Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Obsesi Soeharto Kepada Gajah Mada
PADA suatu hari di tahun 1980-an, Ayatrohaedi, arkeolog dan guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menerima misi penting dari Maulana Ibrahim, kepala bidang pemugaran Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
- Gajah Mada dan Islam di Majapahit
SETELAH wajah pada celengan kuno peninggalan Majapahit dijadikan sebagai wajah Gajah Mada oleh Mohammad Yamin pada 1945, kini Gajah Mada disebut Islam. Namanya Gaj Ahmada. Terang saja ia jadi viral di media sosial. “Yamin merasa berkepentingan, temuan miniatur tanah liat dijadikan wajah Gajah Mada agar mudah membayangkan. Nah, ini hal yang sama,” kata Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, lewat sambungan telepon, Minggu (18/6). Selain Gaj Ahmada, si penulis juga menyebut kalau Majapahit bukanlah kerajaan melainkan kesultanan, soal penemuan koin Majapahit yang bertulis syahadat, nisan Sunan Maulana Malik Ibrahim yang bertuliskan bahwa dia seorang kadi Kerajaan Majapahit, lambang Majapahit berupa matahari dengan tulisan Arab, Raden Wijaya, pendiri kerajaan yang adalah Muslim, dan pelarian Muslim Baghdad ke Nusantara setelah diserang tentara Mongol pada 1293. Tak salah jika menyebut Islam sudah ada sejak masa Hayam Wuruk berkuasa di Kerajaan Majapahit. Sebab, jauh sebelumnya, Islam memang sudah masuk Nusantara di Barus. “Memang benar kalau saat itu sudah banyak Muslim di Majapahit. Ada catatan historisnya. Itu benar,” ucap Daud. Di Majapahit, bukti kehadiran Islam bisa ditunjukkan lewat pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. Letaknya tak jauh dari lokasi yang diduga kompleks Kedaton Majapahit. Dari nisannya, makam-makam ini merujuk tahun 1203 dan 1533 saka (1281 dan 1611 M). Kesimpulannya, Islam sudah dianut oleh penduduk Majapahit pada masa kejayaannya di bawah Hayam Wuruk. “Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, di dalam kota Majapahit, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” tulis arkeolog dan efigraf Hasan Djafar dalam Majapahit Sesudah Zaman Keemasannya . Ma Huan, seorang Muslim dan penerjemah Laksamana Cheng Ho, mengunjungi Majapahit setelah mengalami kemunduran pada 1413. Dalam laporannya, Ying-yai Sheng-lan (Survei Menyeluruh Daratan-daratan Samudra), dia menyebutkan di Majapahit terdapat tiga golongan penduduk, salah satunya penduduk Muslim. Mereka adalah saudagar yang datang dari berbagai kerajaan di barat. “Klaim pada waktu itu Islam sudah cukup kuat ya tidak disanggah. Memang banyak pejabat Majapahit sudah beragama Islam. Memang tidak apa-apa. Cuma kalau ditafsirkan semuanya menjadi Islam, ya, tidak betul,” tegas Daud. Menurut Daud, interpretasi yang disebar lewat media sosial itu jelas dibuat-buat. Terkait nama Gajah Mada, dia menjelaskan, bahwa pada masa itu sudah biasa menggunakan nama hewan sebagai unsur kekuatan bagi si pemilik nama. Itu mengapa Raja Majapahit yang terkenal pun bernama Hayam Wuruk. “Banyak kan yang pakai kebo dalam namanya. Jadi tidak bisa dipisah-pisah begitu (nama Gajah Mada jadi Gaj Ahmada). Lagipula kenapa hanya Gajah Mada. Kenapa yang lain tidak?” kata Daud. Daud menilai interpretasi sejarah semacam ini muncul terkait politik identitas. Si penulis ingin mengidentifikasikan dirinya melalui akar sejarah yang sudah lama. “Bagian dari upaya dominasi pemikiran dan kekuasaan oleh mereka untuk legitimasi kalau ini sudah ada bukti sejak dulu, bahwa kerajaan yang besar itu sebenarnya Islam,” terang Daud. Legitimasi ini, menurut Daud, jelas terlihat karena identifikasi yang ada menunjuk pada satu golongan saja. Padahal, sejarah Majapahit justru sangat mungkin untuk ditafsirkan dalam kebhinekaan. “Kalau bhineka, Majapahit dapat ditafsirkan bahwa kerajaan Hindu itu memiliki para pejabat yang beragama Islam, mereka tidak masalah,” lanjutnya. Di luar itu, pada masa sekarang segala bentuk penafsiran memang sah saja. Namun, itu bukan berarti menyingkirkan keberadaan bukti yang kuat. “Kalau hanya permainan kata-kata semua bisa dipermainkan,” tegas Daud. Hal semacam ini, bisa saja memancing orang untuk makin kritis. Sayangnya, kata Daud, dengan memanfaatkan media sosial, orang seakan menjadi tak butuh bukti lagi.*
- Peraih Hadiah Gajah Mada
SETELAH menamatkan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta, pada Agustus 1924 Soepomo mendapatkan beasiswa ( studieopdracht ) untuk melanjutkan pendidikan hukum ke Universitas Leiden Belanda. Dengan kecerdasan dan ketekunan, pemuda kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 itu, berhasil menyelesaikan pendidikan master dan doktornya dalam waktu bersamaan. Soepomo memperoleh gelar Master in de Rechten (Mr) pada 14 Juni 1927 dengan predikat suma cumlaude . Dan pada 8 Juli 1927, dia mempertahankan disertasinya yang berjudul De reorganisatie van het agrarisch stelsel in het gewest Surakarta (Reorganisasi Sistem Agraria di Daerah Surakarta). “Dia juga meraih hadiah ‘Gadjah Mada’, hadiah tertinggi dalam bidangnya pada saat itu. Hal ini merupakan suatu prestasi yang luar biasa dan berarti bahwa dalam satu tahun sekaligus beliau menggondol dua gelar kesarjanaan. Gelar doktor beliau capai dalam usia yang sangat muda, yaitu 24 tahun,” tulis A.T. Soegito dalam biografi Prof. Mr. Dr. Supomo . Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Universitas Leiden memberikan dua hadiah uang dari Leidsch Universiteits-Fonds (Dana Universitas Leiden) yang dibagikan setiap tahun kepada mahasiswa yang lulus ujian doktoral dengan nilai terbaik. Para pemenang memperoleh uang yang sangat besar, yaitu f750 dan f500. “Hadiah Kanaka dibagikan setiap tahun, sedangkan hadiah Gadjah Mada baru diberikan untuk pertama kali kepada Soepomo,” tulis Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 . Setelah kembali ke Indonesia, Soepomo menjabat Ketua Pengadilan Negeri di Yogyakarta, Purworejo, dan Purwokerto. Dia kemudian bekerja sebagai pegawai tinggi Departemen Justisi di Jakarta untuk mengadakan penelitian hukum adat di Jawa Barat. Setelah itu, dia menjadi dosen hukum adat kemudian guru besar di Rechthogeschool. “Selama masa ini Soepomo tidak aktif pada bidang politik maupun pemerintahan. Dia lebih mencurahkan perhatiannya pada bidang hukum sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya,” tulis A.B. Lapian dalam Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959. Pada masa pendudukan Jepang, Soepomo menduduki posisi Kepala kantor Perundang-undangan Departemen Justisi, anggota Mahkamah Agung, anggota Panitia Hukum Adat dan Tatanegara, dan Kepala Departemen Kehakiman. Pada waktu menjelang Proklamasi, Soepomo menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia menjadi salah satu anggota Panitia Kecil UUD 1945 yang berjumlah tujuh orang. Dalam pidatonya pada 31 Mei 1945, dia mengajukan konsep negara integralistik atau negara kekeluargaan. Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Soepomo diangkat menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Republik Indonesia pertama, yaitu Kabinet Sukarno-Hatta. Dia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Soepomo terlibat dalam berbagai perundingan dengan Belanda, seperti Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar. Ketika Indonesia bebentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), dia diangkat sebagai Menteri Kehakiman Kabinet RIS yang dibentuk pada awal tahun 1950. “Dalam kaitannya dengan pembentukan RIS ini, Soepomo memegang peranan penting dalam merencanakan UUD RIS. RIS berakhir pada Agustus 1950 menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, kabinet RIS pun dibubarkan. Dengan demikian berakhir pula jabatan Soepomo sebagai Menteri Kehakiman Kabinet RIS,” tulis Lapian. Soepomo menjadi guru besar di Universitas Gajah Mada, Akademi Polisi (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Akademi Ilmu Politik, dan presiden (rektor) Universitas Indonesia, pimpinan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan anggota Panitia Negara Urusan Konstitusi. Pada April 1954, Soepomo diangkat sebagai duta besar untuk Inggris. Empat tahun kemudian, pakar hukum adat dan tatanegara ini meninggal dunia pada 12 September 1958. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1965.*
- Kemenangan “Tentara Sukarno” di Hari Lebaran
FEBRUARI 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dimaklumatkan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Beberapa saat usai pengumuman itu, Presiden Sukarno segera memanggil Kolonel Ahmad Yani ke Istana Negara. Sebuah tugas militer penting dilontarkan: operasi militer menumpas PRRI, sekaligus meminta Yani untuk memimpin pendaratan pasukan TNI di Padang. Perintah itu langsung direspons secara positif. Yani mengatakan kepada Presiden Sukarno, “…bagi saya hanya ada dua alternatif, pertama: terkubur di dasar lautan dan kedua, mendarat di Padang,” demikian seperti dituturkan Kolonel Suhardiman kepada istri Yani, Yayu Rulia Sutowiryo dikemudian hari dalam Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan. Yani menyanggupi lantas membentuk staf komando operasi gabungan dengan sandi “17 Agustus”. Operasi itu melibatkan tiga matra sekaligus: Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Sebagai pendamping, Yani dibantu oleh Letkol John Lie dari AL dan Letkol Wiriadinata dari AU. Hari pendaratan ditetapkan 17 April 1958. Selama sejam sejak pukul 05.00 dini hari, penembakan dilancarkan oleh kapal-kapal perang TNI AL ke titik pendaratan. Dua puluh lima menit kemudian pesawat “Red Flight” TNI AU melakukan penembakan disusul dengan pemboman oleh pesawat “Blue Flight” di tempat yang sama. Serangan udara ini terutama ditujukan ke lapangan terbang Tabing. Sejurus kemudian pasukan dari KKO mengawali pendaratan di pantai Padang. Siang hari, seluruh pasukan gabungan berhasil memasuki Padang. Operasi ini hanya memakan satu korban di pihak TNI yang berasal dari Pasukan Gerak Tjepat (PGT) TNI AU. Operasi pendudukan berlangsung selama satu setengah bulan; lebih cepat dari yang diperkirakan yakni tiga bulan. Kota-kota penting seperti Padang, Solok, Payakumbuh, dan Bukit Tinggi berhasil dikuasai TNI. Pada masa awal pendudukan, suasana kota terasa mencekam dan lengang karena banyaknya penduduk yang mengungsi. Di Padang misalnya, banyak masyarakat yang mengatakan, “tentara Sukarno datang,” tulis Yayu. Namun, lambat laun situasi keamanan mulai terkendali. Pada 24 Mei 1958, sebanyak 500 prajurit PRRI menyerahkan diri. Secara militer, perlawanan PRRI telah dipatahkan. Menurut catatan Abdul Haris Nasuiton yang saat itu menjabat Kepala Staf TNI AD sebenarnya PRRI tak lama lagi akan mendapat pesawat-pesawat Bomber-26 dari Amerika. Itu berarti lebih mampu dari B-25 yang dimiliki TNI AU. AU memperhitungkan, dengan B-26 mereka akan dapat membom Medan, Pekanbaru, dan Palembang. “Jika timing mereka lebih tepat dan menyesuaikan proklamasinya dengan itu, maka peta militernya akan lain jadinya. Syukurlah, tidak terlambat kami mendarat!” ungkap Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua . Tidak lama setelah operasi berhasil digelar, hari raya lebaran pun tiba. Salah seorang staf dari pusat kerohanian (Pusroh) memberikan masukan agar Yani dan para komandan batalion mengikuti shalat Id di lapangan bersama rakyat. “Orang Padang menyegani seseorang yang sembahyang,” kata staf itu sebagaimana dikutip Nasution. Namun, Yani menampik. “Orang tahu bahwa saya jarang sembahyang. Kalau saya sembahyang, bukanlah untuk dipuji orang, tapi adalah karena Tuhan,” ungkapnya. Menurut Nasution, jawaban Yani tersebut merupakan cermin kejujuran pribadi sang perwira. “Sahutan Yani adalah karakteristiknya,” tulis Nasution.*
- Berkaca dari Gajah Mada
Rene Suhardono, dikenal sebagai career coach , pelaku bisnis dan penulis. Buku Your Job is NOT You Career dan Ultimate U merupakan karya-karya dari pria gesit kelahiran Jakarta 8 Juli 1972 ini. Ia adalah putra tunggal dari pasangan Rini Warsono dan Vicente Canoneo asal Filipina. Rene, sekira 1998, pernah membuka usaha warung gerobak dengan menu western di bilangan Jalan Mahakam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dari sekadar gerobak, Rene pun mengembangkannya hingga menjadi jaringan kafe. Ayah empat anak ini, mengaku sebagai penikmat makanan dan sejarah. Dan tokoh yang dia kagumi adalah Gajah Mada. Gajah Mada, senapati tertinggi Majapahit dibawah Hayam Wuruk, memang penuh misteri. Gajah Mada memulai karir di Majapahit sebagai bekel (kepala pengawal) dengan limabelas orang pasukannya yang disebut bhayangkara. Sekali waktu, dia menyelamatkan raja Jayanagara ke Desa Badander. Untuk menjaga keamanan raja, dia tak segan membunuh seorang pengawal yang memaksa ingin kembali ke Majapahit. Saat Hayam Wuruk berkuasa (1350-1389), Gajah Mada naik kepuncak karir, sebagai seorang mahapatih. Dalam catatan sejarah saat ini, ia adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas tragedi Bubat, yaitu tumpasnya rombongan calon istri Hayam Wuruk dari kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka. Meski, tragedi Bubat pun hingga hari ini masih menjadi perdebatan di kalangan para arkeolog dan ahli sejarah kuno. Di sela kesibukannya, Rene menyempatkan diri membicarakan tokoh favoritnya tersebut. Mengapa memilih Gajah Mada? Setahu saya Gajah Mada adalah salah satu orang paling awal dalam sejarah bangsa ini yang meneriakkan dan memperjuangkan konsep negara kesatuan. Namanya yang terdengar unik untuk telinga orang Indonesia modern, seperti saya, adalah pemicu awal ketertarikan. Saya pernah membaca cerita formal tentang Gajah Mada yang sangat menarik sebagai tonggak negara Majapahit dan perannya yang kontroversial dalam Perang Bubat. Bisa diceritakan kisah paling menarik tentang Gajah Mada? Hal paling menarik tentang Gajah Mada berdasarkan referensi yang saya baca adalah loyalitas pada negara dan pemimpin. Cerita bagaimana dia menyelamatkan para istri Kertanegara, Raja Singasari dari serbuan Mongol dan pemberontakan Jayakatwang. Cerita bagaimana dia membangun Majapahit dari nol. Cerita bagaimana dia bersumpah menyatukan banyak kerajaan kedalam pengaruh Majapahit. Dan cerita bagaimana dia memilih untuk mundur saat tidak lagi memperoleh kepercayaan dari Sang Raja Majapahit, Raden Wijaya. Perannya, kontribusinya dan kontroversi Gajah Mada yang masih belum berakhir hingga kini. Jika tidak percaya, silahkan cari Jalan Gajah Mada di Bandung, hehehe. Bagaimana Anda menilai peran Gajah Mada kala itu? Kontribusi Gajah Mada dahsyat. Dan bisa jadi kita baru mengetahui permukaannya saja. Coba lihat bagaimana dia mengantar Majapahit dari negara sebesar satu kabupaten di Jawa Timur menjadi setara jika tidak lebih besar dari luasan Indonesia sekarang tanpa peran teknologi modern. Perannya sebagai kepala pemerintahan, jendral besar dan master strategi bagi Majapahit membuat Gajah Mada sejajar dengan Lord Wellington dari Inggris Raya, Jendral Union Ulysses Grant dari Amerika Serikat dan Timur Leng dari Turki. Kita bisa berdebat soal persamaan ini tentunya. Tentang cita-cita mempersatukan Nusantara, bagaimana menurut Anda? Mungkin lebih tepat jika dikatakan saya sebagai misi, bukan cita-cita. Cita-cita terasa pasif, statis dan impersonal. Sebaliknya misi adalah gambaran aktif, dinamis dan personal tentang peran hidup. Saya mendambakan Indonesia yang bersatu, kuat dan keren seperti Majapahit pada periode keemasannya. Saya mengharapkan pemimpin yang cerdas, berani dan bijak seperti Gajah Mada saat mengantar Majapahit sebelum kemudian memilih untuk mundur. Selain segala kelebihannya, apakah Anda menemukan kelemahannya? Kelemahannya bukan soal Gajah Mada namun terbatasnya informasi tentang Gajah Mada. Tentu saja, kajian kontekstual secara lebih mendalam tentang kehidupan Gajah Mada sangat saya nantikan. Ini salah satu periode paling menarik tentang kepulauan Nusantara yang masih belum dipahami dengan baik. Suatu saat nanti. Siapa tahu.*
- Doa Silaban Ketika Merancang Masjid Istiqlal
AZAN subuh belum berkumandang. Kota Bogor masih diliputi kabut. Orang-orang masih menarik selimut rapat-rapat. Namun, dari jendela sebuah rumah di Jalan Gedong Sawah sudah nampak pendar lampu pijar. Friedrich Silaban telah terjaga. Silaban menyerut pensilnya untuk membuat sketsa gambar masjid untuk diikutkan lomba yang dihelat Yayasan Masjid Istiqlal, sekira tahun 1955. Sayembara dilakukan guna mendapat rancangan masjid yang terbaik. Sayembara dipimpin langsung Presiden Sukarno dengan tim juri antara lain Rooseno, Djuanda, Suwardi, Buya Hamka, Abubakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin. Dalam membuat rancangan masjid itu, Silaban mempelajari rupa-rupa masjid dari Aceh hingga Madura. Dia ingin menciptakan sebuah masjid yang baru. Namun, sebagai seorang Kristiani, dia mengalami pergulatan batin karena merancang masjid, tempat ibadah umat Islam. Selama membuat sketsa masjid, dia selalu berdoa. “Tuhan, kalau di mata-Mu saya salah merancang masjid, maka jatuhkanlah saya, buatlah saya sakit supaya saya gagal. Tapi jika di mata-Mu saya benar, maka menangkanlah saya,” ujar Poltak Silaban, putra ketiga Silaban, menirukan doa yang selalu diucapkan ayahnya, kepada Historia , (14/6). Tuhan mengabulkan doa Silaban. Karyanya yang bertajuk “Ketuhanan” dipilih Sukarno. Namun, kemenangan Silaban sempat mengundang perdebatan. “Memang sempat ada polemik mengenai pemenang sayembara, namun tidak lama. Ya, karena agama papi yang Kristen kok bisa merancang masjid. Tapi di sini hebatnya Sukarno. Saat itu, siapa sih yang berani melawan Sukarno,” ujar Poltak. “Bahkan, kabarnya papi sempat dipeluk oleh Hamka karena karyanya itu.” Namun, Setiadi Sopandi, penulis buku biografi Friedrich Silaban, tidak yakin terjadi pergulatan batin. Sebab, merancang masjid nasional di pertengahan dekade 1950 merupakan kesempatan emas dalam karier arsitek. "Yang menarik adalah sayembara masjid nasional di tahun 1954-55 tidak meributkan asal-usul atau agama si perancangnya. Bahkan, pemenang juara ketiga sayembara masjid Istiqlal dimenangkan oleh Han Groenewegen, arsitek asal Belanda yang Kristen," kata Setiadi. Penanaman tiang pancang dilakukan pada 1961. Sejak pertama pembangunan, Silaban tak pernah absen. Sejak pagi buta, dia berkendara dari Bogor menuju Jakarta. Dia ingin rumah ibadah itu berdiri dengan sempurna. Istiqlal belum rampung ketika Sukarno dijatuhkan dari kekuasaannya. Rezim Orde Baru sempat mencurigai Silaban sebagai komunis atau Sukarnois. “Rumah kami pernah dijaga seorang intel. Lalu pernah pula mau kemana-mana tidak boleh, bahkan membuat KTP dan paspor juga dipersulit. Papi marah disebut PKI atau Nasakom oleh intel tersebut,” ujar Panogu Silaban, putra Silaban yang lain. Padahal, kata Panogu, Silaban antikomunis. Hal itu terekam dalam percakapannya dengan Sukarno tak lama setelah kampanye Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) pada 1960-an. “Nasakom Pak? Poros tiga bahan? Kalo di teknik, poros tiga bahan itu rapuh,” ujar Silaban kepada Sukarno. “Hei Sil, kalo soal teknik, boleh kamu ngomong. Tapi kalo soal politik, ini, presidenmu,” kata Sukarno. Meski sempat dicurigai, penguasa Orde Baru memilih Silaban sebagai wakil ketua proyek Istiqlal. Dia bercita-cita supaya Istiqlal sudah tuntas sebelum dia meninggal. Pembangunan Masjid Istiqlal memakan waktu 17 tahun dan resmi digunakan pada 22 Februari 1978. “Pada 1980-an, papi sudah tidak bisa jalan. Namun, dia bersikeras ingin melihat kubah Istiqlal yang baru saja selesai. Maka, dia ditandu oleh para staf keliling melihat setiap jengkal Istiqlal,” ungkap Poltak. Selain Masjid Istiqlal, karya Silaban yang lain adalah Kantor Perikanan Darat Sempur Kota Bogor, Rumah Dinas Walikota Bogor, Bank Indonesia di Jakarta dan Surabaya, dan Gedung Pola. “Silaban mampu mengejawantahkan keinginan Sukarno dalam hal rancang bangun. Selain itu, dia dikenal cepat dalam membuat konsep bangunan, sehingga Sukarno merasa cocok dan senang,” ujar Setiadi Sopandi, penulis buku biografi Friedrich Silaban , pada sesela peluncuran bukunya di ruang perpustakaan Sjafruddin Prawiranegara Bank Indonesia, Jakarta Pusat (14/6). Silaban, salah satu arsitek kesayangan Sukarno, mengembuskan napas terakhirnya pada 14 Mei 1984. Untuk mengenang jasanya, Jalan Gedong Sawah di Kota Bogor diganti menjadi Jalan F. Silaban.
- Ritual Pengorbanan Manusia
Di Mesir Kuno dan Cina, banyak budak dikubur hidup-hidup. Mereka dikubur bersama majikannya yang mati lebih dulu. Mereka tetap harus menjadi pelayan sang majikan bahkan hingga ke alam baka. Pengorbanan manusia lumrah dijumpai di Pasifik Selatan, Jepang kuno, Asia Tenggara awal, Eropa Kuno, wilayah Amerika tertentu, Mesoamerika, Yunani, Romawi, hingga di antara peradaban besar dunia kuno. Mereka dijadikan tumbal demi menenangkan dewa-dewa tertentu. Namun, belakangan keraguan atas alasan itu muncul. Pertanyaan seperti bagaimana jika itu hanya pembenaran? Bagaimana jika ritual itu memiliki tujuan politik? Pertanyaan itu dilontarkan sejumlah peneliti sebelum akhirnya mereka menemukan bahwa ritual persembahan manusia mungkin merupakan bagian dari rancangan yang lebih jahat. Sebuah studi menarik mengenai ini pernah dipublikasikan jurnal Nature pada April tahun lalu. Joseph Watts, psikolog dan mahasiswa doktoral evolusi kebudayaan dari University of Auckland, Selandia Baru, memimpin penelitian bersama timnya, yang juga bekerjasama dengan Victoria University, Selandia Baru. Mereka pun menemukan bukti yang bisa mendukung gagasan itu. Para ilmuan itu, sebelumnya berpikir pemimpin pada masa kuno menggunakan upacara persembahan sebagai jalan untuk memperkuat pengaruhnya. Mereka melakukannya dengan berperan sebagai perantara Yang Mahakuasa, lalu berlagak sebagai penerjemah keinginan Dewa, dan karenanya mendapatkan legitimasi kekuasaan. Dengan cara itu, mereka membangun ketakutan bagi mereka yang berniat melawan penguasa. Seperti dilansir dari laman bigthink.com (23/2/2017), peneliti itu mengevaluasi 93 kebudayaan bangsa Austronesia dan menemukan sekira 40 alasan berbeda dalam melakukan praktik pengorbanan manusia. “Watts dan rekannya ingin tahu apakah ada dampak antara ritual pengorbanan manusia dengan stratifikasi sosial tertentu,” tulis laman itu. Mereka pun menggunakan teknik yang disebut analisis filogenetik. Biasanya, analisis ini digunakan untuk mengikuti lika-liku evolusi pada suatu spesies. Namun, sosiolog mengadopsi teknik ini demi mempelajari perkembangan bahasa. Fungsinya untuk merencanakan hubungan antara budaya yang berbeda yang dipelajari. Dari studi itu, Watts dan rekannya menemukan bukti bahwa persembahan manusia adalah perangkap kekuasaan. Itu adalah cara untuk mempertahankan kontrol sosial. Berdasarkan data yang didapat dari catatan sejarah etnografi, tujuan dari pelaksanaan ritual selalu sama, yaitu untuk menguatkan kekuasaan. “Terlebih lagi, korban cenderung sama, seseorang dengan status sosial rendah, seperti budak atau tahanan perang,” kutip bigthink.com. Menurut Watts, penelitian itu pun kemudian menunjukkan betapa agama dapat dimanfaatkan oleh kaum elite sosial untuk keuntungan pribadi. Kondisi masyarakat yang makmur, membuat para pemimpin butuh metode pengendalian sosial yang efektif. Teror pun dimaksimalkan demi mendapatkan efek yang didambakan. Namun, meski temuan ini dianggap memprovokasi, beberapa ahli bertanya-tanya apakah analisis filogenetik membuktikan adanya hubungan kausal atau hanya mengisyaratkannya. Ritual persembahan mungkin bukan satu-satunya alasan masyarakat menjadi begitu hierarkis dan kompleks. Hierarki seperti pada masa kuno hingga kini pun masih bisa dijumpai. “Meski agama modern telah menyingkirkan praktik yang membantu mewujudkannya,” ungkap Watts.
- Orang yang Mengusulkan Nama Gelora Bung Karno
Suatu pagi sambil minum kopi, beberapa orang menteri berkumpul di serambi belakang Istana Merdeka. Di antara mereka hadir Menteri Olahraga Maladi, Menteri Dalam Negeri dr. Soemarno Sosroatmodjo, Menteri Agama Saifuddin Zuhri, dan beberapa pejabat sipil dan militer. Mereka tengah membicarakan nama untuk kompleks olahraga yang terletak di Senayan untuk penyelenggaraan Asian Games IV. Mereka sepakat memberi nama Pusat Olahraga Bung Karno, namun Saifuddin tidak setuju. “Nama itu tidak cocok dengan sifat dan tujuan olahraga,” kata Saifuddin dalam otobiografinya, Berangkat dari Pesantren. Semua mata tertuju kepadanya. “Mengapa?” tanya Sukarno. “Kata ‘pusat’ pada kalimat ‘Pusat Olahraga’ itu kedengarannya kok statis tidak dinamis seperti tujuan kita menggerakkan olahraga,” jawab Saifuddin. “Usulkan nama gantinya kalau begitu,” kata Sukarno. “Nama ‘Gelanggang Olahraga’ lebih cocok dan lebih dinamis,” kata Saifuddin menjelaskan. “Nama Gelanggang Olahraga Bung Karno kalau disingkat menjadi Gelora Bung Karno. Kan mencerminkan dinamika sesuai dengan tujuan olahraga.” “Wah, itu nama hebat. Saya setuju!” Sukarno menjabat tangan Saifuddin dengan air muka cerah. Sukarno memerintahkan Maladi untuk mengganti nama Pusat Olahraga Bung Karno menjadi Gelora Bung Karno. Pada 21 Juli 1962, Sukarno meresmikan Gelora Bung Karno yang berkapasitas 110.000 orang. Dalam rangka desukarnoisasi, penguasa Orde Baru mengubah nama Gelora Bung Karno menjadi Stadion Utama Senayan. Pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan nama Gelora Bung Karno.
- Raja Mataram Menjaga Keberagaman
PADA 1740, seluruh wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat, berada di bawah kekuasaan Kerajaan Karangasem dari Bali. Raja terakhirnya adalah Anak Agung Anglurah Gede Ngurah Karangasem (1870-1894). Dia dikenal sebagai raja yang toleran dan menjaga keberagaman. Penduduknya sebagian besar dari suku Sasak yang beragama Islam, disusul orang Bali beragama Hindu, Makassar, Tionghoa, Arab, dan Eropa. Menyadari penduduknya beragam dalam suku, budaya, dan agama, raja berusaha mengatur dan menjaganya dengan baik. Raja mengadakan pendekatan kepada tokoh-tokoh Sasak. Bahkan, dia mengambil istri dari suku Sasak, yaitu Dinda Aminah. Menurut I Gde Parimartha, guru besar sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, lewat hubungan perkawinan, raja menerapkan sistem keseimbangan dalam masyarakatnya. Raja memandang bahwa budaya dan agama Islam perlu hidup berdampingan dengan budaya dan agama lain. “Meskipun raja dan keluarga menganut agama Hindu, namun raja juga mengizinkan masyarakat Sasak untuk mengembangkan agamanya. Raja juga memberikan istrinya tetap menganut agamanya (Islam) dan berhubungan dengan masyarakat asalnya (Sasak),” tulis Parimartha, “Otonomi Daerah dan Multikulturalisme (Studi Mengenai Masyarakat Nusa Tenggara Barat),” termuat dalam Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah. Selain itu, raja mengangkat Said Abdullah, seorang keturunan Arab sebagai penasihat politik kerajaan sekaligus kepala pelabuhan Ampenan. Raja juga membantu membangun masjid di Ampenan dan memberikan bantuan kepada orang-orang Sasak yang naik haji ke Makkah. Raja membuka perwakilan di Jedah yang dipimpin oleh Haji Majid untuk mempermudah rakyatnya menunaikan ibadah haji. “Contoh luar biasa dari Raja Bali di Lombok, seorang beragama Hindu yang mempunyai istri Sasak Muslim, menurut kesaksian tahun 1874 pernah membangun sebuah rumah di Makkah untuk rakyatnya yang mau naik haji,” tulis Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam tahun 1482-1890. Raja mengangkat mereka yang telah kembali dari Makkah sebagai penghulu agama dengan imbalan tanah pecatu (tanah jabatan). Salah satunya Haji Mohamad Ali yang juga berperan sebagai guru agama dari tokoh-tokoh adat (guru bangkol). “Dengan kebijakan raja seperti itu masyarakat Lombok menjadi harmonis, saling mengerti satu sama lain. Ini menjadi cerminan masyarakat multikultural yang didasari kebijakan politik penguasa, dan kesadaran masyarakatnya tanpa memandang perbedaan suku, agama, dan kepercayaan,” tulis Parimartha. Pada akhir abad 19, kerajaan mengalami kemunduran, selain karena intervensi kolonial Belanda, putra raja yang memegang kebijakan kurang memperhatikan keseimbangan dalam kehidupan rakyat. Akibatnya, muncul perlawanan dari masyarakat Sasak yang menolak membayar pajak yang semakin berat. “Pada 1891, keadaan itu dimanfaatkan oleh kelompok yang memiliki keyakinan keras dengan mengembuskan semangat menentang raja dengan semboyan perang sabil melawan raja kafir. Timbulah pemberontakan melawan Raja Mataram,” tulis Parimartha. Raja meminta penghulu agama, Haji Mohamad Ali untuk mengatasinya, namun tidak dapat berbuat banyak. Belanda mengasingkan raja ke Batavia sampai meninggal pada 1894.*
- Politik Tanpa Prinsip
Wajahnya sering menghiasi layar kaca. Namun, setelah hampir sepuluh tahun berkarier sebagai pembawa acara berita di berbagai stasiun televisi swasta, Isyana Bagoes Oka, 37 tahun, memutuskan undur diri dan bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia. “Kami berpegang pada kebajikan dan keragaman. Ini sejalan dengan ajaran mendiang nenek saya,” ujarnya. Sejak kecil, Isyana diajarkan neneknya, Gedong Bagoes Oka, dengan nilai-nilai kebajikan yang diusung Mohandas Karamchand Gandhi, atau lebih dikenal dengan Mahatma Gandhi. Gandhi lahir di Porbandar, Gujarat, India, pada 2 Oktober 1869. Dia terlibat dalam proses kemerdekaan India dari Kerajaan Britania Raya dengan berpegang pada prinsip ahimsa (antikekerasan), hartal (pembangkangan sipil), satyagraha (nonkooperatif dengan musuh), dan swadeshi (berdiri di kaki sendiri). Ajaran-ajarannya kemudian menginspirasi banyak orang di seluruh dunia. Gandhi juga memperkenalkan Tujuh Dosa Sosial: politik tanpa prinsip, bisnis tanpa moralitas, pengetahuan tanpa karakter, sains tanpa kemanusiaan, kaya tanpa kerja, kenikmatan tanpa hati nurani, dan ibadah tanpa pengorbanan diri. Isyana menganggap Gandhi sebagai inspirator dan sedikit-banyak membawa pengaruh pada kehidupannya. Berikut penuturannya. Bagaimana mula mengenal Gandhi? Mendiang nenek saya menerapkan prinsip-prinsip dan ajaran Gandhi. Bahkan nenek saya, sebelum saya lahir, mendirikan Ashram Gandhi. Namanya Gedong Gandhi Ashram di Candidasa, Bali. Ini adalah pusat pendidikan dan pengalaman ajaran Gandhi. Sejak kecil, setiap saya pulang ke Bali, prinsip itu diterapkan. Dan masih melekat sampai sekarang? Ajaran itu diterapkan sejak kecil. Yang paling saya ingat, pada dinding di Ashram yang nenek saya dirikan, ada foto wajah Gandhi di sebelah kiri dan ajaran Tujuh Dosa Sosial menurut Gandhi di sebelah kanan. Sebagai anak kecil, ketika lihat sesuatu pasti akan teringat terus. Sekarang saya justru lebih ingat ajaran itu dalam bahasa Inggris, karena tulisan di sana pakai bahasa Inggris. Apa yang paling diingat dari ajaran Gandhi? Antikekerasan. Ahimsa mengajarkan kita bagaimana memahami perbedaan, konflik, tanpa menggunakan kekerasan tapi cinta. Gandhi menentang segala bentuk kekerasan, termasuk diskriminasi ras, agama, dan warna kulit. Ingat, dia menentang politik apartheid sewaktu di Afrika Selatan tanpa kekerasan. Di sini dia mengajarkan bagaimana kejahatan bisa diperangi bukan dengan kekerasan. Ini bukannya tanpa senjata, tapi sebenarnya justru itu senjatanya; tanpa kekerasan. Adakah hubungannya dengan keputusan Anda terjun ke politik? Oh bukan, bukan karena itu. Selama ini banyak orang berpikir politik itu kotor, jahat, tidak baik. Kalau semua berpikiran seperti itu, sampai kapan pun akan begitu, tidak akan berubah. Makanya, menurut saya, semakin banyak orang dengan tujuan politik yang baik bergabung, itu akan semakin baik. Anda akan menerapkan ajaran Gandhi di politik? Saya ingin menerapkan nilai-nilai itu dalam perjalanan politik saya. Dalam quote -nya Gandhi, Tujuh Dosa Sosial, di antaranya ada Politik Tanpa Prinsip. Politik itu harus mewakili setiap orang. Indonesia beragam dengan suku bangsa, nggak bisa dipaksa menjadi satu. Memahami keragaman sangat penting. Kembali ke prinsip antikekerasan, selama ini di Indonesia kebanyakan menyikapi keberagaman dengan kekerasan.
- Bilangan Nol, Apple, Kari Ayam dan Soal Keyakinan Asli
ZAMAN sekarang, pengetahuan dan gagasan merupakan sesuatu yang dapat dimiliki secara pribadi atau oleh sebuah lembaga dan siapa yang berhak menggunakan dapat ditetapkan sekaligus dibatasi. Seperti Hak Paten merupakan perangkat masyarakat modern guna mengatur penggunaan gagasan tertentu dan pembagian keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan gagasan tersebut. Akibatnya, masyarakat modern sangat memuliakan pencipta gagasan.
- Layar Belum Terkembang
ANGIN ribut, petir, dan badai menerjang wilayah kerajaan Mataram. Pohon-pohon tumbang. Di laut selatan, ombak menggunung. Fenomena alam tak biasa itu membuat Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan terkejut. Dia berdiri di tepi laut untuk mencari tahu penyebabnya. Dia mendapati Panembahan Senapati sedang bersemedi. Kepada sang raja Mataram itu dia memohon.






















