top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Melontarkan Sejarah Kursi Lontar

    JATUHNYA pesawat tempur BAe Hawk 200 TNI AU di Kampar, Riau pada Senin, 15 Juni 2020 menambah panjang daftar hitam petaka alutsista. Namun yang patut disyukuri, sang pilot selamat berkat ejection seat (kursi lontar) sebelum pesawat itu jatuh. Nyawa seorang pilot tempur terlatih masih jauh lebih berharga ketimbang pesawat yang ringsek. “Pilot Lettu Pnb Apriyanto berhasil selamat menggunakan ejection seat saat pesawat Hawk 209 yang dipilotinya mengalami gangguan teknis menjelang mendarat di runway 36 Lanud Rsn (Pangkalan Udara Roesmin Noerjadin) Pekanbaru,” sebut Dinas Penerangan TNI AU di akun Twitter @_TNIAU. Kursi lontar sudah jadi sistem keselamatan yang diwajibkan bagi pilot setiap pesawat tempur era pasca-Perang Dunia II. Berbagai varian pesawat Hawk buatan Inggris seperti pesawat nahas yang dipiloti Lettu Apriyanto, sudah dilengkapi kursi lontar canggih dengan Canopy Destruct System (Sistem perusak kanopi) kokpit otomatis dan Flexible Linear Shaped Charge (FLSC) sebagai pemicu lontarannya. Teknologi itu jelas tidak muncul begitu saja. Ia merupakan evolusi dari capaian-capaian dalam upaya membuat sistem keselamatan pilot tempur yang telah dirintis sejak Perang Dunia I. Adalah Everard Richard Calthrop, ilmuwan asal Inggris, yang memulainya. Ia membuat sistem penyelamat pilot dengan satu aspek terpentingnya adalah parasut yang mesti terkembang saat pilot sudah keluar dari pesawat. Parasut itu sendiri diciptakan dan dipatenkan Calthrop pada 1913. “Pada 22 September 1916 Calthrop menciptakan dan mematenkan kursi lontar untuk pesawat. Alat ini menggunakan sistem udara bertekanan untuk melontarkan si pilot. Alat ini juga kelanjutan dari pengembangan parasut yang ia ciptakan sebelumnya, di mana udara bertekanan itu melontarkan pilot dari kokpit ke jarak yang aman dari pesawat, lalu langsung membuka parasutnya,” tulis sejarawan militer Bob Taylor dalam Getting Our Wings. Rancangan Compressed Air Parachute Extraction System ciptaan Everard  Richard Calthrop  (Foto: ejection-history.org.uk ) Tentu sistem ciptaan Calthrop masih memiliki banyak kelemahan lantaran pilot harus lebih dulu menekan tuas untuk mengaktifkan pelontarnya. Sistem penyelamat buatannya pun berbeda dengan kursi lontar di era modern karena sistem yang dibuat Calthrop hanya melontarkan si pilot tanpa kursinya. Maka sebutan lengkap ciptaannya bukan ejection seat , melainkan Compressed Air Parachute Extraction System. Sistem penyelamat yang melontarkan pilot bersama kursinya baru dikembangkan penemu asal Rumania, Anastase Dragomir. Penggunaannya hampir sama, dengan menarik tuas agar si pilot terlontar bersama kursinya dengan mekanisme udara bertekanan. Setelah dipasang di pesawat Farman dan diujicoba oleh penerbang Prancis Lucien Bossoutrot di Bandara Paris-Orly, Prancis pada 28 Agustus 1929 dan sukses, Dragomir segera mematenkannya. Tetapi penemuan itu tak lantas membuat pihak militer Prancis, Inggris, maupun Rumania bersedia segera memasok pesawat-pesawat militernya dengan kursi pelontar. Hingga Perang Dunia II, mayoritas angkatan udara negara-negara Eropa dan Amerika masih sekadar membekali parasut buat para pilot mereka dan tentu mereka harus lebih dulu loncat sendiri dari kokpit untuk menyelamatkan diri. Jerman Trendsetter Kursi Lontar Di Perang Dunia II, Jerman mengembangkan sistem yang dilahirkan Colthrop. Itu seolah mengulang cerita parasut “Guardian Angel” yang kemudian lebih marak digunakan pasukan lintas udara (linud) Jerman ketimbang Inggris –Jerman menjadi negeri pertama yang melakukan operasi militer menggunakan linud. “Parasut ‘Guardian Angel’ ciptaan Calthrop mulanya sekadar untuk mengirim agen-agen intelijen di belakang garis musuh. Tetapi pada 1918 Jerman lebih mengapresiasi dengan mulai menyontek desain parasutnya untuk membekali para pilot mereka. Saat Angkatan Udara Inggris baru mulai menggunakan parasut, desain yang digunakan malah parasut buatan Amerika,” sambung Taylor. Selain Jerman, Swedia lewat manufaktur SAAB juga mengembangkan kursi lontar ciptaan Colthrop dengan sumber daya termutakhir pada 1940. Tetapi Jerman lewat manufaktur Heinkel sukses merampungkan pengembangan lebih dulu. Pesawat-pesawat Heinkel sudah dilengkapi dengan sistem penyelamat tersebut. Parasut "Guardian Angel" ciptaan Everard Colthrop (Foto: biodiversitylibrary.org/gracesguide.co.uk ) Mengutip William Green dalam The Warplanes of the Third Reich , medio 1940 ketika Jerman masih dalam euforia gilang-gemilang di berbagai front, Heinkel banyak menelurkan inovasi alutsista. Salah satunya He-280, pesawat tempur turbojet pertama yang didesain Robert Lusser. Saat membuat purwarupanya, Lusser turut memasang kursi lontar dengan sistem udara bertekanan. “Pertamakali kursi lontar di purwarupa He-280 difungsikan saat Helmut Schenk menerbangkannya dalam salah satu rangkaian ujicoba pada 13 Januari 1942. Schenk mengaktifkan kursi pelontarnya setelah mesin jetnya membeku membuat pesawatnya malfungsi,” ungkap Green. Meski Schenk kemudian menjadi penerbang pertama yang terselamatkan oleh kursi lontar, proyek He 280 tak diteruskan dengan alasan sumber daya. Alutsista aktif pertama dengan kursi lontar adalah pesawat tempur malam Heinkel He-219 Uhu yang tercatat pada 1943. Tetapi Uhu bukan pesawat tempur bermesin jet. Adalah Heinkel He-162 Volksjäger yang merupakan jet tempur pertama di dunia yang dipasangkan kursi lontar pada 1944 lewat proyek Jägernotprogramm atau program darurat pesawat tempur. Di pesawat ini, kursi lontarnya sudah dikembangkan dengan dipicu lewat mekanisme letupan kartrid. Heinkel He-219 Uhu (atas) & Heinkel He-162 Volksjäger (bawah) sebagai pemakai aktif pertama kursi lontar di masa perang (Foto: Bundesarchiv/SDASM Archives) Pilot pertama yang diselamatkan kursi pelontar di jet tempur itu adalah Letnan Rudolf Schmidt dari Jagdgeschwacher 1 Luftwaffe (Wing Tempur 1 AU Jerman) pada 20 April 1945. Sementara, Kapten Paul-Heinrich Dahne jadi pilot pertama yang tewas karena kursi lontar, 24 April 1945, lantaran kanopi pesawatnya gagal terbuka. Pasca-Perang Dunia II, kursi pelontar marak dikembangkan sejumlah negara untuk pesawat-pesawat buatan mereka masing-masing. James Martin, produsen pesawat asal Irlandia, bereksperimen untuk USAF (AU Amerika) dengan menggunakan mekanisme pegas untuk –menggantikan mekanisme udara bertekanan– kursi lontar buatannya. Ujicoba pertamanya yang dilakukan pilot Bernard Lynch di jet tempur Gloster Meteor Mk. III sukses dilakoni pada 24 Juli 1946. Seiring masa, Martin lewat perusahaan Martin-Baker, yang dirintis bareng Kapten Valentine Baker,terus memutakhirkan sistem dan mekanisme kursi pelontar yang lebih efektif dan aman bagi pilot. Disitat dari situs resmi martin-baker.com , sejak 1946 hingga kini manufaktur asal Inggris itu jadi pemasok terbesar kursi lontar dengan memasok 70 ribu unit di 93 angkatan udara seluruh dunia. Martin-Baker juga menguasai 53 persen pasar kursi pelontar yang membekali beragam jenis pesawat tempur. Mulai dari generasi F-4 Phantom ke generasi yang lebih modern macam Harrier, Tucano, Super Tucano, KT-1 Wongbee, SAAB JAS-39 Gripen, F-18 Hornet, Rafale, Eurofighter Typhoon, hingga jet tempur 5-Generation F-35, semua dilengkapi kursi lontar Martin-Baker.

  • Saat Jenderal Gatot Subroto Beraksi di Yugoslavia

    September, 1961. Presiden Sukarno berkunjung ke Yugoslavia dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok. Selain didampingi Letjen Gatot Subroto, Deputi Kepala Staf Angkatan Darat, Bung Karno juga mengajak putra sulungnya, Guntur. Rombongan Bung Karno menumpang pesawat carter Pan Am DC-707. Selain untuk menghadiri KTT Non-Blok, tujuan muhibah Sukarno adalah meninjau kapal perang pesanan Indonesia yang sedang dibuat di Yugoslavia. Sehubungan dengan kepentingan tersebut, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution telah tiba duluan di Yugoslavia. Adapun kapal perang yang tengah dipesan itu  adalah jenis Submarin chaser buatan Yugoslavia, kapal anti kapal selam yang mampu bergerak cepat sebagai kapal pemuburu.   Dalam penerbangan, Sukarno menuturkan betapa canggihnya kapal tempur pesanan TNI itu. Guntur antusias mendengarnya dan menanyakan berbagai hal, mulai dari meriam, radar, hingga daya tempuh tembakan. Sayangnya, Sukarno kurang begitu paham soal seluk-beluk alustista. Dia menyarankan Guntur untuk bertanya lebih lanjut kepada Jenderal Gatot. “Ternyata saat itu Pak Gatot Subroto sedang lelap tidur mendengkur di pesawat sehingga niat bertanya aku urungkan. Sambil berjalan lunglai karena masygul aku kembali ke tempat dudukku semula,” kenang Guntur dalam memoir Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku . Ketika pesawat mendarat di Beograd, ibu kota Yogoslavia, sambutan luar biasa telah menanti. Tembakan kehormatan dilepaskan sebanyak 21 kali. Para penyambut dan pejabat-pejabat teras setempat yang terdiri dari pejabat sipil maupun militer berjejer di depan terminal bandara. Tentu saja, Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito ikut menyambut langsung kedatangan Bung Karno. Guntur menuturkan, rombongan Indonesia yang statusnya VIP, seperti kepala negara, menteri-menteri, pejabat tinggi militer ditempatkan di depan dekat kepala inspektur upacara. Mereka disebut golongan “Honorobel” (dari kata honorouble atau kehormatan). Sementara itu, rombongan yang bukan kategori VIP, seperti petugas sandi, pengawal pribadi, wartawan, termasuk Guntur sendiri ditempatkan di belakang. Secara kelakar, kelompok ini menyebut diri mereka sebagai golongan “Honorucuk” (istilah “Rucuk” diambil dari bahasa Jawa “Kerucuk” yang berarti bawahan). Ketika inspeksi, Guntur beringsut mendekati Jenderal Gatot yang ada di barisan kehormatan. Dia masih penasaran soal kapal perang yang hendak dipesan TNI. Setelah mendapat penjelasan singkat dari Gatot, Guntur mulai gelisah. Upacara penyambutan yang memakan waktu lama  menyebakan Guntur kebelet pipis. Guntur mengeluhkan hal itu kepada Gatot Subroto. “Oom, upacara kok lama sekali ya?” kata Guntur. “Caranya di sini begitu barangkali,” jawab Gatot. Guntur remaja tanggung berusia 17 itupun menjadi rewel. “Mana kebelet buar air kecil lagi,”katanya. “ Wis, tha (ya, sudah)! Ikut saja sama oom,” ajak Pak Gatot. Ternyata Jenderal Gatot juga merasakan hal yang sama. Sang jenderal kemudian memisahkan diri dari barisan kehormatan. Dia malah berjalan kembali ke arah pesawat DC-707. Guntur menguntit dari belakang. “Oom, mana WC-nya?” tanya Guntur “ Lha ini apa?!,” ujar Gatot sambil menunjuk bagian roda pesawat yang tingginya sekira 1,5 meter dan terdiri dari dua roda. “Nanti dilihat orang, Oom,” kata Guntur malu-malu. “Mana bisa! Punyaku ketutup ban yang satu! Punyamu ketutup yang satunya… Beres toh . Ayo nguyuh (kecing)!” seru Gatot. Guntur hanya bisa manut-manu t. Maka buang hajatlah putra sulung presiden dan orang nomor dua di jajaran Angkatan Bersenjata RI itu di roda pesawat buatan Amerika Serikat tersebut. Dan uniknya, aksi itu terjadi di Yugoslavia, negeri yang jauhnya ribuan kilometer dari Indonesia. Sambil melepas hajatnya, Guntur bergumam dalam hati, “Peduli setan sama orang-orang daripada ngompol mendingan  gue kencing di sini. Terimakasih Oom Gatot.”

  • Menak Pemberontak dari Jampang Manggung

    Parit di kaki Gunung Jampang Manggung, Cikalong Kulon itu memanjang bak ular raksasa. Tak ada seorang pun yang tahu pasti sejak kapan sungai kecil berbatu itu ada, kecuali beberapa penduduk yang usianya sudah menanjak senja. “Kakek saya bilang itu bekas tempat pertahanan pasukan Haji Prawatasari saat melawan Belanda ratusan tahun lalu,” ujar Aza, lelaki berusia 82 tahun. Nama Haji Prawatasari bukanlah mitos. Setidaknya ada beberapa dokumen dan arsip-arsip berbahasa Belanda yang menyebut sepakterjang menak Sunda yang memiliki nama kecil Raden Alit itu. Arsip-arsip tersebut pernah dinukil oleh Jan Breman, salah satu sejarawan Belanda terkemuka. Dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa; Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 , Breman menyebut Haji Prawatasari sebagai “ulama fanatik” yang mengobarkan perlawanan terhadap “orang asing tak beragama”. “Pada tahun-tahun pertama dari abad ke-18, (gerakan) Prawatasari menyebabkan gangguan besar di Priangan,” ungkap Breman. Siapakah sebenarnya Haji Prawatasari? * Hingga kini, belum ada penelitian sejarah yang bisa memastikan secara sahih mengenai silsilah Haji Prawatasari. Cerita tutur tinular umumnya menyebut Haji Prawatasari merupakan menak keturunan raja-raja Sunda dari wilayah Panjalu (Ciamis). Ada juga yang menyebutnya sebagai bangsawan keturunan Kerajaan Sumedanglarang. Namun selain versi di atas, ada satu hikayat yang cukup logis dan bisa ditelusuri mengenai asal muasal karuhun dari Haji Prawatasari. Adalah Aki Dadan (82), salah seorang tokoh budayawan Cianjur yang mendapat cerita tersebut secara turun temurun dari karuhun -nya. “Silisilah Haji Prawatasari sebenarnya tidak jauh-jauh. Dia masih keturunan Dalem Cikundul yang merupakan ayah dari bupati pertama Cianjur yakni Aria Wiratanu I,” ujar lelaki yang masih keturunan langsung dari Ayah Enggong, salah seorang pengikut Haji Prawatasari.  Menurut Aki Dadan, Prawatasari lahir pada sekitar tahun 1679. Ia merupakan putra tunggal Aria Wiratanu I alias Dalem Cikundul dengani isteri keduanya Dewi Amriti, putri Patih Kerajaan Jampang Manggung (sebuah kerajaan kecil yang letaknya di kaki Gunung Mananggel, Cianjur). Kendati dilahirkan di keraton Jampang Manggung, sampai umur 8 tahun Prawatasari dibesarkan bersama dua kakaknya se-ayah (Raden Aria Wiramanggala dan Raden Aria Cikondang) di Kadaleman Cikundul. Dari keduanya, Prawatasari belajar ilmu kanuragaan dan kenegaraan. “Namun ada kecenderungan, Prawata lebih mengidolakan Raden Aria Cikondang, yang ahli perang, dibanding mengidolakan Raden Aria Wiramanggala yang seorang negarawan,” ujar seniman Cianjur terkemuka itu. Bahkan karena kedekatannya itu, Raden Aria Cikondang  sempat mewariskan 12 strategi militer dari Jagabaya (pasukan khusus Kerajaan Pajajaran). Inilah salah satunya yang menjadi modal Haji Prawatasari saat melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda.   Berbeda dengan putera-putera menak pada umumnya, Haji Prawatasari dikenal memiliki pergaulan yang sangat luas di kalangan rakyat. Begitu akrabnya, sehingga waktu masih bocah Prawatasari mendapat panggilan sayang  dari khalayak yakni Raden Alit (anak terkecil). * Pada 1691, Raden Wiramanggala diangkat menjadi penguasa Cianjur dengan gelar Aria Wiratanu II. Di bawah putra Aria Wiratanu I itu, Cianjur resmi menjadi bagian dari kekuasaan Belanda (yang diwakili oleh VOC). “Kedatangan utusan VOC yang bernama Kapten Winckler segera diikuti pengakuan VOC terhadap dalem Cianjur Aria Wiratanu II sebagai regent (bupati) Cianjur,” ungkap Reiza D.Dienaputra dalam Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg. Penggabungan wilayah Cianjur ke dalam kekuasaan VOC memutlakan beberapa kewajiban yang diberlakukan Batavia kepada wilayah-wilayah bawahannya. Sejak itulah Cianjur harus menyerahkan beberapa produk-nya seperti belerang dan tanaman wajib yakni nila (tarum) dalam jumlah tertentu kepada VOC. “Dalam pelaksanaan di lapangan, Bupati Cianjur menyerahkannya kepada Raden Alit...” tulis sejarawan Nina Lubis dalam dalam sebuah makalah berjudul “Sepenggal Kisah Awal Abad ke-18: Haji Prawatasari versus Kompeni”. Awalnya Prawatasari melaksanakan titah sang kakak dengan baik. Karena pengaruhnya yang besar di kalangan rakyat (terutama rakyat Jampang Manggung), segala perintah yang dikeluarkan Prawatasari dituruti sepenuh hati. Namun lambat-laun, pelaksanaan kerja paksa dan wajib tanam nila terasa semakin memberatkan rakyat. Keluh kesah dan ketidakpuasan terhadap sang bupati yang hanya memosisikan diri sebagai alat VOC mulai muncul. Menurut Nina, meskipun ada dalam situasi dilematis pada akhirnya Prawatasari memutuskan untuk mengajukan usul dan protes keras kepada Aria Wiratanu II. “Tentu saja usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Bupati Cianjur, karena (menuruti usulan Prawatasari) bisa-bisa ia dituduh tidak loyal kepada kompeni dan (malah) bisa dicopot jabatannya,” ungkap Nina Lubis. * Penolakan Aria Wiratanu II menyebabkan rakyat Jampang Manggung hilang kendali. Memasuki 1703, sebagai tanda protes, para petani melakukan boikot pengambilan belerang dari kawasan Gunung Gede dan membakar lahan kebun tarum secara massif. Prawatasari pun menjadi tertuduh utama biang di balik aksi tersebut. “Seorang utusan bernama Cakrayudha lantas dikirim oleh Bupati Cianjur untuk menyelesaikan insiden itu,” kata Nina. Alih-alih menuntaskan masalah, pertemuan Cakrayudha-Prawatasari malah berujung bentrok fisik. Bupati Cianjur marah. Ia lalu mengerahkan sejumlah tentara-nya untuk menangkap sang adik. Namun upaya itu gagal total, karena Prawatasari dibela habis-habisan oleh masyarakat Jampang Manggung dan Cikalong Kulon. Sejarawan Jan Breman menyebut kehadiran Haji Parawatasari dalam kekisruhan di Cianjur bukanlah sebuah kebetulan. Sebagai seorang haji pengembara, Prawatasari memiliki jaringan yang cukup luas dengan beberapa ulama fanatik di Jawa Timur terutama dari wilayah Giri. “Ia memang sengaja dikirim oleh ulama fanatik di wilayah tersebut ke dataran tinggi Sunda dengan tugas melakukan perlawanan terhadap penjajah baru,” ujar Breman. Pasca Insiden Cakrayudha, hubungan Jampang Manggung-Cianjur ada dalam situasi yang kritis. Dengan dukungan VOC di Batavia, Aria Wiratanu II yang tetap mengincar Prawatasari lantas menyiapkan penyerbuan yang lebih terencana ke Jampang Manggung. Prawatasari sendiri merespon sikap Cianjur dengan melakukan mobilisasi umum di kalangan masyarakat Jampang Manggung dan sekitarnya. Perekrutan kaum lelaki untuk menjadi bagian dari pasukan gerilya melawan VOC-Cianjur terus digalakan dan mendapat sambutan baik dari masyarakat. Maret 1703, sekira 3.000 orang (terdiri dari sebagian kecil menak, petani dan jawara) berhasil direkrut oleh Haji Prawatasari untuk menjadi gerilyawan. Mereka lantas menyerang tangsi-tangsi tentara kompeni di pusat kota Cianjur. “Dengan modal taktik-taktik lawas peninggalan militer Kerajaan Pajajaran, kekuatan pasukan gerilya Haji Prawatasari bergerak seolah tak terbendung,” tulis sejarawan Gunawan Yusuf dalam  Mencari Pahlawan Lokal . Setelah melalui berbagai bentrokan kecil dengan pasukan kompeni, awal Maret 1704, bataliyon-bataliyon (satu bataliyon= 700-1000 prajurit) pasukan Haji Prawatasari bergerak menyerang titik-titik vital militer VOC di Bogor, Tangerang dan beberapa kawasan Priangan Timur seperti Galuh, Imbanagara, Kawasen dan daerah muara Sungai Citanduy. Sesekali mereka juga melakukan gangguan-gangguan kecil di pinggiran Batavia. (Bersambung)

  • Gus Dur yang Poliglot

    Sebagai cucu Hasyim Asyari, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur, sejak kecil Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerima pendidikan yang baik dari keluarganya. Tidak hanya soal agama, berbagai pengetahuan umum pun dia dapatkan, terutama dari ayahnya (Wahid Hasyim) yang aktif di Nahdlatul Ulama (NU). Keluarga Gus Dur diketahui memiliki koleksi buku yang sangat beragam dan jumlahnya banyak. Itu jugalah yang menjadi pemicu tingginya minat baca Gus Dur sedari muda. Buku bacaannya tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, tapi ada juga cetakan berbahasa Arab, Belanda, bahkan Prancis. Sedikit demi sedikit Gus Dur mempelajari bahasa asing tersebut. Perlahan dia pun mampu menguasai berbagai bahasa. Baca juga:  Gus Dur dan Buku “Sebagai santri terpelajar kota yang akrab dengan pemikiran-pemikiran tradisional dan Barat, serta menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Prancis membuat perkenalannya dengan berbagai budaya yang sedang tumbuh, yaitu modernisasi, sangat baik dan menjadi instrumen bagi analisis-analisisnya yang tajam dan komperhensif. Inilah yang menyebabkan pemikirannya berbobot,” tulis Syamsul Bakri dan Mudhofir Abdullah dalam Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia . Pengenalan Gus Dur dengan berbagai bahasa asing dimulai saat dia menempuh pendidikan pesantren di Yogyakarta pada 1950-an. Selama berada di Kota Pelajar itu, Gus Dur banyak menghabiskan waktu membaca buku dan berdiskusi. Buku-buku yang dibacanya lebih beragam dari koleksi keluarganya. Dia melahap banyak tema politik, ekonomi, budaya, hingga ideologi, yang ditulis dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis, selain bahasa Arab yang memang sudah dia pelajari sejak kecil. Gus Dur meningkatkan kemampuan bahasa Arabnya di pesantren Tampakberas, Jombang. Di sana, dia mempelajari sastra Arab klasik. Menurut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of KH. Abdurrahman Wahid , untuk mengikuti pelajaran tersebut diperlukan pengetahuan berbahasa Arab yang fasih. Dan Gus Dur mampu mendalami sastra Arab klasik itu sehingga kemampuan bahasa Arabnya jelas sangat baik. Barton juga menyebut selama di Jombang Gus Dur berhasil menghafal buku klasik standar mengenai tata bahasa Arab. Baca juga:  Petualangan Intelektual Gus Dur di Luar Negeri “Walaupun rangkaian puisi yang dihafalnya tidak berisikan pemahaman agama, namun pengetahuan bahasa Arab dan hafalan teks-teks Arab sangat penting bagi seorang siswa. Karena itu, penguasaan terhadap buku dan teks-teks tersebut dianggap memiliki jasa keagamaan yang besar,” tulis Barton. Ketika pertengahan 1960 mendapat kesempatan kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Gus Dur mengasah kemampuan bahasa Arab tersebut. Dia lebih banyak mempelajari bahasa itu secara otodidak, dari pergaulan dan beberapa teks yang dibaca. Gus Dur menolak mempelajarinya secara formal di sekolah-sekolah yang telah ditunjuk pihak Al-Azhar sebagai bagian dari program universitas itu bagi pelajar asing. Bahasa Orang Barat Tidak seperti bahasa Arab yang telah diajarkan sejak kecil di lingkungan pesantren keluarganya, pengetahuan bahasa Barat didapat Gus Dur ketika masa sekolah. Dia tidak langsung fasih dalam menggunakan bahasa-bahasa ini. Gus Dur memulainya secara pasif, dan hanya mampu mengartikan teks-teks di dalam buku yang dia baca saja. Baca juga:  Dahsyatnya Humor Gus Dur “… Ia mulai membaca tulisan-tulisan ahli-ahli teori sosial terkemuka dari Eropa, kebanyakan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, walaupun tidak jarang juga dalam bahasa Prancis dan kadang-kadang dalam Bahasa Belanda dan Jerman,” ungkap Barton. Kesempatan mendalami bahasa Barat, khususnya Prancis, didapatkan ketika dirinya tinggal di Mesir, Irak, dan Eropa. Sepanjang tahun 1964, saat tinggal di Mesir, Gus Dur mempelajari kebudayaan-kebudayaan Barat di Kairo. Diceritakan Munawar Ahmad dalam Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis , Gus Dur merasakan kebebasan dan keterbukaan dalam pengembangan ide-ide baru selama berada di kota itu. Di Kairo, Gus Dur mendapat keleluasaan untuk menonton film-film terbaik Prancis. Ketertarikan terhadap bahasa Prancis pun semakin besar. Namun kesempatan terbaik Gus Dur mempelajari bahasa Prancis datang ketika dia tinggal di Baghdad, Irak. Selama tiga tahun tinggal di sana, Gus Dur memperoleh kesempatan belajar bahasa Prancis di Pusat Kebudayaan Prancis. Tidak secara kebetulan Gus Dur bisa belajar di Pusat Kebudayaan Prancis. Dia punya seorang teman yang menawarkannya untuk belajar bahasa Prancis di tempat itu. Gus Dur dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Menurutnya pendekatan modern yang digunakan guru-guru di Pusat Bahasa Prancis itu sangat baik dan dia senang mengikuti kelas di sana. Tempat itu juga menjadi tempat pertama Gus Dur mempelajari bahasa Prancis secara formal. Sebelumnya, pengetahuan mengenai bahasa Prancis diperolehnya secara otodidak. Baca juga:  Cerita Kari Kepala Ikan Buatan Gus Dur “Di Kairo, teman sekamarnya, Mustofa Bisri, mencoba secara serius untuk belajar bahasa Prancis, namun ia tetap gagal walaupun sudah berulang-ulang mendengarkan latihan-latihan yang direkam. Ia pun jengkel melihat Gus Dur memiliki kemajuan pesat dalam kemampuannya bercakap-cakap dalam bahasa Prancis dengan menirukan latihan yang telah direkamnya itu,” tulis Barton.

  • Hoegeng Pernah Keluar dari Kepolisian

    Ismail Ahmad, pemuda asal Maluku Utara, diperiksa polisi karena mengunggah humor Gus Dur di akun media sosialnya. Humor Gus Dur itu telah dikenal luas, tentang tiga polisi jujur, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng. Polres Kepulauan Sula menganggap humor itu mencemarkan nama baik institusi Polri. Gus Dur mungkin tak akan membuat humor itu bila Hoegeng Imam Santoso tak kembali ke Kepolisian. Di awal kariernya, dia pernah keluar dari Kepolisian. Pada suatu hari di masa revolusi, Hoegeng tengah berada di rumah orang tuanya di Pekalongan. Orang tuanya kedatangan tamu, Kolonel Laut M. Nazir, yang kemudian menjadi Panglima/Kepala Staf Angkatan Laut kedua. Ditanya pekerjaan oleh Nazir, Hoegeng menjawab bertugas di jawatan kepolisian di Semarang tapi sedang cuti karena sakit. Dia mengalami kecelakaan motor saat bertugas ke daerah Candi, Semarang. Baca juga:  Dari Bugel Menjadi Hoegeng Nazir menganggap kerja di kepolisian kurang tantangan. Sebagai anak muda terpelajar, Hoegeng mestinya mengerjakan tugas-tugas yang bersifat kepeloporan di awal Indonesia merdeka. “Saya ini mau jadi apa coba, pendidikan saya kan memang untuk jadi polisi,” kata Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi Idaman dan Kenyataan. Nazir menawarkan posisi di Angkatan Laut yang masih kosong dan cocok untuk Hoegeng. “Kalau Bung mau, gampang itu, keluar saja dari Kepolisian dan masuk Angkatan Laut,” kata Nazir. Nazir mengatakan bahwa Angkatan Laut membutuhkan orang yang memiliki latar belakang pendidikan akademi kepolisian. Tugasnya berat tapi dia percaya Hoegeng mampu. Hoegeng kemudian pergi ke Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota Republik Indonesia. Dia meninggalkan Kepolisian lalu melapor kepada Nazir untuk bergabung dengan Angkatan Laut. Menurut Hoegeng, saat itu seorang pemuda pindah-pindah kesatuan adalah hal biasa, apalagi kalau mempunyai senjata –lebih-lebih senjata itu diperoleh sendiri, misalnya merampas dari serdadu musuh atau gudang senjata Jepang. “ ukuran pokok waktu itu jadi pejuang atau tidak, sedangkan urusan masuk kesatuan atau barisan mana adalah soal belakangan,” kata Hoegeng. Baca juga:  Cinta Hoegeng-Mery Bermula dari Sandiwara Radio Pada awal 1946 itu, administrasi pemerintahan belum dibenahi dengan baik. Hoegeng diangkat sebagai anggota Angkatan Laut tanpa surat pengangkatan. Dia diberi pangkat Mayor, jabatan komandan, dengan gaji Rp400. Nazir memerintahkan Hoegeng pindah ke Yogyakarta untuk membentuk Penyelidik Militer Laut Khusus (PMLC). Dia bertanggung jawab kepada Letkol Darwis, Komandan Angkatan Laut Jawa Tengah yang berkedudukan di Tegal. PMLC semacam Polisi Militer Angkatan Laut. Selain menegakkan disiplin di dalam tubuh Angkatan Laut, PMLC punya tugas khusus sebagai badan intelijen Angkatan Laut. “Saya berhasil meletakkan dasar-dasar organisasi PMLC serta merekrut sejumlah tenaga yang sebagian besar berasal dari teman-teman saya di lingkungan Kepolisian,” kata Hoegeng. Baca juga:  Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Polisi tanpa Rumah Namun, Hoegeng kemudian bertemu dengan Kepala Kepolisian Negara, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, di Hotel Merdeka. Tujuan Soekanto ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat kabinet. Soekanto menyadarkan Hoegeng bahwa sebagai alumnus sekolah Kepolisian seharusnya tetap di Kepolisian. Apalagi, Hoegeng pernah diajar oleh Soekanto di Sekolah Kader Tinggi di Sukabumi pada zaman Jepang. “Apakah Hoegeng tidak sayang dan malu masuk Angkatan Laut, karena Kepolisian Indonesia sendiri masih berantakan dan perlu dibenahi dan dikembangkan?” tanya Soekanto. Hoegeng pun terbayang kembali cita-cita masa kecilnya ingin menjadi komisaris polisi. Dia malu tak hanya kepada Soekanto, tapi juga pada diri sendiri. “Saya memutuskan kembali ke Kepolisian,” kata Hoegeng. Hoegeng mengambil keputusan yang tepat dengan kembali ke Kepolisian. Kariernya terus naik sampai puncak sebagai Kapolri. Bahkan, dia dikenal sebagai polisi yang jujur sampai-sampai jadi bahan guyonan Gus Dur.

  • Bung Karno Dikerjai Anggota Grup Sandiwaranya

    Sehari sebelum balatentara Jepang masuk kota Bengkulu pada 23 Februari 1942, Sukarno yang sedang menjalani pembuangan di sana kedatangan dua polisi Hindia Belada. Sukarno diperintahkan untuk segera mengemasi barang-barangnya. “Tuan akan dibawa keluar,” kata salah satu polisi itu. “Malam ini juga. Dan jangan banyak tanya. Ikuti saja perintah. Tuan sekeluarga akan diangkut tengah malam nanti. Secara diam-diam dan rahasia. Hanya boleh membawa dua kopor kecil berisi pakaian. Barang lain tinggalkan. Tuan akan dijaga keras mulai dari sekarang, jadi jagan coba-coba melarikan diri,” sambungnya sebagaimana dikutip Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Meski tetap berupaya tenang dan menenangkan Sunarti, anak angkatnya yang berusia delapan tahun dan sedang bermain bersamanya, Sukarno cemas mendapat pemberitahuan itu. Kecemasannya datang dari kabar dia bakal diungsikan ke Padang untuk selanjutnya diangkut ke Australia. “Perasaanku kacau-balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti meninggalkan tempat pembuanganku. Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menuju tempat pembuangan yang baru. Kalau ini kuingat, hatiku jadi susah,” kata Sukarno. Baca juga:  Korupsi di Bengkulu Tempo Dulu Toh, Sukarno dan keluarganya tetap dibawa keluar Bengkulu menuju Padang. Kepergian itu meninggalkan banyak kesan bagi Sukarno. Bengkulu merupakan tempat pembuangan yang tak hanya menambah kekayaan pengetahuannya mengenai kehidupan bangsanya tapi juga memberi banyak kesempatan berkenalan dengan banyak orang yang di kemudian hari menjadi orang-orang yang dipercayainya dalam memimpin negeri. AH Nasution, Abdul Karim Oei, Hamka, Hasjim Ning, semua dikenal pertamakali oleh Sukarno di Bengkulu. Perkenalan itu memberi kesan pada masing-masing tokoh. Nasution mengenang perkenalan itu dalam otobiografinya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1. “Semula saya kira bahwa beliau hidup sebagai seorang tawanan yang dijaga, tapi nyatanya beliau di dalam distrik bebas bergerak, walaupun tentu ada mata-mata penjajah. Saya menumpang sementara pada rumah kepala sekolah, yang berada satu lorong dengan Bung Karno, dan pada hari-hari petrama itu saya telah diperkenalkan kepada beliau. Rumah Bung Karno berada di antara rumah yang saya tumpangi itu dengan sekolah, sehingga biasanya sambil jalan, saya dapat bertatap muka dan saling memberi salam,” tulis Nasution. Dalam kehidupan pribadi, Sukarno bertemu dengan Fatmawati juga di Bengkulu. Fatmawati kemudian menjadi ibu negara setelah Sukarno dipercaya menjadi presiden pertama ketika Indonesia merdeka. Sebagaimana di Ende, di Bengkulu Sukarno juga tetap beraktivitas dalam seni peran. Dia mendirikan grup sandiwara yang pentas dari satu tempat ke tempat lain. Anggotanya terdiri dari anak-anak dan pemuda setempat. Lantaran ketatnya pengawasan aparat kolonial, grup sandiwara itu hanya bisa pentas keliling di dalam distrik tempat tinggalnya. Baca juga:  Ujung Dunia Sang Orator Hanya sekali grup sandiwara itu pentas di luar distriknya, yakni ketika mengisi sebuah acara malam amal di luar distrik. “Ini terjadi tepat setelah Residen baru menggantikan pejabat lama yang saya kenal baik. Orangnya sejenis manusia yang menghamba kepada peraturan,” kata Sukarno. Pentas sandiwara amal itu bisa terwujud setelah melalui jalan lumayan panjang. Residen baru tak ingin ambil risiko dengan begitu saja memberi izin Sukarno beserta grup sandiwaranya pentas di luar distrik. Untuk itulah sang residen memerlukan mengirim telegram kepada gubernur jenderal di Batavia mengenai boleh-tidaknya memberi izin pentas pada Sukarno. Izin baru dikeluarkan residen setelah mendapat telegram balasan dari gubernur jenderal yang berbunyi, “Saya gembira mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannya pada pertunjukan sandiwara.” Dalam pertunjukan untuk malam amal itu, grup sandiwara pimpinan Sukarno berhasil main dengan baik. Salah satu anggota grup yang bermain apik adalah Manap Sofiano. Permainannya malam itu mengesankan Sukarno. Namun, Manap Sofiano pula yang suatu hari berulah hingga membuat Sukarno sial. Kisahnya bermula dari ketika Sofiano membeli piano dalam sebuah pelelangan. Kepada petugas lelang, dia mengatakan bahwa piano itu akan dibayar oleh Sukarno. Padahal, dia tak pernah memberitahu hal itu kepada Sukarno. Mendengar nama Sukarno, petugas lelang langsung percaya. Sofiano baru memberitahu Sukarno setelah mendapatkan piano itu. Tiga bulan berselang, Sofiano hendak pindah rumah. Sukarno pun langsung menemuinya. “Hee, tinggalkan dulu surat perjanjian yang diketahui oleh kepala kampung dan yang menyatakan bahwa engkau berjanji hendak membayarnya. Dengan begitu, kalau sekiranya kau lupa, saya mempunyai dasar yang sah,” kata Sukarno meminta perjanjian tertulis soal transaksi yang menyeret namanya itu. Begitu bulan berganti bulan hingga beberapakali, Sukarno tak juga mendapat kabar dari Sofiano. Padahal, namanya masih tersangkut dalam transaksi pembelian piano Sofian yang belum beres. Sementara, uang untuk sekadar menalangi pembayaran tak dimiliki Sukarno. Maka ketika hampir tiba jatuh tempo, Sukarno mengirim surat kepada Sofiano. “Sudah sampai waktunya. Bayar sekarang, kalau tidak, akan saya ajukan ke depan pengadilan,” demikian bunyi surat Sukarno. Beberapa waktu kemudian, datang surat balasan dari Sofiano. “Saya tidak menyusahkan diri saya sendiri, akan tetapi saya mempunyai lima orang anak. Kalau saya masuk penjara, mereka akan terlantar,” kata Sofiano. Mendapat balasan begitu, Sukarno pun dongkol dan bingung. Dia mesti mencari cara untuk melunasi piano yang dibeli Sofiano. “Saya kemudian membayar membayar utang sejumah 60 rupiah itu. Di samping itu, dia seorang pemain yang baik, sehingga saya dapat memaafkan segala-galanya,” kata Sukarno.

  • Jejak Komponis Mochtar Embut

    Nama Mochtar Embut barangkali jarang disebut dalam sejarah musik Indonesia. Ia meninggal dunia pada usia yang relatif muda, 39 tahun, ketika karier musiknya sedang naik. Namun, karya-karyanya meninggalkan jejak sejarah tersendiri bagi pencipta lagu Di Wajahmu Kulihat Bulan ini. Mochtar Embut lahir pada 5 Januari 1934 di Makassar, Sulawesi Selatan. Sejak usia lima tahun, ia sudah belajar musik dari ayahnya. Kemudian pada usia sembilan tahun, ia menciptakan lagu anak-anak berjudul Kupu-Kupu di Tamanku . Bakat musiknya semakin terasah ketika remaja, menginjak usia 16 tahun ia mulai belajar piano dan menggubah lagu Percakapan dengan Alam . Mochtar Embut pernah mengenyam pendidikan formal di Europeesche Lagere School (ELS) di Makassar. Namun, musik tampaknya telah menjadi panggilan jiwanya. “Setelah menyelesaikan Lagere School di Makasar, ia pindah ke Jakarta, dan memperdalam musik,” tulis Ensiklopedi Musik Volume 1. Di Jakarta, Mochtar Embut masuk di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, mengambil jurusan Bahasa Prancis. Sementara itu, ia justru tidak pernah mengenyam pendidikan musik secara khusus. Ia belajar musik secara otodidak dari buku-buku. Ia juga belajar langsung dari para musisi. Di Makassar, ia belajar dari pianis Ong Kian Giap, sedangkan di Jakarta ia menimba ilmu dari Nich Mamahit, seorang pianis jazz. “Sepanjang hidupnya Mochtar banyak menimba ilmu mengenai musik secara otodidak berkat kegemarannya membaca,” tulis Aming Katamsi dalam Klasik Indonesia Komposisi untuk Vokal dan Piano. Pada 1962, Mochtar Embut menolak tawaran mengikuti pendidikan musik di Jepang. Sementara itu pada 1971, karyanya With the Deepest Love from Jakarta atau Salam Mesra dari Jakarta justru mendapat penghargaan The Best Ten dalam World Popular Song Festival di Tokyo. Ia juga menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin orkestra Nippon Hoso Kyokai (NHK) di Budokan Hall, Tokyo kala itu. Di Indonesia, lagu-lagu ciptaan Mochtar Embut juga sering mendapat penghargaan, antara lain Pemilihan Umum dari Departemen Dalam Negeri, Keluarga Berencana dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana, Mars AURI dari Angkatan Udara Republik Indonesia, serta Gerbang Jakarta dan Jakarta Fair dari Gubernur DKI Jakarta. Sepanjang hidupnya, Mochtar Embut telah menciptakan lebih dari 200 lagu, terdiri dari lagu-lagu seriosa, Melayu, lagu perjuangan, anak-anak, dan karya musik instrumental untuk piano dan biola. Lagu-lagunya seperti Di Wajahmu Kulihat Bulan , Di Sudut Bibirmu dan Tiada Bulan di Wajah Rawan , masih dikenal hingga hari ini. Sementara itu, karya-karya seriosanya yang cukup terkenal pada masanya antara lain Segala Puji , Setitik Embun , Srikandi , Kumpulan Sajak Puntung Berasap , Senja di Pelabuhan Perahu , Gadis Bernyanyi di Cerah Hari , Lagu Rinduku , Kasih dan Pelukis , Senyuman Dalam Derita , dan Sandiwara . Menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, Mochtar Embut juga tercatat sebagai anggota Lembaga Musik Indonesia (LMI) yang berada di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada 1963, ia turut dalam misi kebudayaan bersama Ansambel Gembira ke Tiongkok, Vietnam, dan Korea. Dalam piringan hitam yang kemudian menjadi cenderamata dalam misi kebudayaan itu, tiga lagu diciptakan oleh Mochtar Embut, yakni Dari Rimba Kalimantan Utara , Api Cubana , dan Djamila . Ia sendiri juga berperan sebagai pianis mengiringi Ansambel Gembira. Mochtar Embut menciptakan lagu Djamila terinspirasi sosok Djamila Bouhired, tokoh revolusi Aljazair yang cukup terkenal di Indonesia berkat serial tulisan Rosihan Anwar di harian Pedoman . Lagu Djamila juga dibuat sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap perjuangan Aljazair dan negara-negara Asia-Afrika lainnya. Pada 1964, Moctar Embut terpilih sebagai anggota presidium Konferensi Nasional Lembaga Musik Indonesia (LMI) Lekra. Ia duduk bersama Drs. Suthasoma, Adi Karso, Eveline Tjiaw, Gesang, Luther Sihombing, M. Arief, Ktut Putu, Juliarso, Ukuo Sen, Tjie Wing Hoo, Nj. Komara, M. Karatem, dan Hersad Sudijono. Sementara itu, ketua presidiumnya adalah Sudharnoto, pencipta lagu Garuda Pancasila . Jejak Mochtar Embut lainnya juga tercatat dalam Kumpulan Lagu Populer I yang memuat 27 lagu rakyat Indonesia dan sembilan lagu Barat yang ia susun sendiri. “Dengan buku ini saya ingin mengetengahkan kepada dunia luas bahwa Indonesia memiliki lagu-lagu rakyat yang cukup berbobot,” kata Mochtar Embut seperti dikutip Katamsi. Di akhir perjalanan hidupnya, Mochtar Embut terserang penyakit lever dan kanker hati. Ia meninggal pada 20 Juli 1973 di Bandung.

  • Kunjungan Putra Mahkota Belgia Leopold dan Putri Astrid ke Hindia Belanda

    DENGAN kapal Insulinde, Putra Mahkota Leopold dari Belgia dan Putri Astrid berangkat ke Hindia. “Itu adalah perjalanan yang berat, tetapi juga menyenangkan,” kata Kapten Kapal GH Ruhaak pada Bataviaasch Nieuwsblad edisi 17 Maret 1933. Desember 1928 merupakan kali pertama pasangan Kerajaan Belgia itu berkunjung ke Hindia-Belanda. Mereka datang untuk melihat-lihat tanah dan orang-orang di negeri jajahan milik kerajaan tetangga. Orang-orang di negeri jajahan Belanda amat antusias menyambut kedatangan pasangan ini. Kebun Raya Bogor bahkan menyiapkan satu spot untuk ditanami bunga yang melambangkan bendera Belgia: hitam, kuning, dan merah. Jalan di sisi bunga itu juga dinamai Astrid Boulevard. Ketika berkunjung ke Surakarta, mereka disambut dengan keramah-tamahan keraton. Kotak cendana sudah disiapkan sebagai hadiah selamat datang untuk putri dan putra mahkota itu. Ketika kotak pertama dibuka, aroma kayu cendana menyeruak. Di dalamnya berisi keris yang pada gagangnya dihiasi emas. Baca juga:  Hilangnya Mutiara Hitam Putri Astrid yang sudah menantikan untuk kotak bagiannya dibuka senang sekali begitu melihat hadiah kipas bertatahkan emas untuknya. Tanpa membungkuk atau berbasa-basi ia spontan berdiri dan menjabat tangan tuan rumah kerajaan. Orang-orang sangat mengagumi sikap hangat dan antusias Putri Astrid. Pasangan penerus takhta Belgia ini juga berkunjung ke Museum Radio Poestoko di Sriwedari. Dikabarkan De Nieuwe Vorstenlanden 7 Januari 1929, kedatangan mereka disambut oleh Kepala Museum Pangeran Hadiwidjojo dan wakilnya Pangeran Djatikoesoemo. Putri tertua Pangeran Hadiwidjojo, R. A Koesandrinah yang kala itu duduk di kelas dua MULO, memberikan karangan bunga yang kombinasi warnanya mirip bendera Belgia: terdiri atas anggrek biru dan kuning dengan pita merah pada Putri Astrid. Sementara dewan pengurus museum memberi Puteri Astrid sarung bermotif bunga dan Pangeran Leopold dihadiahi topeng Solo modern. Selepas dari museum, pada pukul setengah tujuh malam rombongan putri dan pangeran Belgia pindah ke Societet Habiprojo. Cerutu, rokok, dan borbon disajikan untuk menikmati sajian musik yang lantas diikuti dengan pertunjukan wayang. Kunjungan mereka ke Hindia dipenuhi keramah-tamahan. Namun ketika kedua pasangan ini berkunjung ke Surabaya dan Bali, Pangeran Leopold tidak menunjukkan sikap ramah dan sopan seperti sebelumnya. Baca juga:  Memaknai Perobohan Patung Ketika menghadiri perjamuan makan malam untuk penyambutannya di Surabaya, Pangeran Leopold meminta untuk undur diri lebih awal. “Di Surabaya dia meninggalkan makan malam untuk menghormatinya hanya karena dia sedang tidak mood,” tulis surat kabar Soerabaijasch Handelsblad. Di Bali ia juga menghindari makan malam dengan para pejabat dan lebih tertarik menghabiskan waktu selama berjam-jam di pantai untuk mencari kerang. Perjalanan berkeliling Hindia itu berlangsung selama lima bulan. Mereka kembali ke Belgia menggunakan kapal Tjerimai . Mereka kembali berkunjung ke Hindia pada 1932. Dikabarkan De Locomotief edisi 15 Mei 1933, kunjungan mereka ini kemudian diterbitkan menjadi buku kumpulan foto berjudul De Reis van Prins Leopold door Ned-Indie (Perjalanan Pangeran Leopold Melintasi Hindia Belanda). Dalam pengantar buku, dimuat pula surat Pangeran Leopold kepada Direktur Museum Sejarah Alam Brussel Profesor Van Straelen. Surat tersebut memberi gambaran bagaimana buku tersebut bisa terbit. Baca juga:  Robohnya Patung Edward Colston Si Tokoh Perbudakan dan Rasisme Dalam suratnya, Pangeran Leopold menyampaikan keinginannya untuk menyerahkan data-data yang ia peroleh ketika berkunjung ke Hindia-Belanda. Ia juga mengatakan, sebenarnya keinginan untuk menyerahkan data kunjungannya ke negeri jajahan Belanda ini sudah ia pikirkan setelah kunjungan pertamanya pada 1928. Pangeran Leopold juga memberikan penghormatan kepada semua orang yang telah berkontribusi dalam pengerjaan riset tentang flora dan fauna, terutama Prof. Van Straelen. Foto-foto mereka diterbitkan dibarengi dengan penjelasan ilmiah Prof. Van Straelen dan timnya di Museum Sejarah Alam Brusel. Pada bagian pertama berisi dokumentasi cukup lengkap tentang geografi, hidrografi, fauna dan flora, dan penduduk Jawa, Berneo, Sulawesi, Maluku, Nugini, Kepulauan Aroe, dan Sumatra. Pada bagian lain dikhususkan untuk penjelasan tentang flora dan fauna yang sudah diteliti dan sebagain jadi koleksi Museum Sejarah Alam Brusel. Kunjungan mereka cukup menarik hati orang-orang di negeri jajahan. Kala Ratu Astrid meninggal pada 1935 (menjadi ratu pada 1934) dalam sebuah kecelakaan tragis, suratkabar di negeri jajahan ramai-ramai memberitakan kematiannya dan mengucapkan belasungkawa.

  • Cerita Hamka Ditipu

    Selama masa perang kemerdekaan (1946-1949), Buya Hamka dan keluarga kecilnya tinggal di Sumatera. Di tempat kelahirannya itu Hamka diamanahi tugas menjadi pengurus Muhammadiyah. Sebagai pimpinan cabang Minangkabau, Hamka terbiasa berkeliling kampung untuk sekedar bercengkrama dengan masyarakat atau mengunjungi koleganya, sambil secara langsung melihat kondisi masyarakat di tengah gejolak perang yang melanda tanah air. Dalam pengembaraannya ke kampung-kampung, Hamka selalu diterima dengan baik. Dalam memoarnya, Pribadi dan Martabat Buya Hamka , Rusydi Hamka bercerita bahwa dia dan Hamka seringkali dijamu makan mendadak oleh masyarakat. Meski tidak terlalu mewah, putra pertama Hamka ini menyebut jamuan semacam itu selalu menyenangkan bagi mereka. Baca juga:  Hamka dan Maag Berjamaah Suatu hari, ketika dalam perjalanan dari Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, menuju Maninjau, Hamka melewati Desa Palembayan. Warga kampung yang mengetahui kedatangan rombongan Hamka segera mengadakan penyambutan. Berbagai hidangan disajikan. Tentu saja rombongan itu begitu senang menerima kehangatan warga Palembayan tersebut. Di sana Hamka tinggal selama beberapa malam sebelum melanjutkan perjalanannya. “Ayah memberikan penerangan dan mengobarkan semangat rakyat melawan Belanda,” tulis Rusydi. Ketika hendak pamit, orang-orang di kampung itu memberikan beberapa liter beras untuk sekadar bekal. Kebetulan pada waktu rombongan Hamka tiba, di Palembayan sedang memasuki masa panen padi. Namun buah tangan yang cukup berat itu rupanya menambah beban perjalanan Hamka. Baru saja beberapa ratus meter keluar dari Palembayan mereka sudah berhenti untuk istirahat. Mereka semakin resah mengingat rute perjalanan itu akan menempuh jalan berbukit yang penuh tanjakan. Ketika sedang duduk termenung, seorang pria yang tidak dikenal tetiba muncul. “Apa kabar Buya, mau ke mana Buya, dari mana Buya?” tanya pria asing itu bertubi-tubi. Di antara rombongan Hamka tidak ada yang mengenal pria itu. Hamka yang masih terheran-heran mencoba menjawab pertanyaan Si Pria. Dia pun kemudian memperkenalkan diri sebagai Damir dan menawarkan bantuan membawakan beban yang dibawa Hamka. Rusydi menggambarkan Damir ini sebagai seorang yang agak humoris, berkulit putih, wajahnya kemerah-merahan, dan memiliki tubuh pendek-kurus. Baca juga:  Kisah Hamka dan Si Kuning “Terima kasih atas bantuan Sutan,” jawab Hamka seraya memberikan bebannya. Kemudian mereka mulai mendaki bukit yang rupanya lebih tinggi dari yang dibayangkan. Ketika rombongan Hamka cukup kesulitan melewatinya, Damir terlihat baik-baik saja. Malah dia bergerak sangat lincah hingga mendahului rombongan ini. Pria itu cukup menguasai medan. Hampir setengah perjalanan terlewati dengan mudah dan lebih cepat berkat bantuan Damir. Memasuki waktu makan siang, rombongan itu memutuskan beristirahat di sebuah warung yang ditunjukkan Damir. Menurutnya, di warung itu gulai ayamnya selalu tersaji hangat, dan nasinya pun selalu dibuat baru sehingga rasanya terasa begitu nikmat. Sesampainya di warung tersebut, mereka langsung memilih makanan dan minuman. Damir yang memiliki suara paling keras bertugas memesan. Sebelum makanan tiba, Damir menawarkan Hamka secangkir kopi. Ketika dilihatnya Hamka mengangguk, pria itu berteriak, “Tambah dua kopi,” maksudnya satu untuk dia dan satunya untuk Hamka. “Tambah nasinya Buya?” tawarnya. Hamka mengangguk, Damir kembali berteriak, “Tambah nasi dua.” Satu piring untuknya, satunya untuk Hamka. Sejak pertama duduk di warung itu, Damir tidak henti-hentinya mengunyah makanan. Sesekali dia berdiri, mencoba menjangkau beberapa buah petai yang tergantung dan sambal di sisi lain meja. Bahkan ia sempat memesan pisang dan secangkir kopi setelah selesai makan. Hamka diam saja melihat kelakuan Damir itu. Baca juga:  Hamka dan Patung Nabi Muhammad Sementara Damir begitu aktif menyantap segala makanan di atas meja, Rusydi sengaja tidak terlalu banyak memesan gulai. Dia tahu uang di kantong ayahnya dibawa untuk ibu dan keluarga yang telah menunggu kedatangannya di rumah. Meski rasa gulai ayam ini memang begitu nikmat, dia mencoba menahannya. “Berapa semua?” Damir bertanya kepada pemilik warung. Pemilik warung pun mulai menghitung total makanan yang memang cukup banyak tersaji di meja rombongan ini. Meskipun harganya akan sangat mahal, Hamka sebetulnya tidak terlalu khawatir karena Damir sudah berdiri lebih dahulu. Mereka menyangka pria baik ini yang akan membayar semua tagihan makan siang kali ini. Damir kemudian mendekati Hamka, “Seratus semua Buya.” Sambil membawa barangnya, dia melangkah keluar warung tersebut. Hamka dan Rusydi tidak bisa berkata apa-apa. Hamka lalu menghitung kembali uang yang harus dikeluarkannya. “Mungkin dalam hatinya dia menyesal. Saya pun teringat Ummi dan adik-adik, menyesal telah makan enak, sementara di rumah makan ubi,” tulis Rusydi. Tidak cukup soal makanan, Damir kembali berulah. Sebelum turun menuju Maninjau, Damir yang telah berjalan terlebih dahulu terlihat duduk di dekat sungai. “Ada apa Damir,” tanya Hamka. Baca juga:  Hamka dan Tongkatnya “Sakit perut,” jawabnya. Dia lalu mempersilahkan rombongan Hamka berjalan terlebih dahulu. Dia yakin dapat menyusul jika urusannya sudah selesai. Hamka setuju dan meninggalkan pria itu. Setelah lama berjalan, Damir tak kunjung terlihat. Tanpa curiga sedikitpun, Hamka terus melanjutkan langkahnya. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu keluarganya. Tiba di kampung, sambutan dari keluarga membuat sosok Damir sempat terlupa. Hamka lalu menyuruh salah seorang untuk mencari Damir, takutnya dia kesulitan mencari tempat tinggal Hamka. Tapi Damir tetap tidak kelihatan. Bahkan keesokan harinya orang itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Barulah Hamka paham bahwa dirinya telah ditipu.  “Biarlah, orang yang punya ‘damir’ (hati nurani) itu, lambat laun akan kami lupakan atau terlupakan. Biar Allah yang memberikan ganjarannya,” tulis Rusydi.

  • Hawk 200, Elang Mungil yang Dirundung Celaka

    BELUM lepas duka dari bencana jatuhnya Helikopter Mil Mi-17 milik TNI AD di Kendal, Jawa Tengah pada Sabtu (6/6/2020), bencana terjadi lagi pada Senin (15/6/2020) kemarin di Kampar, Riau. Kali ini pesawat tempur multi-peran BAe Hawk 100/200 dari Skadron 12 TNI AU yang mengalami kecelakaan. TNI AU via akun Twitter resminya, @_TNIAU , mengungkapkan pada Senin (15/6/2020), pesawat dengan nomor ekor TT-0209 yang dipiloti Lettu Pnb. Apriyanto Ismail itu terbang dalam rangka latihan. Tidak ada korban, baik sang pilot maupun warga, lantaran pesawatnya jatuh di perumahan tak jauh dari Pangkalan Udara (Lanud) Roesmin Noerjadin, Pekanbaru, Riau. “Pilot Lettu Pnb Apriyanto berhasil selamat menggunakan ejection seat saat pesawat BAe Hawk 209 yang dipilotinya mengalami gangguan teknis menjelang mendarat di runway 36 Lanud Rsn Pekanbaru. Kasau (Kepala Staf Angkatan Udara, red. ) mengucapkan, ‘Alhamdulillah,’ karena tidak ada korban jiwa pada peristiwa ini,” demikian disampaikan Dinas Penerangan AU di akun Twitter -nya. Pesawat Hawk 100/200 TNI AU varian two-seat. ( tni-au.mil.id ). Kecelakaan pesawat tempur Hawk Indonesia itu bukan yang pertama terjadi. Setidaknya sudah dua kali kecelakaan yang melibatkan pesawat ini sebelumnya. Pertama, terjadi pada 19 Oktober 2000 di Pontianak, Kalimantan Barat. Mengutip Daftar Panjang Kecelakaan Alutsista Angkatan Udara , jet tempur asal Inggris yang diawaki Letkol Teddy Kustari dan Lettu Donny Kristian dari Skadron I Elang Khatulistiwa itu tengah melakukan latihan pendaratan darurat. Menjelang mendarat, pesawat dengan nomor ekor TT-104 itu limbung dan jatuh ke persawahan dekat Lanud Supadio dan meledak setelah terseret 40 meter. Untuk menginvestigasi jatuhnya pesawat itu, Kasau Marsekal TNI Hanafie Asnan menetapkan semua pesawat sejenis buatan Inggris itu untuk sementara di -grounded . Baca juga: Empat Burung Besi yang Di- grounded Selang setahun, kecelakaan jet tempur Hawk 209 terjadi lagi saat take-off di Lanud Roesmin Noerjadin. Pilot Mayor Pnb. Agung Sasongkojati berhasil menyelamatkan diri menggunakan kursi lontar. Hawk milik TNI lain juga kecelakaan kala tergelincir saat mendarat di landas-pacu Lanud Roesmin Noerjadin pada 21 November 2006. Pilotnya, Mayor Pnb. Dadang, juga selamat dengan ejection seat. Hal serupa terjadi lagi pada 30 Oktober 2007 malam karena problem teknis. Kecelakaan Hawk kembali terjadi di Kampar, Riau, 16 Oktober 2012. Saat pesawat yang dipiloti Letda Pnb. Reza Yori Prasetyo itu tengah bermanuver dalam rangka latihan, terjadi kerusakan mesin. Pesawat pun jatuh dekat pemukiman di Pandau Permai, Kampar. Sang pilot selamat berkat kursi pelontar. Imbasnya, 32 unit Hawk di- grounded sepanjang masa investigasi internal TNI AU. Elang Mungil Kelahiran Inggris Terlepas dari usia tua pesawat Hawk 200 milik TNI AU, sejarah lahirnya jet tempur bikinan British Aerospace (kini BAE Systems) itu juga diliputi “celaka”. Hawk 200 merupakan turunan kesekian dari “famili” Hawk yang bermula pada jet tempur latih single seat bermesin tunggal Hawk T1 (Trainer Mark 1) yang muncul pada 1974. Pada 1984, British Aerospace mengembangkan tipe Hawk 100/200 dengan orientasi tempur. Pengembangan Hawk diajukan untuk menggantikan unit-unit Hawker Hunter dan Follan Gnat milik RAF (AU Inggris) yang usang karena beroperasi sejak 1960-an. Varian 100/200 merujuk pada jumlah kru, di mana versi 100 berisi dua seat dan 200 hanya single seat. “Hawk 200 seri single seat dikembangkan sebagai alutsista mungil baru yang canggih tetapi dengan pengembangan avionik yang low-cost. Ia dirancang sebagai senjata penggempur di darat, patroli udara tempur, serta pengintaian. Mampu terbang siang-malam di segala cuaca dan sanggup berada dalam kondisi tempur dengan durasi empat jam,” ungkap Susan Willett, Michael Clarke, dan Philip Gummett dalam “The British Push for Eurofighter 2000” yang dimuat dalam The Arms Production Dilemma. Pesawat Hawk T1, "pendahulu" jet tempur Hawk 100/200. (Repro British Aerospace Hawk ). Sebagai turunan tercanggih Hawk, Hawk 200 berdimensi mungil: panjang 11,38 meter dan lebar sayap 9,39 meter. Untuk bisa melayang dengan kecepatan maksimal 1.037 per jam serta kecepatan menanjanjak 1,2 Mach, Hawk ditenagai mesin jet tunggal Rolls-Royce Turbomeca Adour Mk. 871. Guna mendukung misi tempurnya, Hawk 200 dipersenjatai sepucuk senapan mesin 1,181 inci Aden. Untuk misi serbu dan pengeboman, Hawk 200 bisa membawa masing-masing satu roket SNEB atau CRV7 di ujung kedua sayapnya, empat rudal AGM-65 Maverick, BAe Sea Eagle, AIM -120 AMRAAM, AIM-132 ASRAAM, AIM-9 Sidewinder, atau Skyflash di bawah sayap kanan dan kirinya. Perut Hawk 200 bisa membawa bom-bom jenis Mark 82, Mark 83, Paveway II, bom cluster BL755, atau torpedo Sting Ray dengan bobot maksimal 540 kilogram. “Uji coba dan demonstrasi Hawk 200 (ZG200) pertamakali dilakoni Jim Hawkins pada 19 Mei 1986 dengan sukses. Tetapi nahasnya sebulan kemudian pesawat yang sama mengalami kecelakaan. Diduga kuat Hawkins mengalami disorientasi akibat ‘g-LOC’ (kehilangan kesadaran) saat bermanuver dan menguji G-Force -nya,” tulis Dave Windle dalam British Aerospace Hawk: Armed Light Attack and Multi-Combat Fighter Trainer. Baca juga: Hawker Hunter, Pemburu dari Masa Lalu Kesultanan Oman jadi pelanggan pertama Hawk 200 setelah dipasarkan. Negeri di ujung tenggara Jazirah Arab itu memesan 12 unit yang dilengkapi radar APG-66 pada 31 Juli 1990. Malaysia mengikuti pada 10 Desember di tahun yang sama dengan memesan 18 unit. Indonesia baru membelinya pada Juni 1993. Berapa rupiah yang dikeluarkan pemerintah Indonesia untuk membeli 32 pesawat itu masih samar. George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan mengungkap, impor pesawat Hawk 200 yang baru tiba di tanah air pada 1994 itu melalui agen tunggal, PT Surya Kepanjen, sebagaimana pembelian alutsista tank ringan FV101 Scorpion yang juga asal Inggris (Alvis Vickers). “Nyonya (Siti Hardiyanti) Rukmana memegang keagenan tunggal mengimpor lapis baja untuk angkatan darat Indonesia melalui PT Surya Kepanjen. Dia juga menjadi agen tunggal untuk mengimpor pesawat Inggris Hawk 200 untuk angkatan udara Indonesia, serta lapis baja VAB (Véhicule de l'avant blindé, asal Prancis) untuk angkatan darat Indonesia, melalui perusahaan lainnya, PT Bheering Diant Purnama,” tulis George. Jet Tempur Hawk 200 milik RAF dengan persenjataan penuh. (Repro British Aerospace Hawk ). Meski begitu, lobi-lobi untuk pembeliannya sudah berlangsung sejak terjadi kerjasama pembelian misil Rapier pada Desember 1984. Mark Phythian dalam The Politics of British Arms Sales Since 1964 menyingkap, pembelian misil Rapier dari BAe ke Indonesia itu bernilai hingga 100 juta poundsterling. “Satu aspek signifikan kesepakatan itu adalah, Indonesia diizinkan melakukan transfer teknologi secara berangsur demi membangun industri pertahanan elektronik Indonesia. Pemerintah Inggris melihat kesepakatan ini sebagai gebrakan yang signifikan dan BAe kemudian turut membuat Indonesia tertarik pada pengembangan seri-seri Hawk 200 yang harganya tiga kali lebih murah dari F-16 milik Amerika Serikat,” tilis Phythian. “Pada akhir 1984, John Lee, wakil Sekretaris Negara untuk Pertahanan (Inggris), mengunjungi Indonesia, disusul Kepala Staf RAF Marsekal Sir Keith Williamson. Kunjungan-kunjungan itu membuka jalan untuk kerjasama jual-beli senjata Anglo-Indonesia pada 10 April 1985 lewat pertemuan Nyonya (Perdana Menteri Margaret) Thatcher dan Presiden Soeharto di Jakarta, terlepas dari tekanan internasional terkait isu HAM di Timor Timur,” sambungnya. Baca juga: Pesawat Sukhoi Rasa Minyak Sawit PM Thatcher berbicara empat mata dengan Presiden Soeharto selama dua jam. Keduanya mencapai kata sepakat untuk memperkuat lagi kerjasama RI-Inggris dalam hal pengembangan industri dan teknologi di bidang perkeretaapian, transportasi udara, telekomunikasi, teknologi pangan, dan teknologi kedirgantaraan. “Timor Timur bukan jadi masalah bagi Inggris. Saya pikir Inggris harus punya perhatian lebih terhadap Indonesia di masa lalu dan saya berharap kunjungan saya ini akan diikuti pertemuan-pertemuan setingkat menteri agar kami bisa saling memahami satu sama lain,” cetus Thatcher dikutip Phythian. PM Inggris Margaret Hilda Thatcher (kiri) saat bertemu Presiden Soeharto pada April 1985 (Kepustakaan Presiden/ perpusnas.go.id ) Setelah kesuksesan ujicoba pertama Hawk 200 pada 1986, pemerintah Indonesia tertarik membelinya untuk menggantikan 36 pesawat A-4 Skyhawks dan Northrop F-5. Ketertarikan itu dijawab dengan kunjungan Wakil Sekretaris Pertahanan Tim Sainsbury ke Indonesia pada Oktober 1987. “Pada Juni 1991 kesepakatannya didahului kerjasama kolaboratif soal transfer teknologi dan produksi Hawk dengan lisensi resmi antara BAe dan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara, kini PT Dirgantara Indonesia). Hasilnya pada 1992 Indonesia resmi membeli 10 Hawk 200 sebagai bagian dari rencana produksi 100 pesawat lainnya yang berkolaborasi dengan BAe selama 25 tahun dengan lisensi resmi,” sambungnya lagi. Tetapi seiring munculnya krisis Timor Timur pada awal 1999, tekanan internasional kian hebat hingga memunculkan embargo perdagangan senjata dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat. Akibatnya pembelian tiga unit Hawk 100/200 terakhir yang dipesan untuk TNI AU pada 1999 tertahan kedatangannya. Baca juga: Diam-diam, Indonesia Beli Pesawat Tempur Israel “Tiga pesawat Hawk 100/200 yang telah dibeli dari Inggris harus ditinggalkan di Bangkok. Penerbang-penerbang Inggris yang harusnya mengantar sampai Indonesia, harus berhenti di tengah jalan karena Inggris tunduk pada Uni Eropa yang saat ini diketuai pemerintah Portugal,” tulis Abdul Muis dalam Perjalanan Skadron Udara 12: Dari Masa ke Masa. “KSAU Marsekal TNI Hanafie Asnan langsung memerintahkan penerbang kita untuk mengambilnya. Setelah itu, Menteri Pertahanan Inggris, John Spellar, pun buru-buru minta maaf kepada TNI AU: ‘Pesawat-pesawat Hawk buatan Inggris telah dijual legal kepada Indonesia, sehingga tidak ada alasan menahan pengirimannya,” tandasnya.

  • Si Manis dan Letnan Tionghoa

    Pada abad ke-19, terjadi perubahan besar di negeri jajahan Belanda. Kekuasaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang sudah ada sejak abad ke-16 bubar, digantikan perannya oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Kongsi dagang itu terlalu banyak memberi kerugian kepada Kerajaan Belanda, hingga terpaksa ditiadakan. Peralihan kekuasaan itu memberi dampak yang cukup signifikan di berbagai bidang, termasuk pertanian dan perdagangan. Jika sebelumnya rempah-rempah (lada, cengkeh, pala, dsb) menjadi komoditas andalan Belanda di pasaran dunia, kini kebanggaan itu beralih ke komiditi lain: kopi, teh, karet, gula, dll. Hasil pertanian itu menjadi primadona baru Belanda di Eropa. “Sejak industri pertanian bertransformasi menjadi salah satu pilar perekonomian terpenting di Hindia Belanda, struktur ekonomi baru Hindia Belanda pun terbentuk. Cabang industri ini pun menjadi perhatian penuh pemerintah selama bertahun-tahun,” tulis J. Stroomberg dalam Hindia Belanda 1930 . Perubahan struktur perdagangan di Hindia Belanda dapat dirasakan oleh semua pihak, terutama golongan pedagang. Perlahan mereka menyesuaikan diri dengan penjualan komoditi tersebut. Di Semarang berdiri sebuah perusahaan dagang besar yang dijalankan oleh seorang Tionghoa bernama Oei Tiong Ham, yakni Oei Tiong Ham Concern (OTHC). Perusahaan gula itu mencatatkan namanya sebagai yang terbesar di Hindia Belanda selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Bisnis Turun Temurun Sang pemilik, Oei Tiong Ham, dilahirkan di Semarang pada 19 November 1866. Dia putra seorang pedagang dari Hokkian bernama Oei Tjie Sien dan Tjan Bien Nio. Menurut James R. Rush dalam Opium to Java: Revenue Farming and Chienese Enterprise in Colonial Indonesia 1860-1910 , ayahnya tiba Semarang pada 1858. Keluarga ini memulai usaha dengan berjualan perkakas dan peralatan rumah tangga. Pada 1863, Oei Tjie Sien bersama kawannya Ang Tai Liong mendirikan sebuah kongsi dagang bernama Firma Kian Gwan. Perusahaan tersebut banyak menjual beras, gambir, dan kemenyan. Mereka menghasilkan pendapatan yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Namanya pun begitu kesohor di seluruh Jawa, khususnya Semarang dan sekitarnya. Kongsi dagang inilah cikal bakal OTHC yang dikembangkan Oei Tjie Sien. “Dengan intuisi bisnisnya ia memilih Oei Tiong Ham sebagai pewaris usahanya. Pilihan dan keputusannya ini ternyata sangat tepat karena di bawah pimpinan Oei Tiong Ham, Kian Gwan berkembang berpuluh kali lebih besar dari sebelumnya,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik . Pada 1900, Oei Tjie Sien meninggal dunia. Praktis seluruh bisnis dan perusahaan dijalankan oleh Oei Tiong Ham. Menurut Setiono, Tiong Ham tidak pernah mengenyam pendidikan Barat, baik Belanda maupun Inggris. Satu-satunya pendidikan formal yang dijalaninya hanya sekolah Tionghoa berbahasa Hokkian su-siok (gaya lama). Seluruh pengetahuan tentang berdagang didapat dari ayahnya. Sejak kecil dia sudah mengikuti sang ayah berbisnis, dan setelah dewasa pelatihan menjalankan perusahaan diterima secara lebih dalam. Sebelum melanjutkan perusahaan Kiam Gwan, Oei Tiong Ham telah merintis bisnisnya sendiri sejak 1880-an. Di usia yang masih cukup muda tersebut dia sudah dikenal sebagai pengusaha gula yang sukses di Semarang. Di samping menjalankan bisnis gula, Oei Tiong Ham juga menjadi pachter candu untuk daerah Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Dia menjadi pedagang resmi yang diawasi pemerintah untuk penjualan candu. Usahanya ini dijalankan hingga 1904. Ketika usianya menginjak 20 tahun, Oei Tiong Ham diangkat menjadi Letnan Tionghoa (Lieutnant der Chinezen). Statusnya itu menjadikan dia bagian dari masyarkat elit Tionghoa Semarang yang dihormati. Dia kemudian dipromosikan menjadi Mayor Tionghoa (Majoor der Chinezen) pada akhir abad ke-19. Oei Tiong Ham, kata Soetiono, menjadi orang Tionghoa pertama yang mendapat izin memakai pakaian barat dan tinggal di daerah perumahan orang Eropa. “Ia selalu berpakaian rapi, pakaian jas barat, dan pantalon warna putih, demikian juga warna sepatunya,” ungkap Soetiono. “Lain dari orang-orang Tionghoa umumnya, ia berpandangan modern dan mempekerjakan orang Belanda dalam perusahaannya”. Kerajaan Bisnis Akhir abad ke-19, Oei Tiong Ham mengubah Kian Gwan menjadi perseroan terbatas NV Handel Maatschappij Kian Gwan. Dia kemudian menyelesaikan berbagai urusan pembagian waris atas perusahaan milik ayahnya tersebut, baik kepada saudaranya maupun orang-orang yang terlibat di dalam pendirian Kian Gwan. Maka kerajaan bisnis Oei Tiong Ham, OTHC, pun memulai babak baru dengan hak penuh atas perusahaannya sendiri. Dia memulai dengan mengakusisi lima pabrik gula: Redjoagung, Krebet, Tanggulangin, Pakies, dan Ponen. Demi meningkatkan kualitas produksi semua mesin lama diganti dengan mesin modern yang didatangkan dari Jerman. Selain itu dia juga mempekerjakan sejumlah tenaga ahli dari kalangan Tionghoa maupun Eropa, yang dipilih dengan baik. Untuk masalah produksi, kebutuhan tebu sebagai bahan dasar pembuatan gula didapat dari beberapa perkebunan di Semarang dan sekitarnya yang telah menjalin kontrak dengan OTHC. Sementara untuk pengelolaan manajemen pabrik gula, OTHC mendirikan N.V. Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken. “Inilah cabang usaha yang terpenting dari seluruh bagian Oei Tiong Ham Concern,” tulis Soetiono. Meski bisnis utamanya adalah hasil bumi, Oei Tiong Ham juga melakukan perluasan bisnis di bidang keuangan, khususnya bisnis asuransi dan perbankan. OTHC menjadi agen bagi banyak perusahaan asuransi besar seperti Union Insurance Society of Canton, Ltd. Pada 1906 dia juga mendirikan N.V. Bank Vereeniging Oei Tiong Ham di Semarang dan Surabaya. Mulanya bank ini hanya menjalankan usaha kredit dagang, tetapi lambat laun meluas ke perbankan umum. Bahkan di bawah bank ini Oei Tiong Ham menjalankan usaha realestate, pembangunan gedung, dan jual-beli perumahan. Semakin besarnya OTHC membuat Oei Tiong Ham memutuskan membeli Heap Eng Moh Steamship Coy. Ltd. Singapore. Perusahaan ini dijalankan untuk kebutuhan pengangkutan dan distribusi penjualan berbagai komiditi miliknya. Armada dagang Singapura ini melayani rute Jawa dan Singapura, dengan lima buah kapal besar sebagai armada utamanya. Semakin besar perusahaan Oei Tiong Ham, semakin besar pula pajak yang dikenakan pemerintah Hindia Belanda. Liem Tjwan Ling dalam Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang , disebutkan bahwa pada 1921 OTHC telah membayar pajak sebesar 35 juta gulden. Sejumlah besar uang itu merupakan pajak perang yang digunakan pemerintah Belanda untuk menutupi kerugian Perang Dunia I. Namun pajak itu bukan satu-satunya kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan Oei Tiong Ham. Pemerintah Belanda masih memberi dubble inkomstenbelasting (pajak pendapatan rangkap) kepadanya. Oei Tiong Ham keberatan atas beban pajak tersebut. Dia pun memutuskan meninggalkan Semarang dan pergi menetap di Singapura hingga akhir hayatnya pada 1924. “Pada 1924, seperempat luas dari kepulauan Singapura adalah milik Oei Tiong Ham seorang. Kekayaannya berupa kepemilikan tanah-tanah dan rumah-rumah, maka tidak mengherankan jika sampai hari ini di kota Singa tersebut masih ada satu jalanan yang memakai namanya, yakni Oei Tiong Ham Park,” tulis Liem Tjwan Ling. Dicatat Marleen Dieleman, dkk dalam Chinese Indonesians and Regime Change , setelah Oei Tiong Ham meninggal, perusahaan OTHC dilanjutkan oleh sejumlah putra dari beberapa istri Oei Tiong Ham. Bisnis keluarga Oei Tiong Ham ini dapat bertahan selama tiga generasi kekuasaan: Hindia Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia.

  • Jabir Ibnu Hayyan, Alkemis Penemu Air Keras

    Kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan kembali ramai diperbincangkan setelah tuntutan ringan diberikan kepada dua terdakwa. Jaksa penuntut umum beralasan, tuntutan satu tahun penjara diberikan karena pelaku tidak sengaja menyiram air keras ke wajah dan melukai bola mata Novel Baswedan. Air keras merupakan larutan asam kuat yang jika mengenai kulit akan menimbulkan efek panas, nyeri hebat, hingga luka bakar. Larutan asam kuat yang termasuk dalam golongan air keras, antara lain asam sulfat, asam klorida, asam fosfat, dan asam nitrat. Beberapa cairan asam tersebut ditemukan antara abad ke-8 dan 9 oleh seorang alkemis bernama Jabir Ibnu Hayyan. Jabir kemudian mengembangkan cairan asam untuk melarutkan emas dan kegunaan lainnya. Karya Jabir Jabir Ibnu Hayyan diperkirakan hidup pada 721–815 Masehi, diyakini lahir di Kota Tus, sebuah kota di luar Khurasan (sekarang Mashhad) timur laut Iran. Ayahnya adalah seorang ahli kimia farmasi dari Kota Kufah yang ditangkap dan dieksekusi pemerintahan Abbasiyah karena mendukung pengambilalihan kekuasaan oleh keluarga Umayyah. Jabir pun kemudian hidup sebagai yatim piatu. Identitas Jabir sebenarnya masih diperdebatkan. Dalam Kitab al-Fihrist yang disusun oleh Ibnu al-Nadim (wafat pada 995 M), ada yang menyebut bahwa Jabir adalah seorang pemimpin spiritual. Jabir juga diklaim oleh sekelompok filsuf sebagai filsuf yang menulis tentang logika dan filsafat. Sementara itu, sekelompok ulama dan warraqun menyebut jika Jabir memang ada, satu-satunya tulisan yang dianggap hasil karyanya adalah Kitab al-Rahmah al-Kabir (Buku Besar Belaskasih). Baca juga:  Gas Air Mata Awalnya untuk Perang “Ibn al-Nadim menjawab bahwa Jabir otentik dan dengan tegas membantah pernyataan bahwa Jabir tidak pernah ada; dan, dengan demikian, disimpulkan dengan menawarkan daftar berbagai risalah tentang doktrin Syiah, yang dimiliki oleh Jabir, serta banyak risalah tentang ilmu-ilmu yang ditulis oleh Jabir,” tulis Tod Brabner dalam Medieval Science, Technology, and Medicine . Kumpulan karya Jabir berisi teori utama dan risalah ilmiah yang meliputi alkimia, astrologi, kedokteran, instrumen perang, mekanik, dan lain-lain disertai penjelasan tambahan mencakup beragam disiplin ilmu dari bahasa hingga filsafat. Karena besar dan beragamnya topik serta banyak parafrasa ilmiah dan filosofis Yunani, beberapa sejarawan berpendapat bahwa tulisan-tulisan tersebut bukan semata-mata karya Jabir. Dari manuskrip yang masih ada, lima teks alkimia Jabir diperkenalkan ke dunia Barat Latin pada abad ke-12 dan 13. Pada masa itu, Jabir disebut Yeber atau Gabir filius hegen ezahufy. Abad-abad setelahnya ia dikenal sebagai Ieber, Jeber, Geber Abinhaen, atau Geber ebn Haen, Giaber, Gebri Arabis philosophi, hingga nama Latin standar untuknya, yakni Geber. Bapak Kimia Kumpulan karya Jabir umum disajikan di Barat Latin dalam satu volume dan terdiri dari lima risalah alkimia, yaitu Summa perfectionis magisterii (Jumlah Kesempurnaan), De investige perfectionis (Investigasi Kesempurnaan), De discoverye veritatis (Penemuan Veritas), Liber fornacum (Book of Furnaces), dan Testamentum (Testament). Summa perfectionis magisterii menjadi karya terpenting dari lima risalah tersebut. Risalah ini terdiri dari dua bagian yang berisi pembahasan mengenai persiapan dan proses alkimia, sifat logam, hingga beragam metode dan peralatan laboratorium dalam alkimia. Menurut Kimbely Georgedes dalam Science and Technology in World History, Jabir sering disebut sebagai Bapak Kimia karena dalam praktik alkimia ia bereksperimen dan menciptakan berbagai proses dan perangkat laboratorium yang masih digunakan hingga kini. Salah satu peninggalannya adalah alembic , alat yang membuat proses penyulingan lebih sistematis untuk keperluan eksperimen. Baca juga:  Kontroversi Nobel Bidang Kimia Selain itu, Jabir juga membuat deskripsi dari banyak zat dan proses kimia yang sekarang umum. Dari berbagai jenis asam seperti asam klorida dan asam nitrat, hingga proses distilasi dan kristalisasi yang menjadi dasar dan teknik kimia hari ini. “Dia juga dikreditkan dengan penemuan berbagai asam termasuk asam sulfat, yang dikenal di Abad Pertengahan sebagai vitriol. Kemudian, dengan menyaring garam dengan asam sulfat dengan sendawa (yang beberapa orang juga mengaku menemukannya), ia menemukan asam nitrat,” tulis Georgedes. Jabir kemudian juga menciptakan aqua regia (air kerajaan, atau air raja) dengan menggabungkan asam nitrat dengan asam klorida dalam proporsi tertentu. Aqua regia dapat melarutkan emas dan digunakan untuk mengekstraksi emas dari tanah atau zat lain, memurnikannya serta untuk mengukir emas. Baca juga:  Astronomi, Ilmu Eksak Tertua Selain itu, Jabir mengembangkan beberapa proses yang membantu atau meningkatkan penyamakan kulit, pewarnaan kain, pembuatan kain tahan air, dan pembuatan baja serta pencegahan pencegahan oksidasi (karat). Jabir juga dikreditkan dalam penemuan unsur bismut, antimon, merkuri oksida, timbal asetat, oksida arsenious, dan cinnabar. Sementara itu, berbagai jenis asam yang ditemukan Jabir, kini telah dikembangkan untuk berbagai penggunaan seperti untuk cairan aki, pembuatan pupuk, deterjen, zat pewarna, insektisida, pengering dan pereaksi di laboratorium hingga bahan peledak.

bottom of page