia lewat pengenalan destinasi-destinasi wisata baru seperti Labuan Bajo, Danau Toba, dan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Meski tak sama, apa yang dilakukan KJRI punya tujuan sama dengan pemerintah Hindia Belanda saat mengikuti Exposition Universelle de 1889, pameran untuk memperingati 100 tahun Revolusi Prancis sekaligus peresmian Menara Eiffel. “Exposition Universelle, yang berlangsung dalam enam bulan antara 6 Mei dan 6 November 1889 di Paris, merupakan salah satu peristiwa politik, ekonomi, dan budaya utama di akhir abad ke-19 di Prancis. Pameran ini menarik lebih dari 30 juta pengunjung, dan 61.722 peserta pameran, karena pemerintah Prancis mengundang dunia untuk datang ke Paris guna menunjukkan contoh produk industri, sumber daya alam, dan pencapaian budaya,” tulis Annegret Fauser dalam Musical Encounters at the 1889 Paris World's Fair . Benda-benda penemuan mutakhir seperti telepon, toilet publik, televisi, atau mesin sinar X untuk pertamakalinya dipertunjukkan dalam pameran yang berlangsung di Champ de Mars dan Alun-alun Des Invalides itu. Pun lukisan maupun seni pertunjukan dan musik tradisional dari berbagai bangsa koloni. Pemerintah Hindia-Belanda, yang berpartisipasi terpisah dari pemerintah Kerajaan Belanda, ikut serta dengan membuat anjungan bernama Perkampungan Hindia. Anjungan yang terletak di sudut tenggara des Invalides itu punya beberapa perkampungan yang terbagi-bagi atas dasar etnis. Kampung Jawa menjadi tempat paling menarik pengunjung. Panitia menghadirkan tiga gubuk khas Jawa yang dibuat seukuran bangunan aslinya di tanah Jawa: rumah panggung, lumbung padi, dan kedai (warung). Ketiga bangunan bambu itu merupakan bagian keseharian kehidupan orang Jawa. Untuk membuatnya, panitia membawa serta keluarga dan tukang kayu dari Jawa. “Sebuah karavan berisi 40 pria dan 20 wanita baru saja tiba untukmulai bekerja membangun tempat bermalam dan kampung mereka tanpa alat lain kecuali sebilah pisau yang disebut bendo dan pisau raut,” tulis Frantz Jourdain, arsitek cum penulis asal Belgia yang ikut berpartisipasi di pameran itu, dalam catatannya yang dikutip buku Orang Indonesia dan Orang Prancis, Dari Abad XVI Sampai dengan Abad XX . Panitia tak menyuguhkan tontonan mati alias bangunan semata. Aktivitas keseharian dalam bangunan-bangunan itu sebagaimana keseharian orang Jawa yang jadi suguhan utama. Selain tukang masak yang sibuk membuat makanan khas Jawa, ada Mbok Predi yang dengan tekun membatik beragam saputangan. “Wanita paroh baya itu mendapat imbalan kurang lebih 40 franc per hari, hasil pemberian para pengunjung. Dia duduk bersimpuh di dekat tungku pemanas lilin malam,” lanjut Jourdain. Tak jauh darinya, di gubuk pertama seorang penganyam topi terus membuat kerajinan yang akan dijual, pun perajin lain yang tak jauh darinya. Mereka mampu menjual topi buatan sendiri itu secara banyak. “Seperti topi terkenal ‘Panama’ yang dianyam dari kulit kaya Quillaja Peru, topi jerami dari Jawa yang mutu serta orisinalitasnya sama banyak digemari nyonya-nyonya Eropa.” Namun, tari Jawa menjadi suguhan paling menarik mata para pengunjung Eropa. Daya tariknya sudah memancar sejak tari itu belum dipentaskan. Panitia mendesain serius venue maupun pertunjukannya. Sejak di pintu masuk, alunan suara angklung sudah membangkitkan rasa penasaran penonton. “Begitu penonton duduk di meja dengan minuman mereka, suara gamelan menggantikan suara angklung dan menjadi pengumuman awal pertunjukan,” tulis Fauser. Suara gamelan, termasuk yang mengiringi tarian setelah itu, menjadi pesona tersendiri. Pemuda 27 tahun bernama Claude Debussy di antara yang terpesona. Di kemudian hari, komponis besar Prancis itu membuat “Pagodes” dan beberapa gubahan lain dengan mengambil inspirasi dari gamelan Jawa. “Debussy tidak hanya terpesona oleh kualitas suara namun juga oleh kompleksitas komposisi gamelan gending Jawa yang selalu mematuhi alur panjang,” tulis Jourdain. Sementara itu, di hadapan mereka gadis-gadis belasan tahun duduk di panggung bambu kecil. Empat di antaranya (Sarikem, Tuminah, Sukiyah, Wakiyem) merupakan kakak-beradik dari sebuah keluarga tandak Mangkunegara. Mereka datang atas upaya wakil Komite Belanda Cores de Vries yang berhasil melobi raja Mangkunegara VII. Bersama penari lain, keempat gadis memakai kostum mewah untuk ukuran orang Eropa kala itu: kemben sutera, mahkota suci berjambul bulu dengan hiasan bertatah halus, dan selop. Hanya selendang di pundak mereka yang merusak tampilan. “Selendang itu tampak tidak cocok disandingkan dengan kostum eksotis yang mewah,” tulis Jourdain. Mereka naik ke panggung bersamaan dengan bunyi gamelan pembuka. Mereka mementaskan tari tandak bergaya langendrian – hiburan modis keraton Jawa abad ke-19 – dua babak berjudul Damarwulan . Lenggak-lenggok tubuh mereka membuat kagum banyak mata. “Kostum dan perhiasan indah, riasan yang cermat, pose yang terkendali baik sebelum maupun selama tarian, bersama dengan usia muda dan eksotisme kecantikan para penari, menciptakan tontonan yang membuat penonton terpesona,” tulis Fauser. “Tak satupun pertunjukan yang terlihat luar biasa dan lebih aneh. Mata Eropa kami yang sudah jemu seakan terhipnotis oleh rangkaian mengejutkan yang memabukkan dan memesona seperti parfum yang menebarkan aroma bunga mancenillier ...” kata Jourdain.

  • Antara Bebek dan Kartu-Truf

    SUMPAH, tidak ada hubungannya antara ‘bebek’ dengan ‘kartu-truf’. Kendati begitu, apa boleh buat, sudah suratan rupanya, bahwa di Amerika sekarang, kedua kata yang berbeda ini kebetulan sama-sama menjadi nama ‘marga’ dari sosok-sosok selebritas, antara yang imaginatif dan yang riil kasatmata sekaligus kasatatma. Dalam bahasa sana, sebagaimana dicatat dalam semua kamusnya, ‘bebek’ adalah duck , dan ‘kartu-truf’ adalah trump . Dari masing-masing kata yang berbeda itu kebetulan lahir dua sosok terkenal yang sama-sama bernama Donald. Yang pertama adalah Donald Duck yang kedua adalah Donald Trump. Rasa-rasanya kita semua kenal kedua nama itu. Donald Duck adalah nama peran ciptaan Walt Disney dalam film animasi yang pertama dibuat pada 1935, yaitu sosok kartun bebek yang biasa meleter blepetan, kira-kira mewakili kodrat bebek yang memang biasa kwek-kwek-kwek gencar. Sedangkan Donald Trump adalah sungguh manusia dalam gambaran terpadu tubuh-roh-jiwa disertai akal-budi-nalar, lahir dari seorang ibu manusia pada 1946, dan berkembang menjadi seorang tokoh tajir, namun dilukiskan dalam karikatur yang merepresentasikan kepribadian paradoksal: punya telinga tapi tak sanggup mendengar, punya mata tapi tak sanggup melihat, punya hati tapi tak punya perasaan, kecuali mulut yang membuat seluruh dunia geger. Kesimpulan karikatur itu dihubungkan dengan kedudukan Donald Trump –yang menang mengejutkan sebagai presiden dari negara adiwisesa AS– lantas mentang-mentang sudah berkuasa ujug-ujug membikin kebijakan yang sama sekali tidak bijaksana, maunya menaruh kedutaan AS di Yerusalem –dan berarti itu memaksa dunia untuk menyetujui keputusannya menjadikan Yerusalem, kota tua yang telah berdiri 4000 tahun sebelum tarikh Masehi di sekitar tanah perbukitan 750 meter di atas permukaan laut itu– sebagai ibu negeri Israel. Dengan begitu Trump membabibuta menyeruduk peraturan PBB November 1947 yang menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional. Sementara fakta sejarah hari ini adalah Yerusalem merupakan kota suci bagi tiga agama samawi dari garis satu pitarah Ibrahim yang sejarahnya dibawa berturut-turut oleh nabi-nabinya yang sudah ditentukan nama-namanya semua berawal dengan huruf /M/, yakni Musa, Al-Maseh, Muhammad. Maka, ketika Donald Duck yang tipikal bicaranya blepetan dan lucu sehingga membuat orang tersenyum girang, arkian sebaliknya Donald Trump bicaranya carut, membuat dunia mendidih, mencelanya dan menyerapahnya. Sebab, sebagai pemimpin negara adiwisesa yang diharapkan dapat menjadikan dunia ini tenang dan damai, malah membuatnya kacau, dan panas meningkatkan prasangka-prasangka sara yang kebetulan sudah berakar dalam sejarah sejak Perang Salib –kemudian berlanjut perang-perang lokal di Nusantara yang harus dilihat secara tersendiri sebagai realitas persaingan bisnis, dari simpai sejarah yang mengacu pada gelagat konkurensi ekonomi dalam ikhtiar mengais rezeki yang dipertajam oleh latar perbedaan agama. Khususnya di Indonesia episoda itu terekam dalam tradisi budaya moritsko . Lema moritsko atau moritsku , berasal dari bahasa Portugis moresca –yang diserap pada zaman penjajahan Portugis abad ke-16 di Nusantara, antara Malaka sampai Maluku– sebagai abad awal berlangsungnya (a) inkulturasi: yaitu upaya suatu komunitas agamawi dari Barat untuk masuk ke dalam masyarakat budaya lokal melalui kerja-kerja evangelikal; serta (b) akulturasi: yaitu proses campurbaur tradisi dan pengetahuan dari Barat ke dalam peta masyarakat budaya lokal menjadi sebuah kemempelaian budaya baru yang laras. Sekarang moritsko hanya dianggap sebagai judul musik keroncong. Padahal sebenarnya moritsko dulu merupakan bentuk pertunjukan musik teateral terpadu dengan pakem tarian adu pedang, antara dua orang hulubalang, masing-masing hulubalang Muslim dan hulubalang Nasrani, dalam rangka mempertaruhkan keyakinan tentang kebenaran yang berurusan dengan surga. Dan sebelum kedua hulubalang tersebut memenangkan adu anggarnya itu, tampil dua orang rohaniwan yang mewakili din Islam dan religi Kristen, melerai seraya menasehati mereka melalui mengutip kata-kata indah dari Quran dan Injil yaitu surah Al-Kafirun 6 dan Matius 5: 39. Agaknya Donald Trump tidak sempat belajar kearifan itu. Kalaupun ia pernah membaca itu, ia tidak menyimak. Soalnya kalau ia memberi waktu dengan kemauan yang didasarkan oleh nurani –dalam istilah Immanuel Kant adalah “mahkamah ilahi”– kiranya dengan itu ia bisa mengingat, bahwa Yerusalem yang telah ditulis dalam sastra ribuan tahun sebelum tarikh Masehi, yaitu menyebutkannya sebagai tempat banyak orang mencari dan menemukan pengharapan yang langgeng di hari esok. Tak heran, setiap orang yang percaya, akan mengingat pernyataan itu sebagai suatu sinyal yang menggaransi keputusan hatinya. Arkian, dalam Kitab Zabur pasal 137, kita bisa baca nazar Daud tentang Yerusalem yang sangat berarti dalam kehidupan insani berkait dengan kehidupan rohani. Tulisannya, “Kalau sampai aku melupakan kau, wahai Yerusalem/ biarlah tangan kananku hilang keterampilannya.” Terjemahan Inggrisnya, “ If I forget you, O Jerusalem/ let my right hand forget its skill.” Atau terjemahan Prancisnya, ‘Si je t’oublie, o J rusalem/ Que ma droite s’oublie.” Banyak teman saya yang mengaku Kristen, salah kaprah membaca tentang Yerusalem sebagai kota suci. Salah seorang yang akan saya sebut berikut ini dengan perasaan masygul –maaf, punten, nyuwun sewu– adalah Joshua Pandelaki, mantan anggota Teater Koma yang pernah diberi kepercayaan oleh Nano Riantiarno untuk menyutradarai sebuah naskah drama di Gedung Kesenian Jakarta. Pada suatu hari dia datang ke rumah saya, membawa laptop yang berisi foto-foto dirinya di Yerusalem. Yang mengejutkan bagi saya adalah pengakuannya, bahwa setelah pulang dari Yerusalem, maka ujug-ujug dia memiliki kekuatan rohkudus untuk hanya dengan menggosokkan minyak di telapak tangan lantas menyebut nama Yesus, sekonyong orang sakit yang disentuhnya bakal langsung sembuh. Waduh!? Dalam pikiran saya, teman orang Manado ini, agaknya telah meninggalkan hal-hal duniawi, berapi-api seperti golongan kongregasi kharismatik yang gandrung bersaksi-saksi. Tapi, astaga, saya terperanjat dan tenahak. Ketika saya diundang untuk menonton preview film, ternyata di film itu ada adegan ranjang dirinya bergenit-genit mesra dengan Lola Amaria. Beberapa bulan kemudian tidak sengaja saya menonton juga di televisi dia muncul dalam sinetron kelas comberan. Maksudnya, itu sinetron kelontong kejar tayang yang lazimnya tidak cendekia, dan karuan membuat penonton tidak pintar-pintar, sebaliknya jadi goblog bersama sutradaranya, produsernya, dan broadkasnya. Karenanya, kalau boleh saya menasehatinya untuk pergi kembali ke Yerusalem meminta hidayah kepada Tuhan supaya tidak lebay seperti begitu. Sekalian kalau berada di Yerusalem, baca puisi di depan Kedutaan Amerika, puisi yang dibuat oleh penyair Israel, Yirmiyahu, abad ke-6 SM –diterjemahkan pertama kali di Inggris oleh Miles Coverdale pada 1535 dan direvisi pada zaman pemerintahan James I, 1611 –yaitu “Zion shall be plowed like a field/ Jerusalem shall become heaps of ruins/ and the mountain of the temple/ like the bare hills of the forest.” Siapa tahu dutabesar AS menyampaikan puisi ini kepada Si Donald Kartu-truf supaya jangan pekok, jangan rasis.

bottom of page