top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Adu Jangkrik dari Tiongkok ke Nusantara

    JANGKRIK telah menjadi perhatian orang Tiongkok sejak 300 SM. Buktinya adalah lukisan jangkrik. Sejak sebelum Dinasti Tang, 500 SM-618 M, masyarakat Tiongkok telah mengagumi suara jangkrik. Mereka pun mengadu kerik jangkrik. Kegemaran pada suara jangkrik berlanjut hingga era Dinasti Tang (618-906 M). Mereka mengurung jangkrik ke dalam kandang yang terbuat dari bambu.  Pada era Dinasti Song (960-1278 M) yang diadu adalah fisik si jangkrik. Sejak itu, muncul permainan adu jangkrik yang digemari anak-anak hingga dewasa. Begitu populernya jangkrik, sampai-sampai ada “menteri jangkrik” yang dijabat oleh Jia Shi Dao (1213-1275). Selama menjabat, dia menyumbangkan buku tentang jangkrik berjudul : “Dia sampai dituduh melalaikan tugas kerena obsesi dan gairahnya mengadu jangkrik. Tapi kala itu juga terdapat puisi mengenai ‘suara jangkrik’,” kata Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang. Bukan hanya “menteri jangkrik”, penguasa Dinasti Ming, Xuande (1425-1435 M), dijuluki “kaisar jangkrik” karena gemar mengadu jangkrik. Di lingkungan istana, jangkrik begitu dihargai. Tiap tahun ribuan jangkrik terpilih dikirim ke ibukota. Jangkrik yang hebat mendapat harga yang tinggi. Jangkrik pun untuk pamer kekayaan dan gengsi. “Terdapat kisah seorang petugas lumbung beras yang rela menukar kuda terpilihnya dengan jangkrik yang tangguh,” kata Dwi.   Adu jangkrik bisa membuat orang kaya mendadak. Namun, tak jarang menghacurkan perekonomian keluarga. Karenanya pada era Dinasti Qing (1644-1911) adu jangkrik secara resmi dilarang. Namun, pada periode tertentu Dinasti Qing, adu jangkrik masih dihadirkan dalam olahraga nasional setiap musim gugur. Di Nusantara, sayangnya belum diperoleh bukti tekstual pra Kesultanan Mataram soal adu kerik maupun fisik jangkrik. Namun, kuatnya pengaruh Tiongkok sangat mungkin membawa kebiasaan ini masuk ke Nusantara. Pada era Kesultanan Mataram, adu jangkrik menjadi kegemaran orang Jawa dan kalangan Tionghoa peranakan. Sejarawan Denys Lombard menyebutnya dalam  Bahkan, ketika masa pemerintahan Hamengkubuwono VII (1877-1921) adu jangkrik masuk lingkungan keraton. Para bangsawan dan pedagang kaya di Kota Gede mengadakan pertandingan adu jangkrik tiap Selasa dan Jumat. Menurut Tjan Tjoe Siem dalam artikel “Adoe Jangkrik”, yang dimuat majalah  tahun 1940, pada awal abad ke-20, adu jangkrik sebagai praktik perjudian ramai dilakukan di Jawa Tengah. Tidak sedikit orang Tionghoa ikut (adu jangkrik) di musim jangkrik.  “Pusat-pusat aduan jangkrik yang taruhannya tidak kecil berada di Magelang, Yogyakarta, dan Solo. Pada tahun 1901 diadakan pertandingan besar ‘adu jangkrik’ di Semarang,” ujar Dwi. k

  • Asal Usul Umpatan Jangkrik

    JANGKRIK hadir di bumi sejak 48 juta tahun lalu. Terbukti dengan ditemukannya fosil jangkrik yang terperangkap dalam getah pohon di Kolombia. Orang Indonesia menyebutnya cengkerik, jangkerik, atau jangkrik, yang memiliki unsur atau . “Penamaannya diberikan secara , yaitu sebutan yang mendasarkan kepada produksi bunyi dari yang diberi nama,” kata Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang. Nama “jangkrik” muncul di Jawa paling tidak pada masa Jayabaya memerintah di Kadiri (1135-1157 M). Kata terdapat dalam kakawin , dan , yang menujuk binatang sejenis jangkrik. Mpu Panuluh, penggubah kakawin , menyebut jangkrik dalam kalimat Artinya, “ada jangkrik berbunyi di celah itu.” Jangkrik kemudian menjadi umpatan. Barangkali awalnya hanya di kalangan orang Jawa Timur. Kian populer setalah Kasino menyebutnya dalam film tahun 1980-an. Menurut Dwi, umpatan jangkrik muncul untuk memplesetkan umpatan agar tak terlampau kasar. Di kalangan orang Jawa Timur, muncul pula sejumlah kata bentukan dari jangkrik yang bernada umpatan: menghaluskan , untuk ; ada pula kalimat umpatan (emang dasar jangkrik kamu!) untuk . Dengan memakai jangkrik, alih-alih orang yang diumpat biasanya tak marah. “Tak seperti ketika diumpat dengan umpatan ataupun kata-kata jadiannya. Malahan, justru ketawi-ketiwi mendapatkan umpatan itu,” ujar Dwi. Istilah , menurut Dwi, viral di Jawa paling tidak sejak 1968 ketika lagu  dipopulerkan penyanyi asal Solo, Waljinah. Lagu ini digemari dan dinyanyikan masyarakat Jawa.  Jangkrik genggong salah satu jenis jangkrik yang punya tanda kuning melingkar di lehernya seperti kalung. Biasanya dimanfaatkan untuk pakan burung, pengusir tikus, aduan, atau sebagai peliharaan.  “Dalam konteks umpatan, kata jangkrik memperoleh arti yang sama sekali tak terkait dengan dunia hewan, namun masuk ke dalam dunia ujaran manusia,” kata Dwi.  Jauh sebelum lagu  , jangkrik telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. “Aktivitas adu jangkrik, memperdengarkan suara merdu jangkrik , ataupun petualangan jangkrik (mencari dan mendapatkan jangkrik, ), adalah sebagian dari masuknya jangkrik ke dalam dunia keasyikan manusia,” kata Dwi.

  • Mozart Lapangan Hijau

    PIALA Dunia 2018 Rusia buat Jerman adalah petaka. Tak hanya gagal melewati fase grup, tim asuhan Joachim Löw itu bahkan jadi juru kunci di grup. Rusia menjadi tempat Jerman mengulang pengalaman pahit di Piala Dunia 1938. Di Piala Dunia pra-Perang Dunia II itu Jerman angkat koper lebih cepat setelah kalah dari Swiss meski sudah mendapat tambahan sembilan pemain Austria. Namun, bisa jadi angkat kopernya Jerman karena asupan pemain dari Austria tak termasuk Matthias Sindelar. Maestro Wolfgang Amadeus Mozart dikenal sebagai salah satu komposer paling jenius sepanjang masa. Komposer asal Austria itu menghasilkan lebih dari 600 karya. Kebesaran nama Mozart itulah yang dijadikan julukan buat Sindelar. Sindelar pemain paling vital di Wunderteam , timnas Austria yang berkibar di era 1920-an hingga 1930-an. Style permainannya, terlebih kala melewati hadangan lawan, bak keindahan simfoni-simfoni Mozart. Publik Austria memujanya dalam maupun luar lapangan. “Sepertinya dia punya otak di kakinya dan banyak hal luar biasa dan tak terduga terjadi saat dia berlari. Tendangan Sindelar ke jaring gawang bagaikan pukulan tinju yang sempurna dan akhiran seperti itu membuat kita sangat paham dan menghargai kesempurnaan komposisi dari sebuah kisah yang diwakili pencapaian prestasi,” sanjung jurnalis dan kritikus Alfred Polgar pada suatu ketika, dikutip Kevin E. Simpson dalam Soccer under the Swastika . Anak Yatim Menggapai Bintang Putra dari pasutri Katolik berdarah Ceko yang berprofesi sebagai pandai besi, Jan Šindelář dengan Marie Svengrova, itu lahir pada 10 Februari 1903 dengan nama Matěj Šindelář. Dia lahir di Kozlov, Moravia yang kala itu masih jadi bagian Kekaisaran Austria-Hungaria (kini wilayah Republik Ceko). Sindi, nama kecil Sindelar, harus tumbuh sebagai anak yatim. Ayahnya ikut tewas dalam gejolak Perang Dunia I. Sebagai anak yang hidup serba pas-pasan, Sindi  hanya bisa menyalurkan hobi dengan bermain bola di jalanan. Namun, di situlah justru bakatnya berada. Setelah bergabung dengan klub amatir Hertha Wien, bakat Sindi kian terlihat hingga kemudian digaet klub yang lebih besar, FK Austria Wien, pada 1924. Prestasi apiknya membuat dia dipanggil masuk timnas Austria. Menurut data RSSSF 23 Februari 2017, dia menjalani debut dalam laga persahabatan kontra Cekoslovakia di Praha, 28 September 1926. Namun, tindakan indisipliner membuat Sindi dicoret pelatih Hugo Meisl empat tahun kemudian. Kebijakan Meisl itu menuai penentangan dari berbagai kalangan. “Meisl terpojok saat berargumen di Ring Café pada 1931 hingga berubah pikiran untuk memainkan Sindelar lagi,” ungkap David Goldblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Football . Meisl memanfaatkan comeback Sindi dengan mencoba metode barunya. Dia mengubah formasi menjadi 2-3-1-4 dan memposisikan Sindi sebagai playmaker , bukan lagi penyerang. “Sindelar menjadi perintis dalam posisi tradisional nomor 10 hingga sekarang. Dia merintis posisi playmaker , trequarista , posisi yang penting di era modern,” ujar Edward Couzens-Lake dalam Mapping the Pitch . Wunderteam Austria sekitar tahun 1931 bersama Matthias Sindelar (berdiri kedua dari kanan) sebagai kaptennya. (Foto: oepb.at) Hasilnya, Austria antara lain menjuarai Central European International Cup 1931-1932. Timnas Austria pun mendapat julukan Wundeteam alias Tim Ajaib. Maka di Piala Dunia 1934, Piala Dunia pertama yang menggunakan kualifikasi, Austria lolos. Wunderteam  berhasil mencapai semifinal sebelum akhirnya dijegal Italia 0-1. “Austria juga kalah di laga perebutan juara tiga dari Jerman. Sindelar tak bermain karena masih menderita setelah dicederai Monti,” ungkap Bill dan William J. Murray dalam The World’s Game: A History of Soccer. Namun, Austria mendapat hiburan dua tahun kemudian. Di Olimpiade Berlin 1936, Austria merebut perak di cabang sepakbola. Prestasi Sindi lebih bersinar di klub. Bersama Austria Wien, penyerang tengah itu menggapai bintangnya dengan mempersembahkan lima titel OFB Cup, satu titel Liga Austria, dan dua trofi Mitropa Cup. Austria Wien menjadi klub profesional pertama dan terakhir Sindi. Tawaran 40 ribu poundsterling dari raksasa Inggris Manchester United tak kuat menggerakkan hati Sindi untuk angkat kaki ke luar negeri. Anti-Nazi dan Misteri Kematian Piala Dunia 1934 Italia menjadi Piala Dunia terakhir Sindi bersama Wunderteam . Sebab, Piala Dunia 1938 Prancis batal diikuti Austria lantaran pada medio Maret 1938, tiga bulan jelang pembukaan Piala Dunia, negeri itu dicaplok Jerman yang dipimpin Hitler. Alhasil, semua badan olahraga, termasuk sepakbola, dilebur dengan Jerman. Austria yang lolos kualifikasi Piala Dunia pun harus rela bergabung dengan DFB (induk sepakbola Jerman) meski diberi kesempatan memainkan laga perpisahan melawan Jerman –menang 2-0 dan Sindi menyumbang satu gol. Sembilan pemain eks Austria seperti Rudolf Rafti, Hans Mock, dan Hans Pesser lantas berganti seragam. Tak ada nama Sindi di skuad Jerman yang diasuh Sepp Herberger. Sang kapten Wundeteam menolak tampil di bawah panji Nazi. Rumornya, Sindi menolak ikut tim Jerman di Piala Dunia 1938 karena merasa sudah terlampau tua (35 tahun). Namun, itu mungkin hanya excuse -nya. Prinsip anti-Nazi Sindi begitu kuat. “Dia seorang Sosial-Demokrat yang pro-Yahudi. Dia juga menentang dan tak segan tetap berhubungan dengan teman-teman Yahudi-nya terlepas adanya regulasi tentang itu,” sebut Tamir Bar-On dalam Beyond Soccer: International Relation and Politics. Akibat penolakan itu, keluarga dan rumahnnya selalu dalam pengamatan Gestapo (Polisi Rahasia Nazi). Terlebih, setelah dia membeli kafe milik Leopold Drill, seorang Yahudi yang terpaksa melepas hartanya sesuai hukum baru di Austria, di Annagasse seharga 20 ribu mark. Sindi akhirnya ditemukan tewas oleh temannya, Gustav Hartmann, dalam flat di lantai atas kafe yang baru dibelinya itu pada 23 Januari 1939. “Pagi 23 Januari 1939, Hartmann yang sedang mencari Sindelar, mendobrak pintu bawah dan (Sindelar, red .) tergeletak tak bernyawa dalam keadaan telanjang bersama kekasih yang baru dipacarinya selama 10 hari, Camilla Castignola,” tulis Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid: The History of Football Tactics . Hasil pemeriksaan rumahsakit mengungkap keduanya tewas akibat racun karbon monoksida. Itu diperkuat rekaman medis pemerintah Nazi yang menyatakan kerusakan perapian flat sebagai penyebab kematian. Hingga kini, misteri kematiannya masih belum terpecahkan. Namun, kuat dugaan dia dihabisi Gestapo. Untuk menutupi ulahnya, selain mengakali rekaman medis, pemerintah buru-buru memberikan upacara pemakaman secara terhormat di Zentralfriedhof. “Menurut undang-undang Nazi, seseorang tak bisa diberikan upacara pemakaman secara terhormat jika dia meninggal karena dibunuh atau bunuh diri,” ujar Egon Ulbrich, salah satu teman Sindi dalam sebuah dokumenter BBC , “Fascism and Football” tahun 2003.

  • Suzzanna "Bangkit" dari Kubur

    Sutradara Anggy Umbara menggarap film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur. Film produksi Soraya Intercine Films ini dirilis tahun 2018. Dalam wawancara di media, Anggy mengatakan film ini bukan remake , reboot , maupun biopic. Formulanya mirip film garapan Anggy sebelumnya, Warkop DKI Reborn (2016) . Kendati demikian, Anggy berjanji akan menyuguhkan sentuhan nostalgia dari film-film lama Suzanna. Termasuk adegan-adegan ikonik dalam film horor yang dimainkan Suzanna. Suzanna memang dikenal lewat film-film horor. Namun, kariernya tak dimulai dari genre film yang buat bulu kuduk merinding itu. Suzanna Martha Frederika van Osch nama lengkap aktris ini. Dia lahir di Bogor pada 13 Oktober 1942. Bakat seni mengalir dari orang tuanya. Ayahnya seorang pemain sandiwara. Ibunya seorang penyanyi bersuara merdu dan pernah menyumbangkan suara dalam siaran-siaran di Radio Republik Indonesia  Surabaya. Bakatnya kemudian ditemukan sutradara Usmar Ismail yang di kemudian hari dijuluki Bapak Perfilman Nasional. Ditemukan Usmar Ismail Menurut J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2007 , film Suzanna pertama adalah Darah dan Doa (1950) karya sutradara Usmar Ismail. Suzanna kala itu berusia delapan tahun. Di daftar nama pemain pada film itu, nama Suzanna tertera. Tujuh tahun kemudian Suzanna kembali bertemu dengan Usmar Ismail. Menurut majalah Varia, 11 November 1959, pertemuan itu terjadi di Yogyakarta pada 1957. Saat itu Suzanna mencoba peruntungan dengan mengikuti audisi pemain film Delapan Pendjuru Angin (1957) yang digarap Usmar. Suzanna gagal terpilih. Lantas dia diambil Usmar untuk bermain di filmnya yang lain. “Kepada saya, ditawarkan untuk ikut main film. Kemudian saya pergi ke Jakarta dan membuat film yang pertama, Asrama Dara, ” kata Suzanna. Namun jalan untuk bermain di film Asmara Dara juga tak semudah itu. Suzanna mesti mengalahkan para pesaingnya dalam kontes “Tiga Dara”, nama yang mengadopsi film sukses garapan Usmar pada 1956. Perfini mengadakan kontes itu di beberapa kota untuk mencari pemain film Asrama Dara, sebuah film drama musikal yang mirip Tiga Dara. Suzanna menang ketika mengikuti kontes itu di Yogyakarta. Bakat Suzanna yang saat itu berusia 16 tahun pun dipoles Usmar. Kemampuan aktingnya diasah. “Sekarang saya akan masuk menjadi siswa ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) yang dipimpin Om Usmar,” ujar Suzanna dikutip Varia . Dalam film Asrama Dara (1958), Suzanna memerankan seorang gadis lugu bernama Ina. Dia menjadi adik Anni (Nurbani Jusuf). Orangtuanya yang sibuk berpolitik dan sering cekcok, menitipkan mereka di asrama perempuan yang dipimpin Siti (Fifi Young). Film ini diisi bintang-bintang tenar pada 1950-an, seperti Bambang Irawan (Masrul), Rendra Karno (Broto), Bambang Hermanto (Imansjah), Chitra Dewi (Rahimah), dan Aminah Tjendrakasih (Tari). Berkat kerja keras dan aktingnya yang memukau dalam film Asrama Dara, Suzanna dilirik para sineas internasional. Majalah Varia edisi 20 April 1960 melaporkan, Suzanna terpilih sebagai aktris anak terbaik dalam film Asrama Dara pada Festival Film Asia ke-7 di Tokyo pada awal April 1960. Dia menang bersama Bat. A. Latiff, aktris anak asal Malaysia yang berperan dalam film Lela Manja. Buku Apa dan Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978 menyebut Suzanna juga terpilih sebagai Pemain Harapan dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1960. Absen Suzanna menikah dengan aktor Dicky Suprapto pada 1960. Bersama suaminya, dia mendirikan perusahaan Tri Murni Film. Perusahaan ini menghasilkan satu film, Segenggam Tanah Perbatasan (1965). Mereka menjadi pemeran utama. Setahun kemudian, mereka mendirikan Tidar Jaya Film. Perusahaan ini menghasilkan lima film, yakni Suzie (1966), Tuan Tanah Kedawung (1970), Beranak dalam Kubur (1971), Bumi Makin Panas (1973), dan Napsu Gila (1973). Selain film-film tadi, Suzanna tetap menerima tawaran dari perusahaan film lainnya. Salah satunya Bernafas dalam Lumpur (Sarinande Films, 1970) yang menonjolkan erotisme dan mencetak box office . Suzanna sempat absen berakting di layar lebar usai membintangi Ratapan dan Rintihan (1974). Penyebabnya: rumah tangganya berantakan. Akibatnya, perusahaan film mereka, Tidar Jaya Film, tak lagi beroperasi. Masalah tak berhenti di situ. Anak laki-lakinya, Arie Adrianus Suprapto, tewas dalam peristiwa penusukan pada 1977 oleh dua pemuda tak dikenal. Rentetan musibah ini membuat Suzanna terpukul. Suzanna menikah lagi dengan Clift Sangra, yang berusia jauh lebih muda darinya, pada 1983. Suzanna kembali ke dunia film kala bermain dalam Pulau Cinta (1978). Dua tahun kemudian dia membintangi Permainan Bulan Desember . Usai membintangi dua film drama itu, Suzanna memerankan tokoh hantu gentayangan bernama Alisa dalam Sundelbolong (1981). Sejak itu dia lebih sering memerankan karakter hantu-hantu khas Indonesia. Ikon Film Horor Hingga kini, di dalam benak para penggemar film, Suzanna adalah ikon film horor. Dia sukses memerankan karakter hantu-hantu khas Indonesia dalam film-filmnya, seperti Nyi Blorong (1982), Malam Jumat Kliwon (1986), dan Malam Satu Suro (1988). Dari 42 judul film yang pernah dimainkannya, tercatat ada 18 judul bertema horor. Menurut majalah Vista edisi Maret/April 1981, Suzanna memerankan tokoh jahat dunia mistis pertama kali dalam film Beranak dalam Kubur (1971) yang diproduksi perusahaan filmnya sendiri, Tidar Jaya Film. Suzanna mengatakan, punya kesenangan tersendiri dalam membawakan tokoh perempuan jahat seperti ini. Pada 1971 pula, Suzanna bermain dalam Air Mata Kekasih . Produser Rapi Film, Gope Satamtani, dalam Vista edisi Maret/April 1981 mengatakan film ini membawa andil besar bagi perusahaannya. Film ini mencatat sukses dan menghidupkan perusahaannya selama 10 tahun. Salah satu film horor Suzanna yang diingat publik adalah Sundelbolong (1981). Suzanna memesan 200 tusuk sate, dan kemudian minum kuah soto panas dari panci besar menjadi adegan paling dikenang dalam film ini. Selain itu, adegan Bokir menyanyikan lagu “Tembok Derita” di sebuah pemakaman lalu muncul Suzanna yang berperan sebagai Suketi, hantu gentayangan, dalam film Malam Satu Suro (1988) juga yang membekas dalam benak pecinta film nasional. Suzanna vakum dari dunia seni peran pada awal 1990-an. Dia kembali lagi lewat sinetron SelmadanUlar Siluman (2003) produksi Soraya Intercine Films. Hantu Ambulance (2008) menjadi film layar lebar terakhirnya. Suzanna wafat pada 15 Oktober 2008 di usia 66 tahun, karena penyakit komplikasi diabetes melitus. Sepanjang kariernya di dunia film, Suzanna pernah masuk nominasi penghargaan Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam FFI 1979 melalui film Pulau Cinta dan FFI 1982 melalui film Ratu Ilmu Hitam. Apakah film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur berhasil "membangkitkan" kembali sosok Suzanna?

  • Der Panzer Tersungkur

    DIFAVORITKAN di Piala Dunia 2018, sang juara bertahan Jerman malah tersungkur. Kekalahan 0-2 dari Korea Selatan di partai terakhir Grup F, Rabu (27/6/2018), mengakhiri perjalanan tim besutan Joachim Löw di Rusia. Bukan hanya para fans Der Panzer , para pengamat banyak yang terhenyak kaget bahkan kecewa. Eks pelatih dan pengamat sepakbola berdarah Jerman, Timo Scheunemann, juga geleng-geleng kepala. “Jerman gagal karena Löw lambat merombak tim walau amunisi pemain muda sangat banyak. Juga karena pemain tidak pede (percaya diri, red .),” ujar figur yang akrab disapa Coach Timo itu kepada Historia. Timo melihat para pemain yang komposisinya banyak berasal dari klub besar Bayern Munich itu belum pulih kepercayaan dirinya. Terutama pasca-kalah dari Real Madrid di final Liga Champions dan dari Eintracht Frankfurt di final DFB Pokal. Kekalahan Jerman dalam laga-laga ujicoba jelang Piala Dunia ikut menambah beban berat mereka . “Alhasil, Jerman bermain monoton tanpa kreativitas. Permainannya juga lamban dan pantas tidak lolos grup,” lanjutnya. Jerman menyandang juara bertahan terhenti di babak pertama, imbas kutukan sebelumnya? (Foto: fifa.com) Kegagalan Jerman juga menguatkan rumor kutukan juara bertahan Piala Dunia asal Eropa, para juara tumbang di fase grup Piala Dunia berikutnya. Jerman menambah deretan daftar itu setelah Prancis gagal di 2002, Italia di 2010, dan Spanyol di 2014. “Siklus atau kutukan-kutukan biasanya hanya sebuah kebetulan semata. Tapi kali ini saya rasa ada logika di belakangnya. Sudah empat juara bertahan tumbang di fase grup. Ini bukan kebetulan,” tandas Timo. Delapan Dasawarsa Silam Kegagalan di Rusia jadi kali kedua Jerman gugur di babak pertama Piala Dunia. Kegagalan pertama terjadi delapan dasawarsa silam di Piala Dunia 1938 Prancis. Kala itu Jerman juga difavoritkan. Alasan kuat yang melatarbelakangi pem-favoritan Jerman apa lagi kalau bukan sebagai penyandang juara tiga di edisi sebelumnya, serta berlimpahnya suntikan pemain dari Austria. Suntikan itu terjadi karena pada 12 Maret 1938 atau sekira dua bulan jelang Piala Dunia, Jerman di bawah Hitler menganeksasi Austria. Padahal, Austria dengan Wunderteam -nya sebetulnya sudah lolos kualifikasi. Kecuali sang kapten Matthias Sindelar yang menolak bermain di bawah panji Nazi, sembilan eks Wunderteam bergabung ke dalam tim Jerman besutan pelatih Sepp Herberger yang akan main di Prancis. Mereka antara lain Rudolf Rafti (kiper), Willibald Schmaus (bek), Stefan Skaumal (gelandang), dan Hans Pesser (penyerang). Pelatih Herberger, yang dimandatkan DFB (induk sepakbola Jerman) menampilkan komposisi starting IX antara pemain Jerman dan eks Austria dengan rasio 6:5 atau 5:6, kata David Goldblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Football , terpaksa menerapkan sistem “WM”. Dalam taktik itu, tiga penyerang dan dua gelandang tengah membentuk formasi huruf W sementara tiga bek dan dua pemain sayap membentuk formasi huruf M. Hampir semua pemain eks-Austria gagal paham sistem tersebut. “Tuan Herberger, saya takkan pernah mengerti sistem WM,” keluh pemain belakang eks-Austria, Willi Schmaus, dalam sebuah sesi latihan di Duisburg, dikutip laman resmi DFB, 1 Juni 2018. Sayang, Herberger tetap memaksakan sistemnya. Laga Jerman vs Swiss di partai perdana babak pertama Piala Dunia 1938, di mana Jerman juga tersingkir (Foto: dfb.de) Sistem itulah yang dipakai Jerman ketika memainkan laga perdana Piala Dunia di Stadion Parc des Princes, Paris, 4 Juni 1938 kontra Swiss. Kedua tim bermain imbang 1-1. Hasil itu mengharuskan kedua tim memainkan pertandingan ulang. Lima hari berselang, keduanya bertarung lagi di venue yang sama dengan hasil getir buat pasukan Herberger. Jerman tumbang 2-4. Situasi politik membuat kekalahan Jerman jadi berita besar, terutama di Swiss. “Swiss tepuk dada membalas propaganda Jerman dengan headline karya Edwin Kleiner dari media SPORT : ‘60 juta orang Jerman melawan kami, tapi 11 pemain Swiss sudah cukup (mengalahkan Jerman)’,” tulis Walter Lutz dalam The Saga of World Football .

  • Kiper Keblinger Blunder

    SUDAH jadi “protapnya” bahwa seorang kiper tugasnya ya menghalau bola di bawah mistar gawang. Namun seiring perjalanan waktu, banyak kiper hobi keluar dari  sarangnya untuk mengamankan bola. Evolusi terus berkembang, kiper ikut bantu bikin gol seperti yang diupayakan kiper Jerman Manuel Neuer kala menghadapi Korea Selatan (Korsel) di Kazan Arena, Rabu (27/6/2018). Namun dewi fortuna tak menaungi kiper cum kapten tim Die Mannschaft itu. Di pengujung laga saat masih tertinggal 0-1, Neuer keluar areanya untuk membantu rekan-rekannya berharap menyamakan skor. Saat mengolah bola di bidang lapangan lawan, bolanya direbut Ju Se-jong yang kemudian mengirim umpan panjang ke arah gawang Jerman. Son Heung-min yang bebas tanpa pengawalan langsung menyambut umpan itu dan dengan mudah melesakkan bola ke gawang kosong. Sontak, Jerman keok 0-2 di matchday terakhir Grup F Piala Dunia 2018 itu. Sang juara bertahan gagal di fase awal, mengulang catatan pahit delapan dasawarsa silam di Piala Dunia 1938 di Prancis. Selain mengacungi jempol buat kegigihan para “Pendekar Taeguk” (julukan Korea), mata publik tertuju pada blunder keblinger Neuer. Banyak orang nyinyir, mengkritik, hinga mencela Neuer. Pelatih Joachim Löw bahkan tak hanya menyalahkan Neuer, tapi seluruh skuadnya. “Gagal lolos menjadi kekecewaan besar. Kami tak pantas memenangkan Piala Dunia lagi. Kami tak layak maju ke babak 16 besar,” ujarnya, dimuat laman FIFA, Kamis (28/6/2018). Namun, menurut eks pelatih cum pengamat sepakbola berdarah Jerman Timo Scheunemann, Neuer tak pantas dikambinghitamkan. “Itu no problem ya. Karena memang sikon (situasi dan kondisi) mengharuskan (Neuer ikut) maju,” ujarnya kepada Historia via pesan singkat. Toh, aksi kiper out-of-the-box dan gagal Neuer bukan yang pertama. Kegagalan Neuer mengingatkan kejadian serupa di Piala Dunia Italia 1990. Memori Getir Higuita Dari sekian banyak kiper yang getol keluar sarang, kiper Kolombia René Higuita mungkin paling ikonik. Kiper nyentrik bak rocker ini menjadi kiper pertama di Piala Dunia yang bikin blunder serupa Neuer. Blunder Higuita terjadi kala Kolombia menjalani laga 16 besar menghadapi Kamerun di Stadion San Paolo, Napoli. Kedua tim mengalami deadlock , 0-0, hingga 90 menit waktu normal. Tapi di babak tambahan, Kolombia tertinggal lewat gol Kamerun di menit 106. “Tertinggal 1-0, kami harus mengambil risiko. Saat itu kami juga belum berpengalaman,” kenang Higuita, dilansir laman FIFA, 24 April 2018. Pada menit 108, setelah menerima umpan backpass rekannya, Higuita mencoba menggocek bola menghindari hadangan striker Kamerun Roger Milla. Nahas, Milla mencuri bola itu. Sekuat tenaga Higuita menguber Milla. Lantaran tak terkejar, dia mengerahkan upaya terakhir dengan coba menekel dari belakang. Tapi Milla sudah keburu mendorong bola datar ke gawang yang kosong. Saat Albert Roger Mooh Miller alias Roger Milla (kiri) mencuri bola dari kaki Jose Rene Higuita Zapata/Foto: fifa.com Kolombia sempat memperkecil kedudukan lewat gol Bernardo Redín di menit 115. Namun itu tak cukup menyelamatkan Kolombia. “Masalahnya Redín membuat gol untuk menjadikan skor 2-1. Maka media-media di negara kami menyatakan: ‘Jika Higuita tak mengacau, kita (Kolombia) bisa imbang’. Jika kami kalah 2-0, 3-0, atau 4-0 mungkin (blunder itu) takkan dipermasalahkan,” sambung Higuita. Meski publik Kolombia marah, sang pelatih Francisco Maturana tak ikut-ikutan mengkambinghitamkan Higuita. Dia menganggap Higuita masih sangat muda dan tak adil untuk “dibunuh” kariernya hanya gara-gara satu blunder. “Semua orang menyalahkannya. Situasinya masuk akal karena kami sedang tertinggal. Setelah laga, saya ingat kata-kata Pedro Zape, mantan kiper legendaris Kolombia. Dia bilang: ‘Pemuda ini putus asa dalam tangis namun lihatlah dia- masih 23 tahun usianya dan apakah dia harus selalu sempurna?’,” ujar Maturana dalam The Blizzard: The Football Quarterly .

  • Denting Gitar dari Mancasan

    PEMBUATAN gitar secara massal, yang dikerjakan secara rumah tangga, di Indonesia, ada di Desa Mancasan, Sukoharjo, Jawa Tengah. Perintisan kerajinan gitar di desa ini, tak lepas dari peran lima orang laki-laki yaitu Jito Pawiro, Minarto, Tarjo Wiyono, Hadi Wiyono, dan Parno. Jito Pawiro, warga Mancasan, lahir sekira tahun 1935. Mereka belajar membuat gitar dari seseorang yang tinggal di daerah Danukusuman, Dawung, Solo. “Kelima orang ini sebenarnya masih ada ikatan keluarga,” ujar Sutono (48 tahun), putra keempat Jito Pawiro, kepada Historia . Danukusuman atau Danusuman merupakan sebuah kampung kecil yang berada di sisi selatan kota Solo. “Dalam pelafalan masyarakat, biasa terjadi perubahan. Misal, kampung Mlayakusuman, dari tokoh Mlayasuma,” tulis sejarawan Heri Priyatmoko melalui surel kepada Historia . Tempo doeloe, di sana terdapat tokoh terkemuka dari keraton Kasunanan Hadiningrat, bernama Danusuma. Kemudian hari, nama tokoh tersebut dicomot oleh masyarakat sekitar untuk menyebut kampung tersebut. Asal-usul nama kampung Danusuman sendiri memang mengacu pada tradisi pemberian nama tempat yang berdasarkan nama tokoh berlatar belakang pada jabatan seseorang yang pantas dihormati, kesetiaan orang, dan pengaruh orang tersebut terhadap masyarakat sekitar dan kerajaan. “Menilik tradisi sejarah kerajaan Mataram-Islam, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada abdi dalem atau sentana dalem kerajaan yang disegani oleh rakyatnya (kawula di sekitarnya). Para tokoh kerajaan itu, seperti halnya Danusuma, dihormati lantaran berkelakuan baik, berjasa kepada masyarakat dan raja, serta berwibawa atau masih keturunan bangsawan ( sentana dalem ),” catat Heri. Dari Mancasan, sekira tahun 1950-an, Jito Pawiro muda berjalan kaki menuju Danukusuman, sekira 10 kilometer, untuk belajar atau kursus membuat gitar. Dia harus merogoh 5 rupiah per bulan dan mendapat fasilitas makan di tempat kursus. Setelah berhasil menyerap ilmu membuat gitar, Jito Pawiro memutuskan membuka usaha kerajinan sendiri di kampungnya, Mancasan. Dia mulai menekuni secara mandiri pembuatan gitar, sekira tahun 1960-an. Produksinya kala itu tak banyak. Setelah cukup mapan, Jito Pawiro baru memutuskan untuk menikah. Dari pernikahannya ini, dia mempunyai tujuh anak. Dia mewariskan ilmu membuat gitar kepada anak-anaknya. “Enam dari tujuh putra bapak, menggeluti kerajinan gitar,” ujar Sutono. Jito Pawiro tak hanya mengajarkan membuat gitar, namun juga pembuatan biola dan gambus yang terkenal sangat rumit. Generasi berganti. Pemasaran pengrajin gitar di Mancasan berkembang menjadi lebih baik memasuki tahun 1990-an. Sutono sendiri mulai terampil membuat gitar sejak tahun 1994. Empat tahun kemudian, dia mendirikan usaha kerajinan sendiri bernama Gian Musik. Dan baru tahun 2010, dia mengurus izin resmi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat. Gian Musik milik Sutono mempekerjakan lima orang utnuk membuat gitar. Saat musim baik, dalam arti tidak hujan, bisa memproduksi sekira 120-an buah gitar per bulan. Jika pada musim hujan, hanya separuhnya. Alasannya, dia tidak memakai oven dalam proses pembuatan gitar, namun dengan cara konvensional, dijemur di bawah terik matahari. Kompas , 23 Oktober 2009, melaporkan berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sukoharjo tahun 2006 ada 162 unit usaha produksi gitar dengan produksi 169.700 lusin. Saat ini, di kelurahan Mancasan, ada sekira 200 pengrajin gitar yang tersebar di dukuh Kembangan, Ngrombo dan Wetan. “Tidak semuanya membuat gitar, namun ada pengrajin yang khusus bikin neck , body , bagian stem , bagian finishing ,” terang Sutono. Mereka pun mulai membuat paguyuban pengrajin gitar yang bernama Amanah yang beranggotakan 55 orang pengrajin. Paguyuban ini kemudian ditingkatkan statusnya menjadi koperasi. Kendala produksi gitar saat ini adalah faktor harga bahan baku. Gitar dengan kualitas nomor satu tentu memiliki bahan baku yang berbeda dengan gitar-gitar biasa. “Gitar kualitas nomor 1, neck -nya pakai kayu maple . Body depan pakai triplek cyprus , dan body belakang pakai meranti,” papar Sutono. Dia sendiri tidak bisa memenuhi pesanan dalam jumlah ratusan, sebab selain kendala bahan baku, mencari tenaga kerjanya pun sulit. Kini, kelima ‘satria bergitar’ perintis kerajinan gitar di Mancasan sudah uzur, bahkan Jito Pawiro sudah meninggal 20 tahun lalu. Dari mereka, nada merdu gitar Mancasan bergema ke seantero Nusantara.

  • Sepakbola Seniman Panggung

    TIM sepakbola bukan hanya milik klub profesional. Orang-orang dari dunia hiburan pun kepincut mereguk untung dari olahraga popular ini. Pada masa Hindia Belanda, sejumlah kelompok tonil –istilah saat itu untuk menyebut teater– membentuk kesebelasan sepakbola karena keuntungan yang diraup dari pertandingan sangat besar. Dalam bukunya Politik dan Sepakbola, Srie Agustina Palupi memberikan ilustrasi soal keuntungan itu. Dalam pertandingan yang diadakan Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) atau induk organisasi sepakbola Hindia Belanda di Bandung pada 1925, NIVB mendapatkan f10.633 dari penjualan 11.797 tiket. Selain itu, kelompok tonil memanfaatkan sepakbola sebagai daya tarik untuk menggaet penonton pertunjukan mereka. “Kalau kesebelasan rombongan opera atau sandiwara mencetak gol terbanyak, maka dengan sendirinya nama rombongan itu akan terangkat. Pertunjukan yang mereka adakan ikut terkenal dan dibanjiri penonton,” tulis Srie . Seni dan Sepakbola Miss Riboet Orion, kelompok tonil yang dibentuk Tio Tek Djien (T.D. Tio Jr) pada 1925, memiliki kesebelasan sepakbola yang cukup tersohor. Mereka menggelar pertandingan sepakbola di beberapa kota yang mereka singgahi. Misalnya, De Indische Courant edisi 23 Agustus 1937 melaporkan mereka melakukan pertandingan dengan klub asal Tiongkok, Nan Hwa, di Bandung. Hebatnya, kesebelasan Miss Riboet mengalahkan Nan Hwa 3-0. Menurut Japi Tambajong dalam Ensiklopedi Musik Jilid 2 , Miss Riboet membuat tradisi baru dalam kesenian. Setiap seniman musik dan teater yang ingin bergabung dalam rombongan itu harus menguasai seni dan sepakbola. Seorang manajer kelompok tonil, menurut Srie, mencari pemain-pemain sepakbola andal dari berbagai kota demi membentuk sebuah kesebelasan yang tangguh. Mereka mengambil pemain yang bersedia ikut keliling dan menanggung kebutuhan hidupnya. Para pemain umumnya tak menyia-nyiakan kesempatan ikut keliling bersama rombongan tonil. Sebab, mereka memiliki kesempatan untuk mendapat pengalaman bertanding melawan berbagai kesebelasan sepakbola di Hindia Belanda. “Tapi, jika kurang hati-hati dalam memilih kelompok opera atau sandiwara, membuat mereka terlunta-lunta tak keruan,” tulis Srie. Pertunjukan dan Pertandingan Selain Miss Riboet Orion, kelompok tonil yang masyhur pada masa kolonial, Dardanella, yang dibentuk Willy Klimanoff (A. Piedro) pada 1926, juga memiliki kesebelasan sepakbola. Biasanya, pemain yang melamar ke kelompok tonil dimasukkan ke dalam tim sepakbola dahulu, sebelum nantinya menjadi bagian dari orang panggung. Salah satu contohnya Rempo Urip, sutradara film tahun 1950-an. Menurut majalah Dunia Film edisi 1 April 1954, Rempo masuk sebagai anggota Dardanella pada 1934. Semula dia dipasang sebagai pemain sepakbola. Beberapa waktu setelah itu dia baru naik panggung. Seperti halnya Miss Riboet, Dardanella keliling ke sejumlah kota, melakukan pertunjukan dan bertanding sepakbola. Di dalam majalah Varia edisi 24 September 1958, Andjar Asmara, mantan penulis naskah Dardanella yang pernah menjadi sutradara, menulis bahwa pada 1934, kesebelasan Dardanella pernah melumat klub profesional paling top saat itu, Hercules, dari Batavia (Jakarta) 7-1. Menurut catatan Bataviaasch N ieuwsblad edisi 28 Mei 1934, pertandingan tersebut berlangsung di Decapark (sekarang bagian utara Monumen Nasional) pada 29 Mei 1934. “Willy (Klimanoff) sering ikut main (sepakbola) sebagai centervoor (gelandang) yang lihai,” tulis Andjar dalam Varia, 24 September 1958. De Indische courant edisi 1 Februari 1934 juga menulis, Dardanella pernah mengalahkan THOR (Tot Heil Onzer Ribben) asal Surabaya 5-1. Padahal THOR adalah kampiun kompetisi klub se-Jawa Timur 1934/1935. Tentu tak semuanya kisah kemenangan. Soerabaijasch handelsblad edisi 25 Januari 1934 pernah mencatat pertandingan seru antara Dardanella melawan Blitar Bondselftal. Dalam pertandingan tersebut, Dardanella kalah 1-3. Penonton pertandingan antara kesebelasan perkumpulan tonil dan klub profesional biasanya hanya berkisar ratusan orang. Soerabaijasch Handelsblad edisi 20 Januari 1934 melaporkan pertandingan antara Dardanella melawan Hua Chiao Tsien Ning Hui (HCTNH) Kediri. “Munculnya publik tidak besar. Lebaran menarik banyak minat dari orang Belanda, tetapi tidak lebih dari 200 orang. Klub Tiongkok (HCTNH) tidak cukup kuat, dan kalah 4-1,” tulis Soerabaijasch Handelsblad . Tanggungjawab Berlipat Srie Agustina Palupi menulis, Miss Riboet Orion dan Dardanella terkenal bukan hanya dari pertunjukannya, tapi juga dari kesebelasan sepakbolanya. Usaha yang dilakukan rombongan tonil memberi corak baru bagi dunia sepakbola. Tapi, para seniman tonil yang juga pemain sepakbola itu mengalami hidup yang berat. Mereka harus memikul tanggungjawab berlipat ganda. Siang hari mereka bermain sepakbola. Malam harinya mereka harus ikut bekerja di panggung. Gaji hanya cukup untuk makan, membeli rokok, dan sedikit kesenangan untuk membunuh waktu. Terlepas dari itu, Japi Tambajong menyebut sepakbola para seniman panggung ini menginspirasi toko olahraga dan musik di kemudian hari. “Mengawinkan seni dan olahraga itulah menyebabkan mengapa sampai sekarang di Jakarta sering terlihat toko-roko yang menjual alat musik sekaligus alat olahraga pula,” tulis Japi Tambajong .

  • Cak Roeslan, Yang Bertahan di Dua Zaman

    Sekali waktu Roeslan Abdulgani kedatangan tamu dua orang jenderal: KSAD Jenderal Ahmad Yani dan wakilnya, Letnan Jenderal Gatot Subroto. Saat itu, Menteri Penerangan Mohammad Yamin baru saja wafat pada 10 Oktober 1962. Kedua jenderal itu menyampaikan maksudnya terhadap Roeslan.   “Nanti kamu akan diminta Bung Karno menggantikan Yamin. Monyet, jangan sampai nolak, ya!” ujar Gatot Subroto. Roeslan tak terima. Dia marah. “Pak, saya bukan monyet,” katanya dengan nada berang. Yani segera menengahi. Ditenangkannya Roeslan yang merasa terhina. “Kamu jangan marah. Kalau Pak Gatot bilang kamu monyet, berarti dia senang.” Usai pertemuan itu, Roeslan menghadap Presiden Sukarno. Mereka membicarakan seputar jabatan yang akan diemban Roeslan. “ Ya, wis, ya, Cak (ya, sudah ya, Cak) . Kamu saya jadikan menteri penerangan,” ucap Bung Karno. “Baik. Tapi dengan syarat,” kata Roeslan. “Saya tidak mau didikte Bung Karno kalau soal menghadapi PKI.” “Ya, ya…,” jawab Bung Karno sebagaimana ditirukan Roeslan. “Bung Karno kan orangnya gampangan,” kenang Roeslan kepada Priyono Sumbogo pada 24 Juni 1989 dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah Jilid 2. Pada 1963, Roeslan menjabat menteri koordinator perhubungan rakyat sekaligus menteri penerangan. Sepanjangan era Demokrasi Terpimpin, dia menjadi salah satu tangan kanan kepercayaan Sukarno  yang terpenting. Roeslan lekat dengan predikat “Jubir Usman” yang berarti Juru bicara USDEK-Manipol. Juru Racik Ideologi Cak Roes – panggilan akrab Roeslan Abdulgani – lahir di Surabaya 24 November 1914. Ayahnya Haji Abdulgani seorang saudagar kaya sedangkan ibunya guru agama. Meski dari keluarga berada,  sejak usia pelajar dia sudah menjadi anggota organisasi Indonesia Muda. Memasuki zaman Indonesia merdeka, Roeslan tercatat sebagai kader PNI. Di masa revolusi, Roeslan menjadi juru bahasa pemerintah provinsi Jawa Timur untuk berunding dengan tentara Inggris. Menjelang Agresi Militer II, Menteri Penerangan Mohammad Natsir menariknya ke Yogyakarta. Sewaktu naik sepeda ke kantornya, Roeslan terkena tembakan mitraliur pesawat terbang Belanda dekat Kali Code. Tangannya terluka. Tiga jari hilang. Kedekatannya dengan Sukarno mulai terjalin saat penyelenggaran Konfrensi Asia Afrika pada 1955. Dalam perhelatan akbar negara-negara dunia ketiga itu, Roeslan bertindak sebagai sekretaris jenderal.   Setelah itu, Roeslan menjabat menteri luar negeri. Ketika Sukarno menetapkan Dekrit 5 Juli 1959, Roeslan diangkat sebagai wakil Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas memberi masukan kepada presiden. Patronase antara keduanya kian rapat. Sukarno memandang Roeslan sebagai penasihat terpercaya sekaligus pengimbang terhadap kubu kiri. Dalam DPA, Roeslan diberi kedudukan khusus sebagai ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi. Roeslan punya tugas baru merumuskan pemikiran Sukarno sebagai bahan indoktrinasi ideologi. “Roeslan Abdulgani adalah alat Bung Karno untuk melaksanakan indoktrinasi, khususnya dalam rangka pembangunan bangsa dan karakter,” tulis Subiyarto dalam tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Roeslan Abdulgani: Peranannya dalam Penerapan Pemikiran Bung Karno tentang Pembangunan Bangsa dan Pembangunan Karakter (1959—1965)”. Roeslan memformulasi indoktrinasi ideologi ke dalam tujuh pokok pemikiran. Panitia menerbitkannya ke dalam dokumen bertajuk Tudjuh Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi . Indoktrinasi ditujukan ke seluruh lapisan masyarakat. Isinya antara lain: UUD 1945, penjelasan Manipol-USDEK, ringkasan Pembangunan Semesta, dan kumpulan pidato Sukarno yang berjudul, “Lahirnya Pancasila”, “Manifesto Politik”, “Djalannya Revolusi Kita”, “Membangun Dunia Kembali”  Menurut Subiyarto, Roeslan adalah orang yang mampu menerjemahkan keinginan Sukarno. Roeslan piawai menangkap kebijakan dan doktrin politik Sukarno untuk disampaikan kepada khalayak. Hampir dalam setiap pidato, sambutan, prasaran, ceramah, kuliah umum, dan tulisan-tulisannya, Cak Roes mengutip ulang pernyataan Bung Karno dan menyisipkan ke dalam teks yang dibuatnya. Sebagai konsekuensinya, Roeslan dijuluki “Jubir Usman” atau sebagai epigon dari Bung Karno. Sebagai menteri penerangan, Roeslan cukup mendapat simpati di kalangan wartawan. Dia banyak memberi perhatian bagi perkembangan pers pada masa itu. Dalam berbagai kesempatan insan pers, selaku menteri penerangan Roeslan juga kerap memberikan materi indoktrinasi dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi. Berwajah Dua Memasuki paruh kedua 1965, spektrum politik cenderung ke kiri yang berujung prahara. Sikap kritis terhadap komunis menyebakan hubungan Roeslan dan Sukarno merenggang. “Bung Karno memang sudah dekat sekali dengan PKI, karena PKI pandai sekali cari muka,” kata Roeslan. Antara 1968—1972, Presiden Soeharto menempatkan Roeslan di PBB sebagai duta besar. Sepulangnya ke Indonesia, Roeslan pensiun. Namun pada 1978, Soeharto meminta Roeslan bergaung di tim BP-7, lembaga indoktrinasi ideologi Orde Baru. Reputasi sebagai “Jubir Usman” di masa sebelumnya membuat Soeharto membutuhkan servis Roeslan dalam pelaksanaan indoktrinasi. Roeslan kemudian mengepalai BP-7 selama hampir dua dekade. Menurut jurnalis kawakan Rosihan Anwar, Roeslan cenderung berwajah dua. Roeslan mau bekerja dalam rezim Orde Baru meski dia beranggapan, Soeharto terlibat G30S yang digunakan sebagai batu loncatan untuk mengambil alih kekuasaan selangkah demi selangkah, yang disebut creeping coup d’etat (kudeta merengkak). Sedemikian rupa lakon Roeslan dipanggung politik menempatkannya dalam persepsi yang beragam. “Ada yang memandangnya sebagai ikon nasional. Ada yang bilang Roeslan adalah manusia segala musim alias man of all seasons , kutu loncat politik, bertahan dalam rezim apapun,” tulis Rosihan dalam Sejarah Kecil Petit Histoire Indonesia Jilid 5: Sang Pelopor. Namun Rosihan lebih meyakini pendapat T.B. Simatupang yang mengatakan bahwa Roeslan seorang politikus sejati. Dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Roeslan Abdulgani: Mengabdi dalam Dua Jaman, Mawardi menyebutkan tiga faktor yang menerangkan keterlibatan Roeslan di rezim Orba. Dari segi kapabilitas, kemampuan Roeslan tak diragukan. Kedua, Roeslan tidak disukai PKI namun disukai Angkatan Darat. Ketiga, ini menjadi usaha Soeharto untuk tidak terlalu konfrontatif dengan orang-orang Sukarno. Roeslan sendiri menyadari imbas atas setiap langkah yang diambilnya. “Pada zaman dulu saya dicurigai, zaman sekarang pun ada yang dicurigai. Nah, curiga itu adalah konsekuensi bila kita ikut berpolitik. Di samping curiga, ada simpati. Saya tidak melihat dunia itu black and white , tetapi warna-warni,” ujar Roeslan. Cak Roes berumur panjang. Di usia senjanya, Roeslan masih sempat menyaksikan Indonesia memasuki fase reformasi. Sang politisi dua zaman meninggal di Jakarta pada 29 Juni 2005 dalam usia sepuh, 90 tahun.

  • Bola-Bola Piala Dunia (Bagian I)

    KHUSUS Piala Dunia 2018, FIFA menggunakan bola resmi yang kembali menyandang nama Telstar, tepatnya Telstar 18. Nama Telstar, bola buatan produsen alat olahraga asal Jerman Adidas, pertama kali eksis sebagai bola resmi Piala Dunia di Meksiko 1970. Seperti Telstar 1970, Telstar 18 juga dibuat di Pakistan. Sebelum Piala Dunia 1970, penetapan bola resmi dari FIFA belum ada. Lazimnya, bola dipilih tuan rumah. Desain panel bola zaman old umumnya mirip bola voli. Warna dasar bola juga bukan putih tapi beragam, dari kecoklatan hingga kekuningan. Merek bola zaman baheula bermacam-macam. Berikut aneka bola Piala Dunia sebelum 1970 dengan beraneka kisah di baliknya: Piala Dunia 1930: T-Model dan Tiento Bola Tiento (kiri) & T-Model (Foto: welcome2018.com) Sebagai penyelenggara, Uruguay sejak awal sudah menyediakan bola bernama T-Model atau Modelo T. Bola kulit jahitan tangan buatan John Salter & Son asal Aldershot, Inggris itu diimpor perusahaan asal Montevideo Clericetti & Barrela. Di Inggris, bola ini awalnya dinamai “Wembley” tapi kemudian diubah jadi T-Model yang diambil dari bentuk “T” pada 11 panelnya. T-Model masih polos, tak ada cetakan nama bolanya atau logo brand pembuatnya. Menjelang laga final kontra tuan rumah, 30 Juli 1930, Argentina memprotes penggunaan T-Model dan menuntut memakai bola sendiri bernama Tiento. Meski sama-sama punya ikatan tali kulit yang melekat, Tiento dengan desain 12 panel reguler ukurannya sedikit lebih besar dan berat ketimbang T-Model. Panitia akhirnya mengambil jalan tengah. “Penyelesaiannya ditengahi FIFA, di mana untuk babak pertama final, digunakan Tiento dan babak kedua diganti T-Model,” tulis Clemente Lisi dalam A History of the World Cup: 1930-2014 . Piala Dunia 1934: Federale 102 Bola Federale 102 buatan ECAS Roma (Foto: ontslokh.mn) Untuk Piala Dunia Italia 1934, penyelenggara menyediakan bola Federale 102 buatan Ente Centrale Approvvigionamenti Sportivi (ECAS) asal kota Roma. Menurut Clemente Lisi, penunjukan manufakturnya tak lepas dari kehendak dedengkot fasis Italia, Benito Mussolini, yang meminta FIFA mengizinkan Italia menyediakan bola sendiri untuk Piala Dunia “di rumahnya”.  Bola ECAS berwarna kecoklatan dengan desain 13 panel poligonal yang masih dijahit tangan. Setelah di- upgrade dengan mengganti ikatan tali jahitan dari bahan kulit ke bahan katun, bola ECAS jadi lebih soft dan lebih “ramah” untuk kepala pemain. Sebagai brand-awareness , satu sisi panel dilabeli nama dan pembuatnya sehingga ECAS menjadi bola pertama yang memampang nama produsennya. Bola-bola Piala Dunia setelahnya pun mengikutinya. Piala Dunia 1938: Allen Bola Allen yang dipergunakan di Piala Dunia 1938 (Foto: fifa.com) Perjalanan waktu membuat bola berubah kian baik. Sebagaimana dimuat situs resmi Piala Dunia 2018, welcome2018.com , bola standar sudah mulai berubah sejak 1937, bobotnya antara 410-450 gram. Ukuran standar yang dipakai hingga sekarang itu  sudah digunakan pada di Piala Dunia Prancis 1938 lewat bola bernama Allen. Bola Allen dibuat perusahaan Allen, produsen bola asal Prancis yang jadi supplier untuk beragam ajang sepakbola di negeri Napoleon itu sejak 1920-an. Bola Allen berdesain 13 panel jahitan tangan yang di setiap ujung panelnya dibuat berbeda –lebih membulat ketimbang sebelumnya. Efeknya, arah bola jadi lebih konsisten dibanding bola-bola sebelumnya. Bola Allen masih dilengkapi ikatan tali katun, tapi pada tali terdapat tulisan “Coupe du Monde. Allen Officiel”. Piala Dunia 1950: Duplo T Duplo T, bola buatan Superball di Piala Dunia 1950 (Foto: nomen.co.uk) Untuk Piala Dunia 1950 di Brasil, perusahaan Superball milik industrialis Luis Pole, Antonio Tossolini, dan Juan Valbonesi ditunjuk jadi produsen bola resminya. Superball lalu menciptakan bola yang lebih inovatif dari bola-bola sebelumnya, bernama Duplo T. Ke-12 panel Duplo T didesain tak memiliki jahitan sehingga Duplo T tak menyebabkan cedera pada pemain dan lebih konsisten jika disepak. Untuk Piala Dunia, Duplo T diproduksi dengan warna putih dan oranye untuk mempermudah visual para penonton di tribun stadion. Meski masih dibuat dengan jahitan tangan, Duplo T tidak memiliki jahitan luar. Jahitannya ada di sisi dalam bola. Menurut laman john-woodbridge.com , nama Duplo T diambil dari desain panel ganda yang berbentuk T. Duplo T juga jadi bola Piala Dunia pertama yang dilengkapi katup atau klep kecil agar bisa dipompa angin jika kempes. Piala Dunia 1954: Swiss World Champion Bola Swiss World Champions di Piala Dunia 1954 yang disimpan di Deutsches Fußballmuseum, Dortmund (Foto: Randy Wirayudha) Seperti bola-bola Piala Dunia sebelumnya, bola resmi Piala Dunia 1954 masih berbahan kulit dan dijahit tangan. Produsennya, Kost Sport yang berbasis di Basel. Oleh Kost Sport bola ini diberi nama Swiss World Champion (SWC). Situs FIFA 20 April 2010 menyebutkan, jika biasanya bola dibuat dengan 12-13 panel, Kost Sport membuat bolanya dengan 18 panel. Tiap ujung panel dibuat zigzag dan saling terjalin satu sama lain. SWC dirilis dengan dua versi warna: kekuningan dan oranye. Kedua warna dipilih agar bola bisa lebih terlihat oleh pemain maupun fotografer saat hujan dan lapangan becek. Piala Dunia 1958: Top Star Bola Top Star tengah diperiksa salah satu ofisial Piala Dunia (Foto: soccer365.com) Ada yang menarik di balik bola resmi Piala Dunia 1958 di Swedia, Top Star. Diberitakan BBC 4 Desember 2013, Top Star merupakan hasil seleksi dari 102 pabrikan yang mengikuti sayembara FIFA. Pemilihannya dilakukan bersamaan dengan drawing (undian grup) oleh empat perwakilan FIFA dengan metode blind test – pengujian terhadap sejumlah bola tanpa menyertakan identitas produsen – di Solna, 8 Februari 1958 . Bola Top Star yang terpilih ini hasil produksi Sydsvenska Läder och Remfabriken asal Ängelholm asal Swedia. Desain 24 panel reguler berukuran panjang dan pendek membedakan Top Star dari bola-bola terdahulu. Top Star memiliki lapisan lilin anti-air yang membuatnya tak menyerap air sehingga bobot bola tak bertambah ketika hujan. Untuk Piala Dunia 1958, Top Star dirilis dengan tiga warna: kuning, coklat terang, dan putih (khusus cuaca hujan). Piala Dunia 1962: Crack Bola Crack, dikatakan bola produksi gagal hingga harus diganti bola terdahulu, Top Star (Foto: fifa.com) Selain warna yang mencolok, nyaris tak ada yang baru dari bola Piala Dunia 1962 di Cile: Crack. Sheridan Bird dalam uraiannya, “Classic Footballs: A Selection of the Best Footballs through the Ages”, dimuat The Blizzard 1 September 2012, membeberkan, Crack merupakan produksi pabrikan lokal asal Santiago, Señor Custodio Zamora. Produsennya ditunjuk langsung oleh penyelenggara sehingga tak mengikuti metode sayembara seperti di Piala Dunia sebelumnya. Bola Crack dibuat dengan jahitan tangan dan memiliki desain 18 panel berbentuk heksagonal, heksagonal melengkung, dan persegi panjang. Bola Crack dirilis dengan warna kuning mencolok. Sayang, kualitasnya dipertanyakan. Lapisan warnanya cepat luntur dan kulit bola mudah rusak. Banyak kontestan Eropa mengeluh. Alhasil, lewat keputusan Ken Aston dari Komite Wasit FIFA, panitia mesti mendatangkan sekitar 100 bola Top Star untuk menggantikan bola Crack di beberapa laga.  Piala Dunia 1966: Challenge 4-Star Bola Challenge 4-Star di Piala Dunia 1966 jadi bola "jadul" terakhir sebelum era Adidas (Foto: historyoftheworldcup.com) Pemilihan bola yang buruk di Piala Dunia sebelumnya menjadi pelajaran tersendiri buat FA (induk sepakbola Inggris) jelang perhelatan Piala Dunia 1966 di rumah sendiri. Sebagaimana diungkapkan Sheridan Bird di The Blizzard , 1 September 2012, setahun jelang hari-H, FA mengadakan sayembara laiknya di Piala Dunia 1958 Swedia. Dari 400 bola pabrikan seluruh dunia, manufaktur Slazenger asal Derbyshire, Inggris yang lazim memproduksi peralatan cricket, memenangkan sayembara blind test FA. Bola produksi Slazenger untuk Piala Dunia 1966 dengan warna putih, oranye, dan kuning serta berdesain 24 panel persegi panjang lalu dirilis dengan nama Challenge 4-Star. Bedanya dari bola-bola lawas, Challenge dilengkapi katup udara/angin yang terbuat dari karet lateks. Ada kisah lucu di pengujung turnamen. Bola yang dipergunakan dalam laga final Inggris vs Jerman Barat sempat dibawa kabur pemain Jerman Helmut Haller. Setelah diambil kembali, bola ikonik itu disimpan dan dipamerkan di National Football Museum sejak 1996.

  • Kisah Martir Portugis di Aceh

    PADA awal abad ke-17, Portugis terus menerus dalam keadaan perang dengan Kesultanan Aceh. Kapal-kapal mereka yang bertolak dari Malaka atau Goa tak boleh singgah di Aceh. Ketegangan mereda pada September 1638. Sejarawan Prancis Danys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda  menulis, orang Portugis di Malaka atas perintah Raja Muda India, Pedro de Silva, mengirim utusan kepada Sultan Aceh, Iskandar Thani. Mereka bermaksud mengadakan perjanjian damai. Pengiriman itu juga terdorong oleh kemajuan Belanda. Mereka berharap Aceh berpihak pada mereka yang tak rukun dengan Belanda. Utusan itu dipimpin Francesco de Soza de Castro. Selain itu, turut juga Pierre Berthelot yang belum lama menjadi biarawan Carmes Dechaux dengan nama Romo Denis de la Nativite. Nakhoda asal Normandi itu mengabdi kepada sang raja muda sebagai pembuat peta. Kapal yang membawa utusan itu berangkat dari Goa. Mereka bentrok dengan Belanda di teluk pintu masuk Aceh. "Sesudah pertempuran dahsyat dan setelah Castro mendapat luka berat, Portugis berhasil mendobrak rintangan," catat Lombard. Sayangnya, Belanda lebih dulu mempengaruhi orang-orang Aceh bahwa utusan Portugis itu punya tujuan misionaris. Mereka pun mendapat sambutan tak ramah. Seorang utusan Kesultanan Aceh menjemput mereka. Saking parah luka yang diderita, orang-orang Portugis tak bisa naik gajah. Mereka lalu diangkut dengan permadani. Baru sampai di depan gerbang istana, sultan justru menyuruh menangkap mereka. Termasuk Berthelot, yang dibunuh dalam keadaan yang menyebabkan mereka kemudian dianggap martir. "Adapun Bruder de Soza ditebus oleh keluarganya dan dapat kembali ke Goa," tulis Lombard. Lombard menjelaskan, kisah ini didapat berkat Romo Philippe de la Tres Sainte Trinite, yang mengenal Berthelot di Goa. Dia punya andil dalam masuknya Berthelot ke dalam Ordo Carmes Dechaux. Philippe menyusun cerita tentang peristiwa itu dalam bahasa Latin berbentuk kisah kehidupan orang suci. Kisah ini lalu terbit sekira 1652 di Lyon dalam bahasa Prancis berjudul Voyage d’Orient . Beberapa bagian karya ini diterbitkan kembali oleh Ch. Breard dalam Histoire de Pierre Berthelot . Sumber lainnya adalah surat yang dikirim Francois de Soza de Castro untuk Pere General des Carmes di Roma. Sang pemimpin utusan itu menulisnya setelah dibebaskan dari tahanan pada 1643. Dia bersaksi, selama hampir tiga tahun dia mampu menahan kekerasan penjara yang sangat pahit dan sangat sempit. Dia juga menyaksikan enam puluh orang Portugis lainnya, rekan-rekan seperjalanannya ke Aceh menjadi martir. Dalam surat itu termuat pula bagaimana dua biarawan, Denis de la Nativite dan Bruder Redempt de la Croix, memilih dihukum mati ketika diminta masuk Islam. “Lebih dari yang lain, Romo Denis de la Nativite, Bapa pengakuan saya, dan Bruder Redempt de la Croix, biarawan yang keduanya patuh pada Paduka, yang pertama tidak hanya memberi nyawanya demi pengakuan iman kita yang amat suci, tetapi memperlihatkan dengan tegas betapa sedikitnya ia menakuti penyiksaan yang sangat kejam,” tulisnya.

  • Kostum Nyentrik Jorge Campos

    Jangan remehkan Meksiko. Mereka langganan Piala Dunia dan kerap mendapat julukan “kuda hitam”. Kendati pencapaian terbaik mereka adalah perempatfinal pada 1970 dan 1986, Meksiko punya andil dalam dunia sepakbola melalui sosok Jorge Campos Navarrete. Campos adalah penjaga gawang legendaris Meksiko. Kepiawaiannya menjaga gawang, gayanya yang eksentrik, dan cara berpakaiannya yang unik masih dikenang banyak orang. Campos menyita perhatian dunia pada Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Meski hanya bertinggi badan 1,7 meter, dia tangguh menjaga gawang Meksiko. Dari tiga pertandingan di babak penyisihan melawan Norwegia, Republik Irlandia, dan Italia, Meksiko hanya kebobolan tiga gol. Sayangnya, Meksiko tersingkir di babak 16 besar usai dikalahkan Bulgaria dalam drama adu penalti. Toh Campos mendapat hadiah hiburan karena dinobatkan sebagai kiper terbaik ketiga dunia oleh Federasi Sepakbola Internasional (FIFA). Selain tangguh di bawah mistar, Campos jadi sorotan dengan gaya kostumnya yang nyentrik: warna-warni mencolok dan kebesaran untuk ukuran tubuhnya. Menurut pengamat sepakbola Anton Sanjoyo, kostum dengan warna saling tabrak yang dikenakan Campos sudah jadi tren di olahraga tenis. “Sepakbola terkena imbasnya. Banyak kiper memakai kaus dengan warna seperti itu. Cuma, yang warnanya saling tubruk dengan model gombroh (ukuran kebesaran) yang pakai hanya Campos,” kata Anton kepada Historia. Campos kerap memakai kostum dengan warna berbeda dalam satu motif garis-garis horizontal atau zigzag. Dia mengkombinasi warna merah, ungu, hijau, kuning, dan merah muda. Terkadang, dia menyematkan tulisan “Meksiko” pada desain kostumnya. Terkadang pula menyematkan “Acapulco” di lengan atau kerah. Namun, yang paling sering, dia menyematkan tulisan “JC” (akronim dari Jorge Campos) dengan tanda tangannya di bagian bahu kanan. Sengketa Kostum Campos dilahirkan di Acapulco, 15 Oktober 1966. Acapulco merupakan sebuah kota pelabuhan besar di pantai Pasifik Meksiko, 380 kilometer selatan Mexico City. Masa muda Campos dihabiskan di pantai. Dia bermain sepakbola di atas pasir, lalu berselancar bersama teman-temannya bila sudah letih. Campos memulai karier profesionalnya bersama kesebelasan Club Universidad Nacional (Pumas/UNAM) pada akhir 1980-an. Di klub ini, Campos mulanya bukanlah penjaga gawang utama. Karena tak mau menjadi penghangat bangku cadangan, dia meminta pelatih kepala untuk ditempatkan sebagai striker. Tak sia-sia, selama dua musim Campos mengoleksi 14 gol. Campos baru dipercaya menjadi kiper pada musim berikutnya, dan punya andil membawa Pumas keluar sebagai juara liga. Dia pun terpilih memperkuat tim nasional Meksiko. Kala membela Pumas, Campos mendesain sendiri kostumnya. Menurut Grahame L. Jones dalam tulisannya “One Colorful Character: The Uniforms of Mexico’s Goalie Are Bold and Flashy by Design His Own” di Los Angeles Times edisi 16 Juni 1994, mulanya kostum Campos diproduksi di Acapulco oleh sebuah perusahaan bernama Sport. Label Surfer di kostumnya muncul pada 1989. Tak lama kemudian, Campos menandatangani kontrak dengan Nike, perusahaan alat-alat olahraga asal Amerika Serikat, untuk mendesain kostumnya. Pada 1990, Federacion Mexicana de Futbol Asociacion (Federasi Sepakbola Meksiko) meneken kontrak dengan Umbro, perusahaan alat-alat olahraga asal Inggris. Dengan kontrak tersebut, seluruh pemain tim nasional Meksiko wajib mengenakan kostum produksi Umbro. Campos, yang dipanggil memperkuat tim nasional Meksiko, menolak mematuhi kerjasama itu. Salah seorang pejabat federasi mengancam mendepak Campos dari timnas. Campos terancam tak bisa ikut dalam barisan pemain yang akan dikirim ke Piala Dunia 1994. Campos keras kepala. Dia tetap menolak mematuhi kerjasama itu. “Akhirnya, federasi mengalah dan kesepakatan tercapai. Campos pun dizinkan bermain dengan kostum hasil desain sendiri di turnamen (Piala Dunia 1994),” tulis Grahame L. Jones. Menjadi Tren Di perhelatan akbar sepakbola itu, kostum Campos menyihir mata dunia. Menurut Anton Sanjoyo, penampilan Campos dengan kostumnya yang nyentrik itu hanya sebuah cara agar terlihat beda. “Seperti Rene Higuita, kiper Kolombia tahun-tahun 1990-an,” kata Anton. Selain Campos, Higuita memiliki ciri khas yang diingat penggemar sepakbola hingga kini. Kiper berambut gondrong itu sesekali memamerkan atraksi tak biasa di lapangan hijau, yakni tendangan kalajengking. Menurut Grahame L. Jones, desain kostum Campos terinspirasi pasir, laut, dan matahari Acapulco, tanah kelahirannya. Campos juga terinspirasi pakaian para peselancar yang datang ke pantai di kota kelahirannya. “Aku terpesona pakaian brilian mereka. Warna-warna itu adalah identitasku. Mereka membentuk bagian dari kepribadian dan sejarahku,” kata Campos, dikutip Grahame L. Jones. Usai Piala Dunia 1994, Campos masih melanjutkan memakai kostum desainnya yang unik itu, baik di klub maupun tim nasional. Ian C. Friedman dalam buku Latino Athletes menulis, model kostum Campos menjadi tren anak-anak muda Meksiko pada 1990-an. Sementara menurut Richard Witzig dalam The Global Art of Soccer, model kostum Campos mengubah seragam penjaga gawang setelah generasinya. Kiper tak lagi memakai kostum dengan warna gelap dan senada. “Seragam kiper sudah berevolusi dari pola monoton ke multiwarna. Penjaga gawang Jorge Campos dari Meksiko adalah penyumbang utama yang ‘mewarnai’ kaus penjaga gawang pada 1990-an,” tulis Richard Witzig . Pumas adalah klub yang lama dibela Campos. Dia sempat pindah ke klub Amerika Serikat, yakni Los Angeles Galaxy dan Chicago Fire, sebelum kembali ke Pumas. Pada penghujung kariernya, Campos memutuskan pension dari lapangan hijau bersama Puebla yang dibelanya pada 2002-2004. Campos sempat menjadi asisten Ricardo La Volpe pada Piala Dunia 2006. Saat ini dia menjadi komentator televisi. Campos dikenang dunia hingga kini. Dia bukan saja seorang penjaga gawang ulung, tapi juga desainer yang nyentrik.

bottom of page