top of page

Hasil pencarian

9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dangdut Rasa Pantura

    SUASANA pesta pernikahan di desa Kanci, Cirebon, mulai semarak. Di atas panggug, Kiki Afita (21 tahun) menyanyikan lagu “Kawin Batin” karya Dadang Anesa dengan logat Cirebon yang khas. Kiki terlihat enerjik, melangkah ke setiap sudut panggung, mengajak penonton bergoyang. Tepakan kendang, alat musik tradisional Sunda, menghentak cepat. Suling, gitar, saksofon, dan organ ikut mengiringi.

  • Bulungan Menembus Angan

    BULUNGAN, nama beken Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, masih ramai. Di dalam Gedung Olahraga, sorakan bersahutan, menyemangati tim bola basket yang tengah berlaga. Di depannya, di sebuah kantin, muda-mudi bercengkerama dan bercanda ria. Beberapa bernyanyi bersama, bermain gitar, tetapi ada juga yang melamun.

  • Antara Senen dan Klender

    JULUKANNYA “menteri copet”. Di kawasan Senen, Jakarta, kalau cabriolet kap terbukanya lewat, orang-orang mengangguk hormat. Itulah Bang Pi’i. Dia punya pasukan bernama Sebenggol; isinya semua pencopet.

  • Bukan Sekadar Gaya Hidup

    JARUM jam mendekati pukul 19.00. Satu per satu meja yang telah disusun sedemikian rupa dengan hiasan bunga mulai terisi oleh para tamu undangan. Sejumlah tuan dan nyonya Eropa memenuhi ruangan besar di gedung Koninklijke Natuurkundige Vereeniging (KNV) atau Asosiasi Ilmu Pengetahuan Alam Kerajaan di Koningsplein Zuid (kini, Jalan Merdeka Selatan), Batavia, pada Juni 1913.

  • Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta

    PARLEMEN gempar ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak hanya di parlemen, berita pengunduran diri Bung Hatta mengisi halaman depan semua suratkabar nasional. Sejak Bung Hatta meletakkan jabatannya pada 1 Desember 1956, kepemimpinan dwitunggalnya bersama Presiden Sukarno telah pecah kongsi. “Mulai hari ini RI tak punya wakil presiden. Dr. Mohammad Hatta tetap pada pendiriannya meletakkan jabatan mulai tanggal 1 Desember 1956,” demikian diwartakan Kedaulatan Rakjat , 1 Desember 1956. Sebelum resmi meletakkan jabatan, wacana pengunduran diri Bung Hatta sejatinya telah bergulir cukup lama. Pada 1955, Bung Hatta telah mengajukan permohonan pengunduran diri. Namun, permohonan itu tidak mendapat tanggapan dari parlemen. Pada 23 November 1956, Bung Hatta kembali menegaskan niatannya untuk mundur dari posisi RI-2. Dalam suratnya kepada parlemen, ia menyatakan masa tugasnya sebagai wakil presiden berakhir pada 1 Desember 1956. Keputusan Bung Hatta amat disayangkan oleh begitu banyak pihak. Di tengah kesenjangan antara daerah dan pusat, sosok Bung Hatta menjadi tumpuan bagi aspirasi masyakat Indonesia di daerah-daerah luar Jawa, khususnya Sumatra. “Ada satu masa Hatta bukan sebagai orang kedua. Di zaman Perang Kemerdekaan, Indonesia dipimpin oleh dwitunggal Sukarno-Hatta. Jadi satu, walaupun isinya dua orang. Hatta pemimpin yang berkarakter dan selama periode itu menujukkan integritas yang tinggi, baik sebagai seorang pemimpin bangsa dan juga seorang pemimpin negara,” terang sejarawan dan kurator museum Erwin Kusuma dalam siniar “Topsecret: Mundurnya Bung Hatta Sebagai Wakil Presiden” di kanal Youtube  ANRI, 4 Desember 2024. Dari penelusurannya, Erwin mengungkap berbagai persoalan kompleks yang melatari pengunduran diri Bung Hatta. Dalam berbagai kesempatan, Bung Hatta menganggap bahwa Presiden Sukarno melampaui tugasnya sebagai seorang kepala negara. Sukarno misalnya kerap kali mengintervensi hal-hal tertentu dalam jalannya pemerintahan. Sementara itu, sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan pada periode 1950-an membatasi kekuasaan presiden sebagai kepala negara. Batasan dwitunggal itu akhirnya mulai terkuras dan merenggang secara perlahan-lahan. Dari hal yang sifatnya kenegaraan sampai hal yang sifatnya pribadi, Hatta dan Sukarno semakin bertentangan. “Ketika Presiden Sukarno memutuskan untuk menikahi Hartini, Mohammad Hatta termasuk yang mempertanyakan. Apakah langkah Sukarno itu bisa menjaga nama baik Sukarno sebagai seorang presiden dan kepala negara. Itu hal yang sifatnya pribadi,” kata Erwin. Menurut Erwin, alasan pengunduran diri Bung Hatta yang dikemukakan secara publik berkenaan dengan terselenggaranya Pemilu 1955. Dari hasil pemilu itu telah terpilih anggota legislatif maupun Konstituante. Para anggota dewan yang baru itulah yang nanti akan memilih presiden dan wakil presiden selanjutnya. Namun, mengutip pendapat Deliar Noor, intelektual Muslim yang menulis biografi politik Bung Hatta, menggejalanya korupsi dalam penyelenggaraan negara turut berkontribusi menyebabkan Bung Hatta muak atas kondisi pemerintahan. “Karena batasan konstitusinya itu, Hatta tidak mampu menghentikan praktik-praktik korupsi dan penyelewengan dalam penyelenggaraan negara sehingga dia menyatakan mundur dari jabatan wakil presiden. Dan itu sudah dinyatakan sejak 1955,” jelas Erwin. Harian Kedaulatan Rakjat  membeberkan sejumlah penyebab di balik pengunduran diri Bung Hatta. Perkara politik yang dihadapi Hatta saat itu menyangkut grasi yang diberikan kepada Mr. Djody Gondokusumo (Menteri Kehakiman Kabinet Ali I), masalah internal AURI, persoalan Jenderal Mayor Simatupang, lisensi istimewa Mr. Iskaq Tjokroadisurjo (Menteri Perdagangan Kabinet Ali I), hingga Proyek Asahan. Dalam soal-soal penting tersebut, Wapres Hatta telah lama mengeluhkan bahwa dirinya sering tidak dilibatkan untuk berunding di parlemen. Dalam pemberian grasi enam bulan untuk Mr. Djody yang tersangkut kasus korupsi, Bung Hatta sama sekali tidak pernah diajak untuk membicarakannya. Mengenai pemecatan Jendral Simatupang, Bung Hatta juga kurang setuju. Menurutnya, apabila kabinet tidak menyukai pribadi Simatupang, hendaknya kedudukan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) jangan dikorbankan atau dihapuskan. Namun, masukan Bung Hatta itu tidak dihiraukan. Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri tetap memecat Simatupang dengan hanya menggunakan Peraturan Pemerintah. Soal Proyek Asahan di Sumatra Utara, menurut Hatta, amat sedikit perhatian yang dicurahkan pemerintah. Padahal, proyek tersebut merupakan salah satu usaha meningkatkan produksi dan meluaskan industri dalam negeri. Beberapa nasihat dan usaha untuk memperbesar anggaran proyek serta menjalankannya dengan sungguh-sungguh ternyata tidak mendapat perhatian sepantasnya. “Mengenai lisensi istimewa Iskaq dalam Kabinet Ali yang lalu, menurut pendapat Hatta adalah suatu Tindakan yang memorat-matirkan kedudukan ekonomi dan keuangan negara, akan tetap nasihat-nasihat untuk mencegahnya yang diberikan oleh Hatta tidak dilaksanakan,” sebut Kedaulatan Rakjat , 1 Desember 1956. Sepeninggal Bung Hatta, pandangan bernegara yang tadinya utuh dari dwitunggal Sukarno-Hatta, berubah menjadi pandangan yang sifatnya personal terbatas pada diri Sukarno saja. Perubahan yang paling kentara, sambung Erwin, salah satunya dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri. Ciri yang tadinya menjaga komitmen bebas-aktif, menjadi politik luar negeri yang sangat Sukarno sekali. “Bung Hatta tidak mau turut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dia tidak bisa langsung memperbaikinya karena itu (terkendala) batasan konstitusional. Jadi dia lebih baik memilih sebagai seorang pemimpin bangsa di luar pengelolaan negara. Itu sikap yang dia ambil,” tutup Erwin.*

  • Eksploitasi Hutan Ugal-ugalan Sejak Orde Baru

    KEKAYAAN hutan tropis dari Merauke sampai Sabang menjadikan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia. Setidaknya begitu yang melekat di ingatan dari buku-buku pelajaran Biologi dan Geografi di sekolah-sekolah. Mirisnya, hal itu patut dipertanyakan lantaran eksploitasi begitu serampangan hingga merusak alam. Tak hanya flora dan fauna yang dirugikan, kehidupan masyarakat adat di wilayah masing-masing pun sama. “Indonesia dengan luas hutan 131.156.904,97 ha yang terdiri dari Hutan Konservasi 27.215.511,5 ha, Hutan Lindung 29.994.821,01 ha, Hutan Produksi 73.946.572,41 ha, merupakan salah satu hutan terbesar di dunia setelah hutan Kongo di Afrika, Brasil di Amerika (Selatan) dan sekaligus menjadi paru-paru dunia. Namun potensi sumber daya hutan jika tidak dijaga kelestariannya akan terdegradasi oleh perilaku manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan,” tulis Abdul Rahman Nur dalam Hukum Kehutanan. Perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan tentu bukan perilaku perorangan macam petani, tapi perilaku ugal-ugalan perusahaan swasta yang berbisnis kayu bermodal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan, serta Hutan Tanaman Industri (HTI). Bermodal izin tersebut, perusahaan-perusahaan itu membabat hutan dalam jumlah besar hingga kerap berkonflik dengan warga dan masayarakat adat di sekitar lahan konsesi. Kasus terbaru terjadi di Papua. Suku Awyu dan suku Moi yang hutan adatnya dirusak, menggugat PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), yang membuka lahan perkebunan 36.094 hektare di Biven Digoel, Papua Selatan dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang membuka 18.160 hektare hutan di Sorong. Mengutip siaran pers organisasi non-pemerintah Greenpeace di laman resminya , 27 Mei 2024, sejumlah masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel dan suku Moi dari Sorong sampai jauh-jauh datang ke Mahkamah Agung untuk menuntut pembatalan izin perusahaan penggarap sawit itu dan mengembalikan hutan adat mereka. Tak hanya menyulut konflik, deforestasi akibat eksploitasi berlebihan para pemegang HPH juga mengakibatkan bencana alam. Seperti banjir besar dan longsor yang terjadi di 11 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan medio 2021 silam atau banjir di Katingan, Kalteng yang merendam 5700 rumah warga hingga awal Juni ini.  Menukil artikel Forest Watch Indonesia, “Di balik Rusaknya Hutan Indonesia”, dalam majalah Intip Hutan edisi April 2003, deforestasi dan kerusakan hutan rata-rata mencapai dua juta hektare per tahun. Meski konsesi HPH baru dimulai pada 1967, kerusakan hutan yang ditimbulkannya luar biasa mengerikan dan makin masif memasuki dekade 1980-an saat rezeki Indonesia dari oil booming sudah habis. Karpet Merah Eksploitasi Hutan Hutan merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Nusantara pra-kolonialisme Barat. Perlahan, kondisinya berubah setelah kolonialis masuk. Kongsi Dagang Hindia Timur VOC memulai eksploitasi hutan lewat budidaya hutan jati ( tectona grandis ) dan eksploitasi kayu untuk kebutuhan industri gula terbatas di Pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda sebagai penerusnya memperluas deforestasi untuk perkebunan berbagai komoditas yang jadi primadona di pasar dunia: kopi, teh, tebu, kina, tembakau. Semasa pemerintahan Sukarno, yang pengelolaan hutannya bersifat desentralistik, eksploitasi hutan masih minim.  Hanya Mitsui Nanpo Ringyo, investasi asing dari perusahaan Jepang, yang memiliki izin eksploitasi hutan pada 1960-an di Kalimantan. “Setelah meredanya konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1964, hutan Kalimantan menjadi incaran banyak negara. Mitsui Nanpo Ringyo Kaisha Ltd memaraf perjanjian pembukaan hutan dengan Perhutani di Sampit, Kalimantan Tengah dan Kotabaru di Kalimantan Selatan. Ini merupakan kontrak karya pertama dengan asing yang disepakati untuk mengeruk hutan Kalimantan dengan rencana pembukaan hutan dimulai pada 1966, masing-masing 20.000 meter kubik di Sampit dan Kotabaru hingga 10 tahun,” ungkap Ahmad Arif dalam Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Lalu seiring pergantian rezim dan kontrak karya untuk Freeport-MacMoran untuk mengeruk “gunung emas” di Papua, sejumlah perusahaan asing juga masuk melalui karpet merah yang digelar pemerintahan transisi Orde Baru (Orba) pada awal 1967. Bahkan sebelum Jenderal Soeharto resmi menjabat presiden karena masih berstatus ketua Presidium Kabinet Ampera, Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967 sudah dikeluarkan. Pada Mei 1967, izin untuk mengeruk hutan diperkuat dengan UU No. 5 Tahun 1867 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. “Sejak diundangkannya UU No. 5 Tahun 1967, dimulailah upaya menggali potensi bidang (kehutanan) tersebut dengan cara memberi konsesi Hak Pengusahaan Hutan kepada para pemilik modal. Akibatnya sejak 1967 hingga 1980, dikeluarkan 519 HPH dengan luas areal 53 juta hektare,” urai Siun, akademisi Universitas Airlangga, dalam disertasinya pada 2005, Hak Pengusahaan Hutan di Indonesia . HPH pun diobral. Tak hanya kepada perusahaan nasional tapi juga asing. Pebisnis Bob Hasan, yang mendapat julukan “Si Raja Hutan”, jadi salah satu yang paling melejit bisnis kayunya berkat keuntungannya jadi agen tunggal yang menentukan pihak-pihak asing yang bisa mendapat HPH di Kalimantan sejak 1971. “Pada 1971 Bob Hasan diberi kepercayaan Soeharto untuk menjadi agen tunggal bagi perusahaan-perusahaan asing yang mau menanam modalnya di bidang kehutanan di Kalimantan dan tempat-tempat lain. Dalam kesempatan itu Bob menjadi mitra patungan perusahaan Amerika Serikat, Georgia Pacific. Bob pun menjadi perantara mempertemukan perusahaan-perusahaann asing dengan mitra patungannya di Indonesia,” tulis Sri Bintang Pamungkas dalam Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara . Saat ekspor kayu gelondongan dilarang pemerintah dan Georgia Pacific terpaksa dijual pada 1981, Bob Hasan menebusnya dengan perusahaannya, Kalimanis Group. Sejak saat itu Bob memimpin Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) sekaligus Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dengan menguasai pemasokan dan pasar kayu lapis terbesar di dunia dengan memegang HPH seluas dua juta hektare.  Akibatnya, masyarakat adat dikangkangi. Tanah dan hutan adat mereka dalam kondisi tak menentu dan jelas terancam. Dalam Pasal 17 di UU No. 5/1967 memang diatur hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota masyarakat untuk mendapatkan manfaat dengan memungut hasil hutan, namun itu harus atas seizin pemegang HPH.  “Aturan hukum tersebut pada dasarnya tidak memberikan pengakuan yang tegas dan jelas terhadap hak masyarakat tradisional setempat, akan tetapi hanya memberi kesempatan, untuk meminta izin kepada pejabat yang berwenang dan pemegang HPH untuk memungut hasil hutan. Pemegang HPH tidak boleh menolak tapi dengan syarat hanya untuk memenuhi keperluan dipakai sendiri dan tidak untuk diperdagangkan. Ini bukan suatu hak dan juga pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat. Sungguh bertentangan dengan prinsip hak ulayat yang pada dasarnya merupakan hak atas tanah dan segala benda yang ada di atasnya,” sambung Siun.  Kerusakan alam dan hak masyarakat adat jadi hal yang memprihatinkan di era itu. Pasalnya demi kepentingan politik dan ekonomi, penguasa memanfaatkan birokrat hingga aparat militer untuk memperlancar eksploitasi hutan yang serampangan dari Sumatera hingga Papua. Kerusakan hutan yang diakibatkan HPH sampai membuat Bung Hatta sedih. Dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang , Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta, menuturkan bahwa Bung Hatta sampai tak habis pikir hutan alam Indonesia yang –dia perjuangkan sejak muda– begitu banyak bisa rusak parah dalam sekejap akibat nafsu tak terkendali. “Eksploitasi hutan oleh HPH yang telah berlangsung kurang lebih 35 tahun telah mendorong hancur dan rusaknya hutan sebagai tempat hidup dan kehidupan bagi masyarakat sekitar hutan dan masyarakat adat. Tidak hanya hutan yang rusak, sungai juga ikut tercemar dengan adanya limbah-limbah industri plywood dan industri-industri kayu lainnya yang memang menggunakan bahan-bahan beracun ebagai bahan aditifnya. Upaya hukum hanya bisa ditempuh berdasarkan pasal 34 UUPLH yang memungkinkan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti rugi atau biaya pemulihan lingkungan,” ungkap Forest Watch Indonesia dalam artikel “Konflik Antara Masyarakat Sekitar Hutan, Masyarakat Adat, dan Perusahaan Pengusahaan Hutan: Studi Kasus di Propinsi Kalimantan Tengah” dalam Intip Hutan edisi Mei-Juli 2003.*

  • Kisah Putra-Putri Bung Karno dalam Peristiwa Cikini

    CIKINI, 30 November 1957. Sedari siang kesibukan terjadi di Perguruan Cikini. Para guru dan siswa tengah bersiap menyambut kedatangan Presiden Sukarno ke sekolahnya. Hari itu adaah hari istimewa bagi Perguruan Cikini. Sekolah yang dibangun pada masa Jepang tersebut akan merayakan hari jadi ke-15.

  • Kisah Sedih dari Peristiwa Cikini

    POTONGAN peristiwa malam itu teramat jelas di ingatannya. Kata demi kata ia rangkai untuk menggambarkan bagaimana pilunya situasi 63 tahun lalu, saat sebuah granat meledak tepat dua meter di depannya. Ledakan yang sebenarnya diarahkan kepada presiden pertama RI itu ternyata malah berujung pada kisah sedih baginya dan ratusan orang yang hadir dalam perayaan hari jadi ke-15 Perguruan Cikini pada 1957.

  • Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia

    KELAPA sawit punya julukan yang mentereng: buah emas. Disebut demikian lantaran tanaman keras dengan nama latin Elaeis guineensis ini bernilai ekonomi tinggi. Minyak yang diperoleh dari pengolahan biji sawit merupakan bahan baku minyak nabati yang lazim digunakan untuk mengolah berbagai bahan makanan. Untuk soal kelapa sawit ini, Indonesia boleh berbangga karena sekarang tercatat sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.

  • Manis Pahit Kelapa Sawit

    KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) melanda Sumatra dan Kalimantan sejak awal September 2019. Jerebunya bergerak ke Singapura dan Malaysia. Puluhan ribu orang terkena infeksi saluran pernapasan atas. Banyak sangkaan tertuju ke pengusaha perkebunan kelapa sawit sebagai biang onar karhutla. Tapi pengusaha kelapa sawit membantahnya.

  • Jejak Kelapa Sawit di Kebun Raya Bogor

    TANAMAN kelapa sawit ( Elaeis guineensis ) menjadi salah satu komoditas penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia masuk dalam daftar negara penghasil sawit terbesar di dunia. Walau begitu, kelapa sawit bukanlah tanaman asli Indonesia. Tanaman ini mulai hadir pada zaman kolonial Belanda. Kelapa sawit belum muncul dalam katalog ke-2 Kebun Raya Bogor tahun 1844, yang disusun oleh J.K. Hasskarl. Elaeis guineensis mulai disebutkan pada halaman 73 dalam katalog J.E. Teysmann dan S. Binnedijk yang terbit tahun 1866. Menurut Dr. F.W.T. Hunger dalam De oliepalm (Elaeis guineensis) , kelapa sawit mulai dikenal di Hindia Belanda tahun 1848. Pada Februari 1848, Kebun Raya Bogor menerima dua tanaman kelapa sawit dari Bourbon, Mauritius melalui perantara Mr. D.T. Pryce di Batavia, dan pada Maret di tahun yang sama, dua spesimen dari spesies yang sama dikirim oleh Hortus di Amsterdam, Belanda. Dalam laporan selanjutnya, Johannes Elias Teijsmann (J.E. Teysmaan), seorang ahli botani Belanda yang pernah menjabat Direktur Kebun Raya Bogor, melaporkan bahwa tanaman yang ia perkenalkan di Jawa telah berumur setidaknya satu tahun. Sejumlah ahli botani meneliti keempat tanaman kelapa sawit yang diterima Kebun Raya Bogor. Salah seorang ahli botani, P.J.S. Cramer menyebut dalam Teysmannia , jilid 28, hal. 448 (1917), bahwa ia telah mencari informasi mengenai asal-usul kelapa sawit pertama yang diterima di Bogor. Direktur Pertanian Mauritius saat itu, Dr. Stockdale, memberitahukan kepadanya bahwa Elaeis guineensis tidak ditemukan di alam liar di pulau-pulau di kepulauan Maskarenes. “Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Mauritius atau Bourbon hanyalah tempat transit atau aklimatisasi bagi kelapa sawit yang pertama kali diimpor ke koloni kami,” sebut Cramer. Sementara itu, ada pula yang menyebut sangat mungkin kelapa sawit yang diterima di Bogor berasal dari Réunion, bukan Bourbon. Réunion, sebuah region Prancis di Samudra Hindia, yang terletak di sebelah barat daya Mauritius. Keempat tanaman kelapa sawit yang diterima Kebun Raya Bogor tumbuh dengan baik. Tanaman itu memiliki batang setinggi 5 hingga 6 kaki, kecuali mahkota dengan daun, yang ukurannya mirip dengan capercaillie , tetapi daunnya lebih padat, tidak tegak tetapi lebih melengkung dan jumlahnya lebih banyak. Sekelompok bunga juga mulai muncul secara teratur, baik jantan maupun betina. Meski begitu, dalam surat yang dikirim kepada Kepala Kantor Pemerintah pada 1858, Teysmann menulis bahwa sebagian besar tandan bunga betina gagal dan tidak menghasilkan buah jika tidak dibuahi secara artifisial, karena tandan bunga jantan muncul sangat tidak beraturan di antara tandan bunga betina dan bahkan tidak membuahi dalam jarak yang dekat. “Inseminasi buatan dilakukan di sini, seperti pada pohon kurma di Arab, dengan memotong tangkai bunga jantan, yang akan digunakan untuk menyerbuki bunga betina pada waktu yang tepat. Jika pembuahan dilakukan dengan baik, sehingga semua tandan bunga menghasilkan buah, pohon ini dapat menghasilkan buah dalam jumlah yang cukup banyak setiap tahun,” tulis Teysmann. Pada 1853, banyak buah kelapa sawit yang diperoleh membutuhkan waktu beberapa bulan untuk berkembang, tetapi segera setelah mereka menghasilkan daun pertama, lebih banyak lagi yang segera menyusul, dan setelah 5 hingga 6 tahun tanaman sudah cukup berkembang untuk menghasilkan buah, yang muncul di antara daun pada ketinggian 3 hingga 4 kaki di atas tanah. Seiring berjalannya waktu, pengembangbiakkan kelapa sawit mulai dilakukan di luar Kebun Raya Bogor. Antara tahun 1854–1858, bibit-bibit pohon ini disediakan dan ditanam di Ciomas, Ciogrek, serta tanah Pamanukan dan Ciasem. Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië , 22 Mei 1920, melaporkan bahwa bibit pohon kelapa sawit juga ditanam di Banyumas tahun 1859. Penanaman bibit pohon itu bahkan dilakukan di bawah kepemimpinan Teysmann. Selanjutnya, pada 1871 beberapa ratus tanaman sawit disediakan. Dari tahun 1854 dan seterusnya, bibit kelapa sawit telah dipasok ke beberapa perusahaan perkebunan swasta, terutama yang berlokasi di Jawa Barat. Untuk sementara waktu keterlibatan Kebun Raya Bogor dengan kelapa sawit tidak berlanjut lebih jauh sampai pada 1857 Dewan Tertinggi di Belanda memberikan perhatian khusus pada manfaat kelapa sawit. Setelah dekade pertama diperkenalkan di Hindia Belanda, kelapa sawit sudah ditemukan di beberapa perkebunan swasta di Jawa Barat, misalnya di distrik Bogor, Batavia, Karawang, dan tanah Pamanukan dan Ciasem. Lebih dari satu dekade kemudian, penanaman baru dimulai di Bogor di tanah Nuripan dan di Banten di Cikande Udik. Di Jawa Tengah, menurut Hunger, sekitar tahun 1867 terdapat penanaman kelapa sawit dalam jumlah kecil di sejumlah tanah milik Tuan Weynschenk yang luas di kawasan Yogyakarta, yang dimaksudkan untuk menyediakan bahan baku pembuatan sabun. Di Jawa Timur, Tuan Perret di Lawang menjadi orang pertama yang mulai merintis perkebunan kelapa sawit. Pada masa itu penanaman bibit sawit mulai dilakukan dalam skala cukup besar, baik di lahan pribadi, lahan sewa maupun di pekarangan rumah penduduk.*

  • Chipko, Gerakan Memeluk Pohon di India

    SEJAK berabad-abad, penduduk desa di India, terutama di wilayah perbukitan dan pegunungan, menggantungkan hidup pada hutan. Hutan menyediakan makanan, bahan bakar, pakan ternak, serta menjaga kelangsungan sumberdaya tanah dan air. Kekeselarasan dengan alam sangatlah penting. Hutan adalah segala-galanya. Tapi, pada 1821, secara bertahap kendali atas wilayah hutan beralih ke tangan pemerintah. Perlawanan pun muncul. Pada 1916, para pejabat Inggris bingung atas “pembakaran rumah yang disengaja dan terorganisasi" oleh orang-orang dari Kumaon karena pembukaan hutan untuk kepentingan komersial tapi juga kehilangan hak-hak tradisional mereka. Terjadi pemogokan terhadap utar  (kerja paksa). Hutan-hutan pinus dibakar di seluruh Kumaon, terutama di Almora. Protes atas kebijakan hutan, yang bertentangan dengan kepentingan lokal, berlanjut setelah kemerdekaan. Puncaknya terjadi pada 1970-an dengan Gerakan Chipko. Pelopornya adalah Chandi Prasad Bhatt, pekerja sosial yang menganut ajaran Mahatma Gandhi. Dia membentuk Dasholi Gram Swarajya Mandal (DGSM) di Gopeshwar pada 1964 untuk membangun kewirausahaan dan kemandirian dengan membangun usaha kecil yang memanfaatkan sumberdaya hutan. Pada akhirnya mereka berhadapan dengan para kontraktor yang hendak mengeksploitasi hutan. Mereka mulai bertekad untuk memperjuangkan hak-hak hutan. Mereka melancarkan gelombang protes. Banjir bandang di Alaknanda pada 1970 mendorong mereka terus memperkeras aksi. Pada 1972 mereka melakukan demonstrasi di Purola, Uttarkashi, dan Gopeshwar. Upaya itu gagal. Mereka terpaksa mencari cara baru. Gerakan Chipko dimulai pada April 1973 di distrik Chamoli. Penduduk desa Mandal, dipimpin Bhatt dan Sunderlal Bahuguna , menghalangi Symonds, perusahaan alat-alat olahraga yang berkantor di Allahabad, untuk menebang pohon guna keperluan pembuatan raket tenis. Sekira seratus warga desa dan relawan DGSM memukul drum dan meneriakkan slogan-slogan yang memaksa kontraktor dan para penebang hutan mundur. Pada bulan Desember, mereka sekali lagi menghentikan orang-orang Symonds menebang hutan Phata-Rampur, sekira 60 km dari Gopeshwar. Pada 1974, Departemen Kehutanan melelang 2.500 pohon di hutan Murenda Peng, di dekat desa Reni. Lelang dimenangkan Jagmohan Bhalla, seorang kontraktor dari Rishikesh. Warga desa resah, marah. Bhatt ke desa Reni dan menyarankan agar para penduduk memeluk pohon sebagai taktik untuk menyelamatkan hutan –Bhaat menggunakan istilah angalwaltha  yang dalam bahasa Garhwali berarti “merangkul”, kemudian disesuaikan dengan bahasa Hindi, chipko , dengan makna sama. “Para penduduk desa terus bertahan menjaga pohon-pohon mereka hingga Desember, dan dimulailah kisah panjang Gerakan Chipko,” tulis Shobita Jain dalam "Standing Up For Trees: Women′s Role in The Chipko Movement", masuk antologi Women and the Environtment  karya Sally Ann Sontheimer. Gerakan Chipko dengan memeluk pohon bukanlah yang pertama. Pada abad ke-18, masyarakat di Bishnoi, Rajasthan, resah karena hutan tempat mereka menggantungkan hidup terancam rusak. Para penebang pohon dan prajurit kerajaan, yang dikirim Maharaja Marwar, akan menebangi pohon. Maharaja memerlukan kayu untuk membangun istananya. Sebanyak 350 orang, lelaki dan perempuan, melawan. Mereka memeluk pohon sembari bergandengan tangan. Akibatnya tubuh mereka tercincang. “Ini merupakan pendahuluan (bibit) Gerakan Chipko yang tumbuh dua abad kemudian,” tulis Anil Kumar De dalam Environtmental Studies. Kali ini, dalam Gerakan Chipko, banyak perempuan terlibat. Gaura Devi, seorang perempuan dari desa Lata, memimpin 27 perempuan di desa Reni menuju lokasi dan menghadapi para penebang. Mereka mendapat intimidasi dan perlakuan kasar, bahkan ancaman kekerasan. Devi bahkan menantang seorang pria –pekerja perusahaan– bersenjata api untuk menembak dirinya ketimbang menebangi pohon. Baginya, hutan sama dengan maika  (rumah ibunya). Para perempuan berjaga sepanjang malam, menjaga pohon-pohon mereka dari para penebang hingga sebagian penebang mengalah dan meninggalkan desa. Hari berikutnya, ketika beberapa lelaki dan pemimpin mereka datang kembali, berita tentang gerakan sudah menyebar ke desa-desa lain dan lebih banyak orang bergabung. Akhirnya setelah bertahan selama empat hari, kontraktor pergi. Para perempuan Reni berhasil mengusir para pekerja kontraktor pada 26 Maret 1974. Ini adalah titik penting bagi Gerakan Chipko, yang menandai kali pertama perempuan mengambil inisiatif, terutama ketika kaum laki-laki tak melakukannya. Insiden Reni mendorong pemerintah negara bagian membentuk sebuah komite beranggotakan sembilan orang, dipimpin ahli botani Virendra Kumar. Pemerintah juga meminta perusahaan kayu menarik orang-orangnya dari Reni hingga komite mengambil keputusan. Setelah dua tahun bekerja, komite menghasilkan laporan: hutan Reni merupakan areal sensitif dan tak satu pohon pun boleh ditebang. Pemerintah mengeluarkan larangan komersialisasi hutan selama 10 tahun di Reni dan hampir 1.200 km persegi di daerah hulu Alaknanda. Larangan itu diperpanjang selama 10 tahun pada 1985. Respons lainnya, pemerintah membentuk badan usaha milik negara, Nigam Van, pada 1975 untuk mengambil-alih segala bentuk eksploitasi hutan dari tangan kontraktor swasta. “Diyakini pemerintah tak akan sekejam dan sekorup kontraktor swasta dalam memanfaatkan sumber daya hutan,” kata Surendra Bhatt, mantan relawan Sarvodaya dari Uttarkashi sebagaimana dikutip Amit Mitra dalam “Chipko: an unfinished” yang dimuat di indiaenvironmentportal.org . Namun, kenyataan berkata lain. Gerakan serupa muncul di sejumlah wilayah. Di Tehri Garhwal, misalnya, aktivis Chipko yang dipimpin Sunderlal Bahuguna mengorganisasi warga desa untuk menentang penebangan pohon di lembah Henwal pada 1977 serta hutan di Advani, Salet, dan Narendranagar pada tahun berikutnya. Beberapa relawan, termasuk Bahuguna, ditahan. “Perjuangan di Henwal menandai transformasi Chipko dari perjuangan ekonomi ke perjuangan untuk konservasi,” kenang Pratap Shikhar, sebagaimana dikutip Amit Mitra. Gerakan Chipko berhasil menyelamatkan hutan. Seiring waktu, Chipko sendiri kian berkembang dan terorganisir, bahkan melintasi batas-batas geografis. “Gerakan Chipko bisa dipertimbangkan sebagai satu kisah keberhasilan penting dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam proses pembangunan masyarakat lokal melalui perlindungan hutan dan lingkungan,” tulis Shobita. Bagaimana kita? Hutan sudah gundul. Bencana terus datang. Mari memeluk pohon, sumber kehidupan, sembari menyanyikan lagu seperti yang dilantunkan selama Gerakan Chipko: “ Maatu hamru, hamru paani, chhan hi Hamra yi Baun bhi ... Pitron na lagai Baun, hamunahi ta bachon bhi ” (Tanah kita, air kita, hutan-hutan kita. Nenek moyang kita membesarkan mereka, kita yang harus melindungi mereka).*

bottom of page