top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Syariat dalam Batu Bersurat

    Telah lama batu itu diletakkan di depan masjid. Ia digunakan sebagai pijakan untuk masuk ke dalam masjid. Setiap orang yang akan masuk masjid menyeka kakinya sehingga merusak beberapa bagian batu itu. Melihat tulisan pada batu itu, imam masjid menyuruh orang-orang untuk memindahkannya ke sungai. Pada 1889, seorang pedagang Arab dan peneliti timah, Sayid Husain Ibn Ghulam al-Bukhari menemukan batu itu di Sungai Teresat, dekat Kuala Berang, sekira 32 km dari muara Sungai Terengganu. Dia mempersembahkan batu kepada Sultan Zainal Abidin I, pendiri kembali Kesultanan Terengganu pada paruh pertama abad 18. Sekarang, batu yang disebut Batu Bersurat itu tersimpan di museum negara Terengganu. Penelitian terbaru dilakukan Ludvik Kalus, profesor dari Universitas Paris IV-Sorbonne. Dia melontarkan pendapat yang mengejutkan bahwa dilihat dari model tulisannya, Batu Bersurat berasal dari Kairouan, Tunisia, yang dibawa para pedagang Muslim sebagai jangkar kapal. Menurut Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, penemuan Batu Bersurat menunjukkan bahwa Islam telah ada dan mapan di Kesultanan Terengganu. Dua sumber menyebut Islam masuk ke Terengganu dari Samudera Pasai atau Champa. Batu Bersurat menjadi salah satu penemuan terpenting di Asia Tenggara dan contoh paling tua tulisan Arab-Melayu (Jawi). Ia juga menunjukkan telah ada tradisi menulis di Terengganu. “Kalau ada orang mengatakan hukum Islam tanpa melampirkan sumber bukti, kayanya hanya mimpi di siang bolong. Kita sebagai sejarawan harus bicara sumber. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Batu Bersurat merupakan bukti tertulis tertua mengenai hukum pidana Islam di Nusantara,” kata Ayang yang merampungkan master dan doktor di bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis. Dia membahas Batu Bersurat dalam bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX . “Hal paling penting dari Batu Bersurat itu adalah dekrit seorang raja Muslim yang memberlakukan hukum Islam kepada para penduduknya,” tulis Ayang. “Kita mungkin dapat mengatakan bahwa raja itu sangat berambisi untuk menyebarkan keyakinan barunya.” Hukuman Bagi Pezina Ayang melakukan alih aksara dari Jawi ke Latin dan membagi Batu Bersurat ke dalam tiga bagian: pembukaan (muka A), hukum yang diundangkan (muka B dan C), dan penutup (muka D). Pada bagian pembukaan, Raja Mandalika yang membuat undang-undang memerintahkan kepada Sri Paduka Tuhan untuk membangun dan memelihara keteraturan di Terengganu. Hukum yang diundangkan (muka B dan C) terdiri dari sembilan pasal: pasal 1-3 hilang, pasal 4-5 tentang hukum utang-piutang, pasal 6-7 tentang hukum zina, pasal 8 tentang saksi palsu dengan hukuman denda, dan pasal 9 tentang klausul umum untuk penghentian pembayaran denda. Pada bagian penutup (muka D), undang-undang menuntut kepatuhan semua penduduk Terengganu. Barang siapa yang tidak patuh akan dilaknat oleh Allah. Undang-undang tersebut diberlakukan pada 4 Rajab 702 H atau 22 Februari 1303 sebagai undang-undang negara. “Berdasarkan tarikh yang tercatat pada buku itu juga menunjukkan bahwa negeri Terengganu merupakan negeri terawal yang mempunyai undang-undang Islam secara tertulis,” tulis Zaini Nasohah dalam Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia: Sebelum dan Menjelang Merdeka . Menurut Ayang, Batu Bersurat menunjukkan kepada kita adanya mata rantai hukum, yaitu Dewata Mulia Raya (Allah), Raja Mandalika, dan sepuluh hukum. Mandalika kemungkinan besar adalah salah satu dari keturunan Raja Telanai yang pernah memerintah Terengganu. Nama Mandalika masih terus eksis hingga awal abad 16. Dari sepuluh hukum hanya pasal 6-7 yang paling jelas yaitu hukum tentang zina. Ada dua jenis zina, yaitu muhsan dan gayru muhsan . Muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah menikah dengan orang merdeka, sedangkan gayru muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah atau budak. Setiap orang yang melakukan zina dihukum dengan hukuman hadd , yaitu sanksi atas perbuatan yang dilarang yang hukumannya telah ditentukan di dalam Alquran. Perbuatan tersebut dilihat sebagai kejahatan melawan agama. Keempat mazhab hukum Islam Suni (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) sepakat bahwa hadd zina bagi muhsan adalah dirajam dengan batu atau apa pun hingga mati. Sementara hadd bagi gayru muhsan adalah 100 cambukan bagi orang merdeka dan 50 cambukan bagi budak. Hukuman tersebut berdasarkan Alquran dan Hadis. Terkait hukuman rajam untuk muhsan , Nabi Muhammad Saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “…Jika ia mengaku telah melakukan zina, maka rajamlah.” Adapun bagi gayru muhsan berdasarkan Alquran: “Bagi pezina perempuan dan pezina lelaki, cambuklah masing-masing 100 kali cambukan.” “Di sini kita melihat bahwa hukum yang ke-6 dari Batu Bersurat itu benar-benar merujuk pada hukum Islam,” tulis Ayang. Kendati demikian, Ayang menegaskan bahwa undang-undang itu membedakan antara orang biasa dan bangsawan, seperti keluarga raja. Tampaknya hukum Islam diterapkan hanya untuk orang-orang biasa, sementara untuk kelas elite, maka hukum adat yang diterapkan. Hukuman zina untuk masyarakat umum adalah cambuk dan rajam, sementara untuk bangsawan dan keluarganya hanyalah hukuman denda. “Hukuman di dalam Batu Bersurat jelas diambil dari hukum adat, yaitu membayar denda, yang tidak ditemukan sama sekali contoh hukuman seperti itu di dalam hukum Islam. Dengan demikian, batu itu menandakan peralihan dari hukum lama, yaitu hukum adat yang dipengaruhi Hindu-Budha ke hukum adat dan hukum Islam,” tulis Ayang. Bukti Penting Dalam Batu Bersurat terlihat jelas adanya diskriminasi dalam penerapan hukum Islam. Ayang melihatnya dalam konteks politik bahwa penerapan hukum Islam itu harus perlahan. Mungkin saat itu keluarga kerajaan baru menerapkannya untuk masyarakatnya tidak untuk kalangan bangsawan. Sebab, kalau ia diterapkan untuk kalangan bangsawan akan terjadi kekacauan di tengah kerajaan yang dapat berujung pada usaha menumbangkan kekuasaan. Batu Bersurat merupakan contoh terbaik dari sebuah hukum yang diundangkan oleh masyarakat Terengganu pada abad 14. Hukum tersebut merujuk pada dua hukum, yaitu hukum adat dan hukum Islam. “Hukum Islam tampak hanya sebagai pelengkap hukum adat dan hukum alternatif,” kata Ayang. Ayang memang tidak menemukan bukti adanya pengaruh Batu Bersurat terhadap undang-undang di Nusantara seperti Undang-Undang Malaka pada abad 15. Namun, yang ingin dia tunjukkan bahwa Batu Bersurat merupakan bukti penting penerapan hukum Islam. “Walaupun undang-undang itu pendek, namun ia merupakan contoh sangat penting untuk sejarah hukum Islam di Nusantara,” pungkas Ayang.

  • Budak Merdeka dari Hindia

    NAIKAI Florestan, demikian nama yang diberikan oleh sang penulis Joss Wibisono untuk karakter utama di dalam buku cerita pendeknya, Naikai, yang diluncurkan hari Minggu , 10 September lalu di Quaker Centrum, Amsterdam. Naikai, sebagaimana diceritakan oleh Joss, seorang budak yang berasal dari Flores dan diperdagangkan di Bali. Setelah dibeli oleh tuannya, dia dibawa ke Batavia. Kemudian si tuan beranjak tua dan semakin ringkih. Sebagai seorang trekker atau orang Belanda yang tak berniat menetap selamanya di Hindia Timur, dia harus pulang. Namun perjalanan pulang ke Eropa pada awal abad ke-19 memakan waktu berbulan-bulan. Sang tuan butuh pengawal sekaligus pelayan. Maka Naikai turut pergi dibawanya pulang ke negeri sang tuan. Menjelang ajal, sang tuan memberikan kemerdekaan padanya. Semenjak itu dia menjadi manusia bebas yang meniti karier sebagai penyanyi opera dan terkenal seantero Eropa. Tak seorang pun tahu ihwal muasal Naikai yang berasal dari Hindia. Namanya mengundang keheranan sebagian orang, karena tak satu pun orang Belanda memiliki nama sepertinya: Naikai Florestan. Bahkan ada yang mengira dia datang dari Friesland, wilayah utara Belanda tempat di sebagian warga berbahasa Belanda dengan dialek tersendiri. Joss piawai merajut cerita: mengalir berkelak-kelok. Sebagai seorang wartawan yang telah tinggal di Amsterdam selama puluhan tahun, dia hapal betul setiap sudut kota tersebut dan memindahkannya sebagai latar belakang tempat di dalam ceritanya itu. Kalau pembaca datang dari kota lain, mungkin butuh peta google untuk mencari tempat-tempat yang disebutkan olehnya. Tapi itu fiksi. Bagaimana kisah sebenarnya dari Naikai? Joss menutukan kalau Naikai adalah tokoh historis. Dia ada dan pernah hidup. Karakter Naikai dalam sosok aslinya bernama Wange Ricard van Bali. Nama Van Bali merujuk kepada Bali, tempat dia dibeli oleh tuannya. Lahir pada 1798 dan dibawa ke Belanda pada 1813. Setelah merdeka, Wange bekerja sebagai portir pada kementerian perang di Delft. Kisah Naikai hanya satu dari sekian cerita yang ditulis oleh Joss mengenai orang-orang Hindia Timur yang datang dan kemudian melewati hidupnya di negeri yang dingin ini. Dalam buku kumpulan cerita lain, Rumah Tusuk Sate di Amsterdam Selatan , Joss meriwayatkan tentang orang-orang Indonesia yang ikut melawan Nazi ketika menduduki Belanda dalam Perang Dunia Kedua. Dua tokoh sentral dalam cerita itu adalah Irwan dan Setiadji. Dikabarkan dalam ceritanya, mereka adalah dua mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda namun perang datang mendera sehingga terpaksa mereka tak bisa lagi nyaman berkuliah. Mereka pun bergabung dengan perlawanan bawah tanah, membuat pamflet-pamflet propaganda yang menggalang solidaritas menentang pendudukan Nazi. Mereka bekerja diam-diam, demi menghindari para moffen , sebutan kepada serdadu Jerman yang menguasai Belanda. Resiko tertinggi dari perlawanan itu adalah mati. Dan itulah yang terjadi kepada Irwan yang kepergok tentara Jerman dan ditembak mati ketika berusaha lari dari mereka. Ini juga fiksi. Tapi lagi-lagi fiksi yang bersandar pada kisah historis. Irwan, saya duga, adalah Irawan Soejono. Mahasiswa Universitas Leiden anak Raden Adipati Soejono, seorang Jawa yang pernah jadi menteri dalam kabinet pemerintahan Belanda di pengasingan di London saat Nazi menduduki Indonesia. Irawan tewas ditembak serdadu Nazi ketika bersepeda membawa mesin cetak stensil di Leiden, 13 Januari 1945. Namanya diabadikan sebagai jalan di Amsterdam dan beberapa lalu dinobatkan sebagai pahlawan kota Leiden. Dalam kisah satu ini Joss berhasil “menghidupkan” Irawan dan juga suasana mencekam ketika Nazi menduduki Belanda. Gambaran yang penuh ironi karena tak berapa lama setelah perang usai, Belanda mengirim serdadu-serdadunya ke Indonesia dengan alasan untuk membebaskan negeri koloni mereka dari cengkeraman fasisme Jepang. Sebagaimana mereka juga alami ketika Jerman menguasai negeri mereka. Dari ini benang merah sejarah bisa direntangkan. Menarik hubungan nasib satu negeri dengan negeri lainnya dalam situasi yang rumit. Belanda pernah menjajah, juga pernah dijajah. Indonesia pernah dijajah, tapi pula pernah menduduki Timor Leste dengan segala macam alasan di baliknya. Masing-masing, dengan itikadnya dan caranya masing, ingin terbebas dari beban masa lalunya. Baru-baru ini bahkan pemerintah Belanda menggelontorkan 4,1 juta euro untuk menyokong penelitian sejarah mengungkap periode dekolonisasi. Ada banyak kontroversi. Mungkin bagi orang Belanda periode itu penuh oleh memori kelam yang belum sepenuhnya terungkap, sebagaimana juga orang Indonesia memandang peristiwa genosida politik 1965-1966.

  • Gereja Belanda Kutuk Tentara Belanda

    PADA 19 Februari 1949, Tentara Kerajaan Belanda masuk ke Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan, Malang, Jawa Timur, yang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen Protestan. Mereka terperangkap oleh tembakan mitraliur dan tekidanto (mortir Jepang) dari pasukan KCKS (Kesatuan Comando Kawi Selatan) yang dipimpin Letkol J.F. Warrouw. Mereka kehilangan lebih dari 12 orang. “Karena sangat marah, mereka mengambil 12 pasien yang dirawat di rumah sakit kecil di desa Peniwen. Kedua belas pasien yang semuanya sipil orang sipil itu dijajar di tembok Rumah Sakit dan semuanya ditembak mati,” kata Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia . Saat itu, Hario Kecik yang bernama asli Soehario K. Padmodiwirio berpangkat mayor dan menjabat Kepala Staf Security KCKS. Wim Banu, saksi hidup yang saat itu berusia 14 tahun, mengatakan bahwa Rumah Sakit Panti Husodo itu menempati bangunan Sekolah Rakyat sejak 1947. Ayahnya pernah mengajar di sekolah itu yang terletak di seberang rumahnya. “Dikira Belanda, rumah sakit itu markas tentara Republik. Kira-kira Sabtu sore, jam 3-4, mereka datang dan perintahkan semua orang keluar. Dikumpulkan di halaman depan dan saya dengar jelas, ada suara tembakan satu per satu,” ujar Wim Banu kepada Historia . Sebanyak 12 anggota Palang Merah Remaja (PMR) dan lima pasien rakyat sipil ditembak mati tentara Belanda. Dua di antaranya adalah kakak kandung Wim Banu, Suyono Inswihardjo dan iparnya, Slamet Ponidjo. Pada monumen peringatan Peniwen Affairs nama-nama korban disebutkan: “ Telah gugur di sini para pahlawan remaja PMI : Matsaid, Slamet Ponidjo, Suyono Inswihardjo, Sugiyanto, JW Paindono, Roby Andris, Wiyarno, Kodori, Said, Sowan, Nakrowi, Soedono. Rakyat yang gugur : Wagimo, Rantiman, Twiandoyo, Sriadji, Pak Kemis.” Henri Beer, Sekjen Liga Palang Merah Internasional, mengunjungi Monumen Peniwen. (Majalah Komunikasi No. 55 Tahun VII Agustus 1986). Menurut Wim sebenarnya korban rakyat enam orang. “Ada satu warga lainnya yang ditembak begitu saja oleh tentara Belanda. Jadi jumlahnya enam yang dikuburkan bersama-sama,” kata Wim. Setelah membantai, tentara Belanda kemudian beristirahat di rumah orang tua Wim Banu. “Tentara Belanda datangi rumah saya. Sebentar bicara dengan ayah saya yang memang bisa berbahasa Belanda. Masih ingat betul saya. Sempat disuruh-suruh dengan teriakan cari kayu bakar buat mereka masak,” kata Wim yang kini berusia 82 tahun. Keesokan harinya, serdadu Belanda itu angkat kaki dari Desa Peniwen. Tidak hanya membantai anggora PMR dan rakyat sipil, mereka juga merampok keperluan medis dan melakukan pemerkosaan. “Seluruh persediaan obat-obatan yang tersedia dibawa pergi. Segala macam perabotan poliklinik dirusak dan dibakar habis. Tiga wanita anggota gereja diperkosa, sedangkan para suami dan tunangan korban ditembak mati di tempat,” tulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer. Rumah sakit itu milik zending dari Kristen Protestan. Pendetanya melaporkan kejadian keji itu ke Misi Gereja Pembaharuan di Malang yang meneruskannya ke pembesar mereka di Oestgeest, Belanda, dengan tembusan ke pimpinan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) di Jakarta, Komisi Tiga Negara bentukan PBB, dan Dewan Gereja Dunia di Swiss. “Tidak lama kemudian berita itu disiarkan oleh suratkabar di Malang dan Surabaya, malahan ada yang disiarkan suratkabar di luar negeri, Amerika dan Inggris sebagai ‘Skandal Pembunuhan Peniwen’ besar yang dilakukan oleh tentara Belanda usai Perang Dunia II,” kata Hario Kecik. Menurut Julius Pour, dampak laporan itu bagai bola salju. Laporannya tambah bermakna karena bukan sebuah berita desas-desus yang dikutip wartawan dari sumber tidak jelas. Melainkan datang dari sebuah laporan resmi pimpinan tertinggi Gereja Pembaharuan Belanda. “Sehingga disimpulkan, jika kepada saudara-saudara seiman saja tentara Belanda tega memperkosa dan melakukan pembunuhan, tidak bisa dibayangkan bagaimana tindakan mereka kepada orang lain,” tulis Julius Pour. Pimpinan Tentara Kerajaan (KL) meminta maaf dan mengirim tim penyelidik, sekaligus berjanji akan menghukum mereka yang terbukti bersalah, dan memastikan kejadian itu tidak akan terulang lagi. Akan tetapi, permintaan maaf secara resmi dari Belanda baru datang pada 2011 berbarengan dengan permintaan maaf terhadap tragedi pembantaian Rawagede. Palang Merah Belanda menyampaikan surat permintaan maaf pada 5 April 2016, setahun setelah Jaap Timmer, perwakilan Palang Merah Belanda menemui Wim Banu. Isinya permintaan maaf secara resmi yang bersifat pribadi kepada keluarga Wim Banu yang keluarganya menjadi korban, serta pernyataan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia cabang Kabupaten Malang untuk memugar monumen pembantaian di Peniwen.*

  • 12 Sepatu Bola yang Hilang

    Sebagai cabang olahraga paling populer, sepakbola menjadi bahan obrolan orang di berbagai tempat, mulai televisi hingga warung kopi. Tak hanya jadwal plus hasil pertandingan dan para bintang lapangan, beragam hal lain seputar sepakbola juga menjadi “sorotan”. Sepatu bola tak ketinggalan, menjadi bahan obrolan di banyak tempat meski tak diobrolkan seluas topik obrolan seputar pemain. Sama seperti permainan dan para pemain sepakbola, sepatu bola juga terus mengalami kompetisi, evolusi, regenerasi. Meski sekarang praktis hanya Adidas, Nike, dan Puma yang mendominasi lapangan-lapangan, merek lain macam Asics, Diadora, Lotto, atau Mizuno tetap masih mewarnai berbagai pertandingan yang ada. Realitasnya agak berbeda dari masa lalu, ketika bisnis sepakbola belum sekuat sekarang. Merek-merek kecil macam Admiral, Cheetah Sport, Kronos, Penalty, Pony, Topper, atau Quassar di masa lalu ikut meramaikan pasar bisnis sepatu bola. Meski Adidas dan Puma sudah besar kala itu, merek-merek kecil tetap mendapat tempat dan bahkan bintang pemakai. Berikut ini 12 sepatu bola yang pernah jaya tapi kini sudah hilang dari lapangan. Admiral Sepatu bola Admiral memang kalah tenar dibanding jersey-nya. Jersey Admiral tak hanya jadi sponsor resmi tim nasional Inggris sejak 1974 hingga Piala Dunia 1982, tapi juga banyak klub liga Inggris hingga awal 1990-an. Admiral ikut mempelopori replika kaos pemain untuk dijual ke para fans. Prestasi itu memang tak bisa dicapai sepatu bola Admiral. Di Inggris saja, sepatu bola Admiral kalah jauh dari Umbro atau Mitre. Pemain-pemain Liga Inggris yang menggunakan sepatu bola Admiral hanya pemain-pemain biasa, bukan bintang top. Di luar Inggris, hampir tak ada pemain bintang yang mengenakan sepatu buatan mantan jurnalis Bert Patrick itu. Tapi, keberadaan sepatu ini di Liga Inggris membuktikan bahwa persaingan bisnis sepatu bola di masa lalu masih memungkinkan pemain kecil bersaing dengan raksasa-raksasa macam Adidas atau Puma. Begitu persaingan bisnis sepatu bola makin ketat sejak paruh kedua 1980-an, Admiral dan banyak merek lain harus tersingkir. Di Piala Dunia Mexico 1986, sepatu Admiral sudah tak lagi terlihat. Bintang pengguna: John Fashanu (Inggris). Cheetah Sport Pecinta sepakbola saat ini mungkin sedikit yang tahu sepatu bola satu ini. Selain mungkin namanya terdengar lucu, sepatu bola Cheetah Sport sudah lama menghilang. Pada pertengahan 1990-an saja, hanya beberapa pemain liga Eropa yang masih terlihat mengenakannya. Muncul pada tahun 1960-an, Cheetah Sport menjadi pilihan banyak pemain mulai kiper hingga penyerang. Bintang-bintang top 1970-an macam kiper legendaris Inggris Peter Shilton atau kiper legendaris Italia Dino Zoff merupakan para pengguna sepatu asal Inggris ini. Pada 1980-an makin banyak bintang lapangan yang mengenakan sepatu Cheetah Sport, terutama di Liga Italia. Bek Italia asal Inter Milan Guiseppe Bergomi merupakan salah satu penggunanya. Popularitas sepatu ini terus menanjak. Di awal 1990-an striker andalan Uruguay yang bermain di Inter Milan Ruben Sosa juga menjadi pemain yang dikontrak Cheetah Sport. Namun, paruh pertama 1990-an seperti menjadi klimaks bagi sepatu ini. Setelah Ruben Sosa, Cheetah Sport hampir tak terlihat lagi di kaki para bintang lapangan hijau. Bintang pengguna: Dino Zoff, Eraldo Pecci, Giancarlo Marocchi, Guiseppe Bergomi, Loris Boni, Mozzini, Paolini Pulici, Peter Shilton, Roberto Cravero, Ruben Sosa, dll. Dunlop Nama Dunlop mungkin lebih akrab di telinga para pecinta otomotif. Atau kalau pun akrab di telinga pecinta olahraga, Dunlop lebih familiar bagi para penyuka tenis ketimbang sepakbola. Dunlop memang fokus terjun ke cabang olahraga raket (tenis, badminton, squash). Tapi Dunlop juga tak ingin ketinggalan menggali laba dari bisnis sepakbola. Selain membuat bola sepak, Dunlop juga memproduksi sepatu bola. Para pecinta Liga Inggris hingga awal 1990-an mungkin tak asing dengan sepatu Dunlop. Banyak pemain liga tertua di dunia itu yang menggunakan atau bahkan mendapat kontrak eksklusif sepatu buatan Inggris ini. Awal 1990-an masih banyak pemain bintang Liga Inggris yang menggunakan sepatu bola Dunlop. Kiper legendaris Liverpool Bruce Grobbelaar salah satunya. Namun, Dunlop sepertinya tak mampu bersaing dengan para pemain lain di bisnis sepatu bola yang makin kemari makin adu kuat finansial. Setelah kedatangan Nike, praktis Dunlop menjadi merek yang tersingkir. Bintang pengguna: Bruce Grobbelaar, Graeme Souness, Terry McDermott, Trevor Brooking, Trevor Stevens, Zico, Gola Sebagai produsen tertua sepatu bola (1905), Gola menjadi merek yang dikagumi banyak pecinta bola. Pemain bintang banyak yang mengenakan sepatu buatan Inggris ini, beberapa di antara mereka kemudian mendapat kontrak eksklusif. Perkembangan sepakbola dan bisnis yang mengikutinya, berjalan beriringan dengan kemajuan sepatu Gola. Pada 1970-an hingga awal 1980-an, sepatu Gola menjadi pesaing berat Adidas ataupun Puma, yang usianya lebih muda. Gola antara lain menjadi pilihan bintang-bintang Liverpool dan beberapa tim di Liga Inggris. Hingga awal 1990-an, sepatu Gola masih ikut mewarnai lapangan-lapangan di berbagai liga Eropa. Mantan kapten Chelsea Dennis Wise, yang mulai melakukan debut pada awal 1990-an, juga lama menjadi pengguna sepatu ini. Namun, ketatnya persaingan dari para pendatang baru macam Nike dan Reebok membuat Gola akhirnya hilang dari lapangan. Bintang pengguna: Alan Whistle, Alec Lindsay, Dennis Wise, Ian Callaghan, Terry McDermott. Hummel Flemming Povlsen dan kawan-kawan berhasil menekuk Jerman di final Piala Eropa 1992. Kemenangan itu bukan hanya menggembirakan pemain plus ofisial dan rakyat Denmark saja tapi juga orang-orang di perusahaan Hummel. Kostum tim juara plus mayoritas sepatu yang dikenakan pemain Denmark saat itu bermerek Hummel. Alhasil, momen tersebut dimanfaatkan betul oleh produsen alat olahraga asal Denmark itu untuk mempromosikan produknya dan menggenjot penjualan. “Itu adalah bisnis yang bagus. Direktur pengelola Hummel, yang tampil dalam peluncuran versi kardigan kaos Meksiko, menghitung penjualan domestik saja bisa menghasilkan sepuluh juta kroner (£1 juta) . ‘Itu adalah kemenangan pemasaran,’ kata ahli fesyen Klaus Berggreen . ‘ Sungguh mengerikan saat Anda melihatnya sekarang, tapi sebagai publisitas, itu sangat fantastis’,” lanjutnya sebagaimana dikutip Lars Eriksen, Mike Gibbons, dan Rob Smyth dalam Danish Dynamite: The Story of Football’s Greatest Cult Team. Bagi para penggemar tim “dinamit” Denmark atau bintang asal Denmark seperti Soren Larby atau Morten Olsen, sepatu berlogo dua busur panah ini mungkin tak asing. Sebagai salah satu produsen sepatu bola tertua, muncul pada 1923, Hummel bertebaran di lapangan-lapangan berbagai liga Eropa. Selain liga lokal Denmark, pengguna Hummel terutama berasal dari Liga Inggris dan liga-liga negara-negara tetangganya. Meski kuat, sepatu bola Hummel punya kelemahan di harga: mahal. Jurnalis penggila bola Tim Lovejoy ingat betul di antara sekian banyak sepatu bola koleksinya, sepatu Hummel yang termahal. “Saya punya Pantofola d’Oros, Valsport Greenstars, dan ada masanya saya bermain dengan menggunakan sepasang Hummel Professionals berwarna mutiara seharga £280 yang menjadikannya sepatu termahal di dunia,” kenangnya dalam Lovejoy on Football: One Man’s Passion for the Most Important Subject in the World . Tetap saja, sepatu Hummel sepatu legendaris. Selain bintang-bintang asal Denmark sendiri, bintang top dunia macam Glenn Hoddle (Inggris) atau Osvaldo Ardiles (Argentina) merupakan para pengguna sepatu Hummel. Hanya saja, popularitas Hummel kemudian merosot setelah persaingan bisnis sepatu bola makin ketat. Pertengahan 1990-an hampir pemain-pemain Denmark saja yang masih mengenakan sepatu ini. Selepas timnas Denmark tak lagi memperpanjang kontrak kostum mereka dengan Hummel, jersey apalagi sepatu Hummel pun hilang dari pandangan. Bintang pengguna: Soren Larby dan mayoritas pemain tim nasional Dermark hingga akhir 1990-an, Glenn Hoddle, Lee Dixon, Osvaldo Ardiles, Paul Gascoigne, Nico Claesen, dan Vinny Samways. Kronos Saat mengantar Barcelona menjuarai Piala Champions tahun 1992, “begundal” Hristo Stoichkov namanya langsung meroket. Banyak klub Eropa langsung menaruh minat pada striker asal Bulgaria itu. Para produsen produk olahraga juga menaruh minat yang sama. Dengan mengontrak seorang bintang, mereka berharap produknya makin laris. Tapi Stoichkov tetap teguh memakai sepatu Kronos. Entah apa sebabnya, sepatu buatan Italia itu terus menjadi pilihan Stoichkov hingga akhir kariernya. Meski bukan merek top, yang dipakai bintang di masa puncak karier, sepatu Kronos pernah mewarnai lapangan-lapangan di berbagai liga Eropa dan Amerika Latin. Liga Italia sebagai pemakai terbanyak. Meski hanya Stoichkov dan Abel Balbo (Argentina) yang mengenakannya saat namanya sedang berkibar, sepatu berlogo sabit terbalik itu menjadi pilihan banyak pemain-pemain top saat awal merintis karier profesional di berbagai liga Eropa. Sayangnya, persaingan bisnis sepatu bola yang makin ketat membuat Kronos akhirnya tersingkir. Setelah Stoichkov, tak ada lagi bintang yang memakai sepatu berbasis di Vicenza itu. Pada paruh kedua 1990-an sepatu Kronos sudah mulai jarang terlihat di liga-liga Eropa. Bintang pengguna: Abel Balbo (sebelum kontrak dengan Diadora), Gabriel Batistuta (sebelum kontrak dengan Reebok), Hristo Stoichkov, Kjektil Rekdall, Maurizio Ganz, Paolo Sousa (sebelum kontrak dengan Kappa), Roberto Mancini (sebelum Asics). Le Coq Sportif Sampai Piala Dunia Mexico 1986 usai, logo ayam dengan bingkai segitiga masih bertebaran di kaos ataupun sepatu pemain sepakbola di berbagai liga Eropa maupun Amerika. Le Coq Sportif, pemilik logo itu, merupakan produsen peralatan olahraga asal Prancis. Mulai populer pada 1970-an, sepatu bola Le Coq Sportif tak hanya menjadi pilihan pemain-pemain di Liga Prancis tapi juga liga-liga lain di dunia. Bintang-bintang pada masa itu juga banyak yang mengenakan sepatu ini. Namun, hal itu tak berlanjut terus. Awal 1990-an sepatu Le Coq Sportif –dan juga jersey-nya– mulai jarang terlihat di berbagai gelaran pertandingan sepakbola. Kini, meski masih diproduksi, sepatu bola Le Coq Sportif tak lagi terlihat di liga-liga Eropa apalagi dunia. Bintang pengguna: Gary Stevens, Glenn Hoddle, Osvaldo Ardiles (sebelum Hummel), Pat Van Den Hauwe, Roger Mila, Zico. Line 7 Sebagai pemain yang ikut mengantar Jerman Barat menjuarai Piala Dunia 1990, Stefan Reuter menjadi incaran banyak klub besar setelah ajang sepakbola terbesar sejagat itu selesai. Juventus beruntung mendapatkan dia bersama beberapa pemain Jerman lain. Seakan tak ingin kalah dengan klub, produsen-produsen alat olahraga pun berburu bintang-bintang untuk dikontrak. Produsen sepatu bola Prancis Line 7 berhasil mengontrak pemain dengan posisi bek kanan itu. Wajah Reuter tampil dalam lembaran-lembaran media yang mengiklankan sepatu Line 7. Di masa 1990-an awal itu, sepatu Line 7 telah mencapai popularitas meski baru berusia sekira 10 tahun. Banyak pemain di liga-liga besar Eropa mengenakannya. Zenedine Zidane bersama Bixente Lizarazu dan Cristoph Dugarry merupakan pemain-pemain profesional yang di awal karier mereka mengenakan sepatu berlogo angka 7 itu. Sayangnya, sepatu Line 7 tak berhasil adu kuat dalam persaingan dalam bisnis peralatan olahraga. Pada akhir 1990-an, sepatu Line 7 sudah jarang terlihat di liga-liga Eropa. Jangankan bintang, pemain-pemain yang dulu mengenakannya pun sudah beralih ke sepatu-sepatu lain yang produsennya lebih berduit. Bintang pengguna: Alberigo Evani, Andy Todd, Brian O’Neill, Paul Stewart, Stefan Reuter. Patrick Sebagai dua bintang yang bersinar pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, Michel Platini dan Kevin Keegan bersaing ketat baik di level klub maupun negara. Tapi Platini lebih sukses dalam prestasi. Selain menjadi motor ketika Prancis sukses menjuarai Piala Eropa 1984, Platini juga menjadi tulang punggung Juventus ketika merebut Piala Champions untuk kali pertama. Sementara, Keegan dan Inggris tak mampu berbuat banyak. Persaingan kedua bintang juga merambat ke produk-produk komersil di mana banyak perusahaan mulai minuman hingga mobil menggunakan jasa Platini maupun Keegan sebagai bintang iklan mereka. Namun, ada satu yang membuat keduanya akur: sepatu bola Patrick. Sepatu berlogo dua garis vertikal sejajar di bagian tumit itu dibuat pertamakali oleh Patrice Beneteau pada 1892. Sejak akhir 1970-an, Patrick berada di jajaran atas merek sepatu bola. Keegan dan Platini hanya dua dari banyak bintang yang mendapat kontrak dari Patrick, dan hanya sedikit dari sekian banyak pesepakbola yang menggunakan sepatu buatan Prancis itu. Namun, bintang terang sepatu Patrick tak berlangsung lama. Pertengahan 1990-an sepatu itu tak lagi banyak terlihat. Setelah bintang Denmark Michael Laudrup gantung sepatu, tak terlihat lagi sepatu Patrick di pertandingan-pertandingan sepakbola Eropa maupun dunia. Bintang pengguna: Frank Vercauten, Georges Grun (Belgia); Jean Marie Pappin, Michel Platini (Prancis); Kevin Keegan, Steve Staunton, Ray Wilkins (Inggris); Michael Laudrup (Denmark); Mark Lawrensen (Rep. Ireland). Pony Meski skandal suap sempat hampir menamatkan karier Paolo Rossi, bintang Juventus itu akhirnya berhasil menjawabnya dengan prestasi pada Piala Dunia 1982 di Spanyol. Rossi tak hanya menjadi pencetak gol terbanyak, tapi juga ikut mengantar Italia menjadi juara. Bintang Rossi kembali bersinar. Tak hanya publik Italia, produsen alat olahraga Pony pun ikut gembira. Banyak anggota tim Italia saat itu yang menggunakan sepatu Pony. Tapi, Rossi punya pesona tersendiri. Wajar saja jika wajahnya yang terpampang di berbagai media sebagai bintang iklan sepatu bola Pony. Pada 1980-an itu, sepatu Pony mencapai puncak popularitasnya. Meski tak sebanyak dekade sebelumnya, banyak pemain top baik di Liga Italia maupun liga-liga lain di Eropa yang menggunakan sepatu bola Pony. Di kejuaraan antarnegara atau Piala Dunia pun sepatu bola Pony umum terlihat hingga Piala Dunia 1982. Namun, pada paruh kedua 1980-an sepatu itu mulai jarang terlihat. Para pemain yang mengenakannya pun hanya di liga-liga. Praktis pada 1990-an sepatu Pony jarang terlihat lagi, kecuali jersey-nya yang sempat digunakan beberapa klub Inggris seperti Tottenham Hotspur. Bintang pengguna: Antonio Carbrini, Billy Hamilton, Lee Sharpe, Martin O’Neill, Paolo Rossi, Radomir Antic, Roberto Bettega. Stylo-Matchmakers Bagi para pecinta sepakbola saat ini, sepatu bola buatan Inggris ini mungkin hanya bisa dibayangkan. Hingga paruh pertama 1960-an, pengguna sepatu ini masih terbatas di Inggris dan beberapa negara Eropa saja. Popularitas Stylo-Matchmakers baru meroket pada 1960-an setelah bintang Manchester United asal Irlandia Utara George Best menggunakannya. Selain mengontrak ekslusif Best, produsen Stylo-Matchmaker menggenjot penjualan dengan promosi dan mengeluarkan produk baru. “Georgie Best erat bekerjasama dengan produsen, Stylo Matchmakers International Ltd. untuk mengembangkan sebuah sepatu (Stylo-Matchmakers baru – red .),” tulis Rubber Journal Vol. 152. Namun, pada awal 1980-an sepatu ini sudah jarang terlihat. Seperti terkena gempa dahsyat, sepatu-sepatu Stylo-Matchmakers akhirnya tak lagi terlihat di lapangan. Jangankan bintang, pemain-pemain biasa pun tak ada lagi yang memakainya. Gemerlap sepakbola Inggris –dan dunia– yang makin terang pada akhir 1980-an tak lagi diikuti Stylo Matchmakers. Bintang pengguna: George Best, Zico (sebelum Le Coq Sportif) Valsport Valsport juga merupakan satu dari sedikit sepatu bola awal, berdiri pada 1920, yang bertahan hingga beberapa dekade. Dari semula terbatas digunakan pesepakbola Italia saja, seperti Fabio Capello (kemudian menjadi pelatih top), Valsport terus bertahan dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, Valsport menangguk untung dari kedigdayaan Liga Italia. Saat “Dream Team” AC Milan merajai sepakbola Eropa, setidaknya empat pemain inti klub itu merupakan pengguna –dengan kontrak ekslusif– sepatu Valsport. Meraka adalah Mauro Tasotti, Alessandro Costacurta, Daniel Massaro, dan Gianluigi Lentini. Namun, paruh kedua 1990-an mulai membawa pergeseran pada sepatu Valsport. Ia mulai jarang terlihat kecuali di Liga Italia. Meski Stefano Fiore masih mengenakannya pada awal 2000, pemain-pemain lain hampir tak ada lagi yang mengenakan sepatu Valsport. Dan kini? Silahkan Anda cari tahu sendiri. Bintang pengguna: Alberigo Evani, Alessandro Costacurta, Daniel Massaro, Fabio Capello, Gianluigi Lentini, Julio Cesar, Mauro Tasotti, Michel Padovano, Stefano Fiore.

  • Universitas Leiden Resmikan Koleksi Asia Terbesar di Dunia

    UNIVERSITAS Leiden sejak lama terkenal sebagai salah satu pusat kajian Asia dengan koleksi pustaka terlengkap di dunia. Kajian Indonesia (Indologi) di Univeritas Leiden bahkan telah dimulai sejak dua dekade awal abad ke-19 sebagai bagian dari dominasi kolonial atas Indonesia (dulu Hindia Belanda). Calon-calon pegawai yang akan dikirim bertugas ke Hindia Belanda terlebih dahulu mendapatkan pendidikan di jurusan Indologi Universitas Leiden untuk memahami kehidupan masyarakat jajahan. Pelajaran yang mereka terima meliputi sejarah dan kebudayaan sampai dengan penguasaan bahasa. Sebagai bagian dari upaya itu dan pula pengembangan ilmu pengetahuan, para Indolog (ahli kajian Indonesia) telah memiliki tradisi mengumpulkan berbagai ragam kepustakaan dari negeri-negeri koloni Belanda. Hari ini, Kamis, 14 September pukul 10:00 pagi waktu Belanda, Ratu Maxima, permaisuri Raja Willem membuka secara resmi pusat koleksi pustaka Asia di gedung Pieterskerk, kota Leiden. Rektor Universitas Leiden Prof. Dr Carel Stolker dalam sambutan persnya mengatakan pusat koleksi Asia di perpustakaan universitasnya itu merupakan hasil kerjasama berbagai lembaga yang juga menyimpan koleksi kepustakaan Asia. “Selama tiga tahun terakhir Perpustakaan Universitas Leiden mengambil alih tanggungjawab mengumpulkan berbagai koleksi Asia Universitas Leiden dan dari lembaga lainnya untuk berada di bawah satu atap,” kata dia. Rangkaian acara pembukaan, selain dihadiri oleh Ratu Maxima, juga akan dibuka dengan pidato kunci sejarawan Univeritas Oxford Prof. Peter Frankopan. Penulis buku The Silk Roads: A New History of the World itu menyampaikan materi bertema Asia dan riwayat pembentukan dunia modern. Selain Frankopan, puluhan akademisi ahli Asia lainnya akan tampil di berbagai forum yang diselenggarakan dalam rangka pembukaan ini. Selama seharian Universitas Leiden dipenuhi kegiatan diskusi, pameran, tur perpustakaan, serta pemutaran film bertema Asia. Pada bagian koleksi Indonesia, Marije Plomp dan Dick van der Meij akan mempresentasikan materi mengenai manuskrip-manuskrip bersejarah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden. Berbagai manuskrip yang tersimpan di sini dikumpulkan oleh para Indolog yang datang ke Hindia Belanda dan ini menjadi alasan kenapa sejak ratusan lalu Leiden menjadi tujuan penting bagi mereka yang ingin mempelajari Indonesia di negeri bekas penjajahnya itu.

  • Ketika Soeharto Melihat Atlet Tak Bersepatu

    KENDATI gagal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tadinya direncanakan akan menggowes sepeda pada peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 9 September 2017 di Kota Magelang, Jawa Tengah. Rute yang akan dilalui: dari Lapangan Secaba hingga Stadion Moch Soebroto.

  • Protes Pajak Penulis di Masa Lalu

    PENULIS Tere Liye memutuskan tidak menerbitkan lagi novel-novelnya di Gramedia dan Republika. Padahal, karya-karyanya laris manis sehingga royaltinya pun besar, tentu pajaknya juga tinggi. Keputusan itu diambilnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pajak royalti penulis yang menurutnya tidak adil. Menanggapi hal itu, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa “pangkal masalahnya saya kira ada pada PPh Pasal 23 tentang royalti penulis buku yang dipotong 15% atas jumlah bruto. Saya setuju kalau hal ini memang kejam karena umumnya jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan, cukup kecil.” Prastowo sepakat bahwa pajak royalti untuk penulis sebaiknya diturunkan agar lebih adil dan membantu pendapatan penulis. Menurutnya pemberlakuan pajak royalti sudah dikenakan sejak 1984 melalui UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. “Saya belum mencatat di masa sebelumnya, tapi setidaknya sejak 1 Januari 1984 royalti menjadi objek pajak,” kata Prastowo. Protes pajak penulis bukan terjadi kali ini saja. Pada 1950-an, Njoto, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) menyinggung tentang pajak penulis dan seniman di hadapan mahasiswa Fakultas Teknik di Bandung. Dalam ceramahnya berjudul “Utamakan Sektor Ekonomi Negara untuk Meringankan Pajak Rakyat” dimuat dalam Harian Rakjat, 27 Septemper 1956, Njoto menyebut beberapa nama penulis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani dan kawan-kawan berkali-kali mengeluh tentang pajak yang dikenakan. Mereka mengeluh tidak bisa dan tidak mungkin untuk membayar besaran pajak yang dibebankan. Njoto mencontohkan pemain film Sukarno M. Noer yang ditagih pajak Rp48.000. “Bukankah semua ini membunuh daya cipta, membunuh kehidupan kesenian, membunuh kebudayaan? Semua ini adalah akibat dari keadaan bahwa pendapatan negara sebagian terbesar digantungkan dari pajak,” kata Njoto. Keluhan penulis dan seniman sejak tahun 1956 tampaknya belum direspons positif oleh pemerintah. Pramoedya Ananta Toer pun kemudian menulis protesnya terkait pajak dan sistem honorarium penulis. “Setelah M. Yamin menjadi PPK (Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan) Kabinet Ali Sostroamidjojo I, honorarium Balai Pustaka menjadi semakin kecil sedangkan pajak yang dikenakan bisa mengakibatkan bangkrutnya si pengarang,” tulis Pram dalam “Keadaan Sosial Para Pengarang Indonesia,” StarWeekly No. 576, 12 Januari 1957. Besaran pajak yang dikenakan pada penulis apabila tidak bisa membuktikan penghasilannya dalam satu tahun dan bila honorarium yang dia terima tidak melampaui batas minimum adalah 15% atas honor yang diterima. Bila honorarium lebih dari batas minimum, maka besaran pajak yang dikenakan jauh lebih besar. “Pajak ini dikenakan sebagai pajak peralihan dalam setahun. Tidak peduli naskah ditulis selama dua atau lima tahun. Tidak mengherankan bila nafsu menulis roman yang tebal-tebal hanya berakibat bangkrutnya si pengarang,” tulis Pram. Protes Pram masih berlanjut hingga 1960. Melalui akun media sosialnya, Dodit Sulaksono, pedagang buku, membagikan artikel tentang petisi para pengarang dan seniman. Dari cuplikan artikel di majalah ZamanBaru No. 5 tahun 1960 itu tertulis bahwa para pengarang dan seniman mengajukan petisi karena keberatan atas kenaikan pajak yang dibebankan pada mereka. Para pengarang dan seniman terkemuka yang menandatangani petisi itu adalah Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Boejoeng Saleh, Gayus Siagian, Sitor Situmorang, dan kawan-kawannya yang jumlahnya mencapai 48 orang.*

  • Burma dan Kemerdekaan Indonesia

    KRISIS kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak. Massa berdemonstrasi di Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta sampai membakar bendera Myanmar. Muncul juga desakan menarik duta besar Indonesia dari Myanmar, bahkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Myanmar. “Masalah yang terjadi di Myanmar bukan masalah bilateral antara Indonesia dan Myanmar. Selama ini hubungan antarnegara baik-baik saja dan tidak pernah ada benturan apapun. Oleh karenanya memanggil pulang Dubes Indonesia di Myanmar bukan suatu tindakan tepat,” kata Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, kepada Historia.ID. Persahabatan Indonesia dan Myanmar (dulu Burma, Birma) sudah terjalin sejak awal Indonesia merdeka bahkan Burma belum merdeka secara penuh. Pada 30 Oktober 1946, Jenderal Aung San, kepala pemerintahan sementara Burma, mengirim kawat kepada Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. “Isi kawat antara lain harapan terciptanya kerjasama yang erat sekali antara Birma dan Indonesia serta negara-negara lain di Asia Tenggara, demi perdamaian dunia yang kekal. Selanjutnya, dia berharap agar wakil-wakil Indonesia yang akan menghadiri Konferensi Pan Asia di New Delhi tahun depan sudi singgah dan tinggal beberapa waktu lamanya di Birma,” tulis Pramoedya Ananata Toer, dkk., dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid II (1946) . Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir menghadiri acara Inter-Asian Relations Conference in New Delhi, India, pada 27 Maret-2 April 1947. Sekembali dari India, Sjahrir dan rombongan singgah di Rangoon, Burma. Sayangnya, dia tidak bertemu dengan Jenderal Aung San yang sedang berkampanye, tapi bertemu dengan Perdana Menteri U Nu. Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, Burma mengusulkan kepada India untuk mengadakan Conference on Indonesian di New Delhi, India, 20 Januari 1949. 18 negara Asia hadir dalam konferensi ini untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada 1947, Indonesia membuka Indonesian Office atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di Rangoon. Kantor ini yang mengurus izin agar pesawat RI-001 Seulawah bisa beroperasi di Burma sebagai penerbangan sipil dengan nama maskapai Indonesian Airways. Militer Burma mencarter pesawat Dakota DC-47 itu untuk memadamkan pemberontakan suku Karen. “Angkatan Udara kita dalam tahun yang lalu telah mengembangkan sayapnya lagi di angkasa Indonesia, setelah berbulan-bulan lamanya –yakni setelah aksi militer Belanda yang kedua– dia tidak mempunyai kesempatan untuk berada di udara. Akan tetapi selama waktu itu di negara sahabat Birma, Angkatan Udara kita memelihara penerbangan terus,” kata Presiden Sukarno dalam amanat pada Hari Angkatan Perang di Jakarta, 5 Oktober 1950, termuat dalam Bung Karno: Masalah Pertahanan Keamanan. Pada 24 Januari-2 Februari 1950, Presiden Sukarno melakukan kunjungan ke luar negeri untuk pertama kalinya, yaitu ke India, Pakistan, dan Burma. Setibanya di Rangoon, Burma, Sukarno disambut oleh Presiden Burma Sao Shwe Thaik. “Di samping mempererat hubungan dengan negara-negara sahabat, kunjungan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional. Ketiga negara yang dikunjungi Presiden Sukarno itu telah banyak memberikan bantuannya pada masa yang paling sulit bagi perjuangan Republik,” tulis buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964. Tidak lama kemudian, pada April 1950, Kantor Perwakilan RI yang dipimpin Maryunani diresmikan menjadi KBRI Rangoon diikut dengan dibukanya Kedubes Burma di Jakarta. Sebagai sesama bekas negara terjajah, Indonesia dan Burma aktif dalam menentang imperialisme dan kolonialisme. Di antaranya bersama India, Pakistan dan Sri Lanka, menjadi pemrakarsa Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18-24 April 1955. Pada masa rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, hubungan Indonesia dengan Myanmar semakin mesra. Keluarga Cendana leluasa berbisnis dengan Myanmar. Bahkan, junta militer Myanmar berguru kepada Soeharto agar dapat melanggengkan kekuasaannya.*

  • Tentang Mawie, Lili dan Romansa Perang Burma

    TIGA generasi berkumpul pada rumah yang terletak di jantung kota Almere itu. Sebagian besar berbahasa Indonesia, sedikit di antaranya terdengar bercakap-cakap dalam berbagai bahasa: Belanda, Cina dan bahkan Rusia. Hari itu, Sabtu 9 September yang lalu, mereka berkumpul memperingati enam bulan wafatnya seorang suami, ayah, kakek juga kawan yang selalu bersama di dalam hari-hari terang maupun kelam hidup berpuluh tahun jauh dari tanah air. Mawie Ananta Jonie, seorang penyair sekaligus wartawan yang dikenang hari itu, berpulang pada 1 Maret yang lalu. Mungkin namanya tak banyak dicatat dalam narasi utama sejarah di Indonesia yang seringkali hanya mengisahkan tokoh-tokoh besar beserta drama kehidupannya. Tapi Mawie punya kisahnya sendiri. Terlahir sebagai anak Minang dua tahun sebelum Jepang datang menduduki Indonesia. Malang melintang sebagai aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), penyair dan wartawan. Pada 1964 berangkat ke Tiongkok untuk tugas belajar namun prahara politik 1965 mengubah jalan nasib dari benderang menjadi remang. Semenjak itu dia meniti jalan hidup sebagai orang terhalang pulang, mengembara mulai dari negeri Tiongkok, Burma dan sejak 1989 bermukim di Belanda. Di tengah-tengah acara, seseorang yang hadir dalam peringatan itu berbisik-bisik, “Mawie kuat karena ada Lili,” katanya ditingkahi anggukan setuju dari kawan di sebelahnya. Siapa Lili? Lili Salawati, istri Mawie, bukan perempuan biasa. Sampai ketika dia mengatakannya sendiri, saya tak menyangka kalau dia berasal dari Burma. “Maaf bahasa Indonesia saya kurang bagus,” katanya merendahkan diri. Lili Salawati nama Indonesia pemberian Mawie. Dalam sambutannya, Lili kembali mengenang masa-masa awal pertemuannya dengan Mawie. “Waktu itu dia sering datang ke tempat saya, numpang makan. Saya waktu itu tegur dia kok setiap kali datang selalu makan,” kata Lili. Rupanya di sanalah cinta Mawie bersemi. “Waktu dia bilang cinta sama saya, saya tidak membalas dan tak bisa mengerti itu. Bahkan sampai kemudian kami menikah, punya anak, saya belum pernah mengatakan cinta padanya,” kata Lili menambahkan. Kesempatan membalas ucapan cinta baru terjadi saat suami yang mendampinginya selama berpuluh tahun itu terbaring sakit. “Waktu seminggu sebelum dia meninggal, saya bilang sama Mawie, bap...saya cinta kamu,” ujarnya disambut riuh tepuk tangan. Lili melanjutkan ceritanya tentang sebuah insiden yang nyaris membunuh nyawa sepuluh orang saat mereka berada di pedalaman Burma. Kala itu setiap kali musim penghujan tiba, sungai mendadak meluap dengan cepatnya. “Orang-orang itu naik gerobak yang ditarik sapi hanyut disapu banjir. Mawie lempar bajunya ke arah saya lantas loncat sungai selamatkan orang-orang itu. Untuk itu saya berterima kasih betul padanya.” Sepuluh nyawa manusia berhasil lolos dari maut berkat Mawie. Lantas bagaimana sepasang anak manusia itu bisa bertemu jodoh di Burma? Cerita saya dapatkan dari tamu lain. Lili, katanya, komandan kompi tentara perempuan kiri yang berafiliasi kepada Partai Komunis Burma ketika pecah perang sipil semasa kediktatoran Ne Win. Sedangkan Mawie turut berjuang atas nama solidaritas kaum kiri, datang langsung dari Tiongkok yang saat itu baru saja melangsungkan revolusi besar kebudayaan proletar. Mereka bertemu di medan perang Burma. Saya melihat ini sebuah kisah yang sangat filmis: dengan gambaran letusan senjata dan suasana mencekam di sela-sela peperangan. Lukisan romansa masa pertempuran itu terekam juga di dalam sebuah puisi karya Mawie untuk memperingati 30 tahun pernikahannya yang berjudul Untuk Sebuah Mimpi dan Arti Kata Merdeka . Ketika luka luka itu masih terus meradang dengan sakitnya adikku, aku seberangi sungai dan panjati puncak puncak gunung negerimu. Ini untuk sebuah mimpi dan arti kata merdeka yang diperjuangkan, dan di sini aku pernah bikin janji jika aku mati kuburlah tanpa nisan. Waktu itu barisanmu berderap maju tanpa kata menyerah, bersemangat sumpah “hutang darah harus dibayar dengan darah”. Orang orang boleh saja bermimpi ya adikku tiada yang melarang, tapi kenyataan kenyataan lain dari apa yang dirancang. Hari ini adalah hari yang Ke 30 pernikahan kita dibawah tenda dan senja dengan bunga merah kesumba. Sayup sayup terdengar suara tembakan senapan jauh, di lekuk siku jalan cinta kita bersauh. Amsterdam, 05/02/2006 Usai perang pasangan ini menetap di Tiongkok, kemudian mendapatkan suaka politik dari Belanda. Mereka dikarunia dua anak. Semua berbahasa Indonesia. “Bapak selalu mengajarkan kepada kami bahwa orang Indonesia harus bisa bahasa Indonesia,” ujar anak sulungnya. Hari makin surut. Matahari perlahan tenggelam, mengganti hari yang hangat menjadi dingin di awal musim gugur. Semua tamu beranjak pergi meninggalkan rumah yang telah dihuni oleh “keluarga gerilya” itu selama berpuluh tahun.*

  • Militer Myanmar Sewa Pesawat Indonesia

    Pada 1948 pemerintah Indonesia membeli pesawat angkut Dakota DC-47 dengan sumbangan dari masyarakat Aceh. Sebagai pesawat kepresidenan, pesawat ini diberi nomor registrasi RI-001 dan dinamakan Seulawah artinya gunung emas untuk menghomati rakyat Aceh. Pesawat ini pernah digunakan menembus blokade Belanda untuk menyelundupkan senjata, peralatan komunikasi, dan obat-obatan dari Burma (kini Myanmar) ke Pangkalan Udara Blangbintang dan Loknga, Aceh. Pesawat ini kemudian punya kisah sendiri di Burma. Pada Desember 1948, pesawat RI-001 berada di India untuk menjalani overhaul (pemeriksaan/perbaikan) mesin dan pemasangan long range tank (tangki bahan bakar jarak jauh). Namun, pesawat ini tidak bisa kembali ke Indonesia karena Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Akhirnya, pesawat ini dioperasikan sebagai penerbangan sipil di luar negeri. Namun, pemerintah India tidak memberikan izin karena sudah memiliki Indian National Airways. Menurut Irna HN Hadi Soewito, dkk. dalam Awal Kedirgantaraan Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950, pada Januari 1949, Maryunani, kepala perwakilan Indonesia di Myanmar, mememberi tahu bahwa pemerintah Burma membutuhkan pesawat angkut untuk operasi memadamkan pemberontakan golongan kiri (The White Flag People Volunteers Organization) dan golongan ekstrem kanan, suku Karen di perbukitan. “Berhubung kedudukan para pemberontak sangat sulit dicapai dengan jalan darat, maka keberadaan angkatan udara sangat diharapkan. Pada 20 Januari 1949 semua perbaikan dan penyempurnaan pesawat RI-001 Seulawah selesai dan di waktu yang sama, izin untuk terbang di wilayah Burma keluar,” tulis Irna. Pada 26 Januari 1949, pesawat RI-001 Seulawah diterbangkan dari Kalkuta menuju Rangoon (kini Yangon) dengan dipiloti Kapten James Maupin, kopilot Sutardjo Sigit, operator radio Sumarno dan teknisi Wallace Casselberry dengan mengikut sertakan Wiweko Supono, Sudaryono dan Ali Algadri, staf perwakilan Republik Indonesia di Myanmar. Berkat bantuan U Maung-Maung, mahasiswa dan redaktur surat kabar The Rangoon Post , pesawat RI-001 Seulawah mendapat izin terbang dan izin usaha dengan badan usaha bernama Indonesian Airways. Kantor dan mess para awaknya bertempat di Thamwee Road 30, Rangoon yang sedianya merupakan kantor perwakilan Republik Indonesia di Myanmar. Pesawat RI-001 Seulawah disewa oleh Union of Burma Airways dan berada di bawah wewenang skadron angkut Angkatan Udara Myanmar. Tidak hanya untuk mengangkut logistik, tentara, namun juga membawa pemimpin Myanmar dengan tarif 10 Rupee per mil. Sebut saja Perdana Menteri Thakin Nu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Bo Ne Win, Menteri Pertahanan U Win, Menteri Penerangan Myanmar U Tan Pa, hingga Menteri Pendidikan dan Direktur Penerbangan Sipil Bo Se Cha dalam beragam agenda inspeksi dan konsolidasi. Tidak jarang pula pesawat RI-001 Seulawah jadi sasaran tembak senapan mesin hingga meriam penangkis serangan udara pemberontak Karen di perbatasan Myanmar-China yang disokong CIA (Badan Intelijen Amerika Serikat). Tembakan itu tidak hanya melubangi beberapa bagian badan pesawat. Bahkan, awak operator radio, Sumarno terkena tembakan ketika pesawat mendarat di Lapangan Udara Mingladon, Rangoon. Tidak kapok, Indonesian Airways justru menambah satu armadanya yaitu Dakota C-47 bernomor registrai RI-007 yang dibeli dari Hong Kong. Dengan bertambahnya awak pesawat, mess dan kantor Indonesian Airways pindah ke Ady Road 6. Mess dan kantor itu dijuluki “The Eagle’s Nest” atau Sarang Rajawali. Keuntungan Indonesian Airways tidak hanya bisa membiayai diri sendiri, tapi juga membiayai pendidikan para kadet AURI di India dan Filipina. Indonesian Airways berhenti beroperasi di Myanmar setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda dan pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Mereka pulang dan tiba di Pangkalan Udara Andir, Bandung (kini Lanud Husein Sastranegara) pada 3 Agustus 1950. Lewat Surat Perintah KSAU No. 493 tanggal 7 Agustus 1950, pesawat RI-001 Seulawah dileburkan ke Skadron II Transpor kemudian digabungkan ke Dinas Angkatan Udara Militer (DAUM) dengan tugas pengangkutan logistik ke wilayah-wilayah terpencil. Baru sembilan hari rombongan pesawat RI-001 Seulawah tiba di Pangkalan Udara Andir, datang surat tagihan pajak dari Myanmar. Pemerintah Myanmar menyatakan Indonesian Airways masih punya utang sekitar 235-477 ribu Rupee selama beroperasi di Myanmar sepanjang tahun 1949. Angka itu melebihi harga satu unit pesawat Dakota. “KSAU Komodor Suryadi Suryadarma mengirim surat kepada Jenderal Bo Ne Win. Misinya permohonan keringanan utang pajak, sekaligus menawarkan pesawat RI-007 (yang masih ada di Rangoon) sebagai pembayaran utang Indonesian Airways kepada pemerintah Burma,” kata Adityawarman Suryadarma dalam biografi ayahnya, Suryadi Suryadarma: Bapak Angkatan Udara. Harga pesawat RI-007 hanya 190 ribu Rupee tidak cukup untuk membayar utang pajak. Namun, hubungan baik Indonesia-Burma membuat Jenderal Bo Ne Win mengabulkan permohonan keringanan dan penyelesaian utang pajak tersebut. Suryadi Suryadarma secara resmi menyerahkan pesawat RI-007 kepada pemerintah Burma yang diwakili Menteri Pertahanan Myanmar U Win di Lapangan Terbang Mingadon, Rangoon, pada 31 Oktober 1950. Suryadi Suryadarma sempat bertanya kepada Jenderal Ne Win kenapa memberi izin usaha kepada Indonesian Airways untuk memadamkan pemberontakan suku Karen ketimbang maskapai Asia lainnya? Jenderal Bo Ne Win menjawab karena Indonesian Airways satu-satunya maskapai di Asia yang manajemennya tidak dipegang perusahaan-perusahaan barat. Oleh karenanya, kerahasiaan gerakan pasukan Myanmar akan terus terjaga dan terhindar dari segala hal yang berkaitan dengan CIA dan sekutu-sekutu baratnya.

  • Orang yang Mengusulkan Presiden Bersepeda

    Presiden Joko Widodo akan menggowes sepeda pada peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 9 September 2017 di Magelang, Jawa Tengah. Rutenya dari Lapangan Secaba hingga Stadion Moch. Soebroto. Sebagaimana diketahui, Jokowi memang suka sepeda. Selain untuk olahraga, dia juga sering bagi-bagi sepeda dalam berbagai kesempatan. Presiden Soeharto juga pernah memperingati Haornas pada 9 September 1988 dengan bersepeda tandem bersama Ibu Tien. Rutenya dari kediamannya di Jalan Cendana menuju Gondangdia, Jalan Medan Merdeka Barat, hingga berakhir di Lapangan Monas. Tujuannya untuk menggelorakan jargon “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.” Ternyata, orang yang mengusulkan agar Presiden Soeharto dan Ibu Tien bersepeda adalah Asisten Menpora Bidang Olahraga MF Siregar . “Saya usul ke Menpora Akbar Tanjung agar membuat perayaan yang berbeda. Supaya Soeharto naik sepeda melalui jalan yang biasa dilaluinya dengan mobil. Rakyat tak pernah melihat presidennya secara langsung karena setiap hari Soeharto selalu pulang pergi kantor naik mobil dengan pengawalan ketat,” ungkap Siregar dalam biografinya, Matahari Olahraga Indonesia Menpora Akbar Tanjung setuju. Siregar segera mendatangi Kepala Bulog Bustanil Arifin agar menyediakan sepeda tandem untuk digowes Presiden Soeharto dan Ibu Tien beserta rombongan. “Olahraga bersepeda adalah salah satu olahraga yang merakyat, sehingga sesuai dengan tema kita untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat,” kata Siregar.

  • Loyalis Sukarno Bernama Ibrahim Adjie

    SEBINGKAI pigura memuat potret Bung Karno (BK) dengan senyum khasnya. Bersama foto itu, tertempel pula selembar pecahan uang kertas bernilai Rp. 100,- bergambar presiden pertama RI tersebut. Yang paling menarik, dalam bingkainya disertakan juga sepucuk surat BK tertanggal 3 Oktober 1965, persis dua hari usai terjadi Insiden Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965. “ Anakda I.Adjie, Kodam VI, Harap kerdja-sama sebaik-baiknya dengan sdr. Wiriadinata, menjelamatkan AURI, ADRI dan Revolusi. Keselamatan AURI dan ADRI adalah mutlak -perlu untuk menghadapi Nekolim ,” demikian bunyi tulisan surat yang ditulis di atas kertas putih berkop “Adjudan Presiden” tersebut. Sebagai panglima Kodam VI Siliwangi (1960—1966), reputasi militer Adjie terbilang gemilang. Darul Islam yang telah mengacau Republik sejak zaman revolusi berhasil ditumpas Divisi Siliwangi di bawah pimpinannya pada 1962. Operasi “Pagar Betis” yang dirancang Adjie berhasil meringkus pemimpin Darul Islam: S.M. Kartosoewirjo. Hubungannya dengan Sukarno pun cukup erat. Meski secara ideologis bukan pro Sukarnois, tetapi Adjie menaruh kesetiaan tinggi pada Sukarno. “Bung Karno adalah pemimpinku yang tertera dalam Caturlaksana Siliwangi,” kata Ibrahim Adjie pada 1964, dikutip David Jenkins dalam Soeharto & Barisan Jendral Orba: Rezim Militer di Indonesia 1975—1985. Anak kelima Ibrahim Adjie dinamai Mini Suharti Aminah Adjie. “Suharti itu yang kasih nama Bung Karno, diambil dari Sukarno-Hartini (Istri ketiga Sukarno). Bapak (Ibrahim Adjie) yang minta nama sama Sukarno saat itu” ujar Kiki Adjie (61), anak kedua Ibrahim Adjie kepada Historia . Pada 28 Agustus 1965, Presiden Sukarno memberikan anugrah Sam Karya Nugraha kepada Divisi Siliwangi. Anugrah tertinggi yang pertama dan satu-satunya diterimakan kepada kesatuan militer sepanjang pemerintahan Sukarno. “Hal ini menunjukkan kecintaan Bung Karno secara pribadi kepada Siliwangi dan kepada panglimanya, Mayor Jendral Ibrahim Adjie,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang . Ibrahim Adjie sangat marah mengetahui ketidakjelasan keberadaan Presiden Sukarno pada 1 Oktober 1965. Menurut Victor M. Fic, dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi , sepucuk surat diterima Ibrahim Adjie dari Sukarno yang diantar kurir Mayor Udara Subardjono, pilot pesawat Jet Star kepresidenan. Isi surat itu meminta Ibrahim Adjie agar sewaktu-waktu siap datang untuk menyelamatkan Sukarno di pangkalan udara Halim Perdanakusumah. Dia juga diminta supaya siap memberikan keamanan dan perlindungan kepada anak-anak Sukarno. Ibrahim Adjie langsung mengeluarkan sebuah peringatan bahwa dia akan memerintahkan Divisi Siliwangi untuk bergerak memasuki Jakarta jika Presiden berada dalam bahaya. Atas permintaannya pula, Sukarno lantas diamankan ke Istana Bogor, wilayah kekuasaan Divisi Siliwangi. Saat terjadi momen krusial pasca enam perwira tinggi TNI terbunuh, Sukarno mengajukan dua nama sebagai pimpinan TNI AD pengganti Ahmad Yani: Ibrahim Adjie dan Mursyid. Secara hirarkis, Mursyid yang menjabat sebagai Deputi I Panglima Angkatan Darat berada diatas Ibrahim Adjie. Namun Sukarno mendudukan Ibrahim Adjie pada pilihan pertama. Namun langkah Ibrahim Adjie terbentur perihal domestik. Dia gagal menjadi Panglima Angkatan Darat lantaran mengambil istri kedua seorang wanita berbangsa Yugoslavia. Penolakan terutama datang dari Menteri Pertahanan Jendral Nasution yang dikenal puritan. Menurut Julius Pour hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan kesulitan psikologis terhadap para prajurit dan kolega Ibrahim Adjie di TNI. Selain karena loyal kepada Sukarno, menurut Kiki Adjie, sebagai orang militer, ayahnya menghargai senioritas, sehingga tak terpikir untuk mengambil kekuasaan dalam suasana pergolakan. “Kalau bapak mau menguasai Indonesia saat itu bisa saja, kan dia punya pasukan (Siliwangi) yang bisa digerakkan,” kata Kiki Adjie. Saat itu ada Jendral Nasution yang dianggap sebagai sesepuh TNI. Ada juga Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Jendral Soeharto yang usianya tiga tahun di atas Adjie. Keduanya dianggap sebagai tokoh senior dalam TNI meski tak punya pasukan yang berpengaruh. Menurut tokoh militer Indonesia, Mayor Jenderal (Purn) Samsudin, dalam Mengapa G30S/PKI Gagal? Suatu Analisis , seandainya Ibrahim Adjie yang menjadi pimpinan TNI-AD pada waktu itu, dia akan dapat membatasi tindakan-tindakan yang akan diambil Soeharto sehubungan dengan persoalan G30S/PKI. Ketika rezim Soeharto berhasil merebut kekuasaan, penyingkiran adalah lazim bagi mereka yang setia terhadap Sukarno. Tak terkecuali bagi Adjie. Dia mendapat “pos pembuangan”. Pada 1966—1970, Ibrahim Adjie dikirim ke London sebagai duta besar Indonesia untuk Inggris. Duta besar Indonesia untuk PBB di Genewa, Swiss menjadi jabatan terakhir yang diembannya dalam pemerintahan. Ibrahim Adjie lantas menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik dan kekuasan, beralih ke dunia bisnis. “Bapak waktu itu beberapa kali ditawarkan duduk di kabinet dan menjadi wakil presiden. Tapi mana mau. Sebab Bapak tahu persis bagaimana orang-orang di sekitar Soeharto saat itu,” kata Kiki Adjie.*

bottom of page