Hasil pencarian
9573 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Demi Minyak Hindia
TUJUH puluh tahun yang lalu, kilang minyak penting di Sumatra didirikan di masa perjuangan antara Belanda dengan Repubik Indonesia muda. Sebagai industri besar di wilayah jajahan, BPM (De Bataafsche Petroleum Maatschappij) hanya memiliki satu tujuan setelah pendudukan Jepang berakhir: kembali ke masa lalu, ketika minyak Hindia membawa ketenangan dan kesejahteraan. Di tengah segala turbulensi keadaan, BPM melakukan diplomasi cerdas untuk mengamankan kepentingannya. Bendera Belanda tampaknya akan tetap berkibar di Nusantara, BPM tetap tinggal di sini.
- Menggali Liangan, Peradaban yang Hilang
MENDUNG bergelayut di atas Liangan, sebuah dusun di Temanggung, Jawa Tengah. Di tengah lahan pertanian, di sebuah lahan seluas sekira 6.000 meter persegi, terhampar kotak-kotak galian dengan pembatas semacam garis polisi. Tak ada aktivitas penambang pasir yang biasanya ramai. Tak ada pula aktivitas penggalian arkeologis yang mencoba menyibak misteri kejayaan masa lalu dusun itu.
- Alam Indonesia yang Tercerabut dari Akar Sejarahnya
TEMA debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada minggu, 21 Januari 2024 lalu menyoal pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, pangan, agraria, serta masyarakat adat dan desa. Semua hal itu memang sarat dengan permasalahan aktual terkait kebijakan dan kesungguhan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam yang memberikan kemaslahatan baik untuk masyarakat adat maupun keberlanjutan lingkungan alam itu sendiri.
- Bermukim di Tanah Bencana
KISAH hilangnya sebuah desa di wilayah yang kini bernama dusun Liangan terpatri di benak Istiarso, juru jaga Situs Liangan. Dia mendengar kisah turun-temurun kalau di wilayah itu pernah ada sebuah desa, bahkan pasar yang ramai, sebelum akhirnya terkubur bencana letusan gunung berapi.
- Perjuangan Ani Idrus untuk Perempuan Sumatera
MASIH lekat dalam ingatan (Rohani) Ani Idrus bagaimana ayah dan ibunya bertengkar. Kala itu Ani dan kakaknya Ana (Rohana) masih amat kecil untuk mengetahui duduk perkaranya. Keduanya hanya menduga, persoalan yang dipertengkarkan seputar uang belanja atau bisa juga perkara poligami. Djalisah, ibu Ani, merupakan istri kedua dari Sidi Idrus. Kala itu, praktik poligini (poligami) amat jamak ditemui di lingkungan sekitar Ani. Ani lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada 25 November 1919. Ayah kandung Ani, Sidi Idrus, bekerja sebagai kerani (juru tulis) di kantor tambang batubara Ombilin. Sementara ibunya, Djalisah, merupakan ibu rumah tangga yang mengurus Ani dan Ana dengan penuh kasih sayang. Pertengkaran Djalisah dan Sidi Idrus yang disaksikan Ani dan Ana ternyata berujung perceraian. Pada masa kecilnya di Sawahlunto, Ani sudah melihat kondisi pernikahan yang menurutnya tidak ideal. Ada banyak laki-laki yang sudah berumah tangga masih mau menambah istri. Entah karena dibujuk mamak, ibu, atau sanak famili lainnya akhirnya si perempuan mau menjadi istri kesekian. “Aku hanya dua bersaudara yang semuanya perempuan. Mungkin karena itulah, sejak kecil aku sudah memikirkan nasib kaumku,” tulis Ani dalam kumpulan memoar perempuan berjudul Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi. Ani merasa tak enak melihat nasib perempuan yang diperlakukan tak adil oleh lelaki dan lingkungannya. Ia mengambil contoh suami yang tak mencukupi uang belanja istrinya, menceraikan atau memperlakukan istrinya dengan sewenang-wenang, main serong atau bahkan kawin lagi tanpa pernah memberitahu istri sebelumnya. Masalah-masalah terkait nasib perempuan yang ia temui di Sawahlunto mendorong Ani untuk terus berusaha memperbaiki nasib perempuan. Setelah bercerai, Djalisah membawa dua anaknya pindah ke Medan pada 1929. Ani kemudian dimasukkan ke Methodist Girls School. Namun lantaran kekurangan biaya, Ani pindah ke sekolah kepandaian putri Meisjes Kopschool, hingga lulus. Ia kemudian melanjutkan ke Schakel School Taman Siswa pimpinan Sugondo Kartoprodjo dan setelah lulus melanjutkan ke MULO Perguruan Kita pimpinan Munar S Hamidjojo. Sejak masa penjajahan, Ani aktif dalam gerakan politik dengan masuk Indonesia Muda dan Gerakan Rakyat Indonesia. Menurut Tridah Bangun dalam Ani Idrus, Tokoh Wartawati Indoensia, Ani juga terlibat dalam pengorganisasian kaum perempuan dalam perang kemerdekaan dan ikut dalam pembubaran Negara Sumatera Timur di permulaan 1950. Pasca-proklamasi, Ani mulai membangun wadah-wadah untuk kepentingan perempuan. Pada akhir 1945, Ani bekerjasama dengan pemimpin harian Pewarta Deli Amarullah Ombak Lubis mendirikan Majalah Wanita . Terbitan ini tak bertahan lama. Pada Juni 1949 ia kembali membuat media perempuan, Dunia Wanita, yang jadi bacaan banyak tokoh perempuan seperti Fatmawati dan Rahmi Rachim (Hatta). Dwiminguan Dunia Wanita inilah yang jadi prestasi penting Ani dalam gerakan perempuan. Tak berhenti di situ, pada 1952 Ani mendirikan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kepentingan perempuan. Yayasan ini dibuat untuk mewujudkan mimpi Ani berupa penyediaan Balai Penitipan Bayi agar kaum ibu yang bekerja tak perlu risau atau harus mengorbankan keinginannya untuk berkarier ketika sudah memiliki anak. Yayasan ini rencananya juga menyediakan pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga SMA. Namun pembangunannya dilakukan secara bertahap. Ani juga berusaha menemukan tenaga pendidik dan pemelihara yayasan yang mumpuni. Pembangunan tahap pertama selesai tepat waktu. Pada Hari Ibu 1953, Balai Penitipan Bayi dan TK Indria diresmikan di Jalan Sisingamangaraja 84 Medan. Beberapa tahun setelahnya, SD dan SMP Indria diresmikan pada Hari Kartini. Pada awal pendiriannya, murid di Yayasan Indria hanya sedikit sehingga berpengaruh pada kas yayasan. Ani pun terus mencari biaya operasional dan memenuhi honorarium para pendidik. Beruntung, ia dibantu oleh para staf yang juga peduli pada perbaikan nasib perempuan. Kerja-kerja Ani untuk memperbaiki nasib perempuan ini didorong oleh pemikirannya. Menurut Ani, perempuan harus dinamis dan giat menuntut ilmu, tidak apatis dan terus berjuang mempertahankan haknya sebagai warga negara Indonesia. “Wanita harus dapat menaikan derajatnya, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Jangan diberi kesempatan kepada laki-laki untuk memandang rendah lawan jenisnya,” kata Ani.*
- Jejak Berlawan dari Bumi Lorosa’e
TAKSI kuning yang membawa saya dari Bandara Internasional Nicolau Lobato menuju Timor Hotel di kota Dili, Timor-Leste, melaju santai. Sepanjang jalan, beberapa toko atau restoran masih menggunakan papan nama berbahasa Indonesia.
- Orang Amerika Terbunuh di Tanah Jawa
BANDUNG, 27 April 1950. Di kesejukan pagi, sebuah jip terbuka meluncur cepat meninggalkan Hotel Savoy Homan ke arah timur. Dari warna kulit dan perawakannya, sekilas saja orang tahu jika kedua penumpangnya orang bule. Memang betul, yang duduk di belakang kemudi adalah Raymond Kennedy (43 tahun), profesor antropologi Yale University, sedangkan di sebelahnya Robert “Bob” Doyle (31), kontributor majalah Time-Life .
- Jejak Revolusi Filipina dalam Kemerdekaan Indonesia
SELAIN dekat secara geografis, Indonesia dan Filipina punya banyak kemiripan. Sejarah kedua negara menentang kolonialisme, yang membentang selama setengah abad, jadi bagian dalam gelombang nasionalisme dan dekolonialisme yang menandai abad ke-20. Seberapa jauh gerakan nasionalisme dan kemerdekaan di kedua negara saling terkait?
- Menservis Sejarah Tenis
YAYUK Basuki tampil trengginas. Di set pertama dia melumat petenis Kanada, Patricia Hy-Boulais, tanpa balas dengan skor 6-0. Dalam pertandingan yang berlangsung 20 menit itu, Yayuk bermain ofensif. Passing shoot -nya efektif mematikan gerakan maju lawan. Tatkala memegang servis, game dimenanginya dengan telak tanpa membuat lawan mencetak skor ( love game ) atau dengan angka meyakinkan 40-15.
- Membangun Persemayaman Dewa
MENDAPAT perintah dari ayahnya, Bandung Bondowoso berangkat menuju Prambanan bersama bala tentara Pengging. Melalui pertempuran hebat, dia mengalahkan pasukan Prambanan, bahkan membunuh Prabu Baka, raja Prambanan.
- Tiga Ledakan di Pusat Kota Jakarta
SHUNSUKE Kikuchi, pemuda asal Yokohama, Jepang, cemas. Meski sudah lebih dari setahun, kunjungannya ke India pada 1984 masih menyisakan masalah. Tas dan uangnya hilang. Begitu pula paspornya.
- Yang Mati Meninggalkan Buku
MENDUNG pekat bergelayut di langit Kota Tua, Jakarta, siang itu. Taman Fatahilah, yang di hari libur menjadi pusat keramaian, lengang. Dua-tiga rombongan tur pelajar berkerumun di depan Museum Sejarah Jakarta. Beberapa wisatawan mengayuh sepeda onthel mengelilingi taman; beberapa yang cukup berumur duduk-duduk sambil bercengkrama di sekitar taman.





















