top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Bantuan Senjata dari Indonesia untuk Mujahiddin Afghanistan

    Pada Maret 1983, menjelang Sidang Umum MPR, Mayor Luhut Pandjaitan, Komandan Den 81/Antiteror, dikejutkan dengan laporan bahwa pasukannya disiagakan. Perintah itu datang dari wakilnya, Kapten Prabowo Subianto. Prabowo akan menangkap Letnan Jenderal TNI Benny Moerdani, Asintel Hankam/ABRI dan beberapa perwira tinggi ABRI. Luhut segera memanggil Prabowo. Namun, Luhut langsung ditarik oleh Prabowo ke luar kantor. Alasannya, ruangan sudah disadap. Prabowo mengatakan bahwa Benny akan melakukan kudeta dan sudah memasukkan senjata. Dalam biografi Sintong Panjaitan,  Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando  karya Hendro Subroto, Luhut membenarkan bahwa Benny memasukkan senjata. Namun, senjata itu barang dagangan untuk Pakistan yang selanjutnya akan disalurkan kepada Mujahiddin di Afghanistan untuk melawan Uni Soviet. “Operasi intelijen oleh L.B. Moerdani dilakukan dalam upaya mencari dana dan memberi peran Indonesia dalam perjuangan di Asia,” tulis Hendro. Marsekal Muda TNI Teddy Rusdy ketika menjabat Ketua LPT Taruna Nusantara menerima kunjungan Menhankam Jenderal TNI Benny Moerdani. (Repro Think A Head) Pengiriman senjata kepada Mujahiddin Afghanistan bermula dari pertemuan Benny Moerdani didampingi Kolonel Udara Teddy Rusdy, Paban (Perwira Diperbantukan) VIII Staf Intel Hankam, dengan Kepala Intelijen Pakistan (Inter-Service Intelligence/ISI), di Islamabad pada 18 Februari 1981. Pertemuan rahasia itu membahas permintaan Mujahiddin Afghanistan dan intelijen Pakistan kepada Indonesia untuk membantu logistik, obat-obatan, dan persenjataan. “Saat itulah awal dari operasi khusus L.B. Moerdani dan Teddy Rusdy memasok senjata ke Mujahiddin Afghanistan,” tulis Servas Pandur dalam biografi Teddy Rusdy, Think A Head. Keputusan itu diambil karena persenjataan dan logistik yang ideal untuk melanjutkan perang gerilya Mujahiddin Afghanistan melawan Uni Soviet adalah jenis persenjataan yang sama dengan yang digunakan lawan. Oleh karena itu, Mujahiddin sangat membutuhkan senjata-senjata buatan Uni Soviet, yang kebetulan banyak dimiliki ABRI sebagai inventaris masa Trikora (Tri Komando Rakyat) dan Dwikora (Dwi Komando Rakyat). “Dengan persetujuan Presiden Soeharto, dikumpulkan jenis senjata buatan Uni Soviet dari gudang-gudang seluruh Indonesia, dan terkumpul persenjataan untuk kelengkapan dua batalion infanteri,” tulis Servas. Senjata dan logistik tersebut selama beberapa bulan diangkut ke Jakarta, dikumpulkan di gudang-gudang khusus milik Staf Intel Hankam, Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pekerjaan pertama yang memakan waktu lama adalah menghapus semua nomor seri yang tertera pada setiap senjata untuk mengaburkan asal senjata tersebut. Setelah selesai semua persiapan yang sangat teliti, ketat, dan tertutup, pada Juni 1981 dipersiapkan cara dan sarana pengangkutan dari Jakarta ke Afghanistan. Semua senjata itu dimasukkan ke dalam peti dan diberi tanda palang merah, dicampur dengan peti obat-obatan dan selimut. Tentara Uni Soviet bersiaga, 1988. (Wikimedia Commons) Peti-peti itu diangkut dengan pesawat jenis Boeing 707. Pilotnya dipilih yang biasa terlibat dalam operasi intelijen, yaitu Kapten Arifin, Kapten Abdullah, dan Kapten Danur. Rute penerbangannya dari Jakarta ke Kepulauan Diego Garcia di Samudera Hindia, selanjutnya ke Rawalpindi di Pakistan Utara. “Penerbangan operasi intelijen di wilayah udara internasional di- cover sebagai penerbangan bantuan kemanusiaan, dikendalikan melalui peralatan komunikasi khusus ( scrambler ) di pesawat oleh Teddy Rusdy dan di markas Staf Intel Hankam oleh L.B. Moerdani,” tulis Servas. Pesawat tiba di Rawalpindi, pangkalan Angkatan Udara Pakistan, menjelang tengah malam. Tim penerima telah siap dengan tank dan personel bongkar muat dan angkutan disiapkan oleh intelijen Pakistan. Tengah malam menjelang pagi, konvoi bantuan kemanusian pemerintah Indonesia untuk pengungsi dan korban perang Afghanistan bergerak ke Barat, melalui Attock, Nowshera, Peshawar, melalui lembah yang terkenal Khyber Pass, memasuki Afghanistan. Sesampainya di sana, peti-peti berisi senjata yang dicampur obat-obatan dan selimut diserahkan kepada pimpinan Mujahiddin di Nangarhar. Perang yang berlangsung sejak 1979 berakhir tahun 1989. Pasukan Uni Soviet ditarik mundur dari Afghanistan disusul jatuhnya rezim Mohammad Najibullah tahun 1992. Perang itu mengakibatkan Uni Soviet kehilangan 14.453 tewas, 53.753 luka-luka, dan 264 hilang. Sedangkan Mujahiddin kehilangan 57.000 tewas dan Pakistan kehilangan lebih dari 300 tewas.

  • Mengukur Kemurnian Manusia Indonesia

    Banyak masyarakat barangkali masih ragu, atau bahkan tidak percaya dengan kebenaran teori asal mula manusia modern yang pasti selalu dikaitkan dengan benua Afrika. Biasanya muncul pertanyaan: jika benar mengapa setiap orang tidak memiliki fisik seperti orang Afrika? atau siapa sebenarnya leluhur manusia modern itu? Pemikiran seperti itu nyatanya juga masih terus tumbuh di Indonesia. Terlebih para ilmuwan menambahkan teori dari Asia untuk menjelaskan asal usul masyarakat Indonesia. Akhirnya sebagian dari kita belum puas dengan teori para ilmuwan tersebut, dan terus mempertanyakan keaslian nenek moyang yang membentuk gen manusia Indonesia. Baca juga:  Ikuti Proyek DNA: Sebineka Apa Kamu? Dalam acara kajian sains modern, “Asal-Usul Manusia Indonesia”, yang diselenggarakan Museum Nasional Indonesia bekerjasama dengan Gramedia pada 25 Juli 2019 di Auditorium Museum Nasional, Herawati Supolo Sudoyo, Peneliti Genetika Molekul dari lembaga Eijkman, memaparkan dengan jelas unsur genetika manusia Indonesia yang tesusun atas gen dari berbagai bangsa dunia. “Manusia pada dasarnya berkerabat dekat kalau kita lihat dari rekonstruksi silsilah populasi kita,” kata Herawati. Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti Molekul Genetika Lembaga Eijkman. (Fernando Randy/Historia). Adanya teori Out of Africa  yang menyebut manusia modern berasal dari Afrika ratusan ribu tahun yang lalu memang cukup membingungkan jika para ilmuwan tidak menjelaskannya dengan lengkap. Herawati mengatakan bahwa persebaran manusia dari Afrika ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, terjadi dalam beberapa tahap yang berlangsung selama ratusan ribu tahun. Sehingga tidak heran jika pada prosesnya terjadi perubahan dalam bentuk fisik akibat perbedaan lingkungan dari tempat asalnya, yakni Afrika. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Colin Groves, profesor Biological-Anthropology di Australian National University, dalam Bones, Stones, and Molecules: Out Of Africa and Human Origins , menyebut jika perubahan bentuk fisik manusia terpengaruh oleh tempat tinggal mereka setelah keluar dari Afrika. Baca juga:  Bukti Terbaru Asal Usul Manusia Modern Dalam mengungkap tabir genetika manusia di seluruh dunia, menurut Herawati, Indonesia memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam proses pencariannya. Sejak dahulu, wilayah Indonesia telah menjadi tempat manusia berlalu-lalang. Dan dari sinilah jenis-jenis manusia tersebar ke daerah-daerah sekitarnya. Seperti manusia dari daratan Asia yang bergerak ke arah timur menuju Pasifik atau ke selatan menuju Australia, sudah tentu akan melewati Indonesia terlebih dahulu. “Indonesia di tingkat genetika populasi dunia sangat penting. Sumbangan kita terhadap genetika molekul itu terbesar. Jadi kunci penyebaran manusia itu ada dikita,” katanya. Ahmad Arif, penulis dan wartawan Kompas.  (Fernando Randy/Historia) Saat proses persebaran terjadi, tidak hanya fisik saja yang terpengaruh, tetapi kebiasaan, bahasa, budaya, bahkan komposisi gen pun ikut berubah. Hal itu terjadi saat manusia mulai melakukan pembauran dengan manusia lain yang memiliki perbedaan secara DNA. Periode perubahan gen masyarakat Indonesia berlangsung selama ribuan tahun. Tergantung dari tempat mereka tinggal. Sehingga setiap kelompok masyarakat memiliki periode yang berbeda. Seperti proses pembentukan etnis Banjar di Kalimantar yang diperkirakan memakan waktu 1.300 tahun, hasil campuran etnis Dayak dan Melayu. Baca juga:  Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika “Menarik bahwa ternyata pencampuran etnis di Indonesia itu sudah berlangsung lama sekali. Prosesnya memang alami, namun dipengaruhi oleh banyak faktor,” kata Ahmad Arif, wartawan Kompas yang menjadi pembicara di acara kajian sains modern “Asal-Usul Manusia Indonesia”. Di Indonesia proses pembauran terbesar terjadi pada era perdagangan hingga kolonial, yang telah dimulai sejak abad-abad pertama Masehi. Pada periode tersebut banyak bangsa yang datang ke Nusantara membawa DNA campuran dari wilayahnya masing-masing. Para pedagang dari Arab, Tiongkok, India, Afrika, dan Eropa, yang melakukan kontak dengan masyarakat lokal perlahan mulai mengalami perubahan di dalam genetikanya. Mereka terpengaruh oleh keadaan lingkungan, kebiasaan, makanan, dan segala jenis interaksi yang terjadi di Nusantara. Di samping hubungan pernikahan. Baca juga:  Spesies Baru Manusia Ditemukan “Orang yang tinggal di pesisir, seperti masyarakat Jawa pesisir, pasti ada gen Chinanya, Indianya, sama Arabnya, walau ga semua. Karena memang itu tempat pertemuan genetis,” kata Herawati kepada Historia . Keadaan itu berlaku juga bagi masyarakat Indonesia, baik yang tinggal di pesisir ataupun pegunungan. Masyarakat pesisir yang berinteraksi langsung dengan bangsa asing, ditambah lingkungan laut, memiliki bentuk genetika yang berbeda dengan masyarakat pedalaman, yang umumnya dipengaruhi oleh gen dalam lingkup yang lebih sempit. Potret peserta diskusi. (Fernando Randy/Historia). Sebagai contoh, Ahmad Arif melakukan tes DNA di salah satu laboratorium genetika di Amerika dan Lembaga Biologi Molekular Eijkman. Ia menggunakan sampel darah dan saliva (air liur) untuk melihat komposisi gen di dalam dirinya. Hasilnya memperlihatkan bahwa leluhur Ahmad berasal dari Tiongkok sekitar 9.000 tahun lalu yang menyebar ke kawasan barat dan selatan Asia Tenggara hingga akhirnya masuk ke Pulau Jawa. Baca juga:  Ciri Negatif Manusia Indonesia  "Misalnya saya yang dikonstruksikan sebagai orang Jawa ternyata DNA saya menceritakan bahwa leluhur saya itu macam-macam. Ada yang sekitar 200 tahun lalu dapat tambahan dari China, ada tambahan dari Asia Selatan, dan seterusnya. Jadi saya menjadi Jawa pun bukan berarti paling pribumi karena semua pun ada jejak pembaurannya," kata Ahmad kepada  Historia . Lalu seberapa murni gen manusia yang disebut masyarakat asli Indonesia? Ahmad menegaskan bahwa tidak ada satupun orang Indonesia yang memiliki gen murni atau gen yang tidak bercampur. “Baca DNA menurut saya bisa dibawa kemana aja, bisa bilang mana yang murni. Walau sebenarnya secara ilmiah gaada yang paling murni, semua orang pasti campuran,” tutupnya.

  • Apakah Rezim Mao Terlibat G30S?

    SEBELUM peristiwa G30S meletus, Ketua CC PKI, D.N Aidit berkunjung ke Beijing. Di sana, Aidit bertemu ketua Partai Komunis Tiongkok (PKT), Mao Zedong. Mereka membicarakan situasi politik yang sedang terjadi di Indonesia; suksesi kekuasaan bilamana Presiden Sukarno wafat atau dilengserkan. Tidak lama berselang, terjadilah peristiwa 1 Oktober 1965. Sukarno kemudian tumbang. Jenderal Soeharto naik tampuk kekuasaan mendirikan rezim Orde Baru. Selain PKI, penguasa Orde Baru mencurigai keterlibatan pemerintah Tiongkok dalam G30S. Pada 1967, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok diputuskan. Apakah benar penguasa Beijing berada di balik G30S? “Percakapan antara Mao dengan Aidit barangkali merupakan bukti terkuat,” ujar Taomo Zhou, sejarawan Nanyang University dalam peluncuran dan bedah bukunya Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia Tiongkok, dan Etnik Tionghoa, 1945—1967 yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 29 Juli 2019. Peluncuran dan bedah bukuRevolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok, Etnik Tionghoa 1945-1967karya Taomo Zhou di aula gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 29 Juli 2019. (Martin Sitompul/Historia) Keterlibatan rezim Mao dalam G30S selalu jadi perdebatan. Menurut Taomo, teka-teki itu dapat terjawab bila merujuk percakapan antara Aidit dan Mao. Transkrip percakapan keduanya tertanggal 5 Agustus 1965 tersebut tersimpan dalam arsip Kementerian Luar Negeri Tiongkok. Lebih dari setengah abad mengendap,  arsip tersebut dideklasifikasi secara bertahap pada 2007. Sebanyak 250 bundel arsip setebal 2000 halaman dibuka hanya terbatas kepada peneliti dan sejarawan. Namun sayangnya, pemerintah Tiongkok mereklasifikasi (menutup akses) arsip berharga itu pada 2013 tanpa alasan yang jelas. Taomo menjadi salah satu sejarawan yang beruntung bisa meneliti arsip-arsip itu untuk keperluan disertasi doktoralnya di Universitas Cornell. Disertasi Taomo yang berjudul “Diaspora and Diplomacy: China, Indonesia and The Cold War, 1945-1967” rampung pada 2015. “Secara fundamental kita dapat katakan bahwa Aidit adalah aktor yang dengan sadar merancang gerakan sedangkan pengaruh Beijing pada dasarnya sangatlah terbatas,” kata Taomo. Menurut Taomo keterlibatan rezim Mao pada prahara paling berdarah dalam sejarah Indonesia tidak signifikan. Ketika bertemu dengan Mao, Aiditlah yang menerangkan rencana gerakan merebut kekuasaan. Mao sendiri terkejut saat mendengar gerakan tersebut akhirnya dilancarkan. Berdasarkan bukti itu, Taomo dalam penelitiannya menggugurkan mitos yang tersebar luas di mana Mao digambarkan sebagai “arsitek G30S”. Kendati demikian, dampaknya cukup berimbas besar terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Propaganda pemerintah Soeharto yang mengidentifikasi etnik Tionghoa dengan komunisme telah membuat komunitas minoritas itu rawan terhadap kekerasan dan pengusiran selama berlangsungnya pembunuhan massal pada 1965-1966. Akibatnya, lebih dari 160 ribu orang Tionghoa terpaksa meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negeri leluhurnya. Dan selama tiga dasawarsa berkuasa, rezim Orde Baru menerbitkan sejumlah peraturan yang diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Misalnya, orang Tionghoa peranakan harus mendapat surat kewarganegaraan dengan tanda khusus, sedangkan pendidikan berbasis bahasa Tionghoa dilarang sama sekali. “Tuduhan Orde Baru bahwa Tiongkok itu terlibat di dalam G30S tentunya menjadi sangat lemah,” ujar sejarawan LIPI Asvi Warman Adam yang menjadi pembedah buku. Pendapat Asvi ini bersandar pada informasi yang disampaikan Aidit kepada Mao dua bulan sebelum G30S. Dan juga mengenai pasokan senjata yang dipersiapkan untuk Angkatan Kelima tidak kunjung sampai ke Indonesia. “Kalau Aidit hanya sekedar menyatakan akan melakukan suatu tindakan atau gerakan tentunya informasi itu adalah sangat umum. Coba kita bandingkan dengan apa yang disampaikan Kolonel Latief kepada Soeharto selang beberapa jam sebelum peristiwa itu terjadi,” kata Asvi. Kendati demikian menurut Asvi, penelitian Taomo berhasil membuat rekonstruksi sejarah yang mengungkapkan beberapa hal yang baru mengenai dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok. Sementara itu menurut pakar politik internasional, Dewi Fortuna Anwar, meski tidak terlibat langsung mengorkestrasi G30S, bukan berarti Mao tidak mendukung upaya PKI untuk suatu saat merebut kekuasaan. Apakah itu melalui jalan partai ataupun melalui jalan revolusioner. Bahwa ada fakta senjata untuk Angkatan Kelima belum dikirim, tentunya itu bukan berarti senjata-senjata itu tidak dipesan. “Secara teknis, Beijing memang tidak terlibat langsung (G30S), tapi bahwa Beijing sepenuhnya berada di belakang seandainya PKI menjalankan perebutan kekuasaan itu juga tidak bisa dipungkiri,” ujar Dewi. Tidak hanya mengenai G30S, Taomo juga menyoroti berbagai aspek dari hubungan Indonesia-Tiongkok dalam kurun waktu 1945-67. Mulai dari keterlibatan barisan pengawal “Pao An Tui” di masa revolusi, persaingan Beijing dan Taipei (Kuomintang) merebut pengaruh di Indonesia, pengusiran warga Tionghoa di era Sukarno lewat PP 10/1959, hingga pembekuan hubungan diplomatik pada masa awal kekuasaan Orde Baru. “Buku ini sangat kaya dan betul-betul menambah wawasan kita,” pungkas Dewi.

  • Anti Serangan Rudal Israel dalam Pesawat Kepresidenan

    Otobiografi Presiden Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya , dibuka dengan pembahasan keberhasilan Indonesia swasembada beras setelah lama menjadi pengimpor beras terbesar di dunia. Indonesia pernah mengimpor lebih dari dua juta ton beras. Akhirnya, pada 1984 petani Indonesia berhasil memproduksi beras lebih dari 25,8 juta ton, bandingkan dengan tahun 1969 yang hanya 12,2 juta ton. Soeharto pun diundang untuk memaparkan keberhasilannya dalam konferensi ke-23 FAO (Badan Pangan dan Pertanian PBB) di Roma, Italia, pada 14 November 1985. Sedangkan wakil dari negara maju ditunjuk Presiden Prancis Francois Mitterand. Forum itu merupakan kesempatan emas bagi Soeharto untuk tampil di pentas dunia. Oleh karena itu, keamanan dan keselamatannya harus terjamin. Sampai-sampai intelijen Indonesia meminta bantuan Israel. Teddy Rusdy, Paban (Perwira Diperbantukan) VIII Staf Intel Hankam/ABRI, menjadi tim pendahuluan ( advance team ) yang mempersiapkan kedatangan Presiden Soeharto ke Roma. Dia segera mengontak rekannya di intelijen Israel, Dubby Shiloah. Dalam 70 tahun Teddy Rusdy: Think A Head , Servas Pandur mengungkap bahwa Teddy menginformasikan kepada Dubby mengenai kunjungan Presiden Soeharto ke Roma. Dia meminta bantuan Dubby agar intelijen Israel dapat memastikan keamanan perjalanan Presiden Soeharto. “Termasuk meminjam senjata anti rudal serangan ke udara yang dipasang pada pesawat Kepresidenan RI,” tulis Servas. Teddy Rusdy berjabat tangan dengan Presiden Soeharto dalam Rapat Pimpinan ABRI. (Repro70 Tahun Teddy Rusdy: Think A Head) Menurut Servas, hanya ada satu alat yang dapat menghentikan serangan rudal dari darat. Untuk mendapatkan alat itu, Teddy datang ke beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris, tetapi alat itu sedang dipakai. Dia kemudian datang ke Israel yang meminjamkan alat anti serangan rudal dari darat ke udara itu untuk dipasang pada pesawat Kepresidenan. Pada waktu itu, menurut Dubby, informasi ini tidak dapat diungkapkan ke publik, karena sangat vital dan bisa dijadikan sebagai sarana propaganda. Perjalanan Presiden Soeharto ke Roma tanpa hambatan. Dia berpidato mengenai keberhasilan swasembada beras selama lebih dari setengah jam di hadapan wakil dari 165 negara. “Saya bicara dalam forum itu sampai pada hal-hal teknis pelaksanaan. Hadirin ingin mengetahuinya. Dan pengetahuan kita diperlukan oleh sejumlah negara lainnya. Forum itu adalah tempat dan kesempatan tukar-menukar pengetahuan dan pengalaman,” kata Soeharto. Dalam kesempatan itu, Soeharto menyumbangkan 100.000 ton gabah kepada FAO untuk disalurkan kepada negara-negara yang dilanda kelaparan terutama di Afrika. Pada Juni 1986, Direktur Jenderal FAO Edouard Saouma datang ke Jakarta. Dia menyerahkan penghargaan berupa plakat dan medali emas FAO, satu berukuran kecil dan satunya lagi lebih besar, berukir timbul wajah Soeharto dengan tulisan President Soeharto-Indonesia. Pada sisi lainnya bergambar seorang petani sedang menanam padi dengan tulisan From Rice Importer to Selft-Sufficiency. “Medali itu dikeluarkan oleh FAO sebagai penghargaan untuk memperingati keberhasilan Indonesia di bidang pertanian, khususnya dalam mencapai swasembada pangan,” kata Soeharto. FAO kemudian mencetak cukup banyak medali itu yang terbuat dari emas, perak, dan perunggu. Hasil penjualannya untuk membantu negara-negara yang kelaparan dan membiayai kegiatan FAO.

  • Intelijen dan Wajib Helm

    Pengendara motor banyak yang ditilang karena tak memakai helm SNI. Padahal menggunakan helm untuk keselamatan mereka. Helm dapat melindungi bagian kepala dari benturan bila terjadi kecelakaan. Wajib memakai helm merupakan warisan dari Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Di pengujung masa jabatannya, Hoegeng mengeluarkan maklumat Kapolri, yaitu para pengendara sepeda motor harus memakai topi helm dan penumpang yang membonceng harus duduk mengangkang. Peraturan itu menuai polemik. Mereka keberatan dengan alasan sudah biasa memakai topi atau peci, harus mengeluar biaya beli helm, hingga soal aturan hukumnya. Menurut Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi: Idaman dan Kenyataan , keluarnya peraturan pengendara sepeda motor harus pakai topi helm sebenarnya dinilai baik. Namun, ada yang keberatan dengan alasan bahwa polisi hanya pelaksana peraturan bukan pembuat peraturan. Kapolri pun dianggap telah bertindak menyalahi hukum atau over acting . Hoegeng menegaskan bahwa pihak kepolisian ketika menyusun dan mengeluarkan peraturan topi helm tidak berpretensi mengambil alih hak atau wewenang DPR. Kepolisian hanya sekadar melayani masyarakat untuk mewujudkan rasa aman dalam berlalu lintas. “Rasanya berdosa membiarkan para pengendara sepeda motor terbang di jalan raya tanpa pengaman sebuah topi helm. Padahal di lingkungan kerja tertentu pemakaian topi helm merupakan keharusan agar terhindar dari kecelakaan kerja,” kata Hoegeng. Kendati demikian, kata Hoegeng, para pengkritiknya tidak keberatan jika keharusan pakai topi helm diatur menurut sebuah undang-undang yang disahkan DPR. Namun, UU tak kunjung dibuat. Aturan wajib helm yang mulai berlaku sejak 1 November 1971 hanya bersandar pada maklumat yang dikeluarkan Hoegeng. “Saya bersyukur peraturan itu berjalan terus sampai sekarang,” kata Hoegeng. Akhirnya, baru pada 1992 lahir UU yang memuat pasal wajib memakai helm dan sabuk pengaman. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia , pada Oktober 1991, Kepolisian telah menyusun sebuah rancangan peraturan lalu lintas yang mewajibkan pengendara sepeda motor mengenakan helm dan pengemudi mobil mengenakan sabuk pengaman. UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disahkan Presiden Soeharto pada 12 Mei 1992. Namun, pemberlakuan UU ini harus ditunda. Pasalnya, pemerintah tengah disibukkan dengan persiapan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok ke-10 yang akan diadakan di Jakarta pada 1-6 September 1992. Konferensi itu merupakan kesempatan bagi Soeharto untuk mendapatkan pengakuan di tingkat internasional . Oleh karena itu, keamanan dalam negeri harus terjaga. Tak boleh ada gerakan oposisi terhadap pemerintah. Pemerintah kemudian menugaskan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) untuk menganalisis tanggapan masyarakat terhadap UU lalu lintas yang baru disahkan di mana terdapat pasal kewajiban memakai helm dan sabuk pengaman. “Jenderal Sudibyo mendapatkan penugasan darurat untuk melakukan analisis apakah peraturan lalu lintas yang baru ini akan mengakibatkan gangguan bagi pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi,” tulis Ken Conboy. Jenderal Sudibyo adalah kepala Bakin. Setelah melakukan analisisyang mendalam, Bakin memberikan kesimpulan: pelaksanaan peraturan mengenakan helm dan sabuk pengaman kemungkinan besar akan menimbulkan masalah sosial. Berdasarkan masukan itu, pemerintah memutuskan untuk menunda pelaksanaan UU itu selama satu tahun. “Sudibyo ingat bahwa analisis ini merupakan salah satu tonggak yang penting selama kepemimpinannya di Bakin,” tulis Ken Conboy. Bakin kemudian menjadi BIN (Badan Intelijen Negara). Setelah berlaku sekitar 17 tahun, UU No. 14 tahun 1992 kemudian digantikan UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas yang mulai berlaku awal tahun 2010 .

  • Pemimpin Ideal ala Sunda

    Tersebutlah pada zaman dulu kala hidup seorang raja bernama Prebu Niskala Wastu Kancana. Dia telah memerintah selama 104 tahun. Pemerintahannya dinilai sangat baik. Saking baiknya dia disamakan dengan Sang Hyang Indra, raja para dewa. Karena kebajikan sang prabu, para rama yang memimpin desa-desa dapat dengan tentram mengurus bahan pangan. Para resi dapat pula tentram melaksanakan tugasnya sebagai pendeta. Kerajaannya aman sejahtera Kisah itu muncul dalam Carita Parahyangan. Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuna, tokoh raja atau prebu , rama, dan resi sering muncul di berbagai kitab Sunda Kuno. Mereka selalu disebutkan sebagai tiga orang pemimpin yang menjaga rakyat dari kekeliruan. Tak cuma seorang raja, berdasarkan Fragmen Carita Parahyangan, masyarakat Sunda Kuno mempunyai tiga pemimpin yang menjadi panutan, yaitu resi ( kaum agamawan), rama ( pemimpin daerah) , dan raja atau prebu . Tugas utama raja adalah melaksanakan pemerintahan. Resi menyejahterakan alam. Sementara rama sebagai pembimbing kehidupan.  “Wibawa dimiliki oleh sang prebu , ucapan dimiliki oleh rama, dan tekad miliknya sang resi,” tulis bagian lain dalam kitab itu. Sebagaimana kitab itu, Agus menjelaskan, raja harus memelihara kewibawaannya. Jika tidak, kekuasaannya akan pudar. Dia pun akan jatuh dari takhtanya. “Senantiasa raja harus menjaga martabatnya dengan menjalankan hak dan kewajibannya sebagai raja,” jelasnya. Sementara petuah dan contoh kehidupan yang baik harus selalu disampaikan oleh rama. Pasalnya dia yang hidup paling dekat dengan masyarakat. Dia juga yang harus membimbing warganya. Resi punya tugas memberi contoh tentang tekad dan niat yang baik dalam kehidupan . Seperti tekad mereka dalam menjalankan ibadah agama dan tekad untuk dapat bersatu dengan Sang Hyang. “Dalam kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian , tiga pemimpin itu bagai tiga tantu di bumi. Ia disebut peneguh dunia,” jelas Agus. Di luar itu, hingga kini tak ada kitab khusus dari era Sunda Kuno yang menyimpan dan menguraikan bagaimana perilaku pemimpin yang baik. Ajaran atau perilaku yang harus ditampilkan raja banyak disebut dalam berbagai kitab yang berbeda. Soal kepemimpinan, dalam kebudayaan Jawa Kuno dan Bali, ada yang dikenal dengan ajaran astabrata. Ajaran ini disampaikan oleh Raja Rama kepada Wibisana, adik Rahwana, dalam Kitab Ramayana. Isinya, delapan perilaku atau sikap yang sebaiknya dimiliki seorang raja. Sifat-sifat dewa menjadi contohnya. “Dikenal luas dalam kebudayaan Jawa Kuno dan Bali, namun tak dikenal dalam lingkup kebudayaan Sunda Kuno,” ujar Agus. Beberapa kitab yang menyebutkan soal kepemimpinan seorang raja misalnya, Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian . Kitab ini menurut Agus berasal dari Priangan Timur. Ia selesai digubah pada 1518. Isinya adalah soal pendidikan, pengetahuan umum, kebudayaan, dan kesehatan. Di dalamnya disebutkan pula kalau raja yang baik punya lima tugas utama. Raja bertugas membuat kesejahteraan di seluruh wilayah kerajaan. Ia harus menjaga kemuliaan dan kewibawaan. Raja pun mesti menjadikan dirinya sebagai yang utama. Ia selaiknya memiliki sifat melindungi dan menyayangi rakyatnya. Terakhir, ia punya tugas membangun keagungan. Lalu dalam Carita Parahyangan yang disusun pada pertengahan abad ke-16, terdapat enam butir tugas raja yang diambil dari sumber aslinya, kitab India Kuno Bhradaranyaka-Upanishad. Isinya, raja harus menjaga martabat kebangsawanan. Ia harus memiliki jiwa kehidupan luhur. Ia juga harus melindungi kehidupan, melindungi yang lemah dan terluka. Ia harus bersifat bagai mentari yang memberikan anugerah. Namun ia juga mesti bagai matahari yang panasnya menghancurkan. Terakhir, ia harus mampu melindungi kaum pertapa. “Penyusun Carita Parahyangan mengagungkan Sanjaya sebagai tokoh penting peletak dasar pemerintahan Kerajaan Galuh hingga Sunda,” jelas Agus. Sesuai kebiasaan Sunda Kuno yang mengenal tiga bentuk pemimpin, maka ketiganya sama-sama harus ditaati. Mereka punya tugas masing-masing. Jika satu di antaranya tak bekerja dengan baik kerajaan akan kacau balau. Bahkan, Kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian menyatakan ketiga tokoh itu bagai Tri Murti. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, dan Iswara ibarat resi.

  • Pengkhianatan VOC Terhadap Joncker

    SUKSES di ranah Minang, menjadikan nama Kapiten Sangaji alias Joncker populer di kalangan elite VOC. Sebagai bentuk penghormatan,pada 1 Januari 1665, Maskapai Perdagangan Hindia Timur itu mendapuk Sangadji menjadi kepala orang-orang Ambon di Batavia. Pamor Si Kapiten Maluku semakin mencorong. Seiring dengan ketenaran itu, “order” dari VOC  pun membludak. Sangaji dan pasukannya kerap diberangkatkan ke berbagai palagan di belahan Nusantara seperti di Jambi, Palembang, Jawa Timur dan Banten. Salah satu operasi militer yang menjadikan bintang Sangadji  semakin kinclong adalah saat ia berhasil memadamkan sekaligus menangkap Trunojoyo, seorang Madura yang melakukan pemberontakan besar terhadap kekuasaan Sultan Amangkurat II yang didukung oleh VOC. Gubernur Jenderal Cornelis Janszoon Speelman tentu saja sumringah.Tanpa banyak pertimbangan, putra Maluku tersebut diganjar medali berbentuk rantai kalung emas (seharga 300 ringgit) dan dihadiahi sebidang tanah di kawasan Pantai Marunda.Posisi inilah yang konon menjadikannya dipanggil sebagai Joncker yang artinya raja muda. Namun tidak selalu perjalan hidup Kapiten Joncker berjalan mulus. Demi menyaksikan kesuksesan Joncker, diam-diam perasaan dengki pun muncul di kalangan pejabat VOC terutama yang berkebangsaan Belanda. Menurut mereka, sehebat apapun Joncker, ia tetaplah seorang bumiputera dan tak memiliki hak atas jabatan bergengsi di hirarki elit VOC. Salah satu klik grup Belanda totok itu dipimpin oleh seorang anggota Dewan Hindia bernama Isaac de Saint Martin yang menurut sejarawan Van der Chijs memiliki rasa dengki yang berkarat kepada Joncker. Isaac adalah tipikal politisi ulung. Ketika Joncker ada di puncak kesuksesannya, ia sama sekali tak memperlihatkan sikap aslinya. Namun pasca meninggalnya Gubernur Jenderal Speelman pada 1884, mulailah Isaac kasak-kusuk dan meniupkan rumor  bahwa Joncker sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan terhadap kekuasaan VOC dan suatu hari merencanakan akan menyerang Batavia. Ia disebutkan  memiliki ambisi membunuh semua orang Belanda di Batavia karena mereka beragama Kristen.  “Itu jelas sebuah tuduhan yang sangat serius  di Batavia saat itu, karena akan berakibat hukuman mati,”tulis Van der Chijs dalam Kapitein Jonker. Joncker bukan tidak mengetahui soal isu miring itu. Dari tempat tinggalnya di Marunda, ia dan kelompoknya berusaha sekuat tenaga menyangkal semua yang ditudukan kepada mereka. Dan memang secara logis, kata Van der Chijs, adalah konyol jika Joncker berniat mengobarkan pemberontakan, mengingat begitu kuatnya kedudukan VOC kala itu. Namun pengaruh Issac de Saint Martin sudah terlalu kuat menancap di kalangan para pejabat VOC. Selain  karena adanya sentimen rasis di kalangan orang-orang Belanda, bisa jadi itu juga disebabkan oleh kekurangtahuan akan situasi politik dari Gubernur Jenderal Johannes Camphuys, yang baru saja menggantikan Gubernur Jenderal Speelman yang meninggal secara mendadak. Intrik pun semakin beringas. Tahun 1688, VOC mulai mengawasi dan menyempitkan gerakan Joncker. Beberapa fasilitas yang didapatnya dari Speelman mulai dilucuti. Di lain pihak provokasi terus dilakukan oleh Issac de Saint Martin dan kliknya di tubuh VOC. Mungkin karena tidak kuat lagi dengan berbagai tekanan, intrik dan pengawasan, setahun kemudian Joncker dan pengikutnya terprovokasi untuk menyerang Batavia. Penyerangan itu tentu saja memang gagal total. Selain posisi militer VOC terlalu kuat, Joncker pun melakukannya setengah hati. Kemarahan Joncker semakin mereda ketika VOC menyatakan bahwa mereka memaafkan ulah pengikut setianya itu. Beberapa hari kemudian Angkatan Perang VOC baru bereaksi. Mereka mengirimkan ratusan pasukannya lewat darat dan laut. Marunda dikepung dari tiga penjuru. Sebagai perwakilan VOC untuk bicara dengan Joncker, diutuslah Kapiten Wan Abdul Bagus alias Cik Awan, pemimpin komunitas Melayu di Batavia. “Cik Awan dan pengikutnya bermarkas di suatu tempat yang sekarang bernama Cawang dan Kampung Melayu,” ungkap jurnalis sejarah Alwi Shahab. Saat bernegoisasi itulah, tiba-tiba sebutir peluru dari penembak runduk VOC menghantam tubuh Joncker. Si Kapiten Maluku itu pun tewas seketika. Seiring dengan terbunuhnya Jonker, ratusan pasukan VOC secara kilat menyerbu posisi Pasukan Ambon yang sama sekali tidak sedang siap siaga. Akibatnya 130 prajurit Ambon terbantai dan mayatnya bergelimpangan di tepi Pantai Marunda. Jasad Joncker kemudian dibawa ke Batavia. Konon kepala jagoan Pasukan Maluku itu dipenggal dan sempat dipamerkan di kawasan Kota (Nieupoort). Setelah puas, barulah jasadnya dibawa kembali ke Marunda dan dimakamkan di tepi pantai dekat Marunda, bekas tempat tinggalnya.

  • Kapiten VOC Bernama Joncker

    DI kawasan Marunda, Jakarta Utara ada satu sudut tempat bernama Pejongkeran. Saat ini tempat tersebut dikenal sebagai Pelabuhan Alfa, tempat bongkar muat peti kemas dari kapal-kapal besar. Tak banyak orang tahu jika istilah  “pejongkeran” berasal dari nama seorang “jagoan” bernama Kapiten Joncker, yang juga makamnya ada di kawasan itu. Siapa dia? Dalam catatan sejarah versi Belanda, nama Joncker (atau Jonker) memang ada disebutkan. Menurut sejarawan Belanda terkemuka yakni F.De Haan, nama itu memang tertulis dalam sebuah akte VOC bertahun 1664  sebagai Joncker Jouwa de Manipa. “Nama Manipa bisa jadi mengacu kepada tempat dia berasal yakni Pulai Manipa di Seram Barat, Maluku,” tulis De Haan dalam   Oud Batavia. Terkesan nama Joncker sangat berbau Belanda dan orang pasti mengira yang bersangkutan adalah seorang Kristen. Namun menurut J.A. Van der Chijs, Jongker adalah seorang muslim. “Dari lahir sampai meninggal, Jongker adalah pengikut Muhammad,”tulisnya dalam Kapitein Jonker . Joncker memang putra Maluku tulen. Dia lahir di Pulau Manipa pada 1620 dalam nama Achmad Sangadji Kawasa, nama yang mengacu kepada seorang sangaji (sejenis jabatan bupati) bernama Kawasa, yang tak lain adalah ayah kandung dari Joncker. Sangadji Kawasa merupakan pejabat yang diangkat secara langsung oleh Sultan Hamzah dari Kesultanan Ternate. Upacara pengangkatan tersebut dilaksanakan kala Jonker berusia18 tahun.    Putra Sangaji Manipa itu begitu terkesan dengan kewibawaan sang ayah. Dia memiliki cita-cita untuk  bisa sekuat dan sewibawa ayahnya. Karena itu, ketika sang ayah menyatakan Mapia ikut berperang melawan VOC dalam Perang Hoamoal (1651-1656), dengan semangat mengebu, Achmad Sangadji melibatkan diri. Salah satunya dengan melakukan pelayaran ke Makassar guna mencari bantuan amunisi dan dukungan politik. Sayang,kekuatan Manipa tidak seimbang dengan VOC. Alih-alih bisa menghancurkan orang-orang Belanda, benteng Manipa malah hancur dan para pemimpinnya ditawan oleh VOC.Termasuk Achmad Sangadji dan seluruh keluarganya. Dia kemudian terbujuk untuk masuk dalam kemiliteran VOC. Menurut H.J De Graaf, Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn (Gubernur VOC untuk Maluku) menempatkan Sangaji  di kompi pimpinan Kapitain Tahialele, putra dari Raja Luhu yang terlebih dahulu ikut VOC. “Kompi orang-orang Ambon ini ditempatkan di Batavia,”tulis De Graaf dalam De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken. Selanjutnya serdadu-serdadu  asal Maluku banyak dilibatkan dalam berbagai operasi militer VOC di berbagai tempat, mulai dari Kupang hingga ke kawasan India Selatan. Pada 9 Agustus 1657, Kompi Tahialele  yang berkekuatan 80 prajurit ikut bergabung dengan pasukan besar VOC pimpinan Rijklof van Goens. Mereka  bergerak menuju India dan Srilanka guna berperang menghadapi serdadu-serdadu Portugis. Setahun mereka bertempur melawan orang-orang Portugis hingga pada 24 Juni 1658, VOC berhasil merebut Jafnapatnam,Diu dan Goa. Namun kemenangan itu harus dibayar mahal dengan gugurnya beberapa prajurit terbaik VOC termasuk Kapiten Tahialele. Untuk menggantikan posisi Tahialele, maka pada 1659 VOC mengangkat Achmad Sangadji sebagai komandan kompi dengan pangkat Kapiten. Karier Achmad Sangadji sebagai tentara bayaran melesat bak anak panah. Dalam setiap operasi militer, pasukannya selalu menjadi andalan VOC. Termasuk saat harus menghadapi perlawanan orang-orang Minangkabau di Pauh. Syahdan pada sekira April 1666, pasukan kompeni dipermalukan oleh para prajurit Pauh. Mereka yang datang dari Batavia untuk menindas pemberontakan malah harus lintang pukang. Dari 200 serdadu yang dikirim, hanya 70 serdadu yang kembali hidup-hidup. Pimpinan pasukan VOC yang bernama Jacob Gruys  termasuk korban yang tewas selain 2 kapiten dan 5 letnan. VOC bertekad membalas kekalahan memalukan itu. Lima bulan kemudian, Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker di Batavia memerintahkan Angkatan Perang VOC untuk  mengirim  lagi 300 serdadunya ke Pauh: terdiri dari  130 serdadu Bugis pimpinan Aru Palaka (Raja Bone) dan 100 serdadu Ambon dibawah Kapiten Sangadji. Sisanya terdiri dari serdadu Belanda totok yang langsung dipimpin oleh komandan gabungan bernama Abraham Verspreet. Saat berlaga di medang perang, para serdadu Belanda totok tersebut mendapat prioritas pengamanan. Itu dibuktikan dengan selalu berlakunya aturan formasi: Pasukan Bugis dan Pasukan Ambon harus selalu berada di depan Pasukan Belanda. Itu jelas bertujuan menjadikan para serdadu bumiputera sebagai perisai hidup. Dikisahkan peperangan yang kedua antara serdadu VOC dengan rakyat Minangkabau itu pun berlangsung lebih seru. Rusli Amran melukiskan saat berlangsung pertempuran korban berjatuhan dari kedua belah pihak. VOC sendiri kehilangan 10 orang serdadu  dan  20 lainnya luka-luka termasuk Kapiten Aru Palaka dan Kapten Achmad Sangadji, yang tiga kali terkena tusukan tombak. Pasukan bumiputera pun mengamuk bak banteng terluka.  “Dalam setiap pertempuran, para serdadu bumiputera  ini sering kali terpisah dengan pasukan induk. Itu disebabkan mereka begitu sibuk sendiri melakukan pembantaian dan pemenggalan kepala.” tulis Rusli Amran dalam Sumatera Barat hingga Plakat Panjang . Singkat cerita, Ulakan dapat diduduki pada 28 September 1666. Gubernur Jenderal pun bersuka cita. Dia kemudian mengganjar Aru Palaka menjadi Raja Ulakan versi kompeni. Dua hari kemudian gerakan serdadu VOC  ke Pariaman tak terbendung lagi. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa Pasukan Ambon, Verspreet mengangkat Achmad Sangadji sebagai Panglima Kompeni Wilayah Pariaman (orang Minang menyebutnya sebagai Raja Ambon) dan  berhak mendapat upeti dari masyarakat setempat. Awal  November 1666, situasi di Ulakan dan Pariaman berangsur normal. Kekuasaan kembali dipegang pejabat sipil VOC. Pasukan gabungan Bugis-Ambon pun ditarik  pulang ke Batavia. Begitu bersuka citanya Gubernur Jenderal  Joan Maetsuycker hingga dia menyirami para veteran perang di Sumatera Barat itu dengan berbagai hadiah. Sebagai komandan perang, Aru Palaka dan  Achmad Sangadji masing-masing mendapat pakaian dan emas serta uang berjumlah 20 ringgit untuk ratusan tawanan yang dibawa dari Minangkabau. (Bersambung ke Pengkhianatan VOC Terhadap Joncker )

  • Hak dan Kewajiban Raja sebagai Titisan Dewa

    Seorang raja melegitimasi kekuasaannya dengan menganggap dirinya titisan dewa. Dengan menyandang gelar dari dewa, raja punya hak dan kewajiban, baik terhadap dewa maupun rakyatnya. Riboet Darmosoetopo dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menyebut raja diakui masyarakat sebagai penguasa tertinggi dalam negara yang berbentuk kerajaan. Ia adalah penjelmaan dewa di dunia. “Raja mendapat puji-pujian setara dengan dewa,” tulis epigraf Universitas Gadjah Mada itu. Puji-pujian kepada dewa atau raja terdapat pada manggala prasasti. Biasanya dewa penitis yang dipilih adalah Dewa Wisnu, sang pemelihara dunia atau Dewa Siwa, sang perusak dunia. Sebagaimana Raja Balitung yang mengaku titisan Dewa Rudra, salah satu aspek Siwa. Dalam Prasasti Wanua Tengah III disebut Rudramurti. Sementara Raja Airlangga mengaku titisan Wisnu yang disebut dalam Prasasti Pucangan dari 1041. Raja-raja juga suka menggunakan gelar dengan kata tunggadewa. Maksudnya untuk menyatakan dirinya sebagai wakil dewa di dunia. Misalnya, Raja Tulodong yang punya nama gelar Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatunggadewa. Dengan gelar yang membawa nama dewa, raja punya hak dan kewajiban. Dia punya kewajiban menyembah dewa dan patuh pada dharmanya. Dia juga harus menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Sementara hak raja adalah menarik pajak di wilayah kekuasaannya. Raja juga berhak menghukum orang yang dinyatakan bersalah dan memberi hadiah kepada orang yang berjasa. Dalam Kitab Ramayana , Raja Rama mengajarkan astabrata kepada Wibisana, adik Rahwana . Astabrata adalah delapan sifat dewa yang sebaiknya dimiliki seorang raja. Seorang raja sebaiknya berperilaku seperti Dewa Indra, yaitu dewa hujan. Dia menghujani anugerah kepada rakyatnya. Raja sebaiknya berperilaku bagai Dewa Agni, sang dewa api. Dia membasmi semua musuh dengan cepat. Raja hendaknya bersikap laiknya Dewa Yama, dewa kematian. Dia menghukum orang yang bersalah tanpa pandang bulu. Raja semestinya meniru sifat Dewa Surya, dewa matahari yang mengisap air secara perlahan kemudian mencurahkannya ke bumi bagai hujan. “Maksudnya, dalam menarik pajak mestinya tidak membebani rakyat, caranya ditarik sedikit demi sedikit, hasilnya untuk kemakmuran rakyat,” tulis Riboet. Raja hendaknya mencontoh sifat Dewa Waruna, dewa laut. Dia harus punya kecerdasan ketika berhadapan dengan situasi sulit. Raja juga harus seperti Dewa Wayu, dewa angin. Dia harus bisa menyusup ke mana pun untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Raja harus seperti Dewa Kuwera, dewa kekayaan. Dia harus bisa menikmati kekayaan miliknya. Sementara sebagai Dewa Soma, dewa bulan. Dia harus menciptakan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Menurut Sudrajat, sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, konsep dewaraja semakin nampak pada masa pemerintahan Airlangga (1019-1043). Bukti arkeologisnya adalah arca perwujudannya sebagai Wisnu yang menunggangi pundak Garuda. Dinasti berikutnya yang mengusung konsep dewaraja adalah Dinasti Rajasa yang berkuasa era Singhasari dan Majapahit. Ini nampak ketika Ken Angrok, sang pendiri dinasti, berperang melawan Kertajaya di Desa Ganter pada 1222. Untuk mengalahkan musuhnya itu, Angrok menahbiskan dirinya dengan gelar Bhatara Guru. Saat wafat pun, Angrok memakai gelar Bhatara Siwa yang dicandikan di Kagenengan. Sudrajat dalam “Konsep Dewa Raja dalam Negara Tradisional Asia Tenggara” yang disampaikan dalam Workshop Mengajar dan Meneliti Asia Tenggara di Pusat Studi Asia Tenggara UGM (2012) menjelaskan setidaknya dimulai dari masa Airlangga, bangunan candi mendapat pemaknaan yang sedikit bergeser. Sebelumnya, di India khususnya, candi didirikan untuk beribadah memuja dewa tertentu. “Pada abad ke-11 dan seterusnya candi biasanya dihubungkan dengan kematian,” tulis Sudrajat. Candi, khususnya yang berada di Jawa Timur biasanya diperuntukkan bagi pendharmaan raja tertentu. Misalnya, Candi Kidal dibuat untuk Raja Anusapati, Candi Jago untuk Raja Wisnuwardhana, dan Candi Jawi untuk Raja Kertanegara sebagai Siwa-Buddha. Pada masa Majapahit konsep dewaraja masih terus berlanjut. Di Candi Simping, Blitar ditemukan arca Harihara yang diduga perwujudan Kertarajasa, raja pertama Majapahit. Dia diwujudkan sebagai Siwa dan Wisnu dalam satu arca. “Bukan jenazah raja yang ada di candi itu, tetapi terdapat arca perwujudan raja dalam bentuk Dewa tertentu,” tulis Sudrajat. Konsep dewaraja ditemukan pula di kebudayaan kuno Asia Tenggara sebagai upaya untuk mempersonifikasikan dewa dalam wujud raja. “Ini berangkat dari konsep bahwa kekuasaan itu konkret, jangan mempertanyakan legalitas karena seluruh kekuasaan diturunkan dari sumber tunggal yang homogen,” jelasnya. Konsep inilah yang dipahami oleh para raja di Asia Tenggara untuk menopang dan melanggengkan kekuasaan nya .

  • Mevrouw Jans Ahli Jamu Asal Semarang

    TINGGAL jauh dari kota besar tak membuat Johanna Maria Carolina Verstegh, putri pemilik perkebunan kopi di Weleri, Jawa Tengah, merasa terisolasi. Dia justru lebih dekat dengan lingkungan alam sekitar lantaran sering menemani ibunya, Albertina van Spreeuwenburg, memetik tanaman obat. Dari kegemaran ibunya inilah Jan akrab dan ikut menggemari jamu. Bagi orang Eropa yang tinggal di pedalaman Hindia-Belanda, akses kesehatan boleh dikata hampir tak ada. Bila ada seorang anggota keluarga yang sakit, bahan alam yang mudah didapat adalah jalan tercepat untuk pertolongan pertama. Fenomena pengobatan tradisional menggunakan tanaman alami itu di kemudian hari mempopulerkan ungkapan " Kijk in Kloppenburg " (Periksa di Kloppenburg). Ungkapan itu mengacu pada buku tentang resep jamu karya Jans Kloppenburg-Verstegh yang terbit pada 1907, Indische Planten en Haar Geneeskracht (Tanaman asli Hindia dan kekuatan penyembuhnya). Tradisi pengobatan alami itu pula yang dipilih Albertina. Mendalami teknik pengobatan tradisional, khususnya jamu, Albertina sering mengobati orang-orang sakit di sekitar tempat tinggalnya. Aktivitasnya itu amat membekas pada diri Jan, yang kemudian mengikuti jejak ibunya. Jans dinikahiHerman Kloppenburg pada 1881, pemuda yang datang dari Belanda lima tahun sebelumnya. Mereka tinggal di sebuah rumah-vila besar di Jalan Bodjong(sekarang Jalan Pemuda), Semarang. Kawasan rumah Jans dianggap tempat paling indah di Semarang kala itu, hunian banyak orang Eropa yang kaya raya. Pernikahan Jans dikaruniai anak bernama Tina. Namun, Tina meninggal di usia 14 tahun lantaran sakit. Dokter pertama mengatakan Tina sakit malaria. Dokter lain mengatakan Tina sakit typhus. Karena sudah telalu parah, Tina tak tertolong dan meninggal pada 1899. Kematian Tina mendorong Jans menulis tentang jamu dan tanaman obat di Hindia-Belanda. Dalam bukunya, Jans tak punya pretensi ilmiah. Ia hanya memberi informasi seputar resep jamu, kegunaan, dan khasiat tanaman obat yang didapat dari lingkungan sekitar. Bahan-bahan tulisannya pun didapat dari para dukun, penjual obat di pasar, atau bertanya pada penduduk sekitar tempat tinggalnya. Profesor Hans Pols dari University of Sydney dalam “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediationngan” menyebut karya Jans menjelaskan pengobatan tradisional secara sistematis. Karya Jans menjembatani kekosongan antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. Saat pertama kali dicetak, buku Jans terdiri dari dua bagian. Pertama , memuat uraian singkat mengenai nama daerah, asal tumbuhan berikut nama latinnya, morfologi, dan bagian tanaman yang bisa digunakan plus khasiatnya. Bagian kedua memuat resep pengobatan dan petunjuk pemeliharaan sesuai kebiasaan yang dilakukan orang Jawa. Ada banyak pengobatan penyakit yang dijelaskan dalam buku Jans, mulai dari perawatan rambut, penanganan demam hingga pegobatan malaria. Untuk mengobati encok, misalnya, Jans menganjurkan penggunaan daun gandarusa. Setelah ditumbuk hingga halus, daun itu lalu dioleskan ke bagian tubuh yang terasa nyeri. Sementara, untuk mengobati ambeien, Jans menginformasikan cara penyebuhannya dengan meminum air rebusan 12 lembar daun iler. Selain pengobatan dari daun, Jans juga menulis tentang khasiat empon-empon . Kencur, misalnya, amat berguna untuk mengobati batuk. Kencur yang sudah dikupas lalu dicuci, dihaluskan dan diambil airnya sebanyak satu sendok teh untuk diminum sehari. Bisa juga kencur yang sudah dikupas ditelan bulat-bulat. Dalam dua-sampai tiga hari, Jans mengklaim batuk akan segera sirna. Kencur yang dihaluskan, kata Jans, juga bisa untuk obat pegal dan kedinginan karena memberikan efek hangat. Hal itu merupakan kebiasaan dalam masyarakat Jawa, di mana umum para ibu membaluri kencur (biasanya bukan hasil tumbuk atau parutan tapi dikunyah sang ibu) pada bayinya yang sakit. Bagi orang dewasa, kencur tidak banyak berguna karena kurang terasa panas. Sebagai gantinya, pengobatan Jawa menggunakan cabai yang dihaluskan untuk obat penangkal kedinginan. Buku Jans jadi pegangan hampir semua rumah tangga Eropa di Hindia, terutama mereka yang tinggal jauh dari pusat kota. Buku Jans juga menjadi panduan para perempuan Eropa yang me m buat kebun obat pribadi di rumah masing-masing . Hal itu, kata Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada Profesor Murdijati Gardjito dalam bukunya Jamu Pusaka Penjaga Kesehatan Bangsa Asli Indonesia , jadi bukti bahwa pengobatan tradisional kita, jamu, bisa diterima semua kalangan. Reputasi Jans kemudian menyebar dengan cepat di kalangan penduduk Eropa. Banyak pasien yang datang untuk minta disembuhkan. Jans terkenal sebagai ahli jamu dari Semarang.

  • Muslim Pertama di Tatar Sunda

    SELAMA ini tidak diketahui secara pasti kapan Islam dikenal oleh masyarakat  di tatar Pasundan. Yang jelas dari hasil penelitian J.C. van Leur yang dipublikasikan dalam Indonesia Trade and Society: Essay in Asian Social Economic History diketahui bahwa penyebaran Islam di pulau Jawa masuk melalui pantai utara oleh para saudagar Arab. Sejarawan A. Sobana Hardjasaputra dalam bukunya Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20 juga meyakini jika Jawa Barat menjadi daerah pertama yang disinggahi Islam setelah pantai Sumatera. “Berdasarkan letak geografisnya, dan dihubungkan dengan peranan saudagar-saudagar Muslim, mungkin pantai utara Jawa Barat adalah daerah di Pulau Jawa yang lebih dahulu dimasuki agama Islam,” tulisnya. Mulanya hubungan masyarakat Sunda dengan orang-orang Arab ini hanya terbatas pada kepentingan ekonomi saja, tetapi lambat laun mereka mulai mengenal aktivitas keagamaan yang dijalankan para saudagar Muslim tersebut. Hal itu membuat masyarakat Sunda Hindu tertarik untuk mempelajarinya. Sehingga mulai terbentuklah kelompok-kelompok Muslim di Jawa Barat. Pada 1867, seorang peneliti sejarah berkebangsaan Belanda, J. Hageman  menelusuri tentang hikayat agama Islam di barat Jawa. Dalam bukunya, “Geshiedenis der Soendalanden”, dikatakannya bahwa orang Sunda pertama yang memeluk agama Islam adalah putra Prabu Kuda Lalean, yang mendapat julukan Haji Purwa. Hageman menggunakan sumber-sumber lokal, termasuk penuturan masyarakat, untuk melacak keberadaan muslim pertama dari etnis Sunda tersebut. Menurutnya Haji Purwa dahulu bekerja sebagai pedagang yang telah melakukan kegiatan hingga ke luar Nusantara. Dalam penelitian Nina H. Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat , disebutkan Haji Purwa tertarik mempelajari Islam pada saat melakukan perjalanan dagang ke India. Saat itu dirinya masih seorang Hindu yang taat. Namun perkenalannya dengan banyak pedagang dari tanah Arab, membuat dirinya perlahan mencoba mengenal lebih dalam agama yang baginya asing tersebut. “Ia diislamkan oleh saudagar Arab yang kebetulan bertemu di India,” tulis Nina. Menurut sumber lain, nama asli Haji Purwa adalah Bratalegawa, putra kedua Raja Galuh. Diungkapkan Rokhmin Dahuri dalam Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon , Bratelagawa merupakan seorang saudagar Sunda yang sukses. Ia senang melakukan perjalanan niaga ke luar negeri. Dari sanalah ia mulai berkomunikasi dengan banyak saudagar Muslim, hingga akhirnya diislamkan oleh seorang yang berasal dari Timur Tengah. Bratalegawa kemudian menikahi seorang wanita Muslim dari Gujarat, bernama Farhana binti Muhammad. Keduanya lalu memutuskan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah kembali, Bratalegawa mengganti namanya menjadi Haji Baharudin al-Jawi. “Oleh karena ia merupakan haji pertama di Galuh, maka ia disebut Haji Purwa (pertama),” tulis Rokhmin. Dari Mekkah, Haji Purwa beserta keluarganya pergi ke Jawa Barat. Mereka tiba di Galuh pada 1337 Masehi. Dibantu oleh kawan Muslimnya dari Arab, Haji Purwa berusaha mengislamkan penguasa Galuh. Namun upayanya mengalami kegagalan karena pengaruh Hindu masih terlalu kuat di Tatar Sunda. Gagalnya upaya Islamisasi di Galuh membuat Haji Purwa memilih untuk keluar dari pusat kerajaan. Ia pun memutuskan tinggal di Caruban Girang (Cirebon), yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Galuh, dan menyebarkan Islam di sana. “Hageman dan Ekadjati menghubungkan tokoh Haji Purwa dengan Syeh Maulana Safiuddin, orang Islam pertama yang menetap di Caruban Girang,” tulis Sobana. Setelah Haji Purwa menyebarkan ajarannya, banyak masyarakat Cirebon yang memeluk Islam. Walau masih terbatas di wilayah Cirebon pesisir, tetapi dari sanalah muncul tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa Barat. Salah satu yang paling berjasa melanjutkan peran Haji Purwa adalah Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.

  • Dahsyatnya Humor Gus Dur

    DARI sekian Presiden Indonesia, barangkali hanya Abdurrahman Wahid yang sohor karena kekocakannya. Presiden RI ke-4 yang biasa dipanggil Gus Dur itu memang punya selera humor yang tinggi. Mulai dari celetukannya hingga pernyataan-pernyataan resminya pun selalu ada unsur jenaka. Betapa lucunya, humor-humor Gus Dur pun abadi dalam ingatan hingga dibukukan dalam berbagai judul. “Dimana-mana, Gus Dur dikenal sebagai orang yang humoris. Humornya luar biasa,” kata istri Gus Dur, Sinta Nuriyah Wahid ketika membuka “Ekspose Daftar Arsip Foto KH. Abdurrahman Wahid: Gus Dur, Seorang Pejuang Kemanusiaan”, yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada Rabu, 24 Juli 2019. Sinta menyatakan pula, banyak peran yang bisa didapat karena humor Gus Dur,. Humor sang presiden bisa menjadi penyambung, pengikat hubungan antara satu negara dengan negara lain.” Ketika Gus Dur berkunjung ke Kuba, Presiden Fidel Castro rela mendatangi hotel tempat Gus Dur menginap. Tujuannya hanya satu: mendengar celotehan Gus Dur. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan cerdik oleh Gus Dur sebagai momentum diplomasi untuk kepentingan Indonesia. “Gus Dur sampai dikejar ke hotel karena (Fidel) ingin mendengar jokes-jokes nya Gus Dur. Dan disitulah dimasukan apa yang menjadi keinginan masing-masing negara,” tutur Sinta.   Keakraban yang sama pun terjadi kala Gus Dur bertandang ke Amerika Serikat. Dalam pertemuan di Gedung Putih, Presiden Bill Clinton sedianya hanya punya waktu 30 menit untuk temu wicara. Namun karena keasyikan ngobrol, cengkrama diantara keduanya jadi berlangsung selama satu setengah jam. Dan ketika Gus Dur hendak pulang, Clinton mengantarkan sampai ke pintu keluar. Sementara itu, di Arab Saudi, Gus Dur pernah menerima surat dari perwakilan rakyat negara tersebut. Surat itu berisi keheranan dan pertanyaan yang ditujukan kepada Gus Dur setelah bersua dengan Raja Arab. “Apa Yang Mulia katakana kepada raja kami hingga kami rakyat Arab sampai bisa melihat giginya sang raja?” sebagaimana dituturkan Sinta Nuriyah. Karena sering berguyon, tingkah Gus Dur ini bisa juga bikin orang-orang di sekitarnya was-was. Bagaimana bisa? Mantan asisten pribadi Gus Dur, Priyo Sambadha, menuturkan kalau Gus Dur  kerap yang menyisipkan bahan candaan dalam pidato kenergaraan. Waktu Gus Dur jadi presiden, Priyo menjabat sebagai deputi pers dan media kepresidenan. “Yang mengerti isi pidato Gus Dur itu hanya dua: Tuhan dan Gus Dur sendiri,” kata Priyo.  Menurut Priyo, selalu ada hal baru yang mencengangkan ketika Gus Dur berpidato. Yang menjadi perhatian bagi protokoler Istana saat itu adalah pidato seorang presiden dengan pidato seorang kiai itu gaungnya sangat berbeda di masyarakat. Apalagi Gus Dur punya kebiasaan unik setiap hari Jumat. Biasanya setelah usai jumatan (sholat jumat), Gus Dur selalu berkomunikasi dengan masyarakat. Bebas berbicara apa saja.   “Jadi kalau Gus Dur mau pidato itu kita deg-degan. Wah, sport jantung kita. Ini mau bicara apalagi,” ujar Priyo.  “Buat kami  saat itu yang terbiasa sekian puluh tahun dengan Pak Harto, itu cultur shock , sebuah kejutan budaya yang luar biasa buat kami para perangkat Istana.”

bottom of page