Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jenderal Soedirman Tak Selalu Ditandu
JENDERAL Soedirman tak selalu ditandu ketika bergerilya. Dari Kompleks Mangkubumen Yogyakarta, dia dan pengawalnya naik mobil dan pick-up . Belanda mengetahui perjalanannya itu, sehingga pesawat cocor merah menghujani rombongan. “Rupanya mereka dapat mengetahui rombongan kami karena pada mobil yang kami tumpangi itu masih terpasang bendera Panglima Besar. Dalam keadaan gawat itu Pak Dirman saya dorong ke semak di pinggir jalan sehingga beliau terhindar dari bahaya maut,” kata Harsono Tjokroaminoto dalam otobiografinya Selaku Perintis Kemerdekaan . Harsono menjadi penasihat politik Soedirman selama bergerilya. Lolos dari bahaya, Soedirman melanjutkan perjalanan dengan mobil sampai Bantul, lalu Kretek. Untuk menghilangkan jejak, Kapten Tjokropranolo, pengawal Soedirman, memerintahkan mobil dan pick-up yang dipakai rombongan dibawa pergi sejauh mungkin, kalau perlu dirusak di lain tempat. Malam itu juga, Soedirman dan rombongan menyeberangi Kali Opak. Sesampainya di seberang kali, mereka dijemput lurah Mulyono Djiworedjo, dengan dokar namun tanpa kuda. “Tanpa pikir panjang, Pak Dirman dipersilakan untuk naik dokar dan sayalah yang menjadi kudanya, sedangkan para pengawal lain mendorong dari belakang,” kata Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia . Sejak dari Kelurahan Grogol, Soedirman harus ditandu yang diusung oleh penduduk secara bergantian. “Beliau harus ditandu karena kesehatannya tidak mengizinkan lagi untuk berjalan,” kata Harsono. “Di setiap tempat kami berhenti,” sambung Tjokropranolo, “dibuatkan tandu yang baru untuk membawa Panglima.” Bila tidak ditandu, Soedirman naik dokar, seperti dari Playen ke desa Semanu. Dari Semanu, Soedirman ditandu lagi sampai Bedoyo dan sambung lagi dengan dokar yang lengkap dengan kudanya. “Untunglah saya tidak perlu lagi jadi kuda,” kata Tjokropranolo. Bahkan, bila rutenya jalan raya, rombongan Soedirman memakai mobil, seperti dari Pracimantoro sampai Wonogiri dan Wonogiri menuju Ponorogo. Mobil itu kiriman Staf Divisi Kolonel Gatot Subroto dari Solo. Namun, bila medannya berat dan tidak bisa ditandu atau digendong, Soedirman pun jalan kaki, seperti saat menuju markas Gatot Subroto di Gunung Lawu. “Kita merasa sedih melihat Pak Dirman harus berjalan kaki sendiri menerobos hutan tanpa digendong atau ditandu, karena jalannya yang terjal dan sempit. Kursi sebagai tandu pun tidak ada. Adakalanya beliau harus kita dorong dari belakang kalau jalannya sangat tinggi dan harus ditarik dari atas kalau jalannya terlalu terjal,” kenang Tjokropranolo. Bahkan, ketika melalui jalan yang sulit di punggung bukit, Soedirman jatuh dari tandu karena seorang pemikul tergelincir. Seorang pengawal yang membawa perbekalan hendak menolongnya malah terpeleset dan bawaannya itu menimpa Soedirman. “Apa kamu mau membunuh saya,” kata Soedirman dalam Soedirman Prajurit TNI Teladan . Belanda terus memburu Soedirman. “Karena itu nama Soedirman harus lenyap. Sebagai gantinya dipergunakan nama Pak De,” tulis Sudirman Prajurit TNI Teladan . Selain itu, untuk mengelabui Belanda, dibuat “Soedirman palsu” yang dikawal Kapten Soepardjo Rustam, ajudan Soedirman. “Kebetulan dalam rombongan kami ada seorang pemuda bernama Heru Keser (seorang letnan muda Angkatan Laut- Red. ) yang wajah dan perawakannya mirip Pak Dirman. Maka Pak Dirman palsu ini kami beri mantel dan tutup kepala beliau dan tetap menempuh rute yang sudah ditentukan. Sedangkan Pak Dirman yang asli kami lewatkan ke rute lain sehingga rombongan terhindar dari sergapan tentara Belanda,” ungkap Harsono. Menurut Sudirman Prajurit TNI Teladan, taktik “Soedirman palsu” itu berhasil antara lain di Wonosari, dimana Kapten Nolly –panggilan Tjokropranolo– mengumumkan bahwa Soedirman ada di kota itu. Belanda pun menyerang besar-besaran dengan menerjunkan pasukan para di kota itu untuk menangkap Soedirman, yang ternyata palsu. Mujur, “Soedirman palsu” pun berhasil lolos. Strategi “Soedirman palsu” ini juga dilakukan ketika di Kediri. “Semalam-malaman Pak De didukung (digendong, red. ) Kapten Nolly, sedangkan Heru Keser, seperti biasa naik tandu,” tulis Sudirman Prajurit TNI Teladan. Dengan berbagai upaya tersebut, Soedirman berhasil dalam bergerilya. Dukuh Sobo di Pacitan menjadi tempat Soedirman memimpin gerilya paling lama (1 April-7 Juli 1949). Tiga hari kemudian, 10 Juli 1949, Soedirman tiba di Yogyakarta.*
- Ketika HOS Tjokroaminoto Dituduh Korupsi
PEMIMPIN Central Sarekat Islam (CSI), koordinator Sarekat Islam lokal, Haji Agus Salim dan Soerjopranoto, berusaha mendepak kaum komunis yang berada di SI Semarang, di bawah Semaun sekaligus pendiri dan ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka menggelar pertemuan pimpinan CSI di Yogyakarta pada 30 September 1920, tanpa dihadiri ketua SI, HOS Tjokroaminoto, karena sedang menghadiri persidangan kasus Afdeling B, Cimareme, Garut. Semaun juga tidak hadir karena sedang di Moskow, dan mengutus Darsono untuk mewakilinya. Pimpinan CSI yang tidak hadir kebanyakan dari kelompok tengah dan kiri yang enggan berpisah dengan pihak komunis. Agus Salim dan Soerjopranoto menolak Darsono dengan alasan dia bukan anggota penuh CSI. Dalam Menjadi Indonesia , Parakitri T. Simbolon menulis bahwa rapat pimpinan CSI itu semacam kudeta terhadap Tjokroaminoto. Karena keputusan rapat ini mempreteli Tjokroaminoto hanya sebagai ketua kehormatan dengan tugas memimpin propaganda umum. Semua anggota pimpinan yang dekat dengannya dikeluarkan, sedangkan sekretariat CSI dipindahkan dari Surabaya ke Yogyakarta. Kepemimpinan baru CSI dipegang oleh Soerjopranoto (wakil ketua), Agus Salim (sekretaris), dan Fachrudin (bendahara). Putusan penting lain adalah menyelenggarakan kongres CSI dalam dua minggu kedepan sejak pertemuan diselenggarakan, yakni 16 Oktober 1920. Penetapan ini mengabaikan telegaram dari Tjokroaminoto agar menunda kongres CSI. Putusan tersebut, menurut Parakitri, tidak bisa dilaksanakan gara-gara tulisan Darsono di Sinar Hindia pada 6, 7, dan 9 Oktober 1920. Rangkaian tulisan ini menyerang Tjokroaminoto dan Brotosoehardjo (wakil sekretaris) karena menyelewengkan uang CSI untuk kepentingan sendiri. Darsono menulis “karena kas CSI kosong, Tjokroaminoto meminjamkan uang 2.000 gulden untuk kas itu, tapi dengan jaminan mobil, yang sebenarnya dibeli oleh bendahara CSI untuk dipakai oleh ketua CSI. Baik bendahara maupun ketua CSI itu adalah Tjokroaminoto sendiri. Ketua CSI itu mampu pula membeli mobil seharga 3.000 gulden dan perhiasan untuk istrinya yang kedua. Demikian juga halnya dengan Brotosoehardjo, yang sering menggunakan uang kas CSI untuk keperluan sendiri.” Menurut Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia , sangatlah beralasan untuk menganggap tuduhan Darsono tersebut benar, karena kas CSI ternyata hampir kosong. Meskipun demikian, McVey mengakui, “tanggungjawab keuangan bukanlah kelebihan kepemimpinan SI dan pihak komunis pun tidak terbebas dari kelemahan keuangan semacam itu.” Dalam tulisanya terakhir, Darsono bertanya, “mengapa kas CSI hampir kosong tapi Tjokroaminoto banyak uang. Rakyat kecil (kromo) memerlukan pemimpin yang jujur, berbudi, kukuh pendirian, tinggi cita-cita dan perilaku tak tercela. Pergerakan bumiputra berada pada tahap yang sulit. Sudah waktunya memberesihkan diri sendiri, menebus kesalahan.” “Nama baik keduanya, terutama Tjokroaminoto, demikian hancur sampai istilah ‘men-Tjokro’ di kalangan SI berarti ‘menyeleweng’,” tulis Parakitri. Tuduhan Darsono itu merupakan pukulan berat bagi Tjokroaminoto di depan umum, karena dia dianggap seorang pemimpin ideal yang mewakili citra seorang Ratu Adil.*
- Tuduhan Korupsi Tak Terbukti, HOS Tjokroaminoto Maafkan Darsono
DARSONO tidak menyerang pemimpin Sarekat Islam Yogyakarta, seperti Haji Agus Salim dan Soerjopranoto, padahal mereka yang berusaha keras menendang kaum komunis dari SI, sebaliknya HOS Tjokroaminoto berupaya menjaga persatuan SI. “Meski demikian tuduhannya telah membahayakan posisi mereka karena mereka memerlukan prestise Tjokroaminoto sebagai pemimpin nonkomunis SI untuk memperoleh dukungan guna menyingkirkan kelompok kiri,” tulis McVey. Akhirnya, Tjokroaminoto dan pimpinan SI Yogyakarta berpolemik dengan SI Semarang yang dipicu oleh tudingan Darsono. “Mereka membuat pernyataan panjang yang menjelaskan tuduhan-tuduhan yang ditujukan pada diri mereka (yang dirasa akan dipercaya rakyat dan menentang lawan politik mereka), juga menerangkan butir-butir yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersalah,” tulis McVey. Kedua pihak, lanjut McVey, sama-sama menyatakan tidak memecah-belah Sarekat Islam, persatuan gerakan nasional harus tetap diutamakan dalam melawan kapitalisme. Namun, kedua pihak bersikeras ingin membersihkan organisasi; SI Semarang ingin menjauhkan SI dari pemimpin korup dan peragu; sedangkan SI Yogyakarta ingin menyingkirkan elemen komunis yang mengganggu. Menurut Parakitri, Tjokroaminoto menanggapi tuduhan Darsono itu sebagai tikaman dari belakang. Bagi Agus Salim dan Soerjopranoto, tanggapan itu berarti hubungan Tjokroaminoto dengan PKI sudah retak, sedang dengan mereka semakin kuat. “Segera sesudah itu kubu Yogyakarta mulai menghantam kubu Semarang dengan sekuat tenaga,” tulis Parakitri. Fachrudin menuduh Darsono memusuhi Islam sesuai dengan keputusan kongres kedua Komintern Juli 1920, yang menggariskan, partai komunis mendukung gerakan antikolonialisme di Asia tapi sekaligus melawan Pan-Islamisme. Dengan demikian, menurut mereka, komunis menentang “persatuan Islam” dan bukan –sebagaimana yang dikatakan oleh Semarang– “penyalahgunaan Islam”, yaitu penggunaan agama untuk membenarkan kerakusan dan penindasan. “Kaum komunis dengan keras membantah setiap ketidaksesuaian prinsip mereka dengan Islam,” tulis McVey. “Namun, dalam kongres PKI Desember 1920, PKI mengakui tidak ada cara cukup efektif untuk mengatasi serangan ini.” Pertentangan SI Semarang dengan SI Yogyakarta diselesaikan melalui kongres SI pada 2-6 Maret 1921. Menurut McVey, Semaun dan Agus Salim, menyusun suatu program berdasarkan prinsip-prinsip Islam dan komunis. Masalah tuduhan Darsono kepada Tjokroaminoto diselesaikan dengan baik dan bersahabat. Hasil rapat tertutup pada hari pertama kongres –banyak yang menghendaki rapat terbuka; memutuskan untuk memaafkan Darsono, tapi bukan substansi tuduhannya. Untuk itu, lanjut McVey, Darsono juga ditunjuk menjadi anggota komite yang menyelidiki penggunan dana CSI oleh Tjokroaminoto, “sehingga mengubur isu tersebut karena diperkirakan tidak akan ada yang dapat dibuktikan oleh investigasi.”*
- Van Heutsz, Pahlawan di Belanda Penjahat di Aceh
PADA 26 Maret 1873, kapal komando Citadel van Antwerpen melego jangkar di perairan Aceh. F.N. Neuwenhujzen, perwakilan Dewan Hindia Belanda memaklumatkan perang karena Kesultanan Aceh menolak tunduk pada kuasa kolonial. Berkobarlah Perang Aceh (1873-1914). Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924) hadir ketika pemerintah kolonial nyaris kehilangan akal sambil menghitung kerugian sumberdaya manusia dan ekonomi akibat Perang Aceh. Di awal perang Van Heutsz hanya seorang letnan dua, pangkatnya melesat menjadi gubernur militer di Aceh pada 1898. “Sukses Jenderal van Heutsz di Aceh membuatnya menjadi pahlawan ekspansionis yang populer, dan pendukungnya berhasil membungkam keraguan dan suara kritis (dari pendukung antiimperialisme) di media dan parlemen Belanda,” tulis sejarawan Adrian Vickers dalam A History of Modern Indonesia . Untuk menaklukan Aceh, Van Heutsz tukar pikiran dengan Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Hasilnya, dia melakukan manuver mematikan mulai dari mengadu domba garda depan perlawanan gerilya rakyat Aceh, kaum ulama dan uleebalang (bangsawan); merestrukturisasi pasukan, dan strategi bumi hangus, sampai pembantaian. Berkat aksinya di Aceh, pamor Van Heutsz kian naik sampai puncak menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (1904-1909). Meski namanya kontroversial sebagai figur kolonialis dan imperialis Belanda, Van Heutsz tetap meninggalkan warisan ketokohan besar yang membuat namanya tetap dikenang dalam memori kolektif masyarakat Belanda. Namanya diabadikan mulai dari nama kapal sampai lagu mars. Kapal Kapal Van Heutsz diluncurkan pada Maret 1926. Kapal penumpang ini melayari rute Hindia Belanda ke Singapura dan Cina dalam naungan Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda (KPM). Selama Perang Dunia II, Van Heutsz disewakan kepada Kementrian Transportasi Perang Inggris terhitung sejak 25 Juni 1942, sebelum akhirnya berhenti beroperasi pada 1957. Dua tahun kemudian jadi besi tua. Monumen Pada 1932, monumen Van Heutsz didirikan di Aceh dan Batavia (sekarang Jakarta). Monumen di Batavia terletak di Menteng, begitu megah dengan relief orang Aceh, Jawa dan Papua yang melambangkan tuntasnya pasifikasi Belanda pada masa pemerintahan Van Heutsz. Sejak zaman pendudukan Jepang, monumen ini jadi sasaran perusakan karena melambangkan sentimen kolonial. Monumen ini dihancurkan pada 1953 dan di lahannya didirikan Masjid Cut Meutia. Pada 15 Juni 1935, Ratu Belanda Wilhelmina meresmikan monumen Van Heutsz di Amsterdam di tengah kritik keras dari kaum komunis dan sosialis. Monumen itu tingginya 18,7 meter, dengan patung perempuan memegang lembaran hukum, dan relief-relief lainnya. Pada 1943, anak Van Heutsz, seorang perwira SS Nazi, Johaan Bastiaan Heutsz, menulis surat kepada walikota Amsterdam meminta monumen itu dipugar. Setelah menjadi target vandalisme berulang kali, bahkan empat kali percobaan peledakan dengan dinamit, monumen ini akhirnya dipugar pada 2004 dan namanya diganti menjadi Monumen Belanda-Indonesia untuk mengenang hubungan historis kedua negara. “Semenjak awal, Monumen Van Heutsz menjadi fokus protes menentang pemerintahan kolonial, penindasan, dan bahkan dugaan kejahatan perang oleh pasukan Belanda,” tulis Willeke Wendrich, “Visualizing the Dynamics of Monumentality,” termuat dalam Approaching Monumentality in Archaeology suntingan James F. Osborne. “Namun tetap saja, ingatan kultural akan monumen yang ‘lama’ tetap terpatri, dan pada tahun 2011 sekali lagi monumen ini mengalami aksi perusakan,” tambahnya. Jalan Tak jauh dari Monumen Van Heutsz di Menteng, terdapat jalan Van Heutsz Boulevaard . Jalan raya lebar ini dibangun untuk memfasilitasi kawasan elite Menteng yang penuh dengan bangunan-bangunan mewah. Ketika Indonesia merdeka, Van Heutsz Boulevaard berganti nama menjadi Jalan Teuku Umar, pahlawan perang Aceh. Resimen Citra militeristik Van Heutsz hidup kembali dalam nama resimen infantri tentara Kerajaan Belanda, Regiment van Heutsz , yang dibentuk pada 1 Juli 1950. Resimen yang berperan dalam aksi pertahanan udara ini dibentuk sebagai “pembawa tradisi KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda)” dan dipersiapkan sebagai partisipasi Belanda dalam Perang Korea (1950-1953). “Pasukan yang personelnya terdiri dari beragam latar belakang itu dibentuk, termasuk dari mantan anggota resistansi (perlawanan), pasukan pembebas Belanda, bahkan mantan tentara Nazi. Mereka ditempatkan di Korea sampai 1954. Total 158 perwira dan 3.192 personel lainnya bertempur di Korea,” tulis Paul M. Edwards dalam United Nations Participants in the Korean War: The Contributions of 45 Member Countries. Resimen Van Heutz terlibat dalam tiga pertempuran kunci antara 1951-1953. Resimen ini mendapat medali penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat dan Belanda. Resimen ini masih aktif sampai sekarang dan tugas terakhirnya pada 2010 sebagai pasukan multinasional di Afghanistan. Mars Nama Van Heutsz turut diabadikan dalam sebuah mars militer, seperti tercantum dalam sebuah situs tentang Van Heutsz (vanheutsz.nl). Mars tersebut, yang dinamakan Mars Van Heutsz, diciptakan oleh A. Van Veluwen dan dipentaskan untuk kali pertama pada 1954. Mars ini menjadi mars milik Resimen Van Heutsz. Komposisi mars ini kemudian menginspirasi lagu yang populer di kalangan komunitas Indo-Belanda, berjudul “Ajoen."*
- Ketika Amerika Menginvasi Aceh pada 1832
PADA 7 Februari 1831, kapal dagang berbendera Amerika Serikat, Friendship , berlabuh di Kuala Batu, Aceh Barat Daya, untuk mengangkut lada. Kehadiran kapal-kapal dagang Amerika di pantai barat Sumatra sudah menjadi pemandangan biasa sejak pergantian abad ke-19. Namun kegiatan transaksi jual beli yang semestinya berjalan seperti biasa tersebut, lantas menjadi malapetaka bagi awak Friendship . Friendship melepas jangkarnya dari kota Salem, Massachusetts, salah satu kota pelabuhan terpenting Amerika dalam urusan perdagangan di Timur Jauh kala itu. Dalam misinya membeli lada ke Kuala Batu, Friendship dipimpin oleh Kapten Charles M. Endicott. Friendship berlabuh dan Endicott beserta beberapa anak buahnya turun untuk menegosiasikan harga. Situasi mulai terasa aneh ketika tiga perahu kayu penuh dengan penduduk yang bersenjata mengerubungi Friendship , dan kemudian menyerangnya. Awak kapal Friendship berhamburan, dan beberapa lainnya tewas. Friendship dirampas. “Melihat kekacauan tersebut dari pantai, Endicott dan awaknya yang tersisa melarikan diri dengan sampan ke Muki, meminta bantuan dari tiga kapten kapal lain di sana (yang juga berasal dari Salem) untuk merebut kembali Friendship ,” tulis David Foster Long dalam Gold Braid and Foreign Relations: Diplomatic Activities of U.S. Naval Officers 1798-1883 . Friendship dapat direbut kembali, namun kargonya yang terdiri dari lada, opium, dan lain-lain senilai US$50.000 lenyap. Protes keras dilayangkan kepada uleebalang (kaum bangsawan) di Kuala Batu, namun tak digubris. Perampasan Friendship ini menjadi sensasi di Amerika, yang direspons oleh Presiden Andrew Jackson dengan mengirim ekspedisi militer untuk menghukum penduduk Kuala Batu. Maka, dikirimlah Komodor John Downes, dengan menahkodai Potomac beserta lebih dari 300 prajuritnya ke Aceh pada 28 Agustus 1831. Ini menjadi intervensi militer Amerika Serikat pertama di Asia. Logo Kota Salem. Potomac berlabuh di Kuala Batu pada 5 Februari 1832, menyamarkan dirinya sebagai kapal dagang Denmark. Penduduk Kuala Batu tidak curiga. Downes dan 282 prajuritnya tiba-tiba menyerang. Kuala Batu dibombardir dan terbakar hebat, dan meski penduduknya telah melawan sekuat tenaga, perbedaan teknologi senjata membuat mereka akhirnya menyerah. Lebih dari 450 penduduk Kuala Batu, termasuk wanita dan anak-anak, tewas. Di pihak Amerika, dua prajurit tewas dan sebelas orang luka-luka. Potomac pun berlayar pulang setelah memberi peringatan keras terhadap penduduk yang menyerah untuk tidak lagi menyerang kapal-kapal Amerika. Nantinya, meski mendapat kritik keras publik di kampung halaman, keputusan Downes dianggap tepat oleh Presiden Andrew Jackson sendiri. Mengapa Penduduk Kuala Batu Menyerang Friendship? Salah satu sebab khususnya adalah karena mereka muak dengan pedagang Amerika yang suka mencurangi takaran timbangan. “Endicott menghabiskan banyak waktu dengan Po Adam, uleebalang setempat, yang memperingatkannya bahwa raja-raja lokal tengah marah karena turunnya harga lada dan kapten-kapten kapal yang kabur dengan tidak membayar penuh,” tulis Robert Booth dalam Death of an Empire: The Rise and Murderous Fall of Salem, America’s Richest City . Setelahnya, arus kapal-kapal dagang dari Salem ke Aceh kian intensif. Pada 1839, pemerintah kota Salem kemudian memutuskan untuk membuat logo kota bergambarkan sosok penduduk dengan pakaian khas Aceh dan kalimat berbahasa Latin: “Ke pelabuhan terjauh yang kaya di Timur.” “Logo tersebut merupakan contoh bagaimana Salem memaknai aktivitas dagangnya di Hindia sebagai simbol kejayaan dan keterlibatannya dalam dunia komersial internasional,” tulis Jessica Lanier, “Salem’s China Trade: Pretty Presents and Private Adventures,” termuat dalam Global Trade and Visual Arts in Federal New England suntingan Patricia Johnston dan Caroline Rank.*
- Air Mata Bung Karno Meleleh di Aceh
SEBAGAI upaya untuk memperkuat perlawanan terhadap Belanda, pada Juni 1948, Presiden Sukarno melakukan muhibah ke Aceh. Di ranah rencong tersebut, Sukarno disambut gempita oleh rakyat Aceh dan didapuk sebagai pemimpin oleh para tokoh setempat. Dalam sebuah pertemuan dengan Tengku Daud Beureuh, Sukarno berharap agar tokoh terkemuka Aceh itu mengajak rakyatnya dalam perjuangan melawan Belanda. Daud Beureuh menyambut ajakan Sukarno dengan senang hati. Dia menyatakan sanggup memenuhi permintaan tersebut asal perang dikobarkan adalah perang sabil, perang untuk menegakkan agama Allah. “Sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu, maka kami berarti mati syahid,” ujar Daud Beureuh dalam Kisah Kembalinya Tengku Muhammad Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia karya M. Nur El Ibrahimy. Sukarno mengiyakan permintaan Daud Beureuh. Dia mengajukan permohonan kedua bahwa apabila perang telah selesai, rakyat Aceh diberikan kebebasan menjalankan syariat Islam. Permintaan ini juga dikabulkan oleh Sukarno. “Hal itu tak usah Kakak (panggilan akrab Sukarno kepada Daud Beureuh) khawatir, sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam,” kata Sukarno. “Tapi maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari saudara Presiden,” ujar Daud Beureuh. “Baiklah kalau demikian, saya setujui permintaan Kakak itu.” “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh, saya mengucapkan terimakasih banyak atas kebaikan Saudara Presiden. Kami mohon, sudilah kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini,” kata Daud Beureuh seraya menyodorkan selembar kertas kepada Sukarno. Alih-alih menyambut kertas itu, Sukarno malah terisak-isak dan lantas berkata pelan: “Kakak, kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” “Bukan kami tidak percaya Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak berperang,” jawab Daud Beureuh. Seraya menyeka air matanya, Sukarno berkata: “Wallah, Billah, kepada rakyat Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan mempergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syariat Islam di daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?” “Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikan hati Saudara Presiden,” ujar Daud Beureuh. Mendengar janji tersebut, tokoh-tokoh Aceh semakin mempercayai Sukarno. Sukarno dipersilakan menyebutkan kebutuhan urgen dari pemerintah. “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk membuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau…” kata Sukarno. Rakyat Aceh merogoh saku dan mencopot perhiasan yang ada di tubuh mereka. Begitu tingginya semangat untuk berkorban, hingga konon antrian para donatur, baik orang kaya maupun rakyat biasa, di beberapa masjid dan pusat pemerintahan Kotaradja (sekarang Banda Aceh) panjangnya sampai ratusan meter. Beberapa jam kemudian terkumpulah dana sebesar 120.000 straits dollar ditambah 20 kg emas. Dengan modal tersebut, Indonesia berhasil membeli RI-001 Seulawah (Gunung Emas), pesawat kepresidenan pertama dalam sejarah Indonesia. “Beureuh, setelah berhasil menghimpun dana untuk perjuangan RI, memohon kepada Sukarno agar mengizinkan diberlakukannya syariat Islam di Aceh. Bung Karno setuju, tetapi tidak bersedia menandatangani surat persetujuan yang disodorkan Beureuh,” tulis Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean dalam Politik Syariat Islam Dari Indonesia sampai Nigeria . Sayangnya, Sukarno kemudian tidak menepati janjinya. Demi alasan persatuan, dia menolak pemberlakuan syariat Islam di wilayah manapun di Indonesia. Dia menegaskan dalam pidatonya di hadapan rakyat Amuntai, Kalimantan Selatan pada 27 Januari 1953: “Indonesia adalah sebuah negara nasional yang berideologi Pancasila, dan bukan sebuah negara teokrasi dengan haluan agama tertentu,” demikian dikutip Mimbar Penerangan , Tahun IV, No. 2, Februari 1953. Akibatnya, Aceh mengalami resistensi dan sebagai bentuk pertanggungjawaban politik, pada September 1953, Daud Beureuh memutuskan masuk hutan dan bergabung dengan DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Kekecewaan terhadap Sukarno tetap digenggamnya. Menurut Taufik dan Samsu, Beureuh bersedia turun gunung dengan syarat pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Pada 1960, Beureuh turun gunung disambut dengan pengumuman Konsepsi Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam bagi Daerah Istimewa Aceh. Pada 1961, keluar peraturan daerah No. 30/1961 yang membatasi penjualan minuman dan makanan di bulan Ramadan. Pada 1962, Pangdam I/Iskandar Muda, M. Jasin sebagai Penguasa Perang Daerah, mengeluarkan keputusan No. 061/3/1962 tentang berlakunya syariat Islam di Aceh dan pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Dan pada 1963, terbit peraturan daerah No. 1/1963 tentang pelaksanaan syiar agama Islam di Aceh. Sejak saat itu hingga sekarang pemerintah daerah mengeluarkan berbagai peraturan daerah terkait penerapan syariat Islam di Aceh.*
- Gerwani dan Hak Anak
Peringatan Hari Anak Internasional di Indonesia pada 1 Juni. SETIAP tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Soeharto menetapkan peringatan ini dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 44/1984. Menurut Keppres tersebut, tujuan dari peringatan Hari Anak Nasional adalah pembinaan untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Untuk menyusun konsep pembinaan anak-anak Indonesia, Karlinah Umar Wirahadikusumah, pengurus Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, membentuk Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI). Salah satu hasil dari forum ini adalah program Dasawarsa Anak yang dicanangkan pemerintah pada 23 Juli 1986. Perhatian utama Dasawarsa Anak (1986-1996) adalah peningkatan kesejahteraan anak melalui keluarga sebagai lingkungan utama, didukung lingkungan pendidikan formal dan lingkungan masyarakat. “Pelaksana di lapangan dikerjakan oleh Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) di daerah-daerah,” kata Karlinah dalam biografinya yang ditulis Herry Gendut Janarto, Bukan Sekadar Istri Prajurit . Sebelum peringatan Hari Anak Nasional, Indonesia sudah memperingati peringatan Hari Anak Internasional setiap tanggal 1 Juni. Peringatan tersebut diperkenalkan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Organisasi ini awalnya bernama Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis), didirikan pada 1950. Pada kongres Gerwis tahun 1954, para pemimpin organisasi memutuskan untuk menjangkau lebih banyak perempuan dari kalangan bawah sehingga mengubah namanya menjadi Gerwani. Baca juga: Umi Sardjono Umi Sardjono, Pendulum Gerwani Hari Anak Internasional dideklarasikan dalam kongres Women’s International Democratic Federation (WIDF) di Moskow, Rusia, pada 1949. Diperingati kali pertama pada 1 Juni 1950. Gerwis bergabung dengan WIDF pada 1950. WIDF menjadi saluran politik internasional bagi Gerwis –dan kemudian Gerwani. Gerwani mengirim laporan secara rutin ke WIDF dan mengutus wakilnya ke kongres WIDF. Menurut Saskia E. Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan, salah satu gerakan Gerwani untuk merebut kepemimpinan gerakan perempuan di Indonesia adalah dengan seruan agar Indonesia merayakan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. “Seruan itu dibarengi dengan ajakan menetapkan 1 Juni sebagai Hari Anak-Anak Internasional,” tulis Saskia, “keduanya merupakan perayaan ‘sosialis’ yang didukung kuat WIDF.” Kongres Gerwani II tahun 1954 memutuskan bahwa hak kaum perempuan dan anak-anak tak dapat dipisahkan dari kemerdekaan dan perdamaian. Menurut Gerwani, hak-hak anak mencakup hak atas kemudahan fasilitas pendidikan dan kesehatan serta masa depan yang cerah tanpa adanya buruh anak-anak, kawin paksa maupun pelacuran. Bahkan hak anak termasuk disediakannya tempat penitipan anak secara memadai. Untuk kali pertama pada 1960, Gerwani merumuskan pancacinta (lima cinta untuk pendidikan anak-anak): cinta tanah air, cinta orangtua dan kemanusiaan, cinta kebenaran dan keadilan, cinta persahabatan dan perdamaian, dan cinta alam sekitar. Dalam konferensi nasional bagi pendidikan anak-anak yang diadakan Gerwani pada September 1963, terdapat perubahan terhadap pancacinta: cinta bangsa, rakyat dan perdamaian, ilmu dan budaya, kerja dan orangtua. “Pancacinta menetapkan lima bidang yang harus mendasari seluruh sistem sekolah Indonesia, yakni bidang perkembangan intelektual, moral, teknik, artistik, dan mental,” tulis Saskia. Pergolakan politik pada 1965 menghancurkan Gerwani. Segera setelah Partai Komunis Indonesia dan Gerwani dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965, Kongres Wanita Indonesia (Kowani), payung organisasi-organisasi perempuan seluruh Indonesia, mengeluarkan Gerwani sebagai anggota pada 29 Oktober 1965. Menurut Komnas Perempuan dalam Kita Bersikap: Empat Dasawarsa Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perjalanan Berbangsa , sejak Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 7 Maret 1967, Kowani tidak lagi memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret dan Hari Anak Internasional pada 1 Juni. Alasannnya, kedua hari peringatan tersebut diprakarsai negara-negara komunis. ( Baca juga: Ibu Besar Revolusi ) Baca juga: Mencari Jejak Hari Anak Bung Karno dan Hari Anak Pulau untuk Anak Terlantar Riwayat Tempat Penitipan Anak
- Repatriasi Harga Mati
Repatriasi orang-orang Belanda dari Indonesia, 1957. HARI masih pagi ketika Kapal Waterman tiba di Rotterdam, Belanda pada 6 September 1958. Kapal terakhir itu mengangkut ribuan orang Belanda dari Indonesia. Pemerintah Indonesia memulangkan (repatriasi) mereka sebagai buntut dari sengketa Irian Barat. Pada 29 November 1957, PBB gagal menyetujui resolusi yang menyerukan kepada Belanda supaya berunding dengan Indonesia soal Irian Barat. Irian Barat pun tetap di bawah kekuasaan Belanda. Sukarno menyatakan, jika mosi yang diajukan Indonesia di Sidang Umum PBB ditolak, pemerintah Indonesia akan mengambil “jalan lain yang akan mengejutkan dunia.” Pada 1 Desember 1957, pemerintah melarang terbitan-terbitan berbahasa Belanda, maskapai penerbangan Belanda KLM mendarat di Indonesia, dan warga negara Belanda memasuki Indonesia. Pada 2 Desember 1957, Menteri Penerangan Sudibyo selaku ketua Aksi Pembebasan Irian Barat memerintahkan kepada semua buruh perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia untuk mogok total selama 24 jam, yang berujung pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Pada 5 Desember 1957, tepat di hari pesta Sinterklaas, Sukarno mengultimatum semua orang Belanda secepatnya meninggalkan Indonesia. Sukarno juga melarang siapa pun di hari itu mengadakan pesta Sinterklaas yang dianggap budaya Belanda. Pelarangan tersebut dikenang sebagai Sinterklaas Hitam. Setelah itu, sentimen anti-Belanda menjalar di mana-mana. (Baca: Sinterklas Hitam ) “Kampanye dilakukan dengan melakukan demo-demo dan aksi corat-coret dengan cat di tembok-tembok atau poster-poster berisi kebencian terhadap orang Belanda dan hasutan untuk mengusir mereka,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja . Harian Indonesia Raja 6 Desember 1957 memberitakan, berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kehakiman GA Maengkom, pemulangan orang-orang Belanda dibagi dalam tiga tahap: steuntrekkers (golongan tidak memiliki pekerjaan), middenstanders (kalangan menengah), dan vakspecialisten (kalangan tenaga ahli). “Sesuai dengan putusan sidang Kabinet tanggal 5 Desember terhadap 9.000 orang warga negara Belanda yang umumnya pada waktu itu tidak mempunyai pekerjaan tetap, akan didahulukan pemulangannya,” tulis Merdeka, 10 Desember 1957. Pemulangan orang-orang Belanda dimulai pada 10 Desember 1957 menggunakan Garuda Indonesia Airways dan maskapai asing. Pemulangan juga dilakukan melalui jalur laut. Pemulangan ini bisa dikatakan klimaks, sejak repatriasi pertama setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 dan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949. Menurut Firman Lubis, sensus penduduk pada 1940 mendata 120.000 orang Belanda di Indonesia; mayoritas Indo, sisanya Belanda totok. Pada permulaan 1950-an, jumlahnya tinggal 80.000, sekira 50.000 menetap di Jakarta. Jumlah ini menurun karena pemulangan pada 1957-1958, menyisakan 40.000-50.000 di seluruh Indonesia. Di Jakarta sendiri tinggal 14.000 orang, sebagian besar Indo. “Di Belanda sekarang ini ditaksir ada 200-300 ribu orang yang tergolong Indo. Satu di antara tujuh orang Belanda atau sekitar 15 persen dari seluruh penduduk Belanda mempunyai ikatan dengan Indonesia. Baik mempunyai darah keturunan, atau nenek moyang mereka pernah tinggal di Indonesia,” tulis Firman Lubis. Mereka yang tidak pulang dan memilih jadi warga negara Indonesia bergabung dalam Gabungan Indo untuk Kesatuan Indonesia (GIKI) yang didirikan pada 1951, sebagai perubahan dari Indo Europeesch Verbond (IEV). GIKI dibubarkan pada 14 Mei 1961.
- Di Balik Gelar Pahlawan Nasional untuk Tan Malaka dan Alimin
PADA 23 Maret 1963, Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963. Usulannya datang dari Partai Murba yang didirikan Tan Malaka tahun 1948, dalam peringatan ke-16 menghilangnya Tan Malaka pada Februari 1963. Menurut sejarawan Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-pahlawan Nasional,” termuat di Outward Appearances , dokumen resmi telah dikeluarkan satu bulan setelah permohonan itu dan langsung mendapat dukungan dari Sukarno, yang menggambarkan betapa cepatnya dia menanggapi permintaan itu dan mengabaikan prosedur-prosedur formal. Setahun kemudian, Sukarno kembali mengangkat tokoh komunis, Alimin Prawirodirdjo menjadi pahlawan nasional, sehari setelah kematiannya pada 24 Juni 1964. “Mereka adalah komunis di antara para pahlawan nasional, yang menjadi alasan mengapa mereka dibungkam sesudah tahun 1965,” tulis Schreiner . Menurut Schreiner, Sukarno mengangkat dua tokoh komunis di antara 33 pahlawan nasional yang ditetapkannya, berdasarkan kepentingan strategis jangka pendek. Yaitu sebagai wakil dari ideologi yang sedang disatukannya: Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Oleh karena itu, lanjut Schreiner, “mengikuti pengangkatan Alimin pada tahun 1964, dua tokoh utama Muhammadiyah, Kiai Fachruddin dan Kiai Mas Mansyur, secara serentak diangkat sebagai pahlawan nasional sehingga menjamin keseimbangan ideologis antara komunis dan Muslim.” Pengangkatan Tan Malaka dan Alimin dapat dianggap sebagai “suatu simbol nonkontroversial dari gerakan komunis.” Tan Malaka keluar dari PKI karena tak setuju pemberontakan PKI 1926-1927. Oleh karena itu, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. “Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927,” tulis Asvi dalam pengantar buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura karya Zulhasril Nasir. Sebaliknya, menurut Schreiner, kendati setuju dengan pemberontakan itu, Alimin kemudian kehilangan sebagian besar kedudukannya dalam PKI. Meskipun Harian Rakyat , organ PKI, dalam berita kematian Alimin memuji jasa-jasanya dalam mendirikan PKI pasca Perang Dunia II dan perannya selama tahun 1950-an, di akhir hayatnya dia adalah tokoh yang terpinggirkan. Rezim Orde Baru yang antikomunis jelas terganggu dengan keberadaan dua pentolan komunis dalam daftar pahlawan nasional. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 4 , Departemen Sosial sebagai lembaga yang menyelenggarakan seleksi pahlawan nasional, pernah mengajukan kepada Presiden Soeharto agar mencabut gelar pahlawan nasional Tan Malaka dan Alimin. Soeharto menyatakan bahwa pemberian gelar itu telah dilakukan oleh Presiden Sukarno dan tidak bisa dibatalkan. Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut, tetapi menurut Asvi, nama Tan Malaka dihapuskan dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Dalam buku teks sejarah dia tidak boleh disebut. Atau menurut istilah seorang peneliti Departemen Sosial, Tan Malaka menjadi off the record dalam sejarah Orde Baru. Baru setelah reformasi namanya ditampilkan kembali. Muncullah karya baru atau buku-buku lama tentang atau oleh Tan Malaka yang pada masa Orde Baru sempat dilarang.*
- Pejuang yang Terlupakan
RM Djajeng Pratomo di usia tua (kiri) dan mengenakan kostum tari Jawa (kanan). (Aboeprijadi Santoso/Historia.ID). RADEN Mas Djajeng Pratomo genap seabad pada 22 Februari 2014. Hidup mandiri di apartemen di desa ‘t Zand di ujung utara Belanda, Djajeng lama tersisih dari perhatian media di Belanda maupun Indonesia. Dia lahir di Bagan Siapi-api, kota pasar ikan di pantai timur Sumatra, putra sulung Dr. Djajengpratomo dari Pakualaman Yogyakarta. Ayahnya, Djajengpratomo, mengenyam sekolah kedokteran yang diperuntukkan bagi kaum ningrat, STOVIA, di Batavia. Dia salah satu alumnus pertamanya. Asal-usulnya yang memberinya privilese pendidikan itulah yang justru membuat dirinya insyaf akan status diri dan patrianya sebagai bagian dari sistem negeri jajahan. Ini melahirkan aspirasi kebangsaan dan mendorongnya ikut gerakan nasionalis pimpinan Dr. Soetomo. Djajengpratomo mempelopori pelayanan kesehatan di klinik di Bagan Siapi-api. Berkat perannya –dia mahir berbahasa Tionghoa untuk melayani mayoritas penduduk yang asal Tionghoa– namanya diabadikan pada rumahsakit lokal: RSUD Dr. Pratomo. Djajeng Pratomo –semula namanya Amirool Koesno, kemudian digantinya dengan nama ayahnya– bernasib hampir serupa. Seperti ayahnya, privilese yang memungkinkannya masuk sekolah menengah Koning Willem II School di Batavia membuat dirinya sadar sebagai anak jajahan. Menyusul adiknya, Gondho Pratomo, Djajeng pada 1935 bertolak ke Belanda untuk melanjutkan studi kedokteran di Leiden. Justru di Belanda Djajeng menemukan budaya aslinya. Dia menggemari, mempelajari, dan mementaskan tari Jawa melalui kelompok seni tari De Insulinde. Tahun 1930-an adalah tahun krisis. Naziisme-Hitler berkuasa di Jerman dan mengguncang Eropa. Djajeng menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI), sebuah klub sosial mahasiswa Indonesia di Belanda yang didirikan pada 1922 dan kemudian berkembang jadi organ politik kebangsaan yang gigih melawan kekuatan fasis. Nama Djajeng tak terpisahkan dari Stijntje ‘Stennie’ Gret, gadis Schiedam yang dijumpainya di sebuah toko buku pada 1937. Stennie meminati perkembangan di Hindia dan tertarik pada seni tari Jawa. Bersama Djajeng, yang kemudian jadi suaminya, keduanya menjadi mitra di bidang budaya sekaligus sekutu politik. Dasawarsa 1930-an merupakan hari-hari bahagia mereka. Dua sejoli ini sering menikmati pergelaran jazz di teater prestisius Pschorr di Coolsingel, Rotterdam, dan De Insulinde mementaskan tarian Jawa oleh Djajeng di Koloniaal Instituut van de Tropen di Amsterdam. Di mana ada Djajeng, di situ ada Stennie. Juga ketika De Insulinde mementaskan tari di London untuk menghimpun dana guna membantu Tiongkok yang kala itu diduduki tentara Jepang. Tahun 1940-an menjadi masa bergolak yang penuh tragik. Di bawah pendudukan Nazi, PI jadi ilegal. Polisi Jerman memburu para aktivisnya. Pada 1943 Djajeng dan Stennie ditahan di kamp Vught. Tahun berikutnya mereka dikirim ke kamp maut Nazi di Ravenbruck dan Dachau di Jerman. “Di Dachau,” Djajeng berkisah, “saya melihat tumpukan mayat setiap hari.” Sebagai tenaga kerja paksa untuk pabrik pesawat terbang Messerschmitt, setiap hari dia menyaksikan orang digantung mati. Jika ada peluang, Djajeng mencoba menyelamatkan tawanan, tutur salah seorang yang diselamatkannya. Sementara di kamp Ravenbruck, Stennie mencat-hitam rambut para tawanan perempuan agar tampak muda ketika penguasa kamp memerintahkan untuk membinasakan para tawanan jompo. Selamat dari derita kamp, Djajeng dan Stennie dibebaskan tentara Sekutu namun baru bertemu kembali pada September 1945, sebulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka lalu menikah sebagai warga negara Indonesia pada Februari 1946 dan melanjutkan pekerjaan politik untuk membela kemerdekaan Indonesia. Ketika Belanda melancarkan agresi militer I pada Juli 1947, PI menggelar protes massal di Concertgebouw, Amsterdam. Kampanye membela kemerdekaan Indonesia membawa mereka ke Eropa Timur. Di Praha, Djajeng dan kawan-kawannya turun ke jalan dan dengan bangga mengibarkan bendera Merah-Putih ketika dia memimpin delegasi Indonesia di World Federation of Democratic Youth. Kampanye itu bahkan berlanjut sampai Serajewo dan kota kota lain di Yugoslavia. Kembali ke Belanda, mereka bergerak di bawah tanah selagi pecah perang kemerdekaan di Indonesia. Djajeng dan Stennie dua kali berencana pulang ke Indonesia, namun membatalkannya. Kali pertama karena agresi militer I dan kali kedua karena terjadi pembantaian 1965-1966. Lalu, dengan alasan pragmatis, mereka beralih ke kewarganegaraan Belanda pada 1975. Akhirnya, setelah kurun enam dasawarsa, Djajeng dan Stennie sempat menginjakkan kaki di Indonesia. Kembali di Belanda, Djajeng tetap aktif politik di front internasional, dan baru berhenti ketika Stennie jatuh sakit dan meninggal pada 2010. Djajeng, Stennie, dan kamerad-kameradnya tergolong generasi yang meyakini bahwa sejarah selalu bergerak maju. Dengan begitu mereka merumuskan idealisme dan kekuatan politiknya berdasarkan solidaritas internasional. Kini mereka hidup di dunia yang telah berubah radikal. Namun perubahan itu tidaklah seperti yang mereka bayangkan dan proyeksikan. Meski begitu, Djajeng tak merasa kecewa. Dia masih mencintai Indonesia, dengan seni tari, musik gamelan, serta kulinernya. Djajeng kini tak mampu lagi berbahasa Indonesia. Namun, dengan semangat internasionalnya, idealisme kepatriotan dan aksi-aksi perjuangannya, Djajeng Pratomo adalah salah satu patriot istimewa Indonesia.* *) Dengan terima kasih atas perantaraan Ny. Marjati Pratomo.
- Peran Tionghoa dalam Kemiliteran
SEJARAH Indonesia dibentuk oleh berbagai tokoh dari berbagai latarbelakang, termasuk warga Tionghoa. Namun, penulisan sejarah oleh orang atau kelompok dengan tujuan tertentu telah menenggelamkan sumbangsih mereka kepada bangsa dan negara. “Tiga dekade Orde Baru berkuasa telah menyembunyikan peran-peran Tionghoa kepada negara,” kata pengamat militer, Jaleswari Pramodhawardani dalam diskusi buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran karya Iwan “Ong” Santosa, di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat (4/12). Oleh karena itu, kata Jaleswari, sejarah harus dikritisi karena banyak yang direduksi. Buktinya, buku ini menguak peran-peran Tionghoa dalam kemiliteran yang tidak dimuat dalam buku-buku sejarah. Buku ini menapaktilasi peran Tionghoa, mulai dari zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, kolonial Belanda, revolusi Indonesia, hingga awal Orde Baru (1966-1967), dan sekilas era reformasi. Tionghoa yang melegenda dalam militer adalah Laksamana Muda John Lie. Dia menjadi Pahlawan Nasional pertama dari etnis Tionghoa. Selain dia, masih banyak Tionghoa lainnya yang berkiprah dalam kemiliteran yang termuat dalam buku ini. Sonny Adrianto, Asintel Kodam Jayakarta, mengatakan bahwa selama Orde Baru, khususnya pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, peran Tionghoa dalam kemiliteran berkurang. “Mungkin akibat stigma negatif bahwa golongan Tionghoa dekat dengan golongan komunis saat peristiwa 1965,” kata Sonny. Kendati demikian, Sonny, menunjukkan beberapa Tionghoa yang justru memegang posisi strategis di kemiliteran: Teguh Santosa (Tan Tiong Hiem) mantan wakil asisten perencanaan Kasad (1993-1995); Iskandar Kamil (Liem Key Ho) mantan kepala badan pembinaan hukum (1998); Teddy Yusuf (Him Tek Ji) komandan resort militer 131 Manado (1995); dan Bambang Soembodo, asisten logistik kepala staf umum (1996-1999). Mayjen Gede Sumertha, kepala satuan pengawas Universitas Pertahanan, menyebut nama Surya Margono, seorang muslim Tionghoa asal Kalimantan Barat yang pernah menjadi atase udara di kantor atase pertahanan Indonesia di Tiongkok, yang kemudian berdinas di Kementerian Pertahanan. Gede sendiri menceritakan pengalamanya ketika masuk Akademi Militer Negara, diasuh oleh dua pengasuh bernama, Hendra dan Totok. “Hendra, seorang Tionghoa dipanggil Acong. Dia pengasuh paling galak dan cerewet. Tetapi anak didiknya berhasil semua,” kenang Gede. Dalam acara ini, hadir juga seorang tentara Tionghoa, Hendra K. (30 tahun), yang bertugas di Bravo 90 Penanggulangan Teror. Orangtuanya terpaksa menyingkat namanya menjadi Hendra K., karena kalau “Hendra Kho” akan menimbulkan masalah pada masa Orde Baru. “Saat masa pendidikan dulu, oleh pelatih, saya sering dipanggil Dji Sam Soe. Sebab nomor helm saya 234,” ujar Hendra. Dia masuk tentara karena terispirasi kakeknya yang datang dari Tiongkok sekira tahun 1912-an. “Dan ketika disini, dia juga mengangkat senjata,” kata pria asal Jambi ini. Dalam sambutannya, Iwan Ong menyatakan, buku yang ditulisnya selama tiga tahun ini bukan tentang kelompok etnis tertentu, dalam hal ini Tionghoa. “Tapi, ini tentang kita. Tentang ke-Indonesia-an,” ujar Iwan. Hal senada dikemukakan Jaleswari, bahwa buku ini bukan tentang statistik berapa banyak orang Tionghoa berperan dalam kemiliteran. Tetapi yang terpenting, buku ini memberikan pesan akan pentingnya kesetaraan dan kebhinekaan.*
- Skandal Perbudakan Raffles di Hindia Belanda
KALA ditugaskan sebagai letnan gubernur di Jawa pada 1811, Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826) harus mengatasi perbudakan yang merajalela. Ia menentang perbudakan atas dasar Slave Trade Act 1807, peraturan yang disahkan parlemen Inggris pada 25 Maret 1807 untuk menghapus perdagangan budak di wilayah koloni Inggris. Pada masa itu, memiliki budak merupakan lambang kekayaan dan status sosial. Para budak biasanya diperjualbelikan di pasar-pasar dengan harga yang beragam. “Harga seorang budak laki-laki berkisar antara 10 sampai 30 dollar Spanyol, dan budak wanitanya antara 50 sampai 100,” tulis Raffles, mengomentari perbudakan di Bali, dalam The History of Java, Volume 2 . Pada masa Raffles berkuasa, jumlah penduduk di Batavia dan sekitarnya berkisar 300.000 orang, 18.972 di antaranya budak, yang kebanyakan datang dari Sulawesi dan Bali. Mereka yang terlibat dalam perdagangan budak tidak hanya orang Eropa, namun juga orang Tionghoa, Arab, dan pribumi. Raffles melakukan tiga langkah untuk menghapus perbudakan di Batavia pada 1812. Ia mengharuskan pemilik budak mendaftarkan budak-budaknya, mengenakan pajak khusus sebesar satu dollar Spanyol kepada pemilik budak untuk setiap budak berusia di atas delapan tahun, meneken aturan larangan mengimpor budak ke Pulau Jawa sejak 1813. Kerajaan-kerajaan di luar Jawa yang biasa memasok budak ke Batavia sejak masa VOC, protes. Armada Inggris juga kerap bentrok dengan pelaut-pelaut Makassar yang menyetor budak melalui perompakan. Ironisnya, menurut Tim Hannigan dalam Raffles and The British Invasion of Java, Raffles sendiri memiliki delapan budak di rumah peristirahatannya di Buitenzorg (Bogor). Sikap pragmatis Raffles lainnya adalah ketika ia tak bisa menolak pengiriman ribuan budak dari Jawa ke Banjarmasin atas permintaan koleganya, Alexander Hare, yang baru menerima tanah luas dari Sultan Banjarmasin. Hare mendirikan kerajaan kecil di tanah itu yang ia namakan Maluka (lengkap dengan haremnya) dan budak-budak kiriman Raffles sebagai tenaga kerja. Di Inggris, skandal ini terkenal sebagai The Banjarmasin Enormity (Kekejian di Banjarmasin). Upaya menghapus perbudakan jauh dari kata berhasil. Tapi gagasan Raffles menjelma menjadi titik awal menuju ke arah sana. Beberapa saat sebelum lengser pada 1816, ia mendirikan The Java Benevolent Society (Perkumpulan Kebajikan Jawa) pada 8 Januari 1816. Dalam laporannya, Statement of the Services of Sir Stamford Raffles (terbit 1824), Raffles mencatat, “Koloni-koloni Belanda akan dikembalikan tanpa syarat (kepada Belanda, red ), dan tanpa adanya kondisi yang menguntungkan kelas sosial yang tidak beruntung ini, yang bisa saya lakukan hanyalah mendirikan komunitas, the Java Benevolent Society, dengan harapan akan menarik perhatian penerus kita terhadap masalah (perbudakan) ini.” Java Benevolent Society berpusat di Batavia. Ia menjadi corong kaum antiperbudakan di Hindia Belanda, yang akhirnya baru resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda per 1 Januari 1860.*






















