Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jakarta Mencegah Corona
Berita mengejutkan meluncur dari Presiden Joko Widodo hari Senin, 2 Maret 2020. Ditemani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Jokowi mengumumkan bahwa dua warga negara Indonesia positif terkena Corona. Jokowi mengungkapkan bahwa dua orang tersebut tertular oleh warga Jepang. Sontak berita tersebut membuat kepanikan, tak terkecuali di Jakarta. Dua pasien Korona itu sehari-hari berdomisili di Depok, Jawa Barat. Jarak Depok ke Jakarta dekat. Bahkan selang beberapa hari pemerintah kembali mengumumkan bahwa bertambah dua orang lagi warga Indonesia yang positif virus tersebut. Banyak pekerja di Jakarta berasal dari Depok. Keadaan kian gaduh. Orang-orang memborong barang kebutuhan pokok. Panic buying. Padahal itu tidak perlu. Sejarah wabah flu mematikan sebenarnya cukup lekat dengan Indonesia. Jauh sebelum Corona, Flu Spanyol juga pernah masuk ke Indonesia. Flu Spanyol merupakan wabah flu yang memiliki dampak luas dari segi sebaran dan korbannya. Flu Spanyol mulai masuk ke Jawa pada Juli 1918. Penyebaran awalnya diperkirakan melalui para awak kapal laut atau kapal kargo dari Sumatra Utara. Awalnya, pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat tidak menyadari datangnya virus ini karena lebih terfokus pada penyakit berbahaya lainya. Korban mulai berjatuhan. Rumah sakit sontak mendadak penuh. Bahkan beberapa sampai menolak pasien. Jumlah korban Flu Spanyol tidak diketahui secara pasti. Tapi menurut Colin Brown dalam “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia”, korban Flu Spanyol di Hindia Belanda mencapai 1,5 juta jiwa. Angka sangat besar untuk Hindia Belanda kala itu. Sejumlah warga Jakarta menggunakan masker di halte busway . (Fernando Randy/Historia). Seorang pengguna MRT bermasker saat membeli tiket di loket MRT Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Sejumlah warga Jakarta menggunakan masker sebagai tindakan pencegahan terhadap virus Corona. (Fernando Randy/Historia). Dua warga menggunakan masker saat berjalan di trotoar kawasan Sudirman Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Seorang warga menggunakan masker di kawasan Blora, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Seorang pekerja saat menggunakan gel pembersih tangan di stasiun MRT Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Para pekerja melintas di jembatan penyeberangan Jakarta dengan menggunakan masker. (Fernando Randy/Historia). Sejumlah warga menggunakan masker saat jam pulang kantor di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Pihak keamanan pun turut serta menggunakan masker untuk mencegah virus Corona. (Fernando Randy/Historia). Seorang pria bermasker saat membeli tisu di kawasan Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Pihak MRT mengukur suhu tubuh setiap pengguna MRT sebagai tindakan pencegahan Corona. (Fernando Randy/Historia). Kembali ke masa kini, Indonesia tengah berjuang melawan wabah virus. Ditemukan pertama kali di Wuhan China, Corona atau Covid-19 saat ini telah semakin meluas dan menjangkiti ribuan orang. Tanpa vaksin yang tak kunjung ditemukan, orang-orang mulai cemas. Pemerintah telah membuat sejumlah pedoman untuk mengatasi kecemasan. Misalnya mengajak warga menggunakan masker ketika sakit. Wajah-wajah bermasker bermunculan di mana-mana. Masyarakat dan pemerintah pun menjadi lebih peka dengan kesehatan. Terlihat dari disediakannya banyak pembersih tangan di angkutan-angkutan umum. Semua tentu berharap virus ini cepat berlalu dan kebiasaan sehat warga Jakarta tetap dipelihara. Karena tentunya kesehatan memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Para pengguna Transjakarta menggunakan masker untuk mencegah Corona. (Fernando Randy/Historia). Para pekerja melintas di Blora dan menggunakan masker untuk mencegah Corona. (Fernando Randy/Historia).
- Menyuarakan Nasib Buruh Perempuan
Pada peringatan Hari Perempuan Sedunia 2020, Aliansi Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan (Gerak Perempuan) menyerukan untuk Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan. Beberapa poin masalah yang diangkat ialah ketiadaan regulasi yang memberikan perlindungan terhadap perempuan baik dalam undang-undang maupun peraturan turunannya serta kondisi kerja yang tidak ramah perempuan. Contoh paling anyar ialah nasib buruh PT Alpen Food Industri (PT AFI) yang memproduksi es krim Aice. Mereka mengeluhkan kondisi kerja yang tak sejalan dengan ketentuan. Beberapa di antaranya, diskriminasi pengupahan, risiko mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, kontaminasi lingkungan, dan shift kerja ibu hamil pada malam hari. Dalam rilisan persnya, Gerak Perempuan menyebutkan akibat dari kondisi kerja yang eksploitatif ini, sepanjang 2019, terjadi 14 kasus keguguran yang dialami buruh perempuan dan 6 orang lainnya kehilangan bayi yang baru dilahirkan. Namun alih-alih menciptakan ruang kerja yang lebih ramah bagi perempuan dan memastikan hak buruh dijalakan, pemerintah malah tergesa-gesa memproses Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang tidak memberi ruang pada kebutuhan pekerja perempuan, seperti hak reproduksi. Belum lagi RUU Ketahanan Keluarga yang berusaha mengembalikan peran perempuan untuk mengurus keluarga. RUU semacam ini kental atmosfer konservatisme yang alih-alih mendorong perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya sesuai keinginan malah berusaha mundur ke era sebelumnya. “Omnibus Law itu pakai kerangka globalisasi kapitalis yang dalam kompetisi akan menyingkirkan perempuan. Sementara RUU Ketahanan Keluarga itu akan membuat perempuan di rumah saja,” kata Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) pada Historia. Nasib Buruh Perempuan Usaha advokasi nasib buruh perempuan sudah dilakukan sejak Indonesia belum merdeka. Pada 1941, Maria Ullfah beserta rekannya di organisasi Isteri Indonesia berkunjung ke pabrik sepatu Bata. “Pabrik yang berdiri baru satu tahun itu punya kurang lebih 1000 personel, 600 laki-laki dan 400 perempuan,” tulis Maria Ullfah dalam “Perempuan-Perempuan Kita yang Bekerja di Pabrik Bata” dimuat Isteri Indonesia Januari 1941. Di sana, ia mengamati bagaimana buruh-buruh perempuan tinggal dan bertahan hidup. Dari sekian banyak buruh, hanya terdapat tiga mandor perempuan dengan gaji f 7.50 per minggu. Sementara ratusan perempuan lainnya bekerja sebagai tukang jahit sepatu dengan gaji per minggu f 4. Dari gaji tersebut, mereka sisihkan f 0.90 per minggu untuk biaya pondok. Harga tersebut untuk pondok termurah yang mereka kunjungi. Menurut Maria Ullfah pondok murah itu kurang layak sebab tak tersedia dapur dan ukurannya amat kecil. Ia pun mensurvei pondok-pondok lain di sekitar Pabrik Bata. “Pondok yang sewanya f 1.20 per minggu inilah yang menarik hati kami. Bagi kaum ibu, pondok inilah yang bagus dan netjes ,” terang Maria Ullfah. Sujatin Kartowijono juga pernah melakukan hal serupa. Dalam biografinya Mencari Makna Hidupku, dia mengisahkan pada 1930-an pernah mengunjungi para buruh di pabrik Batik Lasem yang sedang melakukan protes. Dari kesaksian Sujatin, para buruh perempuan mendapat perlakuan sewenang-wenang, beban kerja tinggi namun upah minim. Pada 1945 SK Trmurti, Umi Sardjono, bersama Barisan Buruh Wanita (BBW) mengorganisasi gerakan untuk memperjuangkan hak buruh perempuan sekaligus kemerdekaan Indonesia. “Ada tiga kondisi buruh perempuan yang diperjuangkan Trimurti, yakni tentang cuti baik haid maupun melahirkan, diskriminasi upah, dan tuntutan agar buruh perempuan bebas dari kekerasan fisik,” kata Ruth. Bahkan Trimurti juga memperjuangkan agar istri para buruh tidak diperlakukan semena-mena. Dalam artian, mereka tidak ditelantarkan atau dipoligami seenaknya. Pada 1946 BBW dilebur dalam Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), sejak itu hak buruh perempuan diperjuangkan dalam SOBSI, salah satunya tentang upah sama. Namun menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan meski organisasi ini siap memperjuangkan hak-hak perempuan, tapi mereka tidak akan berjuang menentang dominasi lelaki sendiri. Suara tentang hak buruh semacam ini juga diserukan pada peringatan Hari Perempuan Sedunia 1954. Para perempuan menekankan tuntutan pada penghapusan diskriminasi upah, hak dalam perkawinan, dan moralitas. Namun demikian, pada dekade 1950-an, Hari Perempuan Sedunia belum mendapat sambutan antusias di Indonesia. Gerwani mempeloporinya dan hanya sedikit kalangan yang ikut memperingati. Ketidakpopuleran perayaan 8 Maret ini membuat Gerwani mengajak banyak organisasi perempuan untuk memperingatinya. Mereka juga membuat kebijakan bahwa karya tulis Clara Zetkin, feminis Partai Sosialis Jerman yang mengusulkan ditetapkannya tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia, dijadikan bacaan wajib bagi kader-kadernya. Meski kebanyakan organisasi perempuan yang memperingati 8 Maret adalah organisasi sosialis, Perwari tercatat pernah merayakan Hari Perempuan walaupun gaungnya tak besar. Federasi perempuan, Kowani, mulai merayakan Hari Perempuan Sedunia pada dekade 1960-an. Kowani bahkan membentuk panitia persiapan peringatan Hari Perempuan Sedunia. Pada perayaan tahun 1961, Wanita Komunis (Wankom), kelompok perempuan anggota PKI (mulai disebut demikian sejak 1957), mengeluarkan pernyataan untuk memperkuat persatuan perempuan, khususnya buruh, tani, dan anti-feodal. PBB petama kali memperingati Hari Perempuan Internasional pada 1975 bersamaan dengan program dekade perempuan. Meski Indonesia termasuk negara yang ikut menjalankan dekade perempuan, namun lantaran situasi politik di bawah kepemimpinan Soeharto, maka Indonesia tak merayakan Hari Perempuan Sedunia. Baru setelah reformasi peringatan 8 Maret kembali dirayakan hingga hari ini. Sejak pukul 10.00 pagi, para perempuan turun ke jalan, menyuarakan penolakannya pada RUU Ketahanan Keluarga dan Cipta Kerja.
- Keris dalam Lukisan Rembrandt
SEBAGAIMANA Hercules dalam mitos Yunani, Samson yang dalam Alkitab disebut Simson, juga dikisahkan sebagai manusia terkuat. Namun sekuat-kuatnya manusia punya kelemahan. Menilik legenda, Samson si pria perkasa itu jadi loyo tak berdaya setelah rambutnya dipotong Delilah, kekasih yang mengkhianatinya. Maestro seni rupa Belanda, Rembrandt Harmenszoon van Rijn, menggambarkannya dalam lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 61,3x50,1 cm bertajuk Samson Betrayed by Delilah (1628/1630). Lukisan yang menggambarkan salah satu adegan kisah Samson dalam Perjanjian Lama , di mana Delilah hendak menggunting rambut Samson yang sedang terlelap di pangkuannya. Rambut yang selama ini jadi sumber kekuatannya. “Penggambaran zaman itu (abad ke-17, red), penggambaran dari Alkitab sebagai lukisan sejarah, memang sedang nge-tren ya, seiring penyebaran gospel ke negara-negara koloni,” tutur kurator cum sejarawan seni Amir Sidharta kepada Historia. Makanya Rembrandt dengan gaya realismenya juga tak hanya punya satu karya yang melukiskan kisah sejarah dalam Alkitab. Malah pada 1636 ia kembali menelurkan karya yang masih bertema kisah Samson dalam Alkitab bertajuk The Blinding of Samson . Lukisan cat minyak di atas kanvas berdimensi besar, 205x272 cm itu, menggambarkan dua prajurit yang tengah membelenggu Samson, satu prajurit bersiaga dengan tombaknya dan seorang prajurit lain yang menghujamkan senjata unik berulir ke mata kanan Samson. Lukisan "Samson Betrayed by Delilah" (Foto: Repro "Rembrandt: The Painter Thinking") Unik lantaran bentuknya begitu mirip keris, senjata tradisional asal Jawa. Pada lukisan Samson Betrayed by Delilah sebelumnya pun juga Rembrandt menampakkan keris itu menjadi senjata yang dibawa-bawa Samson. “Memang keris ya. Kelihatan jelas sekali bahwa itu keris. Tetapi penggunaannya kacau ya. Seolah-olah bisa dengan mudah dipegang dan tidak tajam,” lanjut Amir. Sebagaimana diuraikan Amir, memang dalam dua penggambaran kisah Samson dengan senjata keris di dalamnya, tampak penggunaan keris yang tak lazim. Pertama , menyoal keris di lukisan Samsom Betrayed by Delilah . Di situ kerisnya tampak bergantung pada sabuk yang dipakai Samson kala tertidur di pangkuan Delilah. “Keris yang digantungkan dari sabuknya merupakan bentuk penggunaan yang tidak sebagaimana mestinya. Cara yang benar membawa senjata itu adalah dengan diselipkan di antara pakaian di bagian pinggul,” ungkap Karina H. Corrigan dkk dalam artikel “Rembrandt van Rijn, ‘Self-Portrait as an Oriental Potentate with a Weapon’, 1634” yang dimuat di Asia in Amsterdam: The Culture of Luxury in the Golden Age. Kedua dalam The Blinding of Samson , digambarkan mata Samson ditusuk kerisnya yang menjadi senjatanya sendiri oleh seorang prajurit. Masalahnya, sang prajurit memegang keris untuk menghujamkannya ke mata Samson, di bagian bilahnya, bukan deder atau gagangnya. “Iya itu yang dipegang bagian tajamnya malah. Mungkin karena ketidaktahuan (Rembrandt, red ) saja ya. Tidak tahu bagaimana cara menggunakannya dengan benar, sehingga penggambarannya seperti itu,” imbuh Amir lagi. Namun dari mana inspirasi itu berasal, sampai-sampai Rembrandt secara detail menyisipkan seonggok keris dalam lukisannya? Benarkah Rembrandt sendiri punya koleksi keris? “Saya bisa mengonfirmasi. Rembrandt memiliki sebilah keris. Dia punya banyak koleksi senjata, termasuk di dalamnya senjata-senjata eksotik,” timpal kurator Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda, Harm Stevens kepada Historia. Rembrandt sejak usia muda memang selain kondang sebagai pelukis, ia juga dikenal sebagai kolektor barang-barang antik. Utamanya sejak menginjak usia 26 tahun dan hidup glamor sebagai seorang borjuis di yang tinggal di kawasan elit Amsterdam tahun 1643. Maklum, kala itu tengah bergulir Gouden Eeuw atau era keemasan Belanda sebagai salah satu kolonialis terkaya dunia. Rembrandt muda di sela kesibukannya mencipta karya di atas kanvas, juga membantu pamannya, Hendrick di balai pelelangan dan perdagangan barang seni, mengingat Hendrick merupakan pedagang seni yang berpengaruh di Amsterdam saat itu. “Para pelanggan Rembrandt terdiri dari para saudagar kaya yang berkaitan erat dengan perdagangan dan keuangan global. Ia juga kenal dekat dengan beberapa pejabat tinggi Kongsi Dagang Hindia Timur (Verenigde Oostindische Compagnie/VOC). Tetangganya, Willem Boreel, seorang pengacara VOC. Teman dekatnya, Hendrick Scholten, sempat menjadi gubernur VOC,” tulis Stephanie Schrader dalam Rembrandt and the Inspiration of India. Lukisan "The Blinding of Samson" (Foto: Repro "Rembrandt: The Painter Thinking") Maka tak mengherankan jika Rembrandt juga punya koleksi benda-benda seni yang eksotis dari Hindia Timur (nama lama Hindia Belanda dan kemudian Indonesia). Namun bagaimana akhirnya ia tertarik, setidaknya punya sebilah keris sebagai salah satu koleksi senjata eksotisnya? “Rembrandt mengoleksi banyak benda eksotis. Di antaranya juga ada dua mangkuk dari Hindia Timur. Keris dengan hiasan berpahatnya seringkali memukau para kolektor. Salah satunya pelukis Pieter Lastman, di mana ia punya sebilah keris. Hingga kemudian diikuti muridnya, Rembrandt van Rijn yang juga memilikinya,” sambung Corrigan dkk. Jadi bisa dibilang bahwa ketertarikan Rembrandt pada keris juga sangat terpengaruh Lastman yang notabene mentornya. Toh gaya lukisan realisme yang dipengaruhi Caravaggio dalam karya-karya Lastman juga diikuti Rembrandt. Dikabarkan keris koleksi Rembrandt itu masih tersimpan Museum Het Rembrandthuis di Amsterdam. Adapun lukisan Samson Betrayed by Delilah , mengutip Ernest van de Wetering dalam Rembrandt: The Painter Thinking , mulanya dihadiahkan kepada Prins d’Orange Frederik Hendrik pad 1632. Lukisan itu turun-temurun diwariskan ke keturunannya, hingga kematian Raja Willem pada 1702, di mana lukisannya dilungsurkan kepada Raja Prusia Frederick II yang memindahkannya ke Berlin pada 1742. Oleh karenanya sampai kini pun lukisannya masih tersimpan di Berlin, tepatnya di museum seni Gemäldegalerie. Sedangkan lukisan The Blinding of Samson yang juga dihadiahkan ke Kerajaan Belanda, hingga kemudian diakuisisi Reichsvizekanzler atau Wakil Kanselir Kekaisaran Jerman Friedrich Karl von Schönborn di awal abad ke-18, untuk kemudian dibawa ke Wina, Austria. Sejak Mei 1905 hingga sekarang lukisannya dipamerkan di museum seni Städelsches Kunstinstitut und Städtische Galerie, Frankfurt am Main, Jerman, setelah ditebus dari keluarga Von Schönborn senilai 336 ribu marks.
- Bidan Ujung Tombak Penyehatan Generasi Baru
SETELAH Belanda hengkang, Indonesia berusaha membenahi sistem tata kesehatan masyarakat. Dengan kembalinya dokter Eropa ke negeri masing-masing, jumlah dokter di negara baru ini pun amat minim, pun layanan kesehatan ibu dan anak. Untuk mengatasi minimnya jumlah dokter, pemerintah meminta bidan, mantri, bahkan perawat bertindak sebagai pemimpin layanan kesehatan di pedalaman. Mereka harus memberi layanan kesehatan umum, layanan persalinan dan postpartum, cek kesehatan, Keluarga Berencana, vaksinasi, dan konsultasi kesehatan warga. Sebagai ujung tombak dalam pemeliharaan kesehatan ibu dan anak khususnya di pedalaman, para bidan lulusan RS Budi Kemulyaan berkumpul pada 15 September 1950 untuk merumuskan tujuan bersama. Mereka sepakat membentuk perkumpulan yang bertujuan menghidupkan rasa persaudaraan sesama bidan dan perempuan pada umumnya dan menyokong kerjasama dengan pemerintah dalam menjaga kesehatan rakyat. Lantaran perkumpulan itu bersifat amat lokal, para bidan kembali berkumpul pada 24 Juni 1951. Kali ini bidan dari berbagai daerah hadir. Selain Suleki Soemardjan, bidan lulusan kebidanan RS Jebres Solo yang merupakan istri sosiolog kondang Selo Soemardjan, hadir pula Bidan Fatimah Muin, Sri Mulyani, Sukaesih, dan kawan-kawan. Pertemuan ini menyempurnakan hasil musyawarah sebelumnya dan melahirkan Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Fatiman Muin terpilih sebagai ketuanya. Pertemuan itu juga membahas langkah IBI dalam mendukung program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang diluncurkan pemerintah pada 1951. Dalam upaya meningkatkan KIA, pemerintah berencana membangun Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) di desa-desa. Untuk merealisasikannya, Kementerian Kesehatan mengadakan Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada 1953. Sebagai koordinator para bidan, peran IBI dilakukan dengan mendata ketersediaan bidan di daerah. Ruang lingkup dan tugas bidan pun meluas pasca-mendapat KTB. Bidan tak hanya melayani pengawasan kehamilan, pertolongan kehamilan, dan perawatan ibu nifas. Lebih jauh, mereka yang sudah menjalani KTB ditugasan untuk memberikan layanan kesehatan secara umum di masyarakat. Dikutip dari Bidan Sebuah Perjalanan Karier, Prof. dr. Sarwono Prawirohardjo, penasehat Ikatan Bidan Indonesia, mengatakan layanan KIA berkaitan dengan kelangsungan hidup, di mana tingkat kesehatan yang optimal sangat menentukan keselamatan bangsa. Pernyataan Sarwono sejalan dengan buku Pedoman dan Berita yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1966. Disebutkan buku itu bahwa pemeliharaan kesehatan masyarakat, ibu, bayi, dan anak dilakukan dalam rangka mempertinggi (meningkatkan) ketahanan revolusi. Model layanan kesehatan di era kolonial yang hanya bisa diakses segelintir orang pun ditinggalkan. Akses kesehatan pasca-kemerdekaan diharapkan dapat diakses semua rakyat dan “mencari sistem baru yang sesuai dengan sosialisme Indonesia.” Para bidan yang bertugas memimpin BKIA menjadi garda tedepan dalam penyediaan layanan pemeriksaan pra dan pasca-persalinan, pemeriksaan bayi dan anak, termasuk pemberian vaksinasi, imunisasi, serta penyuluhan mengenai pemeliharaan kesehatan. Masalah gizi anak dan pelayanan Keluarga Berencana pun jadi urusan para bidan yang bertugas di BKIA. Selain bertugas di BKIA, para bidan juga bertanggung jawab atas pengawasan kesehatan di lingkungan tugasnya. Mereka tak jarang melalukan kunjungan ke rumah warga yang sakit untuk memberikan penyuluhan tentang perawatan kesehatan. Pengawasan kesehatan anak prasekolah di Taman Kanak-Kanak pun menjadi tugas para bidan. Pada Kongres IBI 1955, Suleki terpilih sebagai ketua IBI menggantikan Ruth Soh Sanu yang menjadi ketua sejak 1953. Dalam Bidan Indonesia Menyongsong Masa Depan yang diterbitkan bertepatan dengan 50 tahun IBI, Mustika mencatat bahwa kala kondisi politik sedang tak menentu akibat pemilu 1955, IBI berusaha melakukan konsolidasi agar persatuan para bidan tak terpengaruh polarisasi politik dan tetap teguh pada tugas kemanusiaan. Sosialisasi program KIA pun terus dilakukan. Suleki bahkan menyumbangkan rumahnya di Jalan Johar Baru Jakarta Pusat pada IBI untuk dipakai sebagai BKIA. Pada perkembangan selanjutnya, pelayanan KIA terintegrasi dengan layanan kesehatan yang tersedia di Puskesmas. Bidan tetap mengepalai BKIA, sementara manajerial Puskesmas tetap dipegang oleh kepala Puskesmas yang seringnya dijabat dokter umum. Keberhasilan program BKIA pun bisa ditilik dari menurunnya masalah kurang gizi, Angka Kematian Ibu, atau Angka Kematian Bayi (AKB). Berdasarkan data statistik 1950-an, jumlah angka kematian ibu mencapai 55.000 sementara AKB mencapai 600.000 karena kurang perawatan. Angka ini terus menurun. Pada 1960, AKB yaitu 216 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara pada akhir 1980 AKB menjadi 68 per 1.000 kelahiran hidup.*
- Ketika Daud Beureueh Disuguhi Nasi Garam
SEKALI waktu Mayor Jenderal (tituler) Tengku Daud Beureueh berkunjung ke Tanah Karo. Daud Beureueh merupakan gubernur militer untuk wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Selama tiga hari, Daud Beureueh menginspeksi pasukan Resimen I Divisi X Sumatra yang dipimpin Letkol Djamin Gintings. Selain itu, ulama kharismatik asal Aceh itu berceramah untuk meningkatkan moral pasukan menghadapi Belanda. Pada hari ketiga, 28 Januari 1948, rombongan Daud Beureueh tiba di Kutabaluhberteng. Komandan front setempat, Kapten Rimrim Ginting menjadi perwira yang bertugas mempersiapkan penyambutan dan pelayanan. Kepada para rombongan, Kapten Rimrim memberitahukan bahwa makanan berupa nasi bungkus sudah tersedia. “Tiap bungkus berisi nasi beserta dua buah cabai merah dan sedikit garam. Tidak ada lauk yang lain,” tutur Djamin Gintings dalam catatan hariannya yang pada 1964 dibukukan dengan judul Bukit Kadir . Sambil tersenyum masam Daud Beureueh dan para perwira pengiringnya terpaksa memakan isi nasi bungkus yang disajikan. Apa boleh buat, perut mereka sudah keroncongan. Walau sudah barang tentu tidak sesuai selera, mereka melahap saja nasi garam-cabe itu daripada kelaparan. Letkol Djamin Gintings sang komandan resimen beserta staf nya agak keheranan menyaksikan menu makanan yang memprihatinkan itu. Pasalnya, biaya makanan untuk menyambut gubernur militer sudah diberikan. Biaya yang dianggarkan bahkan cukup untuk menyembelih seekor sapi atau kerbau. Setelah selesai makan, gunjingan pun bermunculan. Mayor Minggu mengoceh kepada sesama perwira. “Komandan apa ini, biaya telah diberikan, tapi makanan cuma dengan cabai," katanya dalam nada ketus. Alih-alih merasa malu, komandan front Kapten Rimrim Ginting malah menjadi tersinggung. Dengan muka merah ia lalu menimpali omelan atasannya itu, “Saya harap Mayor jangan bicara lagi seperti itu, sebab Mayor belum tahu maksud saya.” Daud Beureueh memanggil Kapten Rimrim Ginting. Sambil tersenyum kecut, dia menanyakan riwayat hidup sang komandan front. Setelah rombongan Daud Beureueh berangkat meninggalkan Kutabuluhberteng, barulah makanan yang enak-enak disuguhkan. Kapten Rimrim menginstruksikan pasukannya untuk menyantap makanan itu. Mereka pun bersantap ria diiringi rasa terkejut dan sedikit keanehan. “Mengapa Komandan berbuat demikian?” tanya salah seorang prajurit. “Maksud saya menunjukkan kepada rombongan Gubernur Militer,” kata Kapten Rimrim. “Bahwa kita setiap harinya makan nasi hanya dengan cabai dan garam di front ini. Kalau para pembesar datang baru diberi ektramakanan.” Rupanya Kapten Rimrim ingin memberikan pelajaran agar pasukannya juga diperhatikan dengan diberikan asupan makanan yang cukup. Duh, berani-beraninya ya.*
- Riwayat Keris Bertuah Milik Diponegoro
KERIS Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro sudah tiba di Tanah Air, Kamis (5/3/2020). Setelah 189 tahun berada di tangan Belanda, ia dipulangkan lima hari jelang lawatan kenegaraan Raja Belanda Willem-Alexander ke Indonesia. Namun riwayat keris itu sendiri masih terselubung misteri. Menurut Peter Carey, sejarawan peneliti Pangeran Diponegoro, keris Kiai Nogo Siluman merupakan satu dari sekian benda pusaka ternama peninggalan pemimpin perlawanan Perang Jawa (1825-1830) yang selama ini disebutkan hilang. Tapi bagaimana keris itu bisa dibawa negosiator ulung Kolonel Jan-Baptist Cleerens ke Belanda pada 1831 masih jadi tanda tanya. “Diponegoro punya banyak keris. Tentu itu (Kiai Nogo Siluman) bukan satu-satunya. Tapi bagaimana Cleerens memperoleh keris itu masih belum jelas. Apakah keris itu diberikan Diponegoro sebagai bentuk kepercayaan dalam negosiasi di Banyumas, atau Cleerens diberi oleh Jenderal (Hendrik Merkus Baron) de Kock setelah Diponegoro ditangkap di Magelang,” ujar Peter Carey kepada Historia . Pasalnya menilik Babad Diponegoro , lanjut Carey, tak pernah ada catatan bahwa keris Diponegoro dilucuti. Penyebutan tentang keris Kiai Nogo Siluman pun hanya tertera pada dua dokumen, yakni surat Sentot Prawirodirjo, salah satu panglima perang Diponegoro tertanggal 27 Mei 1830 kepada perwira kavaleri Belanda, François Delatre, dan keterangan pelukis Raden Saleh pada Januari 1831 atas permintaan Direktur Koninklijke Kabinet van Zaldzaamheden (KKZ) SRP van de Kasteele. “ Kiai berarti tuan. Semua yang dimiliki seorang raja memakai nama ini. Nogo adalah ular dalam dongeng dengan sebuah mahkota di kepalanya. Siluman adalah sebuah nama yang terkait dengan bakat-bakat luar biasa, semacam kemampuan untuk menghilang dan seterusnya. Karena itu, nama keris Kiai Nogo Siluman berarti raja ular penyihir, sejauh hal itu dimungkinkan untuk menerjemahkan sebuah nama yang megah,” sebut Raden Saleh dalam penilaian singkatnya, mengutip Werner Kraus dalam Raden Saleh dan Karyanya. Peter Carey, sejarawan Inggris peneliti riwayat Pangeran Diponegoro (Youtube OVIS UI). Dari keterangan Raden Saleh sudah terasa betapa keramat keris Kiai Nogo Siluman. Soal dari mana Diponegoro mendapatkan keris itu, Carey pun belum bisa memastikan siapa yang membuat atau apakah keris itu merupakan pemberian, sebagaimana Keris Kiai Abijoyo yang dilungsurkan dari ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono III. Dalam biografi Diponegoro, The Power of Prophecy , Carey sekadar menyebut keris itu diberi nama “Siluman”, kemungkinan karena ia bersemedi di Gua Siluman dalam pengelanaannya pada 1805 dan kemudian didatangi Putri Genowati, salah satu wakil Ratu Kidul yang menguasai Pantai Selatan. Karenanya Carey mengurai “isian” keris itu mengandung makna hubungan antara manusia di dunia nyata dan makhluk-makhluk gaib di alam tak kasat mata. “Keris Kiai Nogo Siluman itu mempunyai isi makna tentang hubungan antara manusia dan dunia gaib. Dan keris yang punya luk 13 itu sering dilempar ke laut kidul, hingga kemudian tersembur semacam pintu terbuka di atas dunia para dewa-dewi. Diponegoro sangat hafal itu dan Ratu Kidul pernah datang untuk menawarkan bantuan pasukan gaib untuk mengusir Belanda. Tapi Diponegoro bilang, ia tidak membutuhkan pertolongan dunia gaib untuk urusan duniawi,” sambung Carey. Dari penilaian itu pula, ditambah ketiadaan catatan dalam Babad Diponegoro tentang apakah keris itu yang senantiasa dipakai Diponegoro dalam peperangannya terhadap Belanda, Carey ragu bahwa Kiai Nogo Siluman merupakan keris Diponegoro yang paling utama dan paling keramat di antara semua pusakanya. Di antara pusaka-pusaka yang dimiliki Pangeran Diponegoro, keris Kiai Ageng Bondoyudo masih diakui sebagai yang dianggap paling utama. Selain punya “isian” sebagai penguasa semua roh di Cilacap, keris itu pula yang menemani Diponegoro kala disemayamkan di Kampung Melayu, Makassar, saat wafatnya 8 Januari 1855. “Keris yang paling penting adalah Kiai Ageng Bondoyudo itu. Keris paling berharga yang punya isi. Sampai ia berpesan saat (sebelum) meninggal, bahwa keris itu tidak boleh sembarangan diwariskan dan harus dikuburkan bersamanya karena di keris itulah dia punya (menyimpan) aji-aji dan kekuatan gaib yang tidak layak berada di tangan orang lain,” tandas Carey.
- Keris Diponegoro Dikembalikan Belanda, Ini Kata Peter Carey
SUDAH 189 tahun keris Kiai Nogo Siluman berada di Belanda. Hari ini, Kamis (5/3/2020) atau lima hari jelang kunjungan Raja Belanda ke Indonesia, keris kondang milik Pangeran Diponegoro ini dikembalikan dan disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, dokumen tentang keris Kiai Nogo Siluman raib bak ditelan bumi dan baru ditemukan dan diidentifikasi lagi medio 2017. Keris yang sebelumnya berada di Museum Volkenkunde, Leiden itu lantas secara resmi diserahkan ke Duta Besar RI untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja pada Selasa (3/3/2020) dan dibawa pulang ke tanah air untuk diserahkan ke Museum Nasional pagi ini. “Saya agak heran, bagaimana bisa sebegitu teledor keris dari seorang Diponegoro bisa hilang. Padahal keris ini masuk dalam koleksi kerajaan (Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden atau KKZ) sejak Januari 1831,” ujar sejarawan Peter Carey kepada Historia. Keris Kiai Nogo Siluman didapatkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens pada negosiasi pertama dengan Pangeran Diponegoro di Banyumas. Lantas dibawa ke Belanda untuk dipersembahkan ke Raja Willem I pada Januari 1831 sebagai simbol kemenangan Belanda pada Perang Jawa (1825-1830). Sejarawan peneliti Pangeran Diponegoro, Peter Carey. (Twitter @CDrieenhuizen) Keris itu kemudian disimpan di KKZ. Bahkan pernah turut jadi benda yang dipamerkan dalam sebuah pameran budaya dunia di Amerika Serikat, yakni Centennial Exposition di Philadelphia, pada 1876. Namun pada 1883, menyusul pembubaran KKZ, semua koleksi disebar ke tujuh museum lain. Sialnya, seabrek dokumen tentang koleksi-koleksi itu, termasuk keris Kiai Nogo Siluman, dinyatakan hilang. “Jadi setelah KKZ dibubarkan pada 1883, sama sekali tidak ada informasi yang betul-betul merujuk kepada keris (Kiai Nogo Siluman). Keris seperti hilang. Dari sekian banyak keris lain juga tidak dipelihara dengan baik oleh koleksi kerajaan (KKZ),” ujar Peter Carey yang dikenal sebagai Indonesianis peneliti kehidupan Pangeran Diponegoro. “Lain dengan apa yang dipunya koleksi Kerajaan Inggris. Ada beberapa benda dari Indonesia tapi sudah didaftarkan, sudah diteliti, punya nomor yang jelas, sehingga kita bisa melacaknya lewat laman daring. Semua itu tidak dibuat Belanda,” ketus Carey. Pun saat Belanda dan Indonesia terlibat Cultural Accords pada 1975, keris Kiai Nogo Siluman masih misterius. Hanya tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda Diponegoro yang kembali dan jadi koleksi Museum Nasional, Jakarta. Adapun riset tentang keris Kiai Nogo Siluman baru terjadi medio 2017. Selain desakan eksternal akan isu dekolonisasi, risetnya dipicu beberapa buku yang terbit kemudian mengenai Diponegoro. Salah satunya karya Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of and Old Order in Java, 1785-1855. “Setelah ada beberapa buku, termasuk buku saya, mulai ada arus yang mau menguak sorot Diponegoro. Tahun 2017 mereka baru melakukan riset. Dalam pandangan saya, ini mencerminkan tidak bertanggungjawabnya Belanda. Jika mereka punya rasa hormat, mereka akan merawat betul benda bersejarah itu,” ujar Carey. “Mungkin riwayat yang terjadi dengan keris ini mencerminkan apa yang terjadi dengan sekian banyak pembuangan tokoh lainnya yang kemudian dilupakan setelah dikuasai. Ini seperti citra Belanda terhadap perlakuan mereka atas kebudayaan Jawa. Mereka datang ke sini untuk menjadi kolonialis yang sukses, menangkap Diponegoro, lantas peduli setan dengan hal lainnya,” tandas Carey .
- Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air
KERIS Pangeran Diponegoro yang ditemukan di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, resmi diserahkan kepada Museum Nasional Indonesia, Kamis, 5 Maret 2020. Penyerahan keris dilakukan Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja dan diterima langsung oleh Kepala Museum Nasional Indonesia Siswanto. “Semoga hari ini menjadi berkat bagi kita semua. Karena hari ini merupakan momentum yang bersejarah dengan kembalinya keris Pangeran Diponegoro sejak keluar dari tanah air kita 150 tahun lalu,” ujar Dubes Puja. Puja tiba di Jakarta pagi tadi menumpang pesawat Garuda Indonesia dari Amsterdam dan membawa serta keris Pangeran Diponegoro tersebut. Menurutnya, inilah keris Kiai Nogo Siluman yang selama ini dicari-cari. “Riset dokumentasi yang dilakukan menunjukkan ke arah keris ini. Sehingga pakar kita dan juga dari pihak Museum Volkenkunde yakin seyakin-yakinnya bahwa ini adalah keris yang dicari-cari, yaitu keris Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro,” ujar Puja di Museum Nasional. Keris Kiai Nogo Siluman sempat tak teridentifikasi pasca Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (KKZ) atau Koleksi Langka Kerajaan dibubarkan. Pencarian kembali keris Kiai Nogo Siluman dimulai tahun 1984 oleh Peter Pott, kurator Museum Volkenkunde. Namun, penelitian Pott kemudian terhenti. Pencarian kembali dilakukan Johanna Leigjfeldt (2017) dan Tom Quist (2019). Quist dan Leigjfeldt kemudian menemukan tiga keterangan yang kemudian digunakan untuk mengidentifikasi keris Kiai Nogo Siluman. Keterangan pertama berasal dari surat Sentot Prawirodirjo, mantan perwira perang Diponegoro. Yang kedua keterangan Kolonel Jan-Baptist Cleerens yang membawa keris tersebut. Ketiga, surat dari pelukis Raden Saleh yang mendeskripsikan bentuk keris itu. Sejarawan UGM Sri Margana memeriksa keris Kiai Nogo Siluman di Museum Volkenkunde, Leiden, 24 Februari 2020. Disaksikan oleh Direktur Nationaal Museum van Wereldculturen Stijn Schoonderwoerd, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja. (Bonnie Triyana/Historia). Bukti-bukti tersebut telah dikonfirmasi oleh Ketua Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada Sri Margana yang tergabung dalam tim ahli dari Indonesia. Pada 24 Februari lalu, Margana datang ke Belanda untuk memastikan keaslian keris tersebut. Keris Nogo Siluman berbahan dasar besi berwarna hitam dengan ukiran berwarna emas. Terdapat wujud naga yang tubuhnya memanjang di sekujur bilah keris. Tubuh naga ini dulunya dilapisi emas namun sekarang hanya beberapa jejak emas yang tersisa. Sementara itu, ada satu lagi wujud naga yang membuat keris ini dinamai Kiai Nogo Siluman. Ukiran naga itu tersembunyi di bagian bawah bilah keris yang berdekatan dengan gagang keris. Sosok naga ini hanya bisa terlihat dari posisi tertentu. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid menyebut rencananya keris tersebut akan dipamerkan saat pertemuan Raja Belanda Willem-Alexander dengan Presiden Joko Widodo, 10 Maret mendatang. Selain itu, keris Nogo Siluman akan dipamerkan secara khusus di Museum Nasional agar publik dapat menyaksikannya. Dalam pameran yang sama juga akan ditampilkan sejumlah benda pusaka Diponegoro yang telah dikembalikan pada 1978, yakni tombak, pelana kuda dan payung kehormatan, serta tongkat Kyai Cokro yang telah dikembalikan pada 2015. “Kita memberi kesempatan kepada publik untuk ikut menikmati kebahagiaan ini. Jadi kita sangat berterimakasih sekali dan berharap pihak Museum Nasional menjaga pusaka ini, betul-betul memastikan keamanan seluruh benda berharga ini,” kata Hilmar.*
- Sukarno, Antara India dan Pakistan
HUBUNGAN India dan Pakistan kerap kali dirundung konflik. Namun bagi Indonesia, kedua negara itu merupakan sahabat lama. Hubungan baik dengan kedua negara setidaknya sudah terjejaki pada masa kepemimpinan Presiden Sukarno. Dalam otobiografinya, Sukarno mengenang orang-orang India yang punya jasa di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan. “Orang India suka menolong. Selama pertempuran (di) Surabaya, 600 orang (India) menyeberang memihak kepada kami,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat . Ketika India dilanda bencana kelaparan, Indonesia membalas budi dengan mengirimkan bantuan 500 ribu ton beras pada April 1946. Saling sokong antara India dan Indonesia terjalin karena kedekatan pemimpin masing-masing: Sukarno dan Pandit Jawaharlal Nehru. Saat Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda, Nehru yang memimpin Partai Kongres Nasional India menyatakan dukungan dan simpati. Nehru bahkan mengajukan protes kepada Inggris yang cenderung memihak Belanda. “Ia (Nehru) pun minta kepada Pemerintah Inggris untuk tidak menggunakan serdadu Gurkha (maksudnya India) guna melawan gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia di Jawa,” tulis Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid 1: 1945. Pada September 1946, Nehru dilantik menjadi Perdana Menteri India yang pertama. Sukarno lantas mengirimkan kawat ucapan selamat. Sehubungan dengan terpilihnya Nehru, Sukarno mengungkapkan perasaan sukacita bangsa Indonesia terhadap saudara-saudaranya bangsa India. Dalam surat balasan kepada Sukarno, Nehru menyatakan “India dan Indonesia di tahun terakhir ini makin dekat-mendekati. Di India banyak simpati atas perjuangan kemerdekaan Indonesia.” Pada 1947, gerakan pemisahan terjadi di India karena segregasi agama Hindu dan Islam. Pemimpin Liga Muslim India, Muhammad Ali Jinnah menginisiasi pembentukan negara Pakistan sekaligus menjadi presiden pertama Republik Islam Pakistan. Bagaimana Sukarno memandang Pakistan? Menurut Sigit Aris Prasetyo dalam Dunia dalam Genggaman Bung Karno , Sukarno memiliki hubungan erat dengan sederatan pemimpin besar Pakistan. Mereka antara lain: Muhammad Ali Jinnah, Presiden Iskander Mirza (1956-58), dan Ayub Khan (1958-69). Pergaulan Sukarno dan pemimpin Pakistan dilatari pengalaman sejarah masa revolusi. Kenyataan bahwa banyak serdadu Pakistan yang tergabung dalam resimen tentara Sekutu melakukan desersi di Indonesia. Mereka menolak berperang melawan pejuang dan rakyat Indonesia yang dijunjung tinggi sebagai saudara seiman. Sukarno dalam otobiografinya mengaku cukup mengenal Ayub Khan yang gemar bermain golf. Kedekatan Sukarno dan Ayub Khan dapat diketahui karena keduanya sering saling mengunjungi. Ketika berkunjung ke Pakistan pada Juni 1963, Sukarno disambut bagaikan tamu agung. Sukarno dan Ayub Khan diarak dengan kereta kuda berikut kawalan pasukan tradisional mengelilingi jalan protokol di Karachi. “Di Pakistan, hubungan yang hangat dan akrab antara Presiden Ayub Khan dengan Presiden Sukarno ditandai dengan satu pernyataan bersama. Dalam pernyataan bersama ini Presiden Ayub Khan menyatakan sokongannya terhadap penyelenggaraan Conefo,” ujar juru bicara Departmen Luar Negeri Ganis Harsono dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno . Dilema melanda tatkala India dan Pakistan terlibat sengketa wilayah Kashmir pada 1965. Dalam perang India-Pakistan tersebut, Sukarno mengambil sikap: mendukung Pakistan. Indonesia secara terang-terangan sekubu dengan Ayub Khan ketimbang Nehru. Dukungan Sukarno bukan sekedar orasi simbolis. Sukarno pernah mengirimkan kapal selam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) ke Pakistan sebagai sinyal kepada pihak India agar tidak menyerang Pakistan. Keberpihakan Sukarno terhadap Pakistan yang dipimpin Ayub Khan bukannya tanpa sebab dan alasan kuat. Dalam berbagai isu politik global Sukarno dan Ayub Khan merupakan kompatriot. Dalam kasus konfrontasi Indonesia-Malaysia misalnya, Ayub Khan membela posisi Sukarno dengan bersikap “netral”. Netralitas Ayub Khan ini terbilang janggal sebab Pakistan terikat solidaritas persemakmuran negara-negara “ Commonwealth ” dimana Inggris, India dan Federasi Malaysia ada didalamnya. Manuver Ayub Khan demikian sungguh diharapkan Sukarno yang sedang getol-getolnya melancarkan kampanye ganyang Malaysia. “Sikap Ayub Khan ini juga berseberangan dengan India yang cenderung mendukung terbentuknya Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris,” tulis Sigit Aris Prasetyo. Kecendrungan Sukarno terhadap Pakistan agaknya mempengaruhi hubungan dengan India. Sukarno dan Nehru secara ideologi politik mulai bersebrangan. Itu ditandai dengan penolakan Nehru bergabung dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) II yang digagas Sukarno. Agenda Sukarno untuk unjuk gigi pada KAA II yang sedianya diselenggarakan di Aljazair itu pun urung terlaksana. Meski demikian, Sukarno tetap menjunjung hormat figur Nehru secara pribadi. Di bagian akhir otobiografinya, Sukarno mendaku sahabat India nya itu dengan rasa takzim: “Teman akrabku, Pandit Jawaharlal Nehru”.*
- Soerjopranoto Si Raja Mogok
Periode 1919 hingga awal dekade 1920-an, terjadi pemogokan buruh pabrik di berbagai daerah di Jawa. Zaman ini kemudian dikenal sebagai zaman mogok. Salah satu organisatornya adalah seorang anak bangsawan keraton yang memilih turun ke pergerakan. Ia adalah Soerjopranoto yang terkenal dengan julukan Raja Mogok. R.M. Soerjopranoto lahir pada 1871 sebagai anak bangsawan. Ayahnya adalah Pangeran Soerjaningrat dari Keraton Pakualaman. Ia juga merupakan kakak dari Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Soerjopranoto lulus dari OSVIA Magelang dan Sekolah Pertanian di Buitenzorg (Bogor). Ia kemudian bekerja di Dinas Informasi dan Penyuluhan Pertanian di Wonosobo pada 1914. Suatu ketika, Asisten Wedana Temanggung dipecat karena menjadi anggota Sarekat Islam (SI). Soerjopranoto kemudian melabrak Asisten Residen Banyumas. Namun, setelah adu debat, Sorjopranoto sadar bahwa sia-sia berdebat dengan aparat kolonial. Soerjopranoto kemudian mengeluarkan surat pengangkatan jabatan dan surat ijazah dari Middelbare Landbouwschool dan menyobek-nyobeknya di hadapan pembesar kolonial. "Sejak detik ini aku tidak sudi lagi bekerja untuk pemerintah Belanda!" ujar Soerjopranoto dikutip dari Raja Mogok, R.M. Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan. Pendirian Soerjopranoto begitu kuat. Meski pada 1918, rekan-rekannya seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat), ia tetap keras menolak jabatan yang sama. Di Yogyakartaa, Soerjopranoto mendirikan koperasi petani dan bekel. Karena usaha ini gagal, ia lalu aktif di Boedi Oetomo Yogyakarta. Bersamaan dengan peristiwa kerusuhan buruh di pabrik gula Padokan, Yogyakarta, pada Agustus 1918, Soerjopranoto mendirikan Arbeidsleger (tentara buruh) sebagai cabang dari Adhi Dharma, sebuah perkumpulan para pangeran. Adhi Dharma sendiri awalnya hanya membantu buruh-buruh yang dipecat untuk memperoleh pekerjaan baru dan membantu keuangan mereka selagi mencari kerja. Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, menyebut pada masa ini dimulailah zaman mogok. Kala itu, kaum buruh pabrik gula resah karena penurunan upah terus-menerus. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oleh Soerjopranoto beserta pasukan buruhnya. Ia kemudian mengumumkan berdirinya Personeel Fabrieks Bond (PFB) pada November 1918. "Sekarang adalah zaman demokrasi, zaman volksregering (pemerintahan rakyat). Raja tidak (boleh lebih lama lagi) memerintah semaunya, tapi rakyat sendiri harus bersuara, turut serta dalam membuat aturan-aturan dan tidak boleh hanya diperintah," sebutnya dalam surat edaran pertama PFB. "Tetapi," lanjutnya, "kami, rakyat, siap menaati hukum yang kami nilai sah. Semua buruh harus memiliki kebebasan dan persamaan (di muka hukum), dan mereka berhak bersuara tentang segala tindakan yang diambil kaum kapitalis sehubungan dengan dirinya." Dalam edaran ini, Soerjopranoto secara tegas mengatakan bahwa buruh adalah kunci kehancuran kapitalisme. "Kami tahu persis bahwa kapitalisme akan hancur jika tidak ada buruh. Kami juga tahu benar bahwa modal hanya hasil akumulasi keluhan dan erangan kaum buruh," jelasnya. PFB kemudian mengorganisir tukang, juru ukur, teknisi, juru tulis, dan pemegang buku yang menjadi pekerja tetap. Awalnya perkembangan PFB agak lambat. Pada Maret 1919 anggotanya hanya 750 orang dan terbatas di Yogyakarta. Tetapi, musim panen dan penggilingan tahun 1919 menjadi masa jaya PFB. Anggotanya menjamur di semua tanah perkebunan gula di Jawa. Sejak itu, di berbagai pabrik gula terjadi pemogokan buruh atas inisiatif sendiri untuk menuntut kenaikan upah, persamaan hak antara buruh Belanda dan bumiputra, perbaikan kondisi kerja, delapan jam kerja sehari, libur dengan bayaran satu hari dalam seminggu serta tambahan bayaran untuk kerja lembur. Untuk melancarkan pemogokan, para buruh meminta pemimpin pusat PFB agar organisasi itu mengirim propagandis untuk memimpin pemogokan. Wakil-wakil PFB kemudian dikirim dan mendirikan afdeling (cabang) PFB di daerah. "Karena sikap netral pemerintah, banyak pemogokan yang berhasil dengan suskes. Merasa mendapat angin, afdeling-afdeling PFB menuntut lebih banyak dari pabrik dan lagi-lagi dengan sukses mengorganisir pemogokan," tulis Takashi Shiraishi. Pemogokan meluas, PFB pun berkembang pesat. Pada Juni 1919, jumlah anggota PFB mencapai seribu orang. PFB juga mulai menerbitkan surat kabar Boeroeh Bergerak dengan Soerjopranoto, Soemodihardjo, dan Hadisoebroto sebagai editor. Pada akhir 1919, PFB menjadi serikat buruh yang paling besar dan militan di Hindia Belanda dengan sembilan puluh afdeling. Anggota dan calon anggotanya mencapai angka sepuluh ribu di seluruh Jawa. Soerjopranoto sendiri kemudian dikenal sebagai propagandis serikat buruh terkemuka dengan Sarekat Islam Yogyakarta sebagai pusat pergerakan baru. Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menjulukinya " de Javaanse Edelman met een otembare wil " yang artinya "bangsawan Jawa dengan tekadnya yang tak terjinakkan". Soerjopranoto kemudian juga memimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Dari kantor PPKB, Soerjopranoto mengkoordinasi pemimpin-pemimpin pemogokan dengan rapi. Hingga 1920, PPKB membawahi 22 sarekat buruh dengan jumlah anggota 72.000 orang. "Soerjopranoto secara bergilir mendatangi tempat-tempat pemogokan untuk memimpin sendiri dan mengobarkan semangat. Dan karena aksinya itulah maka pers Belanda memberi gelar kepadanya sebagai De Stakingskoning atau Si Raja Pemogokan," ungkap Bambang Sukawati dalam Raja Mogok, R.M. Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan. Atas aksi-aksinya, Soerjopranoto tiga kali kena delik dan masuk penjara. Pertama ia dipenjara di Malang selama tiga bulan pada 1923. Kemudian pada 1926, ia dipenjara di Semarang selama 6 bulan. Sementara di Bandung, ia dibui di Sukamiskin selama 16 bulan. Sejak 1950, Soerjopranoto menghentikan kegiatan politik praktisnya. Ia lebih aktif di dunia pendidikan dan kepenulisan hingga akhir hayatnya. Pada 15 Oktober 1959, Si Raja Mogok meninggal dunia dalam usia 88 tahun di Bandung. Ia kemudian dimakamkan di Kota Gede, Yogyakarta.
- Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda
KEMENTERIAN Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda hari ini, Rabu, 4 Maret, pukul 09:00 pagi waktu Belanda mengumumkan pengembalian sebilah keris Jawa kepada Indonesia. Dalam rilis yang diterima Historia , keris yang dimaksud merupakan pusaka milik Pangeran Diponegoro. Keris berwarna hitam dengan ukiran berlapis emas itu sempat dikabarkan hilang. Keris tersebut berhasil diidentifikasi setelah dilakukan penelitian terhadap koleksi Museum Volkenkunde, Leiden. “Saya bahagia bahwa penelitian mendalam ini, yang diperkuat ahli Belanda dan Indonesia, menjelaskan bahwa ini adalah keris yang dicari-cari selama ini. Sekarang keris ini dikembalikan ke negeri asalnya: Indonesia,” ujar Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda, Inggridvan Engelshoven. Keris itu telah diserahkan Ingrid van Engelshoven kepada Duta Besar Indonesia I Gusti Agung Wesaka Puja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda, kemarin, 3 Maret, pukul 10 pagi waktu setempat. Catatan yang Hilang Ketua Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada Sri Margana yang tergabung dalam tim ahli dari Indonesia memastikan bahwa keris itu milik Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, keris itu dihadiahkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens kepada Raja Willem I pada 1831. Keris itu kemudian disimpan di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (KKZ) atau koleksi khusus kabinet Kerajaan Belanda. Setelah KKZ bubar, koleksinya tersebar ke sejumlah museum. Namun banyak informasi mengenai koleksi ikut hilang. Termasuk keris Pangeran Diponegoro yang diserahkan kepada Museum Volkenkunde di Leiden. Padahal, sebelum dipindahkan ke Museum Volkenkunde, keris ini pernah dipamerkan di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 1876. Hal ini tercatat dalam katalog pameran yang menyebutkan keris tersebut milik Pangeran Diponegoro. “Kerisnya ada tapi catatannya hilang. Jadi bukan kerisnya yang hilang,” ujar Margana kepada Historia . Perjanjian 1975 Penyerahan keris Pangeran Diponegoro kali ini merupakan bagian dari perjanjian antara Indonesia dan Belanda pada 1975 mengenai pengembalian warisan budaya yang berkaitan dengan tokoh bersejarah. Buah perjanjian tersebut adalah pengembalian benda bersejarah Indonesia pada 1978. Benda-benda yang dikembalikan waktu itu antara lain arca Prajnaparamita dan 237 benda berharga dari Puri Cakaranegara, Lombok, hasil jarahan pada Perang Lombok 1894. Terkait Pangeran Diponegoro, dikembalikan tiga benda yang pernah digunakan Pangeran Diponegoro, yakni payung kehormatan, tombak, dan pelana kuda. Selain itu, pada saat bersamaan, Yayasan Granje-Nassau menghadiahkan lukisan karya Raden Saleh tentang penangkapan Pangeran Diponegoro. Pengembalian benda bersejarah Indonesia terjadi lagi 37 tahun setelah itu, yakni pada 2015. Bersamaan dengan pembukaan pameran "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini" di Galeri Nasional, sebuah tongkat milik Pangeran Diponegoro dikembalikan. Tongkat bernama Kanjeng Kyai Cokro itu disimpan selama 181 tahun oleh keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1833-1834, Jean Chretien Baud. Kini, benda-benda bersejarah Pangeran Diponegoro disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Akan menyusul pula keris Pangeran Diponegoro ini .*
- Serba-serbi Senjata Biologis
SEJAK pengumuman kasus positif corona di Depok, Jawa Barat oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (2/3/2020), pemberitaan virus corona mendominasi pemberitaan nasional. Kasus corona bahkan memicu kepanikan masyarakat dengan memborong masker dan sembako. Virus corona yang sebelumnya bernama “Flu Wuhan”, pernah diprediksi Dean Koontz dalam novelnya terbitan 1981, The Eyes of Darkness . Konon virus itu merupakan buah pikiran para ilmuwan China untuk kemudian dijadikan senjata biologis. Dalam novelnya, Koontz mengisahkan virus itu bernama “Wuhan-400” lantaran dikembangkan sebagai senjata yang sempurna di laboratorium dekat kota Wuhan. Kengerian itu lalu dibocorkan seorang ilmuwan China. “Seorang ilmuwan China melarikan diri ke Amerika membawa rekaman dalam disket tentang senjata biologis baru paling penting dan berbahaya dalam satu dekade terakhir. Mereka menyebutnya ‘Wuhan-400’ dan itu senjata yang sempurna,” kata Dombey, salah satu karakter di novel itu. “Prediksi” Koontz itu jadi heboh di jagat maya setelah penulis Nick Hinton mengunggah salah satu bagian novel itu di akun Twitter-nya, @NickHintonn , pada 16 Februari 2020. Sebulan sebelumnya, eks perwira intelijen Israel, Dany Shoham meyakini COVID-19 alias virus corona serupa dengan garis besar kisah novel itu – berupa senjata biologis yang dikembangkan China. “Lab-lab tertentu di institut (Wuhan Institute of Virology) mungkin terlibat, dalam hal riset dan pengembangan senjata biologis di China, setidaknya secara kolateral,” ungkapnya kepada The Washington Times , 26 Januari 2020. Ilustrasi COVID-19 atau virus corona (Foto: pcma.org ) Pernyataan Shoham itu kemudian dibantah beberapa ilmuwan Amerika. Di antaranya Richard Ebright, profesor biologi-kimiawi di Universitas Rutgers. Ebright tak melihat virus corona sebagai wabah buatan manusia. “Berdasarkan genome virusnya dan unsur-unsurnya, tidak ada indikasi apapun yang mengungkapkan bahwa virus itu adalah buatan (manusia),” sanggahnya. Terlebih jika merujuk pada karakteristik virus Wuhan-400 yang ada dalam novel dan virus corona di dunia nyata, keduanya berbeda bak langit dan bumi. Mengutip Reuters , 28 Februari 2020, berdasarkan data WHO, virus corona berinkubasi dalam tubuh manusia dalam kurun 1-14 hari. Gejalanya berupa batuk-batuk, pilek, hingga sesak nafas. Angka kematiannya di Wuhan sebagai ground-zero berada di 2-7 persen dan di luar Wuhan 0,7 persen dari total penderita. Namun menurut The Eyes of Darkness , thriller fiksi yang lazim punya dramatisasi ekstrem, virus Wuhan-400 disebut lebih mematikan dari virus ebola. Masa inkubasi di tubuh manusia hanya empat jam dan dipastikan angka kematian para penderitanya 100 persen. Gejala virus Wuhan-400 biasanya memangsa jaringan otak yang melumpuhkan fungsi organ tubuh. Mula Senjata Biologis Senjata biologis adalah senjata yang dipakai satu pihak untuk meracuni tubuh pasukan lawan menggunakan bisa serangga, racun jamur, tanaman beracun, bakteri, hingga virus agar dapat dikalahkan. Ia termasuk senjata pemusnah massal. Mengutip Albert J. Mauroni dalam Chemical and Biological Warfare: A Reference Handbook , sepanjang sejarah, penggunaan senjata biologis terbagi pada dua periode. Pertama, periode sebelum abad ke-20, metode lazimnya adalah meracuni makanan dan air dengan racun biologis atau bakteri dari hewan dan tanaman busuk. Kedua, periode abad ke-20. Seiring perkembangan teknologi, agen-agen biologisnya sudah berupa bakteri ( anthrax , brucella , tularemia ), virus (cacar, virus hemoragis), serta racun ( botulium , ricin , dll). Meski penggunaan senjata biologis kemungkinan telah dilakukan jauh sebelumnya, penggunaannya dalam peperangan sudah terjadi pada Perang Troya (1260-1180 SM). Epos Iliad dan Odyssey karya Homer pada abad ke-8 SM mendeskripsikan pasukan Yunani yang dipimpin Raja Sparta Menelaus menggunakan anak panah dan tombak yang dilumuri bisa ular. Dampaknya, musuh yang termangsa bakal mengeluarkan darah yang menghitam. “Detail-detail dalam karya Homer itu menjadi penanda awal penggunaan racun dari ular berbisa. Dalam Odyssey, Homer menggambarkan pahlawan Yunani Odysseus juga menggunakan ekstrak tanaman beracun untuk anak panahnya. Menurut legenda kuno, sayangnya Odysseus sendiri terbunuh oleh senjata beracun –tombak yang dilumuri racun dari ikan pari, spesies yang banyak ditemukan di Mediterania,” ungkap Philip Wexler dalam History of Toxicology and Enviromental Health: Toxicology in Antiquity II . Ilustrasi Odysseus yang menggunakan panah beracun dalam Perang Troya Namun, bukti tertulis itu masih berbalut mitos. Catatan pertama non-mitos baru muncul pada abad keenam SM, tepatnya pada Perang Cirraean (595-585 SM) atau pengepungan kota Cirrha oleh pasukan Yunani dari koalisi Amphictyonic League. Mereka menggunakan ekstrak racun dari tanaman helleborus untuk meracuni persediaan air kota Cirrha hingga kota itu akhirnya dihancurkan. Pada Abad Pertengahan (Abad ke-5 hingga Abad ke-15), tren penggunaan senjata biologis dalam peperangan paling kondang adalah menyebar wabah penyakit via mayat maupun bangkai hewan yang membusuk. Itu dilakukan antara lain oleh pasukan Mongol di abad ke-13, pasukan Tartar (abad ke-14), dan pasukan Inggris pada 1340 kala mengepung kota Thun-l’Évêque di awal Perang 100 Tahun. Penggunaan senjata biologis tertutup oleh penggunaan senjata konvensional dan senjata kimia seiring perkembangan senjata konvensional pada abad ke-20. Meski sejumlah negara tetap punya program senjata biologis, hanya ada sedikit catatan tentang penggunaan senjata biologis. Antara lain, penggunaan senjata biologis untuk misi-misi sabotase di Perang Dunia I (1914-1918). “Di era modern, Jerman adalah negara terdepan dalam studi bakteriologi dan memulai pengunaan agen biologis. Antara 1915 dan 1917 sabotase biologis dilancarkan di Argentina, Rumania, Skandinavia, Spanyol, dan Amerika. Tujuannya mengganggu suplai hewan bagi musuh dengan menginfeksi kuda-kuda serta keledai-keledai militer, hingga hewan-hewan ternak,” tulis D. B. Rao dalam Biological Warfare. Infeksi biasanya dilakukan dengan menularkan bakteri anthrax ( bacillus anthracis ) dan glanders ( burkholderia mallei ). Penggunaan bakteri-bakteri itu, terutama anthrax, masih tetap digunakan di masa Perang Dunia II (1939-1945). “Di Perang Dunia II Inggris mengujicobakan efektivitas bacillus anthracis di udara terbuka dengan domba-domba mereka di Kepulauan Gruinard, serta memproduksi kue-kue yang terkontaminasi spora-spora anthrax. Mereka bermaksud menggunakannya sebagai langkah balasan jika Jerman menginvasi Inggris,” sambung Rao. Senjata biologis sedikit-banyak masih digunakan dalam Perang Dunia I (Foto: winstonchurchill.hillsdale.edu ) Jepang, lanjut Rao, juga diketahui memproduksi ribuan kilogram bakteri anthrax serta ratusan bakteri glanders. Di tengah berkecamuknya Perang Pasifik, Jepang mengembangkan bom-bom yang mengandung bakteri anthrax yang sudah diujicobakan dampaknya terhadap manusia. Konon, Jepang memanfaatkan sejumlah tawanan perang sebagai “kelinci percobaannya”. Usai Perang Dunia II, pengembangan senjata biologis tetap eksis di negara-negara pemenang perang meski bergulir di bawah bayang-bayang pengembangan nuklir. Roda pengembangan teknologi senjata biologis dari waktu ke waktu makin mengerikan. Hal itu menyadarkan mereka untuk mengrem pengembangannya mengingat makin intensnya situasi Perang Dingin. Inggris dan Uni Soviet mulai menyadarinya pada 1969. Lewat “mediasi” Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dihelatlah Konvensi Senjata Biologis pada 10 April 1972 sebagai perjanjian multilateral pertama untuk menghentikan produksi dan pelarangan penggunaan senjata biologis. Dari 183 negara yang mengikuti konvensi hanya 109 yang meneken perjanjian dan hanya 22 di antaranya yang meratifikasinya. Faktanya, hingga milenium berganti penggunaan senjata biologis tetap tak pernah sirna. Setelah di Perang Kemerdekaan Zimbabwe (1964-1979) dengan bakteri kolera, penggunaan senjata biologis berlanjut di Perang Teluk (1990-1991), lalu di serangan terorisme (serangan anthrax) atas Washington DC, West Palm Beach, dan New York pada September-Oktober 2001.






















