Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pembantaian Penduduk Desa Kondomari oleh Serdadu Jerman-Nazi
DALAM perjalanan ke Desa Kondomari, sekira tiga kilometer dari lapangan terbang Maleme di Pulau Kreta, Yunani, Franz Peter Weixler, fotografer XI Fliegerkorps Division Wehrmacht (AD Jerman), sempat singgah di Desa Maleme. Di sana dia ditunjukkan kondisi beberapa mayat prajurit Jerman yang membusuk oleh Kapten Horst Trebes, komandan salah satu kompi di Batalion II Resimen Badai Lintas Udara 1 AD Jerman. Weixler dan Trebes pun berdebat. Weixler menyatakan mayat-mayat itu membusuk bukan disebabkan oleh penyiksaan yang dilakukan penduduk, tapi Trebes bersikeras mayat-mayat itu membusuk akibat siksaan penduduk. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke Desa Kondomari, tempat di mana Trebes akan memimpin ekspedisi untuk menghukum penduduk desa yang diyakini menyiksa tentara Jerman dalam Pertempuran Kreta (Mei-Juni 1941). Pertempuran Kreta terjadi pada fase awal Perang Dunia II. Merebut Kreta mendadak jadi obsesi Hitler setelah berhasil menduduki Yunani daratan pada April 1941. Upaya meyakinkan yang terus diutarakan jenderal-jenderalnya di Luftwaffe (angkatan udara) membuat Hitler khawatir Kreta, yang masih dikuasai Inggris (Sekutu), akan dijadikan sebaagi basis untuk menyerang pangkalan minyak terpenting Jerman di Rumania, Ploiesti, dan serangan-serangan lain di sisi selatan daratan Eropa. Hitler jadi ragu karena dia mesti membagi fokus yang tadinya tercurah seluruhnya untuk pematangan rencana invasi ke Uni Soviet. Meski ditentang banyak jenderalnya di Komando Tinggi Tentara Jerman yang masih disibukkan dengan perencanaan Operasi Barbarossa (invasi Jerman ke Soviet), Hitler akhirnya memutuskan untuk menyerang Kreta dan merebut tempat-tempat strategis, terutama tiga bandara yang ada, lewat Operasi Mercury. Operasi yang ditetapkan berjalan pada 20 Mei 1941 dan dipimpin Jenderal Kurt Student, komandan XI Flieger Division, itu menjadi operasi udara skala besar pertama di dunia yang mengkombinasikan penggunaan pemboman udara, penerjunan pasukan para, dan penggunaan pesawat layang ( glider ). Lantaran waktu yang mepet, persiapan pun dilakukan secara tergesa-gesa. Banyak pesawat Luftwaffe yang sedang bertugas langsung dipulangkan untuk perbaikan guna menjalankan Operasi Mercury. Begitupula para personil, mereka mendapat pelatihan kilat operasi udara dan pembekalan lain. “(Kapten Rudolf, red .) Witzig dan pasukan terjun payungnya menerima jatah khusus, yang bertujuan untuk membangun moril dan meningkatkan stamina fisik dalam persiapan untuk penerjunan tempur yang akan datang. Ransum mereka termasuk barang-barang yang dianggap mewah oleh tentara Jerman. Bagi sebagian besar pasukan terjun payung, ini adalah makan terakhir yang akan mereka makan untuk beberapa waktu; bagi banyak orang itu akan menjadi makanan terakhir mereka sekaligus,” tulis Gilberto Villahermosa dalam Hitler’s Paratrooper: The Life and Battles of Rudolf Witzig . Apa yang ditakutkan banyak personil Jerman itu menjadi kenyataan pada 20 Mei 1941 ketika Hitler melancarkan Operasi Mercury dengan sasaran awal Bandara Maleme. Perlawanan dari pasukan Persemakmuran Inggris, terutama Batalyon ke-22 dan ke-23 AD New Zealand, yang bahu-membahu dengan personil militer Yunani dan milisi-milisi setempat begitu kuat. “Serangan terhadap Maleme oleh Grup Barat dipelopori oleh LLStR (Luftlande Sturm Regiment) yang dipimpin Mayjen Eugen Meindl. Pendaratan awal glider pada pukul 07.15, setelah bombardir intensif Luftwaffe, dilakukan oleh unit 3.1/LLStR Letnan Satu Wulf von Plessen di mulut sungai, tujuannya adalah baterai AA. Sasaran ini cepat diserbu tetapi von Plessen terbunuh. Beberapa menit kemudian, glider-glider 4.1/LLStR Kapten Kurt Sarrazin mendarat tepat di selatan Bukit Kavkazia. Wadan-yon, Walter Koch, menemani mereka tetapi segera terluka, dan Sarrazin terbunuh tak lama kemudian. Stabskompanie Mayor Franz Braun mendarat di sekitar jembatan di atas dasar sungai; Braun segera terbunuh. Meindl dan ajudannya, Letnan satu Von Seelen, terluka parah dan, karena Koch juga absen dan Braun tewas, komando untuk sementara diambilalih Dr Heinrich Neumann, perwira senior yang selamat. Tujuh puluh dua orang dari komando di bawah Letnan Peter Murbe diterjunkan bermil-mil ke barat untuk merebut landasan terbang yang belum selesai di Kastellin Kissamos dan menderita secara mengerikan di tangan para pejuang Kreta. Akhirnya, III/LLStR Mayor Otto Scherber yang turun ke desa Maleme sendiri untuk menyerang lapangan terbang dari timur tetapi kebanyakan prajuritnya mendarat di tengah Batalyon ke-23 Selandia Baru dan Sherber terbunuh juga, bersama dengan sebagian besar anak buahnya,” tulis Bruce Quarrie dalam German Airborne Divisions: Blitzkrieg 1940-41. Meski akhirnya berhasil merebut Kreta, Jerman kehilangan banyak serdadu cakapnya. Momen-momen sejak pendaratan awal hingga gerak maju tentara Jerman itu diabadikan Weixler dengan kameranya. Termasuk yang diabadikan Weixler adalah tempat tahanan para tentara Sekutu yang tertawan. Ketika sedang di mess-nya yang berada di Chania, ibukota Kreta, pada 2 Juni 1941, Weixler kedatangan seorang perwira muda. Dia diberitahu agar menyaksikan hal menarik sore nanti, berupa ekspedisi penghukuman terhadap penduduk. Menurutnya, langkah penghukuman terhadap penduduk itu diambil untuk membalas aksi mereka yang menyebabkan banyak kematian di pihak pasukan Jerman dan juga banyak penduduk itu memutilasi para prajurit Jerman yang terluka dan sekarat. “Komando tertinggi Luftwaffe telah diberitahukan tentang hal ini beberapa hari sebelumnya, dan perintah telah diterima dari (kepala Luftwaffe Marsekal Hermann) Goering yang menurutnya tindakan paling tajam, yaitu penembakan terhadap penduduk pria berusia antara 18 dan 50 tahun, akan dilakukan,” kata perwira itu, dikutip Weixler dalam testimoninya untuk persidangan Hermann Goering di pengadilan penjahat perang Nuremberg. Melihat rencana mengerikan itu, Weixler segera menemui beberapa perwira di sekitarnya, antara lain Mayor Stenzler. “Saya mengatakan kepada Stenzler bahwa pada hari-hari pertama pertempuran saya telah melihat burung nasar memilih mayat rekan-rekan kami. Saya mengingatkan si mayor bahwa kami melihat kawan-kawan setengah membusuk yang tak terhitung banyaknya, tetapi kami belum pernah melihat satu pun pembunuhan atau pembantaian, dan saya akan menganggap melaksanakan perintah Goering sebagai pembunuhan langsung. Saya memohon kepada Mayor Stenzler untuk tidak mengirim ekspedisi hukuman,” sambung Weixler. Upaya Weixler gagal sehingga dia menemui Kapten Horst Trebes, komandan kompi salah satu grup para. Lagi-lagi, Weixler gagal menghentikan upaya penghukuman. Dia akhirnya ikut ke dalam rombongan Trebes yang –berisi seorang penerjemah, seorang letnan, dua sersan, dan sekira 25 prajurit para dari Batalion Ke-2– bergerak ke Desa Kondomari. Begitu rombongan tiba, para prajurit langsung turun ke rumah-rumah penduduk dan kembali dengan membawa penduduk. Penduduk itu dikumpulkan di alun-alun kecil desa. “Seorang tentara Jerman lalu mengeluarkan mantel penerjun payung yang ia ambil di salah satu rumah, dan itu memiliki lubang peluru di bagian belakang. Trebes segera membakar rumah itu. Seorang pria mengaku telah membunuh seorang tentara Jerman, tetapi tidak mungkin untuk menghukum yang lainnya karena kejahatan atau penjarahan, dan karena itu saya meminta Trebes untuk menghentikan tindakan yang dimaksud,” kata Weixler. Trebes tetap mengacuhkan permintaan Weixler. Kemudian, kata Weixler, “Trebes memerintahkan untuk memisahkan laki-laki dari perempuan dan anak-anak; kemudian dia meminta penerjemah memberitahu para perempuan itu bahwa semua pria akan ditembak karena membunuh tentara Jerman, dan mayat-mayat itu harus dikebumikan dalam waktu dua jam. Ketika Trebes membalikkan badannya selama beberapa saat, saya memungkinkan melarikan sembilan orang menyelamatkan diri. Trebes menyuruh orang-orang itu membentuk setengah lingkaran, memberi perintah untuk menembak, dan setelah sekitar lima belas detik, semuanya berakhir.” Sejumlah 26 penduduk pria desa Kondomari pun meregang nyawa. Hal itu membuat Weixler tak bisa terima. “Saya bertanya kepada Trebes, yang cukup pucat, apakah dia menyadari apa yang telah dia lakukan, dan dia menjawab bahwa dia hanya menjalankan perintah Hermann Goering, dan membalas kawan-kawannya yang sudah mati. Beberapa hari kemudian dia menerima Knights Cross dari Goering karena ‘keberaniannya,’ di Kreta.” Prosesi penembakan penduduk tak bersenjata itu diabadikan Weixler menggunakan kameranya. Meski Weisler menyerahkan negatif foto kepada atasannya dan menandatangani pernyataan bahwa tidak memiliki salinannya, Weixler sebetulnya berbohong karena dia sempat menduplikat negatif itu dan mengirimkannya ke rekannya di Athena. Negatif salinan itulah yang kemudian dicetak oleh rekannya. Karena tersebarnya gambar eksekusi itu, yang sebetulnya ditujukan untuk propaganda militer Jerman, Weixler pun dipecat dari militer dan ditahan. “Salah satu alasan dakwaan saya adalah fakta bahwa saya telah memberi tahu teman-teman kebenaran tentang kesatuan parasut di Kreta pada Mei 1941, dan juga bahwa saya telah mengambil gambar di sana.” Weixler yang berharap dihukum mati, tapi tak pernah mendapatkannya. Selamatnya dia dari tahanan Gestapo usai Jerman kalah perang justru menjadikannya bisa membuka fakta kejahatan perang Jerman di Kreta dalam Pembantaian Kondomari. Pada November 1945, dia menulis testimoni untuk pengadilan kasus kejahatan perang yang melibatkan Hermann Goering di Pengadilan Nuremberg. Salinan testimoni bertulis tangan itu kini tersimpan di Cornell University, Amerika Serikat.
- Jurus Roem Menolak Sukarno
Pada 1967, upaya Mohamad Roem menghilangkan kenangan pahitnya bersama Sukarno terancam gagal. Pembicaraan dengan calon besannya (Mas Suryo) tentang tamu undangan di acara pernikahan putrinya malah membuka luka lama bagi Roem. Belum juga genap setahun terbebas dari tahanan, dia harus kembali berurusan dengan sosok si pemberi trauma. Peristiwa penangkapan beberapa tokoh oleh Sukarno, termasuk Roem, pada 1962 akibat perbedaan pandangan politik masih begitu membekas di ingatan Roem. Diceritakan di dalam bukunya Bunga Rampai dari Sejarah , dia hampir mendekam di penjara selama empat tahun sebelum akhirnya bebas pada 1966. Meski sudah berusaha memaafkan perbuatan Sukarno di masa lalu, Roem tetap menyimpan sedikit rasa tidak suka. Pembicaraan tentang siapa saja yang akan diundang di acara sakral itu awalnya berjalan menyenangkan bagi Roem. Dia dan Mas Suryo saling memberi rekomendasi tamu undangan yang sama-sama dikehendaki. Sampai kemudian mantan Menteri Luar Negeri Kabinet Natsir ini dihadapkan dengan satu nama: “Mas Karno”. “Bagi saya akan sulit sekali untuk tidak mengundang Mas Karno. Mas Roem tahu hubungan saya sekeluarga selama ini dengan Mas Karno. Dalam politik kami sudah jauh terpisah. Malah waktu akhir ini semakakin jauh, dan sering saya memperingatkan dia. Di samping itu hubungan sudah seperti hubungan famili. Dalam keadaam dia seperti sekarang ini, mungkin dia akan sakit hati kalau tidak saya undang. Saya harap dengan sangat Mas Roem mempunyai pengertian untuk kesulitan saya ini. Mungkin dia tidak akan datang. Bagi saya sudah cukup kalau saya menyampaikan undangan,” ujar Mas Suryo coba membujuk Roem. Roem awalnya tidak tahu menahu siapa sosok yang disebut oleh calon besannya ini. Tidak sedikitpun dia mengira Mas Karno ini adalah seseorang yang dikenalnya. “Siapa Mas Karno?” tanya Roem. Mas Suryo agak keherananan mendengar pertanyaan Roem. “Mas Karno, Presiden Sukarno,” jawabnya. Roem terdiam. Tak disangka dia akan mendengar nama itu dari mulut calon besannya. Roem mengaku sudah tidak memiliki kebencian terhadap Sukarno, tetapi baginya agak sulit untuk menghormati Sukarno sebagai tamu di rumah sendiri. Dia pun merasa tidak memiliki kedekatan secara khusus dengan Presiden RI yang pertama itu. Karenanya bukan sebuah kewajiban untuk memberi undangan kepadanya. “Kalau Mas Suryo minta agar penulis (Roem) mempunyai pengertian terhadap dirinya, penulis dapat minta pengertian bagi perasaan penulis. Tapi pengertian diadu dengan pengertian rasa-rasanya tidak sedap,” ucap Roem. Demi mencegah pertemuan yang tidak diinginkan tersebut, Roem berusaha membujuk si calon besan agar membatalkan niatnya mengundang Sukarno. Mas Suryo sebetulnya sudah menjelaskan bahwa Sukarno belum tentu bisa hadir di acara pernikahan tersebut, tetapi Roem tidak ingin mengambil resiko. Di satu sisi Roem tidak menginginkan kehadiran Sukarno, tetapi dia juga tidak bisa asal menolak. Dia harus tetap menjaga kesan baik di depan bakal besannya ini. Agar tidak terkesan memaksa, Roem membujuk dengan memberikan gambaran kepada bakal besannya sisi buruk jika seorang presiden datang ke acara pernikahan itu. Sebagai seorang diplomat ulung tidak ada yang meragukan kemampuan berbicara Roem. Kali ini pun dia mampu memanfaatkan kemampuan itu dengan sebaik mungkin. “Semua perhatian dan semua mata orang ditujukan kepada Sukarno. Dan Sukarno memang seorang yang sedap dilihat dan senang dilihat, ditambah dengan kemampuannya untuk menarik perhatian. Apakah Mas Suryo akan senang, pada waktu putra Mas Suryo menjadi mempelai yang ganteng, semua tamu pada melihat orang lain? Saya juga tidak akan menerima, kalau anak saya tidak dipandang yang paling cantik dan paling menarik pada saat yang berbahagia itu,” tegas Roem. “Mas Suryo, menurut kepercayaan orang Jawa jadi pengantin itu sama dengan jadi raja. Karena itu pengantin boleh memakai kembang melati, yang biasanya menjadi prerogatip raja. Sukarno pada saat ini masih semacam raja. Biarlah pada saat-saat itu anak-anak kita saja yang jadi raja,” lanjutnya. Pernyataan itu dikeluarkan dengan sedikit emosi dari dalam diri Roem. Dia benar-benar ingin meyakinkan Mas Suryo bahwa persoalan mengundang Sukarno ini bukan perkara mudah baginya. Mendengar hal itu Mas Suryo menyutujuinya. Undangan untuk Sukarno batal diberikan. Roem merasa senang, setidaknya dia bisa memberi alasan yang dapat diterima oleh si bakal besan dan menghindari kesan buruk.
- Sukarno Ingin Patung Terbang
Kecintaannya terhadap seni dan arsitektur menjadi sisi lain Sukarno yang banyak dikisahkan oleh para seniman. Ia gandrung mengoleksi lukisan dan memiliki ketertarikan pada patung. Edhi Sunarso, pematung kesayangannya, pernah dibikin pusing karena harus bikin patung yang terlihat seolah-olah terbang. Pasca Pemilu 1955, Sukarno banyak diundang ke luar negeri. Dalam kunjungannya, ia melihat ikon-ikon yang bisa dibanggakan negara-negara terkemuka. Iapun pulang dengan obsesi baru, membuat monumen-monumen megah sebagai ikon negeri. Yuke Ardhiati, arsitek sekaligus penulis buku Sukarno Sang Arsitek , menyebut sejak itu visi arsitektur Sukarno lebih internasionalis dan abadi. “Beliau maunya arsitektur modern dan semua konstruksinya harus tahan cakaran zaman dengan beton. Jadi konsep keabadian itu sudah menjadi obsesi beliau,” ujar Yuke dalam dialog sejarah daring Historia bertajuk “Bung Karno Sang Arsitek” , Selasa, 2 Juni 2020. Pematung Andalan Edhi Sunarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 2 Juli 1932. Sejak umur belasan tahun, ia bergabung sebagai pejuang revolusi dan tak sempat menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Bakat seninya ditemukan oleh seniman rakyat Hendra Gunawan. Ia kemudian menjadi anggota Sanggar Pelukis Rakyat yang dipimpin oleh Hendra dan Affandi. Kepiawaiannya dalam seni patung membuatnya dilirik Sukarno. Ia kemudian ditantang untuk membangun monumen-monumen di Jakarta yang menjadi obsesi Bung Besar. Kepada Edhi, Sukarno minta proyek tersebut harus jalan jika tidak mau diberikan kepada seniman luar negeri. Berbagai monumen pun dibuat. Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Monumen Pembebasan Irian Barat, hingga Patung Dirgantara yang kini lebih populer sebagai Patung Pancoran. Patung yang disebut terakhir ternyata membuat kewalahan sang seniman. “Beliau mau itu (patung) yang bisa seperti terbang, ya dibikin bentuk seperti itu. Itu cukup rumit teorinya,” kata Yuke. Patung Dirgantara dibangun di tempat strategis yang merupakan pintu gerbang Jakarta Selatan dari lapangan terbang Internasional Halim Perdanakusuma. Lokasi ini berdekatan dengan Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia. Pendiriannya dimaksudkan agar menjadi ikon dunia penerbangan atau kedirgantaraan Indonesia. “Waktu itu saya sedang mengerjakan Monumen Dirgantara. Saya sudah mengumpulkan banyak desain, tetapi tak ada satu pun yang memuaskan Bung Karno,” kata Edhi dalam Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra 1950-1965. Bung Karno pun berkata kepadanya, “Ed, kita ini tidak bisa membuat pesawat terbang, apalagi pesawat tempur. Tetapi waktu zaman revolusi, kita tetap berani menerbangkannya. Jadi, buatlah patung yang bisa menonjolkan semangat keberanian itu. Itulah yang kita punyai. Apa yang kita punya? Kita punya semangat. Kita punya Gatutkaca!” Sukarno kemudian berdiri dengan pose seperti tokoh Gatutkaca di hadapan Edhi, “Cepat Ed! Segera kamu buat sketnya. Seperti ini! Seperti ini!” kata Bung Karno. Maka, Patung Dirgantara simbol penerbangan itu bukanlah pesawat, melainkan seorang manusia yang hendak terbang. Padestalnya yang dikerjakan oleh Ir. Sutami dibuat melengkung untuk mendukung kesan terbang itu. Tak Sempat Lihat Ketika Sukarno lengser, Patung Dirgantara belum jadi. Pengerjaannya memang sempat terhenti karena geger peristiwa 30 September 1965. Namun, Edhi tetap bertekad menyelesaikan patung “manusia terbang” itu. “Dengan spirit yang sepenuhnya mencintai Sukarno, pembangunan patung terus dilangsungkan, sedikit-sedikit, sampai akhirnya merenggut biaya Rp16 juta,” sebut Agus Dermawan T dalam Dari Lorong-Lorong Istana Presiden . Dari biaya Rp16 juta tersebut, ternyata Rp6 juta merupakan uang dari studio Edhi sendiri. Sukarno sendiri sempat menjanjikan akan melunasi kekurangan biaya jika nanti keluar dari Wisma Yaso. “Dengan uangku send i ri, nanti. Negara tidak punya uang. Istana Presiden tidak pernah punya duit!” kata Presiden seperti dikutip Agus. Namun, tampaknya janji itu tak pernah terwujud. Bung Karno tak sempat membayar utang dan bahkan tak boleh melihat patung itu oleh rezim Orde Baru. Patung Dirgantara ternyata menjadi patung terakhir yang dipesan Sukarno dan ia tak pernah melihat si “manusia terbang”. Ia keburu lengser, sakit, dan meninggal ketika patung tengah diselesaikan. “Yang paling menyedihkan, jenazah Bung Karno melintas di bawah patung Monumen Dirgantara yang sedang saya selesaikan. Dan kebetulan saya sedang bekerja di sana,” kata Edhi kepada Agus.
- Sejarah Penerjemahan Alkitab ke Bahasa Sunda
Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV) mengirim tiga zending pertama ke Jawa Barat pada 1863, yaitu C. Albers, D.J. van der Linden, dan G.J. Grashuis. Albers dan Linden untuk menyebarkan agama, sedangkan Grashuis untuk mempelajari bahasa Sunda. NZV didirikan pada 2 Desember 1858 oleh orang-orang yang meninggalkan NZG (Nederlandsche Zendelinggenootschap), lembaga pekabaran Injil terpenting di Belanda, karena menganggap NZG telah dipengaruhi teologi modern. Menurut pandangan mereka, modernisme juga telah menular ke Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG). Mereka khawatir terjemahan Alkitab oleh Lembaga Alkitab Belanda itu akan terjangkit oleh rasionalisme. "Karena itu, NZV segera mengutus seorang ahli bahasa (G.J. Grashuis) dengan tugas mengerjakan Alkitab ke dalam bahasa Sunda kendati Pengurus Pusat (NZV) tahu bahwa NBG pun sedang melakukan persiapan untuk tujuan yang sama," tulis Th. van den End dalam Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat, 1858-1963 . Proses penerjemahan Alkitab ke bahasa Sunda mendapat dukungan dari lembaga berpengalaman, British and Foreign Bible Society di London, yang memberi dukungan keuangan. Menurut Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara, sebagai persiapan menerjemahkan Injil ke bahasa Sunda dan menunggu izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk memulai kegiatan misi, Grashuis belajar kepada K.F. Holle –pemilik perkebunan teh yang tertarik pada kebudayaan Sunda dengan menerbitkan naskah-naskah wawacan untuk pendidikan dan penyuluhan pertanian. Injil Lukas dalam bahasa Sunda terjemahan Grashuis diterbitkan di Batavia (1854) dan Belanda (1866). Namun, Van den End menyebut upaya NZV itu gagal karena terjemahan Injil Lukas karya Grashuis banyak kesalahan, sehingga dia mundur. Pada saat yang sama utusan NBG meninggal dunia. Sementara itu, beberapa utusan Injil, khususnya Geerdink dan Albers, menerjemahkan sendiri bagian-bagian Alkitab untuk dipakai dalam penginjilan dan ibadah. "Dia (Grashuis) mengeluh bahwa usaha-usahanya (seperti terjemahannya atas Injil Lukas) tidak dihargai secara layak oleh atasanya," tulis Laffan. Selain itu, "setelah menanti dua tahun dan gagal mendapatkan izin, sang misionaris frustrasi dan berlayar ke Belanda pada akhir 1865." Pada 1873, Grashuis mengajar bahasa Sunda di Institut Negeri Leiden. Empat tahun kemudian, dia pindah ke Universitas Leiden. Selama periode ini, dia menerbitkan serangkaian tulisan mengenai bahasa Sunda dan Melayu dengan mengulangi artikel-artikelnya dari tahun 1864 serta menerjemahkan contoh teks-teks Islam untuk digunakan para calon pejabat. Sierk Coolsma (1840–1926) tahun 1926. ( geheugen.delpher.nl ). Sama-sama gagal, menurut Van den End, NZV dan NBG kemudian kerja sama. NZV memberikan utusannya, Sierk Coolsma (1840–1926) untuk menerjemahkan Alkitab ke bahasa Sunda pada 1872. Sedangkan NBG membayar gajinya dan menyediakan biaya cetak Alkitab hasil terjemahannya. Atas permintaan Pendeta E.W. King, pengabar Injil awal di Jawa Barat yang mendirikan jemaat Rehoboth di Jatinegara, Coolsma menerjemahkan Injil Matius dan Injil Lukas ke bahasa Sunda. Terjemahannya dinilai positif oleh Dr. Herman Neubronner van der Tuuk, yang pada masa itu masih menjadi utusan NBG. Maka, NBG pun memberi tugas Coolsma untuk menerjemahkan Perjanjian Baru (terbit 1877), Perjanjian Lama (terbit 1882), dan seluruh Alkitab (terbit 1891). Pada 1924, Konferensi para Zendeling memutuskan agar terjemahan Coolsma direvisi ringan. Lima tahun kemudian terbit Perjanjian Baru yang sudah direvisi. "Edisi baru PB (Perjanjian Baru) bahasa Sunda dikerjakan bersama-sama oleh NBG (H. Kraemer) dan NZV (Konferensi para Zendeling). NBG juga mendukung upaya menerbitkan kitab bacaan dari Alkitab dalam bahasa Sunda dan kegiatan menyebarkan Alkitab di Jawa Barat," tulis Van den End. Selain menerjemahkan Alkitab ke bahasa Sunda, Coolsma juga menerbitkan nyanyian untuk sekolah dan gereja (1872), menerbitkan tata bahasa Sunda (1873), menggubah mazmur dan nyanyian rohani (1893), dan menerjemahkan buku tanya jawab tentang teologi. Dr. De Mol van Otterloo, anggota Pengurus Pusat NZV, yang mengunjungi Jawa Barat pada 1939, melaporkan bahwapara utusan Injil di sana tidak biasa menekuni bahasa Sunda. Sesudah Coolsma tidak seorang pun di antara mereka yang sungguh-sungguh mempelajari bahasa Sunda. Coolsma telah meletakkan dasar pengetahuan bahasa Sunda. Seluruh pengetahuan angkatan sesudah dia berdasarkan karyanya itu. Para guru Zending pun disebut lebih "berbahasa Coolsma" daripada berbahasa Sunda. "Maksud saya semenjak Coolsma menyusun kamusnya dan menerjemahkan Alkitab, bahasa Sunda berkembang terus, diperkaya, mengalami perubahan dari berbagai segi," kata Otterloo dikutip Van den End . " Banyak istilah yang dipergunakan Coolsma ketika d ia menerjemahkan Alkitab sudah tidak lagi memadai, bahkan tidak lazim lagi. Di Jawa Barat orang telah menyadari kenyataan itu."
- Kekerasan Rasial Tulsa 1921
DICK Rowland, pemuda berkulit hitam, masuk ke dalam lift Gedung Drexel di Third and Main, Tulsa, Oklahoma. Di lift itu sudah ada Sarah Pages, perempuan kulit putih yang merupakan operator lift. Sejurus kemudian, Rowland meraih lengan Sarah yang membuatnya terkejut dan berteriak. "Ketika dia meraih lenganku, aku menjerit dan dia melarikan diri,” kata Sarah seperti dikabarkan Tulsa Daily World 2 Juni 1921 dalam artikel "Story of Attack on Woman Denied". Pertemuan Rowland dan Sarah itu menjadi awal rangkaian peristiwa yang kini disebut Pembantaian Ras di Tulsa (Tulsa Race Massacre). Insiden Sarah-Rowland di dalam lift terjadi pada pada Senin pagi, 30 Mei 1921. Polisi Tulsa menangkap Rowland keesokan harinya untuk dimintai keterangan. Rowland kemudian didakwa menyerang perempuan dan kasusnya dibawa ke pengadilan. Kabar begitu cepat berembus. Lewat artikel berjudul “Nab Negro for Attacking Girl in Elevator”, koran TheTulsa Tribune edisi31 Mei 1921 siang mengabarkan insiden Sarah-Rowland sebagai serangan lelaki kulit hitam pada perempuan kulit putih. The Tulsa Tribune bahkan mengeluarkan editorial “To Lynch Negro Tonight”. Padahal, seperti dikabarkan Tulsa Daily World yang mengutip keterangan Kepala Detektif di Departemen Kepolisian Tulsa James Patton, satu-satunya serangan yang dilakukan Rowland terhadap Sarah ialah meraih lengannya. Detektif Patton juga menerima keterangan yang sama dari Rowland. Berita penuh bumbu yang dimuat Tulsa Tribune membangkitkan sentimen rasial orang kulit putih. Orang kulit hitam khawatir akan adanya penjatuhan hukuman mati tanpa pengadilan. Insiden ini memicu konfrontasi antara orang kulit hitam dan putih. Sejarawan Rachael Hill dalam “Tulsa Massacre 1921”, dimuat dalam San Francisco State University History Student Journal , Volume XVIII, menyebut orang kulit hitam Tulsa punya banyak alasan untuk percaya bahwa Rowland akan dihukum mati setelah ditangkap. Dalam Laporan Akhir-nya, Komisi Oklahoma mencatat adanya rasisme yang kuat dan kekerasan pada kulit hitam yang dianggap lazim atau disetujui secara sosial. Di awal abad ke-20, orang kulit hitam Amerika kerap menyaksikan kaumnya dihukuman mati tanpa pengadilan. Kondisi ini terus terjadi dan dianggap sebagai "hukum tidak tertulis" yang memungkinkan untuk membunuh orang tanpa tuduhan di bawah sumpah, tanpa diadili oleh juri, tanpa kesempatan untuk membela diri, dan tanpa hak mengajukan banding. Sepanjang tahun 1921, ada 59 orang Afro-Amerika yang dijatuhi hukuman gantung. Dua dekade sebelumnya, lebih dari tiga ribu orang kulit hitam Amerika dihukum mati. Pada 1919, tercatat ada 75 hukuman mati tanpa pengadilan. Sepanjang musim panas di tahun yang sama, kekerasan rasial meletus. Ada lebih dari 25 konflik bersenjata di seluruh negara bagian dan semua aksi kekerasan massa terhadap orang Afro-Amerika dipimpin orang kulit putih. Insiden-insiden tersebut dipicu rasialisme yang mengakar. Maka ketika Rowland diperiksa, komunitas Afro-Amerika langsung khawatir akan ada nyawa kulit hitam melayang karena tuduhan palsu. Kekhawatiran itu mendorong dua kelompok massa (kulit hitam dan putih) berkumpul di sekitar gedung pengadilan ketika Rowland diadili. Beberapa di antaranya membawa senjata meski aparat kepolisian berjaga di sekitar gedung pengadilan. Meski tuduhan itu kemudian dibatalkan karena janggal sejak awal, menjelang petang, kericuhan mulai terjadi ketika sebuah tembakan dilepaskan. Orang Afro-Amerika yang kalah jumlah kemudian mundur ke Distrik Greenwood yang dikenal sebagai Black Wall Street, sebuah daerah kulit hitam yang makmur. Kerusuhan pun terjadi sepanjang Selasa malam. Pemerintah setempat gagal mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi. "Jika fakta-fakta dalam pemberitaan sesuai dengan yang diceritakan polisi, saya tidak berpikir akan ada kerusuhan apa pun," kata Kepala Detektif Patton. Sejak tengah malam 1 Juni 1921 hingga dini hari, Greenwood dijarah dan dibakar oleh perusuh kulit putih. Mereka menembaki penduduk Afro-Amerika, membakar rumah-rumah dan toko, bahkan fasilitas umum seperti gereja, sekolah, rumahsakit dan perpustakaan di distrik Greenwood. Sebagaimana diinformasikan Tulsa History , para pejabat sipil ikut berpartisipasi dalam kekerasan ini dengan memberikan senjata api, amuisi, bahkan pesawat pribadi pada pria-pria kulit putih. Beberapa dari mereka bahkan secara langsung ikut dalam aksi kekerasan rasial itu. Menjelang fajar, Greenwood, Tulsa hancur. Gubernur Robertson menyatakan darurat militer pada 1 Juni pukul 11:30. Selain mengirim petugas pemadam kebakaran untuk memadamkan api, pemerintah juga mengirim pasukan Garda Nasional ke Tulsa. Penangkapan massal dilakukan pada hampir semua penduduk kulit hitam Greenwood. Lebih dari enam ribu orang kulit hitam ditahan di Convention Hall dan Fairgrounds selama delapan hari. Mereka kemudian dipindah ke bagian lain kota. Sementara, pencurian, perusakan, dan perampasan harta benda pribadi orang kulit hitam yang tertinggal di rumah dan tempat bisnis terus terjadi. Tulsa History memperkirakan ada 100-300 orang terbunuh selama pembantaian. Kekerasan berakhir setelah 24 jam. Tiga puluh lima blok kota luluh lantak. Lebih dari 800 orang dirawat karena cedera. Pada 3 Juni 1921, status darurat militer Tulsa dicabut pukul 17:00. Jaksa Agung Amerika Serikat Daugherty memerintahkan penyelidikan atas kerusuhan tersebut. Gubernur Oklahoma Robertson langsung meneruskannya kepada Jaksa Agung Oklahoma Freeling untuk melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti. Namun, tak satu pun dari pelaku tindak kriminal itu dituntut atau dihukum baik oleh pemerintah kota, kabupaten, negara bagian, atau federal. Bahkan setelah pemulihan ketertiban, orang-orang kulit hitam yang ditangkap hanya bisa dibebaskan atas jaminan dari orang kulit putih. Meski pada akhirnya jumlah populasi Afrio-Amerika di Tulsa turun, mereka yang tersisa berjuang sekuat tenaga untuk melindungi rumah, bisnis, dan komunitasnya. Pemerintah tak ikut andil dalam pemulihan. Semua diserahkan pada korban, yakni penduduk Afro-Amerika. Para pejabat publik bahkan terkesan menghalangi upaya pemulihan para korban dengan menolak beberapa tawaran bantuan dari luar. Bantuan signifikan yang diterima para korban datang dari Palang Merah Amerika pimpinan Maurice Willows, yang tetap di Tulsa selama beberapa bulan setelah pembantaian itu. Warga kulit putih yang simpatik juga membantu memberikan tempat tinggal kepada para korban yang kehilangan rumah. Suratkabar Chicago Tribune juga menyalurkan bantuan $1000 pada para korban untuk membantu pemulihan para tunawisma pembantaian. Malam pertumpahan darah dan penghancuran 1921 di Greenwood disebut Rachael sebagai penindasan struktural. Peristiwa ini juga dikenal sebagai kekerasan rasial terburuk dalam sejarah Amerika.
- Haji Terganggu Pandemi
Menteri Agama Fachrul Razi mengumumkan pembatalan keberangkatan jemaah haji 1441 H/2020 M karena tidak ada kepastian dari Arab Saudi terkait akses yang sudah dibuka. Hal itu membuat pihaknya tak punya cukup waktu untuk melakukan berbagai persiapan, baik pelayanan maupun perlindungan jemaah. Dalam jumpa pers yang disiarkan langsung melalui Youtube pada Selasa, 2 Juni 2020, Fachrul Razi juga menyebut situasi pandemi yang belum reda membuat Arab Saudi tak bisa memastikan terbukanya akses haji hingga kini. Hal itu mengingatkan pada kondisi di masa lalu ketika ibadah haji berulang kali terganggu akibat merebaknya pandemi. "Haji beberapa kali terganggu, dihentikan, Makkah ditutup, Jeddah pernah dibuat pos khusus, dipagari betul, yang masuk dipastikan dulu," kata Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah dalam seminar daring lewat aplikasi zoom tentang "Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia" yang diselenggarakan Museum Nasional beberapa waktu lalu. Sejarawan abad pertengahan, Badruddin Mahmud al-‘Ayni menulis tentang wabah yang menyerang Makkah dalam ‘Iqd al-juman fi Tarikh ahl al-zaman . Dikutip sejarawan Amerika Serikat, Michael Walters Dols, dalam The Black Death in the Middle East , bahwa al-‘Ayni mencatat pada 1348–1349 wabah Maut Hitam menyerang Makkah. Epidemi itu mungkin dibawa oleh lalu lintas haji. Akibatnya sejumlah besar jemaah haji menjadi korban. "Ibn Abi Hajalah (dalam Daf’ al-niqmah , red. ) mencatat bahwa banyak siswa dan penduduk di Makkah juga binasa," kata Oman. Kondisi itu menjadi perbincangan para cendekiawan muslim pada masanya. Pasalnya, Nabi Muhammad Saw. menjanjikan bahwa tak akan ada wabah yang bisa masuk ke kota suci Makkah dan Madinah. "Merupakan keajaiban wabah itu tak sampai ke Madinah. Maka mereka pun percaya kalau wabah menjangkit Makkah karena ada pelanggaran dengan keberadaan orang-orang kafir," kata Oman. Menurut Oman, interpretasi itu berdasarkan penyebutan wabah penyakit dalam bahasa Arab, yakni tha’un, yang arti harfiahnya adalah jin. Ada beberapa hadis yang menyebut wabah penyakit ( tha’un ) tak akan bisa memasuki Madinah. Sampai abad ke-14, Madinah tak tersentuh wabah, sedangkan Makkah terjangkit. “Tapi sekarang kita tahu di Madinah juga ada yang positif (Covid-19, red . ). Jadi, ini perlunya reinterpretasi teks keagamaan,” kata Oman. “Apa berarti hadis Nabi keliru? Saya percaya tidak, yang belum sampai itu penafsiran kitanya.” Terganggunya haji akibat pandemi juga dicatat oleh Muhammad al-Manjibi al-Hambali atau Muhammad bin Muhammad al-Manjibi, ulama Suriah Utara abad ke-14. Ia menjadi saksi saat wabah Maut Hitam merebak di wilayahnya pada Rajab 775 H (1373), lalu meningkat menjelang akhir Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, kemudian menurun pada Muharam tahun berikutnya. "Berapa bulan itu coba? Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, Muharam," kata Oman. "Bayangkan haji terganggu." Oman menyebut pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kegiatan haji pun menjadi salah satu penyebab merebaknya pandemi. "Bukan hajinya tapi aktivitas haji sebagai kebudayaan," ujar Oman. Selain Maut Hitam, wabah kolera juga merenggut nyawa ribuan jemaah haji dalam beberapa tahun sepanjang abad ke-19. Menurut sejarawan F.E. Peters dalam The Hajj: The Muslim Pilgrimage to Mecca and the Holy Places , kendati sudah lama ada di India, kolera tak dilaporkan merebak keluar anak benua. Sampai pada 1817 dan 1823 kolera muncul di pelabuhan-pelabuhan pulau di sekitar Samudera Hindia. "Dimulai di India pada 1817," tulis Peters, "penyakit ini menyebar ke seluruh dunia." Pada 1831, kolera merebak pertama kali di Makkah. Sejak saat itu hingga abad ke-20, kolera hampir selalu muncul di kota suci umat Islam itu. Peters menyebut epidemi kolera tahun 1865 dibawa jemaah haji dari Jawa dan Singapura. Sepertiga di antaranya tewas selama haji. Tercatat wabah telah membunuh 15.000 dari 90.000 jemaah. Kolera lalu menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Amerika Serikat dan Eropa, dengan dua juta kematian. Kolera tersebar melalui kapal-kapal yang membawa jemaah haji ke Terusan Suez. Saat itu mereka melaporkan kepada pihak berwenang setempat bahwa tidak ada penularan penyakit. Padahal, sejak meninggalkan Jeddah pada bulan Mei, lebih dari 100 mayat dibuang ke laut. Pada Juni, kolera mengamuk di Alexandria. Sebanyak 60.000 orang Mesir meninggal dalam tiga bulan. “Pada bulan yang sama kolera mencapai Marseilles, Prancis, kemudian sebagian besar kota di Eropa. Pada November 1865, kolera dilaporkan berjangkit di New York,” tulis Peters. Menurut Ken Chitwood dalam "Hajj Cancellation Wouldn’t be the First-Plague, War and Politics Disrupted Pilgrimages Long Before Coronavirus" yang termuat di The Conversation , wabah kolera di kota suci Makkah dan Madinah pada 1858 sampai memaksa ribuan orang Mesir melarikan diri ke perbatasan Mesir di Laut Merah, di mana mereka dikarantina sebelum diizinkan kembali. Kolera menjadi “ancaman abadi” untuk sebagian besar abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ancaman itu sering mengganggu pelaksanaan haji. "Bahkan, dengan begitu banyak wabah dalam runtutan kejadian yang begitu cepat, haji sering terputus sepanjang pertengahan abad ke-19," tulis Chitwood. Oman menduga transimisi wabah kolera di Asia Tenggara terjadi melalui jemaah haji. Karenanya pada masa itu haji dianggap sebagai kegiatan yang membahayakan. "Karena memang sangat fatal," kata Oman. "Dari kerumunan penularan terjadi. Persebaran wabah ini sangat terkait aktivitas keagamaan."
- Jejak Filantropi Orang Indonesia
BERBAGI itu menyenangkan. Selama masa pandemi Covid-19 dan ekonomi sulit ini, orang menggelar banyak kegiatan berbagi secara sukarela (filantropi). Dari konser penggalangan dana sampai lelang barang. Semangat berbagi muncul dari beragam alasan dan pihak. Bisa karena alasan kemanusiaan atau keagamaan; dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat.
- Sukarno dan Jenggot Fidel Castro
Selain Asia dan Afrika, Presiden Sukarno juga menjalin persahabatan dengan pemimpin negara-negara Amerika Latin. Pergaulan terjalin lantaran kesamaan pandangan anti kolonialisme dan imperialisme. Tidak melulu soal politik, Sukarno juga mengagumi cara berpenampilan salah satu pemimpin negara Amerika Latin yaitu Juan Peron dari Argentina. Menurut Guntur, putra sulung Bung Karno, Presiden Argentina Juan Peron adalah pemimpin dari Amerika Lartin yang paling parlente di mata Sukarno. Juan Peron memang populer bagi masyarakat Argentina. Dia menjadi presiden Argentina untuk tiga periode masa jabatan (1946—1952, 1952—1955, dan 1973—1974). Juan Peron yang berlatar belakang militer ini dikenal tampan dan berpenampilan rapi –sepertinya halnya Sukarno. Bila Juan Peron dijunjung dengan selera penampilannya yang bagus, maka berbanding terbalik dengan Fidel Castro. “Kalau yang paling ‘brengsek’ cara berpakaiannya adalah Sang ‘Maximo Lider De La Revolution De Cuba’ atau ‘Pemimpin Besar Revolusi Kuba’ Fidel Castro,” ujar Guntur dalam Bung Karno & Kesayangannya . Dalam artian, Fidel Castro sama sekali tidak peduli perkara penampilan. Hubungan diplomatik Indonesia dan Kuba telah berjalin sejak para pemimpinnya saling mengunjungi. Pada 1959, Ernesto “Che” Guevara, sahabat dan orang kepercayaan Fidel Castro berkunjung ke Indonesia sebagai wakil resmi pemerintah Kuba. Setahun berselang tepatnya 13 Mei 1960 , giliran Sukarno yang melawat ke negeri Kuba. Fidel Castro sendiri menyambut langsung Sukarno di Bandara Havana. Sukarno disambut merah. Warga Kuba berdiri di sepanjang jalan membentangkan poster bertuliskan " Viva Presiden Soekarno ". Seperti dituturkan kepada Guntur, Sukarno pernah hendak berkirim surat pribadi atau ngobrol santai dengan Fidel Castro dan juga Che Guevara. Bukan soal yang berat-berat, yang ingin diutarakan Sukarno hanyalah agar mereka mencukur kumis dan jenggotnya yang tebal. Sukarno sejatinya perhatian dengan sahabat revolusionernya dari Kuba itu. Menurut Sukarno, tanpa kumis dan jenggot, Fidel Castro dan Che Guevara akan terlihat lebih tampan. Amat disayangkan kalau ketampanan wajah mereka harus tersembunyi dibelakang kumis dan brewok nan lebat. Khususnya pada sosok Fidel Castro, yang menurut Sukarno gagah dan ganteng itu. “Justru karena karena dia itu berkumis dan brewokan maka kegagahan dan kegantengan wajahnya jadi tertutup dan inilah yang membuat dia nggak laku-laku sama wanita alias jadi bujang tua terus!” celoteh Guntur. Sukarno pada akhirnya mengurungkan niatnya mewejangi Fidel dan Che soal penampilan. Rupanya Bung Besar khawatir juga Fidel dan Che yang tempramenmya terkenal panas akan tersinggung. Selain itu, Bung Karno tidak mau merusak identitas nasional Kuba serta citra revolusionernya yang dilambangkan dengan kumis dan brewok tebal tadi. Kumis dan brewok bagi masyarakat Kuba ibarat sudah merupakan ciri khas sepertinya halnya peci hitam bagi orang Indonesia.
- Saat Ketua Masyumi Berhaji
Dampak pandemi Covid-19 kembali dirasakan masyarakat Indonesia. Kali ini pemerintah pusat, melalui Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan membatalkan pemberangkatan jemaah haji Indonesia tahun ini. Keputusan tersebut diambil setelah melihat situasi di tanah air maupun di Arab Saudi. Keputusan Kemenag itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 494 Tahun 2020 tentang pembatalan pemberangkatan jemaah haji Indonesia tahun 1441 Hijriah. Dikutip laman Kompas , Fachrul menegaskan bahwa pembatalan ibdah haji tahun ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali. “Pihak Arab Saudi tak kunjung membuka akses bagi jemaah haji dari negara mana pun. Akibatnya, pemerintah tidak mungkin lagi memiliki cukup waktu untuk melakukan persiapan, utamanya dalam pelayanan dan perlindungan jemaah,” ungkap Menteri Agama Fachrul dalam konferensi pers virtual. Menurut Menag, pembatalan ibadah haji itu merupakan suatu keputusan yang sulit. Di satu sisi pemerintah terus berupaya agar penyelenggaraan haji tahun ini tetap berjalan, tetapi di sisi lain pemerintah harus bertanggung jawab atas keselamatan warganya dari risiko penyebaran Covid-19 yang tak kunjung membaik. “Keputusan yang pahit ini kita yakini paling tepat dan paling maslahat bagi jamaah dan petugas kita semua,” lanjut Fachrul. Soal keberangkatan ibadah haji, tokoh Masyumi Mohammad Natsir memiliki pengalaman yang tidak biasa. Bukan karena batal berangkat seperti keadaan saat ini, tetapi karena kepergiannya ke tanah suci mendapat iring-iringan yang begitu besar, melibatkan hampir ribuan orang simpatisan Masyumi dan kerabat Natsir. Dilepas Ribuan Orang Kabar keberangkatan Ketua Umum Masyumi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji segera mencuri perhatian banyak kaum Muslimin, khususnya aktivis Masyumi, di seluruh penjuru Tanah Air. Banyak aktivis Masyumi yang mengagendakan pelepasan Natsir secara langsung. Mereka berbondong-bondong datang ke tempat keberangkatan Natsir guna mendoakan keselamatan dan kelancaran perjalanannya. Diberitakan Suara Masyumi No.19 Tahun XI, 10 Juli 1956, seperti dikutip Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natisr: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan , sejak pukul 02.00 dini hari rumah Natsir telah dipenuhi oleh kerabat dan kawan-kawan yang hendak melepas tokoh Masyumi itu pada pagi harinya. Syahdan, saat acara pelepasan itu, seorang pria tua yang ada di dalam rombongan mendekati Natsir seraya berkata: “Anak Natsir. Kalau anak hanya akan pergi ke Eropa, dan lain-lain, saya tidak akan datang tengah malam ini. Akan tetapi karena anak hendak menuju tanah suci, menunaikan rukun Islam, saya tidak bisa memejamkan mata tinggal di rumah. Hati kecil saya memanggil: pergilah turut mengantarkannya”. Orang tua itu, kata Lukman, datang bersama kurang lebih 10.000 keluarga Masyumi dan Muslimat (onderbouw perempuan Masyumi). Kebanyakan dari mereka telah berdiam di lapangan terbang Kemayoran sejak malam harinya. Tidak hanya dari Jakarta, rombongan itu juga datang dari Bogor, Banten, dan daerah sekitarnya. Sementara para aktivis Masyumi yang tidak bisa melepas secara langsung memberikan doa di daerahnya masing-masing. “Di dalam rombongan Natsir, terdapat juga Menteri Pekerjaan Umum, Ir. Pangeran Moh. Noor,” tulis Lukman. Sebelumnya, anggota pimpinan pusat dan anggota parlemen dari Fraksi Masyumi, K.H.M. Isa Anshary telah lebih dahulu tiba di Arab Saudi. Bersama kawan-kawannya dari Persatuan Islam A. Hassan, E. Abdurrahman, dan Tamar Djaja, Isa Anshary akan menunaikan ibadah haji. Natsir akan menyusul setelahnya. Kedua tokoh Masyumi ini nantinya akan berangkat ke Mesir untuk melihat keadaan umat Islam di sana, sebelum pulang ke tanah air. “Diharapkan semua gembong-gembong Masyumi ini telah berada kembali di Indonesia pada akhir bulan Agustus,” tulis Suara Masyumi seperti dikutip Lukman. Sebelum memenuhi kewajiban menunaikan ibadah haji di Mekah, Arab Saudi, Natsir terlebih dahulu menghadiri Muktamar Alam Islami ketiga di Damaskus, Suriah. Kegiatan itu dihadiri oleh delegasi dari negara-negara Islam, kecuali Mesir. Muktamar itu, kata Natsir, tidak hanya membahas soal negara-negara Arab saja, tetapi juga soal-soal kaum Muslimin di seluruh dunia, termasuk nasib mereka yang hidup di daerah jajahan atau sedang dalam perjuangan melepas penjajahan.
- Herawati Diah: Jurnalis bisa Pengaruhi Pembaca
SEJAK kecil, Siti Latifah Herawati Latip yang kemudian dikenal sebagai Herawati Diah lebih banyak bermain di luar. Main boneka merupakan hal menjemukan buatnya. Ia lebih suka memanjat pohon dan membaca buku, khususnya tentang suku Indian Amerika. Rambutnya juga dipotong pendek sehingga ia sering dijuluki “boy”. Herawati lahir di Belitung, 3 April 1917. Di sanalah ia menghabiskan sebagian masa kecilnya. Ayahnya, dokter Latip, bekerja sebagai tenaga medis pada perusahaan Belanda Biliton Maatschappij. Dokter Latip merupakan Jawa totok yang lahir dan besar di daerah Kadilangu, Demak. Sementara ibunda Herawati, Alimah, merupakan perempuan keturunan Aceh yang besar di Indramayu. Dokter Latip berharap Herawati kelak menjadi dokter dan memberinya nasihat bahwa dokter adalah profesi yang menjunjung tinggi kemanusiaan. “Tetapi saya tidak tertarik. Ngeri melihat darah,” kata Herawati dalam autobiografinya, Kembara Tiada Berakhir. Herawati merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Kakaknya yang pertama, Retnowati, melanjutkan pendidikan di Hellerau Schule, Austria dan kemudian menjadi penari balet. Di kemudian hari, Retnowati menikah dengan Meester Sudjono. Sementara kakak lelakinya bernama Irawan dan adik Herawati bernama Saptarita. Herawati (kanan) bersama adiknya, Saptarita. Keluarga itu hidup dalam lingkungan orang Belanda. Kalau umumnya orang Jawa atau penduduk asli tak mau dikucilkan, maka mau tak mau hidup kebelanda-belandaan. Paman Herawati, Achmad Subarjo, selalu berkata, “Kalau tak mampu mengalahkan mereka, hendaknya kita ikuti saja dulu mereka.” Keluarga mereka kemudian pindah ke Batavia. Herawati tak merinci tahun berapa ia pindah ke kota itu. Ia melanjutkan sekolah di Europeesche Lagere School di Salemba dan bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia. Ia pun aktif dalam Oesaha Kita, organisasi murid sekolah menengah (semacam OSIS kini), ketika sekolah di Lyceum dari Carpentier Alting Stichting (CAS). Ketika bergabung dalam dua organisasi itulah rasa nasionalismenya mulai tumbuh. Sementara di waktu luangnya, Herawati gemar bermain basket dan tenis. Tak banyak siswa pribumi di Lyceum. Di kelas Herawati hanya ada tujuh orang. Teman-teman pribumi di kelasnya yang masih ia ingat ialah Mimi Suyono, Mien Kusuma Sudjana, Eli Zakir, Luti Susilo, Surjono Surjo, dan Apetulay. Satu-satunya murid prubumi di angkatan sebelumnya yakni Ratna Purbacaraka, putri ilmuwan ahli Jawa. Di Lyceum CAS, Herawati mendapat matapelajaran bahasa Yunani dan Latin dari Dr. Koets yang kemudian hari menjadi tim perundingan pihak Belanda di masa perjuangan kemerdekaan. Dr. Koets amat rasis dan suka menyepelekan murid pribumi di sekolah. Suatu hari ketika mengajar bahasa Latin, Dr. Koets mencibir orang inlander tak mungkin mampu menguasai bahasa Latin. Para murid pribumi merasa terhina. Omongan Dr. Koets itu sampai ke telinga para orang tua murid. “Kami ternyata semua pindah sekolah. Itu akibat ulah Dr. Koets…. Otak kami dinilainya sebagai inferior,” kata Herawati. Setelah keluar dari Lyceum, Herawati dan adiknya, Saptarita, pindah ke Jepang untuk masuk sekolah menengah. Di sana ia masuk American High School di Tokyo selama 2 tahun. Pada awal tinggal di asrama, ia merasa bingung. Bahasa Jepang ia tak paham. Bahasa Inggris pun belum sepenuhnya dikuasai. Salah seorang gurunya menyuruh Herawati ke perpustakaan. “Tapi saya tidak tahu ‘library’ itu apa,” katanya. Stres karena kesulitan komunikasi, ia pun keluar asrama dan pulang ke apartemen tempat ibu dan pamannya tinggal sementara. “Mengapa kamu tidak di sekolah?” tanya ibu Herawati. Ia hampir menangis karena merasa amat tertekan. Ibunya kemudian menenangkan, bahwa perasaan tidak betah itu akan hilang perlahan. Akhirnya, ibunya mencarikan solusi. Herawati tak tinggal di asrama sekolah melainkan indekos di rumah keluarga Amerika. Di sanalah ia belajar bahasa Inggris hingga lancar. Setelah lulus dari sekolah menengah di Jepang, Herawati melanjutkan pendidikan ke Amerika atas dorongan ibunya. Ia belajar Sosiologi dan Ilmu Jurnalistik di Columbia University. Ia menambah lagi ilmu jurnalistiknya dengan mengambil kursus di Stanford University. Herawati Diah kala bekerja sebagai jurnalis. Sekembalinya ia ke tanah air, Jepang sudah mulai menguasai Asia Pasifik. Ketika Jepang menguasai tanah air, Herawati bekerja sebagai penyiar yang membacakan surat-surat dari para tahanan perang di Radio Hosokyoku . Di sinilah ia bertemu dengan BM Diah yang kemudian menjadi suaminya sehingga ia dikenal dengan Herawati Diah. Herawati-BM Diah kemudian menjadi pewarta yang menggerakkan harian Merdeka dan bersama-sama mendirikan suratkabar berbahasa Inggris Indonesian Observer pada 1954. Herawati bahkan memimpin majalah mingguan Merdeka dan majalah titipan ibunya, Keluarga. Dalam bukunya An Endless Journey: Reflections of an Indonesian Journalist , Herawati menerangkan jurnalisme bukan hanya profesi yang menggairahkan, penuh tantangan, dan terkadang berbahaya. Tapi yang paling menyenangkan dari menjadi jurnalis ialah tidak hanya menginformasikan pada publik tentang peristiwa yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional tetapi juga bisa mempengaruhi pembaca tentang sudut pandang baru.
- Sukarno Sebagai Seorang Arsitek
Kisah-kisah Sukarno dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia barangkali sudah banyak diulas. Nama besar sebagai proklamator dan presiden pertama Indonesia juga sudah tak diragukan lagi. Namun, yang tak banyak menjadi sorotan, bagaimana jejak Bung Karno sebagai seorang arsitek. Dalam seri diskusi daring yang diadakan Historia untuk memperingati Bulan Bung Karno, Selasa, 2 Juni 2020, arsitek Yuke Ardhiati memaparkan beberapa karya-karya arsitektur Sukarno yang dibuat ketika masih menjadi mahasiswa hingga setelah menjabat sebagai presiden. Gagasan serta konsep arsitektur Sukarno juga bisa ditemui dalam banyak bangunan di Indonesia. Yuke Ardhiati yang juga menulis buku Sukarno Sang Arsitek menyebut jejak Sukarno sebagai seorang arsitek setidaknya ada dalam tiga tahapan. Yakni periode ketika mahasiswa, sebagai presiden muda dan pasca 1955. Arsitek Muda Di Technische Hoogeschool te Bandoeng, sekarang Institut Teknologi Bandung, Sukarno mengambil jurusan hidrologi atau pengairan. Meski tidak secara khusus menyenyam pendidikan arsitek, dalam jurusan ini Sukarno juga mendapat mata kuliah menggambar. Dari situlah, bakat sukarno sebagai arsitek justru muncul. Bakat Sukarno kemudian mendapat perhatian arsitek Charles Prosper Wolff Schoemaker yang juga mengajar Sukarno. “Barangkali ada bakat-bakat yang terekspos di situ oleh profesornya, dan beliau terlihat bakatnya dalam bidang arsitektur. Dan dimintalah beliau menjadi semacam asisten di bironya,” sebut Yuke. Pada masa ini, Sukarno banyak terpengaruh oleh Schoemaker. Salah satu peninggalannya adalah Toko Roti Red Tulip di Bandung. Bangunan tersebut kini sedikit rusak atapnya, namun dapat terlihat jelas tinggalan Sukarno pada ornamen-ornamen yang terpengaruh oleh Schoemaker. Selain itu, Sukarno juga turut serta dalam perancangan salah satu paviliun di Hotel Preanger. “Kesempatan baik itu menjadikan Bung Karno percaya diri untuk bikin biro arsitek kemudian tahun 1926,” sebut Yuke. Profesi sebagai arsitek sempat berhenti karena kesibukan dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, Sukarno sempat membuat lagi biro arsitek bersama Roosseno Soerjohadikoesoemo. Sukarno sebagai advisor, sementara Rooseno yang membuat konstruksi.Beberapa karya Sukarno tertinggal di Bandung dan tempat ia bermukim dan dibuang. Setelah kemerdekaan dan Sukarno menjadi presiden, Sukarno juga membuat konsep sendiri terhadap bangunan-bangunan republik. Ide-idenya bercirikan tropis dengan atap limasan atau berbentuk perisai yang biasanya memiliki gada-gada dengan ornamen di atasnya. Jejak-jejak masa ini bisa ditemui pada Wisma Yaso, Istana Tampak Siring dan Istana Batu Tulis. “Selalu ada ornament-ornamen di dalam kepala pilar. Kolom-kolom itu bentuknya alami, natural. Bung Karno ternyata bisa menggubah gaya-gaya yang Indonesiana, yang Indonesia sekali, itu dalam bentuk Padma. Jadi itu semua ulir-ulirnya Padma,” jelas Yuke. Yuke juga menemukan terdapat unsur padma di hampir di semua pilar rumah yang didesain Sukarno. Selain itu, terdapat pula unsur teratai. “Jadi di dalam rumah beliau juga bikin kolam. Di Batutulis ada kolam di dalam ruangan studio beliau,” kata Yuke. Konsep tersebut, menurut Yuke, tidak lepas dari kebanggaan Sukarno pada ornamen-ornamen pada relief-relief candi di Indonesia. Bentuk-bentuk padmasana bahkan diaplikasikan pada berbagai furnitur yang terdapat di Istana Bogor. Obsesi Keabadian Pasca menunaikan haji dan suksesnya pemilu 1955, pandangan arsitektur Sukarno berubah. Kala itu Sukarno banyak diundang ke luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sejak itu, orientasinya terhadap arsitektur bersifat internasionalis dan modern dengan ornamen keindonesiaan. ”Beliau maunya arsitektur modern dan semua konstruksinya harus tahan cakaran zaman dengan beton. Jadi konsep keabadian itu sudah menjadi obsesi beliau,” ujar Yuke. Sementara unsur keindonesiaan banyak diwujudkan pada relief, patung-patung hingga mozaik. Mitologi dan berbagai unsur kebudayaan Indonesia dimasukan dan menjadi semacam tamansari yang memperlihatka wajah Indonesia. Gagasan-gagasan Sukarno tersebut kemudian banyak diwujudkan dalam bangunan, monumen maupun landmark kota yang masih populer hingga kini. Meski tak merancang langsung, ide-idenya disalurkan melalui arsitek-arsitek dan seniman Indonesia saat itu. Landmark kota Jakarta yang masih berdiri hingga kini seperti patung Dirgantara, patung Selamat Datang hingga monumen Pembebasan Irian Barat pun tak lepas dari intervensi Sukarno. Meski demikian, ia tetao memberikan ruang kepada seniman untuk berekpresi secara detail. Dalam pembangunan Monumen Nasional atau Monas misalnya, arsitek Sudarsono mengakui bahwa Sukarnolah arsitek penggagasnya. “Ada memoriam dari Pak Sudarsono bahwa dia meminta tolong diberikan satu prasasti di Tugu Nasional itu bahwa Bung Karno adalah arsitek penggagas dan saya eksekutornya,” terang Yuke. Sementara itu, banyak pula peninggalan dari gagasan arsitektur Sukarno di berbagai daerah. Seperti relief kayu “Ruang Gembira” di Hotel Samudra Beach Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan relief “Untung Rugi di Kaki Merapi” di Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta dikerjakan oleh Harjadi S. Selain itu, relief di ruang VIP Bandara Kemayoran juga merupakan buah ide Bung Karno. Begitu pula mozaik porselen tari nusantara dalam Kubah Ramayana di Hotel Indonesia karya G Dharta. Peninggalan lainnya bisa ditelusuri di Bali, Ende, Kalimantan hingga Papua.
- Atmosfer Semu Pemain Keduabelas
APA jadinya pertandingan sepakbola tanpa atmosfer penonton? Bukan hanya manajemen tim yang rugi karena tiada pendapatan dari tiket, namun juga berpengaruh pada soal emosional dan mentalpemain di lapangan. Perkara inilah yang harus dikompromikan demi berjalannya lagi kompetisi sepakbola seluruh dunia. Yeyen Tumena, bek Timnas Indonesia periode 1995-2007 cum asisten pelatih timnas 2013, mengutarakan, bisa saja kompetisi digulirkan tanpa penontonseiring “The New Normal” di masa pandemi corona ini. Namun feel -nya akan sangat lain jika permainantak diiringi emosi penonton. “Korea, misalnya, sudah bisa jalan kompetisinya tanpa penonton. Tetapi sepakbola itu kan bukan hanya permainan teknik dan taktik,” tutur Yeyen dalam obrolan live “Bolatoria” yang dihelat Historia.id dan Bolalob.com di Facebook dan Youtube pada 15 Mei lalu.“Saya tidak bisa bayangkan kalau sepakbola tanpa penonton. Itu yang sulit kita terima. Ketika pertandingan itu tidak boleh ada penonton, ada yang hilang dari sepakbola. Karena sepakbola itu ada antusias, ada support , nyanyian, euforia, itu yang membuat sepakbola itu sangat menarik,” sambungnya. Sebagaimana diberitakan, Korea Selatan dengan K-League -nya jadi salah satu kompetisi yang melanjutkan musim ini di saat corona masih merajalela di berbagai belahan dunia. Untuk mengisi kekosongan euforia dan emosi dari “ pemain keduabelas ” itu, tribun-tribun stadion di Kore a diisi fans palsu dengan beragam cara . Klub K-League FC Seoul menggunakan sejumlah boneka seks sebagai pengganti pemain keduabelas mereka yang berujung denda (Foto: Yonhap) Salah satunya, trik yang digunakan klub FC Seoul dengan menggunakan boneka-boneka seks. Manajemen FC Seoul menganggap,penggunaan manekin-manekin yang aslinya sebagai alat pemuas syahwat itu akan lebih menarik ketimbang memajang papan-papan atau spanduk bergambar penonton biasasebagaimana yang diterapkan klub-klub K-League lain. Namun, kebijakan itu dianggap tak pantas dan melukai kaum perempuan. Alhasil, sebagaimana dikutip dari LA Times , 20 Mei 2020, FC Seoul didenda 100 juta won oleh komite disiplin K-League. “Kami meminta maaf sedalam-dalamnya terkait situasi ini. Kami aka meninjau prosedur-prosedur internal kami untuk memastikan hal ini tak terjadi lagi,” kata perwakilanFC Seoul. Sementara, di Bundesliga (liga Jerman)yang jadi kompetisi Eropa paling awal yang melakoni kick-off lagi, beberapa klub menggunakan cara konvensional dengan memajang gambar-gambar fansdi kursi penonton. Borussia Dortmundmemilih mengosongkan semua kursi namun menayangkan kerumunan fansnya di videotron di setiap sisi tribun Signal Iduna Park. Cara kreatif AGF Aarhus, klub Superligaen Denmark yang menghadirkan suporter via video conference Zoom (Foto: agf.dk ) Cara konvensional serupa tampaknya bakal ditiru liga-liga top Eropa lainyang akan menyusul menggulirkan kembali kompetisi 2019/2020: La Liga Spanyol pada 11 Juni, Premier League Inggris 17 Juni, dan Serie A Italia 20 Juni. Namun, tidak demikian dengan Superligaen Denmark. Sepertinya tiada yang lebih unik dan canggih dari cara yang ditempuh Superligaenyang sudah kembali berjalan pada akhir Mei lalu. Untuk menyiasati atmosfer semu akibat ketiadaan penonton, liga Denmarkmenghadirkan para fansnya secara live via platform konferensi video Zoom . Trik itu dianggap bisa membuat suasana lebih hidup ketimbang menghadirkan fans palsu. Beragam reaksi dari ribuan penonton bisa tetap dirasakan pemain lewat Zoom yang ditampilkan sejumlah videotron di tepi lapangan. Mural Kontroversial Arsenal Perkara pseudo fans sebetulnya bukan barang baru. Arsenal FC tercatat sebagai tim pertama yang melakoninya, 28 tahun lampau. Tentu musababnya bukan karena wabah atau pandemi, melainkan karena markasnya, Stadion Highbury, tengah direnovasi pada permulaan Premier League musim 1992/1993. Saat itu, tribun yang ditutup untuk renovasi hanya tribun belakang gawang sebelah utara sementaratribun barat, timur, dan belakang gawang sebelah selatan tetap dibuka. Diungkapkan Joshua Robinson dan Jonathan Clegg dalam The Club: How the English Premier League Became the Wildest, Richest, Most Disruptive Force in Sports , tribun utara itu mulai dipermak pada Agustus 1992 dan baru selesai pada Juli 1993. Untuk menutup tribun yang tengah dikonstruksi sepanjang musim, manajemen menutupnya dengan mural kerumuman delapan ribu suporter berbahan vinyl yang memakan dana 150 ribu poundsterling. “Musim pembuka Premier League 1992/1993 akan disiarkan secara langsung oleh televisi dan Highbury dirasa tak boleh terlihat berantakan di hadapan semua kamera. Wakil ketua klub David Dein dan direktur Ken Friar mencetuskan ide menghadirkan delapan ribu wajah suporter dalam bentuk poster setinggi 35 kaki dan lebarnya menutupi konstruksi,” tulis Robinson dan Clegg. Sektor North Bank atau tribun utara Stadio Highbury yang tengah dibongkar ditutupi poster (Foto: Twitter @EastStandArt) Beberapa pemain merasa aneh dengan keputusan itu. Tampil di hadapan penonton dari benda mati tentutanpa reaksi jika mereka mencetak gol. “Tetapi setidaknya saya tidak disoraki dengan ejekan saat berbuat kesalahan,” kata bek Lee Dixon, dikutip Robinson dan Clegg. Pilar pertahanan Arsenal lainn, Steve Bould, malah menganggap poster yang menutupi tribun utara itu seolah merupakan pembawa sial. Pasalnya, di laga kandang pertama pada 15 Agustus 1992,Arsenal keok 2-4 saat menjamu Norwich City. “Mural di tribun (utara) itu terasa aneh –semua wajah bisu yang terlukis menatap permainan Anda. Pertandingan pertama kami sempat unggul 2-0, tetapi pada akhirnya kalah 4-2 dan buat saya itu imbas dari tampil di depan mural aneh itu,” paparnya, disitat The Sun , 24 Mei 2020. Pendapat berbeda keluar dari mulut penyerang gaek Alan Smith. “Orang-orang menganggap ada kutukan pada mural itu. Butuh enam laga sampai akhirnya kami bisa mencetak gol ke gawang yang berada di sisi mural itu lewat gol sundulan Ian Wright saat melawan Manchester City (28 September). Jadi yang jelas mural itu bukan kutukan, namun memang sangat janggal rasanya tak merasakan sorakan dukungan yang nyata dari tribun itu,” ujar Smith, dikutip Jon Spurling dalam Highbury: The Story of Arsenal In N.5. “Walau begitu saya merasa adanya mural di sana lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Setidaknya mural itu memberi suasana lebih intim. Memang performa kami di musim itu tidak maksimal, namun bukan berarti gara-gara ketiadaan penonton di tribun utara itu,” sambungnya. Sayangnya poster/mural itu mengundang kontroversi karena meniadakan gambar suporter berkulit hitam (Foto: Twitter @classicsshirts) Atmosfer semu yang dirasakan pemain dari mural di tribun utara itu bukan soal utama yang menjadikannya kontroversial. Yang paling dipermasalahkan adalah keragaman sosok penonton di mural itu. Padahal, Arsenal dikenal sebagai salah satu klub kosmopolitan dan banyak pemain lokal maupun asingnya berkulit hitam. “Mural Highbury itu sungguh kontroversial dan merupakan suatu hal yang memalukan bagi fans Arsenal. Absennya wajah-wajah berkulit hitam di mural itu merupakan kegagalan dalam merefleksikan basis fans klub yang sebenarnya,” ungkap Paul Brown dalam Savage Enthusiasm: A History of Football Fans . “Fans setia mereka bukan merasa tergantikan tapi justru merasa seperti diusir dari pertandingan. Sebuah survei fans yang dirilis Desember 1992 menyatakan, sebagian besar fans menganggap klub menghilangkan hak mereka untuk eksis, mengeksploitasi, dan membuang fans,” tambahnya. S ebagai salah satu petinggi klub , David Dein akibatnya mendapat protes langsung dari salah satu pemain kulit hitam Arsenal . “Kevin Campbell datang pada saya dan mengatakan: ‘Tuan Dein, tidak ada sama sekali saudara-saudara (berkulit hitam) saya di mural itu . ’ Saya kaget dan baru menyadari bahwa dia benar. Dengan bodohnya kami tidak menyadari itu sebelumnya. Saat itu juga kami langsung memperbaikinya,” tandas Dein.






















