Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia
SUKARNO, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka disebut-sebut sebagai empat serangkai pendiri Republik Indonesia. Pada 1925, Sukarno masih kuliah teknik arsitektur di THS (kini ITB) Bandung. Begitu pula dengan Hatta yang mengambil studi ekonomi di Handels Hogeschool (kini Universitas Erasmus) di Rotterdam, Belanda. Sjahrir bahkan belum lagi merampungkan sekolah menengah MULO di Medan. Sementara itu, Tan Malaka sudah menulis risalah tentang konsep negara Indonesia merdeka dalam Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia ). Tan Malaka menulis risalah itu saat berada dalam pelarian di Kanton, Tiongkok pada April 1925. Isinya kemudian disempurnakan lagi di Tokyo pada Desember 1925. Namun, pengakuan terhadap Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia masih belum diresmikan oleh negara sampai saat ini. “Tan Malaka adalah penggaggas konsep Republik Indonesia ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan juga para founding fathers kita yang lain seperti Sukarno membaca dan mendapat inspirasi dari Tan Malaka,” kata sejarawan Asvi Warman Adam dalam diskusi “100 Tahun Naar De Republik Indonesia ” di Perpustakaan Nasdem, Jakarta, 21 November 2025. Menuju Republik Indonesia adalah manifesto politik Tan Malaka yang jauh mendahului proklamasi kemerdekaan. Dengan analisis tajam tentang kolonialisme Belanda, situasi global, dan strategi perjuangan rakyat, Tan Malaka menegaskan bahwa Republik bukanlah hadiah, melainkan hasil kesadaran dan organisasi kolektif. Dalam pengantarnya yang ditulis di Kanton, Tan Malaka mengatakan, jiwanya berharap dapat menjangkau kaum terpelajar Indonesia, dan buku yang ditulisnya ini dimaksudkan sebagai alat penghubung. Meski bukan diplomat, menurut Asvi, Tan Malaka seorang pemimpin Indonesia yang mobilitasnya sangat tinggi. Ia membandingkan Tan Malaka dengan Sukarno yang sebelum Indonesia merdeka baru sekali ke luar negeri, yaitu ke Jepang pada 9 Agustus 1945. Sebaliknya, Tan Malaka dalam rentang 1925–1945 telah berkelana dari satu negara ke negara lain. “Amsterdam, Berlin, Moskow, Tiongkok; Amoy, Shanghai, Kanton. Kemudian dia menyeberang ke Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Rangoon, dan Penang. Jadi, Tan Malaka termasuk pemikir yang traveller ya. Tapi, dia dalam banyak hal itu lebih sebagai buronan, dikejar-kejar oleh polisi Belanda, Inggris, dan lain-lain. Ini yang membedakan Tan Malaka dengan pemimpin Indonesia yang lain,” jelas Asvi. Setelah buron keliling dunia, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 1942. Sukarno sendiri menaruh hormat pada Tan Malaka. Itu sebabnya, dalam pertemuan mereka pada September 1945, Sukarno menuliskan testamen politik yang menyatakan kepemimpinan Republik diembankan kepada Tan Malaka, andai kata terjadi sesuatu terhadap Sukarno dan Hatta. Ketika dirundingkan dengan Hatta, isi testamen itu lantas direvisi. Maka, jalan tengahnya, pemegang amanah testamen itu ditambah dengan tokoh lain, yaitu Sjahrir, Wongsonegoro, dan Iwa Kusumasumantri. Diskusi “100 Tahun Naar De Republik Indonesia ” karya Tan Malaka di Perpustakaan Nasdem, Jakarta, 21 November 2025. (Martin Sitompul/Historia.ID) Tan Malaka kemudian bergerilya membentuk basis kekuatannya dalam front Persatuan Perjuangan yang mengusung kampanye “Merdeka 100 Persen”. Namun, akhir riwayat Tan Malaka berakhir tragis. Dia meringkuk dalam tahanan di penjara Yogyakarta, setelah dikaitkan dengan aksi Kudeta 3 Juli 1946 yang dilancarkan Jenderal Mayor Soedarsono. Tan Malaka dibebaskan pada 1948, setelah memperoleh amnesti dari Presiden Sukarno. Aktivitas politik Tan Malaka selanjutnya membentuk Partai Murba. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi oleh pasukan Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya atas perintah Letda Soekotjo di Selopanggung, Kediri. Berakhirlah kiprah dan perjuangannya di masa revolusi. Pada 1963, Presiden Sukarno mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional bersama tokoh kiri Alimin. Klaim Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia mula-mula digaungkan oleh Mohammad Yamin, pakar hukum dan budayawan, yang semasa muda menjadi pengikut Tan Malaka dalam Partai Murba. Pada 1946, Yamin menulis ketokohan Tan Malaka dalam buku berjudul Tan Malaka: Bapak Republik Indonesia . Kendati demikian, selama rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, nama Tan Malaka dihilangkan dari narasi sejarah. “Nama Tan Malaka ini saya kira patut diabadikan sebagai Bapak Republik Indonesia. Gelar Bapak Republik ini agar kiranya bisa diformalkan oleh negara. Kemudian pemakaman Tan Malaka di Selopanggung, Kediri itu bisa dipugar secara resmi sehingga masyarakat bisa menziarahinya (dan mengenangnya),” pungkas Asvi. Sementara itu, Airlangga Pribadi Kusman, dosen ilmu politik Universitas Airlangga, menyebut risalah Menuju Republik Indonesia yang ditulis Tan Malaka sebagai karya monumental. Manuskrip politik yang padat, lugas, dan tidak bertele-tele ini merupakan karya pertama dalam sejarah para pendiri bangsa yang berhasil menjelaskan jalan perjuangan revolusioner untuk menghasilkan Indonesia merdeka. Tan Malaka menunjukkan bagaimana perjuangan itu harus berhadapan dengan kondisi struktural yang berlangsung dalam skala dunia maupun Indonesia; kekuatan sosial apa yang terlibat; bagaimana proses dialektika dan syarat bagi terwujudnya Republik; serta program-program konkret dari Republik Indonesia yang hendak dibangun. “Karya ini ditulis Tan Malaka sewaktu di Kanton. Kanton ini penting pada waktu ia menulis tahun 1925. Kanton adalah pusat pergerakan kaum bawah tanah se-Asia. Kalau kita baca [memoar Tan Malaka] Dari Penjara ke Penjara , Tan Malaka berdialog panjang dengan Sun Yat Sen, dia bertemu Ho Chi Minh. Dia bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Asia. Dan semua refleksi renungannya itu kemudian dituliskan dalam Menuju Rapublik Indonesia tahun 1925,” terang Airlangga. Selain itu, sambung Airlangga, karya Tan Malaka menjadi inspirasi bagi tokoh pergerakan nasional Indonesia lainnya. Sukarno menjadikannya rujukan sebagai sumber untuk mengadakan kursus politik. Begitu juga dengan Hatta. “Kalau saya bilang, kalau pakai istilah anak gen-z zaman sekarang secara positif, figur-figur seperti Sukarno, Hatta, dan yang lainnya, itu ketika membaca ini mengidap apa yang disebut sebagai FOMO ( fear of missing out ). Jadi, istilahnya kalau enggak membaca ini ya ketinggalan,” kata Airlangga.*
- Memupuk Asa di Desa Putera
KECERIAAN memenuhi suasana Panti Asuhan Desa Putera, biasa disingkat Padestra, di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Mata yang masih kuyu selepas tidur siang tak menghalangi mereka beraktivitas. Ada yang bercerita sambil berjalan bersama teman. Ada pula yang bermain sepakbola di aula.
- Kuasa “Jagal Film” Negara
TIGA anggota Badan Sensor Film (BSF) menonton film baru berjudul Perawan Desa pada 1978. Film ini disutradarai Frank Rorimpandey, penulis skenario Putu Wijaya, dan diproduksi Safari Sinar Sakti. Seperti film lainnya, Perawan Desa harus lolos sensor sebelum diputar di bioskop. Sebagai tanda lolos sensor, Surat Tanda Lulus Sensor harus disertakan bersama roll film yang dikirim ke bioskop.
- Gelora dari Purwakarta
SENJA hampir tenggelam. Kompi Satoean Pemberontak 88 (SP 88) pimpinan Saridil bergerak cepat. Mereka melepaskan sekrup-sekrup rel kereta api di dekat Pasirembe, Purwakarta. Sejurus kemudian mereka menyingkir ke arah perbukitan. Sekitar pukul 18.00, dari arah Bandung, datanglah kereta api ekspres Bandung-Jakarta yang dikawal militer Belanda. Ketika melintasi jalur tersebut, kereta langsung anjlok dan terguling.
- Dalih Pengambilalihan Massal
SORE hari, Desember 1957, Soehadi Reksowardoyo mengantar enam orang veteran eks Brigade XVIII ke pabrik kertas NV Papier Fabriek Padalarang. Mereka datang diam-diam untuk “mengintip pabrik” dan “mengumpulkan data teknologi perkertasan” sebagai bekal membangun pabrik kertas di Blabak milik Bank Industri Negara (BIN). Pasalnya, pihak pabrik menolak permintaan BIN untuk melakukan kunjungan resmi.
- Bukan Kutukan Si Pait Lidah
SUNGGUH sakti mulut Si Pait Lidah. Kutukan yang keluar darinya bisa mengubah apapun menjadi batu. Sudah banyak orang jadi korban. Lihat saja arca-arca batu yang tersebar di kawasan Lahat dan Pagar Alam (pemekaran dari Lahat tahun 2001), Sumatra Selatan. Setidaknya itulah yang dipercayai masyarakat pendukung Budaya Besemah atau lebih dikenal dengan Pasemah.
- Ancaman Frambusia yang Tersisa
MASIH terngiang ucapan Soeharto kala mundur sebagai presiden Mei 1998: “ Ora dadi presiden yo rak pateken .” Tidak jadi presiden ya tak akan kena penyakit patek (frambusia), yang maksudnya tidak apa-apa, tidak akan rugi.
- Bruce Lee dalam 10 Fakta (Bagian I)
KIPRAHNYA memang tidak panjang, kematiannya pun sudah nyaris setengah abad. Namun, warisan yang ditinggalkan Bruce Lee masih bertahan hingga kini. Bruce Lee telah menjadi ikon beladiri modern dan film laga di berbagai penjuru dunia. Visinya yang jauh ke depan membuka banyak pintu inspirasi bagi banyak orang untuk lebih membuka pemikiran baik urusan beladiri maupun perfilman. Kepeloporan dan kiprah Bruce Lee itulah yang mendorong “Talk to Crew” Historia mengangkat tema “Anak Silat Ngomongin Bruce Lee” pada Kamis (21/7/22) lalu untuk memperingati 49 tahun wafatnya (20 Juli 1973) sang legenda. Ada banyak warna yang membentuk “lukisan” kehidupan pribadi maupun karier Bruce Lee. Berikut empat di antara 10 fakta figur sang “Naga” yang dicintai beragam lapisan masyarakat dunia itu: Bruce Lee kecil bersama ayah dan ibunya yang blasteran Eropa ( The Legendary Bruce Lee / Black Belt Magazine ) DNA Seniman dalam Darah Blasteran Bruce Lee lahir di Jackson Street Hospital, San Francisco, Amerika Serikat pada pukul enam pagi 27 November 1940. Saat dilahirkan, ibunya, Grace Lee, tak didampingi suaminya, Lee Hoi-chuen. Sang suami masih disibukkan oleh agenda pertunjukan opera Kanton di New York. Oleh orang tuanya, bayi itu lalu dinamai Lee Jun Fan. “Artinya (bahasa Kanton) ‘kembali lagi’ karena dia merasa putranya akan kembali lagi untuk hidup di Amerika. Salah satu perawat (sumber lain mengatakan seorang dokter) mengusulkan nama berbahasa Inggris ‘Bruce’ tetapi nama itu tak pernah digunakan sampai dia sekolah di La Salle College beberapa tahun kemudian,” ungkap Linda Lee, istri Bruce Lee, dalam biografi yang dituliskannya bersama Mike Lee, The Bruce Lee Story. Usai tour Amerika setahun sang ayah, Bruce pun dibawa pulang ke Hong Kong. Masa kecil Bruce, pasca-Perang Dunia II, terbilang berkecukupan. Dia mendapat pendidikan yang baik. Ayahnya yang blasteran Inggris dan ibunya setengah Jerman (beberapa sumber menyebut Inggris) menyekolahkan Bruce ke Tak Son School, lalu sekolah Katolik La Salle College, walau kemudian pindah ke sekolah yesuit St. Francis Xavier. Lantaran ayahnya berkecimpung di dunia seni peran dan hiburan, Bruce sejak bayi sudah ikut muncul di layar. Orok Bruce diikutsertakan main sebagai figuran di film Golden Gate Girl (1941) oleh ayahnya. Penampilan “serius” aktor cilik berjuluk “ Siu-lung ” (naga kecil) itu terjadi saat menginjak usia sembilan tahun. Bruce saat itu menjadi pemeran pembantu utama bersama ayahnya di film The Kid (1950). “Hingga usia 18 tahun, Bruce sudah tampil di 20 film, termasuk peran utamanya di film terakhir sebagai aktor cilik, The Orphan . Ibunya berkisah Bruce menikmati jadi aktor cilik. ‘Biasanya ia dijemput mobil (tim produksi) jam dua pagi dan dia selalu berangkat dengan ceria. Saya tak pernah kesulitan membangunkannya setiap akan membuat film walau ceritanya lain jika saya harus membangunkannya setiap kali akan sekolah,’” imbuh Linda. Ip Man (kiri) grandmaster wing chun yang jadi sosok Bruce Lee berguru beladiri selain ayahnya ( The Legendary Bruce Lee / Black Belt Magazine ) Naga Kecil yang Tengil Kendati disekolahkan orangtuanya di tempat yang bonafid, prestasi akademik Bruce tidak cemerlang. Ia bahkan sampai pindah dari sekolah Katolik yang sangat ketat kedisplinannya di La Salle College ke sekolah Yesuit, St. Francis Xaverius. Temperamennya yang terbilang “sumbu pendek” juga membuatnya acap terlibat perkelahian di jalan. “Terlepas dari kesuksesannya sebagai aktor cilik, Bruce menjadi pemimpin geng anti-Inggris di sekolahnya. Biasanya habis jam pelajaran, ia melampiaskan temperamennya kepada anak-anak Inggris di King George V School. Dari hinaan verbal diakhiri perkelahian di lapangan belakang sekolah. Perkelahian yang baru berakhir jika salah satu pihak kewalahan atau sampai datangnya polisi,” tulis Bruce Thomas dalam Bruce Lee: Fighting Spirit. Situasi di Hong Kong perlahan berubah memasuki 1950-an. Banyak pengungsi dari daratan Cina membanjiri Hong Kong gegara berkuasanya rezim komunis di daratan. Tak terkecuali sejumlah pemuda anggota geng yang berafiliasi dengan perguruan kungfu ikut. Alhasil, Bruce si pembuat onar mulai sering kalah saat berkelahi. Ia pun memerlukan belajar beladiri. “Dia tak tertarik dengan tai chi yang diajarkan ayahnya. Justru ia menemui seorang kawannya, William Cheung, untuk minta dikenalkan kepada Ip Man, gurunya. Mulanya Bruce tertarik pada wing chun sekadar untuk tarung jalanan,” lanjut Thomas. Nahas bagi Bruce, Ip Man menolak mengajarkan wing chun padanya. Perkaranya karena Bruce blasteran Jerman-Inggris dan dianggap orang non-Cina. Kala itu, masih terdapat aturan yang melarang kungfu diajarkan kepada orang non-Cina. Untungnya Cheung berkeras membantu Bruce. Berkat bujukannya, Ip Man mau menerima Bruce sebagai salah satu muridnya. Bruce bahkan seperti keruntuhan durian gegara murid lain tak berkenan latihan bareng dengannya yang blasteran. Bruce pun dilatih Ip Man tanpa teman, ibarat les private. “Mungkin tidak lebih dari enam orang dari segenap perguruan wing chun yang dilatih secara personal atau bahkan secara terpisah oleh Ip Man. Bruce salah satunya,” kenang Cheung, dikutip majalah Black Belt edisi khusus kolektor musim panas 1993. Dari pelatihan langsung oleh Ip Man itu, Bruce akhirnya bisa mendapat lebih banyak. “Di bawah arahan Ip Man, akhirnya dia juga menyerap nilai-nilai yang lebih baik dari seni beladiri itu,” lanjut Thomas. Selain wing chun, Bruce Lee nyatanya pernah juara tinju dan dansa ( The Bruce Lee Story ) Juara Tinju dan Dansa Cha-Cha Latihan wing chun di bawah bimbingan Ip Man bukan membuatnya tambah humble , justru menjadikan Bruce kian arogan. Padahal, sang grandmaster sudah berusaha menyalurkan energi para muridnya ke jalan benar semisal dengan ikut kompetisi pertarungan resmi. Bruce pada akhirnya juga ikut kompetisi tinju amatir antarsekolah. Debutnya terjadi di Hong Kong High School Championship tahun 1958. Bruce langsung menjuarai turnamen itu usai meng-KO lawannya yang pemuda kulit putih di final. Ia menang lantaran memakai teknik wing chun. “Sebelumnya saya tak pernah latihan tinju tapi saya memutuskan untuk masuk (turnamen) di masa SMA karena saya merasa wing chun saya sudah lumayan dan sepertinya juga tidak ada perbedaan jauh antara seni beladiri saya dan tinju. Saya mempelajari pukulan straight di wing chun dan saya menganvaskan lawan saya dengan pukulan itu,” kata Bruce dikutip M. Uyehara, salah satu sahabat dan murid Bruce Lee, dalam Bruce Lee: The Incomparable Fighter . Di tahun itu pula Bruce dikenal sebagai pedansa yang gemilang. Ia menang kontes Colony Cha-Cha Championsip. “Setahun setelah mulai latihan kungfu (wing chun) dia juga belajar menari cha-cha. Mungkin salah satu alasannya karena ia naksir pasangan dansanya, Pearl Cho, meski di lain pihak juga (dansa) itu berpengaruh pada footwork dan keseimbangannya. Dia juga juara karena tak pernah setengah hati belajar dansa bersama sesama murid wing chun, Victor Kan di klub malam ‘Champagne’ di Tsimshatsui. Bruce punya catatan ratusan langkah dansa yang berbeda di dompetnya,” sambung Thomas. Di Amerika, Bruce Lee menemukan jodohnya sampai punya dua anak bersama Linda Emery Lee (Twitter @brucelee) Dari Mata Turun ke Hati Tubuh tegap berbalut pakaian necis dan paras tampan Bruce menyedot perhatian gadis 17 tahun bernama Linda Emery, siswi SMA James A. Garfield, Seattle, Amerika, di suatu hari pada tahun 1962. Linda tak peduli cowok itu tengah digandeng cewek saat melewatinya dan teman-temannya di lorong sekolah. “Saya sedang ‘ngerumpi’ dengan teman-teman saat saya melihatnya dan penasaran: ‘Siapa tuh?’ Kebangetan gantengnya dengan memakai topi dan mantel beige panjang dan menggandeng cewek Jepang alumnus SMA Garfield. Satu teman saya, Sue Ann Kay, merespon: ‘Oh, doi Bruce Lee. Dia mengajar filsafat Cina di kelas Pak Wilson.’ Itu pertamakali saya melihat dia walau butuh beberapa bulan kemudian bisa berkenalan secara resmi,” kenang Linda. Saat itu Bruce sudah tiga tahun merantau di “Amrik”. Hobinya berkelahi dengan geng lain makin menjadi. Orangtuanya sudah jenuh melihat Bruce acap pulang dengan luka-luka atau mendengar laporan korban yang dihajar Bruce. “Suatu kali Bruce menghajar seorang bocah sampai dilaporkan ke polisi. Ibu sampai harus menandatangani dokumen yang menyatakan ibu akan bertanggungjawab penuh asalkan jangan dipenjara. ‘Seorang polisi bilang, ‘jika dia (Bruce) terlibat satu perkelahian lagi, saya akan membuinya.’ Lalu ibu mengusulkan Bruce mengambil paspor Amerika. Ayah setuju, mengingat jika tetap di Hong Kong, prospek Bruce untuk meneruskan kuliah tidaklah menjanjikan,” kenang Robert Lee, adik Bruce Lee, dalam Bruce Lee: The Immortal Dragon. Sebelum kuliah di Seattle, Bruce ke San Francisco pada April 1959 untuk tinggal dengan kakaknya, Agnes Lee. Setelah lulus di Edison Technical School, Bruce meneruskan kuliah ke tiga jurusan (seni teater, filsafat, dan psikologi) sekaligus di University of Washington. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Bruce membuka kwoon (sekolah kungfu) di kampusnya yang ia namai Lee Jun Fan Gung Fu Institute. Salah satu muridnya adalah Sue Ann. Sue Ann belajar kungfu kepada Bruce ternyata hanyalah modus untuk bisa mencomblangi Linda dengan Bruce. “Pada suatu hari Minggu medio Agustus 1963 di pecinan, saya diajak Sue Ann masuk ke rubanah tempat dia latihan. Begitu Sue Ann memberi hormat, Bruce turut menyapa dan menyambut kami masuk ke kelasnya dan mulai ikut latihan. Siapa sangka setahun setelah itu saya menikah dengan seorang Bruce Lee,” tambah Linda. Sejoli itu kawin lari pada Agustus 1964 karena pernikahan lintas-ras masih dilarang di Amerika. Baik Linda dan Bruce sebisa mungkin menutupi hubungan mereka sampai mereka kabur dari Seattle ke Oakland, California. “Dia ingin segera punya anak. Saat saya mengandung pun dia sudah memilih nama untuk anak laki-laki tanpa memikirkan nama anak perempuan. Anak laki-laki sangat penting baginya. Kakaknya, Peter, boleh saja jadi favorit ayahnya tapi Bruce ingin memberikan cucu laki-laki pertama,” imbuhnya. Bersama Bruce, Linda melahirkan dua anak, Brandon Bruce Lee yang lahir pada 1965 dan Shannon Emery Lee empat tahun berselang. Di kemudian hari keduanya mengikuti jejak Bruce mendalami beladiri dan terjun ke perfilman.*
- Cerita di Balik “Sowan” ke Wisma Yaso
HALAMAN luas mengelilingi bangunan dengan sirap atap itu di sisi timur, selatan, dan baratnya. Keasrian halamannya menjadi oase tersendiri di tengah sibuknya jalan protokol di depannya, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
- Unilever Berkelit dari Situasi Sulit
KANTOR pusat Unilever di London Inggris telah mempelajari berita rencana nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia pada November 1957. Unilever Indonesia, yang berdiri pada 5 Desember 1933, juga rentan dinasionalisasi karena perusahaan patungan Belanda-Inggris ini sebagian besar sahamnya dimiliki Belanda dengan kantor pusat di Rotterdam.
- Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis
NYARIS putus sekolah, karena keluarganya miskin, Ivana Lie terbantu karena prestasinya di bidang bukutangkis. “Dari situ akhirnya muncul motivasi. Kalau saya jadi juara, saya bisa membantu orangtua saya,” ujarnya. Sedari kecil dia kerap memenangi kejuaraan. Hingga suatu waktu, dia terpilih mewakili Indonesia dalam sebuah kejuaraan bulutangkis yunior di India. Namun, dia gagal berangkat lantaran tak punya paspor.






















