Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menulis Mencipta Indonesia
DR. MAX LANE, Indonesianis dari Victoria University Australia, seringkali bingung tiap kali melihat pameran tentang kebudayaan Indonesia. Yang dipamerkan lazimnya batik hingga angklung. “Itu bukan kebudayaan Indonesia. Batik kebudayaan Jawa. Angkung kebudayaan Sunda. Itu sudah ada sebelum negara Indonesia ada. Itu semua warisan dari Indonesia yang sebelumnya belum ada di bumi manusia,” ujar Max Lane dalam peluncuran bukunya, Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia: Esai-esai tentang Pramoedya, Sejarah dan Politik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu, 12 Agustus 2017. Max Lane mengatakan bahwa salah satu elemen dasar kebudayaan Indonesia adalah menulis. Ini yang dilakukan sastawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer lewat sejumlah karyanya, seperti tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca . “Banyak pesan yang terdapat dalam karya-karya Pramoedya yang terinspirasi dari RA Kartini. Pramoedya melihat Kartini sebagai pemikir zaman pencerahan Indonesia. Dalam karya-karya Pramoedya, terkandung pesan-pesan seperti kebangkitan nasional Indonesia di era 1920-an,” kata Max Lane. Max Lane menerjemahkan karya-karya Pramoedya ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Akibatnya, sebagai diplomat muda di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dia ditarik ke negerinya pada 1981. Menurut Max Lane karya-karya Pramoedya penting untuk dibaca oleh generasi muda agar dapat menentukan ke mana arah bangsa ini akan di bawa. Arah bangsa yang sejak era 1950-an selalu memunculkan pertarungan ideologi yang keras. “Setelah Indonesia merdeka, lalu masa depannya mau di bawa ke mana. Makanya di era 1950-an, terjadi pertempuran ideologi. Peristiwa 30 September 1965 jadi titik balik. Orang-orang kiri dipenjara, dibunuh sebagai akibat pertarungan ideologi yang diselesaikan dengan cara kekerasan,” kata Max Lane. Di Indonesia, menurut Max Lane, belum ada sekolah-sekolah menengah yang punya mata pelajaran sastra Indonesia. Padahal, dari sastra dan tulisan pula generasi muda bisa belajar mengenai asal-usul dan budaya Indonesia. “Proses pertama terciptanya Indonesia itu adalah perlawanan terhadap ketidakadilan. Ketidakadilan yang dijalankan kediktatoran kolonialis Hindia Belanda. Yang kedua adalah menulis dan ketiga adalah menyebarluaskan tulisan dan ide-ide. Karena tanpa menulis dan menyebarluaskannya, perlawanan tidak ada gunanya, tidak diketahui dunia,” kata Max Lane. Menurut Max Lane Indonesia juga eksis dan terpelihara sampai sekarang karena revolusi yang memiliki dua sifat utama. Pertama, pembalikan kekuatan kekuasaan seperti yang dilakukan para pejuang terhadap kekuatan penjajah. “Yang kedua, menciptakan sesuatu yang baru. Dalam hal ini, menciptakan Indonesia yang sebelumnya tidak ada di bumi manusia. Tapi setelah tercipta, Indonesia mau dibawa ke mana,” kata Max Lane. Oleh karena itu, Max Lane berpesan agar generasi muda Indonesia aktif mempelajari sastra dan mau berorganisasi. “Karena kalau sendiri, kita tidak bisa buat apa-apa. Kalau bersama-sama dalam berorganisasi, bisa lebih bergerak menentukan masa depan Indonesia,” pungkas Max Lane.*
- Begum Jaan Menolak Tunduk
PARTISI India tahun 1947 adalah momen sejarah getir bagi India dan Pakistan. Partisi yang terjadi bersamaan dengan kemerdekaan India itu menimbulkan krisis dan konflik, yang hingga kini membayangi hubungan kedua negara tetangga itu.
- Hiu Taklukkan Angkatan Laut Amerika Serikat
Loel Dean Cox ingat betul suasana ketika kapal tempatnya bertugas, USS Indianapolis (CA-35), dihantam torpedo kapal selam Jepang pada dini hari 30 Juli 1945. “Ada air, puing, api, semuanya terlempar ke atas dan kami berada 81 kaki dari garis air,” ujarnya, sebagaimana dilansir dailymail.co.uk . Ketika pria yang waktu itu masih berusia 19 tahun tersebut langsung berlutut tak lama kemudian, torpedo kedua kembali menghantam kapal yang sedang membawa misi khusus itu. USS Indianapolis , yang berada di perjalanan antara Guam-Leyte, Filipina, langsung terbelah dua. Sinyal SOS yang dikirim USS Indianapolis ke markas Angkatan Laut Amerika Serikat sebelum kapal itu tenggelam tak mendapat respons. Angkatan Laut, yang amat ceroboh lantaran gagal mendeteksi masih aktifnya kapal selam Jepang di perairan itu dan sengaja melepas USS Indianapolis tanpa pengawalan, menganggap sinyal itu merupakan jebakan Jepang. Sekira 900 dari 1100-an awak pun langsung menyelamatkan diri. “Orang-orang langsung terjun dari buritan, dan Anda bisa lihat keempat turbin kapal masih berputar,” ujar Cox. Sebagian dari mereka tertampung di sekoci-sekoci, sementara yang lain mengambang dengan jaket pelampung dan banyak dari mereka bertahan tanpa alat bantuan apapun –bahkan ada yang tak berpakaian. Dengan membentuk kelompok-kelompok, mereka mengambang di kegelapan malam laut yang penuh hiu itu. Mereka berharap regu penyelamat datang saat hari terang. Beberapa di antara mereka yang terluka, baik luka bakar maupun patah tulang. Perwira medis Dokter Haynes, tak bisa berbuat banyak dan jadi frustrasi karena tak ada obat untuk digunakan. Akibat syok, banyak di antara yang menderita luka bakar dan patah tulang itu lalu tewas di jam-jam pertama. Namun ketika matahari mulai terang, regu penyelamat tak kunjung tiba. Justru masalah mulai menghinggapi. Tumpahan minyak kapal mereka yang menutupi air membuat mata dan hidung mereka merasa terbakar dan leher tercekik. Sebelum matahari naik ke cakrawala Senin pagi, sekira 50 orang di antara mereka meregang nyawa. Ombak besar yang datang pada siang membuat mayoritas dari mereka menelan air laut yang telah tercemar minyak. “Semuanya muntah. Rasa haus mulai menghinggapi orang-orang itu,” tulis Raymond B. Lech dalam The Tragic Fate of the USS Indianapolis: The US Navy’s Worst Disaster . Dehidrasi dan lapar yang mereka derita kemudian menyebabkan photophobia dan delusi. “Terkadang seluruh kelompok memiliki halusinasi yang sama. Dalam satu kasus, sebuah kelompok bermalam pada suatu malam dan kembali keesokan paginya, mengklaim bahwa Indianapolis tidak tenggelam. Mereka mengatakan bahwa mereka telah naik ke atasnya sepanjang malam, minum air dan susu. Orang-orang lain mempercayai mereka dan berenang bersama mereka. Mereka tidak pernah terlihat lagi,” tulis Marc T. Nobleman dalam The Sinking of the USS Indianapolis . Namun, bahaya baru datang kemudian. Hiu-hiu datang menghampiri mereka, dan memakan mayat-mayat. Seorang marinir, Giles McCoy, melihat seekor hiu menyerang mayat yang ada di dekatnya. Jumlah ikan karnivora itu bertambah saat matahari mulai tenggelam. Para pelaut mulai ketakutan. “Orang-orang yang diteror dalam air, banyak di antaranya bisa merasakan tekstur kasar kulit hiu yang menggores kaki mereka, tidak yakin harus melakukan apa,” tulis Dan Kurzman dalam Fatal Voyage: The Sinking of the USS Indianapolis . Mereka lalu menendang, memukul, dan membuat kegaduhan untuk mengusir hiu-hiu yang mendekat. Tapi upaya itu hanya berhasil pada saat-saat awal. Hiu-hiu itu pun kemudian memangsa orang-orang yang masih hidup secara tiba-tiba. “Hiu-hiu itu kemudian menjadi lebih berani dan menyerang orang-orang secara acak dalam kelompok yang lebih besar,” kata penyintas Lyle M. Pasket, sebagaimana dimuat dalam The Sinking of the USS Indianapolis . “Sepertinya hiu itu pintar.” Kian banyaknya serangan hiu membuat darah yang tumpah ke laut semakin banyak. Bau anyir darah semakin memancing hiu-hiu untuk datang. Setiap malam, tiga sampai empat pelaut hidup jadi mangsa hiu-hiu itu. “Di air yang jernih itu Anda bisa melihat hiu-hiu berputar-putar. Lalu sesekali, bak kilat, seekor langsung naik dan mengambil seorang pelaut dibawa ke dalam. Seekor hiu datang dan mengambil pelaut di sampingku,” kata Cox. Keadaan mengerikan itu berlangsung hingga hari keempat. Malam menjelang pergantian dari hari keempat ke hari kelima, mereka ditemukan oleh pilot Angkatan Laut Letnan Wilbur C. Gwinn yang sedang melakukan patroli rutin menggunakan pesawat PV-1 Ventura. Melihat banyaknya orang di atas air, Gwinn segera mengontak pangkalannya di Peleiu. Sebuah pesawat amfibi di bawah komando Letnan Adrian Marks langsung dikirim untuk membantu. Marks mengontak kapal destroyer USS Cecil Doyle (DD-368) untuk datang membantu, dan permintaannya berhasil. Sekira 300-an pelaut dan marinir USS Indianapolis yang tersisa akhirnya berhasil diselamatkan.
- Saat Proklamasi Berkumandang di Serambi Mekah
Meski berusaha dibendung pihak militer Jepang, berita proklamasi lambat laun tetap sampai ke seluruh Indonesia . Termasuk di salah satu provinsi Indonesia paling ujung: Aceh. Namun karena jarak yang sangat jauh dari Jakarta, masyarakat Aceh sendiri baru mendengar berita itu sekira dua pekan sejak dibacakannya teks Proklamasi oleh Sukarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945. Sebagaimana disarikan dari buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang dituliskan Muhammad Ibrahim dkk, masyarakat Aceh secara umum baru mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 29 Agustus 1945. Pun begitu, sedianya para staf kantor berita Hodoka Kutaradja dan surat kabar Atjeh Simbun sudah lebih dulu mendengarnya pada 21 Agustus 1945. Upaya yang terkesan berani juga coba dilakukan tiga pemuda pegawai Kantor Kepolisian Kutaradja (kini Kota Banda Aceh). Mereka nekat mengibarkan bendera merah putih di kantor tersebut pada malam hari, dengan harapan bisa segera dilihat masyarakat keesokan harinya. Itu kali pertama bendera merah putih berkibar di Bumi Serambi Makkah sejak dibacakannya proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Kenekatan lain juga dilakukan seorang pemuda, Teuku Nyak Arif, yang berkeliling Kutaraja (kini Kota Banda Aceh) pada 24 Agustus dengan mengibarkan bendera merah putih di mobilnya. “Maksudnya agar masyarakat luas tahu bahwa Indonesia sudah merdeka dan rakyat tidak perlu lagi tunduk pada penjajahan Jepang,” ungkap Rusdi Sufi, Iriani Dewi Wanti, Seno dan Djuniat dalam buku Sejarah Kotamadya Banda Aceh . Sayangnya usaha-usaha itu pun belum begitu dimengerti masyarakat awam. Justru baru pada 29 Agustus masyarakat Aceh paham bahwa sudah ada yang namanya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kabar proklamasi yang tersebar ke pelosok Aceh setelah kedatangan Teuku Mohammad Hasan dan M Amir dari Jakarta yang singgah ke Kota Medan. Kabar itu lantas ditindaklanjuti oleh para pemuda setempat dengan menaikan bendera merah putih di depan Kantor Kesejahteraan Rakyat dan di Kantor Tyokan (Kantor Baperis). Setiap rumah di Aceh kemudian juga diwajibkan mengibarkan bendera pada 13 Oktober lewat Maklumat Nomor 2 Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh.
- Ketika Mimpi Hitler Tak Terwujud
PERDANA Menteri Inggris Winston Churchill menolak ajakan damai Adolf Hitler pada 28 Mei 1940. Pemimpin Nazi-Jerman itu lantas merancang suatu misson impossible. Menurut Michael Kerrigan dalam World War II Plans That Never Happened, Hitler memerintahkan tentaranya menginvasi Inggris pada 16 Juli 1940 lewat Surat Perintah Nomor 16 yang berbunyi: “Karena Inggris tidak menunjukkan tanda-tanda kesiapan untuk suatu kesepakatan kecuali keadaan militernya yang memprihatinkan, saya memutuskan mempersiapkan dan jika perlu berkelanjutan melakukan operasi darat dan laut terhadap Inggris. Tujuan dari operasi ini untuk mencegah agar Inggris tidak dijadikan tempat untuk melanjutkan perlawanan terhadap Jerman. Jika memang diperlukan, seluruh pulau dapat diduduki.” Selama Juli-Agustus 1940, Jerman mulai mempersiapkan ofensif dari darat, laut dan udara. Khusus dari darat, Jerman punya sokongan tujuh artileri Meriam K12 yang lazimnya diangkut dengan kereta api. Meriam yang mampu melakukan penembakan dari jarak 115 kilometer ini, sangat mungkin membombardir Dover di pesisir selatan Inggris dari Pas-de-Calais. Untuk operasi pendaratan melewati Selat Inggris, Jerman merancang akan melakukan operasi amfibi dari Cherbourg dengan sasaran Lyme Regis, dari Le Havre dengan sasaran Ventnor dan Brighton, dari Boulougne menyasar ke Eastbourne, dari Calais ke Folkestone dan dari Dunkirk menyasar ke Ostend dan Ramsgate. Pasukan-pasukan yang akan dikirimkan diambil dari Tentara Ke-6, 9 dan 16 Wehrmacht (Angkatan Darat Jerman). Tentunya dengan dikawal dua divisi lapis baja. Dikisahkan pula, dalam pendaratan tersebut Jerman tidak akan mengandalkan kendaraan-kendaraan lapis baja amfibi lantaran memang jumlahnya tidak banyak. Mereka rencananya akan mengandalkan tongkang-tongkang sungai. Fallschirmjager (Pasukan Terjun Payung Jerman) juga akan dikirim untuk terjun ke belakang garis musuh di Dover dan Brighton Tapi sebelum semua itu terlaksana, tentunya masih banyak hal yang perlu dilakukan. Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman) pimpinan Grossadmiral Erich Raeder, mesti melumpuhkan dahulu kekuatan Royal Navy (AL Inggris). Sementara Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) juga harus menghancurkan Royal Air Force (RAF, AU Inggris). Nah , problem terakhir ini yang lantas menyebabkan antiklimaks dari operasi militer bersandi Singa Laut itu. Pada Battle of Britain (10 Juli-31 Oktober 1940), RAF dengan dibantu RCAF (AU Kanada) dan sejumlah sukarelawan pilot asing, sanggup mematahkan serangan bertubi-tubi Luftwaffe dan Corpo Aereo Italiano (Unit Ekspedisi Udara Italia) di langit Inggris dan Selat Inggris. Padahal kala itu kekuatan Jerman lebih superior ketimbang Inggris. Stephen Bungay dalam The Most Dangerous Enemy: A History of the Battle of Britain mencatat, kubu Jerman punya 2.550 pesawat, sementara Inggris hanya 1.963 pesawat berbagai jenis. Namun, pada akhirnya Luftwaffe yang begitu dibanggakan Reichmarschall Hermann Goring keok. Total, 2.585 penerbang tinggal nama, 952 ditangkap, 1.977 pesawat mereka hancur. Adapun Inggris “hanya” kehilangan 1.542 penerbangnya tewas dan 1.744 pesawatnya hancur. Kemenangan yang mahal tapi berharga. Kemenangan yang begitu dielu-elukan rakyat Inggris, sekaligus sang perdana menteri. “Tak pernah dalam sejarah hidup umat manusia, kehidupan orang banyak berutang pada sedikit orang (pilot RAF),” ungkap Churchill dalam pidatonya. Kekuatan udara Jerman pun tak pernah lagi pulih. Bahkan sampai akhir Perang Dunia II. Kegagalan Jerman di Battle of Britain, sontak mengurungkan niat menginvasi Inggris. Memang awalnya pada 17 September 1940, Hitler “menunda” Operasi Singa Laut. Tapi lantas mimpi itu memang pada akhirnya tak pernah terwujud.*
- Kartini dari Kacamata Masa Kini
Jerit tangis gadis cilik memecah keheningan malam. Bentakan kakak lelakinya tak menghentikan tangisnya, malah kian meronta. Ketika seorang kakak lelakinya menggendong paksa, gadis itu melawan dengan menggigit. Sang kakak kesakitan, mengumpat. Kartini, gadis cilik itu, tak ingin tidur terpisah dari Ngasirah, ibunya (diperankan Nova Eliza). Dia sama sekali tak tahu dan tak peduli aturan di rumah itu yang menentukan Ngasirah menjadi pembantu dan harus tidur terpisah dari suaminya, Adipati Ario Sosroningrat (Dedy Sutomo). Ngasirah turun status setelah Sosroningrat menikahi Raden Ajeng Moeriam (Djenar Maesa Ayu) demi mengejar jabatan bupati. Adegan perlawanan Kartini kecil itu menempati bagian awal film Kartini besutan sutradara Hanung Bramantyo. Di film, yang beberapa bagiannya menyajikan alur mundur, jiwa perlawanan Kartini sudah tampak semasa kecil. Belenggu Pingitan Menginjak dewasa, Kartini harus menjalani masa pingitan. Masa-masa membosankan itu membunuh jiwanya yang bebas, yang dengan apik ditampilkan Dian Sastrowardoyo. Beruntung, Kartini punya kakak lelaki, Sosrokartono (Reza Rahadian), yang cerdas dan berwawasan luas. Dorongan dan warisan buku darinya memberikan Kartini pintu keluar dari belenggu penjara masa pingitan. Dia juga mulai tertarik dunia tulis. Kepada dua adiknya, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayusitha), Kartini menularkan kesukaannya. Kartini menikmati hari-harinya. Pikirannya menembus dinding aturan adat yang membelenggu hanya karena dia perempuan. Perkenalannya dengan Nyonya Ovink-Soer, istri asisten residen Jepara, membawa keuntungan besar baginya. Atas usaha nyonya Belanda itu Kartini akhirnya mempublikasikan rangkaian kata yang mengantarkan buah pikirannya. Kenalan Kartini pun bertambah. Kartini kemudian karib dengan Stella Zeehandelaar (Rebecca Reijman), feminis Belanda. Kebebasan Stella membuat iri Kartini, yang kemudian bertekad memberikan pendidikan kepada anak-anak agar mereka bisa maju dan lepas dari belenggu rutinitas turun-temurun. Namun, angan Kartini terbentur aturan adat yang dalam keseharian diterapkan dengan ketat oleh ibu tiri dan dua kakak lelaki tirinya. Dia dianggap menginjak-injak tatakrama yang diwariskan leluhur. Penilaian serupa juga diterima ayah Kartini dari bangsawan-bangsawan Jawa lain. Pertentangan antara nilai-nilai adat dan modern itulah bumbu utama film ini. Hanung piawai membangun konflik sehingga drama film ini terasa kuat, sukses menggonta-ganti perasaan sedih, lucu, geram, dan semangat penonton. Dan, penempatan klimaks di pengujung film menjadi ending yang sip. Liar Pilihan Hanung jitu menghindarkan Kartini dari sifat membosankan. Dia rupanya belajar dari kesalahan para pembuat film biopic sebelumnya, yang membosankan. “Makanya kali ini saya membuat film Kartini tidak berbicara tentang kepahlawanan. Ini film drama,” kata Hanung saat premiere beberapa waktu lalu. Alhasil, sejak awal hingga akhir, Kartini jauh dari kata garing. Sebaliknya, ditimpali music scoring yang pas, scene - scene humanis dalam film amat menyentuh bahkan menyayat hati. Mulai dari adegan Kartini kecil tak boleh tidur bareng ibu kandungnya, dua anak pengrajin ukiran mencegat andong yang ditumpangi Kartini-Roekmini-Kardinah untuk memberikan hasil kebun, Kartini mendengarkan petuah Ngasirah di pantai, hingga kesediaan Kartini menerima pinangan RA Joyodiningrat. Pilihan drama membuat Hanung leluasa menggerakkan imajinasinya. Saking leluasanya, Hanung sampai beberapa kali terpeleset. Keputusan untuk mencampuradukkan penggunaan bahasa Jawa dan Indonesia dalam dialog-dialog tak hanya mengganggu telinga tapi juga janggal. Bukan hanya karena bahasa Indonesia kala itu belum resmi lahir dan yang ada baru bahasa Melayu pasar, tapi seberapa permisif keluarga Sosroningrat dalam penggunaan bahasa di luar bahasa ibu dalam keseharian. Penggunaan bahasa Jawa ngoko orang yang lebih muda kepada orang tua atau kawula terhadap keluarga tuan juga tak pas, terlebih di dalam lingkungan keluarga bangsawan dan eranya masih era pengagungan tradisi leluhur. Sosok Sosroningrat pun hanya digambarkan sebagai bangsawan yang melulu berurusan dengan kekuasaan dan seremoni-seremoni yang mengitarinya. Pribadi Sosroningrat yang berpikiran maju dan berani melangkahi tradisi hampir tak dihadirkan kecuali dari dukungannya terhadap usaha Kartini menulis. Padahal, Sosroningrat kerap mengajak anak-anaknya untuk turun ke bawah guna menajamkan kepekaan sosial. Sosroningrat juga merupakan pribadi yang peduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Kepada Het Klaverblad (Kartini-Roekmini-Kardinah), Sosroningrat memberikan pendidikan formal dan nonformal dengan memanggilkan guru ke rumah. Tradisi diskusi berjalan rutin di rumah mereka bersama sang ayah. Namun, aktivitas ini sedikit pun tak tampak dalam film. Meski merupakan pemimpin di antara kedua adiknya, Kartini dalam film tampak terlalu superior. Kedua adiknya tak ubahnya pelengkap. Padahal, mereka juga berpikiran maju. Sama seperti Kartini, Kardinah memiliki sekolah –dan juga mendirikan perpustakaan umum serta rumahsakit. Keliaran Hanung dalam berimajinasi justru terkesan konyol di beberapa bagian. Misal, scene saat Kartini ongkang-ongkang kaki sambil makan kacang mete ketika kedua adiknya memasuki masa pingitan. Atau scene saat Kartini-Roekmini-Kardinah nongkrong santai di atas tembok dengan sebelah kaki untuk tapal dagu seperti ABG di masa kini. Jangankan melakukan, bagi gadis darah biru pada masa itu memikirkan perbuatan itu pun tidak. Memang, di satu sisi adegan tersebut bumbu yang membuat film lebih mudah diterima. Tapi di sisi lain, justru melecehkan “daun semanggi”, julukan untuk ketiganya, yang betapapun berpikiran maju tapi tetap menjunjung tinggi adat-istiadat. Mungkin, Hanung berusaha mengisi fenomena masa lalu dengan realita sekarang.
- Revolusi Bahasa di Sriwijaya
Penguasa dan rakyat Sriwijaya percaya diri membuat prasastinya dalam bahasa lokal, yaitu Melayu Kuno. Fenomena itu menandai adanya revolusi status bahasa daerah yang dianggap setara dengan bahasa Sanskerta. Dr. Andrea Acri, peneliti dari Ecole Pratique des Hautes Etude Paris Prancis, mengatakan ketika Melayu Kuno muncul di Sriwijaya, di India juga mulai muncul penggunaan huruf Pallawa dan Tamil. “Prasasti bukan cuma pakai Sanskerta, tapi bahasa daerah. Kakawin juga muncul,” kata Andrea dalam seminar "Reviving the Sriwijaya-Nalanda Civilization Trail", di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Senayan, Jakarta, 8 Agustus 2017. Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, menambahkan bahwa bahasa Sanskerta adalah bahasa elite kerajaan dan keagamaan. Bahasa ini hanya dikenal oleh kalangan terbatas. “Bahasa Sanskerta dipuja oleh kaum Brahmana Hindu agar ajarannya tidak bocor,” ujar Agus. Sementara agama Budha bersifat egaliter. Mereka tidak mengenal sistem kasta. “Makanya dipakai bahasa lokal, karena itu egaliter,” tegasnya. Lebih lanjut, Agus menjelaskan, hal ini juga terkait munculnya nasionalisme dari penguasa dan rakyat Sriwijaya. Semangat menggunakan apa yang menjadi milik sendiri terlihat dari penggunaan bahasa Melayu Kuno. Bahkan, jika dibandingkan dengan kerajaan lainnya di Nusantara, Sriwijaya adalah yang terkuat. Sementara Sriwijaya memakai Melayu Kuno, prasasti pertama Mataram Kuno dan Kerajaan Kanjuruhan di Jawa tetap memakai Sanskerta. Padahal, keduanya berkembang lebih belakangan. Misalnya, Prasasti Canggal (732 M) yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dari Mataram Kuno sepenuhnya bahasa Sanskerta. Begitu pula Prasasti Dinoyo (760 M) yang menyebutkan Kerajaan Kanjuruhan memiliki raja bernama Gajayana. “Penggunaan Sanskerta ada dalam prasasti Kutai Kuno dan Tarumanegara. Artinya Kerajaan Kutai, Tarumanegara, Mataram Kuno, dan Kanjuruhan prasastinya menggunakan Sanskerta,” kata Agus. Sementara penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam prasasti di Jawa justru terjadi lebih jauh kemudian, sekira pertengahan abad 9 M.
- Pencapaian Awal Kebudayaan Nusantara
MESKI mengadopsi kebudayaan India, Nusantara memiliki beberapa pencapaian paling awal di banding negara itu. Misalnya, untuk pertama kali cerita Ramayana digambarkan dalam relief di Candi Prambanan meski teks kesusastraan Ramayana berasal dari India. “Lagipula cerita Ramayana versi Jawa dan India juga berbeda,” kata Dr. Andrea Acri, peneliti dari Ecole Pratique des Hautes Etudes, Paris, Prancis, dalam seminar "Reviving the Sriwijaya-Nalanda Civilization Trail", di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Senayan, Jakarta, Selasa (8/8). Pencapaian lain adalah candi-candi yang megah. “Prambanan, Borobudur sebagai candi Buddhis terbesar di dunia adanya di Indonesia, bukan di India,” kata Andrea. Selain itu, yang menarik soal penulisan angka nol (0) sebagai angka numerik. Menurut Andrea, penelitian terbaru menunjukkan bukti pertama penggunaan nol muncul di Prasasti Trapeang Prei, Kamboja dan di tiga prasasti era Sriwijaya. Semua berasal dari masa yang sama, yaitu tahun 604 saka (683 M), 200 tahun lebih awal daripada di India. “Nol berasal dari India. Tapi angkanya baru muncul abad 9. Di Kamboja dan Sriwijaya lebih dulu muncul. Ini salah satu achievment, ” ungkap Andrea.Tak hanya itu, Sumatra juga mendapat predikat sebagai tempat terbaik belajar bahasa Sanskerta. Informasi ini didapat dari pengembara asal Cina, Yijing yang pernah menetap di Sriwijaya. Dia menyebut Sriwijaya sebagai pusat studi bahasa Sanskerta sebelum para biksu dan pelajar Buddhis berangkat ke India. “Sebelum ke India para pendeta ini sebaiknya menetap dulu di Sriwijaya. Ini sangat luar biasa. Itu kan bahasa asing,” kata Andrea. Dengan demikian, Sriwijaya menjadi mata rantai penghubung antara India, Asia Tenggara, hingga Cina.
- Pertukaran Pelajar antara Sriwijaya dan Nalanda
Sebelas abad lalu, Sriwijaya dan Nalanda membangun hubungan diplomasi budaya yang saling menguntungkan. Nalanda dikenal sebagai universitas kuno dan kota kuno di India. Ia pernah menjadi pusat pendidikan agama Budha dari tahun 427-1197 M di bawah Kerajaan Pala. “Di masanya ada hubungan langsung antara Sriwijaya dan Nalanda. Penting untuk diketahui, bahwa sebelum zaman modern, bangsa Indonesia sudah terhubung dalam hal yang sangat penting, yaitu pikiran,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dalam sambutannya di seminar “Reviving the Sriwijaya-Nalanda Civilization Trail,” di Gedung Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2017. Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan bahwa hubungan Sriwijaya-Nalanda lewat pendidikan, khususnya pertukaran pelajar, terbukti ampuh membangun hubungan antarbangsa. “Karena pada akhirnya hubungan people to people penting meningkatkan hubungan antar dua negara,” katanya dalam pidato sebagai pembicara kunci. Menurut Hassan, Sriwijaya menampilkan diri tidak hanya sebagai pemberi, tapi juga penerima. Kerajaan itu mengirimkan Pangeran Dharmakirti untuk belajar di Nalanda. Di sisi lain, Sriwijaya juga menerima seorang lulusan Nalanda, Atisha Dipankara untuk melanjutkan studi Budhisme di Sriwijaya. “Atisha pernah berkata, tidak lengkap belajar Budhisme jika tidak pergi ke Sriwijaya,” ujar Hassan. Padahal, kata Hassan, Atisha bukan tokoh sembarangan. Tokoh besar dalam filsafat Budha dan spiritual itu berpengaruh tidak hanya di India, tapi juga sampai ke Tibet. Saking berpengaruhnya, Atisha sampai dibujuk empat kali oleh raja Tibet untuk datang ke negaranya. Setelah tiga kali menolak datang, dia pun setuju dan menjadi tokoh pembaru Buddhisme di Tibet. “Dan dia alumni Sriwijaya,” kata anggota Nalanda International Advisory Panel itu. Pelajaran lainnya, kata Hassan, Sriwijaya sangat royal memberikan bantuan kepada kerajaan asing. Sriwijaya menyumbangkan sebuah bangunan biara kepada Nalanda. “Saya bayangkan ini seperti satu unit kesatuan lengkap. Isinya asrama mahasiswa, asrama profesor, perpustakaan, dan sebagainya,” terangnya. Universitas kuno itu, kata Hassan, memiliki 10.000 pelajar dan 3.000 pengajar. “Di dunia sekarang ini, mungkin adanya hanya di Cambridge dan Oxford,” ujar Hassan. Bukan hanya bangunan biara, Sriwijaya juga berhasil memperoleh konsesi tanah dari raja setempat yang disumbangkan kembali untuk perawatan biara dan beasiswa. “Sriwijaya, nenek moyang kita telah mengajarkan agar kita lebih banyak memberi,” kata Hassan.
- Cerita di Balik Biografi Sukarno Karya Sejarawan Jerman
BERNHARD Dahm mengenal Indonesia dari ibunya, Margarete Beisenherz, putri seorang misionaris, Daniel Beisenherz, yang lahir pada 1906 di Pancur Napitu, Tarutung, Sumatra Utara. Margarete meninggal pada 1942 ketika Bernhard berusia sepuluh tahun. Bernhard kemudian tinggal dengan bibi ibunya, Auguste Beisenherz, seorang biarawati di tanah Batak dan terakhir memimpin rumah sakit di Pearaja, Tarutung. Darinya, dia mendapat cerita banyak tentang Batak dan Indonesia. Setelah Perang Dunia II berakhir, dia terus mendengar berita tentang Indonesia. Dia pun ingin mempelajari lebih jauh tentang Indonesia. “Berbeda dengan teman-teman sebaya di Jerman, saya sudah tahu dengan tepat, di bagian bumi mana negara baru itu terletak. Dan saya mengikuti dengan penuh perhatian peristiwa-peristiwa dalam revolusi Indonesia sampai akhir tahun 1949,” kata Bernhard dalam Amatan Para Ahli Jerman tentang Indonesia. Namun, ketika Bernhard mulai kuliah di tahun 1950-an, di Jerman belum ada kemungkinan untuk belajar sejarah dan politik Indonesia. Dia pun masuk pendidikan guru jurusan Kesusastraan Jerman dan Sejarah Modern di Universitas Marburg (1953-1955) dan Universitas Kiel (1956-1959). Guru besar Sejarah Modern Prof. Dr. Karl Dietrich Erdmann di Universitas Keil mengetahui minat Bernhard terhadap Indonesia. Dia mengusulkan agar Bernhard membuat skripsi untuk ujian negara pada 1960 sebuah tema yang berhubungan dengan Indonesia, yaitu “Arti Konferensi Bandung untuk sistem negara-negara modern di dunia.” Ketika mengerjakan tema tersebut, Bernhard untuk kali pertama membaca pidato Sukarno dan tergugah untuk mengetahui lebih jauh tentang sosoknya. “Saya berusaha untuk memperoleh biografi atau karya-karya mengenai Sukarno. Ternyata tidaklah mudah. Baik dalam bahasa Jerman maupun Prancis ataupun Inggris sampai saat itu masih belum terdapat karya-karya yang informatif mengenai Sukarno,” kata Bernhard. Yang ada hanyalah brosur-brosur resmi yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Indonesia tetapi tidak memberikan gambaran tentang perkembangan dan pemikiran Sukarno. “Oleh karena itu saya memutuskan setelah menyelesaikan studi dan penulisan skripsi tentang Konferensi Bandung, saya akan menulis sendiri buku mengenai perjalanan hidup dan gagasan presiden pertama Indonesia itu,” kata Bernhard. Pada 1961, Bernhard yang baru menikah dengan Elke Vieth, meninggalkan istrinya untuk pergi ke Belanda. Di sana, dia mempelajari arsip-arsip tentang nasionalisme Indonesia. Hasilnya, pada 1964, dia berhasil membuat disertasi berjudul Sukarnos Kampf in Indonesiens Unabhangigkeit. Disertasi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Inggris. Dalam Bahasa Indonesia berjudul Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan (1987). “Buku Dahm mengenai pemikiran Sukarno adalah buku pertama yang menganalisis secara lengkap Sukarno sampai tahun 1945,” tulis sejarawan Onghokham dalam Sukarno: Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965. Menurut Ong, tesis utama Dahm mengenai pemikiran Sukarno adalah betapa berakarnya dia dalam kebudayaan Jawa tradisional dan ideologi anti-Barat, yang pada waktu itu merupakan penjajah dan musuh utama nasionalisme Asia pada umumnya dan dan Indonesia khususnya. “Karya ini menekankan pengaruh tradisi kebudayaan Jawa terhadap tindakan serta jalan pikiran Sukarno,” kata Bernhard. Penampilannya yang berkobar-kobar dalam perjuangan kemerdekaan serta keahliannya menguasai bahasa pewayangan, membuat banyak orang melihat Ratu Adil dalam diri Sukarno yang dapat memimpin Indonesia memasuki zaman keemasan. Namun, yang jauh lebih penting lagi ialah upaya Sukarno yang berkesinambungan dalam perjuangan kemerdekaan untuk mempertahankan front kesatuan supaya masing-masing kelompok tidak saling melemahkan. “Dia yakin akan tradisi sinkretisme Jawa bahwa persatuan antara kelompok yang beraneka ragam pun, seperti Islam, Marxis, dan Nasionalis dapat terlaksana,” kata Bernhard. Pada 26 Oktober 1966, Bernhard bertemu dengan Sukarno. Dia menyetujui beberapa hal dalam buku itu, misalnya mengenai penekanan perbedaan pribadinya dengan Hatta, Sjahrir, dan M. Natsir. Tetapi, dia tidak setuju disebut seorang Marxis melainkan sinkretis kebudayaan Jawa yang mencakup istilah Marhaen ciptaannya serta proyek Nasakomnya. “Dalam pembicaraan kami, Sukarno tetap yakin bahwa seseorang dapat menjadi Marxis dan seorang muslim yang taat sekaligus,” kata Bernhard yang diangkat menjadi profesor sejarah Asia di Universitas Kiel, Jerman pada 1973. Dia kemudian memimpin Institut Studi Kawasan Asia Tenggara di Universitas Passau pada 1984. Sejarawan Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi , menyebut karya Bernhard berhasil menunjukan kepada pembaca betapa pentingnya pengaruh kebudayaan Jawa dalam proses sosialisasi dan pekembangan intelektual Sukarno. “Karya tersebut bukan tanpa kesalahan,” tulis Peter. “Misalnya, ada kritik yang ditujukan kepada Bernhard Dahm bahwa sarjana berkebangsaan Jerman itu terlalu memaksakan diri melihat Sukarno sebagai pemikir tanpa melihat tingkah laku politik Sukarno sendiri. Kendati demikian, buku ini tetap saja memberi sumbangan yang berarti bagi penulisan sejarah Indonesia.”*
- Menyuarakan Nasib Nelayan Melalui Lukisan
Lukisan berjudul “Lelang Ikan” salah satu ikon lukisan koleksi Istana yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta, 2-30 Agustus 2017. Lukisan terbaik Itji Tarmizi ini menjadi gambar utama di katalog pameran. Lukisan berukuran 140x195 cm itu menggambarkan seorang tengkulak yang dikelilingi nelayan, seorang ibu berkutang dengan bawahan kain dan anaknya tanpa pakaian kemungkinan istri salah satu nelayan, kuli panggul, hingga nelayan lain di belakang si tengkulak menatap tajam sambil memegang parang. Para nelayan itu seakan pasrah ikan-ikannya dibeli sang tengkulak dengan harga yang tidak diharapkan. Itji menggambarkan tengkulak itu ditemani anak atau cucunya yang mengenakan pakaian bagus lengkap dengan kalung mutiara. Dia mengenakan peci hitam, berkulit terang, berpakaian ala penguasa tapi juga mengenakan bawahan kain, lengkap dengan ikat pinggang besar. “Kalau melihat ikat pinggang besarnya yang dipakai orang itu, dan detail lain macam perahu-perahu nelayan di belakangnya, sepertinya Itji Tarmizi mengambil gambar lokasinya di pesisir timur Pulau Jawa (Jawa Timur atau Pulau Madura),” ujar Mikke Susanto, kurator pameran, kepada Historia . Lukisan tahun 1963 itu, kata Mikke, konsepnya dinamis, tidak statis seperti lukisan pemandangan. Lukisan itu menjadi manifestasi ketimpangan sosial. Itji menghadirkan drama ketegangan dan dinamika pelelangan ikan. Karya itu tidak lepas dari pengaruh Sanggar Pelukis Rakyat, semasa Itji studi di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. “Dalam kelompok itu, Itji mendapatkan pengajaran tentang konsep lukisan yang cenderung menampilkan keadaan sosial. Dalam membuat karya-karyanya, dia turun ke lapangan atau observasi. Termasuk karya ini (Lelang Ikan),” kata Mikke. Dalam biografi Amrus Natalsya dan Bumi Tarung, Misbach Tamrin menyebut Itji sebagai anggota Sanggar Pelukis Rakyat, sering sendiri turba (turun ke bawah) ke tengah kehidupan nelayan di pantai utara Jawa. Dalam turbanya selama beberapa hari itu, dia hidup bersama kaum nelayan untuk menyelami kehidupan mereka yang penuh tantangan alam sosial. Karena Indonesia negeri maritim, pilihan obyek turba pelukis Itji ini cukup tepat. Keindahan pantai dan laut dengan pulau-pulau cukup eksotik, kehidupan nelayan dengan segala pertarungannya menghadapi alam dan manusia, amat menarik untuk digarap sebagai karya seni rupa. “Dari sinilah muncul karya lukisnya yang terbaik, ‘Tengkulak Ikan,’ yang kemudian dikoleksi Presiden Sukarno,” tulis Misbach. Kritikus seni Jim Supangkat mengatakan karya-karya Itji yang menggambarkan kehidupan rakyat sempat dituding politis dan kekiri-kirian. Ini mesti diluruskan. “Pernah ada diskusi tentang karya-karya Itji Tarmizi yang dituduh kekiri-kirian. Ini yang harus diluruskan. Memang karya-karyanya mempertunjukkan keadaan masyarakat dan sosial di permukaan. Tentang nasib nelayan yang berkaitan dengan ketidakadilan, tapi karyanya ini punya benang merah dalam perkembangan seni rupa dari awal abad 20,” kata Jim kepada Historia . Jim melanjutkan, karya-karya yang menggambarkan keadaan sosial dan humanisme seperti itu sudah ada sejak era Raden Saleh pada 1930-an. Walau memang pada masa Itji membuat lukisannya di era 1960-an, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sedang vokal menyuarakan penderitaan rakyat lewat karya seni. “Karya-karyanya yang detail dianggap sangat politis yang kekiri-kirian. Padahal Itji membuat karya yang detail itu sebagai ungkapan pribadinya yang universal. Tarmizi sebagai seniman yang punya idealisme dan humanisme, ditafsirkan memiliki kandungan ideologi komunisme,” kata Jim. Oleh karena itu, Itji “dihilangkan” rezim Orde Baru. “Setelah sempat direhab penguasa Orba (Orde Baru), dia masih beberapa kali mengeluarkan karya-karya lainnya yang juga bagus. Tapi saya rasa, andai dia tidak dihilangkan, dia akan bisa menghasilkan banyak karya yang tidak hanya bagus, tapi juga luar biasa,” kata Jim. Itji, seniman tunarungu dan tunawicara kelahiran Tanah Datar, Sumatra Barat 21 Juli 1939, tutup usia pada 27 November 2001 di usia 62 tahun di Jakarta.
- Hikayat Lukisan Gatotkaca
Bung Karno (nama populis presiden pertama Republik Indonesia) dikenal sangat mencintai seni lukis dan dunia pewayangan. Tidak aneh, jika suatu hari di tahun 1950-an, dia pernah meminta Basoeki Abdullah (satu dari sekian pelukis kesayangannya) untuk membuatkan suatu karya lukisan bertemakan pewayangan. “Mengapa tidak melukis legenda keluarga Bima, prajurit besar dari keluarga Pandawa?” ujarnya kepada Basoeki Abdullah, seperti dikutip Agus Dermawan T. dalam Bukit-Bukit Perhatian: Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu Sampai Kosmologi Seni Bung Karno. “Itu gampang, kapan-kapan,” demikian jawaban Basoeki. “Mengapa tidak melukis Gatotkaca dengan dua isteri kembarnya, Pergiwa dan Pergiwati?” kata Bung Karno lagi. Paham maksud Si Bung, Basoeki pun menggoreskan kuasnya di atas selembar kanvas yang ukurannya tidak biasa: 150x100 cm. Lukisan itu selesai dalam waktu beberapa hari. Setelah rampung, Basoeki lantas memberi lukisan bergaya realis-naturalisnya itu dengan tajuk “Gatutkaca dan Anak-Anak Arjuna Pergiwa-Pergiwati.” Menurut Mikke Susanto, lukisan tersebut menggambarkan Gatotkaca (salah satu ksatria sebangsa Werkudara putra dari Bima) tengah terbang layaknya Superman. Mata sang ksatria menatap tajam penuh asmara, sementara si kembar cantik Pergiwa-Pergiwati yang digambarkan cukup molek, saling berbeda pandang terhadap keberadaan Gatotkaca. “Basoeki Abdullah melukiskannya di atas kanvas dengan ukuran yang aneh. Sepertinya memang permintaan khusus untuk ditempatkan di satu bidang dinding yang kosong di Istana Merdeka. Dia pesan tiga. Dua lukisan tentang Jaka Tarub, satu lagi lukisan yang Gatotkaca itu,” ujar kurator pameran lukisan koleksi Istana Kepresidenan di Galeri Nasional tersebut. Mengapa Gatotkaca? Itu karena karakter pewayangan yang disukai Si Bung ketika menonton pertunjukan wayang adalah Gatotkaca, sosok ksatria gagah perkasa yang dianggap mirip dirinya sendiri. “Gatotkaca kan ksatria Pringgondani yang sakti. Dari segi visualnya sudah nampak personifikasi. Pembawaannya yang gagah, punya tatapan tajam dan berwibawa. Nah, Gatotkaca dianggap presentasi dari Bung Karno sendiri,” kata Mikke kepada Historia. Sebagaimana lukisan Basoeki Abdullah yang menggambarkan Nyai Roro Kidul, lukisan si kembar cantik Pergiwa-Pergiwati pun butuh model. Sayangnya, sampai sekarang, Mikke belum bisa menemukan siapa perempuan cantik yang menjadi model dalam lukisan itu. “Lukisan-lukisan Basoeki Abdullah kebanyakan butuh model untuk mengukur atau memperkirakan posisi wajah. Untuk lukisan Gatotkaca tersebut, memang belum diketahui siapa modelnya. Kemungkinan besar model itu satu orang, namun dibuat berbeda angle, ” ujar Mikke.






















