top of page

Sejarah Indonesia

Azan Sebelum Ada Pengeras

Azan Sebelum Ada Pengeras Suara

Bagaimana mengumandangkan azan sebelum ada pengeras suara. Ada beragam cara dan cengkok.

13 April 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Litografi Masjid Agung Banten dengan menara tempat azan dikumandangkan, antara tahun 1882 dan 1889, karya Josias Cornelis Rappard. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

SEORANG lelaki renta berusia 50 tahun bangun dari tidurnya di Masjid al-Muhajirin, Tanah Abang, Jakarta. Dia mulai kesehariannya pada menjelang subuh dengan menimba air sumur. Lalu dia pindahkan air timbaannya ke kolam masjid untuk wudhu jamaah. Ketika subuh tiba, dia mengumandangkan azan dari dalam masjid. Tanpa pengeras suara.


“Saat terang tanah, zuhur dan ashar, Bang Husin azan lagi. Bang Husin bersuara keras. Bariton lah. Dan oktafnya cukup tinggi,” kata Ahmad Mathar Kamal, penulis buku Colek Cemplung: Cerita yang Tercecer Dari Tanah Betawi. Dia mengenal lelaki renta itu sebagai Bang Husin, tukang azan sohor di tempat kelahirannya, Tanah Abang, pada 1960-an.


Suara murni dan merdu Bang Husin berkumandang selama belasan tahun, menggerakkan hati banyak orang ke masjid. Suaranya mengekal di telinga Ahmad Mathar.


Selain Bang Husin, bagaimanakah tukang azan memanggil nama Tuhannya sebelum pengeras suara hadir?


Kumandang azan kali pertama berasal dari seorang bekas budak berkulit gelap. Namanya Bilal bin Rabah. Bilal beroleh tugas dari Nabi Muhammad untuk mengumandangkan azan secara lantang, merdu, dan berirama dari dalam sebuah masjid kecil nan sederhana di kota Madinah pada tahun kedua kalender Hijriah (623 Masehi).


Azan menjadi tanda bagi orang muslim agar lekas menuju masjid untuk menegakkan salat. Sebelumnya, orang-orang muslim mengerjakan salat di masjid tanpa diawali azan.


Kemudian Islam menyebar ke luar dari negeri asalnya yang berpadang pasir. Islam masuk ke negeri jauh dengan topografi perbukitan dan berudara lembab. “Di mana diperlukan suara yang cukup keras agar terdengar sampai ke tempat yang jauh,” tulis Syafwandi dalam Menara Mesjid Kudus dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur.


Maka arsitek-arsitek muslim mendirikan sebuah bangunan tinggi agar suara azan sampai ke tempat jauh. Bangunan itu bernama menara. Di sinilah tukang azan (kemudian disebut bilal atau muazin) melaksanakan tugasnya: membesarkan nama Tuhan dan menyeru orang muslim menuju kemenangan.


Tak sembarang orang bisa jadi muazin. Mereka harus mempunyai kriteria tertentu. Antara lain dari kelantangan suara dan kemampuan mengatur irama. Jika berhasil memenuhi kriteria tersebut, mereka bisa masuk dalam Lembaga Muazin. Lembaga ini berdiri pada masa dinasti Islam di Asia Barat dan Afrika, dari abad ke-8 sampai ke-14 M.


Sidi Gazalba dalam Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam mengungkap perhatian khalifah terhadap para muazin. Khalifah menjamin kebutuhan sehari-hari muazin dengan bayaran cukup.


Di Nusantara, negeri berhutan lebat, lembaga serupa juga pernah berdiri di beberapa Kesultanan Islam seperti Aceh dan Mataram Islam. Para muazin terpilih berhak tinggal di sekitar masjid istana atau keraton.


Di kesultanan lain, Lembaga Muazin belum jelas benar ada atau tidaknya. Yang terang ialah para muazin di Kudus dan Banten melantangkan azannya dari menara pada abad ke-17 M.

Menara masjid pertama terletak di Masjid Kudus, Jawa Tengah. Kemudian menara masjid kedua berdiri di masjid milik Kesultanan Banten.


Tak banyak masjid bermenara di Nusantara. “Karena gaung azan terdengar efektif dari bangunan itu bila berada di daerah tandus dan tidak ditanami, bukan di daerah berhutan lebat,” tulis Kees van Dijk dalam “Perubahan Kontur Masjid”, termuat pada Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia.


Kees melanjutkan bahwa biasanya para muazin hanya melantangkan azan dari menara saat tiba waktu salat Jumat atau pada waktu istimewa lainnya.


Lama-kelamaan azan lazim berkumandang dari menara saban masuk waktu salat. Para muazin juga mulai menggali irama atau cengkok lokalnya masing-masing supaya lebih menyentuh para pendengar.


Deliar Noer, ilmuan politik terkemuka Indonesia, mencatat keberagaman cengkok azan di alam Sumatra pada masa kecilnya, 1930-an. “Di Sumatra Timur, azan dikumandangkan dengan merdu mengikuti melodi yang kian lama kian kita kenal sekarang di seluruh Indonesia,” tulis Deliar dalam Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa.


Sementara di tanah Minang, Deliar menilai suara muazin lebih bernada datar. “Tetapi mendayu beriba-iba bagai mengimbau dari kejauhan, seperti yang banyak diperdengarkan orang bersalung (bersuling, red.) dan berkaba (mendongeng, red.).”


Begitulah para juru azan mengagungkan Tuhan dan menyeru umat sebelum ada pengeras suara. Kekal di telinga pendengarnya.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Yang Tercecer dari Pencurian Galeri Perhiasan Louvre

Yang Tercecer dari Pencurian Galeri Perhiasan Louvre

Sejumlah perhiasan para ratu dicuri dari Museum Louvre ketika Prancis masih didera krisis politik. Bermacam batu perhiasannya berasal dari negeri jajahan.
Omar Sharif Aktor Arab Penghias Film-film Barat

Omar Sharif Aktor Arab Penghias Film-film Barat

Anak juragan kayu Mesir ini berkibar di perfilman Barat pada dekade 1960-an dan 1970-an.
Njoto Sang Maestro

Njoto Sang Maestro

Petinggi PKI yang memiliki kepekaan seni yang tinggi. Njoto bergaul karib dengan musisi nasional Jack Lesmana.
Cerita di Balik Labu Kuning Ikon Halloween

Cerita di Balik Labu Kuning Ikon Halloween

Labu kuning yang diukir seperti wajah tersenyum dan dikenal sebagai Jack O’ Lantern menjadi ikon populer Halloween. Cerita asal-usulnya berkaitan dengan dongeng rakyat Irlandia.
bottom of page