top of page

Sejarah Indonesia

Sabotase Di Garis Demarkasi

Sabotase di Garis Demarkasi

Karena tak terikat formalitas, gerilyawan rakyat lebih bebas beraksi. Mereka menyabotase pipa-pipa air dan pembangkit listrik Belanda.

27 Juli 2022

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jelok dibangun pada 1919 dan baru beroperasi pada 1938. (Facebook Blog Sastra F. Rahardi).

PERAN gerilyawan rakyat di desa tak bisa dikesampingkan dalam sejarah revolusi Indonesia. Di perbatasan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, di mana garis demarkasi atau garis status quo yang memisahkan wilayah Belanda dan Republik ditarik, para pejuang “tanpa nama” terus mengganggu pertahanan Belanda.


Jika TNI harus terikat pada perjanjian dan formalitas, gerilyawan rakyat lebih bebas dalam beraksi. Mereka biasanya mengisi celah-celah dalam perang seperti pencegatan patroli musuh, penyusupan, penculikan, teror, sabotase, dan menjadi mata-mata.


Di wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, muncul sejumlah pasukan gerilyawan atau laskar rakyat. Misalnya, pasukan Merbabu I, Merbabu II, Merbabu III yang bergerak di Getasan dan Tengaran. Beberapa menggunakan nama unik, seperti Pasukan Djelata yang dipimpin Ki Ageng Suryomentaram, Barisan Maling, hingga Barisan Clurut.


Bahkan ada yang muncul di dalam wilayah kekuasaan Belanda seperti Markas Pertahanan Rakyat (MPR) yang bergerilya di Tuntang, Bringin, dan Kedungjati dan Markas Kuda Besi/Sabotase Service (MKB/SS) yang beroperasi di Karanggede hingga Salatiga. Dua terakhir ini tampaknya merupakan pasukan yang mahir melakukan sabotase.


Menurut buku Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro, MKB/SS merupakan pasukan yang terdiri dari kesatuan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pimpinan Mayor Sukiswo yang bermarkas di Karanggede.


“Pasukan Sabotase Service terdiri dari anggota-anggota kelaskaran yang tidak dapat dimasukkan ke dalam formasi TNI. Masyarakat yang dihimpun dan digerakkan untuk mengadakan perlawanan gerilya,” tulis Sedjarah Militer Kodam (Semdam) VII/Diponegoro.


Pada Juni 1948, MKB/SS pernah menyabotase waterleiding atau pipa-pipa saluran air di mata air Senjoyo di selatan Salatiga. Sabotase terhadap mata air yang menjadi penyuplai air bersih di wilayah Salatiga dan Kabupaten Semarang ini tentu merepotkan Belanda.


Sementara itu, Markas Pertahanan Rakyat (MPR), pada bulan yang sama menyabotase Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jelok di daerah Bringin, Kabupaten Semarang. Salah satu PLTA tertua di Jawa itu harusnya bisa mengaliri Kota Salatiga dan sekitarnya, terganggu oleh para gerilyawan.


Menurut Chusnul Hajati, dkk. dalam Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949, dua aksi itu disusul oleh aksi demonstrasi massa pada Juli 1948. Masa menggeser patok tanda batas demarkasi di Tengaran dan beberapa tempat lain.


“Walaupun aksi ini gagal dan dibubarkan oleh tembakan tentara Belanda, namun perlu dicatat sebagai satu tindakan yang heroik,” tulis Chusnul Hajati, dkk.


Serangan-serangan gerilyawan dilakukan malam hari. Agar tak saling serang sesama gerilyawan Republik, mereka telah menetapkan sasaran, rute perjalanan, tempat konsolidasi hingga kode sandi.


Belanda tentu saja kerepotan. Pasukan Belanda sering kali membalas serangan pada siang hari dengan tembakan meriam. Sering kali warga sipil menjadi korban karena pembalasan Belanda yang membabi buta.


Aksi semacam ini memang sangat berbahaya. A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 8 menyebut pada awal Desember 1948, seorang anggota MKB/SS sektor selatan tertangkap di daerah Kadungwaringin, Suruh.


Aksi ini, menurut Semdam VII/Diponegoro, sesungguhnya dipicu oleh berbagai pelanggaran terhadap gencatan senjata yang dilakukan Belanda di sepanjang garis demarkasi. Sementara pasukan-pasukan TNI patuh terhadap gencatan senjata yang disetujui pada 4 Agustus 1947 itu, Belanda justru sering kali melakukan provokasi.


“Sikap defensif TNI dengan dibarengi tindakan ofensif perlawanan gerilya rakyat tersebut ternyata berhasil menahan agresi Belanda lebih lanjut,” tulis Semdam VII/Diponegoro.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Melatih Andjing NICA

Melatih Andjing NICA

Martin Goede melatih para mantan interniran Belanda di kamp. Pasukannya berkembang jadi andalan Belanda dalam melawan pejuang Indonesia.
Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Sjoerd Albert Lapré, "anak Jakarte" yang jadi komandan kompi di Batalyon Andjing NICA. Pasukannya terdepan dalam melawan kombatan Indonesia.
Para Raja Luar Jawa dalam Perang Jawa

Para Raja Luar Jawa dalam Perang Jawa

Dianggap kawan oleh Belanda dan tak mengenal Diponegoro, banyak raja atau kepala masyarakat mengerahkan penduduk mereka melawan Diponegoro dalam Perang Jawa.
Macan Ketawa Beraksi di Tapal Kuda

Macan Ketawa Beraksi di Tapal Kuda

Pasukan berlambang harimau tertawa ini jadi andalan Belanda di sisi tenggara Jawa Timur semasa Agresi Militer II.
bottom of page