top of page

Hasil pencarian

9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Bung Karno Si Salesman yang Selalu dalam Pengawasan

    Meskipun hanya memiliki pemasukan amat sedikit dari aparat kolonial, Bung Karno tetap bisa survive saat menjalani pembuangan di Ende, Flores. Dapur rumahnya yang “dikomando” Inggit istrinya tetap bisa “ngebul” tiap hari. “Sekalipun kami hanya punya uang sedikit, kami berhasil mencukupi diri sendiri. Aku orang yang sederhana. Kebutuhanku sederhana. Makananku terdiri dari nasi, sayur, buah-buahan, terkadang ayam atau telor dan ikan asin kering sedikit. Sayuran diambil dari yang kutanam di pekarangan samping rumah. Ikan kudapat dari kawan-kawanku para nelayan,” kata Bung Karno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Namun, jatah kurang dari10 dolar tiap pekan yang diberikan pemerintah kolonial jelas tak cukup untuk mendukung kegiatan-kegiatannya. “Karena itulah aku mencari uang tambahan dengan menjualkan bahan pakaian dari sebauh toko tekstil di Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada setiap barang yang kujualkan,” sambungnya. Baca juga:  Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat Setelah barang contoh itu tiba dari Bandung, Bung Karno pun berkeliling menawarkannya dari rumah ke rumah. Begitu mendapat sejumlah pembeli, dia langsung mengirim wesel ke pihak toko yang dagagannya dia pasarkan. Barang akan datang kembali beberapa bulan kemudian. Meski hanya sebagai salesman, Bung Karno tetap diawasi oleh aparat kolonial. Pengawasan tak hanya dilakukan sejumlah polisi tapi juga dengan tindakan yang membuat penduduk, terutama ambtenaar setempat dan kalangan terpelajar, takut mendekat padanya. Situasi itu membuat Bung Karno amat tersiksa. “Di Endeh aku dibatasi bergerak, juga untuk menikmati kesenangan yang kecil-kecil. Aku juga boleh berkeliaran dalam batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkah saja, aku jadi sasaran hukuman. Di Flores semangatku berada dalam kurungan. Di sini aku diasingkan dari masyarakat, diasingkan dari orang-orang yang dapat mempersoalkan tugas hidupku. Orang di sini yang mengerti, takut untuk berbicara,” kata Bung Karno. Maka, dia pun berpaling untuk mendapatkan perkawanan. “Kalau begitu keadaannya, aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol ini. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik. Aku mendekat kepada rakyat jelata, karena aku melihat diriku sendiri di dalam orang-orang yang melarat ini. Aku membentuk masyarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, bujang yang tidak bekerja – inilah kawan-kawanku,” sambungnya. Baca juga:  Bung, Saudara Serevolusi Pergaulan dengan masyarakat lapisan bawah tak hanya memberikan Bung Karno kawan, tapi juga memberinya pandangan lebih jelas mengenai kehidupan bangsanya dari mata sendiri. Dia akhirnya bisa mengorganisir anak-anak dengan membentuk grup sandiwara Kelimutu. Aktivitas itu jelas mendapat perhatian dari pemerintah kolonial. Lewat kaki-tangannya yang terus mengawasi dan aparat-aparatnya yang selalu menguntit Sukarno, pemerintah terus membatasi ruang-gerak sang “Singa Podium”. “Di kota ini ada delapan polisi, jadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu. Di samping itu, hanya mereka yang memakai sepeda hitam dengan merek ‘Hima’. Yang terlalu jelas adalah bahwa mereka berada pada jarak yang tetap waktu mengiringkanku. Kalau seorang Belanda yang misterius selalu berada pada jarak 60 meter di belakangku, maka tahulah aku,” kata Sukarno. Pengawasan itulah yang pada suatu sore membuat Sukarno tertawa karena mendapat hiburan gratis. Ketika sedang bersepeda menuju sebuah sungai, Sukarno dikuntit seorang polisi berpakaian preman yang juga bersepeda. Pada saat polisi itu berhenti dan terus mengawasi gerak-gerik Sukarno, tiba-tiba dua ekor anjing melompat ke arahnya dengan geram. Baca juga:  Sukarno dan Anjingnya “Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini karena kagetnya memanjat ke atas sepedanya dan berdiri di ats tempat duduk-duduk dengan kedua belah tangannya berpegang erat ke pohon. Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor di waktu itu, namun pemandangan ini lebih menyegarkan badanku daripada air sungai yang sejuk,” kata Sukarno.

  • Joseph Goebbels, Setia Nazi Sampai Mati

    MESKI wajah kakunya tampak tenang, pikiran Dr. Joseph Goebbels tengah berkecamuk. Pagi itu, 29 April 1945, situasi kota Berlin kian mencekam mengingat pasukan Uni Soviet kian mendekati Führerbunker atau bunker di kompleks Reichkanzlei  (Kekanseliran Jerman). Di hari itulah untuk pertamakali Goebbels menolak perintah Hitler. Setelah mengikuti sarapan “pesta” pernikahan Hitler dengan Eva Braun, Goebbels diminta Hitler untuk berusaha keluar dari kota Berlin. Hitler merasa harus menjadi kapten yang ikut tenggelam bersama kapalnya. Traudl Junge, sekretaris pribadi Hitler, masih ingat betul ketika Goebbels masuk ke ruangannya. Kala itu, Junge sedang mengalihwahanakan wasiat Hitler yang ditulis tangan ke mesin ketiknya. “Tiba-tiba Goebbels masuk tanpa saya sadari. Wajahnya tampak pucat seputih kapur. Air mata mengalir di pipinya…suaranya yang biasanya jernih menjadi bergetar. ‘ Führer  ingin saya keluar dari Berlin, Nona Junge. Saya diperintah memimpin pemerintahan baru di utara. Tetapi saya tak bisa meninggalkan Berlin dan Führer ! Saya Gauleiter  (kepala distrik) Berlin dan di sinilah tempat saya. Jika Führer  mati, hidup saya tiada artinya’,” kata Junge dikutip T. Thacker dalam Joseph Goebbels: Life and Death. Baca juga: Pernikahan dan Kematian Hitler Anak-anak Joseph Goebbels yang turut dibawa bunuh diri, kecuali Harald Quandt (berseragam Luftwaffe/AU Jerman), putra tirinya karena sedang bertugas di medan perang (Foto: Bundesarchiv) Goebbels lantas mendiktekan wasiatnya pula dan minta diketikkan Junge. “Untuk pertamakalinya dalam hidup saya, saya harus menolak menaati perintah Führer. Begitupun istri dan anak-anak saya. Hati saya tak bisa membiarkan Führer  sendirian di saat yang ia butuhkan…bersama istri saya, lebih baik mengakhiri hidup di sisi Führer ,” demikian bunyi potongan wasiat   Goebbels. Keesokan harinya, Goebbels turut menanti akhir hayat Hitler. Dari ujung pintu kamar, Goebbels mendengar sendiri dua kali bunyi letupan pistol dari balik pintu. Ia hanya bisa berdiri kaku saat jasad Führer  dibawa ke halaman luar bunker untuk dibakar dengan bensin. Sehari setelahnya, 1 Mei 1945, Goebbels bersama istri dan keenam anaknya menyusul sang Führer  ke alam baka. Bocah Penyakitan dan Katolik yang Taat Paul Josep Goebbels, itulah nama yang diberikan kepada bayi   yang dilahirkan Katharina Odenhausen, wanita blasteran Jerman-Belanda, di Rheydt, sebuah “kecamatan” di Mönchengladbach, pada 29 Oktober 1897.   Anak keempat dari enam bersaudara itu hidup di tengah keluarga menengah ke atas, di mana ayahnya mengais nafkah sebagai klerek di sebuah pabrik. Mengutip keterangan Goebbels, sejarawan Peter Longerich dalam Goebbels: A Biography  mengungkapkan, Goebbels di masa kecilnya menjadi bocah penyakitan. Selain   mengalami masalah pada paru-parunya, dia punya kelainan CTEV ( Congenital talipes equinovarus ) pada kaki kanannya, membuat kaki kanannya lebih tebal namun lebih pendek dari kaki kirinya. Alhasil,   Goebbels   pun pincang dan mesti selalu mengenakan sepatu khusus yang beda ukuran. Kelainan itu   pula yang membuatnya ditolak masuk kemiliteran di kala Perang Dunia II berkecamuk. Tetapi ia tak patah arang. Ia tetap jadi pemuda Katolik taat dan rajin ke gereja. Goebbels di usia 12 saat masih jadi pelajar Rheydt Gymnasium pada 1910 (kiri) dan usia 18 tahun saat mulai berkuliah (Foto: Archivo Storico Thule/spartacus-educational.com) Orangtuanya berharap ia menjadi pastur. Namun, Goebbels lebih menggemari sastra dan sejarah dunia. Maka jurusan itulah yang diambilnya ketika ia mendapat beasiswa Albertus Magnus Society dan diterima di Prinzenuniversität (kini Universitas Bonn). Goebbels mahasiswa yang cemerlang. Dia menyelesaikan studi di Julius-Maximilians-Universität Würzburg, Albert-Ludwigs Universität Freiburg, Ludwig-Maximilians-Universität München, hingga Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg.   Gelar doktor diraihnya setelah menyelesaikan disertasi mengenai tokoh sastrawan Wilhelm von Schütz. Ia memilih topik itu atas saran Max Freiherr von Waldberg, profesor berdarah Yahudi yang jadi   dosen pembimbingnya. Baca juga: Hitler Seniman Medioker Goebbels tak keberatan dibimbing seorang Yahudi karena masa mudanya   tak pernah bersentuhan dengan hal-hal berbau antisemit. Masa   mahasiswa Goebbels hanya dipenuhi   oleh   kerakusannya melahap beragam buku,   termasuk buku-buku kiri karya Karl Marx, Friedrich Engels, Rosa Luxemburg, August Bebel, dan Gustav Noske. “Tetapi mulai 1924, Goebbels mulai kepincut dengan kharisma Adolf Hitler. Terutama ketika Hitler duduk di kursi terdakwa pada Februari 1924 atas insiden Beer Hall Putsch (8-9 November 1923). Persidangannya jadi berita hangat di koran-koran dan Goebbels mulai membangun kekagumannya pada Hitler,” singkap Longerich. Antek Nazi sampai Mati Dari kekagumannya itu, Goebbels menganggap Hitler sebagai mentornya ketika Goebbels memilih terjun ke politik dan bergabung ke Nationalsozialistische Deutsche Arbeitpartei (Partai Pekerja Nasional Sosialis Jerman) yang populer dengan sebutan Nazi. Goebbels mulai jadi kader pada Desember 1924, setelah Hitler keluar penjara. Tugas pertama Goebbels sebagai kader adalah di kantor sekreariat Partai Nazi cabang Distrik Rhine-Ruhr di bawah Gauleiter  (kepala cabang) Karl Kaufmann dan Gregor Strasser.   Baru dua tahun kemudian dia bertemu Hitler untuk kali pertama. Itu terjadi dalam Konferensi Bamberg, 14 Februari 1926, di mana Hitler memanggil semua kepala cabang partai. “Saya sungguh mencintainya…   Dia punya pikiran yang mencakup segala hal. Pemikirannya sungguh cemerlang. Saya tunduk pada sosok hebat ini, seorang politikus jenius,” kata Goebbels menyanjung dalam catatan hariannya, dikutip Ian Kershaw dalam Hitler: A Biography. Joseph Goebbels bersama Adolf Hitler pada 22 Januari 1933 atau sepekan sebelum pengangkatannya sebagai kanselir (Foto: Bundesarchiv) Dalam   pertemuan   itu   Hitler juga merasa Goebbels sebagai orator ulung   seperti dirinya. Hitler kemudian mempromosikannya sebagai Gauleiter  Berlin per Agustus 1926. Sejak saat itu, Goebbels dan Hitler tak terpisahkan. Dari sekian perombakan yang dilakukan Goebbels, di mana ia hanya melapor langsung pada Hitler, ada dua hal yang jadi faktor utama penopang kelanggengan kekuasaan Hitler sebagai ketua partai.   Pertama , Goebbels merombak keanggotaan partai. Sebagai pilot project , di distrik Berlin   yang dipimpinnya, Goebbels menetapkan iuran keanggotaan dan mewajibkan setiap anggota membayar lagi untuk bisa ikut rapat-rapat partai. Itu dilakukan untuk konsolidasi   dan   membersihkan   partai dari anggota-anggota yang berpotensi menggembosi Hitler. Perombakan itu menghasilkan   berkurangnya anggota distrik Berlin dari sekira 1.000 menjadi 600 anggota yang komit. Langkah itu kemudian diikuti semua distrik lain. Baca juga: Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler Kedua , Goebbels memberi masukan pada Hitler untuk memfilmkan setiap parade partai dan pidato-pidato Hitler. Goebbels melihat media film tengah booming  di Jerman   saat itu. Ia juga memprediksi film-film itu nantinya bisa ditayangkan dan akan menjangkau simpatisan yang lebih luas. Manuver-manuver Goebbels turut menyukseskan langkah Hitler hingga bisa bertakhta sebagai kanselir pada 30 Januari 1933. Untuk merayakan bertakhtanya Hitler, Goebbels mengotaki   digelarnya   pawai obor di jalan-jalan kota Berlin yang mengikutsertakan 60 ribu kader paramiliter Sturmabteilung  (SA) dan  Schutzstaffel  (SS). Perayaan megah itu   disiarkan radio dan difilmkan. “Tetapi ia sempat kecewa karena dalam kabinet baru yang dibentuk Hitler, ia tak diberikan posisi menteri kebudayaan. Jabatan yang ia idam-idamkan. Baru pada 14 Maret, Goebbels diberi posisi di kementerian yang baru dibentuk, Kementerian Negara bidang Penerangan dan Propaganda,” sambung Longerich. Kolase parade akbar Partai Nazi di Nürnberg (Foto: Bundesarchiv) Dengan posisi inilah Goebbels membuat   ajang-ajang akbar seperti Parade Nürnberg 1934 yang kemudian difilmkan oleh sineas Leni Riefenstahl   dengan tajuk Triumph des Willens.   Film itu bahkan memenangi medali emas Festival Film Venezia pada 1935. Dengan posisi ini pula Goebbels mengarsiteki   doktrin-doktrin antisemit.   Dia   memulainya dengan merangkum sebuah dekrit terkait pemboikotan bisnis-bisnis kaum Yahudi, yang ditandatangani Hitler pada 1 April. Goebbels juga ikut menggerakkan pengajuan Jerman sebagai tuan rumah Olimpiade 1936 . Pentas global itu baginya bisa dimanfaatkan sebagai promosi atas hegemoni rezim Nazi di tanah Jerman. Itu dilakukan demi menutupi sejumlah doktrin dan kebijakan antisemit Nazi. Salah satu kebijakan rasis Goebbels yang kondang adalah mewajibkan setiap orang Yahudi mengenakan tanda bintang Daud berwarna kuning. Baca juga: Erwin Rommel yang "Dipaksa" Hitler Bunuh Diri Bukan hanya kaum Yahudi, rezim Nazi juga sempat clash  dengan kaum agamawan, baik dari Gereja Katolik maupun Protestan. Akibatnya, banyak agamawan yang dipersekusi. Protes dari Paus Pius XI lewat eksikliknya, “Mit brennender Sorge”, dibalas Goebbels dengan pidato di hadapan 20 ribu massa Nazi di Berlin, 28 Mei 1937 yang mengkampanyekan bahwa Gereja Katolik baik di Jerman maupun di Vatikan secara moral sudah korup. Lebih lanjut, Goebbels menggunakan wewenangnya untuk melarang ceramah-ceramah di gereja yang berkaitan dengan kritik rezim Nazi. Sesudah Hitler memulai Perang Dunia II, Goebbels bertanggungjawab menyensor semua kabar   dari medan perang. Propaganda kemenangan dari garis depan sudah barang pasti jadi kabar-kabar yang boleh berseliweran di siaran-siaran radio. Joseph Goebbels (kiri) memberikan hormat Nazi kepada barisan Volkssturm pada apel dan parade pada 12 November 1944 (Foto: Bundesarchiv) Memasuki 1944, ketika   Jerman sudah   mendekati kekalahan, Goebbels menginisasi pembentukan Volksstrum, semacam laskar rakyat, pada 18 Oktober 1944.   Perekrutan di Volksstrum mulanya sukarela, tetapi ketika Uni Soviet mulai mengepung Berlin, semua warga diwajibkan angkat senjata, tak peduli masih bocah ingusan atau sudah renta. Kondisi Berlin yang makin mencekam pada April 1945   membuatnya berpikir bahwa tak mungkin ia dan keluarganya hidup di Jerman tanpa Naziisme.   Goebbels pun   menolak diperintah Hitler untuk keluar dari Berlin. Pada 1 Mei 1945, Goebbels dan istrinya, Magda Rietschel, menjejali kapsul sianida kepada enam anaknya: Helga, Hildegard, Helmut, Holdine, Hedwig, dan Heidrun. Lantas pada pukul 20.30, Goebbels dan Magda keluar ke halaman bunker. Dengan sepucuk pistol di tangan, Goebbels menembak Magda untuk kemudian menembak kepalanya sendiri. Jasad keduanya disiram bensin dan dibakar oleh ajudan Goebbels, Kapten Günther Schwägermann, persis seperti Hitler yang sehari sebelumnya duluan menuju alam baka. Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal

  • Lasmidjah Hardi, Perempuan Pejuang yang Menggemari Sejarah

    BERSAMA rekan-rekannya sesama perempuan pejuang di masa revolusi, Lasmidjah Hardi mendirikan Yayasan Wanita Pejuang pada 24 Februari 1977. Selain Lasmidjah, anggotanya antara lain SK Trimurti, Sujatin Kartowidjono, Siti Djauhari Sudiro, Soekanti Soerjotjondro, Utami Soerjadharma, dan Amini Sutari Abdulgani. Yayasan ini mereka maksudkan sebagai wadah untuk mewariskan nilai-nilai perjuangan kepada generasi penerus. Langkah tersebut diwujudkan lewat upaya penghimpunan dan pembukuan kisah-kisah perjuangan para para wanita. Yayasan ini megeluarkan lima jilid buku berjudul Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi . Diungkapkan dalam prawicara Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi I, ide pembuatan bukunya bermula dari obrolan dalam reuni Wanita Pejuang pada Mei 1981. Akhirnya dibuatlah lima jilid buku yang memuat 54 cerita para perempuan pejuang. Tokoh yang mengisahkan perjuangannya di buku tersebut diambil dari beragam latar belakang, daerah, budaya, agama, dan organisasi agar mencerminkan kebhinekaan Indonesia. “Sejak bangkitnya pergerakan nasional, wanita merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan untuk kemerdekaan tanah air,” kata Lasmidjah dalam prawicara Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi IV.  Ia juga mengajak para perempuan untuk menyadari hak-haknya yang sudah diperjuangkan di masa sebelumnya. Lasmidjah menyadari, tak semua perempuan pejuang dapat diwawancarai atau bisa menuliskan kisah perjuangan mereka. Ada yang sudah meninggal, ada pula yang amat sibuk dengan kegiatannya. Buku lain yang diterbitkan yayasan ini, bekerjasama dengan Departemen Penerangan RI, ialah Perjuangan Wanita Indonesia 10 Windu setelah Kartini 1904-1994 . Lewat buku itu mereka menghimpun kisah-kisah perempuan pejuang yang ikut dalam usaha kemerdekaan baik di garis depan maupun di garis belakang. Langkah tersebut merupakan pengabadian perjuangan perempuan di tengah heroisme perjuangan yang didominasi tokoh lelaki. “Akan ada goresan dalam sejarah sebagai bukti kehadiran mereka (perempuan pejuang, red. ) dalam perjuangan bangsanya. Biarpun sekilas, peristiwa perjuangan itu harus dibuatkan ‘ snap shot moment opname’ sebelum kenangan itu hilang seolah tanpa kesan, tanpa bekas,” kata Lasmidjah. Sayangnya, makin lama anggota Yayasan Wanita Pejuang terus berkurang. Banyak para anggota yang sudah sepuh, meninggal. Akibatnya, yayasan makin tidak aktif hingga mandek sama sekali. Namun nasib baik tak akan lari. Ketika menghadiri sebuah pertemuan di rumah Radius Prawiro pada 1990-an, Lasmidjah bertemu dengan banyak pejuang. Ia berbicara dengan Sulasikin Murtopratomo, mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Dari pertemuan inilah hasrat untuk mengumpulkan kembali para perempuan pejuang terpantik. Hasilnya, setelah beberapa kali rapat, dibentuklah Paguyuban Wanita Pejuang pada 18 Oktober 1995. Hampir mirip dengan Yayasan Wanita Pejuang, paguyuban ini dibentuk sebagai wadah agar para perempuan yang pernah berjuang dapat bertemu dan bertukar pikiran. Kegiatannya pun serupa, yakni menerbitkan buku-buku yang mengisahkan perjuangan perempuan. Lewat dua organisasi ini, Lasmidjah dan rekan-rekannya menyumbangkan khasanah lain dalam sejarah Indonesia yang begitu maskulin. Dalam autobiografinya, Lasmidjah Hardi Perempuan Tiga Zaman,  ia mengisahkan kecintaannya pada sejarah tak terbatas pada kisah perempuan. Lasmidjah juga bergabung dalam Yayasan 19 September 1945 bersama Soejono Martosewojo, Daan Anwar, Akip Suganda, SK Trimurti, Siti Djauhari Sudiro, Yos Masdani, dan Treen Radjasa. Yayasan ini juga menerbitkan buku Samudra Merah Putih  yang mengisahkan perjuangan pemuda di Lapangan Ikada. Kecintaan Lasmidjah pada sejarah juga mendorongnya mendirikan Yayasan Pencinta Sejarah bersama Sidik Gondowarsito, Sejarawan UI Lily Manus, dan Nana Nurliana. Lewat yayasan ini pula ia turut andil dalam penerbitan buku Jakarta-ku, Jakarta-mu, Jakarta Kita dengan dukungan Gubernur DKI Jakarta R Soeprapto. “Kami, para pejuang yang sudah sepuh, sudah uzur ibarat matahari sudah condong ke barat dan siap untuk masuk ke peraduan. Kami tak punya apa-apa selain semangat dan cita-cita yang ingin kami wariskan kepada generasi muda,” kata Lasmidjah.

  • Masuknya Aksara Pallawa ke Nusantara

    PARA brahmana dari India mengawali tradisi menulis di Nusantara dengan memperkenalkan aksara Pallawa. Pallawa merupakan dinasti di India Selatan yang berkuasa dari abad ke-4 hingga abad ke-8. Aksara Pallawa menyebar ke Asia Tenggara, seperti Burma, Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Indonesia di Kalimantan, Sumatra, Jawa, dan Bugis. Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Mimi Savitri, mengatakan di wilayah lain, aksara Pallawa tidak banyak berubah, sedangkan di Nusantara mengalami perubahan. Di tempat asalnya, Pallawa berbahasa Sanskerta. Sedangkan di Nusantara, ketika Pallawa berubah jadi Jawa Kuno, bahasanya Jawa Kuno. Walaupun ada juga Jawa Kuno berbahasa Sanskerta. Aksara Jawa Kuno banyak digunakan dalam prasasti-prasasti pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit. "Karena masyarakat Nusantara bisa mengubah Pallawa ke Jawa Kuno dan kadang bentuk aslinya tak tampak, apakah sebelumnya mereka sudah bisa menulis tapi tidak terdokumemtasi?" kata Mimi dalam diskusi "Mengenal Aksara Jawa Kuno" via aplikasi  zoom  yang diadakan Balai Arkeologi Yogyakarta dalam rangkaian acara Hari Purbakala 14 Juni 2020. Dihubungi secara terpisah, Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menjelaskan, tulisan dalam prasasti di Sumatra dan Kalimantan sama dengan di Jawa. Bedanya dalam pemakaian bahasa dan cara menulis. "Itu aja. Nanti kita bisa tahu, ini tulisan dari Sumatra Kuno bukan Jawa Kuno," kata Titi. Sejauh ini, bukti tradisi menulis tertua di Nusantara ditemukan di Kalimantan bagian timur dari abad ke-4, yaitu Prasasti Yupa yang dikeluarkan Kerajaan Kutai. Prasasti sezaman ditemukan di Jawa bagian barat, yaitu beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Tarumanagara. Prasasti dari Kutai dan Tarumanagara menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Menurut Titi, orang-orang di Nusantara mengambil aksara Pallawa berbahasa Sanskerta karena mendatangkan para brahmana dari India. Bahasa Sanskerta hanya dikenal oleh kalangan terbatas, misalnya kaum brahmana Hindu agar ajarannya tak bocor. "Kebiasaan menulis belum banyak. Mungkin yang pertama kali juga brahmana. Di India cuma brahmana yang bisa menguasai bahasa dan tulisan," kata Titi. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Jawa Kuno berbahasa Jawa Kuno, seperti digunakan pada prasasti Mataram Kuno, Kadiri (abad ke-12), Singhasari, hingga Majapahit. Kendati demikian, ada pula aksara Jawa Kuno berbahasa Sanskerta, seperti digunakan pada prasasti-prasasti awal Kerajaan Mataram Kuno dan Kanjuruhan. "Lama kelamaan kita bisa menulis menggunakan aksara Jawa Kuno dan masih bahasa Sanskerta, ke sini lagi sudah berbahasa Jawa Kuno. Dari tahun 760-an mulai memakai Jawa Kuno," kata Titi. Aksara Jawa Kuno kemudian berkembang menjadi aksara Bali Kuno (abad ke-8-13) dan Sunda Kuno (abad ke-14-16). Aksara Jawa Kuno berkembang lagi menjadi aksara Jawa Baru atau dikenal dengan hanacaraka. Penanda Masa Perubahan aksara yang dipakai pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit juga mengalami perkembangan. Setiap masa memiliki gaya tulisan masing-masing. Ada aksara Kawi (Jawa Kuno, red .) awal standar yang biasanya dipakai pada prasasti masa Mataram Kuno periode Jawa Tengah, yaitu masa pemerintahan Balitung (abad ke-8 sampai ke-9) hingga abad ke-10. "Tulisannya rapi, bagus, jelas," kata Titi. Bentuk tulisannya berubah pada masa Mpu Sindok yang memerintah Mataram Kuno periode Jawa Timur. Tulisannya cenderung persegi. Kemudian ada perkembangan bentuk aksara kwadrat. Cirinya: huruf ditulis besar, memiliki tulisan yang menonjol, dan berbentuk persegi empat. Penggunaaan aksara ini ditemukan di Jawa Timur, ada juga di Jawa Tengah dan Bali. Menurut Titi, aksara kwadrat di Jawa sudah dikenal sejak masa Raja Dharmawangsa Tguh (991–1016 M). Meskipun demikian, gaya ini sudah ditemukan pada dinding Petirtaan Jalatunda di lereng Gunung Penanggungan dari 899 Saka (977). Titi menjelaskan aksara kwadrat dengan detail lewat tulisannya "Perkembangan Aksara Kwadrat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali: Analisis Paleografi", yang terbit dalam Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 3, November 2016. Menurut Titi, aksara kwadrat juga dipakai oleh anak-anak Udayana dan Gunapriyadharmmapatni, penguasa Bali Kuno, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Pada masa Airlangga di Jawa (1021–1042), aksara kwadrat ditulis dengan bentuk persegi empat tapi masih polos. Aksara kwadrat mulai diberi ornamen pada masa Anak Wungsu di Bali (1049–1077). Ini yang kemudian berkembang pada masa Kaḍiri dan dikenal dengan aksara kwadrat Kaḍiri. Aksara pada masa ini memiliki ornamen yang sudah kaya. "Era pemerintahan Dharmawangsa Tguh masih sederhana, tapi mulai di Bali jadi ada keriting-keritingnya, biasanya hiasan. Aksara kwadrat ini termasuk yang susah dibaca karena terlalu banyak hiasan," kata Titi. Aksara kwadrat masih digunakan di Jawa Tengah pada masa Majapahit akhir (abad ke-15), seperti ditemukan di Candi Sukuh, Candi Ceto, dan Candi Planggatan. Aksara kwadrat pada ketiga candi ini sangat berbeda dengan aksara kwadrat dari masa sebelumnya. Pada masa Majapahit muncul gaya penulisan lain. "Gaya aksaranya beda lagi karena banyak kadewaguruan (pusat pendidikan agama, red. )," kata Titi. Masing-masing periode pemerintahan memiliki penulis prasastinya sendiri. Ketika pemerintahan berubah, seorang citralekha  biasanya akan ikut diganti. "Setiap periode biasanya ganti-ganti. Informasi si penulis disebut juga di akhir prasasti, biasanya satu atau dua orang. Kecuali dalam prasasti pendek," kata Titi. Karenanya gaya menulis aksara juga bisa menentukan kira-kira kapan prasasti itu dibuat, khususnya untuk prasasti yang tak berangka tahun. Namun, untuk memastikannya seorang epigraf akan mencari nama pejabat yang tertera pada prasasti itu. "Itu saja tidak cukup (gaya tulisan, red. )," kata Titi. "Pas saya baca ada nama pejabatnya masa Balitung. Oh, jelas berarti. Pejabatnya kan sama. Pernah juga disebutkan dalam prasasti Balitung lainnya."*

  • Saat Bung Karno Ikutan Sesi Foto Virtual

    Sejak pandemi virus corona merebak ke hampir seluruh belahan dunia, berbagai aktivitas masyarakat ikut terganggu. Covid-19 tak hanya melumpuhkan kesehatan manusia, namun juga banyak aspek kehidupan lainnya. Sektor ekonomi kreatif seperti videografi dan fotografi pun macet. Mereka tak boleh bertemu langsung untuk pekerjaannya. Jaga jarak harus diterapkan tanpa terkecuali. Para pekerja lepas sektor tersebut pun memutar otak demi menjaga keberlangsungan hidup. Kini fotografer dan videografer menciptakan sesi “virtual photoshoot’ atau sesi foto virtual. Dengan cara ini, sang fotografer dan subjeknya tidak harus bertemu langsung. Cukup melakukan sesi foto dengan berbagai aplikasi yang mempunyai fitur video-call seperti Skype, Zoom, Facetime dan sejenisnya. Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia ) Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia ) Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia ) Sudah lewat tiga bulan pandemi melanda Indonesia. Tanda-tanda kapan ini berakhir, belum terlihat jelas. Sekarang sudah masuk bulan Juni, bulannya Bung Karno. Kelahirannya diperingati tiap 6 Juni. Bung Karno seorang pecinta seni. Dirinya dan seni tak terpisahkan. Dia mengakuinya dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . “Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni,” kata Bung Karno. Saat kuliah, pria kelahiran Surabaya itu, mengambil jurusan arsitektur. Sebuah jurusan yang lekat dengan seni rupa dan estetika, termasuk pula fotografi. Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia ) Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia ) Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia ) Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia ) Itulah mengapa seni fotografi dirasa tidaklah sulit untuk menggapai Bung Karno. Selain gagasannya, potret dirinya tetap membuatnya hidup hingga kini. Mulai dari potret masa muda semasa kuliah hingga masa tua ketika dia bertemu dengan berbagai tokoh dunia. Tiap fotonya selalu punya kesan kuat. Dia sepertinya tahu betul kekuatan fotografi mengabadikan momen dan merekam sejarah untuk dinikmati generasi masa depan. Itu pertanda bahwa fotografi juga bagian dari kehidupan Bung Karno saat itu. Tak heran jika kemudian sosok Bung Karno yang terkenal luas dan modern sangat mungkin hidup kembali dalam virtual photoshoot . Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia ) Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia ) Foto-foto kegiatan Bung Karno yang di foto ulang dengan metode virtual. ( Foto : Fernando Randy/Historia )

  • Ketika Sukarno Mewarnai Republik

    KEHIDUPAN politik negara bernama Republik Indonesia resmi berjalan setelah 17 Agustus 1945 Sukarno-Hatta membacakan ikrar proklamasi kemerdekaan. Itu menjadi tanda terbebasnya rakyat dari pengaruh kolonialisme. Sukarno berdiri di garda terdepan. Bersama generasi founding fathers lain , dia menjajaki jalan hidup baru: mendirikan negara berdaulat. Sebagai pemegang kursi tertinggi pemerintahan Indonesia, Sukarno membuat banyak racikan politik. Bentuknya disesuaikan dengan kondisi zaman. Seperti pasca kemerdekaan (1945-1949) yang mengusung “sistem presidensial”. Sukarno bertindak sebagai kepala negara cum kepala pemerintahan. Masa ini arah politik belum terlihat jelas karena masih meraba-raba wujud pastinya. Pemerintah lebih berfokus kepada usaha mempertahankan kemerdekaan. Memasuki periode 1950-1959 Sukarno merancang “sistem demokrasi parlementer”. Sebagai kepala negara, ia didampingi seorang perdana menteri dalam mengurusi pemerintahan. Bentuk politik bebas aktif ini juga dikenal sebagai masa “demokrasi liberal”. Tidak bisa dibilang sukses tetapi mampu memberi warna di dalam kehidupan bernegara RI. Juga membuka jalan bagi wujud politik di masa setelahnya karena berhasil melahirkan banyak partai politik, serta rasa ingin berpolitik di antara warga negara. Alam pikir kebebasan bernegara yang diusung Sukarno selama periode tersebut sebetulnya telah muncul lebih dini dari negara Indonesia itu sendiri. Pemikirannya hadir di masa perjuangan, saat cerminan negara ideal di mata Bung Karno merujuk kepada sebagian kecil negeri di Benua Biru yang sukses membangun negeri dan mengukir namanya dalam sejarah. Sukarno melihat suatu kesuksesan di balik kebebasan itu. Meski tidak dapat dipungkiri tetap melahirkan sisi gelap yang dapat mengancam keberlangsungan bernegara. Di dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 , Sukarno menulis sebuah artikel pada 1941 berjudul “Demokrasi Politik dengan Demokrasi Ekonomi = Demokrasi Sosial”. Dia memberi gambaran tentang sistem parlementer yang diterapkan negara-negara Eropa sesudah Revolusi Prancis. Menurutnya sistem itu berhasil melahirkan politieke democratie  (demokrasi politik): semua lapisan rakyat mempunyai hak bercampur tangan di dalam politik kenegaraan, hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. “Kalau ditilik dengan sekelebatan mata saja, maka memang cara pemerintahan semacam ini seperti sudah bisa menyenangkan 100% kepada rakyat. Toh sudah boleh memilih atau dipilih, boleh membuat usul ini atau itu, boleh menyetem pro kalau mufakat dan boleh menyetem menolak kalau tidak mufakat, boleh mengadakan undang-undang baru atau meniadakan undang-undang lama,” kata Sukarno. Bukan Pilihan Terbaik Layaknya dua sisi mata uang, kebebasan bernegara yang baik seperti ini juga melahirkan suasana yang tidak baik bagi rakyatnya. Di dalam negeri-negeri yang memakai praktek pemerintahan demikian, kata Sukarno, rakyat belum sepenuhnya senang. Urusan politik dan ekonomi di antara penguasa yang memiliki pengaruh kuat akan menggerus kaum lemah. Rakyat yang menderita secara ekonomi masih saja banyak ditemui di tengah pemerintahan ini. “Karena itu ternyatalah bahwa untuk membuat sejahteranya rakyat jelata, politik demokrasi atau parlementer demokrasi saja belumlah cukup. Masih perlu lagi ditambah dengan demokrasi di lapangan lain, kerakyatan di lapangan lain, kesama-rasa-sama-rataan di lapangan lain,” ungkap Sukarno. Ada periode transisi yang cukup penting antara 1957-1959. Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, mengatakan jika   selama tahun-tahun tersebut, difusi kekuatan politik yang sebelumnya begitu luas –terbagi ke dalam bentuk ideologi partai-partai politik, paham individu, serta warna organisasi– digantikan oleh tiga wujud: Presiden Sukarno, tentara, dan partai komunis. Di sinilah “sistem demokrasi terpimpin” memulai debutnya, memperlihatkan bentuk yang ditetapkan untuk menguasai pemerintahan. “Begitu dramatis pengalaman politik periode ini dan begitu mendalam terukir di benak banyak orang Indonesia sehingga pengaruhnya masih sangat kuat dan dapat diperkirakan akan mempengaruhi karakter perkembangan politik Indonesia selama tahun-tahun yang akan datang,” tulis Daniel S. Lev. Tahun 1958, menjelang pergantian sistem pemerintahan, Sukarno mengubah sikapnya terhadap demokrasi parlementer. Saat memberi kuliah tentang Pancasila di Istana Negara, Sukarno mengemukakan pandangan kritisnya. Menurutnya, parlementer demokrasi hanya sebuah ideologi politik. Sistem seperti ini datang dari ideologi politik kapitalisme yang sedang naik. Menurut peneliti sejarah Max Lane, ada dua alasan yang mengiringi perubahan sikap Sukarno tersebut. Pertama , mulai meresapnya pemahaman kaum kiri ke dalam alam pikir Si Bung. Terlihat dari caranya mengkritik demokrasi liberal yang bentuknya umum diungkapkan oleh kaum kiri di mana pun: menuntut kesamaan. Dalam demokrasi liberal, kata Sukarno, semua warga negara dan semua kekuatan punya hak formal yang sama, tetapi karena kekuatan keuangannya berbeda, hak formal itu batal sebab. Kedua , praktik demokrasi liberal secara nyata tidak mudah diterapkan di Indonesia. Sukarno menyaksikan sendiri gagalnya penerapan demokrasi semacam ini. Sejak kemerdekaan, khususnya 1950-1958, kehidupan politik parlementer diwarnai oleh gonta-ganti koalisi kabinet. Friksi antar partai juga semakin tajam. Sukarno tidak melihat keajegan yang mampu menopang perpolitikan republik ini. Dia dan banyak orang mengeluh kerap terjadi saling jegal-menjegal antar pengaruh. “Parlementer demokrasi memberi kans yang sama secara demokrasi kepada semua orang di bidang politik sama, itupun zoegenaamd (seharusnya). Sebab dalam prakteknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda,” kata Sukarno. “… kita sebenarnya tidak boleh memakai parlementer demokrasi”. Mengambil Sikap Beres dengan demokrasi parlementer, Sukarno mencoba sistem baru: demokrasi terpimpin. Masuknya periode demokrasi terpimpin ini sebetulnya sudah ditandai dengan suatu peristiwa penting beberapa tahun sebelumnya. Pada 17 Oktober 1952, sekelompok kecil tentara mengarahkan moncong meriam ke arah Istana Merdeka. Mereka geram atas ulah para politikus, termasuk Sukarno, di parlemen yang dianggap merecoki urusan internal militer. Kabar yang beredar, ada rencana untuk mereorganisasi sekaligus mengurangi anggaran tentara demi efisiensi. Versi lain menyebut adanya intrik politik persaingan antar partai. Dianggap sebagai biang keladi, KSAD Kolonel Abdul Harus Nasution mendapat murka sang Presiden. “Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah di dalam caranya,” kata Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat . “Sukarno tidak sekali-kali akan menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia,” tegasnya. Peristiwa kudeta kecil itu menjadi peringatan bagi Sukarno untuk mengambil sikap. Maka bercermin insiden tersebut, Bung Karno kemudian datang dengan ide Demokrasi Terpimpin. Sebagaimana Pancasila, ide itu pun diakuinya berdasarkan nilai-nilai yang ada pada masyarakat Indonesia: musyawarah untuk mufakat. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan TV Belanda, dia mengatakan, “Demokrasi terpimpin bukanlah sebuah kediktatoran, demokrasi terpimpin adalah demokrasi dengan kepemimpinan.” Sukarno kemudian memaklumatkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut menetapkan kembali UUD 1945 sebagai dasar negara dan membubarkan lembaga konsitituante sekaligus menandai berakhirnya demokrasi parlementer. Presiden merasa jengah setelah lebih dari tiga tahun, Konstituante tak kunjung mencapai kata sepakat. Di samping suasana kisruh akibat pemberontakan PRRI-Permesta di dalam negeri. Sejak 1962, Sukarno lebih mendorong konsepsi Nasakom dan Front Nasional. Pada tahun-tahun tersebut, kata Lane, gerakan mobilisasi massa pendukung Sukarno semakin besar. Hal itu disertai juga dengan dukungan ide-ide “sosialisme ala Indonesia” yang diusung Sukarno. Gerakan itu agaknya menjadi solusi yang diharapkan bisa memecahkan kebuntuan situasi politik nasional. “Tetapi Sukarno tetap memberlakukan sanksi administratif, yakni larangan terhadap PSI, Masyumi, dan Murba,” tulis Lane. Pada 1963 didirikan Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kotrar) langsung di bawah komando Sukarno, yang menggantikan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pimpinan Jenderal Nasution. Menurut Max Lane, sejak ada Kotrar di Indonesia terjadi perubahan konsep penggantain pemerintah menjadi Retooling Kabinet –artinya mereka yang dianggap datang dari golongan “kanan” di dalam kabinet diganti dengan yang “kiri” atau progresif. Itulah sebabnya Sukarno menyebut demokrasi terpimpin yang dibawanya bukanlah kediktatoran. Padahal menjelang akhir-akhir kekuasaannya, ada gejala kebebasan rakyat terbungkam. Sri Bintang Pamungkas dalam Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara , mencatat ada sejumlah tokoh pergerakan yang tersingkir. Bahkan Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung, Subadio, Prawoto, dan Mohammad Roem harus mendekam di penjara berkat sikap Sukarno tersebut. “Alasannya karena menurut “logika revolusi” harus ditarik garis yang tegas antara kawan dan lawan. Karena kami tidak dipandang sebagai kawan maka kami dianggap musuh. Sangat sederhana berpikir menurut logika revolusi!” tegas Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah. Puncaknya, kepemimpinan Sukarno tidak dapat lagi menopang sistem kenegaraan di Indonesia. Ketika kepemimpinannya jatuh, alih-alih menjadi baik, peralihan kekuasaan pun malah menempatkan Soeharto lebih kokoh di puncak pemerintahan tertinggi Republik dan berlaku otoriter.*

  • Sediono Tjondronegoro, Profesornya Kaum Tani

    Sediono Tjondronegoro, Guru Besar Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB) telah berpulang, Rabu, 3 Juni 2020. Kontribusinya dalam bidang agraria mendapuknya sebagai salah satu begawan agraria di Indonesia. Hidup dalam tiga zaman berbeda, bagaimana perjalanannya? Sediono Mommy Purwodo Tjondronegoro lahir di Purwodadi, Jawa Tengah pada 4 April 1928. Ibunya, Sumilah merupakan keturunan bupati di Kebumen. Sementara ayahnya, Sutiyoso Tjondronegoro pernah menjadi bupati Semarang. Sejak kecil Sediono sering berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti ayahnya. Ia menempuh sekolah dasar Europese Lagere School (ELS) di Rembang, Purwokerto, dan lulus di Tegal pada 1937. Ia kemudian melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) Malang. Namun, baru satu setengah tahun, Jepang menduduki Indonesia dan sekolah-sekolah Belanda ditutup. Pelajar Pejuang Sediono melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jakarta dan Surabaya. Pada masa inilah, ketegangan politik dunia menarik Sediono dalam perjuangan kemerdekaan. Dalam politik, ia pun mulai membangun sikap sendiri. “Prinsipnya, kepada siapa kita harus berpihak, yakni pada lapisan terbawah dan tertindas itulah menjadi dasarnya,” kata Sediono dalam otobiografinya Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua . Baca juga:  Pembersihan Mahasiswa IPB dan UI Pasca Proklamasi 1945, Sediono bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan kemudian masuk Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) di Surabaya. Ia menjadi kepala regu memimpin pengepungan sekolah HBS di Jimerto dan berhasil memukul mundur tentara Gurkha. Pada masa itu, Sediono bersama TRIP ikut dalam berbagai pertempuran dari Surabaya, Mojokerto, hingga Malang. Pada 1947, iadan kawan-kawannya mundur ke Blitar karena Agresi Militer Belanda pertama. Iapun diminta orang tuanya melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) dan kemudian SMA darurat di Jakarta. Baca juga:  Sejarah Reforma Agraria (1) Setelah lulus SMA darurat, pada 1948-1949, Sediono kembali turun ke medan pertempuran. Kali ini ia membantu pengiriman obat-obatan, makanan, dan peluru kepada Divisi Siliwangi di Jawa Barat. Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) Belanda menawarkan beasiswa untuk pemuda-pemuda Indonesia, Sediono adalah salah satu pemuda yang mendapat kesempatan itu. Ia memilih pendidikan tinggi di Fakultas Ilmu Politik dan Sosial di Gemeentelijke Universiteit Amsterdam. Baca juga:  Sejarah Reforma Agraria (2) Pada 1957, sebagai sarjana muda, Sediono bekerja paruh waktu sebagai calon asisten profesor sosiologi non-barat W.F. Wertheim. Setelah mendapat gelar doktorandus, ia diangkat sebagai peneliti hingga 1963 ketika pulang ke Indonesia. Di Tanah Air, Sediono melamar ke IPB karena ingin mempelajari masyarakat pedesaan. Pada 1966, ia melanjutkan studi di Department of Rural Sociology Universitas Wisconsin dan kembali ke IPB pada 1968. Jalan Seorang Ilmuan Di IPB, Sediono sering melakukan penelitian ke berbagai daerah yang merupakan tugas dari Departemen Pertanian. Dari penelitian pangan, irigasi hingga persoalan transmigrasi. Sementara itu, ia menyelesaikan disertasinya pada 1977. Dalam disertasinya, Sediono melihat bahwa sentralisasi pemerintahan Orde Baru telah menyebabkan disintegrasi ikatan kekerabatan atau sodalis di desa-desa. Ikatan ini butuh waktu agar bisa berubah menjadi besar. Namun, Orde Baru melakukan intervensi program dan menginginkan perubahan langsung yang justru menyebabkan disintegrasi. “Saat itu kajian saya yang dimaksudkan sebagai kritik dan usul koreksi tidak memunculkan debat, sebab ditulis ketika Orde Baru sangat kuat,” kata Sediono. Baca juga:  Jeritan Petani di Tanah Sendiri Namun, sebagai ilmuan Sediono tetap sering diminta membantu kementrian-kementrian pemerintahan Soeharto. Baik di bidang pangan dan pertanian maupun lebih luas, ekonomi. Ia juga menjadi Asisten Menteri V dan Sekretaris Dewan Riset Nasional (DRN) higga 1996. Di luar hubungan dengan pemerintahan, Sediono juga aktif dalam penelitian-benelitian bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun organisasi-organisasi peneliti. Kajiannya banyak berkaitan dengan pangan, pertanian dan pedesaan, energi hingga ekologi. Sediono seringkali mengkritik permasalahan agraria di Indonesia. Menurutnya, sasaran pembangunan nasional seperti pemerataan, keadilan, kedaulatan dan ketahanan pangan serta penanggulangan kemiskinan di Indonesia tidak akan dapat dicapai bila struktur agraria masih timpang. “Reforma agraria dalam arti makro dan komprehensif karena itu perlu diselesaikan setelah lebih dari 40 tahun terhenti. Karena itu sektor pertanian kita belum mandiri tidaklah mengherankan bahwa generasi muda tidak tertarik lagi dan negara menjadi importir pangan yang semakin mengkhawatirkan karena sasaran-sasaran pembangunan tersebut diatas semakin sulit diwujudkan,” terangnya. Baca juga:  Lumbung Padi yang Jadi Kawasan Industri Menurut Sediono, strategi pembangunan nasional harus dimulai dari pemantapan sektor agraria, apalagi Indonesia merupakan negara agraris. Jika tidak, tertinggalnya sektor pertanian menyebabkan Indonesia menjadi pengimpor bahan pangan. Sediono juga seringkali menyoroti masalah industrialisasi dan sengketa lahan. Pembukaan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu biang sengketa. “Dalam proses itu banyak hutan yang sudah dibuka memunculkan sengketa dengan penduduk setempat. Sebab mereka merasa bahwa wilayah dan hutan yang dibuka itu adalah milik masyarakat adat,” sebutnya. Saat ini, persoalan agraria masih terus terjadi di Indonesia. Konflik lahan dan berbagai isu pangan dan pertanian juga belum terselesaikan. Sementara itu, Sediono Tjondronegoro, profesor yang berdiri bersama para petani kini telah pergi.

  • Perayaan Ulang Tahun Bung Karno pada Masa Revolusi

    SELALU ada perayaan setiap kali 6 Juni tiba, hari kelahiran Ir. Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia. Beragam bentuk acaranya, mulai dari ucapan selamat hingga penerbitan tulisan mengenang kelahiran sang proklamator kemerdekaan. Pada 1965, hari ulang tahun (HUT) Sukarno dirayakan bersamaan dengan Hari Kanak-Kanak Nasional yang meriah di Taman Surapati, Jakarta. Di masa selanjutnya, beberapa buku diterbitkan guna merayakan ulang tahun Sukarno, seperti buku kumpulan tulisan yang mengupas pemikiran Sukarno, 80 Tahun Bung Karno, yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan tahun 1981 dan buku yang berisi berbagai tulisan berisi kenangan pribadi dengan Sukarno maupun ulasan tentang gagasan dan kiprah Sukarno dari orang-orang di sekitar Sukarno dalam rangka memperingati seabad Sukarno, Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku: Kenangan 100 Tahun Bung Karno (2001).

  • Menggali Isi Prasasti

    Pada masa Jawa Kuno, raja atau penguasa daerah menerbitkan prasasti untuk memberitakan beragam hal. Mulai dari pemberian anugerah raja kepada rakyat hingga putusan pengadilan terkait konflik dan aduan masyarakat. Salah satu yang menarik adalah konflik kependudukan yang menimpa warga Desa Wurudu Kidul bernama Sang Dhanadi pada era Mataram Kuno. Dalam Prasasti Wurudu Kidul (922) diceritakan Sang Dhanadi dituduh oleh petugas pajak sebagai warga asing sehingga harus membayar pajak lebih tinggi. Menurut Prasasti Palebuhan (927) ada beberapa orang asing yang wajib membayar pajak, yaitu keling, Arya , dan Singhala . Sang Dhanadi tak terimalalu mengadu ke pengadilan. Pengadilan mengusut asal-usulnyauntuk membuktikan adanya darah orang asing. Sang Dhanadi dianggap memenangkan perkara karena yang menuduhnya tak hadir ketika dua kali dipanggil pengadilan. Baca juga:  Ragam Keluhan Rakyat Bali Kuno Pada Penguasa Selain masalah itu, utang piutang juga tercatat dalam Prasasti Guntur (907). "Ceritanya ada seorang istri berutang tanpa sepengetahuan suaminya. Ketika istri meninggal, suaminya yang ditagih. Makanya dia protes," kata Mimi Savitri, arkeolog Universitas Gadjah Mada dalamdiskusi "Mengenal Aksara Jawa Kuno" via aplikasi  zoom yang diadakan Balai Arkeologi Yogyakarta dalam rangkaian acara Hari Purbakala 14 Juni 2020. Dalam prasasti itu disebutkan,berdasarkan hukum yang berlaku utang yang dibuat istri di luar sepengetahuan suami, tidak menjadi tanggung jawab suami. Terlebih kalau suami-istri itu tidak memiliki anak. Baca juga:  Pejabat Pajak Menyeleweng Ada juga prasasti yang dikeluarkan berdasarkan permintaan peninjauan kembali jumlah pajak. Prasasti Luitan (901) mencatat protes seorang petani kepada petugas pajak. Ia dibebani pajak tanah lebih besar daripada seharusnya. Petani itu meminta luas tanahnya diukur ulang. Hasilnya diketahui kalau petugas pajak menggunakan tampah yang lebih kecil dari ukuran standar untuk mengukur luas tanah. Akibatnya penghitungan pajaknya membengkak. "Tentu saja ini merugikan. Karenanya si petani protes menghadap kepada penguasa daerah untuk ditinjau kembali," kata Mimi. "Saya lihat, di sini ada sisi demokratis, ada negosiasi." Anugerah dan Hak Istimewa Mimi mengungkapkan sejauh ini prasasti paling banyak mencatat anugerah raja kepada rakyatnyayang berjasa kepada raja atau kerajaan.Misalnya,rakyat membantu calon raja dalam pelarian. Setelah menjadi raja, ia membalas kebaikan rakyatnya dan mencatatnya pada prasasti, seperti Prasasti Hantang yang ditemukan di Ngantang, Malang, Jawa Timur. Prasati dari 1057 Saka (1135) itu berisi tentang keputusan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya memberikan anugerah tambahan kepada penduduk Desa Hantang dan sekitarnya karena berjasa membantu raja saat perebutan kekuasaan. Ahli epigrafi, Trigangga, menjelaskan bahwa anugerah yang diterima penduduk desa berupa bebas dari segala pungutan pajak dan pekerjaan untuk raja, boleh mengambil orang bungkuk, orang cebol, dan orang kembar. "Tiga jenis orang ini merupakan anugerah yang luar biasa bagi penduduk Desa Hantang dan sekitarnya karena mereka dianggap memiliki kekuatan gaib seperti pusaka-pusaka keraton yang dapat mengukuhkan kedudukan penguasa," tulis Trigangga dalam Prasasti Batu: Pembacaan Ulang dan Alih Aksara Jilid II . Baca juga:  Palawija, Pengiring Kesayangan Raja Jawa Selain itu, Prasasti Kudadu (1294) juga berisi balas jasa Raden Wijayakepada mereka yang membantunya dalam melarikan diri dari serangan Jayakatwang, penguasa Glang Glang, dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Para pengikut Sang Kertarajasa yang setia dan andil dalam mendirikan kerajaan diberikan kesempatan untuk menikmati hasil perjuangannya. Mereka diangkat menjadi pejabat tinggi dalam kerajaan. Anugerah raja juga diberikan kepada masyarakat yang berjasa mencegah banjir. Prasasti Harinjing (804) memuat cerita penganugerahan daerah perdikan ( sima ) oleh Raja Mataram Kuno, Rakai Layang Dyah Tulodhong kepada Bhagawanta Bhari. Berkat tanggul yang dibangunnya di Sungai Harinjing, banjir dapat dicegah. Hasil pertanian pun meningkat. "Ada juga yang dapat anugerah karena menyeberangkan orang di sungai. Kemudian ada juga karena mengamankan wilayah pada pesta perkawinan raja. Ini dalam Prasasti Mantyasih (907)," kata Mimi. Baca juga:  Jabatan untuk yang Berjasa Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia,menjelaskan bahwa seorang raja berhak memberikan hak khusus atau istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang. Dalam hal ini raja berada di puncak hierarki pelapisan sosial. "Data prasasti membuktikan daftar hak istimewa yang diberikan raja semakin panjang pada masa Kadiri dan Majapahit," tulis Ninie dalam Airlangga Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI . Anugerah raja berupa hak-hak istimewa, seperti kepemilikan jenis budak tertentu, mendapat status sima, memiliki dayang, dan pengikut seperti raja. Pada perkembangan selanjutnya, hak istimewa dapat berupa gelar kehormatan, hak memakai atribut tertentu, dan hak untuk memiliki model bangunan tertentu. "Kebiasaan menganugerahi hak-hak istimewa ini dianut dan menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh raja-raja Janggala, Kadiri, dan berlanjut hingga zaman Majapahit," tulis Ninie.

  • Suka Duka Bertugas di Sumatera

    Di masa tuanya, Kolonel (Purn) A.E. Kawilarang nyaris selalu bercerita kisah yang sama jika bertemu dengan Letnan Jendral (Purn) Ibrahim Adjie. Kepada kawan seperjuangannya semasa bergerilya melawan tentara Belanda itu, Alex (panggilan akrab sang kolonel) mengaku perutnya pernah “diselamatkan” oleh Adjie. Bagaimana ceritanya? Syahdan ketika mereka ditugaskan ke Sumatera Utara pada sekira awal 1949, Alex (yang saat itu berpangkat letnan kolonel), Utaryo (berpangkat mayor) dan Adjie (berpangkat mayor) terdampar di suatu kawasan tempat gembala, beberapa ratus meter dari Kampung Pernantin. Baca juga:  Kisah Lucu di Sungai Pakuanan Karena merasa lapar, mereka lantas bergerak ke arah pasar. Setelah setengah jam berjalan-jalan, nampaklah oleh mereka sebuah kedai bubur kacang hijau yang banyak dikunjungi para pembeli. Alex yang terlihat lebih antusias lantas mengajak kedua kawannya untuk singgah. Sayangnya, sejak Perjanjian Renville diberlakukan (Februari 1948), wilayah tersebut dimasukan dalam kekuasaan Belanda. Hingga alat jual beli yang berlaku pun hanya “uang merah” alias “uang NICA”. “Sedangkan kami hanya punya uang Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) dan Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuli (ORITA),” kenang  Kawilarang seperti pernah dikisahkan dalam otobiografinya Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH). Jadilah mereka hanya duduk-duduk saja di kedai itu. Sekali-kali ya menelan ludah melihat para pembeli dengan rakus menyantap bubur kacang hijau. Saat “situasi kritis” itulah Mayor Adjie yang dari tadi terus memperhatikan situasi sekitar, tetiba mendekati kedua rekannya. “Willen Julie ook bubur?” tanya Adjie. Orang-orang di kedai mulai memperhatikan mereka. Melihat situasi seperti itu, Alex hanya  mengangkat bahunya dan menggerakan jempol dan telunjuknya yang mengartikan bahwa dia tidak punya uang. “Ik heb wel ” (saya punya),” ungkap Adjie sambil membuka dompetnya. Ada sekira ada enam lembar puluhan rupiah uang NICA di sana. Karena harganya semangkok bubur hanya 5 sen maka serempak mereka memesan makanan yang sudah sejak dari awal memesona mereka. “Utaryo dan Adjie masing-masing menghabiskan dua mangkok, sedangkan saya tiga mangkok,” kenang Alex. * Berbeda dengan para seniornya, para perwira yang baru lulus dari Akademi Militer (MA) Yogyakarta justru menemui situasi menegangkan saat melakukan long march ke Sumatera Utara. Rombongan yang dipimpin oleh Letnan Satu HAKI Chourmain dicegat oleh Barisan Harimau Liar pimpinan A. Simarmata di Panyabungan. Baca juga:  Cara Panggabean Permalukan Gerombolan Pengacau Keamanan Awalnya rombongan perwira MA diperlakukan secara baik. Mereka diberikan makanan dan tempat peristirahatan secukupnya. Namun di hari ke-3, A. Simarmata memangil semua anggota rombongan. Dalam wajah yang bengis, dia lantas menyatakan ketidakpercayaannya kepada rombongan MA. “Apa betul saudara-saudara ini opsir dari Jawa? Jangan-jangan saudara-saudara adalah anak buah Bejo (Mayor Bejo). Perlu saudara ketahui, kalau Bejo itu adalah musuh saya yang paling utama! Dan saya mengira kalian ditugaskan untuk menyelidiki pasukan saya? Apa buktinya jika saudara-saudara adalah opsir dari Jawa?” katanya. Setelah bisa membuktikan bahwa mereka betul perwira lulusan MA (lewat selembar foto pelantikan mereka  yang dibawa oleh Letnan Dua Moh.Hani), Simarmata seolah tak habis alasan. Dia malah meminta para perwira MA untuk meninggalkan senjatanya masing-masing dan perbekalan obat-obatan. Suasana tegang mewarnai pertemuan. Letnan Satu HAKI nampak tegang dan menahan marah. Kebetulan pada saat itu dia memegang tongkat yang ujungnya berupa kampak besi dan persis ada di dekat Simarmata. “Jo sirahe dekne tak kampak-e , paling-paling mati bareng,” bisik HAKI kepada rekannya, Letnan Satu Soedirdjo.  Tentu saja demi alasan keamanan semua anggota rombongan, niat itu dicegah oleh Soedirdjo. Pada akhirnya “resmilah” rombongan perwira MA dirampok Barisan Harimau Liar. Bahkan tidak hanya senjata dan obat-obatan, anak buah Simarmata pun merampas barang-barang berharga seperti emas dan perhiasan. Demikian kisah yang terbuhul dalam Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya karya Daud Sinjal. Baca juga:  Lelucon Para Kadet

  • Sukarno Kecelek

    Meski ayahnya bekerja sebagai guru, Sukarno mengaku kehidupan keluarganya tergolong miskin. Gaji ayahnya saat itu f 25 per bulan. Setelah dikurangi untuk sewa rumah per bulan, ayahnya hanya punya f 15 untuk menghidupi istri dan dua anaknya selama sebulan.   Karena kemiskinan itulah ibunya membeli padi karena tak mampu membeli beras. Padi yang dibelinya itu lalu ditumbuknya sampai menjadi beras. “Dengan melakukan ini aku menghemat uang satu sen. Dan dengan uang satu sen kita dapat membeli sayuran, Nak,” kata sang ibu menjelaskan pada Sukarno, dikutip Sukarno dalam otobiografinya,  Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Tak sampai hati melihat ibunya tiap hari bekerja keras demi kelangsungan hidup kedua anaknya, bocah Sukarno pun rutin membantu. “Semenjak hari itu dan seterusnya selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku menumbuk padi untuk ibuku,” kata Sukarno. Bakti bocah Sukarno tak sampai di situ saja. “Aku menjadikan sungai sebagai kawanku, karena ia menjadi tempat di mana anak-anak yang tidak punya dapat bermain dengan cuma-cuma. Dan ia pun menjadi sumber makanan. Aku senantiasa berusaha keras menggembirakan hati ibu dengan beberapa ekor ikan kecil untuk dimasak.” Karena perkara mencari ikan untuk ibunya itulah suatu hari Sukarno sampai dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Pasalnya, Sukarno pulang terlalu larut. “Ketika aku sejam kemudian melonjak-lonjak gembira pulang dengan membawa ikan kakap untuk ibu, bapak menangkapku, merampas ikan dan semua yang ada padaku, lalu aku dirotan sejadi-jadinya,” sambung Sukarno. Sukarno mengakui, dia takut kepada ayahnya. Sang ayah meski menyayangi anak-anaknya tapi merupakan orang yang keras dalam mendidik. Sukarno acap kena merah sang ayah ketika kedapatan melakukan hal-hal yang tak patut di mata sang ayah. Rasa takut Sukarno pada ayahnya itu tetap terbawa kendati dia telah beranjak remaja. Itu dibuktikan dengan sebuah kisah yang dialami Sukarno. Suatu sore, Sukarno yang sedang dimabuk “cinta monyet” berjalan-jalan santai dengan Rika Meelhuysen, teman sekolah yang jadi gadis pujaan hatinya. Keduanya berboncngan menaiki sepeda. Ketika mencapai sebuah tikungan di ujung jalan, sepeda yang dikemudikan Sukarno itu menabrak seorang bapak. Ternyata itu merupakan ayah Sukarno. “Aku mulai menggigil karena takut. Dia bersikap hormat, tapi aku sangat kuatir akan apa yang akan menyusul nanti kalau aku sudah sampai di rumah,” kata Sukarno. Ketakutan Sukarno lebih disebabkan karena dia kedapatan bermain dengan orang Belanda di saat diskriminasi rasial masih kuat dan itu amat dibenci ayahnya. “Aku yakin bahwa bapak akan sangat marah kepadaku kalau sekiranya ia mendengarku bergaul dengan anak gadis kulit putih.” Siap-tak siap akan kemarahan apa yang bakal ditimpakan ayahnya kepadanya, Sukarno pun memberanikan diri pulang. Dia menyusup ke rumah demi tidak tertangkap basah oleh sang ayah. Toh, sang ayah akhirnya mengetahui juga dia sudah di rumah. Hatinya masih dagdigdug ketika sang ayah mendekatinya. Namun alih-alih mendapatkan kalimat yang mewakili amara murka ayahnya, Sukarno justru mendengar kalimat sang ayah yang jauh dari perkiraannya. “Nak, jangan kau takut tentang perasaanku terhadap teman perempuanmu itu. Itu baik sekali. Pendeknya, hanya dengan jalan itu engkau dapat memperbaiki bahasa Belandamu!” kata sang ayah sambil memotivasi anaknya lantaran gagal masuk sekolah rendah akibat kurang di mata pelajaran bahasa Belanda.

  • Di Balik D-Day, Gebrakan Menentukan di Normandia

    TANPA cuaca baik 76 tahun lampau, mungkin tatanan politik saat ini berbeda karena jalannya Perang Dunia II mungkin akan lain. Panglima Sekutu di pelagan Eropa Jenderal Dwight D. Eisenhower percaya itu jawaban Tuhan akan doanya agar invasi ke Normandia, D-Day, bisa segera terlaksana. D-Day , 6 Juni 1944 , yang merupakan operasi militer gabungan skala besar untuk menerobos Tembok Atlantik adalah jawaban atas segala tekanan yang membebani Sekutu sejak Jerman mencengkeram Eropa Barat empat tahun sebelumnya. R encana operasin ya sempat nyaris runyam karena cuaca buruk . “Dalam perencanaan Sekutu, sebenarnya timetable- nya 5 Juni. Tetapi karena cuaca sangat buruk dan tidak memungkinkan menggerakkan konvoi dari pantai Inggris menyeberang ke Normandia, diputuskan Eisenhower pada 4 Juni untuk menunda lagi 24 jam (menjadi tanggal 6 Juni),” ungkap sejarawan Eduard Lukman dalam bincang buku live di Instagram @bukukompas, Jumat (5/6/2020) petang. “Ini krusial karena tidak ada pilihan lain. Selain karena ratusan ribu pasukan sudah terlalu lama di laut, kapal-kapalnya juga harus mengisi bahan bakar yang tak cukup waktu 1-2 hari. Kalau ditunggu cuaca baik dengan kalkulasi para ahli meteorologinya, pasang-surut di Normandia baru kembali normal dua minggu kemudian,” sambungdosen pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia itu. Baca juga: Riwayat  Blitzkrieg , Serbuan Kilat ala Nazi Jenderal Dwight David Eisenhower bicara pada para pasukannya menjelang D-Day (Foto: Library of Congress) Campur tangan Tuhan hanya satu dari sekian faktor penting dalam operasi bersandi Overlord itu. Faktor-faktor lain yang turut menentukan kesukesannya itu akan dihadirkan dalam edisi revisi dan penambahan dalam buku Perang Eropa, Jilid III karya mendiang PK. Ojong pada akhir Juni 2020. Menurut Patricius Canahar, editor Penerbit Buku Kompas yang memandu bincang live itu, buku karya PK. Ojong itu akan memuat sejumlah bab tambahan baru yang mencurahkan detail tentang latarbelakang, persiapan, hingga intrik-intrik jelang operasi pendaratan amfibi terbesar di dunia itu yang belum sempat dimuat semasa PK. Ojong masih hidup. Tidak hanya di pihak Sekutu, penambahan juga akan membuka lebih luas kondisi Jerman menghadapi serbuan kolosal itu. Tak ketinggalan, ada penambahan bab tentang inovasi teknologi militer termutakhir era itu. Adu Ego Satu faktor penting lain di balik invasi itu adalah tuntutan pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin. Pada Konferensi Tehran, 28 November-1 Desember 1943, ia mendesak dua sekutunya, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt, untuk membuka front kedua. “Sejak awal 1943 di Pertempuran Stalingrad di front timur, Jerman mulai terdesak terus mundur, inisiatif ada di pihak Soviet. Di barat belum ada front kedua dan itu yang dituntut Stalin di Tehran. Lalu diputuskan membuka front kedua di Prancis,” sambung Edu. Churchill sebetulnya ingin membuka front kedua di Balkan atau Yunani, di sana pertahanan Jerman lebih lemah ketimbang Tembok Atlantik di Prancis. Pemikiran Churchill punya maksud perhitungan geopolitik ke depan, yakni agar selepas perang, Eropa Timur tak dikuasai semata oleh Soviet. Namun, ada ego Amerika yang “main” argumendengan Inggris. “Akhirnya Amerika mengatakan, kita harus masuk dari Prancis langsung ke jantung Jerman. Karena Amerika mengatakan, kami sudah dua kali mengalah. Pertama, ketika Operasi Obor (8-16 November 1942) di Afrika Utara. Lalu,pendaratan di Pulau Sisilia dan Italia. Jadi apapun risikonya walau Jerman lebih kuat kami ingin maju ke Atlantic Wall . Itulah yang diperdebatkan. Lalu tempat sudah pasti, Prancis. Tapi kapan waktunya? Musim semi 1944,” imbuhnya. "The Big Three" di Konferensi Tehran, ki-ka: Joseph Vissarionovich Stalin, Franklin Delano Roosevelt, & Sir Winston Leonard Spencer-Churchill (Foto: Library of Congress) Setelah Churchill “mengalah”, diungkitlah Operasi Overlord yang sejatinya perencanaanya sudah dipikirkan sejak 1942. Untuk memberi pukulan pamungkas terhadap Jerman, toh Sekutu menganggap pendaratan di Eropa Barat tetap akan dilakoni.Persoalanutamanya hanyalah waktu. “Operasi itu dimatangkan lagi pada 1943 dan yang diberi tugas merancang operasi militernya adalah Letjen Frederick E. Morgan. Pada Agustus 1943 ia merepresentasikan rancangannya itu di depan pimpinan-pimpinan tertinggi Sekutu, di mana operasi itu akan melibatkan matra darat, laut, dan udara dengan dua juta personil darat, sekitar 1.200 kapal , dan 11 ribu pesawat berbagai jenis,” tambah Edu. Baca juga: Operasi Culverin, Gagasan Churchill Menginvasi Sumatera Pantai Normandia jadi sasarannya dengan lima titik pendaratan. Masaing-masing diberi sandiUtah dan Omaha (Amerika), Gold dan Sword (Inggris), dan Juno (Kanada). Selesai urusan sasaran, timbul permasalahan baru mengenai siapa yang bakal mengomandoi, minimal pada pendaratan gelombang pertama yang akan melibatkan 150 ribu personil. Pasalnya, ada dua jenderal jago perang yang sama-sama punya ego tinggi: Marsekal Medan Bernard L. Montgomery dari Inggrisdan Jenderal George Patton dari Amerika. “Itu kemudian jadi perdebatan. Dan satu yang membedakan karakter Eisenhower adalah kualitasnya sebagai manajer. Reputasi di medan tempur mungkin masih di bawah Patton, tapi dia kemudian mampu menjembatani perbedaan paham keras-kerasan antara jenderal-jenderal Inggris dan Amerika, utamanya Montgomery dan Patton. Dia harus bisa seperti diplomat, toh yang ia pimpin jenderal-jenderal yang egonya kuat,” lanjutnya. Dengan beragam pertimbangan, Eisenhower lantas menjatuhkan pilihannya pada Montgomery untuk memimpin pasukan darat dengan komandan lapangannya Jenderal Omar Bradley dari Amerika. Sokongan kekuatan udara dipercayakan pada Marsekal Udara Trafford Leigh Mallory, juga dari Inggris, sebagaimana Laksamana Bertram Ramsay yang bertanggung jawab atas ribuan konvoi kapal pendaratan. Tiga jago perang di pihak Sekutu, ki-ka: Jenderal George Smith Patton Jr., Letjen Omar Nelson Bradley, & Marsekal Bernard Law Montgomery (Foto: Imperial War Museum) Baca juga: Ketika Mimpi Hitler Menginvasi Inggris Tak Terwujud Untuk menjaga unsur surprise agar tak diketahui pihak Jerman, Sekutu lalu melancarkan beberapa operasi pengecohan. Pengecohan itu agar Jerman selalu mengira Sekutu akan mendaratdi Pas-de-Calais, pantai yang lebih dekat posisinya dengan Dover, Inggris, ketimbang Normandia. “Amerika lantas merancang Ghost Army sebagai bentuk pengecohan. Jerman sebelumnya yakin Sekutu akan mendarat di Calais yang dekat untuk mempermdah logistik dan pengawalan oleh pesawat-pesawat Sekutu. Logika ini dipertahankan oleh Sekutu yang membuat rekayasa konsentrasi pasukan di Dover di bawah komando Patton,” sambung Edu. “Pengecohan dibuat sedemikian rupa padahal sebetulnya kekuatan-kekuatan yang diintai Jerman adalah alutsista-alutsista pesawat dan tank dari karet, kayu, dan macam-macam. Ditambah lagi dengan Operasi Bodyguard, di mana agen-agen Inggrismensuplai informasitentang konsentrasi di Calais agar Jerman tambah percaya, mengandalkan mesin kode Enigma yang dirampas dari kapal selam Jerman.” Firasat Hitler soal Normandia Dalam persiapan nya di Prancis, Jerman pu nya dua generalfeldmarschall jago taktik dan strategi yang mengawal Tembok Atlantik: Gerd von Rundstedt dan Erwin Rommel. Sayangnya keduanya tak akur. Rundstedt, lanjut Edu , dengan keyakinan Sekutu bakal mendarat di Calais menganggap, harus meng hadapi nya secara mobile karena Jerman kekurangan sumber daya. “Normandia dikawal pasukan Jerman yang mutunya kurang baik dan perlengkapannya kurang. Mereka terdiri dari divisi-divisi yang sebelumnya babak belur di front timur. Ada sekitar 10 divisi tapi paling-paling hanya separuhnya yang kondisinya baik. Itu yang jadi argumentasi Rundstedt dengan Rommel. Ternyata di pihak Jerman pun tidak solid,” papar Edu. Sementara, Rommel lebih memilih menghadapi Sekutu dengan memperkuat pertahanan pantai. Alasan Rommel lebih masuk akal karena kalau memakai ide pertahanan mobile Rundstedt, butuh pasokan logistik yang lancar dan itu hampir mustahil karena ruang udara sudah dikuasai Sekutu yang dengan mudah bisa melihat manuver dan jalur logistik Jerman. Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun Adolf Hitler (kanan) sampai datang ke Margival, Prancis pada 17 Juni untuk menyemangati pasukannya namun Jerman tetap gagal memukul mundur Sekutu dari Normandia (Foto: ajpn.org ) “Akhirnya Hitler campur tangan dan dia mengambil keputusan kompromis antara dua jago perangnya itu. Rommel diizinkan membangun pertahanan pantai dengan sumber daya seadanya dan Rundstedt tetap diizinkan pula menyimpan rencana perang mobile . Tapi sebenarnya Hitler sudah punya firasat dan dugaan tersendiri bahwa Sekutu akan mendarat di Normandia,” katanya lagi. “Makanya Hitler juga menempatkan Divisi Panser SS di Normandia tapi hanya boleh digerakkan atas perintah Hitler, bukan Rommel atau Runstedt. Ketika divisi itu boleh digunakan, kelak sudah terlambat karena Sekutu sudah masuk terlalu dalam dari Normandia,” imbuh Edu. Faktor terakhir yang membuat Jerman bonyok di Normandiaadalah insiden ledakan bom di markas Hitler di Rastenberg, 20 Juli 1944 . Imbasnya, semua jenderal Jermandicurigai. Rommel dipaksa bunuh diri, lantas Runsdtedt dicopot dari jabatan Oberbefehlshaber West (panglima pasukan Jerman di front Barat). “Rundstedt lagipula tak disukai gaya kepemimpinannya oleh Hitler, tapi lucunya pada September 1944 dia diangkat lagi. Tetapi semua keputusan kemudian diambil oleh Hitler. Dia tak percaya lagi pada laporan-laporan para panglimanya yang lebih realistis. Dia menciptakan bayangannya sendiri di kepalanya akan kekuatan Jerman dan sebaliknya melemah-lemahkan kekuatan Soviet dan Sekutu dan itu blunder yang membuatnya kalah sejak Agustus 1944 di Prancis Utara,” tandas Edu. Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal

bottom of page