Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Agama-Agama di Majapahit
Prasasti Waringinpitu yang dikeluarkan oleh Raja Kertawijaya pada 1369 Saka (1447) menyebutnama-nama pejabat birokrasi kerajaan di tingkat pusat. Di antaranya Dharmmadhyaksa ring kasaiwan ( pejabat tinggi yang mengurusi Agama Siwa)dan Dharmmadhyaksa ring kasogatan ( pejabat tinggi yang mengurusiAgama Buddha). Dari keterangan itu, menurut arkeolog dan epigraf Hasan Djafar,dapat diketahui di Kerajaan Majapahit setidaknya ada dua agama resmi, yaitu Agama Siwa dan Agama Buddha. Pada perkembangannya, yaitu ketika Majapahit akhir, peran agama Buddha seakan “menghilang”. Sementara bangunan sucinya kebanyakan bercorak Siwa. Ini menunjukkan hubungan erat antara kedua agama itu. Oleh beberapa sarjana, hubungan ini disebut dengan berbagai istilah. H. Kern menyebutnya percampuran. N.J. Krom, W.H. Rassers, dan P.J. Zoetmulder menyebutnya perpaduan. Sedangkan Th.G.Th. Pigeaud menyebutnya kesejajaran. “Hubungan ini sebenarnya telah berlangsung sejak masa sebelumnya sehingga seolah-olah agama Buddha telah terlebur menyatu dalam agama Siwa,” jelas Hasan dalam “Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan Pada Masa Majapahit Akhir” termuat di Pertemuan Ilmuan Arkeologi IV . Suasana itu tergambar pula dalam sumber kesusasteraan dari masa Hayam Wuruk. Menurut Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawiwaha , pada dasarnya antara kedua agama itu tak terdapat perbedaan karena keduanya adalah satu. Pengakuan adanya kepercayaan itu nampak lewat berita dalam prasasti yang pernah dikeluarkan Gajah Mada pada 1351. Di dalamnya tercatat soal pembangunan caitya bagi Kertanegara dan para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha. Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik, bangunan caitya yang dibuat Gajah Mada sangat mungkin adalah Candi Singhasari sekarang. Pasalnya prasasti itu ditemukan di halaman candi. Bentuk candi ini unik. Ia bersifat Hindu dan Buddha sekaligus. “Itu mungkin karena candi dibuat untuk menghormati Kertanegara yang memuja Siwa dan Buddha,” kata Agus. Islam di Majapahit Kendati bukan agama resmi negara, jejak Islam juga sudah kuat di Majapahit. Bukti kehadiran Islam bisa ditunjukkan lewat pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. Tak jauh dari situ diduga merupakan kompleks Kedaton Majapahit. Dari nisannya, makam-makam ini berasal dari 1203 dan 1533 Saka (1281 dan 1611). Artinya, pada masa jayanya, di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, banyak penduduk Majapahit yang memeluk Islam. “Mengingat permakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, dapat disimpulkan ini adalah permakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” tulis Hasan. Dari keterangan Ma Huan, seorang muslim dan penerjemah resmi Laksamana Cheng Ho, dalam Ying-yai Sheng-lan disebutkan kalau di Majapahit terdapat tiga golongan penduduk. Salah satunya penduduk muslim. Mereka adalah saudagar yang datang dari berbagai kerajaan di barat. Gramadewata Semua kepercayaan itu lalu berkembang bersama agama rakyat yang masih tetap ada. Arkeolog Agus Aris Munandar dalam Wilwatikta Prana menyebut di beberapa daerah pedalaman Jawa Timur dijumpai arca-arca yang bukan berciri Hindu maupun Buddha. Arca-arca itu ditemukan di reruntuhan bangunan kuno yang bukan bekas bangunan candi dari kedua agama itu. “Arca-arca itu kemudian dapat dianggap sebagai arca dewa setempat yang hanya dipuja di suatu kampung saja atau disebut gramadewata ,” katanya. Sayangnya, kajian terhadap arca-arca itu belum dilakukan secara tuntas. Apalagi soal kepercayaan yang menyertainya. Kedati begitu, kata Agus, arca-arca itu bisa jadi menggambarkan nenek moyang kampung-kampung tertentu yang telah mangkat dan dianggap dewa. Praktik memuja nenek moyang telah ada sebelum Hindu-Buddha masuk ke Nusantara. Umumnya, masyarakat prasejarah memuja arwah pemimpin kampung atau kelompok yang dipilih pendukungnya. Ketika pengaruh Hindu-Buddha masuk, nenek moyang itu lalu digambarkan dengan atribut dewa-dewi India. Kalau tidak,kata Agus, dalam masyarakat Majapahit masih ada sekelompok penduduk yang tetap mempertahankan kepercayaan asli yang mungkin berawal dari masa prasejarah. “Pada zaman Majapahit kehidupan beragama dalam masyarakat berkembang secara wajar. Bukannya saling menggangu, dan membiarkan setiap kelompok agama mengadakan ritual masing-masing,” tegasnya.
- Ibu Hebring dan Golden Girls
JIKA era milenial diramaikan dengan istilah tagline, seperti “Ashiaap!” yang dipopulerkan youtuber Atta Halilintar, era 1990-an juga dimeriahkan oleh banyak julukan yang melekat pada selebritis. “Hebring”, salah satu julukan paling populer itu. Siapa lagi yang mempopulerkannya kalau bukan aktris senior Connie Sutedja. Saking populernya, julukan “Bu Hebring” sampai melekat pada figur Connie hingga saat ini. “Sebetulnya julukan itu anugerah ya, sama sekali enggak terganggu kalau banyak yang panggil Ibu Hebring. Saya dapat banyak iklan dari situ. Jadi karakternya (di iklan) harus hebring. Juga sering diajak ikut launching produk-produk ya, sebagai Ibu Hebring,” tutur Connie saat ditemui Historia di kediamannya di Cilandak, Jakarta Selatan. Julukan “Hebring” yang disandang Connie namun berbeda dari tagline “Ashiaap!”-nya Atta yang masih sekadar kosakata untuk seru-seruan. Kata “hebring” dijadikan lema resmi dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “hebring” berarti hebat. Mulanya istilah “hebring” populer sejak Connie membintangi serial TVRI Pondokan, 1989. Dalam serial itu Connie memerankan tokoh Ibu Entim. Karena dialog-dialognya acap mengucap kata “hebring”, kata itupun melekat pada dirinya hingga di luar mata kamera. “Julukan yang sangat terkenal mulai dari kota hingga ke pelosok-pelosok desa,” tulis keterangan dalam Memory Artis & Wartawan Jakarta 2004 terbitan Panitia Reuni Artis & Wartawan Jakarta. Golden Girls:Nani Wijaya, Connie Sutedja, dan Ida Kusumah dalam suatu acara di televisi. Lahirnya Golden Girls Dalam serial Pondokan, untuk kesekian kalinya Connie beradu akting dengan sahabatnya, Nani Wijaya. Bersama Nani, Ida Kusumah, dan Rina Hasyim, Connie terus mempertahankan eksistensi di dunia hiburan hingga era 1990-an. Mereka kemudian disatukan ke dalam grup bernama Golden Girls. “Golden Girls itu juga buat saya rezeki banget karena sering diundang bersama. Awal ceritanya alharhum Sys NS yang berjasa. Dia yang membentuk Golden Girls,” kenang Connie. Lahirnya Golden Girls pada 1994 berkelindan dengan Gabungan Artis Nusantara (GAN), yang terbentuk setahun sebelumnya, sebagai bentuk perlawanan sejumlah artis. “Waktu itu kita sama-sama, ada Camelia Malik, Farouk Afero, Deddy Sutomo, Sys NS, masih banyak lagi, kita lagi protes sama Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia, red .). Kita WO ( walk out ) dari kongres (ke-11, 10 Mei 1993) satu rombongan. Itu zamannya Pak Ratno Timoer ketuanya,” sambungnya. GAN mengakomodir para anggotanya untuk tetap bisa berkarya. Mengutip Pikiran Rakyat , 28 Agustus 1994, jurusnya adalah dengan menelurkan lima paket program acara hiburan ke salah satu stasiun televisi swasta yang tengah berkembang di era itu, SCTV. Salah satu paket program itu adalah serial komedi mingguan Opera Sabun Colek . Serial itu mengangkat keempat aktris senior: Ida Kusumah, Connie Sutedja, Nani Wijaya, dan Rina Hasyim. Keempatnya dipromosikan dengan “kemasan baru” bernama Golden Girls. “Sys NS memang memerhatikan gerak-gerik kita, karakter kita, kenapa enggak dibikin Golden Girls ala Indonesia saja, seperti The Golden Girls di Amerika (Serikat),” kata Connie melanjutkan. Persahabatan mereka kian erat seiring mengudaranya Opera Sabun Colek pada 1994. Pintu rezeki turut terbuka kepada mereka sebagai bintang tamu beragam jenis acara besar, on - air maupun off-air, sampai sekarang. Sayang, Ida tak bisa lagi mengikuti sejak 2010 lantaran dipanggil Sang Pencipta. “Almarhumah Ida Kusumah orangnya baik sekali. Karena paling senior kalau bicara umur, dia mengayomi pada kita yang lebih muda. Kalau saya kan orangnya straight , to the point . Sementara dia orangnya bijak. Kalau saya lagi marah, dia diam dulu, tapi enggak lama kasih nasihat. Care sekali sama kita. Kalau diundang festival atau pesta, Ceu Ida selalu maunya berangkat bareng. Itu yang berkesan buat saya,” kenangnya. Connie Sutedja (kanan) dan Nani Wijaya saat mewakili Golden Girls sebagai undangan bersama Presiden B.J. Habibie di HUT TNI 5 Oktober 1999 di Cilangkap. (Dok. Connie Sutedja) Namun, bukan hanya Ida rekan di Golden Girls yang kepribadiannya dikenal Connie. Terhadap Nani Wijaya pun Connie sangat terkenang dengan perangainya. Nani itu orangnya manja. Kalau apa-apa suka enggak pede (percaya diri). Kalau mau ini-itu, dibilangnya: ‘Connie dulu deh . Kalau kenapa-kenapa kan Connie duluan’ hahaha …,” tuturnya sambil tertawa. Nani bukan orang baru buat Connie. “Sama Nani sudah lama jadi teman. Sama-sama ikut main di (film) Dibalik Tjahaja Gemerlapan ,” sambungnya. Perkenalan Connie dan Nani bermula dari tahun 1966, saat keduanya membintangi film garapan Mendiang Miscbach Yusa Biran, suami pertama Nani, itu. Rineke Antoinette Hassim atau populer dengan Rina Hasyim juga bukan orang baru buat Connie. Keduanya main bareng dalam film Si Pitung (1970). Di Golden Girls, Rina personil termuda dan acap jadi korban senioritas ketiga sahabatnya. “Yang paling tua kan Ida, lalu Nani, saya, baru Rina. Orangnya suka disuruh-suruh. Kalau baju kita lecek, minta dia setrikain. Juga kalau minta tata rambut. Walau dia belum selesai, harus bantu kita dulu. Di sini berlaku senioritas hahaha …,” sambung Connie sambil tertawa lepas. Terlepas dari itu, Connie salut pada mentalitas istri sineas Chris Pattikawa itu. Meski di luar terlihat lembut, Rina punya mental dan nyali lebih tangguh. “Kepribadian Rina itu berani kalau ada apa-apa. Kayak laki-laki lah. Tapi orangnya lembut banget. Pernah pas bulan puasa saya lagi enggak ada pembantu, dia sering bantuin masak buat saya. Kalau pergi ke mana-mana juga sampai sekarang masih berani nyetir (mobil) sendiri. Kalau syuting FTV malam-malam, dia masih berani dan kuat berangkat sendiri,” tandas Connie.*
- Investasi Bir Pemprov DKI Jakarta
Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Delta Djakarta, perusahaan minuman beralkohol, menetapkan pembagian dividen (laba untuk pemegang saham) sebesar Rp387,72 miliar pada 19 Juli 2019 mendatang. Tiap pemegang saham akan menerima dividen sesuai besaran persentase kepemilikan saham di PT. Delta Djakarta. Kepemilikan saham terbesar PT Delta Djakarta berada di perusahaan San Miguel Corporation Pte. sebanyak 58,33 persen. Selanjutnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memegang saham sebanyak 26,25 persen. Sisa saham 15,42 persen adalah milik publik. Rilis pembagian dividen tersebut mengingatkan kembali rencana penjualan seluruh saham milik Pemprov DKI Jakarta di PT Delta Djakarta tahun lalu. Ternyata hingga hari ini Pemprov tak kunjung menjual sahamnya. Sekarang Pemprov DKI Jakarta justru menerima dividen Rp100,48 miliar. Padahal dividen tahun sebelumnya lebih kecil, yaitu Rp48,47 miliar. Pertambahan kenaikan dividen menandakan pertambahan persentase kepemilikan saham Pemprov DKI Jakarta. Bagaimana sebenarnya awal mula Pemprov DKI Jakarta mempunyai saham di PT. Delta Djakarta? Investasi Pemprov DKI Jakarta di perusahaan bir bermula pada dekade 1970-an. Masa ini mencatatkan diri sebagai masa arus deras modal dalam negeri dan asing di Jakarta. Sebagian arus modal itu mengalir ke industri pariwisata. “Di mana dengan terbukanya Indonesia untuk modal asing diperkirakan bahwa pariwisata adalah sebuah industri yang akan berkembang dan menjanjikan peningkatan pendapatan yang besar bagi Indonesia,” catat Dhaniel Dhakidae dalam “Industri Sex: Sebuah Tinjauan Sosio-Ekonomis,” termuat di Prisma , 5 Juni 1976. Penunjang Hiburan Malam Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966—1977, menyambut masuknya modal asing di dunia pariwisata Jakarta. Dia juga mengupayakan hal serupa untuk modal dalam negeri. Tujuannya demi mengembangkan penerimaan daerah dari pajak pariwisata. “Mengingat pentingnya peranan pariwisata bukan hanya semata-mata sebagai objek rekreasi, tetapi juga memberikan posisi ekonomi dan kesempatan bekerja, maka saya berusaha untuk mengembangkan dan membina kepariwisataan di wilayah DKI Jakarta sebaik-baiknya,” kata Ali Sadikin dalam Gita Jaya . Modal-modal itu antara lain menjelma dalam industri pariwisata hiburan malam. Bertumbuhlah kelab malam, diskotek, dan pub di Jakarta pada awal dekade 1970. Tempat-tempat ini tidak hanya menjual musik, tetapi juga menghidangkan minuman keras berupa bir. Perusahaan penyuplai bir di Jakarta masih sedikit, sedangkan pasar bir terus terbuka lebar. Celah ini bisa tertutup jika permintaan bir di Jakarta mencukupi. Dan Ali Sadikin melihat potensi besar pendapatan daerah dari menggarap bisnis bir. Salah satu perusahaan bir terkenal di Jakarta bernama PT. Budjana Djaja-Pabrik Bir Jakarta. Bir Anker jadi nama produknya. Perusahaan ini dulunya punya orang Eropa dan kerapkali berganti nama. Dari De Archipel Brouwerij di bawah orang Jerman, ke De Orange Brouwerij di tangan Belanda, sampai pada NV Bier Brouwerij de Drie Hoofijzers. Kemudian berganti nama lagi menjadi PT. Budjana Djaja ketika masa nasionalisasi perusahaan asing pada pertengahan dekade 1950-an. Selepas nasionalisasi, kinerja PT. Budjana Djaja justru menurun. Huru hara politik 1965 dan pergantian rezim ikut berpengaruh terhadap susutnya keuangan perusahaan. Gabung dengan Pemda Memasuki 1970-an, PT Budjana Djaja memperoleh tawaran joint venture dari Ali Sadikin. Joint Venture adalah satu dari dua konsep pengembangan perusahaan daerah ala Ali Sadikin untuk menyiasati aturan dalam UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Aturan termaksud mengharuskan bahwa apabila pemerintah daerah menghendaki kerja sama komersial dengan swasta, usaha tersebut harus berbentuk Perusahaan Daerah (PD). Joint Venture menekankan pada peleburan seluruh sistem perusahaan dengan modal swasta asing. Konsep lainnya berupa Joint Operation/Joint Production , yaitu penggabungan kegiatan operasi perusahaan dengan modal swasta nasional. Dua konsep ini tidak menjadikan perusahaan-perusahaan swasta itu sebagai Perusahaan Daerah (PD) sepenuhnya. Perusahaan akan tetap berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Para pemilik perusahaan swasta lebih menyukai dua konsep tersebut jika ada tawaran kerja sama dari pemerintah daerah. Mereka seringkali menolak berubah menjadi Perusahaan Daerah. “Karena dengan demikian segala sesuatunya diatur oleh Peraturan-Peraturan Daerah, bukan lagi dengan dasar ketentuan-ketentuan hukum dagang yang sehat,” ungkap Ali Sadikin dalam Gita Jaya . Konsep Ali Sadikin ini menerima persetujuan dari Menteri Kehakiman. Keluarnya izin ini cukup meyakinkan pemilik lama PT. Budjana Djaja untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah. Penerimaan kerja sama dengan pemerintah daerah ditandai dengan pergantian nama perusahaan menjadi PT. Delta Djakarta pada 1970. Sejak menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah, keuangan PT. Delta Djakarta terus membaik. Sebab perusahaan ini memperoleh kesempatan pemasaran lebih luas dan kemudahan penjualan produk dengan status bagian dari usaha pemerintah daerah. Dengan demikian, persentase pendapatan daerah dari penjualan bir juga terus meningkat. Selain itu, manajemen dan pencatatan keuangan perusahaan makin profesional dan rapi. Terbukti mereka berhasil masuk dalam Bursa Efek Jakarta pada 1984. Tanpa perbaikan manajemen dan pencatatan, sulit bagi suatu perusahaan untuk menjual sahamnya di BEJ. Sebab BEJ mensyaratkan sejumlah ketentuan ketat terkait manajemen dan pencatatan administrasi perusahaan. Dan melalui BEJ-lah modal baru berdatangan. Misalnya dari San Miguel Corporation, perusahaan bir multinasional Filipina, pada 1990-an. Hingga sekarang PT Delta Djakarta menjadi salah satu contoh model kerja sama perusahaan daerah terbaik di Jakarta. Kinerjanya bagus dan labanya positif.
- Rumah-Rumah Bikinan VOC
Orang-orang Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) merebut Jaccatra pada 1619. Mereka mendirikan kota pelabuhan baru bernama Batavia di atas puing-puing Jaccatra. Batavia kota berbenteng, mirip dengan tipologi kota-kota di Eropa. Di dalam benteng, orang-orang VOC mendirikan aneka bangunan: kantor dagang atau pemerintahan, gudang penyimpanan, dan rumah. Kebanyakan bangunan tersebut mengambil model dari Negeri Belanda dan contoh-contoh bangunan peninggalan Portugis, rival VOC di Asia. “Pada zaman ini tipologi bangunan empat musim ditransplantasikan (atau diterapkan dengan paksa) di kawasan tropis yang memiliki temperatur tinggi, kelembapan tinggi, curah hujan tinggi, dan terpaan terik matahari jauh lebih lama,” catat Johannes Widodo dalam “Arsitektur Indonesia Modern: Transplantasi, Adaptasi, Akomodasi, dan Hibridisasi” termuat di Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia . VOC tidak menentukan standar estetik atas bangunan mereka. Mereka juga enggan berkiblat pada visi arsitektur tertentu. Karena itulah bangunan VOC “tidak dirancang untuk menjadi objek-objek arsitektur bergengsi,” tulis Cor Passchier dalam “Arsitektur Kolonial di Indonesia: Rujukan dan Perkembangan” termuat di Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia . Tidak Nyaman dan Gerah VOC menggarisbawahi bahwa rancangan bangunan harus memenuhi persyaratan elementer dan fungsional. Ciri-ciri bangunan milik VOC antara lain bagian depan rata tanpa beranda, jendela besar, dinding bata berplester, atap genting merentang sejajar dengan jalan, dan bukaan ventilasi silang sangat sedikit. Bangunan seperti ini berbeda jauh dari langgam bangunan penduduk tempatan. Kebanyakan bangunan penduduk tempatan terbuat dari kayu, bambu, dan beratap rumbia. Kehadiran bangunan berbahan bata dengan teknik dan metode dari Eropa cukup menarik perhatian penduduk tempatan. Dengan perbedaan bangunan seperti itu, orang-orang VOC menarik garis pemisah dan memamerkan keunggulan atas penduduk tempatan. Tetapi gengsi sebagai orang VOC berharga mahal. Bangunan rancangan VOC mempunyai masalah dari segi kenyamanan. Saat terang hari, sinar matahari akan langsung masuk melalui jendela besar dan lebar. Menyebabkan udara di dalam bangunan menjadi panas dan terkumpul hingga sore. Sementara pakaian penghuni bangunan pun masih selaras dengan iklim empat musim. Betapa gerah, pengap, dan tidak nyamannya tinggal dan bekerja di bangunan bikinan orang-orang VOC. “Tak ada waktu bagi mereka untuk mengubah gaya arsitektur,” lanjut Johannes. Lagipula orang-orang VOC di Batavia memang sengaja menekankan arsitektur bangunan pada perihal keamanan ketimbang segi kenyamanannya. Karena itu, Johannes menyebut arsitektur bangunan awal bikinan VOC sebagai arsitektur survivalist . VOC memang berhasil merebut Jaccatra dan membangun kota koloni baru, tetapi orang-orang dari Mataram, Banten, Karawang, dan Cirebon masih sering bergerilya di kawasan luar benteng. “Para penguasa Mataram dan Banten tidak mengakui Batavia sebagai kawasan mandiri orang Barat dan selalu mengobarkan perang gerilya melawan VOC, terlebih sesudah kegagalan mereka mengepung Batavia tahun 1628—1629,” tulis Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII . Selain itu, ada pula ancaman binatang buas dan perampok. Tidak seorang pegawai VOC pun berani mendirikan bangunan di luar benteng kota pada dekade awal pembangunan Batavia. Bahkan untuk berjalan di luar benteng, mereka harus melakukannya dengan penjagaan serdadu. Ngerumpi di Serambi Pegawai VOC lebih banyak menghabiskan waktu di dalam benteng kota. Selepas bekerja, mereka senang bercengkrama dengan tetangga atau rekan kerja di luar rumah, di bagian serambi depan rumah. Teh, arak, pipa rokok, sirih, pinang, dan panganan kecil tersedia di serambi untuk menemani penghuni dan tetamu rumah. Orang VOC menyebut serambi depansebagai stoep. “Beranda bertutup atap yang lazim di rumah-rumah penduduk asli,” catat Cor Passchier. Lebarnya sekira satu setengah meter dan ada beberapa kursi di dua sisinya. Di bagian ini pulalah mereka bisa merasakan kesejukan dari angin berembus hingga malam tiba. “Barang siapa berjalan-jalan di Batavia di malam hari, pasti akan melewati sejumlah serambi yang penuh sesak dengan orang yang sibuk bercoloteh ria,” ungkap Hendrik. Serambi tersua pula di rumah-rumah Negeri Belanda. “Semua aktivitasnya adalah khas Asia,” lanjut Hendrik. Selain sebagai tempat bercengkrama dan mencari angin, serambi juga berfungsi sebagai ranah pribadi dan publik. Saat itu, orang-orang VOC jarang sekali menerima tamu di dalam rumah. Ruangan dalam rumah sangat privat. Tidak sembarang tetamu bisa memasuki ruang ini di tiap rumah milik orang VOC. Serambi adalah juga batas antara jalan milik umum dengan kepemilikan pribadi. Pemisahan itu biasanya ditegaskan oleh pagar rendah di sekitar serambi dan bahan bangunan yang berbeda antara jalan umum dengan serambi. Keberadaan serambi terus bertahan hingga VOC masuk babak baru. Awal abad ke-18, kedudukan VOC di Hindia Belanda kian kukuh. Di Batavia, orang-orang VOC mulai berani membangun rumah di luar benteng kota. Mereka juga merambah hutan-hutan di sana. Berburu binatang, mengambil bebuahan, atau plesir menikmati hawa yang lebih sejuk di selatan kota. Masa-masa inilah orang-orang VOC mulai meninggalkan langgam arsitektur survivalist . Mereka kini membangun rumah dengan pertimbangan kenyamanan. Mereka punya modal untuk itu. Orang-orang VOC telah bersentuhan dengan penduduk dan budaya setempat selama lebih dari seabad. Mereka juga telah memperoleh penghasilan lebih besar, hasil dari peningkatan keuntungan perusahaan dengan menjual rempah-rempah. Ini mempengaruhi cara dan gagasan mereka dalam membangun rumah. Beberapa pegawai rendah VOC berupaya membangun rumah dengan pendekatan penduduk setempat dan menyatu dengan alam. Ini misalnya tersua dalam rumah keluarga Perkenier di Banda. Rumah Kebun (Landhuizen) Tetapi pejabat-pejabat tinggi VOC di Batavia berlainan visi dan selera dari pegawai-pegawai rendahan dalam membangun rumah. Mereka membangun rumah megah di pinggiran kota dan berlomba menunjukkan kekayaan melalui rumah. Salah satunya rumah milik Reinier De Klerk di pinggiran Batavia pada 1760 (sekarang berada di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, dan sempat menjadi kantor Arsip Nasional Republik Indonesia). Rumah Reinier bertingkat satu. Ada halaman depan dan belakang yang luas. Kebun-kebunnya ditanami beragam jenis tanaman. Sangat asri dan berguna bagi penghuni dan tetamu rumah. Serambinya memang masih tertutup dan tidak terlalu luas. Tetapi desain keseluruhan rumah sudah mempertimbangkan iklim tropis. “Dengan langit-langit tinggi dan lantai bermarmer atau berubin,” terang Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta . Contoh lain perwujudan kekayaan dan kemakmuran pejabat VOC tampak dalam rumah di kawasan Weltevreden (sekarang Lapangan Banteng dan Monas, Jakarta Pusat). Kawasan ini dulu benar-benar rimbun sehingga harga tanah sangat murah. Sisa uang pembelian tanah di luar benteng kota masih bisa digunakan untuk mendatangkan bahan-bahan bangunan kelas satu dan mendesain rumah secara mewah. Inilah yang terjadi pada rumah Gubernur Jenderal J. Mossel pada 1750. “Rumah dan tamannya mirip (istana, red. ) Versailles. Bangunan utamanya terdiri atas dua lantai. Kemewahan masih ditambah dengan dekorasi pahatan atap dalam wujud rajawali-rajawali besar,” tulis Cor Passchier. Perlombaan kekayaan dan kemegahan VOC tidak berjalan langgeng. Perlombaan selesai ketika VOC bangkrut pada 1799. Rumah-rumah itu diambil-alih oleh orang-orang penyokong Revolusi Prancis dan Kaisar Napoleon Bonaparte. Negeri Belanda diduduki oleh Prancis dan Batavia jatuh ke kuasa Prancis. Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1805—1811), merencanakan sebuah kota baru di Weltevreden . Dia juga memerintahkan setiap bangunan di sana memiliki langgam neo-klasik dengan kolom (pilar bergaya ionik, dorik, dan corinthian) agar menunjukkan kewibawaan pemerintah. Orang Amerika menyebut langgam ini sebagai colonial style (gaya kolonial), sedangkan orang Inggris menamakannya imperial style (gaya imperium). Kelak langgam ini berkembang luas di berbagai kota Hindia, sempat mati, dan kemudian hidup lagi.
- Langkah Gencar Menanggulangi Cacar
PADA 1804, kapal Elisabeth tiba di Jawa. Kapal itu mengangkut salah satu barang terpenting yang didatangkan pemerintah Hindia Belanda. Vaksin, nama barang itu, didatangkan pemerintah sebagai salah satu cara untuk menganggulangi wabah cacar di kepulauan. Karena jumlahnya sedikit, mulanya vaksin hanya diberikan pada para pekerja perkebunan yang terjangkit cacar dan orang pribumi yang sehari-hari berhubungan dengan orang Eropa. Tiga tahun setelah vaksin dibawa ke Batavia, penyebarannya di Jawa tidak mengalami perkembangan lantaran jumlah vaksin dan dokter tidak memadai. Vaksinasi besar-besaran baru dilakukan ketika Thomas Stamford Raffles berkuasa pada 1811-1816. Dari yang semula hanya menjangkau Surabaya, Semarang, dan Batavia, Raffles memperluas daerah operasi vaksinasi ke Jepara, Surakarta, Yogyakarta, Priangan, dan Bogor. Vaksinasi cacar juga dilakukan di Gresik, Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Besuki, dan Banyuwangi pada 1812. Pada 1818, tulis Baha’Udin dalam “Dari Mantri hingga Dokter Jawa” yang dimuat dalam Humaniora Oktober 2006, ada 50.420 pencacaran. Tahun 1860 jumlahnya meningkat tajam jadi 479.768 pencacaran dengan 211.051 pencacaran ulang. Pada 1875, jumlah pencacaran naik hingga 930.853 orang. Pengendalian cacar ini dapat dilakukan berkat penemuan vaksin oleh dokter-ahli medis Inggris Edward Jenner pada 1796. Jenner mengamati bahwa para peternak dan pemerah susu yang terkena cacar sapi ( cowpox ) tidak tertular cacar ( smallpox / variola ). Kedua cacar memang mirip, namun cacar sapi yang menyerang manusia tidak seganas variola. Jenner, sebagaimana ditulis Stefan Riedel dalam “Edward Jenner and the History of Smallpox and Vaccination”, pada Mei 1796 menemukan seorang pemerah susu bernama Sarah Nelms yang terserang cacar sapi. Bintil-bintil cacar sapi memenuhi tangan dan lengan Sarah. Ketika merawat Sarah, Jenner mengambil kesempatan untuk menguji teorinya. Ia mengambil nanah cacar sapi di lengan Sarah dan memindahkannya ( inokulasi ) ke tubuh James Phipps, anak tukang kebunnya yang berumur delapan tahun. James pun mengalami demam ringan dan bintil-bintil di sekitar area yang diberi nanah cacar sapi. Namun setelah beberapa hari, anak itu pulih. Dua bulan kemudian, Jenner kembali menginokulasi James pada kedua lengan dengan bahan dari cacar. Teorinya terbukti, James tidak merasakan efek apa pun, anak itu sudah kebal terhadap cacar. Setengah abad kemudian, Feldman, petugas kesehatan berkebangsaan Jerman, melakukan penelitian untuk menyembuhkan cacar. Feldman, tulis seorang Residen Bagelen, melakukan penelitian selama 6 bulan untuk membuat retrovaksinasi dari anak sapi di Desa Kecewan, Wonosobo. Retrovaksinasi ini menghasilkan vaksin cacar yang langsung digunakan dengan hasil yang memuaskan. Keberhasilan ini kemudian disebarkan ke seluruh Jawa. Pada 1854, vaksin cacar serupa diproduksi di Madiun, Pasuruan, Kedu, Kediri, dan Priangan. Enam belas tahun kemudian, dibentuk pula perhimpunan produsen dan distributor vaksin cacar untuk memudahkan distribusi vaksin ke Hindia. Tiap 2-3 bulan sekali, vaksin cacar dikirim dari Amsterdam, Rotterdam, Utrech, dan Den Haag. Namun, pemerintah kolonial tak hanya mengandalkan kiriman vaksin. Pada 1879, pemerintah mendirikan Parc Vaccinogene di Batu Tulis, Bogor untuk mengatasi kelangkaan vaksin. Lembaga ini memproduksi vaksin cacar dengan inang anak sapi, bukan manusia. Namun, proyek ini gagal karena anak sapi yang dipakai untuk produksi vaksin cacar sulit didapatkan di Batu Tulis. Produksi vaksin juga dilakukan di Batavia oleh Dr. Kool dengan retrovaksinasi anak sapi di Meester Cornelis (Jatinegara) pada 1884. Keberhasilan Dr. Kool membuatnya ditarik ke Parc Vaccinogene yang sudah dipindah ke Weltevreden pada 1891. Selain mengatasi kelangkaan vaksin, pemerintah juga menambah jumlah tenaga medis yang bertugas mendistribusikan vaksin dengan mendirikan Dokter Djawa School di Batavia.
- Nasib Presiden Pertama Negara Dunia Ketiga
DINI hari 30 Juni 1985, Haruo Remeliik, presiden pertama Palau, tiba di rumahnya dari acara sosial. Begitu melangkahkan kaki keluar dari mobil, dia mendengar suara senapan macet. Seseorang telah menunggunya di sebuah pickup yang diparkir di jalan seberang rumah Remeliik. Orang tak dikenal itu mencoba menghabisi sang presiden namun gagal. Upaya pembunuhan Remeliik terkait erat dengan persaingan politik dalam negeri dan kebijakannya membawa negerinya tetap gigih menolak nuklir. Sikap itu membuat Palau berseberangan dengan mantan “bapak asuh”-nya, Amerika Serikat (AS). Konflik bermula saat Palau dan wilayah-wilayah lain di Mikronesia –yang ditetapkan PBB menjadi wilayah Trusteeship Territory dengan wali AS pada 1947– mulai mengupayakan pengakhiran status perwalian mereka. Pada 1967, Kongres Mikronesia menciptakan Joint Committee on Future Status dan menetapkan Lazarus Salii (kemudian menjadi presiden Palau kedua), senator lulusan University of Hawaii asal Palau, sebagai ketuanya. Tugas komite itu adalah mencari kemungkinan status alternatif untuk mengakhiri perwalian strategis. Namun, AS lebih menginginkan statusquo . “Dalam negosiasi di Washington pada Mei 1970 AS mengusulkan wilayah-wilayah perwalian menjadi wilayah permanennya dengan status ‘Commonwealth’,” tulis Roy Smith dalam The Nuclear Free and Independent Pacific Movement After Mururia . Delegasi Mikronesia pun langsung menolaknya. Keteguhan masing-masing pihak pada prinsip membuat negosiasi berjalan alot dan mencapai puncaknya pada 1970-an. Di bawah payung Compact of Free Association (CFA), para bangsa di Mikronesia akhirnya mengadakan referendum pada 1978 dan menghasilkan Federasi Mikronesia. Namun, Palau terbagi antara yang mendukung bergabung dengan federasi dan yang ingin berdiri sendiri. Di bawah Gubernur Airai Roman Tmetuchl, Palau akhirnya memutuskan keluar dari federasi. Sebagai tindak lanjutnya, Palau mengadakan Konvensi Konstitusi, 28 Januari-2 April 1979, untuk merancang undang-undang dasarnya. Tak lama setelah itu, Palau pun melangsungkan pemilihan presiden pertamanya. “Yang amat mengejutkan, kekuatan-kekuatan berbeda bersatu di sekitar satu kandidat, Haruo Remeliik, dan memilihnya sebagai presiden dari Konvensi Konstitusi,” tulis Arnold Leibowitz dalam Embattled Island: Palau’s Struggle for Independence. Kemenangan Remeliik, pria keturunan Jepang yang lahir pada 1 Juni 1933, tak hanya mengagetkan banyak orang namun juga menyakitkan Tmetuchl. Banyak orang yakin Tmetuchl bakal menjadi presiden pertama Palau. Sementara, Remeliik merupakan figur low profile . Kemenangan Remeliik yang low profile tak lepas dari dukungan Modekngei, gerakan keagamaan lokal yang muncul setelah Perang Dunia I untuk menjaga agama-agama lokal dari kepunahan akibat misi Katolik, yang dianut dua pertiga penduduk Palau. Remeliik dianggap sebagai figur paling pas ketimbang dua pesaing lain, Tmetuchl dan Lazarus Salii yang amat dekat dengan AS. Remeliik bekerja dalam situasi yang sulit. Di dalam negeri, Remeliik harus meredam kuatnya persaingan politik. Ke luar, dia mesti menyelesaikan negosiasi dengan AS yang macet di bawah payung CFA. “Struktur dasar Compact adalah sederhana. AS akan menerima hak untuk mendirikan pangkalan militer, mengirim bahan nuklir, dan mencegah kekuatan asing terlibat dalam aktivitas militer apa pun. Sebagai gantinya, FAS akan menerima sejumlah besar uang, hak rakyatnya untuk memasuki AS dan bekerja, dan perlindungan militer,” tulis Leibowitz. CFA berseberangan dengan konstitusi Palau dalam tiga hal, yakni batas wilayah Palau, pangkalan militer AS di Palau, dan penggunaan nuklir AS di Palau. Dalam hal batas wilayah, Palau menganut konsep archipelagic sea theory dan territory sea theory , yang memungkinkan negeri itu memiliki laut hingga 200 mil dari garis pantai terluarnya. CFA, mengacu pada kepentingan Washington, menolak kedua teori itu. Namun, sengketa soal izin pangkalan militer dan penggunaan nuklir lebih pelik. AS maupun Palau sama-sama ngotot. AS amat menginginkan keduanya, sementara konstitusi Palau melarang kedua hal itu. Akibatnya, negosiasi macet. AS terus menekan Palau untuk merevisi konstitusinya, sementara Palau berupaya keras untuk mendapatkan kedaulatan penuh. Namun, Remeliik tak bisa begitu saja menghentikan CFA. Selain mengikat secara legal karena sudah ditandatangani, dari sisi ekonomi CFA masih amat diperlukan Palau untuk membangun. Menurut Roy Smith dalam The Nuclear Free and Independent Pacific Movement After Mururia, dengan menandatangani CFA Palau akan mendapat suntikan dana dari AS sebesar 1 miliar dolar selama 50 tahun. “Jumlah ini 10 kali lipat dari dana tahunan di bawah Trusteeship. Efek ekonomi jangka panjang di bawah pendanaan Compact sebagai lawan Trusteeship terbuka untuk diperdebatkan,” tulis Smith. Jumlah pendukung kerjasama di bawah CFA amat besar. Tmetuchl dan Salii yang paling populer. Keduanya merupakan lawan politik Remeliik. Kendati posisinya sulit, Remiliik tetap berupaya membawa Palau menggapai kemerdekaan penuhnya dan menjaga prestis dengan berada di garis depan dalam kampanye anti-nuklir. Dalam kampanye anti-nuklir, Palau menjadi sekutu negara-negara Pasifik lain yang umumnya menentang nuklir dan Green Peace serta organisasi-organisasi lingkungan lain. Kampanye makin gencar setelah Remiliik kembali mengalahkan Tmetuchl dalam pemilihan presiden kedua, 1985. Konsekuensi dari langkah yang diambil Remeliik adalah makin banyak musuh yang mengelilinginya. Pengawasan terhadap dirinya pun meningkat. Pada saat Remeliik menghadiri acara sosial 29 Juni 1985, seorang penembak gelap telah menunggu di depan rumahnya. Begitu Rameliik tiba pada dini hari 30 Juni dan turun dari mobil hendak masuk ke rumahnya, penembak itu menarik pelatuk senapananya untuk menghabisi Remeliik. Namun, dia gagal lantaran senapannya macet. Remeliik mendengar jelas suara senapan macet itu. “Remeliik berlari untuk menghadapi penyerangnya, berduel dengan pria bersenjata itu sebelum akhirnya tiga peluru menghantam Remeliik di kepala dan leher, membunuhnya seketika,” tulis Michael Newton dalam Famous Assassination in World History: An Encyclopedia . Kematian Remeliik menyisakan misteri terkait dalang, pelaku, dan motif pembunuhan hingga jauh hari. “Dua kerabat mantan rival politik Remeliik, Roman Tmetuchl, dan dua rekannya didakwa dengan pembunuhan tersebut tapi tidak dihukum karena bukti tidak memadai. Banyak rakyat Palau pro-Konstitusi percaya CIA yang membunuhnya. Pelaku yang sebenarnya, yang dihukum pada 1993 karena memerintahkan pembunuhan itu, adalah John Ngiraked, yang kepentingan bisnisnya digagalkan Remeliik,” tulis Roger C. Thompson dalam The Pacific Basin Since 1945: An International History.
- Corak Asing di Kesultanan Cirebon
AGAMA Islam masuk ke Cirebon pada permulaan abad ke-14. Itu bersamaan terjadinya kontak pertama antara orang-orang asing (Arab dan Tiongkok) dengan pribumi. Islam pun dikenal oleh masyarakat Cirebon sebagai agama pendatang yang dibawa oleh para pedagang Arab dan Tiongkok. Namun karena saat itu belum terjadi kontak budaya yang signifikan, penyebaran Islam pun baru terjadi secara masif pada masa Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon. Ketika pertama datang orang-orang Arab dan Tionghoa menempati wilayah pesisir Cirebon. Sebagai pedagang, mereka lebih banyak melakukan aktivitasnya di sana. Maka tidak heran jika hanya wilayah pesisir saja yang sejak awal telah mengenal Islam. Pada 1415 berdiri kampung Tionghoa (Pecinan) di wilayah Pelabuhan Muara Jati. Pemukiman itu dibangun oleh utusan Laksamana Cheng Ho, penjelajah Tionghoa Muslim dari Dinasti Ming. Salah seorang utusan itu adalah Tan Eng Hoat. “Ia adalah seorang Cina Muslim dan sudah menjadi haji” tulis Rokhimin Dahuri dalam Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon . Para pedagang asing itu banyak berinteraksi dengan penduduk lokal. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk menetap di Cirebon. Mereka kemudian menikahi perempuan-perempuan pribumi. Orang-orang Tionghoa menempati Pecinan, sementara orang-orang Arab menempati Kampung Arab. Peran orang-orang Tionghoa dan Arab di Kesultanan Cirebon cukup besar. Keberadaan mereka berdampak pada perkembangan kebudayaan di masyarakat. Seperti terlihat pada bangunan, kesenian, hingga benda-benda pusaka. Pengaruh Arab Dalam Babad Cirebon diceritakan peran orang-orang Arab dalam penyebaran Islam di Cirebon. Terdapat tiga tokoh penting, yakni Syarif Abdurrahman, Syarif Abdurrahim, dan Syarifah Baghdad. Ketiganya merupakan anak kandung,dari Sultan Baghdad. “Mereka diperintah untuk berlayar ke Pulau Jawa oleh sang ayah. Di Cirebon ketiganya berguru kepada Syekh Nurjati dan diperkenalkan dengan Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon.” tulis Bambang Setia Budi dalam Masjid Kuno Cirebon . Pangeran Cakrabuana kemudian meminta Syarif Abdurrahman dan Syarif Abdurrahim mengajarkan Islam kepada masyarakat Cirebon. Masing-masing diberi satu wilayah untuk dikelola menjadi pemukiman Muslim. Sang kakak menempati wilayah yang sekarang dikenal sebagai Panjunan. Sedangkan sang adik dipercaya mengelola wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kejaksan. Di Panjunan, Syarif Abdurrahman membangun sebuah masjid sebagai pusat ajarannya. Pengaruhnya yang besar membuat masjid Panjunan pernah digunakan sebagai tempat musyawarah dan pertemuan para wali penyebar Islam dari seluruh Nusantara. Sebelum akhirnya dipindahkan ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang didirikan Sunan Gunung Jati. Syarif Abdurrahman juga mendirikan tempat pembuatan jun atau keramik porselen. Dalam prosesnya ia mengajak serta masyarakat pribumi. Sehingga mulai bermunculan tenaga pertukangan di wilayah Panjunan. “Keberadaan tenaga pertukangan dan pengrajin mengandung arti yang dalam bagi masyarakat Cirebon karena memunculkan kelompok masyarakat baru” tulis A. Sobana Hardjasaputra dalam Cirebon dalam Tiga Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20 . Sama seperti Panjunan, di Kejaksan Syarif Abdurrahim pun membangun sebuah masjid. Pembangunan masjid Kejaksan hampir berbarengan dengan masjid Panjunan. Keduanya memperlihatkan arsitektur khas masjid abad ke-15 di Cirebon. Cirinya adalah bentuk yang sederhana, terdiri dari ruang shalat, serambi, tempat wudhu, tiang besar, dan sakaguru di puncak atapnya. Sementara itu saudara perempuan mereka, Syarifah Baghdadi, menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia pun turut membantu penyebaran agama Islam bersama saudara dan suaminya. Pengaruh Tiongkok Sama seperti kebudayaan Arab, pengaruh tradisi Tiongkok pun cukup kental terasa di Cirebon. Beberapa masjid kuno di sana menggunakan keramik dari Tiongkok untuk hiasan dindingnya. Jumlahnya tidak sedikit dan motifnya pun sangat beragam. Keramik-keramik itu didatangkan langsung dari Tiongkok. Sebagian besar dibawa oleh para pedagang, sementara sisanya didapat dari utusan raja. Namun ada juga yang dibuat oleh orang-orang Tionghoa yang sudah menetap di Cirebon. Tidak hanya di masjid, keramik-keramik Tiongkok juga menghiasi bangunan publik lainnya. Bahkan di makam Sunan Gunung Jati pun tersebar hiasan-hiasan keramik Tiongkok. Hal itu diperkuat dengan keberadaan istri Sunan Gunung Jati yang berdarah Tionghoa, yakni Ong Tien Nio. Nuansa Tiongkok juga terlihat pada salah satu motif batik di Cirebon, yakni Megamendung. Sobana menyebut bahwa gambaran naga pada kereta pusaka kesultanan Cirebon sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Tiongkok. “Namun selain menyerap budaya luar yang bersifat positif, diduga sebagian warga masyarakat Cirebon juga menyerap budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam” kata Sobana. Salah satunya adalah arak. Hal itu didasarkan pada keberadaan pabrik arak di Cirebon yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa. Dalam Eenige Offciele Stukken met Betrekking tot Tjirebon , laporan resmi pemerintah Belanda yang ditulis J.L.A. Brandes, menyebut kebiasaan minum minuman keras telah menjadi budaya di pelabuhan-pelabuhan Cirebon yang dibawa oleh para pedagang dari mancanegara.
- AURI Ingin Membom Markas Kostrad?
PADA masa Orde Baru berkuasa, Angkatan Udara RI (AURI) kalah pamor ketimbang Angkatan Darat (AD). Namun tak banyak orang tahu, jika suatu waktu Soeharto, sang aktor utama Orde Baru, pernah gusar terhadap AURI. Itu terjadi pada 1 Oktober 1965 kala dirinya menjadi panglima Kostrad berpangkat mayor jenderal. “ Kurang lebih pukul setengah dua belas malam saya pindahkan Markas Kostrad ke Senayan, karena ada informasi, bahwa AURI akan melakukan pemboman,” kenang Soeharto dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya . Kepanikan Soeharto diakui oleh asisten intelijennya, Kolonel Yoga Soegomo. Dalam otobiografinya, Yoga juga mendengar kabar kalau AURI hendak membom markas Kostrad di Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. “Dan bila itu terjadi maka akan berakibat sangat buruk karena tiadanya fasilitas penangkis serangan udara,” kata Yoga dalam memoarnya Memori Jenderal Yoga . Untuk menghindari kemungkinan terburuk, Soeharto memutuskan memindahkan markas Kostrad ke Senayan kemudian ke Gandaria. Pengungsian itu hanya berlangsung sehari. Keesokan harinya, pada 2 Oktober, Presiden Sukarno mengumpulkan semua perwira tinggi lintas angkatan di Istana Bogor. Sukarno menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamudra sebagai menjadi pimpinan sementara di AD karena keberadaan Panglima AD Letnan Jenderal Achmad Jani belum diketahui. Dalam pertemuan itu, ada Panglima AURI, Laksamana Madya Omar Dani. Soeharto jengkel dengan kehadiran Dani. Menurutnya Dani terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) apalagi setelah mendengar kabar markas Kostrad mau dihancurkan-leburkan oleh pesawat bomber AURI. “Suasana tegang meliputi kami, maklum di sana ada Omar Dani yang sudah sangat saya curigai,” ujar Soeharto. Kesaksian Soepardjo Sejauh apa kebenaran isu AURI ingin membom markas Kostrad? Menurut John Roosa, sejarawan University of British Columbia, ide untuk membom markas Kostrad justru berasal dari perwira tinggi AD yang terlibat G30S, Brigjen Soepardjo. Pendapat ini didasarkan atas dokumen yang memuat kesaksian Soepardjo dalam pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Dalam kesaksiannya, Soepardjo mengakui bahwa dirinya bertemu dengan Omar Dani di Pangkalan AU Halim Perdanakusumah pada 1 Oktober 1965. Soeperdjo berpikir pasukan G30S seharusnya membom Kostrad sebagai kekuatan potensial yang tersisa dari AD. Menurut Soepardjo, hanya dengan bantuan AURI lah itu dapat dilakukan dan satu-satunya cara memenangkan kelompok G30S. Dani sejauh batas tertentu demi pertahanan AURI, mendukung penyerangan terhadap Kostrad tapi tidak untuk pemboman. “Dani sungguh-sungguh setia kepada Sukarno dan mungkin sangat percaya bahwa presiden perlu dilindungi dari jenderal-jenderal sayap kanan,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto . “Persetujuan Omar Dani terhadap pemboman Kostrad - jika memang benar - mungkin didorong oleh kehendaknya untuk melindungi presiden, yang saat itu masih berada di Halim.” Akhirnya, AURI memutuskan menentang penyerangan terhadap Kostrad. Para perwira AURI di Halim khawatir tentang kemuungkinan jatuhnya korban di kalangan sipil. Jika bom salah sasaran dengan mudah akan meledak di daerah pemukiman yang berdekatan. Keraguan soal isu AURI ingin membom markas Kostrad juga diutarakan pakar politik-militer Salim Said. Menurut guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan itu, dapat dimengerti apabila Soeharto memindahkan markas komandonya karena takut dibom. Para jenderal AD menaruh curiga kepada AURI khususnya setelah mendengar radio pengumuman dukungan Panglima AU kepada G30S. Kendati demikian, menurut Salim, keputusan mengungsi ke Senayan dan kemudian ke Gandaria itu memang terasa lucu. Seandainya AURI berencana melakukan pemboman, intel mereka tentu akan mengetahui saat itu juga dimana keberadaan pimpinan sementara AD. “Yang akan mereka bom pastilah Senayan atau Gandaria, bukan markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur yang sudah ditinggalkan,” kata Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto . "Bahasamu Leo" Dani sendiri tidak pernah mengeluarkan perintah untuk membom markas Kostrad. Dalam pledoinya, Dani mengatakan, “Saya tidak pernah merasa bilang kepada saudara Soepardjo ‘Beuk maar Kostrad’ (hantam saja Kostrad!).” Pun demikian Soerpadjo yang dalam persidangannya mengatakan bahwa Dani tidak mendukung aksi pemboman. Namun Dani tidak menampik pertemuannya dengan Soepardjo, sore hari 1 Oktober 1965 di Pangkalan Halim. Usai pertemuan di Halim, pada malam hari nya, Dani bersama, Panglima Komando Operasi AURI, Komodor Leo Wattimena melakukan pemantauan udara meninjau kawasan Halim sampai Madiun dengan pesawat Hercules C-130. Memasuki pergantian hari, Dani terasa lelah dan mengantuk. Dia meminta Leo untuk berkirim radiogram kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Dani berpesan agar Soeharto tidak perlu menggerakan pasukannya memasuki Pangkalan Halim untuk mengejar pasukan G30S. Sebabnya, pasukan AD dari Yon 454/Raiders Kostrad yang berusaha memasuki Halim pada sore hari telah dihalau oleh PGT (Pasukan Gerak Tjepat)-AURI. Jika bersikeras masuk, di Pangkalan Halim hanya ada pasukan PGT-AURI, anggota Pangkalan, dan kru pesawat yang sedang dikonsinyasi. Setelah menitipkan pesan itu, Dani tertidur sehingga tidak sempat memeriksa isi radiogram. Siapa nyana, Leo Wattimena menerjemahkan maksud Dani dengan pesan radiogram yang singkat, padat, dan tegas. “Jangan masuk Halim. Kalau masuk Halim akan dihadapi,” demikian bunyi radiogram yang dikirimkan Leo ke markas Kostrad. Tidak sampai disitu. Pesan yang sama juga dikirimkan ke Komandan Wing 002 PAU Abdurachman Saleh, Kolonel (Pnb.) Soedarman di Malang. Soedarman menangkap sinyal “siaga” dan segera mengirimkan dua pesawat bomber B-25 beserta sejumlah pesawat pemburu ke Pangkalan Halim. “Mendengar informasi tentang PAU Halim akan diserang oleh pasukan lain, mereka cepat bertindak untuk membela korpsnya,” tulis Benedicta A. Surodjo dan JMV. Soeparno dalam Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani . Dani baru mengetahui isi radiogram itu setelah ditahan di Cibogo, Bogor. Sebagai bukti yang dituduhkan kepadanya, Dani diperkenankan membaca bunyi dari isi radiogram yang dikirimkan Leo. Sewaktu membaca arsip radiogram, Dani kaget seraya berkomentar: “Oh Leo…, bahasamu memang begitu. Kort en bondig ! Cekak aos! (tegas dan singkat) dan dapat diartikan terlalu keras!” “Radiogram itu menimbulkan kesan seakan-akan AURI memberikan ultimatum kepada Panglima Kostrad. Berita yang tersebar ke luar negeri, menimbulkan kesan seakan-akan Angkatan Udara berperang melawan Angkatan Darat,” tulis James Luhulima dalam Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965 . Omar Dani menyadari, apapun dan bagaimanapun bunyi radiogram itu adalah tanggung jawabnya selaku pimpinan tertinggi AURI. Dia pun meyakini benar Leo bukan bermaksud demikian. Namun Soeharto yang terlanjur geram dibuatnya menuntut balas. Ketika Soeharto memperoleh kekuasaan lewat Surat Perintah 11 Maret ( Supersemar ) 1966, Dani diseret sebagai pesakitan politik. Panglima AURI di masa jaya ini pun harus mendekam dalam penjara selama 30 tahun. Namanya dinista semasa Soeharto berkuasa.
- Amuk Inggris di Sungai Beramas
MAYOR Andrew Sandilands Knox Anderson (30) tengah diganja asmara hari itu. Seorang gadis Inggris telah membuatnya kasmaran setengah mati. Ann Helen Allingham (25) namanya. Dia seorang anggota Palang Merah Inggris yang tengah bertugas di Padang, mengurusi eks tawanan perang Jepang berkebangsaan Eropa. Situasi perang menyebabkan kedua sejoli tersebut cepat berpadu hati. Minggu, 2 Desember 1945, Anderson sudah merencanakan untuk bervakansi dengan sang kekasih ke sebuah bungalow yang dilengkapi tempat pemandian indah di kawasan Sungai Beramas (sekitar 11 km sebelah selatan Padang). Mereka memutuskan akan menginap. Namun sesuai prosedur, Anderson harus melaporkan dahulu rencananya itu kepada pihak berwenang yang mewakili Republik Indonesia (RI) di Padang. Maka pada hari Minggu sekitar jam 8, sebelum pergi ke Sungai Beramas, Anderson dan Allingham terlebih dahulu menemui Johnny Anwar di Kantor Polisi RI. Kepada anggota Kepolisian RI yang sudah dikenalnya itu, Anderson mengutarakan niatnya. Alih-alih memberi izin, Johnny justru mengingatkan bahaya yang mengancam jika pergi ke tempat tersebut. Selain memiliki medan yang curam, pemandian itu juga terletak di dekat hutan yang rawan akan aksi kejahatan. “Saya pikir lebih baik anda tidak usah pergi ke sana. Terlalu berbahaya,” ujar Johnny. “Ah, itu urusan saya,” kata Anderson sambil tertawa. Singkat cerita, pagi itu dengan mengendarai sebuah jip militer, meluncurlah Anderson dan Allingham ke arah Sungai Beramas. Demikian penuturan Johhny Anwar kepada tim penulis buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 (Jilid I) . * Malam itu Pemandian Sungai Beramas terasa sepi. Selain pasangan anak muda Inggris tersebut, tak ada pengunjung lain yang menginap di sana. Alih-alih merasa khawatir, Anderson dan Allingham yang sedang dimabok kepayang itu justru semakin betah. Tanpa disadari oleh mereka, dari balik belukar Bukit Sikabau (tanah tinggi yang terletak di belakang bungalow), empat pemuda tengah mengintip kelakuan sepasang kekasih tersebut. Kamaruddin, pimpinan kelompok kecil itu, lantas meloncat ke hadapan Anderson dan Allingham. Aksi anak muda asal Bugis itu diikuti oleh tiga kawannya. Tanpa banyak bicara, mereka lantas menyerbu Anderson dan Allingham. Menghujani keduanya dengan tusukan pisau dan golok. Dan terjadilah apa yang ditakutkan oleh Johnny: kedua anak muda tersebut tewas seketika. Besoknya, Markas Besar Tentara Inggris di Padang menjadi geger. Mereka menyatakan telah kehilangan Mayor Anderson dan Nona Allingham. Dalam laporannya kepada Jakarta, Gubernur Sumatera Teuku Muhammad Hasan menyebut militer Inggris sangat berang dengan insiden itu. “Mereka menuduh para pejuang Indonesia sebagai pelakunya,” ujar Gubernur Sumatera seperti dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Diplomasi atau Bertempur Jilid II . Tidak hanya cukup menuduh, Panglima Tentara Inggris di Sumatera Barat Brigadier Hutchinson langsung memanggil Residen Sumatera Barat Rusad Datuk Perpatih Baringek dan Wakil Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) Sumatera Barat Mr. S.M. Rasjid. Sang brigadier lantas memarahi keduanya sambil melontarkan ancaman. “Jika pihak anda memberlakukan hukum rimba, maka kami pun tak akan ragu untuk memberlakukan hukum rimba!” katanya. Ancaman itu memang bukan gertak sambal semata. Lima hari setelah Anderson dan Allingham dinyatakan hilang, tentara Inggris melancarkan suatu pembersihan yang sangat brutal di selatan Padang, dengan membakar habis rumah-rumah penduduk. Bahkan bukan hanya kawasan Sungai Beramas yang dibakar, kampung-kampung terdekat (Kampung Gaung, Bukit Putus dan Teluk Nibung) juga dimusnahkan tanpa memberi kesempatan kepada para penduduknya untuk menyelamatkan harta masing-masing. Pada 10 Desember 1945, mayat Anderson dan Allingham akhirnya berhasil ditemukan. Penemuan itu menjadikan militer Inggris semakin kalap dan menuntut supaya Pemerintah RI di Sumatera Barat mencari dan meringkus para pelaku pembunuhan itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Tidak hanya itu, mereka pun memaksa Residen Rusad dan Wakil Ketua KNI Sumatera Barat Rasjid untuk melihat kondisi kedua mayat korban di Rumah Sakit Militer Ganting. Hari itu juga tentara Inggris kembali mengamuk. Tidak hanya membakar rumah, mereka pun menembaki para pemuda dan menghancurkan markas PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan pos-pos TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Menurut Haji Masthor (salah seorang eks pejuang di Padang), di sekitar wilayah Sungai Beramas, militer Inggris mengadakan operasi penangkapan di jalan-jalan. Setelah berhasil menangkapi para pemuda, mereka kemudian digiring ke tepi pantai dan dibantai dengan menggunakan senapan mesin. “Saya sendiri sempat merawat seorang pemuda yang berhasil kabur dengan luka tembakan 12 peluru di kakinya,” ujar lelaki kelahiran Padang pada 1924 itu. Akibat pembersihan itu, menurut A.H. Nasution, 40 rumah terbakar di Sungai Beramas, 98 rumah musnah di Kampung Gaung, 61 rumah menjadi abu di Kampung Nibung dan 244 rumah musnah di Padang kota, Kampung Pauh, Tabing, Lubuk Alung, Koto Tengah dan Alai. “ Duabelas pemuda ditembak mati,” tulis Nasution.
- Trik Sulap Berujung Maut
TERIK mentari Minggu (16/6/2019) siang membakar semangat Mandrake. Di tepi Sungai Hooghly, Kalkuta, India, pesulap cum ilusionis bernama asli Chanchal Lahiri itu sesaat lagi akan melakukan sebuah aksi meloloskan diri dari maut. Sekujur tubuhnya sudah diikat rantai dan digembok oleh para asistennya. Tubuhnya kemudian diangkat menggunakan crane untuk ditenggelamkam ke dasar sungai. Beberapa kali ia masih mencoba mengangkat kepalanya saat tubuhnya mulai menyentuh air. Itulah momen terakhir Mandrake terlihat dalam keadaan hidup yang diabadikan lewat rekaman video. Yang terjadi selanjutnya adalah petaka. Ia gagal lolos dari maut. Escapetrick ala legenda Harry Houdini yang dilakukan Mandrake gagal total. Setelah dinanti 10 menit, Mandrake tak jua muncul ke permukaan sebagaimana rencananya. Aparat setempat pun mencari ke dasar sungai tetapi baru Senin (17/6/2019) jasad Mandrake ditemukan sekira 1 kilometer dari lokasi kejadian. Kepolisian Kalkuta sampai kini masih menginvetigasi terus kasusnya. Tewasnya Mandrake menambah panjang daftar pesulap gagal dan menemui maut setelah mencoba meniru trik-trik Houdini, pesulap legendaris Amerika Serikat berdarah Hungaria yang tenar dengan trik-trik menantang malaikat kematian. Chanchal Lahiri melakukan trik sulap Houdini yang mengakhiri hidupnya. (Youtube Tuitealo). Trik-trik Houdini Lahir dari keluarga Yahudi pada 24 Maret 1874, Erik Weisz melejitkan nama panggungnya, Houdini, sejak kesuksesannya di London pada 17 Maret 1904. Kala itu ia melakoni aksi meloloskan diri dari sebuah borgol khusus. Aksi itu berawal dari tantangan suratkabar Daily Mirror bahwa tiada yang bisa meloloskan diri dari sebuah borgol buatan Nathaniel Hart yang butuh lima tahun pembuatannya. Houdini menjawab tantangan “ Handcuff Act ” itu di Teater Hippodrome London. Diungkapkan William Kalush dan Larry Sloman dalam The Secret Life of Houdini , triknya dilakukan di atas panggung dan namun di balik sebuah tirai. Butuh satu jam 10 menit bagi Houdini untuk bisa melepaskan diri dari belenggu baja itu. Banyak orang meragukan dan merasa bahwa Houdini curang. Mereka mengasumsikan Bess, istri Houdini, mengoper kunci tersembunyi di mulutnya kala mencium Houdini di panggung sebelum tirainya ditutup. Meski misteri trik ini belum terpecahkan, Houdini tetap keluar gedung dengan riuh tepuk-tangan penonton. Houdini pun menganggap trik itu yang tersulit sepanjang kariernya. Setidaknya ada 10 trik sohor dalam sepakterjang Houdini yang kian membuat harum namanya sebagai pesulap dan escape artist. Selain “Handcuff Act”, Houdini juga sohor lewat trik-trik Naked Test Prison Escape, Overboard Box Escape, Vanishing Elephant, Needle Trick, Walking through a Brick Wall, Metamorphosis, Milk Can Escape, Chinese Water Torture Cell, dan Straitjacket Escape. Sejumlah penggemar Houdini yang turut mengikuti jejaknya, kadang mengombinasi beberapa trik Houdini. Namun tidak semua mampu. Beberapa di antaranya tinggal nama, sebagaimana Lahiri di India. Triknya seolah menduplikasi trik Overboard Box Escape minus peti. Aslinya trik ini dilakukan Houdini di East River, New York pada 7 Juli 1912. “Houdini dibelenggu dengan borgol di tangan dan kakinya, kemudian direbahkan ke dalam peti yang dipaku. Lalu petinya diturunkan ke air. Dia meloloskan diri hanya dalam waktu 57 detik,” singkap Doug Henning dalam Houdini: His Legend and His Magic. Poster pertunjukan Harry Houdini melakukan trik sulap Milk Can Esccape. (New York Public Library). Seperti disebutkan di atas, Lahiri menambah daftar peniru Houdini yang berakhir tewas. Jauh sebelum itu, ada Genesta alias Royden Joseph Gilbert Raison de la Genesta. Ia tewas saat mengimitasi trik Milk Can Escape –yang sukses dilakoni Houdini pada 1908, di mana tangannya diborgol dan tubuhnya dimasukkan ke tong susu berisi air– pada 9 November 1930 di Teater Vaudevill di kota Frankfort, Kentucky, AS. Sampai waktu yang ditentukan, Genesta tak jua menampakkan diri. Para asistennya yang panik segera membuka segel tong kaleng susu secara paksa. Genesta pun dilarikan ke rumahsakit tapi nyawanya tak tertolong. Dari penyelidikan akhir, dikatakan, penyebab kematian adalah salah satu bagian tong bengkok, membuatnya tak punya ruang untuk berupaya meloloskan diri. Modifikasi trik Houdini juga mendatangkan ajal buat Karr the Magician. Pesulap bernama asli Charles Rowen itu mencoba meniru trik Straitjacket Houdini di Afrika Selatan. Mulanya Rowan diikat dengan straitjacket atau baju pengekang dan akan meloloskan diri sebelum dirinya ditabrak mobil dari jarak 180 meter dengan kecepatan 72 kilometer per jam. Hitungan matematis memberikan Rowan waktu 10-15 detik untuk meloloskan diri. Sayang, kenyataannya maut tak dapat dibendung kala Rowan mempertunjukkannya ke publik di Balai Kota Springfontein. James D. Robenalt dalam Linking Rings: William W. Durbin and the Magic and Mystery of America mengatakan, sang peniru Houdini itu justru gagal melepaskan diri dari baju pengekang tepat waktu. Tubuhnya keburu terpental mobil yang menabraknya. Joseph Burrus melakukan trik Buried Alive yang menewaskannya. (abc30.com) Pesulap lain yang gagal dalam meniru trik Houdini dan menemui ajalnya adalah Joseph W. Burrus atau Amazing Joe. Dia tewas justru saat mengadakan pertunjukan untuk memperingati 64 tahun kematian Houdini di sebuah malam Halloween 1990. Mengutip laporan suratkabar Los Angeles Times , 1 November 1990, Joe melakoni triknya di taman hiburan Blackbeard’s Family Fun Center dan sebelum beraksi, dengan pede-nya ia mengklaim dirinya lebih hebat dari Houdini. “Saya adalah ahli ilusi dan meloloskan diri. Saya percaya bahwa saya adalah Houdini berikutnya dan akan jadi lebih hebat darinya,” kata Joe. Joe melakoni trik Buried Alive. Dalam trik itu, ia akan berbaring di peti mati dalam keadaan tangan diborgol dan kaki dirantai. Peti itu lantas dimasukkan ke dalam sebuah lubang dan diuruk semen basah dan tanah seberat sembilan ton. Nahas, saat semen cair dituangkan, terdengar bunyi retakan peti. Saat para kru menyelamatkan Joe, semuanya sudah terlambat.*
- Ketika Gula Berjaya di Clappa-doa
CATATAN perdagangan milik pemerintah Inggris untuk Hindia Timur menyisakan teka-teki tentang aktivitas jual-beli gula dan tebu para pedagang Tionghoa di Banten. Arsip yang tersimpan di India Office Records, London, Inggris itu menyebut sebuah tempat di Kesultanan Banten: “Clappa-doa” (Kelapadua), yang menjadi pusat kegiatan ekonomi orang-orang Tionghoa di sana. Kelapadua sendiri saat itu merupakan perkampungan yang sebagian besar diisi oleh orang-orang Tionghoa. Sebagai pedagang, masyarakat di sana memilih untuk menanam tebu dan mengolahnya menjadi gula. Bahkan ketika arus perdagangan sedang ramai oleh lada dan pala, para pengusaha Tionghoa di Kelapadua tidak ikut latah. Itulah pemerintah Inggris memanfaatkan mereka. Dalam arsip tertua pemerintah Inggris di Banten (1635), hubungan dagang antara pihaknya dengan orang-orang Tionghoa dan Kesultanan Banten telah teralin baik. Hampir tidak ada konflik yang terjadi. Hasil pertanian yang diperdagangkan sebenarnya cukup beragam, tetapi bagi pedagang Tionghoa gula menjadi yang utama. “Para pedagang dari loji Inggris di Banten pergi ke Kelapadua untuk membeli sebanyak mungkin gula yang dapat dimuat di dalam kapal-kapal mereka,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII . Tidak main-main, pejanjian dagang antara Inggris dan pedagang Tionghoa itu diatur dalam sebuah kontrak dagang yang diawasi langsung oleh Sultan Banten, Pangeran Ratu atau Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651). Sebelum Inggris datang, tidak ada catatan yang menjelaskan tentang kegiatan perdagangan gula orang-orang Tionghoa. Tetapi dari beberapa catatan yang berasal dari sumber lisan, Claude menyimpulkan bahwa kegiatan sebelumnya hanya dilakukan dalam lingkup yang kecil. Para pengusaha gulu di Kelapadua menjual hasil pertaniannya pada warga lokal. Selain itu mereka juga mengirimkan sebagian hasilnya ke luar Banten (Batavia, Cirebon, dan Jepara) untuk dijual oleh pedagang Tionghoa lain. “Pengiriman gula dari Banten ke Batavia pada 1637 dilakukan melalui Sungai Angke. Begitu juga dengan wilayah Cirebon dan Jepara,” tulis Claude Guillot dan Jacques Dumarcay dalam The Sultante of Banten . Pada kontrak pertama dengan Inggris, Februari 1638, sebanyak 8 pabrik gula dan 6 keluarga Tionghoa penanam tebu setuju untuk memenuhi kebutuhan dagang pemerintah Inggris selama 3 tahun. Mereka hanya boleh menjual hasil pertanian mereka kepada Inggris. Sultan pun memberikan pengawasan yang ketat kepada para pengusaha Tionghoa tersebut. Dengan menyutujui kontrak dagang tersebut, orang-orang Tionghoa itu harus menjual 100.000 batang tebu setiap tahunnya kepada Inggris. Praktis pemerintah mendapatkan 600.000 batang tebu dari 6 keluarga Tionghoa yang ada di dalam kontrak. Kemudian para pemilik pabrik gula, sebagai tempat mengolah tebu, menjanjikan jumlah yang cukup besar, yakni 450 pikul (sekitar 2,8 ton) gula untuk setiap 100.000 batang tebu. Mereka juga sangat yakin dengan kualitas gula yang dihasilkan. Terbukti setelah dua tahun berjalan, pemerintah Inggris segera membuat kontrak baru dengan para pengusaha gula tersebut. Pada 26 Agustus 1640, kontrak kedua disetujui dengan isi yang sama. Namun di dalamnya ditambahkan beberapa kebijakan baru, terkait hubungan para pedagang Tionghoa dan sultan Banten. Calude menyebut pemerintah Inggris menambahkan hak-hak khusus kepada sultan dan pemerintahannya. Kesultanan Banten boleh menggunakan tenaga, bahkan lahan orang-orang Tionghoa untuk menggarap hasil pertanian selain gula, selama masa panen telah selesai. Sultan juga diberi hak mengambil gula sebanyak 2 kati (sekitar 1,5 kilogram) atau lebih selama itu untuk konsumsi pribadi. “Catatan dagang Inggris ini memberikan indikasi tentang sejauh mana orang Inggris menguasai perdagangan bahan ini (gula) pada zaman itu di Banten,” tulis Claude. Kawasan pabrik gula Kelapadua terus melakukan aktivitas produksinya hingga kedatangan Belanda pada 1682. Setelah, menancapkan kekuasaannya di Banten, Belanda memindahkan kegiatan produksi gula ke Tanara dan Tanggerang. Hal itu dilakukan agar pendistribusian ke Batavia, sebagai basis perdagangan mereka, lebih mudah dan cepat. Claude dan Jacques mencatat kegiatan produksi gula di Banten terus menurun sejak pertengahan abad ke-19. Akhirnya ketika memasuki abad ke-20, pemerintah Belanda memindahkan seluruh aktivitasnya ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta beberapa pabrik kecil di Jawa Barat.
- Upaya Memberantas Cacar
SAAT tiba di Jawa pada 1811, John Crawfurd, dokter berkebangsaan Inggris, disambut wabah cacar. Menurutnya, penyakit cacar telah menimbulkan kekacauan luar biasa di kalangan pribumi. Di Pekalongan, cacar menyerang tiap dua-tiga tahun sekali, sementara di Surakarta dan Yogyakarta cacar menjadi penyakit paling mengkhawatirkan sebelum 1820. Dari seluruh anak yang lahir di Yogyakarta pada 1820-an, 10 persen di antaranya meninggal karena cacar. Cacar sudah ditemukan di Jawa sejak awal abad ke-17. Pernyakit tersebut diperkirakan masuk ke Jawa melalui Batavia pada 1644. Kasus cacar kemudian makin parah dan mewabah lantaran belum mutakhirnya obat dan kelangkaan jumlah tenaga medis. Pada abad ke-18, penyakit cacar sudah menyerang Priangan, Bogor, Semarang, Banten, dan Lampung. Diperkirakan ada 100 penduduk Jawa terserang cacar pada 1781, 20 di antaranya meninggal dunia. Virus ini rentan menyerang bayi yang daya tahan tubuhnya masih rendah. Pada akhir abad ke-18 tingkat kematian bayi karena cacar di Bogor dan Priangan mencapai 20 persen. Intensitas serangan cacar makin naik pada abad ke-19 hingga memunculkan temuan bahwa pada masa tertentu, suatu penyakit akan muncul (siklis). Di beberapa daerah, cacar muncul tiap tujuh tahun sekali. Di Pekalongan, cacar muncul dua tahun sekali di mana terjadi puncak-puncak wabah pada 1820, 1835, 1842, 1849, 1862, dan 1870. Dari 1019 bayi yang lahir, setidaknya 102 yang meninggal akibat cacar. Tingkat kematian akibat cacar pada anak di bawah 14 tahun juga tinggi, antara 10-30 persen. Usaha penanggulangan cacar pun sudah dilakukan sejak penyakit ini muncul. Sebelum vaksin ditemukan, variolasi jadi langkah medis pertama untuk pencegahan dan penanganan cacar. Variolasi dilakukan dengan menginfeksi pasien dengan virus cacar berkadar ringan. Tubuh pasien yang terpapar cacar ringan akan membangun antibodi yang menghindarkan pasien dari penyakit cacar parah yang mematikan. Percobaan pertama variolasi dilakukan dokter muda J van der Steege kepada 13 pasien cacar, beberapa di antaranya anak-anak, di Batavia pada 1779. Hingga 1781, 100 penderita cacar telah divariolasi di Batavia. Namun risiko penyembuhan dengan metode tersebut juga tinggi, mulai dari bekas luka borok parah hingga meninggal dunia akibat tak cukup kuatnya daya tahan tubuh pasien. Vaksin cacar yang ditemukan pada akhir abad ke-18, baru digunakan di Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Vaksin cacar pertama tiba di Batavia pada Juni 1804 dengan diangkut kapal Elisabeth dari Pulau Isle de France. Sebelum sampai ke Batavia, vaksin ini dibawa dari pusat pengembangan vaksin di Jenewa, kemudian dikirim ke Baghdad dan Basra, lalu singgah ke India. Dari India, vaksin ini dibawa ke Isle de France lalu diteruskan ke Hindia. Begitu diterima di Batavia, vaksin langsung dikirim ke Surabaya, Semarang, Jepara, Surakarta, dan Yogyakarta. “Upaya vaksinasi cacar besar-besaran dilakukan pada masa pemerintahan Raffles dengan memperluas daerah operasi di luar daerah Surabaya, Semarang, dan Batavia,” tulis Baha’Udin dalam “Dari Mantri hingga Dokter Jawa” yang dimuat dalam Humaniora Oktober 2006. Namun, adanya vaksin belum mengatasi masalah lantaran kurangnya dokter yang bertugas menyembuhkan sekaligus mendistribusikan vaksin. Akibatnya, ketika wabah cacar menyerang Banyumas pada 1847, pemerintah kolonial kelimpungan. Wabah itu menewaskan buruh-buruh pekerja perkebunan, yang mengganggu perekonomian Hindia. Keadaan makin sulit karena adanya interaksi antara para buruh dengan tuan tanah atau mandor yang mengakibatkan orang kulit putih khawatir tertular cacar. Lantaran cepatnya virus cacar menyebar, pemerintah kolonial mengirim banyak dokter yang semua orang Belanda ke berbagai daerah. Namun jumlahnya tetap tak memadai, terlebih ditambah dengan banyaknya dokter yang enggan ke pelosok dan memilih menetap di kota. Para pribumi di kampung pun banyak yang meninggal akibat cacar. Untuk menanganinya, pemerintah lalu mendirikan Sekolah Dokter Djawa di Batavia pada 1851. Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan dengan masa studi 2 tahun dan 17 mata pelajaran yang disampaikan dengan bahasa Melayu itu. Para murid tinggal di asrama. “Alasan utama dibukanya Sekolah Dokter Jawa ialah dibutuhkan tenaga untuk memberikan vaksinasi atau menjadi vactinateur cacar. Penyakit cacar masih jadi masalah besar yang bisa merenggut nyawa kala itu. Penyakitnya menular sampai ke desa-desa sementara tenaga medis belum memadai,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an. Pada tahun pertama pembukaannya, hanya ada 12 siswa yang mandaftar. Jumlah itu naik tahun berikutnya jadi 11 siswa. Setelah 5 tahun berjalan, sekolah ini sudah mencetak 23 dokter jawa yang bertugas sebagai mantri cacar. Sementara, untuk memudahkan distribusi vaksin ke Hindia, pada 1870 pemerintah Belanda mendirikan perhimpunan produsen dan distributor vaksin cacar. Tiap 2-3 bulan sekali vaksin cacar dikirim dari Amsterdam, Rotterdam, Utrech, dan Den Haag. Sejak itu, penyakit cacar tak seganas di masa sebelumnya.





















