top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Hartini, First Lady yang Tak Diakui

    CINTA. Itulah yang membuat Sukarno rela menduakan Fatmawati –istri yang telah memberinya lima putra dan putri– dan berpaling ke Hartini. Apa yang ada di benak Bung Besar?   “Aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya,” kata Sukarno kepada penulis otobiografinya Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat . “Dan percintaan kami begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal itu.”    Menggantikan Fatmawati dari hati Sukarno tak serta merta menjadikan Hartini sebagai Ibu Negara. Predikat itu tetap melekat pada Fatmawati sekalipun dirinya memilih minggat dari Istana. Ketetapan demikian memang telah menjadi janji Sukarno terhadap anak-anaknya. Bahwa tak akan ada permaisuri di Istana Negara selain ibu kandung mereka. Agar terlihat adil, Fatmawati tetap bermukim di Jakarta sementara Hartini menempati salah satu paviliun di Istana Bogor. Saban Jumat siang hingga Senin pagi menjadi kunjungan rutin Sukarno menemui Hartini. Dan bila bermuhibah ke luar negeri, Sukarno akan pergi sendirian tanpa istri yang mendampingi. Tapi solusi itu serasa belum cukup di mata sebagian kalangan. Kisah kasih Sukarno dan Hartini kerap menuai gunjingan. Bersua Sang Srihana Hartini lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924. Dia besar di Bandung lantaran ayahnya pegawai kehutanan yang kerja berpindah tempat. Sebelum bertemu Sukarno, Hartini bersuamikan Soewondo, seorang pegawai perusahaan minyak dan menetap di Salatiga, Jawa Tengah. Pernikahan pertama Hartini menghasilkan lima orang buah hati. Kisah asmara dengan Sukarno terjadi pada 1952 di Prambanan, Yogyakarta saat peresmian teater terbuka Ramayana. Hartini berumur 28 sedangkan Bung Karno 51 tahun. Lewat perantara, Sukarno mengirimkan sepucuk surat cinta dengan nama samaran: Srihana. “Ketika aku melihatmu untuk pertama kali, hatiku bergetar,” demikian kata Srihana alias Sukarno yang terpesona kecantikan Hartini. Hartini sebagaimana disebut wartawan kawakan Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia Jilid 5 adalah kenalan Panglima Divisi Diponegoro Kolonel Gatot Subroto. Gatotlah yang memperkenalkan Hartini kepada Sukarno. Sementara menurut sejarawan Monash University John David Legge, hubungan Hartini dan Sukarno terjalin lewat jasa baik Kepala Staf Istana Mayor Jenderal TNI Soehardjo Hardjowardjojo. Soehardjo berperan dalam mengatur pertemuan mereka. “Hartini tinggal di Salatiga dan sering terbang ke Semarang, ke Jakarta untuk bertemu dengan Sukarno,” tulis Legge dalam Sukarno: Biografi Politik . Setelah berbina kasih, Sukarno memutuskan menikahi Hartini. Hari perkawinan berbahagia itu berlangsung sederhana dan tertutup di Istana Cipanas, 7 Juli 1953. Kendati demikian, hubungan ini menjadi desas-desus yang menjalar ke luar. Gunjing dan Sanjung Kecaman datang dari aktivis perempuan. Organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit), Kongres Wanita Indonesia (Kowani), dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), berujuk rasa menolak poligami Sukarno. Mereka menganggap poligami merendahkan martabat perempuan. Perwari bahkan mendukung penuh keputusan Fatmawati keluar dari Istana Negara. Cap miring dan perlakuan kurang nyaman diterima Hartini. Nani Suwondo, aktivis Perwari kepada Saskia Eleonora Wieringa dalam  Penghancuran Gerakan Perempuan  mengatakan Hartini tak lebih dari seorang perempuan panggilan kelas atas ketika itu. Beberapa oknum anggota Gerakan Wanita (Gerwani) ikut protes; demonstrasi di depan rumah Hartini di Salatiga dan melempari jendela rumahnya. Beberapa surat kabar terbitan ibukota ikut mengkritik pernikahan Sukarno-Hartini. Harian Indonesia Raya  dengan pemimpin redaksi Mochtar Lubis dan harian Pedoman pimpinan Rosihan Anwar melancarkan kampanye anti-pernikahan Sukarno dengan Hartini.    “Bung Karno marah kepada Fatmawati, jengkel kepada Kowani, sakit hati kepada kedua pemimpin redaksi yang dianggapnya telah mencampuri urusan pribadinya dan telah mengecilkan posisi presiden/kepala negara,” tulis Rosihan Anwar. Sukarno pun tak luput dari gunjingan. Kecenderungan seksualnya banyak diperbincangkan. Hubungannya dengan Hartini dikaitkan dengan gairah yang menggebu. “Perkiraan seperti ini sangat diragukan,” tulis Legge. “Sesungguhnya, dalam hal ini Sukarno telah jatuh cinta –menuntut rasa kasih yang biasa saja, dalam gaya model lama.” Menurut Legge Hartini adalah wanita yang cerdas, berpengalaman, dan tahu lebih luas tentang dunia ketimbang Fatmawati. Perhatian Sukarno kepadanya bukanlah perhatian yang sekilas. Dari Hartini, Sukarno memperoleh dua putra: Taufan dan Bayu. Akan tetapi, Hartini juga bukanlah yang terakhir dalam kidung asmara Sukarno. Masih ada wanita-wanita lain yang diperistri Sukarno di kemudian hari. Mereka antara lain: Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi, Kartini Manoppo, Haryatie, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar. “Hanya satu kelemahannya yakni soal perempuan,” kata Hartini sebagaimana dikutip Saskia Wieringa. “Beberapa orang hanya mengurus uang, tetapi Bapak hanya peduli dengan perempuan.” Dari sekian banyak istri, hanya Hartini yang mendampingi Sukarno di masa-masa keruntuhan. Dalam memoarnya, Rachmawati, putri ketiga Bung Karno dari Fatmawati, mengenang Hartini dengan tekun dan setia melayani Sukarno sampai detik terakhir kehidupan sang Putra Fajar. Kebencian yang sempat terpupuk sirna di hati Rachmawati, berganti hormat dan sayang.     “Ia setia kepada Bapakku baik dalam masa jaya sehingga pada masa kejatuhannya,” kenang Rachmawati dalam Bapakku Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi . “Betapapun yang pernah kurasakan terhadapnya di masa-masa lalu, faktanya adalah Bu Har menemani Bapak sehingga akhir hayat.”*

  • Nyanyi Sunyi Rambut Kribo

    Keriting, tebal, dan mengembang. Begitulah gaya rambut yang menjadi ciri khas Eddi Brokoli, penyanyi dan aktor Indonesia. Dengan gaya rambut Afro itu, di Indonesia dikenal dengan sebutan kribo, dia jadi mudah dikenali para penggemarnya. Gaya rambut itu mulai dipopulerkan empat dekade lalu. Mulanya, pada pertengahan 1960-an, orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat mendefinisikan ulang diri mereka. Dipicu peristiwa pembunuhan tokoh hak asasi manusia Afrika-Amerika, Malcolm X, pada 21 Februari 1965, mereka melancarkan sebuah “revolusi sunyi”, tanpa turun ke jalan. Orang-orang kulit hitam berhenti meluruskan rambut dan mulai menonjolkan kebanggaan warisan rasial melalui gaya rambut. Carole Elizabeth Boyce Davies dalam buku Encyclopedia of the African Diaspora menyebut, gaya rambut Afro mendapatkan makna politis begitu menjadi simbol Black Power Movement . Gaya rambut Afro diadopsi aktris Marsha Hunt hingga kelompok penyanyi bersaudara The Jackson 5. Bintang-bintang rock macam Jimi Hendrix, Staple, dan Billy Preston ikut mempopulerkannya. Gaya rambut ini kemudian menjalar ke seluruh dunia. Bukan lagi sebagai identitas perlawanan tapi mode. Di Indonesia, gaya rambut Afro dipopulerkan musisi rock seperti Achmad Albar, Ucok Harahap, dan Gito Rollies. Dalam Ensiklopedi Musik , Japi Tambajong menyebut istilah kribo muncul pertama kali di Bandung. Ucok Harahap adalah vokalis sekaligus pentolan grup musik AKA ―akronim Apotek Kali Asin, tempat bekerja ayah Ucok sekaligus markas band itu― yang didirikan pada 1967. Pada tahun yang sama terbentuk The Rolllies di mana Bangun Sugito atau tenar dengan nama Gito Rollies berkiprah. Sementara Achmad Albar menjadi vokalis God Bless yang dibentuk pada 1973. Pentolan-pentolan band ini menyihir anak-anak muda untuk mengikuti gaya rambut kribo mereka. Bahkan, konon, gaya keramas Achmad Albar menggunakan bir dan putih telur dijiplak anak-anak muda saat itu. Rambut kribo makin populer kala Achmad Albar dan Ucok Harahap bersatu dalam grup musik Duo Kribo –sesuai ciri khas rambut mereka. Dalam otobiografinya Ucok AKA Harahap : Antara Rock, Wanita, dan Keruntuhan, Ucok menyebut Duo Kribo dibentuk pada 9 September 1977. “Kemunculan Duo Kribo jadi perbincangan wartawan musik tanah air. Lagu-lagu dari Duo Kribo dikupas habis di berbagai media,” kata Ucok . Menurut Japi Tambajong , nama Duo Kribo digagas wartawan musik majalah Selecta, Masheri Mansyur, yang bermaksud menyatukan dua penyanyi rock yang saling tindas. Sejak 1972, berlangsung perang dingin antara Ucok dan Achmad Albar, yang menyeret penggemar mereka di Surabaya dan Jakarta. Kesuksesan grup musik ini kemudian difilmkan dengan judul Duo Kribo pada 1977 oleh sutradara Edward Sirait. Gaya rambut kribo diikuti sejumlah musisi dan anak muda tanah air. Namun, gaya rambut ini juga tak lagi identik dengan musik rock. Penyair Darmanto Jatman dan penyanyi dangdut Hamdan ATT membiarkan rambut mereka tumbuh lebat. Sekalipun tak pernah menjadi tren, gaya rambut kribo tak pernah benar-benar pudar. Pada tahun 2000-an kita mengenal Marcell dan Giring Nindji, meski kini keduanya tak lagi kribo. Hanya Eddi Brokoli yang masih konsisten dengan gaya rambut ini, meski sempat mencukur rambut gaya semimohawk.

  • Darah Daging Fasisme Italia Menggebrak Eropa

    DALAM keadaan terdesak oleh pasukan Kartago di Perang Punic II, Jenderal Romawi Publius Scipio berhasil memanfaatkan faktor alam untuk membalik keadaan. Romawi akhirnya menang. Hingga berabad-abad kemudian, sejarah kebesaran Romawi tetap lestari. Semangat itulah yang agaknya diadopsi anak-anak klub AS Roma di lapangan hijau kala menjalani babak lanjutan perempatfinal Liga Champions. Meski sudah berada di ujung tanduk akibat kekalahan dari Barcelona, Roma berhasil membalik keadaan dan memaksa raksasa Katalan itu pulang lebih awal. Kemenangan itu membuka kesempatan kedua bagi Roma untuk jadi raja Benua Biru setelah kegagalan mereka 34 tahun silam. Dilahirkan Dedengkot Fasisme Italia Roma bak bangkit dari kubur. Laju kencangnya di Liga Champions menggegerkan Eropa. Padahal, Roma termasuk tim yang melorot prestasinya akibat krisis keuangan dan skandal calciopoli yang melanda sepakbola Italia. Tapi, allenatore Eusebio Di Fransesco tak pernah mau takluk kepada keadaan buruk itu. Perlahan tapi pasti, Roma merontokkan tim-tim langganan juara Eropa seperti kaum pekerja menjungkirkan kaum borjuis. Usut punya usut, Roma ternyata dilahirkan untuk bikin gebrakan baru di sepakbola Italia era 1920-an. Ketika itu, persepakbolaan Italia masih didominasi klub-klub mapan dari utara macam Juventus dan duo Milan – AC Milan dan Inter Milan. Klub-klub kecil seakan hanya bisa menjadi sparring partner mereka tanpa hak untuk menang. Ketimpangan itu membuat Benito Mussolini tak tinggal diam. Diktator fasis penggemar sepakbola itu lantas berupaya menggabungkan klub-klub kelas pekerja Roma jadi satu. Di Roma, kala itu sudah ada klub SS Lazio yang 27 tahun lebih tua dari AS Roma. Namun tim yang juga “bernafaskan” fasisme dari kalangan kelas menengah itu ogah diajak merger. Alhasil, Mussolini akhirnya hanya berhasil menggabungkan tiga klub, SS Alba-Audace, Fortitudo-Pro Roma SGS, dan Football Club di Roma. Melalui politisi Italo Foschi yang menjadi Presiden pertama AS Roma, klub kelas pekerja ini resmi berdiri 7 Juni 1927. Lewat AS Roma, menurut Louis Massarella dkk dalam The Rough Guides to Cult Football , Mussolini ingin mewujudkan impiannya memiliki klub yang merepresentasikan kejayaan Romawi. “Saya bersumpah memimpin negara kita ke jalan yang pernah dilalui kejayaan leluhur kita. Seperti Romawi Kuno yang berada di hadapan kita. Sepakbola adalah metafora yang sempurna untuk idealisme masyarakat fasisme,” cetus Mussolini yang dikutip Simon Martin dalam Sport Italia: The Italian Love Affair with Sport . Maka, Roma diracik Italo Foschi dengan identitas yang lebih “Romawi” ketimbang Lazio dan klub-klub Italia lainnya. Warna merah marun dengan garis kuning emas jersey Roma merupakan warna kebanggaan Kekaisaran Romawi Kuno. Yang lebih penting, logo klub merupakan gambar Lupa Capitoline alias Serigala Ibukota lengkap dengan penggambaran kisah mitos dua pendiri Roma – Romulus dan Remus–  yang tengah menyusu pada sang serigala betina. Hingga kini, hal itu terus menimbulkan gesekan antara fans fanatik Roma dan Lazio. Romanisti dan Laziali saling mengklaim bahwa merekalah pembawa gen yang sah kejayaan Romawi. “Kami mengusung nama kota, warna kebesaran dan simbol (Romawi). Bagaimana bisa mereka (Lazio) menolaknya sejak 1900. Kampungan!,” ketus seorang Romanisti yang dikutip Blair Newman dalam ulasannya di situs gentlemanultra.com , 30 November 2016. Sementara, mantan kapten Lazio Tomasso Rocchi membalas: “Mereka punya warna (kebesaran) Roma, namun Roma tetaplah Lazio,” tandasnya dalam sebuah rekaman dokumenter ITV4. Pasang Surut di Lapangan Hijau Campo Testaccio menjadi markas pertama AS Roma. Sejak prestasi runner-up musim 1930-1931, Roma benar-benar jadi tim kesayangan Mussolini sampai diberi keistimewaan pindah kandang dari Testaccio ke Stadio del Partito Nazionale Fascista yang lebih besar. Gelar Scudetto pertama Roma diraih pada 1942. Sayang, menurut Alberto Testa dan Gary Armstrong dalam Football, Fascism and Fandom , pencapaian itu diiringi nada-nada miring perihal “uluran tangan” Mussolini. Pasca-Perang Dunia II, Roma terpuruk dan nyaris tak pernah lagi bertengger di puncak klasemen sampai akhir musim. Itu berlangsung hingga awal 1980-an. Bahkan, pada musim 1950-1951 Roma merasakan terdegradasi dari Serie A. Roma baru bisa merasakan scudetto kedua di musim 1982-1983. Di era itu mereka juga langganan juara Coppa Italia. Gelar scudetto ketiga baru mampir pada musim 2000-2001. Pada 2011, Roma tak lagi dimiliki bos asal Italia, Franco dan Rosella Sensi. Pengusaha Amerika Thomas Richard DiBenedetto, juga pemilik Fenway Sports Group yang membawahi tim bisbol Boston Red Sox dan klub Liverpool, membeli saham mayoritasnya. DiBenedetto juga kemudian menjadi presidennya dan kemudian dilanjutkan rekannya, James Pallotta. Peralihan kepemilikan itu menandakan era baru AS Roma. Dengan modal kesabaran dan kepercayaan, suntikan investasi Amerika ini memungkinkan dilakukannya perekrutan sejumlah pelatih dan pemain yang tak murah. Perlahan tapi pasti, hal itu mendongkrak hasil di lapangan hijau.

  • Pram dan Arsipnya

    “Bung Pram ytt. Dengan ini aku menyampaikan bahwa aku dan keluarga sehat-sehat saja. Aku harap kau begitu juga. Anak-anak sekarang sudah besar-besar dan Yudi pun sudah agak tinggi dan cukup nakal. Sekarang tambah hitam karena sehari-hari main layang-layang. Sekian dahulu Pram. Peluk cium untuk kau dari keluarga”. Tulisan di atas adalah surat Maemunah Thamrin, istri sastrawan Pramoedya Ananta Toer, tanggal 16 Februari 1971. Pada bagian amplop, tertera stempel Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru. Pram ditangkap tahun 1966 kemudian dipenjara –tanpa proses pengadilan– di Pulau Buru, wilayah kepulauan Maluku. Dia menjadi tahanan politik bersama sekira 10.000 orang. Pram baru bebas pada 28 September 1979. Surat tersebut bagian dari pameran arsip dan catatan bertajuk “ Namaku Pram” di kafe galeri Dia.Lo.Gue. Pameran yang dihelat hingga 20 Mei 2018 mendatang menampilkan puluhan surat, arsip, dan memorabilia milik Pram yang jarang diketahui khalayak. Menampilkan secara gamblang surat-surat pribadi seorang mantan tahanan politik Orde Baru bukan perkara mudah. Perlu kepercayaan dari keluarga Pram. “Bukan sesuatu yang mudah. Sebuah tanggung jawab yang besar. Saya mengenal keluarga Pak Pram sejak 2005 dan menjalin silaturahmi yang baik. Saat terlibat di pertunjukan Nyai Ontosoroh dan tak henti saya merasa memiliki sudut pandang dan pilihan hidup seperti beliau. Nah, kemudian di pertunjukan yang lalu, Bunga Penutup Abad , adaptasi Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa . Saat itu saya main ke perpustakaannya. Wah, haru saya. Dia pencatat terbaik. Dari situ, saya berkeinginan menampilkan karya-karya tersebut jika pementasan itu sukses. Ternyata sold out . Dan saya berkewajiban menunaikan nazar itu,” ujar aktris Happy Salma, inisiator pameran, kepada Historia . Happy pun melakukan pendekatan yang lebih intens dengan Astuti Ananta Toer, putri sulung Pram. Sembari itu, Happy menggandeng rekannya yang lain, Engel Tanzil dari kafe galeri Dia.Lo.Gue. “Kami bertemu dengan mbak Astuti. Memang mulanya percaya. Ada kecurigaan. Tapi dengan ketekunan, kita persiapan dua tahun, ya ,” ujar pendiri Titimangsa Foundation, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang seni pertunjukan. Setelah melewati tahap yang panjang, mulailah pengkurasian. Happy sadar, pameran untuk Pram ini harus digarap oleh orang-orang yang mumpuni. Dia pun menunjuk Danny Wicaksono sebagai kurator pameran. “Saya diajak bergabung Januari kemarin. Tidak ada kesulitan tentang bahan pameran. Cuma memang perlu berhati-hati, mana yang perlu dikeluarkan, mana yang tidak. Dilihat dari apa yang akan disampaikan,” ujar arsitek pendiri Studio Dasar. Danny membagi pameran arsip Pram ini menjadi beberapa kelompok yaitu bagian perjalanan hidup, ruang arsip, kantor/ruang kerja, dinding memorabilia, wajah buku, taman kata, dan video. Pada bagian dinding memorabilia, terdapat 21 lukisan tentang Pram yang berasal dari beberapa kawannya. Kemudian pada bagian wajah buku, termuat 34 buku karya Pram dalam berbagai bahasa. Yang menarik adalah bagian surat-surat pribadi Pram dan kerja besarnya yang bernama Ensiklopedi Citra Indonesia (ECI). Dalam naskah ECI misalnya, Pram menulis sosok Jos Cleber, aransemen lagu pada 1950-an. Dalam tulisan tangan itu, Pram menyebut Jos Cleber sebagai “seorang pemusik kelahiran Yugoslavia yang kemudian meninggalkan negerinya, menanggalkan kewarganegaraannya. Sejak itu menjadi seorang kosmopolit tanpa kewarganegaraan. Tahun 50 mendapat kepercayaan untuk memimpin orkes radio Jakarta”. Inti dari pameran ini, menurut Danny, adalah menampilkan sisi lain dari Pram, khususnya tentang kerja-kerja intelektual yang belum banyak diketahui publik. “Inginnya, generasi sekarang atau siapa pun bisa melihat ini. Bahwa pencapaian kekaryaan dan dedikasi seseorang itu berawal dari proses,” ujar Happy. Tarian jemari Pram di atas tiga mesin tik, semalam (19/04), seperti hadir kembali. Suasana ini diciptakan oleh duo John David dan Adra Karim yang khusus mendedikasikan karya musik mereka bertajuk Tiga dari Lima kepada sosok Pramoedya Ananta Toer.

  • Sepakbola Kaum Hawa Merentang Masa

    GENAP 88 tahun usia PSSI hari ini, Kamis (19/4/2018). Tak hanya lebih tua dari republik ini dan termasuk senior di Asia, usia segitu mestinya sudah membuat PSSI matang dan jadi panutan. Sayang, usia tak berbanding lurus dengan kedewasaan, tindakan, dan prestasi. Masih dan makin banyak PR yang mesti diselesaikan PSSI. Sepakbola putri salahsatunya. Dibandingkan sepakbola putra, sepakbola putri di negeri ini ibarat bumi dan langit. Terlebih, setelah 1990-an. Hal itu diakui Papat Yunisal, legenda sepakbola putri nasional dan anggota Komite Eksekutif PSSI. Menurutnya, tak usah jauh-jauh membandingkan sepakbola putra dan putri sampai ke soal prestasi atau animo masyarakat. Dari perhatian pun sepakbola putri kalah jauh. “Sepakbola wanita ini lebih banyak kendalanya, baik di dalam maupun luar lapangan. Bukan soal sulit cari pemain ya, karena Indonesia banyak penduduknya. Kesulitan sebelumnya, karena tidak ada kejelasan agenda baik dari AFC (Konfederasi Sepakbola Asia) melalui PSSI, melalui Asprov. Tentang apa yang digerakkan. Kini saya punya visi-misi juga yang berat,” ujar Papat kepada Historia beberapa waktu lalu. Faktor lain yang menghambat perkembangan sepakbola putri, sambung Papat, adalah gonjang-ganjing di tubuh PSSI. Setiap kali ganti kepengurusan, kebijakan dan perhatian pada sepakbola putri pun ikut berganti. Alhasil, baru pada Desember 2017 PSSI bisa memberi perhatian dengan membentuk Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI) dan menghelat Pertiwi Cup untuk menjaring pemain. Padahal, kata Papat yang lantas duduk di kursi ketua ASBWI itu, mestinya sebelumnya setiap klub Liga 1 punya tim putri laiknya di Eropa. Kalau bisa begitu, tugas membentuk timnas putri untuk Asian Games 2018 dan Piala AFF Putri 2018 tak mungkin sesulit sekarang. Jejak Masa Lampau di Lapangan Hijau Keadaan itu berbeda dari masa lalu. Pada 1970-an hingga 1980-an, sepakbola juga sangat diminati kaum putri. Sudah sejak akhir 1960-an para “Kartini” punya animo tinggi terhadap bola kaki. Itu dibuktikan antara lain dari berdirinya sejumlah klub macam Putri Priangan atau Buana Putri. Kedua klub itu bahkan jadi maskot di kota masing-masing lantaran mewakili identitas sepakbola Jakarta dan Bandung. Rivalitasnya tak ubahnya rivalitas Persib dan Persija. Pada 1970-an, klub-klub putri yang ada saling adu kuat lewat berbagai kompetisi yang ada. Baru pada 1981 mereka bersaing di bawah payung PSSI lewat Piala Kartini dan Invitasi Galanita 1982. Putri Priangan dan Buana Putri tetap paling menonjol di antara Putri Jaya, Putri Pagilaran, Putri Mataram, Mojolaban, Putri Setia, Anging Mamiri dan Putri Cendrawasih. Buana Putri, sebagaimana disitat Kompas, 25 Mei 1981, sudah diikutkan ke Piala Asia Putri 1981 kendati tak membuahkan hasil manis. “Di Putri Priangan pada kompetisi-kompetisi Kartini Cup, Piala Pangdam biasa di Galanita, saingan beratnya Buana Putri. Kadang bergantian juara. Musuh bebuyutan, gitu lah . Kalau sudah bertemu di (stadion) Lebak Bulus itu, sampai tidak ada tempat duduk (penonton) tersisa. Selalu ramai penonton, kayak ada Viking dan Jakmania-nya (pendukung fanatik Persib dan Persija),” imbuh Papat yang memperkuat Putri Priangan sejak 1979. Sementara, di tingkat internasional timnas putri sudah mengukir prestasi jauh sebelum Galanita ada. Dalam debutnya, Piala AFC Putri 1977 di Taiwan, timnas putri berhasil sampai ke semifinal. “Wakti itu Jepang kalah sama kita. Kemudian beberapa tahun kemudian dia jadi juara dunia (Piala Dunia Wanita 2011). Terus kita sendiri selama ini ngapain ? Mereka tidak tidur, mereka jalan pelan-pelan sampai bisa juara dengan perhatian pemerintahnya,” timpal mantan kiper Buana Putri dan timnas putri Muthia Datau kepada Historia. Di Piala AFC Putri 1986, Indonesia juga kembali jadi semifinalis. Posisi runner-up dua kali digapai timnas putri dalam kejuaraan ASEAN Women’s Championship (1982 dan 1985). Di turnamen segitiga Indonesia-Malaysia-Singapura tahun 1979, timnas putri berhasil menjadi juara. Sayang, sejak 1989 Indonesia tak pernah lagi ikut serta Piala AFC Putri. Di SEA Games, sejak 2005 Indonesia juga tak pernah lagi kirim tim. Selain karena kurang perhatian dari PSSI dan pemerintah, sepakbola putri dalam negeri kebanyakan diminati hanya sebagai tempat penyaluran hobi. “Di Buana Putri, sebagian besar anggota yang aktif dilandas motif yang sama, hanya hobi saja,” ujar Muhardi, Pembina Buana Putri, dimuat Femina edisi Agustus 1981. Hingga kini, penyebab sepakbola putri minim peminat tak jauh beda dari masa lalu: sepakbola belum bisa dijadikan profesi dan sumber mata pencaharian oleh kaum putri. “Soal pendapatan, di Putri Priangan hanya sebatas uang saku. Uang sakunya ya nggak seberapa, sekitar 30 ribu sekali main. Kalau di timnas, uang saku agak lumayan, 900 ribu kita,” kata Papat.  Pendapatan kecil itu pun tak bisa rutin diterima lantaran kompetisi yang ada timbul-tenggelam. “Dulu kompetisi ada kalau semacam ada promotor yang ngundang, ” sambung Papat. Kompetisi di bawah PSSI terus menghilang seiring perjalanan waktu. Alhasil, animo generasi muda beralih ke futsal. “Sepakbolanya sudah hilang, jadi lari ke futsal rata-rata. Kalaupun ada, mereka mau latihan, tapi wadahnya mana? Kalau enggak ada kompetisi ngapain ?,” kata Muthia, yang kini menjadi pengurus ASWI dan berharap bisa menggerakkan lagi sepakbola putri. Papat Yunisal sependapat. “Karena ketidakjelasan itu mereka lari ke futsal. Futsal sekarang lapangannya banyak, tapi lapangan bola untuk putri kan lebih mahal sewanya,” timpal Papat.   Toh , setitik cahaya tetap ada dalam kegelapan sepakbola putri kita. Menurut Papat, tidak sedikit pemain futsal putri yang berharap bisa turut berkiprah di sepakbola lapangan. “Futsal kan seninya kurang, asal tendang keras bisa masuk. Tapi sepakbola kan tidak. Pernah juga ada satu-dua pemain (futsal) yang bilang ke saya bahwa kalau ada (kompetisi) sepakbola, mereka ingin ikut. Kalau kompetisinya jelas, mereka ingin di sepakbola saja,” tandas Papat.

  • Mengenang Pemboman Sabang

    HARI ini (19 April) 74 tahun lalu, sejumlah tempat di Sabang luluh lantak. Keadaan itu disebabkan oleh bombardir udara yang dilancarkan pasukan Sekutu lewat operasi bersandi Cockpit. Operasi Cockpit dilatarbelakangi oleh permintaan AL Amerika Serikat (AS) yang membutuhkan sebuah operasi pengalihan agar operasi utamanya ke Hollandia (kini Jayapura) tak terusik. Operasi pengalihan itu berfungsi untuk menahan pasukan Jepang di sekitar Selat Malaka agar tak bergerak ke timur. Untuk keperluan itu, pada awal April 1944 Laksamana Ernest King (kepala operasi AL AS) menemui Laksamana James Somerville (komandan Armada Timur AL Inggris). King menanyakan apakah Armada Timur bisa membuat operasi yang diinginkan. Somerville menyanggupi. Dia, yang merancang dan memimpin operasi pengalihan itu, lalu memilih Sabang sebagai target operasi. Selain pintu masuk ke Selat Malaka, Sabang merupakan titik strategis karena dijadikan Jepang sebagai penyuplai utama minyak dan logistik pasukannya di Burma. Dengan melumpuhkan pelabuhan, stasiun radar, bandara, stasiun radio, dan fasilitas minyak di Sabang, Sekutu bisa memutus pasokan minyak dan logistik Jepang di Burma. Untuk mencapai maksud itu, Somerville menitikberatkan operasi pada serangan udara. Pelaksanaan operasi, 19 April, akan dijalankan oleh dua satuan tempur: Force 69 dan Force 70. Force 69 merupakan tempat di mana kapal perang HMS Queen Elizabeth –yang ditumpangi Somerville– berada. Sedangkan Force 70, merupakan kekuatan inti. Di Force 70 ini dua kapal induk – dan – berada. Mereka mulai bergerak dari Trincomalee di utara Sri Lanka pada 16 April. “Posisi terbang 180 mil laut barat daya Sabang dicapai pada pukul 05.30 waktu setempat pada 19 April 1944,” tulis David Hobbs . Buruknya cuaca di mana awan rendah memaksa kedua kapal induk Sekutu bergerak sendiri-sendiri dengan kecepatan penuh. Namun, dalam keadaan itu mereka tetap meluncurkan 46 pesawat pembom dan 37 pesawat tempur yang langsung membom pelabuhan berikut kapal-kapal yang bersandar di dalamnya. Barak-barak tentara, stasiun radar, fasilitas komunikasi, tangki-tangki depo minyak, pembangkit listrik, dan pangkalan udara berikut 24 pesawat tempurnya mengikuti jadi korban tak lama kemudian.   Para personil militer Jepang, kebanyakan masih tidur, yang tak jadi korban langsung kaget. “Saat mereka berhasil menggunakan senjata anti-pesawat, semuanya telah hancur. Mereka hanya berhasil menembak jatuh satu pesawat Sekutu,” tulis Horst H. Geerken dalam . Pasukan Somerville menyudahi serangan pukul 09.00 dan langsung kembali Trincomalee. Selain melumpuhkan fasilitas-fasilitas vital Sabang, Operasi Cockpit memakan korban satu kapal niaga tenggelam dan satu kapal lain rusak berat, dua kapal destroyer dan dua kapal pengawal AL Jepang terbakar. Tiga pesawat tempur dan tiga pesawat torpedo AL Jepang ikut jadi korban ketika mencoba memberi perlawanan.

  • Rumah Minimum ala Gubernur Pertama Jakarta

    “YANG paling menekan saya ialah soal perumahan.” Begitu curahan hati Soemarno Sosroatmodjo, gubernur Jakarta 1960-1964, kepada wartawan Star Weekly,  Mei 1961. Dia baru setahun menjabat gubernur, sebutan baru untuk kepala daerah Jakarta. Dulu sebutan kepala daerah Jakarta ialah walikota. Sebutan boleh beda, tapi masalah utama Soemarno serupa kepala daerah sebelumnya:  bagaimana menyediakan rumah murah. Beban Soemarno terus bertambah. Jakarta tengah bersiap menyongsong Asian Games 1962. Pemerintah pusat meminta Soemarno ikut membantu keberhasilan pembangunan gedung, fasilitas, dan jalan penunjang pesta olahraga terbesar Asia tersebut. Sebab, pembangunan itu mengharuskan pengorbanan penduduk Jakarta. Mereka harus angkat kaki dari atas tanah merah yang jadi tumpuan tempat tinggalnya. “Dalam hubungan itu jumlah rumah yang dibongkar dan dibangun kembali sebanyak 8.652 buah, milik 46.829 jiwa penduduk Tebet, Pejompongan, Slipi, Cikoko, dan Cileduk,” kata Soemarno dalam otobiografinya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya . Saat bersamaan Jakarta justru kekurangan 100.000 rumah. Kekurangannya terus bertambah tiap tahun sebanyak 10.000 rumah. “Tiap warga negara selayaknya mempunyai suatu rumah. Kalau kita bisa menyelenggarakan Asian Games, maka sayang sekali kalau kita tidak bisa menyelesaikan soal perumahan,” ungkap Soemarno dalam Star Weekly , 13 Mei 1961. Puluhan ribu orang hidup tanpa rumah di Jakarta. Gelandangan berkeliaran di jalan-jalan, kolong jembatan, dan stasiun. Lainnya mendirikan gubuk-gubuk liar di sepanjang jalur kereta. Mereka mengorek bak-bak sampah dan menjual kardus bekas untuk makan sekadarnya. Urusan punya rumah cuma sebatas angan. Warga kota yang punya sedikit penghasilan lebih beruntung. Mereka masih bisa menyewa rumah petak. Sisanya justru mampu membeli tanah dan membangun rumah seadanya berbahan kayu. Tapi rumah tak lantas bisa mereka huni lantaran terhambat aturan Surat Izin Penghuni (SIP) peninggalan zaman kolonial Belanda. Soemarno mengupayakan jalan keluar masalah perumahan. Dia lebih dulu berpaling ke outline plan bikinan Sudiro, kepala daerah Jakarta sebelumnya. Outline plan memuat rencana perluasan wilayah Jakarta. Soemarno berpikir bahwa banyak daerah di luar pusat kota belum terjamah pembangunan. Tanah lapang nan luas seperti di Cempaka Putih atau Pulo Mas menunggu digarap. Harga tanahnya pun masih murah sehingga Soemarno berangan-angan warga golongan ekonomi lemah mampu membeli tanah di sana secara legal. “Untuk memungkinkan terlaksananya cita-cita ini pemerintah harus menguasai sebanyak mungkin tanah untuk dapat mencegah adanya spekulasi harga,” kata Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta, 1945-1966. Soemarno mengaku pemerintah daerah tak bisa sepenuhnya membangun rumah murah di Cempaka Putih dan Pulo Mas. Kantong pemerintah daerah lebih sering kempis ketimbang kembangnya. Sebagai gantinya, pemerintah daerah bakal menjamin harga tanah murah, menghapus aturan Surat Izin Penghuni, menyediakan akses jalan, dan membangun fasilitas penunjang lainnya seperti air dan listrik. Soemarno kasih warga saran untuk membangun rumah secara sederhana di Cempaka Putih dan Pulo Mas. Rumah tak perlu luas dan mewah. Yang penting mencukupi tiga syarat minimal: cukup sirkulasi udara dan cahaya, cukup sanitasi, dan cukup murah. Nanti kalau kantong pemilik sudah lebih berisi, rumah boleh diluaskan atau diperbaiki. Inilah rumah minimum ala Soemarno. Harga pembangunan per rumah pun tak boleh lebih dari 50 ribu rupiah. Tapi “Sekalipun murah, namun bagi buruh kecil harga itu belum wajar juga,” tulis Star Weekly,  13 Mei 1961. Karuan Soemarno mengajak perusahaan swasta dan warga turut andil mendukung pembangunan rumah minimum bisa menyentuh masyarakat lapisan bawah. Sekalipun urusan perumahan Jakarta berada penuh di tangannya, sesuai Perpu No 6/1962 dan PP No 17/1963, lantaran kantong pemerintah daerah tak cukup berisi, urusan itu perlu disebar juga ke perusahaan swasta dan warga. “Saya tahu dan yakin, bahwa masyarakat ibukota mempunyai potensi yang besar dalam hal modal (keuangan),” kata Soemarno dalam Star Weekly, 15 April 1961. Tiga tahun kemudian, keyakinan Soemarno benar-benar merupa. “Proyek Cempaka Putih baru dibangun. Dari tanah seluas 235 ha, baru 22 ha yang diratakan dan di atas tanah yang sudah rata itu, baru 6 ha yang sudah dibangun, terdiri dari 204 pintu tipe rumah minimum, 33 pintu tipe rumah sedang dan 11 pintu tipe villa,” lansir Djaja , 11 Juli 1964. Soemarno sengaja melebur lingkungan rumah minimum dengan rumah sedang dan rumah villa. Dia ingin penghuninya bekerja sama membentuk lingkungan baru di luar pusat kota. “Perpaduan antara penduduk yang berada dan penduduk yang kurang mampu,” kata Soemarno dalam Karya Jaya . Soemarno membayangkan para pemilik rumah villa bisa membuka usaha dengan merekrut pekerja dari pemilik rumah minimum dan warga perkampungan sekitarnya. Sebaliknya, pemilik rumah minimum dan penduduk kampung sekitar bisa bekerja tak jauh dari tempat tinggalnya. Menghemat ongkos transportasi dan mengurangi beban pusat kota. Selesai dengan Cempaka Putih, Soemarno beralih ke Pulo Mas. Dia bekerja sama dengan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk membangun lingkungan rumah minimum seperti di Cempak Putih. Tapi gagasan Soemarno gagal merupa di Pulo Mas. “Karena adanya perubahan-perubahan akan tanah air kita,” kenang Soemarno. Ali Sadikin, pengganti Soemarno, lebih memilih memperbaiki keadaan kampung kumuh ketimbang membangun rumah murah baru. Gagasan rumah minimum Soemarno pun mati. Kelak, ia bangkit lagi dengan nama rumah tumbuh bikinan Perusahaan Rumah Nasional (Perumnas) pada pertengahan dekade 1970-an.

  • Hikayat Pasukan Komando Indonesia

    Di Pelabuhan Ratu, latihan penyerbuan dari laut itu berlangsung tegang. Dalam skenario,  para siswa peserta pelatihan dengan menggunakan beberapa perahu karet akan melancarkan penyerangan ke arah sebuah lapangan udara di muara Sungai Cimandiri. Namun saat tiba di tengah lautan, mendadak mereka disiram dengan peluru-peluru senapan mesin. Siapa gerangan yang melakukan manuver berbahaya tersebut? Tak lain dan tak bukan, dia adalah Mayor Mochammad Idjon Djanbi, instruktur utama mereka. Yang mengagumkan, kendati peluru-peluru tajam itu ditembakan dari darat ke laut dalam situasi gelap gulita namun tetap terukur sehingga tak seorang prajurit pun terluka. “Kami hanya menyaksikan peluru-peluru itu jatuh tak lebih satu meter jaraknya dari perahu kami” kenang Marzoeki Soelaiman (89), salah seorang prajurit yang ikut dalam latihan tersebut. Selain penyerangan dari laut, sebelumnya para siswa pelatihan pasukan khusus itu dibekali juga dengan pengetahuan survival, perang hutan, membaca gelombang, belajar mendayung secara efektif dan melancarkan penyerangan senyap. “Idjon benar-benar membentuk kami sebagai prajurit komando yang tangguh dan teruji di berbagai medan,” ungkap Marzoeki kepada Historia . Obsesi Lama Panglima operasi penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) Kolonel A.E.Kawilarang tak pernah bisa melupakan musuhnya. Sebagai orang militer, dirinya merasa kagum dengan pergerakan para prajurit eks anggota RST (Resimen Pasukan Khusus KNIL) tersebut. “Mereka mampu berpindah ke sana ke mari untuk mengacau kedudukan musuh,” ungkap Kawilarang kepada penulis Julius Pour dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan Menurut Kawilarang, keleluasaan dalam mobilitas itu bisa dilakukan karena kekuatan eks pasukan Baret Hijau dan Baret Merah itu kekuatannya sangat ramping: hanya terdiri dari beberapa unit kecil. Kendati demikian, secara individu mereka terdiri dari prajurit-prajurit yang memiliki ketrampilan tempur yang mumpuni terutama dalam pergerakan senyap. Ketika berdiskusi dengan Letnan Kolonel Slamet Rijadi, koleganya dari Jawa Tengah yang juga terlibat dalam penumpasan RMS, soal itu sempat menjadi perbincangan serius. Kedua perwira kharismatik tersebut sama-sama sepakat bahwa suatu hari militer Indonesia harus memiliki sejenis kesatuan seperti itu. “Sayangnya, sebelum obsesi itu terwujud, Letnan Kolonel Slamet Rijadi keburu gugur, ditembak brengun musuh di palagan Maluku Selatan,” ujar Julius Pour. Dua tahun Kawilarang memendam mimpinya memiliki sebuah kesatuan pasukan komando. Hingga pada awal 1952 saat dirinya diangkat sebagai Panglima Tentara Teritorium III Siliwangi (kemudian berubah menjadi Komando Daerah Militer III Siliwangi), ia berkesempatan mewujudkan obsesinya tersebut menyusul semakin mengganasnya para gerilyawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan S.M. Kartosoewirjo di wilayah Jawa Barat. Rekrut Eks Perwira KST Langkah pertama yang dilakukan Kawilarang adalah berdiskusi dengan Mayor Soewarto, salah satu staf kepercayaannya. Dari perbincangan itu lantas muncul nama Roden Barendrecht Visser, seorang Belanda kelahiran Kanada yang pernah menjadi anggota pasukan KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda). Visser merupakan prajurit pasukan khusus yang pernah dididik para komando Inggris. Pada September 1944, bersama kesatuan lintas udara Amerika Serikat, Visser sempat terlibat pertempuran melawan tentara Jerman dalam Operasi Market Garden. Usai berakhirnya Perang Dunia II, ia kemudian bergabung dengan KST dan sempat ikut dalam gerakan Aksi Polisional II ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Saat berpangkat kapten, Visser mengundurkan diri dari militer Belanda. Ia lantas menikahi seorang gadis Sunda bernama Suyatni dan merintis usaha perkebunan bunga di Lembang. “Setelah memeluk agama Islam, Visser merubah namanya menjadi Mochamad Idjon Djanbi,” Marzoeki Soelaiman. Singkat cerita, Djanbi  menerima “lamaran” Kawilarang untuk merintis pembentukan satu kompi pasukan komando di lingkungan Siliwangi. Sesuai permintannya, ia kemudian diangkat sebagai komandan pasukan komando tersebut dengan pangkat mayor. “Saya diangkat oleh Pak Kawilarang sebagai wakil Pak Idjon Djanbi dengan pangkat kapten, tugas saya yang pertama: menerjemahkan bahan-bahan pelatihan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia,” kenang Marzoeki. Pelatihan pun berjalan lancar. Setelah menghabiskan waktu selama dua bulan di hutan-hutan Gunung Burangrang, Pelabuhan Ratu dan Pulau Nusakambangan, maka calon kesatuan khusus itu telah memiliki delapan perwira berkualifikasi komando. Pada 16 April 1952, Kawilarang meresmikan pembentukan Kesatuan Komando (Kesko) Tentara Teritorium III Siliwangi. Karena jumlah instruktur dinilai masih kurang, maka Idjon menghubungi para mantan tentara Belanda asal Indonesia Timur yang dulu pernah menjadi anak didiknya, untuk bergabung dengan Kesko. Selanjutnya pendidikan pasukan khusus pun digelar. Sekira 400 prajurit dari berbagai kesatuan di Siliwangi mendaftar. Namun setelah lima bulan dididik dalam suatu penggojlokan yang sangat keras, termasuk terjun langsung dalam operasi-operasi perburuan gerilyawan DI/TII, hanya tersisa 242 prajurit yang mampu bertahan dan dinyatakan lulus. Merekalah prajurit-prajurit komando pertama di Indonesia.

  • Ekspansi Raja Cola sampai Sriwijaya

    DI bawah kendali Rajendracola I, Kerajaan Cola mungkin menjadi kerajaan Hindu paling mengagumkan di India. Dia melanjutkan pencapaian ayahnya, Rajaraja I, yang menundukkan beberapa wilayah di anak benua itu. Arkeolog senior Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo mengatakan, secara umum Kerajaan India biasanya hanya berkuasa di Asia Selatan. Pengaruhnya yang menyebar ke berbagai wilayah, misalnya seni arca. “Dia tidak berkuasa di luar Asia Selatan. Pengaruhnya ke mana-mana, misalnya di pantai barat Malaysia ada komunitas Tamil, di Sumatra juga ada, kemudian prasasti Tamil ditemukan juga di Lobu Tua,” jelas Bambang ketika ditemui di kantornya. Awalnya, sekira abad ke-1 sampai abad ke-4, Cola hanya menguasai wilayah Tamil Nadu. Wilayah ini kini menjadi salah satu negara bagian di India selatan. Lokasi tepatnya di kota Thanjavur dan Tiruchirapalli.  Menurut A. Meenakshisundararajan dalam “Rajendra Chola’s Naval Expedition and the Chola Trade with Southeast and East Asia” yang terbit dalam  Nagapattinam to Suvarnadwipa, dinasti Tamil baru berkembang menjadi kekuatan besar di India Selatan pada abad ke-9. Perkembangannya semakin pesat, khususnya sejak tahun 985, sewaktu Rajaraja I mulai memerintah. Rajaraja memulai ekspansinya dari wilayah inti di delta Sungai Kaveri. Dia kemudian menduduki wilayah pesisir India. Dari sana, dia membawa pasukannya masuk ke pusat India seperti Orisa. Rajaraja kemudian menaklukkan Kerala (Cheras) di India Selatan dan wilayah timur Kerajaan Chalukya di India Tengah. Kemudian dia menaklukkan Sri Lanka (Ceylon) dengan mengalahkan Kerajaan Padyas di India Selatan. Penaklukkannya juga sampai Kepulauan Maladewa sebagai pusat perdagangan penting di Samudra Hindia. “Sejak itu, Rajaraja melemahkan semua kerajaan di India Selatan,” tulis Meenakshisundararajan. Pemerintahannya belum benar-benar berakhir ketika putranya, Rajendracola I ditahbiskan sebagai pewaris takhta. Ada bukti keduanya memerintah berdampingan antara 27 Maret hingga 7 Juli 1012. Rajendracola baru memerintah secara mandiri pada 1014 setelah kematian ayahnya. Dia mewarisi wilayah kerajaan yang luas terdiri dari wilayah Tamil Nadu, Andhra Pradesh di India Selatan, Kerala bagian selatan, dan sebagian Karnataka di India Selatan, Sri Lanka dan Maladewa, serta kemungkinan kepulauan lain di Samudera Hindia. Tak puas dengan warisan itu, Rajendracola melebarkan lagi kekuasaannya dengan menduduki Pulau Andaman dan Nikobar di Teluk Bengal, Lakshadweep, kepualauan di perairan dekat wilayah Kerala; mengalahkan Raja Mahipala dari Dinasti Pala yang kekuasaannya meliputi India Timur. Ekspedisinya dilanjutkan ke Bihar dan Bengal di wilayah India Timur, dekat Nepal dan Bangladesh sekarang. Pencapaian Rajendracola yang paling diingat adalah invasinya ke Semenanjung Malaka dan Sumatera melalui armada lautnya. Raja Sriwijaya Sangramavijayottunggavarman ditawan dan harta kekayaannya dirampas. Kemenangan ini dicatat dalam Prasasti Tanjore (1030). Para ahli memprediksi keberhasilan ini dalam sekali penyerangan yang singkat. “Untuk menandai kemenangannya itu, dia membangun ibukota baru bernama Gangaikonda Cholapuram,” tulis Meenakshisundararajan. Rajendracola meneruskan tradisi ayahnya yang menjaga hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara lewat perdagangan. Sejak menguasai Sri Lanka perubahan besar terjadi, terutama karena wilayah itu punya kaitan dengan Barus di Sumatera. Claude Guillot dkk. dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu mengatakan, satu sisi Cola ingin menjalani hubungan dengan benua timur, Cina, Kamboja, dan lainnya. Di sisi lain, di bawah dinasti itu, pemerintah menjalankan hubungan erat dengan perkumpulan pedagang, khususnya dengan Ayyavole yang ada di Lobu Tua, Barus. “Dengan perluasan wilayah kekuasaan Dinasti Cola memungkinkan para pedagang Tamil, yang merupakan anggota perkumpulan yang didukung pemerintah, berhasil menguasai jaringan perdagangan yang lama, seperti jaringan perdagangan kamper yang menuju Barus,” jelasnya. Menurut Kenneth R. Hall dalam Trade and Statecraft in the Ages of Colas,  karier Rajendracola yang gemilang itu bisa dianggap sebagai upaya heroik, namun bisa pula dipandang untuk meniru dan mengungguli prestasi sang ayah. Pasalnya, para sejarawan belum ada yang mampu membuktikan bahwa ekspedisi ke Sriwijaya dan Bengal adalah ekspedisi yang lebih dari sekadar serangan singkat. Meski banyak kemungkinan alasan yang diajukan para ahli soal serangan Cola ke negeri yang jauh, tetap saja soal ini belum jelas. Khususnya di Sriwijaya, menurut Bambang, orang-orang Tamil itu hanya menyerang tanpa menduduki. Terlebih lagi, riwayat ekspedisi Rajendracola sebagai penakluk besar hanya diawetkan lewat prasasti yang ditemukan di wilayah Cola sendiri. Sementara catatan mengesankan tentangnya tak ditemukan di lokasi penaklukannya yang paling jauh, seperti Bengal dan Sriwijaya. Meskipun begitu, tetap saja, apa yang dilakukan Rajendracola dan ayahnya belum pernah dilakukan sebelumnya oleh raja-raja di India. Khususnya dalam hal memajukan kekuatan maritim ke negeri yang jauh.

  • Komponis Belanda Aransemen Indonesia Raya

    SEORANG bujang berusia 32 tahun dari Maastricht, Belanda, merantau ke Indonesia. Dia cukup berani karena situasi Indonesia belum aman, baru tiga tahun merdeka. Dia bukan perantau sembarangan. Di negerinya, dia dikenal sebagai pemain violin, trombon dan arranger musik yang piawai. Dia pun pernah tampil di orkestra terkenal, Concertgebouw Orchestra. Jos Cleber nama perantau itu. Keahlian bermusik mengantarkannya menjadi konduktor tamu Orkes Kosmopolitan di Radio Republik Indonesia  studio Jakarta. Sehingga,  RRI memiliki tiga kelompok orkes, dua di antaranya Orkes Philharmony pimpinan Yvon Baarspul, juga seorang Belanda, dan Orkes Studio Jakarta yang diketuai Syaiful Bahri. Cleber pandai bergaul. Dia mudah berinteraksi dengan budaya baru. Sehingga, dia berhasil menggarap aransemen beberapa lagu Indonesia, salah satunya lagu keroncong Di Bawah Sinar Bulan Purnama karya Arimah, nama lain Maladi. Pada akhir tahun 1950, Jusuf Ronodipuro, kepala RRI studio Jakarta, meminta Cleber menggubah partitur lagu Indonesia Raya untuk orkes filharmoni. “Lagu Indonesia Raya yang dipakai saat itu adalah hasil garapan Nobuo Iida, direktur Jakarta Hoso Kyoku pada zaman Jepang,” ujar Victorius Ganap, guru besar Institut Seni Indonesia Yogyakarta, kepada Historia . Cleber menerima permintaan Jusuf. Tahun 1951, dia merampungkan aransemen baru Indonesia Raya dengan perekaman yang dibantu 140 pemusik gabungan dari ketiga orkes RRI serta menggunakan mikrofon Westrex dan tape recorder Philips. Menurut Bondan Winarno dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, hasil aransemen Cleber diperdengarkan kepada Presiden Sukarno. Di sini muncul perdebatan antara Sukarno dan Cleber. “ Indonesia Raya itu seperti bendera merah putih kita. Polos. Sederhana, tidak perlu diberi renda-renda lagi,” ujar Sukarno. Menurut Cleber, Bung Karno meminta lagu Indonesia Raya seperti lagu Wilhelmus , lagu kebangsaan negeri Belanda. “Lagu kebangsaan Indonesia Raya harus plechstatig (khidmat dan megah),” kata Sukarno. “ Dat Kan niet . Tidak bisa,” jawab Cleber. Dia menilai bahwa lagu Wilhelmus berirama lambat sementara Indonesia Raya berirama mars atau tempo di marcia . Penilaian Cleber ini mengacu pada lagu gubahan Nobuo Iida, sementara partitur asli yang ditulis Wage Rudolf Supratman tertulis tanda irama "Oepatjara, djangan terlaloe tjepat". Cleber pun merevisi aransemennya. Revisi kedua kembali dibawa ke hadapan Sukarno. Dia pun masih belum sreg . “Harus ada bagian yang lieflijk , yaitu bagian sebelum refrain. Refrainnya sendiri harus meledak dan menciptakan klimaks,” terang Bung Besar. Cleber merevisinya sekali lagi. Kali ini, dia bisa menebak tepat keinginan Sukarno. “Akhirnya, Cleber menggunakan tiga suasana dalam garapannya yang diawali 20 birama pertama dalam suasana anggun melalui tiup kayu, dilanjutkan 8 birama berikutnya dalam suasana khidmat melalui gesek, dan mencapai klimaks pada refrain dalam suasana heroik yang menggelegar secara tutti (semua pemain memainkan hal yang sama,  red. ) dengan penambahan tiup logam dan perkusi,” tulis Victorius Ganap dalam pidato pengukuhan guru besar ISI Yogyakarta berjudul Sumbangsih Ilmu Pengetahuan Musik dalam Pembentukan Jatidiri Bangsa . Revisi ketiga ini disukai Sukarno tanpa perubahan lagi. Master rekaman yang terbuat dari lilin dikirim ke Philips untuk dibuat master bagi kepentingan produksi piringan hitam di Indonesia. Versi inilah yang dipakai hingga hari ini.

  • Cara Walikota Jakarta Sediakan Rumah Murah

    PENJUALAN rumah dengan uang muka nol rupiah di DKI Jakarta tinggal menghitung hari. Gubernur Anies Baswedan berjanji menerbitkan Peraturan Gubernur tentang program itu pada Selasa, 17 April 2018. Wakil Gubernur Sandiaga Uno memperkirakan warga Jakarta bisa mencicil rumah mulai Mei 2018. Keduanya berharap program itu mampu memecahkan masalah akut Jakarta dalam perumahan. Urusan menyediakan rumah murah dan layak huni bagi warga Jakarta telah menjadi beban pikiran para pembesarnya sejak kemerdekaan, ketika masih bertitel walikota. Soewiryo, walikota pertama Jakarta, berhadapan dengan para pemukim liar di sekitar pusat kota. Mereka tinggal di gubuk-gubuk pengap di atas tanah tak bertuan. “Gubug-gubug ini lambat laun menjadi tambah besar sehingga lama-kelamaan merupakan rumah sederhana,” kata Soewiryo dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta, 1945-1966. Penghuni gubuk-gubuk pengap itu tak terdaftar dalam catatan kependudukan. Tanahnya pun demikian. Soewiryo berkasad membereskan keruwetan ini. Dia mengupayakan relokasi pemukim liar dan mendata ulang kepemilikan tanah. Tapi tentara Sekutu keburu datang ke Jakarta. Arkian orang-orang Belanda yang ikut dalam tentara Sekutu malah membentuk pemerintahan kota versi mereka sendiri. Ada dua kepemimpinan di Jakarta. Gerak Soewiryo jadi terbatas. Tambah pula dengan kontak senjata terjadi di sejumlah sudut Jakarta. Belanda memenangi perang di Jakarta. Pucuk pemerintahan menyingkir ke Yogyakarta. Soewiryo kena tangkap Belanda pada Juli 1947. Urusan rumah mendadak terbengkalai. Giliran orang Belanda mengatur Jakarta. Masalah menyediakan rumah murah dan layak huni bagi warga kota ternyata mewaris ke mereka. Banyak interniran dan pejabat militer Belanda mesti disediakan rumah. Para pembesar Belanda di Jakarta pun kelimpungan. Pembesar Belanda tak bisa seenaknya merebut rumah penduduk tempatan untuk kemudian dihuni oleh interniran dan pejabat. Bakal ada perlawanan dari penduduk kalau itu mereka lakukan. Sementara untuk membangun rumah butuh waktu. Maka, Freek Colombijn dalam Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during the Decolonization of Indonesia 1930-1960,  menyebut kekurangan rumah ini sebagai “krisis di Jakarta.” Tapi pembesar Belanda di Jakarta tak terbebani urusan menyediakan rumah kelewat lama. Bukan lantaran mereka berhasil mengatasinya, melainkan tersebab pengakuan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949. Belanda angkat kaki dari Jakarta. Kini Jakarta dipimpin lagi oleh Soewiryo. Sampai akhir masa tugasnya pada Mei 1951, Soewiryo hanya berhasil menyelesaikan pendataan kepemilikan tanah liar. Dia tidak mempunyai cukup waktu untuk merumuskan program rumah. Sjamsuridjal, pengganti Soewiryo, memiliki konsepsi tentang pembangunan Jakarta. Dia mencita-citakan Jakarta sebagai kota indah dan ternama. Kepada para wartawan ibukota pada 15 September 1951, dia menekankan tiga masalah pokok Jakarta: pembagian aliran listrik, penambahan air minum, dan urusan tanah. Kemana masalah perumahan? Meski tak menyebut urusan rumah sebagai pokok masalah Jakarta, Sjamsuridjal tetap peduli pada kewajibannya menyediakan rumah. “Di dalam mencukupi kebutuhan perumahan rakyat direncanakan pendirian kampung baru di tiga tempat masing-masing di Bendungan Ilir, Karet Pasar Baru, Jembatan Duren. Perumahan akan dapat menampung 33.000 orang,” kata Sjamsuridjal dalam Karya Jaya . Rumah-rumah itu dijual kepada rakyat yang membutuhkan. Sjamsuridjal juga menyediakan rumah darurat untuk golongan kecil seperti tukang becak dan penjual makanan. Kira-kira 2.000 golongan kecil beroleh rumah darurat itu. Upaya Sjamsuridjal menyediakan rumah untuk warga Jakarta berhenti pada November 1953. Dia tak lagi menjabat walikota. Urusan menyediakan rumah untuk warga Jakarta beralih ke Soediro, walikota Jakarta 1953-1960. Soediro bilang dalam Karya Jaya , bahwa urusan menyediakan rumah sebagai “beban moril yang tidak ringan.” Bayangkan saja, ketika kantong pemerintahan kotapraja lagi kempes-kempesnya, Soediro harus mengupayakan rumah bagi “berpuluh ribu manusia bangsa kita yang bergelandangan di pinggir-pinggir jalan, di bawah kolong jembatan atau di beranda-beranda stasiun,” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raja . Termasuk pula puluhan ribu penganggur, buruh, dan pegawai rendahan lainnya yang belum kebagian rumah dari masa walikota sebelumnya. Soediro membuat program rumah pertamanya untuk kaum buruh di Grogol pada 1953. Jumlah rumahnya mencapai 2.800 buah. Para buruh bisa mencicil rumah tersebut selama 20 tahun. Karena uang penjualan rumah tersebut masuknya lama ke kas pemerintah kotapraja Jakarta, Soediro pinjam uang ke pemerintah pusat untuk meneruskan pembangunan rumah. Sasarannya untuk anggota ABRI dan pegawai negeri yang berdinas di Jakarta. Upaya Soediro masih belum mencukupi. Memasuki tahun 1960, Jakarta banjir penduduk. Tiga juta orang tinggal di Jakarta. Mereka perlu rumah. Soediro sempat membuat outline plan pada 1959, sebelum kelar masanya jadi walikota. Rencana terintegrasi pembangunan kota ini ikut memuat rumusan penyediaan rumah. Kelak Soemarno Sosroatmodjo, gubernur Jakarta 1960-1964, merujuk rencana ini untuk membuat program rumah minimum.

  • Amoroso Katamsi Berperan Jadi Soeharto

    LAKSAMANA Pertama TNI (Purn.) dr. Amoroso Katamsi meninggal dunia di RSAL Mintoharjo, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, pada 17 April 2018, pukul 01.40 WIB. Dokter dan psikiater TNI AL ini mulai terjun ke dunia film pada 1976. Namanya melambung setelah memerankan Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI  (1984). Film propaganda Orde Baru ini menjadi tontonan wajib setiap tahun, diputar setiap 30 September di TVRI dan dipancarluaskan oleh stasiun televisi swasta.

bottom of page