top of page

Hasil pencarian

9602 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Islamisasi ala Cheng Ho

    MASYARAKAT Indonesia begitu menghormati Laksamana Cheng Ho sebagai seorang muslim yang melakukan Islamisasi di Nusantara. Karenanya dia diabadikan sebagai nama masjid di berbagai daerah. “Itu bagian dari pencarian identitas yang didasarkan atas fakta sejarah. Sejarah digunakan untuk justifikasi dalam rangka formasi identitas Chinese moslem di Indonesia dan kawasan lain,” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan Universitas Diponegoro, kepada Historia . Cheng Ho yang bernama asli Ma Ho lahir pada 1371 dari orangtua Muslim etnis Hui di Yunan. Hui adalah komunitas Muslim campuran Mongol-Turki. Pada 1381, Jendral Fu Yu-te dan pasukan Dinasti Ming menduduki Yunan dan menangkapi semua anak lelaki dewasa dan dan anak-anak. “Mereka dipotong alat vitalnya sebagai teror agar tunduk pada negara. Ma Ho adalah salah satu anak yang dikebiri. Dalam perkembangannya, Ma Ho tampil seperti raksasa dengan tinggi lebih dari dua meter yang mungkin disebabkan defisiensi hormon lelaki akibat emaskulasi,” tulis Sumanto Al Qurtuby dalam Arus Cina-Islam-Jawa . Ma Ho membantu Ceng Chu merebut takhta Dinasti Ming dari keponakannya, Kaisar Kien Wen. Sebagai pelarian politik, Kien Wen konon bersembunyi di Palembang. Ceng Chu atau Kaisar Yun Lo memberi nama Cheng Ho dan menjabat pemegang komando tertinggi atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana. Menurut Sumanto Kaisar Yung Lo mengganti diplomasi politik dari jalur darat menjadi jalur laut. Dia mengerahkan 62 kapal besar dengan 225 junk (kapal berukuran kecil) dan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk politisi, juru tulis, pembuat peta, tabib, ahli astronomi, ahli bahasa, ahli geografi, dan ahli agama. “Sebagai commander in chief -nya diserahkan kepada Cheng Ho lewat sebuah Dekrit Kerajaan dengan wakil Laksamana Muda Heo Shien (Husain), sekretaris Haji Ma Huan dan Fei Shin (Faisal), juru bahasa Arab selain Ma Huan adalah Hassan, seorang imam pada bekas ibukota Sin An (Changan),” tulis Sumanto. Selain mengemban misi menjalin persahabatan dengan negara-negara lain serta menunjukkan supremasi politik dan ekonomi bangsa Tiongkok, ekspedisi Cheng Ho juga membawa agenda tersembunyi ( hidden agenda ). Penempatan konsul, diplomat, dan duta keliling mesti dibaca dalam penegakan otoritas politik. Demikian pula penempatan konsul dagang mesti dilihat dari aspek ekonomi. “Juga persebaran para juru dakwah Islam di hampir setiap kota yang disinggahi adalah upaya melakukan misionarisme Islam (Islamisasi). Singkatnya, ekspedisi besar itu menyimpan hidden agenda baik untuk kepentingan pragmatis Kekaisaran Ming maupun kepentingan ‘primordial Islam’ Cheng Ho,” tulis Sumanto. Sumanto menguraikan di Palembang, Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam yang sudah sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang-orang Tionghoa. Dari situ, Cheng Ho membentuk komunitas Tionghoa Islam di Sambas. “Barangkali di Palembang-lah masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara yang pertama, kemudian diteruskan di Jawa, Semenanjung dan Filipina,” tulis Sumanto. Kehadiran armada Cheng Ho di pesisir Jawa, terutama pada pelayaran pertama tahun 1405 dan ketiga tahun 1413, disambut cukup antusias oleh masyarakat Islam setempat terlebih para pemuka agamanya. Seperti Maulana Malik Ibrahim, tokoh muslim awal di Gresik, yang menyambut baik rombongan Cheng Ho dan Ma Huan. Cheng Ho kemudian meninggalkan juru dakwah Tionghoa dan pengikutnya yang berhasrat tinggal di Jawa untuk berbaur dengan komunitas Islam guna menyebarkan Islam. “Hampir di setiap pesisir Jawa sejak Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara sampai Tuban, Gresik dan Surabaya, Cheng Ho selalu menempatkan orang-orang Islam dari Tiongkok,” tulis Sumanto. Namun, Singgih berpendapat “saya belum pernah melihat bukti bahwa Cheng Ho memiliki misi Islamisasi meski dia seorang muslim. Misi pelayarannya untuk meneguhkan kekuasaan kekaisaran Tiongkok di kawasan laut selatan.” Meskipun demikian, Singgih tak menolak jika ada pengikut Cheng Ho yang turut melakukan pengislaman di pesisir Jawa. “Kalau itu (Islamisasi) bisa terjadi. Sebagian dari anak buah Cheng Ho tetap tinggal di pantai utara Jawa. Bagaimanapun juga ada diaspora Muslim Tionghoa pada periode itu untuk berdagang. Para pedagang ini yang mungkin menyebarkan Islam, karena tiap muslim punya kewajiban dakwah meski hanya satu ayat. Mereka berasal dari Mazhab Hanafi. Dengan demikian mereka berkontestasi dengan Mazhab Syafi’i yang dibawa dari India dan Timur Tengah. Lalu kalah,” ujar Singgih. Dari tahun 1405 hingga meninggalnya tahun 1433, Cheng Ho telah melakukan pelayaran tujuh kali dan mengunjungi 37 negara: dari Champa sampai India, sepanjang Teluk Persia serta Laut Merah hingga pesisir Kenya, termasuk Nusantara. “Prestasi besar ini menjadikan Cheng Ho diberi julukan oleh Kaisar Yung Lo sebagai Ma San Bao (Ma Si Tiga Permata). Pada masyarakat santun, julukan itu menunjuk pada Tri Ratna dalam Buddhisme. Sementara pada lingkungan yang bejat, julukan itu berarti bahwa Ma seorang prajurit jempolan meski tak punya zakar dan penis,” tulis Sumanto. Julukan Ma San Bao yang merujuk pada Tri Ratna (Buddha, Dharma, dan Sangha) seakan menyiratkan agama yang dianut Cheng Ho. Buddha adalah guru, Dharma adalah ajaran dan Sangha adalah para pendeta dan vihara . Kendati dijuluki Ma San Bao, Sumanto tetap yakin Cheng Ho adalah seorang muslim yang melakukan Islamisasi. Meyebut Cheng Ho bukan muslim bahkan dijadikan dewa yang disembah di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Po Kong oleh penganut Konfusianis di Tiongkok “adalah sebuah anakronisme (hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu, red. ).”

  • Cara Bang Ali Menggunakan APBD

    WAKTU Ali Sadikin mulai kerja sebagai gubernur DKI Jakarta hampir tak tahu mesti mulai dari mana. Untungnya ada Rencana Induk Pembangunan Jakarta yang dibuat pada masa Gubernur Sudiro yang disusun oleh para ahli dari luar negeri. “Saya tahu sudah ada Rencana Induk Pembangunan Jakarta. Maka saya telaah rencana yang sudah dibuat oleh pendahulu saya itu, saya sesuaikan dengan perkembangan keadaan dan menjadikan rencana itu sebagai pedoman bagi pembangunan kota,” kata Ali Sadikin dalam memoarnya, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH. “Tentu saja penyesuaian-penyesuaian itu tidak asal saja. Semuanya harus diperhitungkan dengan cermat, dibahas secara teliti, baru diputuskan.” Bahkan, Ali tidak membenarkan terjadinya penyimpangan dari rencana itu. “Sebab kalau penyimpangan-penyimpangan itu kita biarkan, pasti tak ada gunanya lagi pedoman itu,” kata Ali. Ali membawa dan membahas rencana itu dengan DPRD-GR. Keluarlah surat keputusan DPRD-GR tanggal 3 Mei 1967 tentang Pengesahan Rencana Induk ( Master Plan ) DKI Jakarta 1965-1985. Rencana induk 20 tahun itu merupakan landasan pokok yang pertama ditetapkan untuk membangun Jakarta. Dan itulah salah satu prioritas utama dalam strategi dasar pemerintahan DKI Jakarta. “Maka, berjalanlah Pemda DKI Jakarta dengan pembangunannya, sementara biaya untuk itu sudah saya dapatkan dari usaha sendiri dengan kiat-kiat yang berani,” kata Ali. Kiat-kiat berani itu seperti mengizinkan perjudian dan memungut pajaknya. Sehingga, orang yang tak suka menjulukinya “gubernur judi” atau “gubernur maksiat.” Ali berhasil meningkatkan APBD DKI Jakarta dari Rp1.169.273.293 pada 1966/1967 menjadi Rp89.516.580.000 pada 1977/1978 atau kurang lebih 77 kali lipat dalam waktu sebelas tahun. Pada periode 1969/1970 sampai 1973/1974, anggaran digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang digolongkan menurut pembidangan: pemerintahan, keamanan dan ketertiban, kesejahteraan rakyat, prasarana, perekonomian, dan perbaikan kampung. Sejak 1971/1972 pembidangan kegiatan bertambah satu bidang yaitu PON VIII di Jakarta. “Melihat persentasenya anggaran pembangunan untuk masing-masing bidang bisa saya ingat bahwa untuk bidang prasarana adalah yang tertinggi, rata-rata lebih dari 40%,” kata Ali. Pada periode selanjutnya 1974/1975 terjadi perubahan dalam pembidangan pembangunan karena disesuaikan dengan pedoman yang dikeluarkan menteri dalam negeri. Sejak periode itu, pembidangan yang berlaku adalah bidang ekonomi sosial dan bidang umum yang mendapat anggaran terbanyak, sekira 60%. “Hal ini karena sarana kota waktu itu sudah membaik,” kata Ali. Dalam menggunakan anggaran, Ali berprinsip untuk mengutamakan anggaran untuk pembangunan. Sedangkan untuk anggaran rutin (biaya yang dikeluarkan bagi pelaksanaan umum pemerintahan di luar pembangunan dalam bentuk proyek) di bawah 50%. “Dalam menyusun anggaran RAPBD saya selalu berpedoman kepada ketetapan bahwa anggaran pembangunan harus lebih dari 50% dan anggaran rutin kurang dari 50% dari anggaran. Policy itu tetap saya pelihara, dari mulai saya jadi gubernur sampai selesai tugas (1966-1977),” kata Ali. Kendati anggaran rutin ditetapkan di bawah 50%, Ali tetap memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Oleh karena itu, dia meningkatkan anggaran rutin dari Rp14.951.990.000 pada 1974/1975 menjadi Rp39.726.580.000 pada 1977/1978. “Hal ini antara lain disebabkan nafkah para pegawai patut saya naikkan. Dengan begitu kesejahteraan para pegawai Pemerintah DKI Jakarta naik. Penampilan mereka juga tambah menyenangkan. Harga diri mereka juga bertambah tinggi,” kata Ali.

  • Dihadang TKR di Dawuan

    STASIUN Cikampek, 21 November 1945. Sebuah pesan telegram diterima oleh petugas stasiun kereta api dari petugas telik sandi Resimen V di stasiun kereta api di Jakarta. Isinya pemberitahuan tentang keberangkatan satu formasi pasukan Inggris dari unit Gurkha Rifles yang mengawal kereta api logistik serta amunisi dari Jakarta. “Mereka bergerak menuju Bandung tanpa surat izin dari pemerintah Republik Indonesia," ujar Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min karya Dien Madjid dan Darmiati. Komandan Resimen V Cikampek itu lantas memerintahkan jajarannya bersiap siaga melakukan penghadangan. Sebagai pengemban tugas adalah Batalyon Priyatna yang berkedudukan di Dawuan, terletak sekira 10 km dari Stasiun Cikampek. Hari menjelang siang saat dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung dari Stasiun Cikampek. Begitu melintas wilayah Dawuan tetiba kereta api yang tengah berjalan pelan, dihadang oleh satu unit pasukan TKR (Tentara Kemanan Rakjat). Beberapa dari mereka lantas meloncat ke atas lokomotif dan dalam bahasa Inggris yang fasih memerintahkan kereta api berhenti. “Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?" teriak salah satu dari anggota TKR tersebut. “Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces (Tentara Sekutu) yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut. Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung. Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas. “Seluruh isi gerbong kami sita dan empat orang Gurkha kami sisakan sebagai tawanan,” ujar Darminta, 89 tahun, veteran yang terlibat dalam adu senjata itu. Markas Sekutu di Jakarta lantas geger. Mereka lalu melaporkan soal itu kepada Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa jam kemudian Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin menelepon Markas Resimen V Cikampek dan memerintahkan Moefreni untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas serta membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni. “Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni. Akhirnya beberapa hari kemudian ditemukan jalan tengah: empat tawanan dari unit Gurkha itu akan ditukar dengan delapan tawanan Indonesia. Salah satunya adalah penyair Chairil Anwar. Sedangkan logistik yang sudah disita tidak akan dikembalikan karena sudah terlanjur dibagi-bagikan kepada semua anggota Resimen V Cikampek dan masyarakat sekitar Dawuan. Pihak Markas Besar TKR menugasi Letnan Kolonel A.E. Kawilarang sebagai wakil Republik yang mengurusi pertukaran tawanan tersebut. Menurut Ramadhan K.H. dalam Untuk Sang Merah Putih , begitu bertemu dengan keempat tawanan TKR itu di Stasiun Jatinegara, Kawilarang langsung disambut dengan teriakan "merdeka." Rupanya empat prajurit itu belajar kebiasaan pasukan TKR selama dalam tawanan di Cikampek. Untuk mencegah terjadinya insiden yang sama, selanjutnya dibuat kesepakatan baru bahwa pihak Sekutu akan melibatkan anggota TKR dari Jakarta dalam setiap misi pengiriman logistik via kereta api. Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali! , itu terjadi kali pertama pada 11 Desember 1945, saat satu kelompok kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) pimpinan Daan Mogot ikut mengawal kereta api yang memuat kiriman logistik untuk para interniran di Bandung. Namun anehnya, hal tersebut tidak diterapkan Sekutu dalam misi pengiriman logistik yang memakai jalur darat lainnya. Kala pasukan dari TKR Jakarta mengawal misi-misi RAPWI via kereta api ke Bandung, di beberapa kota justru penghadangan-penghadangan tetap dilakukan. Salah satu penghadangan yang paling merepotkan militer Inggris terjadi di rute Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pada Desember 1945 dan Maret 1946.

  • Pendahulu Sriwijaya

    PADA 2008, tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) meneliti situs Air Sugihan, di pantai timur Palembang. Mereka menemukan sisa-sisa permukiman di lahan berawa dari awal abad masehi. Permukiman itu diperkirakan cikal bakal atau pendahulu Kerajaan Sriwijaya. Agustijanto Indrajaya, ketua tim peneliti, melihat adanya proses bertahap sebelum muncul Kerajaan Sriwijaya. Permukiman di situs Air Sugihan itu disebut Ko-ying dan Kan-t’o-li dalam sumber Tiongkok. “Kita lihat Sriwijaya saja sudah sangat kompleks (tata masyarakatnya, red. ), harusnya ada satu proses menuju ke sana, nah ini di sini,” kata arkeolog Puslit Arkenas itu saat ditemui usai diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya karya O.W. Wolters, di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (17/11). Menurut Wolters Ko-ying disebut dalam catatan Wan Chen, gubernur Wu untuk Tan, yang tak jauh dari Nanking sekarang. Sedangkan Kang T’ai, utusan pemerintahan Wu di selatan Cina ke Funan, menyebutnya Chia-ying. Kendati sebutan Ko-ying belum diketahui asalnya, catatan keduanya memberikan gambaran bahwa Ko-ying adalah kerajaan di Nusantara bagian barat, setidaknya berdekatan dengan Selat Malaka. Sekalipun hanya sepintas, sumber Tiongkok itu memberikan gambaran pertama tentang Nusantara bagian barat yang dikenali orang Tionghoa pada pertengahan abad ke-3. Menurut Wolters, mereka mengetahuinya karena telah berhubungan dengan Kerajaan Funan, di dekat Sungai Mekong, Vietnam, sehingga secara tak langsung mengenal daerah lain di Asia Tenggara. “Mungkin melalui para pedagang di Funan,” tulis Wolters. Sementara itu, Wolters menyebut Kan-t’o-li sebagai kerajaan dagang yang muncul pada abad ke-5 dan ke-6. Nama ini sering disebut dalam sumber Tiongkok. Ming Shih atau catatan sejarah Dinasti Ming (abad 14) menyebut Kan-t’o-li sebagai nama lama Sriwijaya. “Kan-t’o-li pada abad 5-6 sudah kirim duta ke Tiongkok, menjadi besar masuk ke masa Sriwijaya, makanya disebut itu pendahulu Sriwijaya,” kata Agustijanto. Sejauh ini, menurut Agustijanto, bukti mengenai Ko-ying dan Kan-t’o-li baru berdasarkan catatan orang asing. Sementara temuan prasasti Sriwijaya baru muncul dari abad ke-7. Wolters pun menyebutnya tanpa bukti arkeologis. “Sebenarnya tak hanya Ko-ying. Banyak kerajaan di Nusantara yang masih diperdebatkan lokasinya. Satu-satu kita coba liat. Pertama Ko-ying yang banyak disebut,” kata Agustijanto. Penelitian situs Air Sugihan menemukan banyak tinggalan arkeologis yang mencerminkan permukiman yang kompleks. “Kita bisa memperkirakan Ko-ying memang di pantai timur. Ternyata dari bukti arkeologisnya ada kesesuaiannya dengan berita Tiongkok abad 3-4,” lanjutnya. Agustijanto menjelaskan ada 74 situs yang ditemukan di kawasan Air Sugihan dalam radius 43 x 62 km. Situs itu diperkirakan berasal dari periode awal masehi sampai abad ke-3, lalu berlanjut sampai periode akhir Sriwijaya. Di sana ada sisa permukiman berupa tiang pancang dari kayu nibung. “Secara keruangan situs-situs di dekat muara lebih tua. Semakin ke hulu semakin muda. Secara kronologis sudah dihuni sekira abad 1-2 dan terus berlanjut sampai abad 12-13,” terangnya. Untuk menyebut kawasan Air Sugihan sebagai bekas suatu kerajaan, data yang ada masih terlalu minim. Namun, kemungkinan besar masyarakatnya telah melakukan kontak dengan wilayah luar. Mereka telah berlayar ke Funan. “Butuh data lebih banyak lagi untuk bilang kalau itu sebuah kerajaan,” tegas Agustijanto. Para peneliti menemukan manik-manik emas, batu dan kaca. Ini mirip dengan temuan di situs Oc-eo, lembah sungai Mekong. Situs ini adalah pelabuhan yang masuk wilayah Kerajaan Funan yang berdiri pada awal masehi hingga abad 6. Tak hanya berhubungan dengan Funan, di kawasan yang diduga wilayah Ko-ying ini banyak ditemukan tinggalan budaya terkait Tiongkok dan India. Seperti tembikar Arikamedu, manik-manik karnelian India Selatan, dan keramik Tiongkok dari Dinasti Sui (abad 5-6). “Pada masa itu penduduk Ko-ying sebelum Sriwijaya yang tampaknya hidup di rawa-rawa sudah ada hubungan dagang dengan Tiongkok, Dinasti Sui,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog Puslit Arkenas. Penghuni situs Air Sugihan tak membangun kota karena tanahnya berawa. Mereka pun membuka areal di pedalaman. Di pedalaman, mereka lebih leluasa mendirikan bangunan termasuk bangunan peribadatan. “Ini proses, abad 1-2 di muara, selanjutnya masuk ke Palembang. Jadi, memang pendahulu Sriwijaya di pantai timur,” ujar Agustijanto.

  • Sriwijaya Tak Berkuasa hingga Thailand

    PELAJARAN sejarah menyebutkan, Sriwijaya merupakan kerajaan maritim besar yang pernah ada di Nusantara. Wilayahnya membentang luas hingga Malaysia dan Thailand. Namun, hal itu tak berlaku bagi Bambang Budi Utomo, peneliti dari Pusat Penilitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Menurutnya, wilayah Sriwijaya hanya sepanjang Selat Malaka hingga pantai timur Sumatera. Hal itu dibuktikan dari temuan Prasasti Karangjati, Kedukan Bukit, dan Telaga Batu. Ketiganya menunjukkan wilayah inti kekuasaan Sriwijaya. Prasasti Kedukan Bukit (605 Saka) di kaki Bukit Siguntang, misalnya, berisi tentang perjalanan Raja Dapunta Hyang dari Koying untuk menemukan tempat baru sampai membangun kota di Kaki Bukit Siguntang, Palembang. Kota baru ini ditata menurut konsep ajaran Budha. Titik utara dirancang sebagai Gunung Meru, tempat tinggal dewa, dan selatan Jambu Dwipa yang letaknya di sebelah utara Sungai Musi. Para penduduk tinggal di wilayah Jambu Dwipa di tepian Sungai Musi. “Ada sisa bangunan keagamaan berupa fondasi bata ditemukan di dekat Rumah Sakit Caritas, Bukit Siguntang,” kata Bambang dalam diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII di Museum Nasional, Jumat (17/11/2017). Setelah berhasil membangun kota, Sriwijaya membangun taman pada 606 Saka. Berdasarkan Prasasti Talang Tuo, Sriwijaya membangun Taman Sriksreta di Bukit Siguntang. Temuan menarik yang diteliti Puslit Arkenas, serbuk sari yang ditemukan di sekitar situs sesuai dengan nama tanaman yang disebutkan di Prasasti Talang Tuo. Menurut Bambang, daerah di sekitar Bukit Siguntang memang memungkinkan untuk dibuat taman karena terdapat lembah dan sungai yang mengalir ke Kedukan Bukit. Prasasti Telaga Batu semakin menguatkan argumen bahwa Palembang merupakan ibukota Sriwijaya. Prasasti ini berisi sumpah seluruh penduduk kota untuk setia kepada raja karena sebelumnya ada kekhawatiran mereka akan mencelakai raja. “Mulai dari putra mahkota hingga tukang cuci disumpah,” kata Bambang. Pasalnya, merekalah orang-orang paling dekat dengan raja. Sebagai kerajaan maritim dan non-ekspansif, Sriwijaya hanya menguasai daerah-daerah strategis yang menguntungkan secara ekonomis. Dengan menguasai Selat Malaka, Sriwijaya bisa menguasai perdagangan dan pajak di wilayah tersebut. Terdapat aturan perdagangan di wilayah Selat Malaka bahwa barangsiapa yang ingin berdagang melalui Selat Malaka atau di wilayah teritori Sriwijaya, harus menyewa kapal dari Sriwijaya dan membayar pajak. Aturan ini mengakibatkan seringnya terjadi pemindahan muatan dari kapal asing ke kapal Sriwijaya. Kapal Sriwijaya cirinya bisa dilihat dari teknik papan ikat. Jenis ini banyak ditemukan di perairan Cirebon. Beberapa bangkai kapal yang ditemukan, membawa barang dari India, Cina, Sriwijaya dan lain-lain dalam satu kapal. Hal itu tak membuktikan bahwa kekuasaan Sriwijaya membentang sampai perairan Cirebon. Sebaliknya, itu membuktikan bahwa pada masa Sriwijaya ada singgungan dengan berbagai bangsa untuk tujuan dagang. “Sriwijaya itu fokus ke perdagangan. Mungkin kalau Sriwijaya asal dapat uang dari pajak perairan dan dagang, cukup. Dengan menguasai Selat Malaka ia bisa menguasai lain-lain. Jadi tidak harus sampai ke Madagaskar untuk menyebarkan pengaruhnya,” kata Bambang. Meski ada rasasti yang menyebutkan nama Sriwijaya sampai di Thailand, bukan berarti Thailand adalah wilayah yang pernah dikuasai Sriwijaya. Prasasti Ligor (775 Saka) menyebutkan, Rakai Panangkaran membangun Trisamaya Chaitya (tiga bangunan suci) di Thailand. Pembangunan tiga bangunan suci di Thailand tersebut rupanya bukan wujud kekuasaan Sriwijaya melainkan bantuan pembangunan. Menurut Bambang, alasan Sriwijaya mau membantu pembangunan kuil adalah untuk mengamalkan dharma sesuai ajaran Budha. Selain memberi bantuan ke Thailand, pada abad ke-12 Sriwijaya membantu pembangunan kuil di Kanton. “Arca dari Sriwijaya ada di Bidor, Malaysia (sejumlah) satu, di Thailand ada 2. Itu bukan berarti wilayah Sriwijaya sampai situ, tapi di situ ditemukan Prasasti Sriwijaya,” kata Bambang. Lebih lanjut dia mengatakan, meski ada penemuan prasasti Sriwijaya, juga harus memperhatikan isi prasasti agar tidak salah menafsirkan daerah kekuasaan.

  • Cara Cucu KH Noer Ali Menyelami Heroisme Sang Kakek

    RAUT wajah dan sorot mata pria itu menampakkan ketenangan bak air telaga. Namun, hatinya bergejolak. Setelah memberi pembekalan pada murid-muridnya, dia langsung memimpin mereka ke tempat penghadangan di Sasak Kapuk (kini Pondong Ungu, Kota Bekasi). Di sana, mereka akan menghadapi pasukan pemenang Perang Dunia II. Adegan itu menempati bagian awal perhelatan reka ulang Pertempuran Sasak Kapuk yang digelar Ikatan Abiturien Attaqwa dan Komunitas Sejarah Front Bekasi pada Sabtu, 18 November 2017. Acara yang dibuat untuk memperingati Hari Pahlawan itu berlangsung di Lapangan Pesantren Attaqwa, Ujungmalang, Bekasi. Gambaran fisik dan spirit Nur Ali, sang pemimpin, tadi mampu memancarkan gambaran sosok KH Noer Ali, pahlawan nasional yang memimpin rakyat Bekasi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Bukan kebetulan bila hal itu bisa terjadi. Nur Ali merupakan salah satu cucu KH Noer Ali sang pahlawan. Ayah Nur Ali, KH Amin Noer –pendiri Yayasan Attaqwa, merupakan anak ketiga KH Noer Ali. Maka, Nur Ali amat bersemangat ketika memerankan sang kakek. Bermodal pistol Webley, dia ikut berjibaku ‘becek-becekan’ di lapangan bersama pasukannya yang diperankan 40 siswa Pesantren Putra Attaqwa Pusat. Itu merupakan cara Nur Ali menyelami heroisme kakeknya tentang masa-masa revolusi yang belum pernah didengarnya semasa sang kakek masih hidup. “Kesannya memerankan beliau itu luar biasa sekali. Ada rasa senang, namun juga ada harapan. Saya memang ingin tahu bagaimana menonjolnya sosok beliau (di masa perjuangan – red .),” ujar Nur Ali kepada Historia. Untuk memerankan sosok sang kakek, Nur Ali menyempatkan diri ikut latihan drama itu di sela-sela kesibukanya mengajar di Pesantren Attaqwa. Latihan itu sendiri berjalan hampir setiap hari sejak sebulan pra Hari H. “Kesulitannya ya mungkin karena memang saya enggak punya basic reka ulang atau drama. Apalagi kan peran utama ini sosok yang cukup dituakan dan juga kakek sendiri,” sambungnya. Nur Ali amat bangga bisa memerankan sosok kakeknya. Terlebih, sang ayah KH Amin Noer ikut memberi masukan padanya. Dan yang terpenting, Nur Ali bisa memetik keteladanan dari kakeknya, seorang ulama pejuang yang pada 2006 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah. “Yang bisa kita teladani dari KH Noer Ali tentang peristiwa ini (Pertempuran Sasak Kapuk – red .) adalah tekad yang bulat. Dia juga merupakan sosok pemimpin yang sayang kepada anak buahnya. Kita juga bisa meneladani strateginya yang matang (dalam berperang di masa revolusi),” tandas Nur Ali.

  • Gaya Kabur Koruptor dalam Sejarah

    KETUA DPR Setya Novanto mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju KPK, Kamis (16/11/17) malam. Mobil Fortuner hitam yang ditumpanginya menabrak tiang listrik, Novanto tak sadarkan diri. Sebelumnya, Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 10 November. Sempat menghilang, KPK menyatakan bila pada pukul 21.30 Novanto tidak datang ke KPK, dia akan menjadi buron. Dalam beberapa bulan terakhir sejak masalah hukum menimpanya, Novanto seringkali tidak menghadiri panggilan KPK. Dia beralasan sakit. Namun begitu praperadilannya menang dan status tersangka tak lagi disandang, dia kembali sehat dan beraktivitas seperti biasa. Beberapa pihak menduga yang dilakukan Novanto merupakan jurus berkilah dari kejaran penyidik. Cara-cara menghindari kejaran penyidik korupsi sudah menjadi siasat para koruptor sejak lama. Berikut beberapa contoh kasusnya. Edi Tansil Edi Tansil menjadi buron setelah terbukti merugikan uang negara sebesar 1,5 triliun rupiah melalui kredit Bank Bapindo. Ketika pencairan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dia merupakan petinggi Bank Bapindo sekaligus direktur utama Golden Key Group (GKG). Melalui Golden Key Group, dia meminjam uang pada Bapindo sebesar 565 juta dollar amerika atau setara 1,5 triliun rupiah. Edi kemudian dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan denda 30 juta rupiah, uang pengganti lima ratus miliar, dan mengganti kerugian negara sebesar 1,3 triliun rupiah pada 1996. Tak sampai 20 tahun menghuni Lembaga Permasyarakatan Cipinang, Edi melarikan diri pada 4 Mei 1996. Sejak itu, Edi menghilang. Menurut antaranews.com , kabar terakhir mengenai keberadaan Edi bisa dilacak di Tiongkok sejak 2013. Namun, hingga kini dia belum ditangkap. Lahir di Makassar pada 2 Februari 1953, Edi sukses sebagai pengusaha di bidang keuangann. Kredibilitasnya diakui secara nasional. Namun skandal GKG mencoreng nama baiknya. Ginandjar Kartasasmita Mantan menteri Pertambangan dan Energi semasa Orde Baru ini menjadi tersangka dalam kasus Bantuan Kontrak Teknis (BKT) antara Pertamina dan PT Ustrindo Petro Gas di mana Ginandjar bertanggungjawab atas penyetujuan proyek ini. BKT dimaksudkan untuk merekayasa sumur-sumur minyak yang sudah mati agar bisa menghasilkan minyak lagi. Namun dalam pelaksanaannya, sumur-sumur yang direkayasa adalah sumur aktif. Kasus ini merugikan negra sebanyak 24,8 juta dollar Amerika. Pada 2001, Kejaksaan Agung (Kejagung) sempat kesulitan menangani kasusnya lantaran Ginandjar menolak diperiksa dengan alasan sedang sakit. Kejagung lalu mengambil langkah dengan memeriksa kesehatan Ginandjar. Namun begitu dokter datang, dia kabur melalui lift. Mobil yang membawanya kabur berjalan dengan kecepatan tinggi, sampai menyerempet petugas keamanan di dekat pagar Kejagung. Selain aksi kabur itu, Ginandjar tak pernah hadir ketika berkali-kali dipanggil kejaksaan untuk menjadi saksi lantaran sedang berada di Belanda, AS, atau Jepang. Ginandjar akhirnya ditahan pada 6 Maret-6 Mei 2001 di rumah tahanan kejaksaan. Namun dia tak sendiri, para pengacaranya menemani di kamar tahanan. Sjamsul Nursalim Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ini mulai disebut dalam kasus korupsi setelah banknya mendapat kredit dari pemerintah pada 1997. Kucuran dana untuk menyehatkan BDNI yang sakit itu ternyata melebihi batas maksimum dan muaranya masuk ke kantong pribadi Sjamsul. Kejaksaan Agung lalu memeriksa Sjamsul atas penyimpangan penyaluran dan penggunaan dana BLBI. Kasus Sjamsul bertambah berat ketika BDNI mendapatkan Surat Keterangan Lunas BLBI dari Ketua BPPN Syafuddin Tumenggung pada 2004. Padahal, Sjamsul masih berutang 3,7 triliun rupiah kepada negara. Sjamsul menang banyak, sementara negara rugi sampai 6,9 triliun rupiah dan 96,7 juta dollar Amerika. Meski mendapat beberapakali panggilan dari penyidik, Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim tak pernah memenuhi panggilan tersebut. Kabar yang santer terdengar mengatakan mereka kabur dan menetap di Singapura. Samadikun Hartono Pemilik Bank Modern ini bermasalah dengan hukum sejak menyalahgunakan kucuran dana BLBI yang didapat pada 1998. Alih-alih menggunakan dana itu untuk menyehatkan banknya, Samadikun malah menyalahgunakannya untuk kepentingannya sendiri. Kontan negara menanggung kerugian sampai 169 miliar rupiah akibat ulah Samadikun. Samadikun lalu divonis empat tahun penjara. Namun sebelumnya, dia mengajukan izin untuk berobat ke Jepang. Kejaksaan mengabulkan. Samadikun diizinkan berobat selama dua minggu dengan menjadikan istrinya, Nelly Chandra, sebagai jaminan. Begitu di Jepang, Samadikun tak pernah kembali lagi dan buron hingga 13 tahun. Laman cnnindonesia.com menyebut Samadikun pernah tinggal di Apartemen Beverly Hills, Singapura dan memiliki pabrik film di China dan Vietnam. Dia akhirnya ditangkap pada 2016 selepas menyaksikan balap Formula 1 di Shanghai. Sudjiono Timan Direktur utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) periode 1995-1997 ini menjadi tersangka korupsi karena menyalahgunakan wewenang dengan memberikan pinjaman tanpa agunan kepada Kredit Asia Finance Limited (KAFL) dan Festival Co. Tindakan tersebut membuat BPUI dan Departemen Keuangan menderita kerugian 178,9 juta dollar Amerika dan lebih dari 600 miliar rupiah. Sudjiono terbukti bersalah dan dihukum 15 tahun penjara berikut denda 50 juta rupiah. Namun belum lagi kasusnya selesai, dia kabur ke Singapura. Pada 2013, istri Sudjiono mengajukan Peninjauan Kembali kasus suaminya. MA mengabulkan sehingga menuai kritik dari para ahli hukum. Bambang Sutrisno Sebagai salah satu bank yang dinyatakan tak sehat, Bank Surya mendapatkan kucuran dana BLBI. Dana itu merupakan pinjaman pemerintah untuk menyehatkan kembali usaha Bank Surya. Namun alih-alih menggunakan dana untuk menyehatkan bankya, Bambang Sutrisno selaku wakil presiden komisaris malah mengucurkan dana BLBI ke 103 perusahaan fiktif ( paper company ) miliknya. Negara dirugikan 1,5 triliun rupiah. Kejaksaan langsung menetapkannya sebagai tersangka. Namun, Bambang tak pernah memenuhi panggilan kejaksaan meski pemanggilan sudah berkali-kali dikeluarkan melalui surat pos atau media massa. Bambang dinyatakan buron. Kejaksaan dibuat pusing, sampai-sampai menggelar sidang kasus Bambang tanpa kehadiran si terdakwa atau kuasa hukumnya ( in absentia ). Dalam sidang pada 13 November 2002 itu, PN Jakarta Pusat memvonis Bambang bersalah dan mengganjarnya dengan hukuman penjara seumur hidup. Dwiyanto Prihartono, kuasa hukum Bambang, menolak pernyataan kalau Bambang kabur. Menurutnya Bambang sudah berada di luar negeri sejak 19 Juni 1997, sebelum dimulainya proses penyidikan kasus BLBI Bank Surya. Andrian Kiki Anriawan Sebagai mantan direktur utama Bank Surya, Adrian ikut menjadi tersangka dalam kasus pengemplangan dana BLBI. Bersama Bambang Sutrisno, dia disangka melakukan kejahatan dalam kurun 1989-1998. Akibat ulahnya, negara merugi sebesar 1,5 triliun rupiah. Sama seperti rekannya, Andrian mendapat hukuman penjara seumur hidup. Namun, dia berhasil melarikan diri ke Singapura dan Australia sebelum akhirnya ditangkap di Perth pada 2008. Tommy Soeharto Pada 1994, PT Goro Batara Sakti milik Hutomo Mandala Putra melakukan ruislag dengan Badan Urusan Logistik (Bulog). Tukar guling tanah gudang Bulog seluas 150 hektar yang berjalan atas restu Presiden Soeharto itu memuat banyak kejanggalan. Akibatnya, negara mengalami kerugian sebanyak 95 miliar. Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita memvonis putra bungsu Presiden Soeharto itu bersalah dan menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara serta denda Rp.30 juta plus mengganti kerugian negara sebesar Rp.30,6 miliar pada 22 September 2000. Tommy, panggilan akrab Hutomo, lalu mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah grasinya ditolak, Tommy lalu buron. Dalam masa pelariannya itu, Tommy memerintahkan pembunuh bayaran menghabisi Syafiuddin, yang akhirnya meregang nyawa pada 26 Juli 2001. Pelarian Tommy akhirnya berakhir pada 28 November 2001. Tim Kobra Polda Metro Jaya yang dipimpin Kompol Tito Karnavian berhasil menggerebek dia di tempat persembunyiannya di Bintaro, Tangerang. Djoko Sugiarto Tjandra Djoko menjadi terdakwa dalam kasus korupsi Bank Bali pada 1999. Kasus bermula dari pengalihan tagihan utang (cessie) Bank Bali yang melibatkan PT Era Giat Prima (EGP), yang didirikan oleh Djoko dan Setya Novanto. Pada Januari 1999, terjadi perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT EGP ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Umum Nasional (BUN). Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) meminta Bank Bali mentransfer 798 miliar rupiah ke rekening Djoko dan PT EGP. Namun setelah dana itu cair, EGP meminta BPPN agar memberi instruksi pada BUN untuk memberikan uang pada Bank Bali sejumlah 546 miliar rupiah untuk dibayarkan pada PT EGP. Dana 546 miliar inilah yang menjadi masalah hingga ke persidangan dan membuat Djoko menjadi tersangka. Djoko mendapat vonis hukuman 2 tahun penjara. Namun, dia berhasil melarikan diri ke Singapura. Belakangan diketahui, Djoko berpindah kewarganegaraan menjadi WN Papua New Guinea. Akibatnya, penyidik kesulitan mengekstradisinya. Setya Novanto Nama Novanto sedang ramai diperbincangkan beberapa bulan terakhir sejak dia ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi KTP-elektronik. Namun dalam catatan sejarah, kasus tersebut bukan kasus korupsi pertama yang melibatkan Novanto. Pada 1999, Setya Novanto disebut dalam kasus cassie PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Namun kasus yang merugikan negara sebesar 546 miliar rupiah itu tak mampu menjerat Novanto. Dia tetap lolos dari jerat hukum. Kedua kasus tersebut hanyalah bagian dari banyak kasus yang menyeret nama Novanto. Ketua DPR ini antara lain terlibat dalam kasus penyelundupan beras Vietnam (2003), limbah beracun di Pulau Galang, Batam (2006), Proyek PON Riau (2012), dan yang terbaru kasus KTP-el. Kasus terakhir sempat melahirkan pemberitaan mengenai hilangnya Novanto sebelum akhirnya tertutup oleh pemberitaan kecelakaannya yang janggal di Permata Hijau, Jakarta Selatan.*

  • Prahara di Pinggir Jakarta

    LETJEN Sir Philip Christison tak menyangka penugasannya sebagai panglima Komando Tentara Sekutu di Jawa usai Perang Dunia II bakal merepotkannya. Belum lagi Pertempuran Surabaya hilang dari ingatan, ulah para pemuda pejuang di Bekasi kembali membuatnya berang. Keberangannya kali ini berawal dari jatuhnya pesawat angkut Dakota milik Inggris yang berangkat dari Bandara Kemayoran pada 23 November 1945. “Dakota itu membawa 20 pasukan dari 2/19th Kumaon. Pesawat pengintai melaporkan kedua kru dan para penumpangnya selamat,” tulis Richard McMillan dalam The British Occupation of Indonesia: 1945-1946. Menurut AH Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Vol. 2 , para awak dan penumpang Dakota yang jatuh di Rawa Gatel, Cakung itu kemudian ditahan laskar pimpinan H Maksum. Para laskar lalu menyerahkan mereka ke Klender, daerah kekuasaan Barisan Rakyat (BaRa) pimpinan Haji Darip. BaRa enggan menampung mereka. Entah atas prakarsa siapa, para penumpang Dakota itu lalu diangkut menuju markas komando TKR Batalyon V Resimen V Cikampek. Namun dalam perjalanan, mereka justru disembelih dan jasad-jasadnya dibuang ke Kali Bekasi. Berita penyembelihan itu sampai ke telinga Christison dan membuat sang panglima naik pitam. Pada 29 November, dia langsung mengerahkan pasukan untuk mencari jasad-jasad penumpang Dakota meski harus melanggar garis demarkasi Kali Cakung. “Sekutu menggunakan tentara Punjab ke-1/16, Skuadron Kavaleri FAVO ke-11, Pasukan Perintis ke-13, pasukan Resimen Medan ke-37, Detasemen Kompi Medan ke-69, serta 50 truk dan lima meriam,” ujar Ali Anwar dalam biografi KH Noer Ali, Kemandirian Ulama Pejuang . Pasukan itu nyaris tak mendapat perlawanan dalam perjalanan sampai Kali Cakung. Namun di perlintasan kereta Rawa Pasung, Kranji (kini dekat Stasiun Kranji), mendadak mereka diserang puluhan pejuang Kelompok Pesilat Subang di bawah pimpinan Ama Puradiredja. Kelompok pejuang yang sempat mendapat latihan dasar kemiliteran dari Resimen V itu menyerang dengan menggunakan golok dan granat tangan. “Pertempuran tiba-tiba ini mengakibatkan enam pesilat gugur dan pihak lawan tak diketahui pasti. Namun dari pertempuran ini dapat dirampas 12 senapan mesin dan 10 karaben (senapan),” ujar Susila Budi Moeffreini yang mewakili keluarga besar Moeffreini Moe’min di buku Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreini Moe’min . Konvoi Inggris yang mengalami beberapa korban tewas dan luka itu lalu mundur kembali ke Jakarta via Cakung. Sialnya, di dekat wilayah Sasak Kapuk (kini pertigaan Pondok Ungu antara Jalan Sultan Agung dan Jalan Kaliabang, Kota Bekasi) mereka dicegat lagi, dari dua sisi. Kawasan itu memang sudah diplot jadi titik pencegatan oleh gabungan pasukan republik yang terdiri dari Laskar Rakyat pimpinan KH Noer Ali, pasukan Yon V Bekasi di bawah Mayor Sambas Atmadinata, dan TKR Laut pimpinan Mayor M Hasibuan. Pimpinan ketiga pasukan mengerahkan 400 personil untuk mencegat Inggris. Kontak senjata pun terjadi antara pasukan Inggris dan republik yang keberadaannya hanya dibatasi Kali Sasak Kapuk. Persenjataan pasukan Inggris jauh lebih superior daripada pasukan republik yang banyak di antara personilnya hanya bersenjatakan golok, arit, bambu runcing, dan ketapel. Gempuran-gempuran mortir dan artileri Inggris pun memakan banyak korban pasukan republik serta memaksa pasukan KH Noer Ali dan TKR Laut mundur ke utara. “KH Noer Ali selamat dari terjangan peluru dan segera menyelamatkan diri dengan cara menceburkan diri ke Kali Sasak Kapuk,” ujar Ali Anwar. Pertempuran skala besar pertama di Bekasi –yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Sasak Kapuk– itu menyebabkan 40 pejuang republik gugur dan 15 lainnya hilang. Sementara, korban dari pasukan Inggris tak diketahui. Pasukan Inggris langsung melanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta setelah berhasil membuat mundur pasukan republik.

  • Djohan Effendi dan Pidato Soeharto

    SYAHDAN, pada 1975 Sekretariat Kabinet minta Departemen Agama (Depag) untuk membuatkan sambutan Presiden Soeharto untuk Hari Raya Iduladha. Karena tengah berada di Mekkah memimpin jamaah haji ( amirul haj ), Menteri Agama Prof. Mukti Ali minta pihak Setneg agar menghubungi Sekjen Departemen Agama Bahrum Rangkuti. Bahrum-lah yang kemudian mengorder draf pidato kepada Djohan Effendi. Hal ini termasuk yang dilaporkan oleh Bahrum setelah Mukti Ali pulang dari Tanah Suci.

  • Menggelorakan Kembali Perlawanan Dahsyat di Bekasi

    SAMBIL berjongkok dan memegang sebatang bambu, pemuda-pemuda berkemeja putih itu waspada. Mereka menunggu kedatangan lawan, pasukan Inggris, yang akan datang menyerang. Suasana tegang pra-pertempuran itu terjadi menjelang Pertempuran Sasak Kapuk. Tapi, itu bukan Pertempuran Sasak Kapuk yang terjadi tahun 1945, melainkan Pertempuran Sasak Kapuk dalam drama reka ulang yang bertempat di Lapangan Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Babelan, Bekasi. Reka ulang pertempuran yang dihelat untuk memperingati Hari Pahlawan itu berlangsung pada Sabtu, 18 November 2017, siang. Bukan semata untuk “menghidupkan” kembali Pertempuran Sasak Kapuk dan Serangan Kranji, Ikatan Abiturien Attaqwa (IKAA) dan Komunitas Sejarah Front Bekassi membuat drama itu untuk mengedukasi masyarakat. “Reka ulang ini demi mengingatkan masyarakat sekitar tentang besarnya peranan ulama, khususnya KH Noer Ali dalam Revolusi Fisik,” kata Nurkholis Wardi, sekjen IKAA yang juga keponakan mendiang KH Noer Ali, kepada Historia . “Karena banyak masyarakat sekitar maupun di kota-kota lain tidak tahu tentang pertempuran ini. Kita giat menggelar ini agar masyarakat tahu bahwa ada pertempuran besar yang melibatkan KH Noer Ali di Pondok Ungu. Kegiatan ini juga sesuai amanat KH Amin Noer (putra ketiga almarhum KH Noer Ali – red. ) agar tidak melupakan sejarah,” sambung Nurkholis. Sekira 70 orang berpartisipasi dalam drama yang dibuat untuk melukiskan peran KH Noer Ali beserta murid-muridnya semirip mungkin itu. Mereka berasal dari beragam komunitas yang ada di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Selain membawa atribut seperti seragam, mereka juga melengkapi drama dengan replika senjata sendiri. Tak lupa, dua jip Willys dan kendaraan taktis Ford Lynx, yang didatangkan dari Museum Mandala Wangsit Siliwangi, juga disertakan untuk menduplikasi konvoi pasukan Inggris. Teriakan takbir menjadi penanda serangan dadakan pertama Kelompok Pesilat Subang yang diperankan enam murid-murid Padepokan Silat Sima Maung, diselingi dentuman-dentuman mercon. Adegan itu dibuat untuk memperlihatkan peristiwa sergapan heroik Kelompok Pesilat Subang pimpinan Ama Puradiredja di Rawa Pasung, Kranji. Lepas dari serangan pertama, konvoi Inggris kembali kena serangan kejutan. Kali ini serangan datang dari pasukan TKR Laut, TKR Batalyon V Bekasi, dan Hizbullah di bawah pimpinan KH Noer Ali, yang dalam drama ini diperankan cucunya yang bernama Nur Ali. Suara beragam jenis mercon lebih menggelegar dari sebelumnya. Adegan untuk menunjukkan Pertempuran Sasak Kapuk itu dimainkan 50 siswa Madrasah Aliyah Attaqwa Pusat. Kepedihan KH Noer Ali, yang melihat banyak muridnya menjadi korban, menjadi adegan penutup drama reka ulang itu. “Ini jadi pertempuran frontal pertama dan terakhir yang diterapkan KH Noer Ali di masa revolusi fisik. Selebihnya, KH Noer Ali menjadikannya pelajaran dan memilih taktik perang gerilya,” tutur penggiat komunitas sejarah Front Bekassi, Beny Rusmawan kepada Historia.

  • Menyorot Tradisi Maskot

    IBARAT sayur kurang garam. Itulah yang mungkin bakal terjadi bila event akbar olahraga modern, Piala Dunia ataupun Olimpiade, tak memiliki maskot. Sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018, Rusia telah siap dengan maskotnya. Zabivaka, nama maskot itu, merupakan sesosok serigala lucu berbulu coklat yang mengenakan balutan celana merah dan jersey putih berlengan biru yang bertuliskan “Russia 2018”. Ekaterina Bocharova, sang desainer maskot, melengkapi sosok Zabivaka dengan kacamata sport ber- frame oranye. Zabivaka sendiri merupakan kata dalam bahasa Rusia yang berarti pencetak gol. Zabivaka menjadi maskot ke-14 dalam sejarah Piala Dunia. Tradisi penggunaan maskot dalam gelaran megah olahraga terpopuler ini berawal pada Piala Dunia 1966 di Inggris. Sebagai tuan rumah, Inggris kala itu kesulitan mendapatkan sponsor. Untuk mendorong promosinya, negeri tiga singa itu lalu membuat maskot. Reg Hoye, ilustrator buku anak-anak Penerbit Enid Blyton, mendapat kepercayaan menggarap maskot itu. Selain mengupayakan pendeskripsian putranya, Leo, Hoye mengambil inspirasi dari simbol negerinya, singa, dan memadukannya dengan ikon budaya pop yang sedang trendi untuk mencipta maskot itu. Hasilnya, seekor singa mengenakan baju bergambar Union Jack (bendera Inggris Raya) dan bertuliskan “World Cup”. “Hoye memodernkan sosok singa yang merupakan ikon kerajaan (Inggris) dengan rambut bergaya (band) The Beatles,” tulis buku 1966 and Not All That karya Amy Lawrence dkk. Alih-alih menamakan maskotnya dengan nama sang anak, Hoye justru menamakan maskot yang rampung pada Juli 1965 itu Willie. “Pemilik asli nama (maskot Willie) adalah Kepala Administrasi Piala Dunia, EK ‘Willie’ Wilson. Nama panggilan akrab yang berasal dari para stafnya inilah yang kemungkinan diberikan untuk maskot,” tulis Jonathan Mayo dalam The 1966 World Cup Final: Minute by Minute . Maskot Willie lalu eksis dalam gambar ilustrasi dan beragam merchandise , mulai boneka hingga botol bir. Panitia serta FIFA meraup keuntungan melimpah dari produk-produk yang menyertakan gambar Willie. Keuntungan bertambah setelah lagu “Willie World Cup” diciptakan oleh Lonnie Donnegan. Lagu itu berandil besar mendongkrak pendapatan dari siaran radio dan hak siar televisi. “Pendapatan dari semuanya itu merupakan ledakan komersial pertama di Piala Dunia. Dilaporkan, FA (PSSI-nya Inggris) dan FIFA mendapat keuntungan hingga 3 juta poundsterling,” ungkap mantan penyerang timnas Inggris Jimmy Greaves dalam Greavsie: The Autobiography . Willie tak hanya memelopori penggunaan maskot dalam setiap turnamen empat tahunan tersebut tapi juga perhelatan akbar olahraga multicabang, Olimpiade. Setelah Olimpiade musim dingin 1968 Grenoble (Prancis) hadir dengan maskot Schuss karya Mme Lafargue, Olimpiade musim panas mengikuti dua tahun kemudian ketika Olimpiade Munich 1972 hadir dengan maskot ciptaan Olt Aicher bernama Waldi. Delapan tahun kemudian, Piala Eropa mengikutinya dengan perhelatan di Italia yang menampang Pinocchio sebagai maskot. “Willie meretas sejarah dan menjadi warisan yang berpengaruh. Bahkan sampai sekarang, memorabilia World Cup Willie masih bisa ditemukan, tidak hanya untuk pasar kolektor, namun juga suvenir kontemporer,” tulis Kevin Tennent dan Alex Gillett dalam Foundations of Managing Sporting Events: Organising the 1966 FIFA World Cup.

  • Benjol Segede Bakpao

    SETYA Novanto, tersangka kasus korupsi KTP elektronik, mengalami kecelakaan di Kompleks Perumahan Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis malam (16/11/2017). Mobil fortuner yang ditumpanginya menabrak tiang listrik. Ketua DPR RI itu dilarikan ke RS Medika Permata Hijau, kemudian ke RS Cipto Mangunkusumo. Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, menyampaikan sebagaimana dikutip berbagai media, bahwa kepala kliennya benjol segede bakpao. Warganet pun segera menjadikannya candaan, selain tiang listrik. Bakpao, hidangan Tionghoa yang telah menjadi makanan siapa saja. Semula sesuai arti namanya, bakpao berisi daging babi: bak (daging babi) dan pao (roti). Roti kukus berbentuk setengah bola ini kemudian berisi aneka bahan-bahan manis seperti kacang ijo dan coklat. “Memang pada zaman dahulu bakpao identik dengan daging babi. Namun, kini di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim, konotasi bakpao tidak lagi demikian. Kini pengertian umum dari bakpao adalah hidangan dari tepung terigu, difermentasi, diberi aneka isian dan dimatangkan dengan cara dikukus,” tulis Diah Surjani Ananto, penulis buku-buku tentang kue, dalam Bakpao . Sementara itu, food architect Istiawati Kiswandono, menerangkan bahwa di negara asalnya, Tiongkok utara yang dingin, roti kukus empuk berwarna putih ini rasanya tawar, tanpa isi dan disantap sebagai pengganti nasi, disebut ho yek pao . Sedangkan di Tiongkok selatan yang subtropis, roti ini diisi daging sapi cincang atau ayam berbumbu, disebut gou ruk . “Di Indonesia populer dengan sebutan bakpao asin. Berbeda dengan mantao yang rasanya agak manis, gou ruk bentuknya dilipat menjadi dua bagian, kemudian diisi dengan daging babi masak kecap yang diselipkan di tengahnya,” tulis Istiawati dalam Make Over dari Makanan Biasa Menjadi Hidangan Kreatif Eksklusif. Pada awal tahun 1950-an, makanan Tionghoa yang dijajakan keliling, seperti bakmi baso, bakmi pangsit, dan bakpao, belum diminati masyarakat. Sebab, kata Firman Lubis, seorang dokter, banyak yang menganggapnya makanan haram karena memakai minyak atau daging babi. “Seingat saya, baru pada akhir 1950-an, makanan Tionghoa mulai populer setelah dijual dan dipasarkan sebagai bakmi baso atau bakmi pangsit sapi. Selain itu juga bakpao dan masakan-masakan Cina secara umum mulai diperkenalkan sebagai makanan halal,” kata Firman dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja.

bottom of page