top of page

Sejarah Indonesia

Ketika Sukarno Marah Kepada Sjahrir

Ketika Sukarno Marah kepada Sjahrir

Bukan karena lalai terhadap tugas alasan Sukarno marah kepada Sjahrir. Tetapi lebih kepada pribadi yang tidak saling mengerti

30 Juni 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sjahrir, Sukarno, dan Hatta berfoto bersama Letnan Kolonel Van Beek (Komandan KST) di Yogyakarta (Nationaalarchief.nl)

Presiden Joko Widodo marah kepada para menteri-nya. Dalam video yang diunggah akun YouTube Sekertariat Presiden, Minggu (28/6), presiden tampak berang dengan sikap para menteri dan menyoroti kinerja mereka selama masa krisis ini. Dia bahkan mengancam akan melakukan perombakan (reshuffle) kabinet jika diperlukan.


“Saya lihat masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ. Ini apa ngga punya perasaan? Suasana ini krisis!” ungkap presiden.


“Bisa saja membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Sudah kepikiran ke mana-mana saya. Entah buat Perpu yang lebih penting lagi kalau memang diperlukan,” lanjutnya.


Rasa jengkel juga rupanya pernah dirasakan Presiden Sukarno akibat ulah salah seorang bawahannya, Sutan Sjahrir. Tetapi itu bukan karena kesalahan di dalam tugasnya sebagai Penasihat Istimewa Presiden, melainkan lebih kepada urusan pribadi. Watak keras keduanya pun menjadi sebab.


Kisah perbenturan perasaan Sukarno dan Sjahrir terjadi pada 1948 di Parapat, Simalungun, Sumatera Utara, sewaktu Sukarno menjalani masa pengasingan. Di sana dia ditemani Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, dan mantan Perdana Menteri yang kemudian menjabat Penasihat Istimewa Presiden Sutan Sjahrir. Belanda mengasingkan ketiga tokoh itu dalam upaya pelemahan Indonesia setelah pemerintahan di Yogyakarta berhasil dijatuhkan pada Agresi Militer Belanda ke-2.


Di pengasingan dekat Danau Toba itu, kata Mohammad Roem dalam “Bung Kecil yang Berbuat Besar” dimuat Mengenang Sjahrir karya Rosihan Anwar, Sukarno dibuat jengkel oleh tingkah Sjahrir. Sekali waktu Sukarno menyanyi di kamar mandi, melantunkan lagu One Day When We Were Young, suaranya cukup keras terdengar. Sjahrir yang mendengar itu rupanya merasa terganggu, hingga dia berteriak “Houd je mond!” (tutup mulutmu).


Menurut Bung Hatta, Sjahrir pasti merasa kesepian selama di pengasingan. Dia menjadi mudah marah karenanya. Bung Hatta tahu betul sifat Sjahrir tersebut karena keduanya pernah diasingkan bersama di Boven Digoel dan Banda Neira. Tetapi tidak dengan Sukarno. Perubahan sikap Sjahrir tersebut begitu menyinggung perasaannya.


“Bagimana juga saya adalah kepala negara, mengapa dia menghardik saya seperti itu? Tanyalah Haji A. Salim bagaimana hal yang sebenarnya pada waktu itu,” kata Sukarno kepada Mohammad Roem.


Hubungan keduanya kian buruk setelah Sjahrir mendapat undangan terbang ke Jakarta dari PM Belanda Willem Drees awal 1949. Utusan dari Belanda ini datang untuk melihat keadaan Indonesia pasca kejatuhan Yogyakarta dan berunding. Namun dia hanya bersedia berbincang dengan Sjahrir. Si Bung Kecil pun setuju menemuinya.


Keputusan Sjahrir itu memicu kemarahan Sukarno. Bukan karena pertemuannya, tetapi kenyataan bahwa Sjahrir tidak kembali ke Parapat. Sjahrir diizinkan tinggal di Jakarta, sehingga tidak ada alasan untuknya kembali ke pengasingan.


“Mengapa ia tidak kembali ke sini (Parapat). Kalau begitu ia tidak setia,” kata Sukarno seperti diceritakan Agus Salim.


Kejadian lain yang membuat Sukarno tidak senang dengan Sjahrir terjadi pada saat Perundingan Roem-Roijen. Ketika itu disepakati bahwa Sjahrir akan menjadi ketua delegasi karena Mohammad Roem dirasa kurang bertaji kalau harus menghadapi orang-orang pintar dari delegasi Belanda. Tetapi karena sejak Perundingan Renville Sjahrir tidak pernah mau duduk dalam delegasi perundingan dengan Belanda, Roem yang maju sebagai ketua. Semua sepakat Sjahrir menjadi penasihat.


Oleh Sekertaris Negara Abdoel Gaffar, kata Roem, surat pengangkatan Sjahrir dibuat dan diteken oleh Presiden Sukarno. Surat itu lalu dibawa ke Jakarta oleh Roem untuk diserahkan kepada Sjahrir. Setelah membacanya, pernyataan tidak terduga dilontarkan Sjahrir: “Apa dia (Sukarno) itu. Mengapa dia yang harus mengangkat saya. Yang seharusnya mengangkat saya adalah Sjafruddin (Ketua Pemerintahan Darurat RI).”


Sukarno dibuat kesal oleh ucapan Sjahrir tersebut. Menurut Roem, kata-kata itu akan terus dirasakan Bung Karo sebagai suatu penghinaan. Bahkan beberapa pihak menilai sikap Sukarno inilah yang menjadi penyebab penderitaan Sjahrir ketika dia ditahan pada 1960-an.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page