top of page

Hasil pencarian

9602 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Yos Sudarso Sebelum Pertempuran di Laut Aru

    KOLONEL Moersjid bergegas menuju Indonesia kawasan timur. Dia yang menjabat Asisten II/Operasi KSAD ditugaskan untuk mempersiapkan infiltrasi sekompi pasukan ke Kaimana, Papua. Tingkat kerahasiaan operasi  bersandi “Silent Raid” ini sangat tinggi. Tiada seorang pun anggota keluarga yang tahu kemana Moersjid akan pergi, termasuk sang istri Siti Rachmah yang sedang mengandung. “Yang sangat khawatir justru Ibu saya, karena dia enggak tahu ayah pergi ke mana, hanya mendengar berita setelah kejadian,” ujar Sidharta Moersjid, putra ke-4 Moersjid kepada Historia . Sebelum berangkat Moersjid menghadap kepada atasannya Mayjen Ahmad Yani. Selain menjabat Deputi I/Operasi KSAD, Yani juga berkedudukan sebagai Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi Pembebasan Irian Barat(KOTI Pemirbar). Moersjid melaporkan bahwa Deputi I/Operasi KSAL Komodor Josaphat Soedarso (selanjutnya disebut Yos Sudarso) akan menyertai rombongan sukarelawan Angkatan Darat. Kesempatan itu juga dipakai Moersjid untuk permisi kepada Yani. Dia bermaksud memperkuat moril anak buahnya yang akan didaratkan ke pantai selatan Papua itu. Selaku Asisten II/Operasi, Moersjid ingin ikut mengantarkan mereka sampai garis depan. Sebagaimana tersua dalam Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat yang disusun tim Pusat Sejarah ABRI, antara Moersjid dan Yani kemudian terjadi pembicaraan. “Pak Yani mau ikut?" ajak Moersjid.  “Untuk apa?” Yani malah balik bertanya. “Moril dong,” kata Moersjid, “Hidup mereka tinggal sebulan!” “Aku sibuk ...Banyak pekerjaan. Kau saja!” ujar Yani. Maka pada 12 Januari 1962 berangkatlah Moersjid ke Pangkalan Udara Leftuan di Kepulai Kei, Ambon. Turut bersama Moersjid Mayor Roedjito, komandan operasi pendaratan. Mereka bersama sekompi pasukan menumpang pesawat C-130 Hercules. Sementara empat kapal jenis Motor Torpedo Boat (MTB) yang akan digunakan untuk pendaratan telah diberangkatkan beberapa hari lebih dahulu. Keesokan sore harinya, pasukan diangkut dengan kapal induk KRI Multatuli menuju Pulau Ujir di sebelah barat Kepulauan Aru. Mereka tiba di Pulau Ujir pada pagi hari 14 Januari. Semua pasukan kemudian disebar masing-masing satu peleton ke dalam tiga kapal MTB: KRI Harimau, KRI Matjan Kumbang, dan KRI Matjan Tutul. Adapun satu kapal lagi, yakni KRI Singa harus tertinggal di pangkalan karena kehabisan bahan bakar.    Moersjid dan Yos Sudarso tetap berdiam di KRI Multatuli mematangkan persiapan pendaratan. Diatas kapal, Moersjid dan Yos terlibat perbincangan serius. Kedua perwira ini sebenarnya tidak direncanakan ikut menyusup dalam pendaratan. Namun rupanya mereka bersepakat untuk sama-sama ikut mendarat bersama pasukan untuk melecut semangat para prajurit. Menurut Moersjid sebagaimana ditulis Julius Pour dalam Konspirasi Dibalik Tenggelamnya Matjan Tutul , setelah makan malam dia berbicara dari hati ke hati dengan Yos Sudarso. Mereka berembug di kamar sampai tengah malam merencanakan teknis infiltrasi. Hal lain yang juga dibicarakan adalah keinginan mendesak Kolonel Soedomo – perwira pelaksana operasi dari AL – agar mengizinkan Moersjid dan Yos Sudarso mendarat. Pukul 02.00 dinihari, pembicaraan antara Moersjid dan Yos Sudarso pungkas. Sebelum beristirahat, Moersjid mendapati Sersan Mayor Muhammad Iding duduk sendirian mendengarkan radio transistor. Iding berasal dari kesatuan RPKAD dan menjadi komandan peleton di KRI Matjan Tutul. Iding tampak gelisah. Moersjid pun menghampirinya. “He...Kau kenapa belum tidur?” tegur Moersjid “Bagaimana besok, Kolonel?” Si Sersan bertanya kebingungan. “Mana Bapak tahu!” kata Moersjid. “Saya….” kata Iding tergagap-gagap karna gugup. “Sudah, jangan bingung! Soal adanya korban sudah ada yang mengurus. Siapa namanya, Bapak tidak tahu. Tetapi itu ada!” demikian Moersjid meyakinkan anak buahnya itu sebagaimana dituturkannya kembali kepada tim Pusat Sejarah ABRI pada 25 Januari 1990.   Pada 15 Januari 1962 pukul 09.00 pagi, Soedomo memberikan pengarahan terakhir. Soedomo didampingi komandan masing-masing kapal MTB. Mereka antara lain Mayor (Laut) Samuel Moeda (KRI Harimau), Kapten (Laut) Wiratno (KRI Matjan Tutul), dan Letnan (Laut) Sugardjito (KRI Matjan Kumbang). Sebelum menentukan kapal yang dipilihnya, Yos Sudarso menanyakan sesuatu kepada perwira AL peserta pengarahan. Cara Yos Sudarso memilih kapalnya dituturkan Samuel Moeda (Laksama Purn.) kepada Tim Pusat Sejarah ABRI pada 15 November 1990.  “Kapal mana yang komandannya termuda?” ujar Yos Sudarso. “Kapten Wiratno, Komodor,” jawab Wiratno, Komandan Matjan Tutul. “Bapak ikut kapalmu, Kapten,” kata Yos Soedarso sambil memalingkan pandangannya kepada Wiratno. Sebelumnya untuk alasan keamanan, Soedomo telah menawarkan agar Yos Sudarso menaiki KRI Harimau. Namun, Yos Sudarso sudah kadung menetapkan pilihannya. Moersjid yang tadinya ditempatkan di KRI Matjan Tutul lantas mengajukan protes. Menurutnya kurang lazim menempatkan dua pimpinan angkatan selama operasi di wilayah perbatasan dalam satu kapal. Soedomo akhirnya memindahkan Moersjid ke KRI Harimau bersamanya.    Pukul 16.00, ketiga kapal MTB dalam keadaan siap tempur. Tepat pukul 17.00. kapal-kapal tersebut mulai bergerak dari Pulau Ujir menuju Kaimana. Dalam formasi berbanjar, KRI Harimau berada di depan sebagai kapal komando, KRI Matjan Tutul di tengah, sedangkan KRI Matjan Kumbang di belakang untuk menjaga radar. Di tengah lautan Arafuru, iring-iringan kapal MTB dipergoki pesawat Neptune Belanda yang sudah mengintai sejak bertolak dari Pulau Ujir. Pesawat itu kemudian melaporkan kepada kapal fregat AL Belanda Eversteen dan Kortaener. Atas instruksi Yos Sudarso, KRI Matjan Tutul terus melaju dan memberikan perlawanan. Dengan demikian, KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang punya kesempatan putar haluan untuk mundur. Tidak ayal lagi pertempuran tidak seimbang pun berkobar. KRI Matjan Tutul digempur dua pesawat tempur dan dua kapal perusak Belanda. Komodor Laut Yos Sudarso gugur bersama Kapten Wiratno berkalang samudra di dasar lautan Arafuru. Sementara Moersjid berhasil menyelamatkan diri bersama rombongan di dua kapal MTB yang tersisa. Kabar pertempuran di Laut Arafuru mengejutkan publik di Indonesia. Meski Moersjid luput dari maut, sang istri yang menanti di Jakarta cemas luar biasa. Keadaan batin istri Moerjid berpengaruh terhadap kondisi si jabang bayi.     “Dan akhirnya adik yang sedang dikandung meninggal dan diberikan nama Irianto,” kenang Sidharta.*

  • Komando Terakhir Komodor Yos Sudarso

    SEBELUM berangkat mengantarkan para prajurit ke Papua, Komodor Josaphat Soedarso (selanjutnya disebut Yos Sudarso) pamitan dengan keluarganya. Yos sempat meminta Riyono, anak sulungnya untuk mencium dirinya. Demikianlah Yos Sudarso meninggalkan rumah untuk kemudian menjalankan tugas negara sebagai deputi operasi Kepala Staf Angkatan Laut. Jabatan ini setara orang nomor dua di jajaran Angkatan Laut. “Kenangan bagi Ibu Jos Soedarso yang terakhir hanya berupa pesan singkat, ‘Jaga baik-baik anak-anak’,” ungkap Moh Oemar dalam Laksda TNI-AL Anumerta Josaphat Soedarso . Yos seyogianya tidak direncanakan ikut dalam operasi pendaratan ke Kaimana, Papua. Misinya saat itu hanya mempersiapkan pasukan pendarat berangkat dari Pangkalan Udara Leftuan, Kepulauan Kei. Namun, Yos memutuskan turut serta dalam operasi pendaratan itu ketika merencanakan teknis infiltrasi bersama Kolonel Moersjid, asisten operasi Angkatan Darat. Kedua perwira ini sepakat melenceng dari perintah operasi untuk menyusup bersama pasukan garis depan sekalgus wujud dukung moril. Tiga kapal pendarat berjenis kapal motor torpedo dipersiapkan. Masing-masing komandannya ialah Mayor Laut Samuel Moeda (KRI Harimau), Kapten Laut Wiratno (KRI Matjan Tutul), dan Letnan Laut Sidhoparomo (KRI Matjan Kumbang). Selain mereka, Mayor Rudjito dari Angkatan Darat bertugas sebagai komandan operasi pendaratan.     Pukul 09.00 pagi, 15 Januari 1962, di atas kapal komando KRI Multatuli, berlangsunglah pengarahan menjelang keberangkatan. Pengarahan dipimpin oleh Kolonel Laut Soedomo yang bertugas sebagai perwira pelaksana operasi. Pada akhir pengarahan, Yos Soedarso memilih sendiri kapal yang akan ditumpanginya dengan melempar “undi”. “Kapal mana yang komandannya termuda?” ujar Yos Soedarso. “Kapten Wiratno, Komodor,” jawab Wiratno, komandan Matjan Tutul. “Bapak ikut kapalmu, Kapten,” kata Yos Soedarso sambil memalingkan pandangannya kepada Wiratno. Padahal, Soedomo telah menawarkan agar Yos Sudarso menaiki KRI Harimau. Namun, Yos sudah kadung menetapkan pilihannya. Moersjid yang tadinya ditempatkan di KRI Matjan Tutul lantas mengajukan protes. Menurutnya kurang lazim menempatkan dua pimpinan angkatan selama operasi di wilayah perbatasan dalam satu kapal. Soedomo akhirnya memindahkan Moersjid ke KRI Harimau bersamanya. Pada jam-jam terakhir sebelum iring-iringan kapal bertolak, Yos Sudarso menghampiri Mayor Samuel Moeda yang sudah dikenalnya akrab. Selain sebagai komandan KRI Harimau, Sam merupakan komandan paling senior dari ketiga kapal motor torpedo. Perwira ALRI dengan pangkat terakhir Laksamana (Purn.) ini mengenang gurauannya dengan Yos Sudarso. “Sam, saya akan ke darat, kalau tidak kembali, Sam yang salah!,” kelakar Yos Sudarso. “Bagaimana saya bisa jaga Bapak kalau di kapal lain,” balas Samuel Moeda seraya tertawa. Percakapan itu terjalin beberapa saat sebelum keduanya memasuki pesawat masing-masing untuk sampai ke pangkalan kapal. Sesampai di pangkalan, Yos memasuki KRI Matjan Tutul. Sementara itu, dalam perjalanan menuju KRI Harimau, topi Samuel Hoeda terjatuh sendiri tanpa ada angin. “Kejadian itu membuat Mayor Samuel tidak tenang dan menafsirkan sebagai firasat, bahwa pada dirinya akan terjadinya sesuatu yang tidak baik,” tulis tim Pusat Sejarah ABRI yang mewawancarai Samuel Moeda pada 15 November 1990 dalam   Trikomando Rakyat: Pembebasan Irian Barat . Pukul 17.00, kapal-kapal motor torpedo mulai bertolak dari Pulau Ujir menuju Kaimana. Di tengah lautan Arafuru, iring-iringan kapal tersebut terpergok oleh pesawat Neptune Belanda yang kemudian menghadang iringan. Atas instruksi Yos Sudarso, KRI Matjan Tutul terus melaju dan memberikan perlawanan. Sementara dua kapal lainnya, punya kesempatan putar haluan untuk mundur. Menjelang malam, KRI Matjan Tutul menghadapi gempuran dari dua pesawat Neptune dan dua kapal penghancur ( destroyer ) Belanda. KRI Matjan Tutul terkepung dalam pertempuran satu lawan empat itu. Sekira pukul 22.30, KRI Matjan Tutul mendapat tembakan berat dari sepasang destroyer Belanda, yakni Evertseen dan Kortenaer. Dalam kondisi terdesak, Yos Sudarso segera meraih Radio Telefoni (RTF) dan meneriakan komando terakhir-nya: “ Kobarkan semangat pertempuran! RI Matjan Tutul tenggelam dalam pertempuran di laut secaragentlemen and brave."  Sejarah mencatat, KRI Matjan Tutul akhirnya tenggelam bersama Yos Sudarso, Kapten Wiratno dan 22 prajurit lainnya yang terkubur di lautan lepas. Peristiwa itu hingga sekarang diperingati sebagai Hari Dharma Samudra pada setiap 15 Januari.*

  • Menoleh Gedung OLVEH

    SEBUAH bangunan berlantai tiga, bercat putih, berdiri anggun. Wajahnya yang dulu lusuh dan tak terawat kini cerah dan menggoda banyak orang untuk menghampiri. Ia seperti jiwa yang bangun dari mati suri yang panjang.

  • Partai Pamungkas Tan Malaka

    DALAM pengap penjara Magelang, pada 31 Juli 1948, Tan Malaka menulis surat buat kawan-kawannya mengenai pandangan dan langkah Partai Rakyat. Dia menyebut menulis surat itu dengan “tergopoh-gopoh. Kalau-kalau merpati hinggap!” Tapi sejatinya surat itu ditulis beserta “kata sambutan” untuk memenuhi permintaan dari pengurus Partai Rakyat yang akan menggelar kongres pertama.

  • Riwayat Tentara Rakyat

    SEJAK kelompok bersenjata dari Jakarta datang awal 1946, Karawang yang tenteram berubah jadi rusuh. Perkelahian dan bentrok terjadi di mana-mana. Menurut Telan (91), mantan anggota Lasykar Hizbullah, biasanya mereka bertikai gara-gara masalah kecil. Misalnya, satu kelompok lasykar tak mau bayar makanan di sebuah restoran lalu pemilik restoran lapor ke kelompok bersenjata lainnya.

  • Jalan Murba Menuju Pertempuran

    KENDATI memainkan peran penting di seputar proklamasi kemerdekaan Indonesia dan penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Peristiwa Madiun, orang-orang Murba tak jua mau terlibat dalam pemerintahan. Mereka konsisten menolak Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB).

  • Riyawat Anak-anak Menyambut Pejabat

    KETIKA Presiden Prabowo meresmikan proyek Jembatan Kabanaran di Bantul, Yogyakarta, anak-anak sekolah setempat turut menyambut. Acara berlangsung pada siang hari sehingga panas terik matahari terasa menyengat. Prabowo cukup peka merasakan anak-anak yang kepanasan demi menyambut kedatangannya. “Terima kasih, saya disambut oleh rakyat dan banyak anak-anak sekolah. Saya terkesan, tapi saya kasihan juga mereka berdiri lama di [terik] panas,” kata Prabowo dalam sambutanya, mengutip dari laman resmi Sekretariat Negara, setneg.go.id , 20 November 2025. Untuk itu, Prabowo menginstruksikan Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indrawijaya agar kepala daerah tak perlu mengerahkan anak-anak ketika menyambut kedatangannya. Biarkan anak-anak bersekolah meskipun presiden berkunjung ke daerah. Bilamana diperlukan, cukup presiden saja yang masuk ke ruang kelas untuk melihat anak-anak generasi penerus bangsa. Pengerahan anak-anak sekolah dalam menyambut kedatangan pejabat dan petinggi negara, khususnya di daerah seolah menjadi lumrah dewasa ini. Di Indonesia, kebiasaan ini setidaknya sudah terjejaki sejak mula Republik berdiri. Tujuannya untuk menyambut tamu kehormatan yang datang berkunjung. Ketika Presiden Sukarno pertama kali ke Aceh, seluruh rakyat menanti dan mengelu-elukan kedatangannya. Bung Karno tiba di Banda Aceh pada 15 Juni 1948. Ini adalah kunjungan resmi pertama Sukarno ke bumi Serambi Makkah sejak proklamasi kemerdekaan. Letnan Raja Sjahnan, salah satu komandan kompi TNI, turut menyaksikan peristiwa akbar tersebut. Dalam amatannya, rakyat berdesak-desakan ke muka, ingin melihat wajah presiden. Sewaktu Sukarno tiba, beliau disambut dengan adat kebesaran dan baru diadakan acara-acara singkat di Pendopo Karesidenan. “Setelah acara-acara singkat itu selesai, ada istirahat dan kemudian pada pukul 15.00 diadakan aubade (nyanyian penghormatan) anak-anak sekolah menyambut Presiden,” tutur Raja Sjahnan dalam memoarnya, Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan . Raja Sjahnan kelak menjabat wakil gubernur Sumatra Utara (1960–1965) dan ketua DPRD Sumatra Utara (1982–1992) dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Cerita yang sama diungkapkan Fadel Muhammad, belakangan politisi Golkar dan sempat menjadi menteri kelautan dan perikanan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Fadel yang tumbuh di Ternate, Maluku Utara, dari tuturan orang tua, merekam ingatan ketika Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berkunjung ke Ternate pada 1950-an. Seperti di Aceh, rakyat Ternate menyambut kedua pemimpin bangsa itu dengan penuh kehormatan. Mulai dari orang tua hingga anak-anak lebur bersama. “Anak-anak SD hingga SMA (dan sekolah-sekolah kejuruan) membangun barisan penyambutan dan ikut upacara di lapangan Istana Sultan Ternate. Mereka ada yang menyambut dengan membawa poster dengan tulisan besar dengan kata-kata untuk memupuk persatuan bangsa. Poster-poster itu menjadi bahan literasi awal bagi anak-anak dan masyarakat,” terang Fadel dalam otobiografinya  Building a Legacy: Menimba Ilmu, Mengajar, Mengepakkan Bisnid dan Berbakti pada Bangsa . Di Palembang, begitu gencatan senjata setelah Agresi Militer Belanda kedua, pimpinan Republik kembali untuk menyusun pemerintahan. Gubernur Sumatra Selatan Mohamad Isa yang sebelumnya bergerilya di pedalaman turut dalam rombongan dengan menumpang kereta api dari Lubuk Linggau. Di setiap stasiun yang dilewati banyak rakyat berkumpul, dengan gegap gempita mereka menerikkan yel-yel, “Merdeka”, “Hidup Pak Isa.” Ketika kereta api yang membawa rombongan tiba di stasiun Kertapati , rakyat yang sudah lama menunggu lagi-lagi meneriakkan yel-yel serupa. “’Merdeka’, ‘Merdeka’, ‘Hidup Pak Isa’, ‘Hidup Pak Isa’. Begitu teriak anak sekolah yang mengibarkan bendera merah putih berukuran kecil saat rombongan Mohammad Isa lewat,” tulis Feris Yuarsa dalam biografi Mohamad Isa: Pejuang Kemerdekaan yang Visioner. Tidak hanya penyambutan yang sifatnya selebrasi, pengerahan anak-anak juga terjadi dalam suasana perkabungan tokoh. Ketika Bung Tomo, tokoh pejuang Angkatan 45 dalam Pertempuran Surabaya, wafat pada 7 Oktober 1981 –dan jenazahnya dibawa ke Surabaya pada 3 Februari 1982, segenap rakyat Surabaya turut mengantarkan ke pusaranya di Pemakaman Umum Ngagel. Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, mengenang rakyat berderet sepanjang jalan, tukang-tukang becak berdiri membereskan becaknya dengan teratur di pinggir-pinggir jalan. Begitu pula anak-anak sekolah yang ikut menyongsong. “Aku terharu sekali. Tukan becak, tukang sayur, penjual bakso bahkan sampai anak-anak sekolah ikut bersama pejabat mengantar Bung Tomo,” kenang Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang menilai Kepahlawanananmu. Lama-kelamaan, tradisi penyambutan penggede dengan mengerahkan anak-anak sekolah lebih bersifat seremonial tanpa esensi. Cara penyambutan demikian lebih memperlihatkan prestise pejabat tinggi maupun petinggi negeri yang cenderung ke arah patron-klien atau kawula-gusti dalam budaya masyarakat Jawa. Anak-anak sekolah ditempatkan di garda depan, di pinggir jalan, sembari memegang umbul-umbul menyongsong pejabat ataupun rombongannya melintas. Kadang-kadang, kegiatan sekolah bahkan diliburkan demi hajatan ini. Tak pelak, praktik-praktik penyambutan demikian menuai kritik. “Acara penyambutan pejabat pusat oleh daerah, janganlah berlebihan. Karpet merah atau pengerahan anak-anak sekolah jangan lagi digunakan,” demikian tajuk rencana Berita Yudha , 25 September 1993. Pada 1993, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara T.B. Silalahi menerbitkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pola Hidup Sederhana (PHS) ke setiap lingkungan aparatur dan instansi pemerintah. Salah satu juklak tersebut melarang penyambutan pejabat dengan karpet merah dan pengerahan anak-anak sekolah. Pola hidup sederhana sendiri sudah dicanangkan Presiden Soeharto sejak 1974. “Juklak pola hidup sederhana yang sudah diedarkan Kantor Menpan antara lain berisi pelarangan menyambut pejabat dengan karpet merah, umbul-umbul serta meliburkan murid sekolah di didaerah,” kata Silalahi dalam Berita Yudha , 24 September 1993. Menurut Silalahi, pengerahan anak-anak untuk menyambut pejabat termasuk dalam gaya hidup berlebihan yang bertentangan dengan pola hidup sederhana. Untuk itulah pihaknya menerbitkan Juklak PHS untuk menyatukan persepsi dalam melaksanakan pola hidup sederhana dalam kedinasan maupun pergaulan hidup masyarakat. Juklak itu juga membatasi penyelenggaraan hari ulang tahun seluruh instansi pemerintah, peneriman atau pelayanan tamu yang berkunjung ke daerah, larangan penggunaan kendaran dinas mewah dan berlebihan serta menempati lebih dari satu rumah dinas. “Pola hidup sederhana merupakan sikap, tingkah laku, dan perbuatan aparatur negara, baik dalam kedinasan maupun pergaulan hidup bermasyarakat yang berkelayakan, wajar, tidak boros, dan memperhatikan kondisi lingkungan serta masyarakat Indonesia umumnya,” jelas Silalahi dalam Berita Yudha , 14 Oktober 1993. Meski demikian, pola hidup sederhana tampaknya tak mengakar ke dalam mentalitas pejabat. Ia rontok dan menjadi slogan yang viral sebentar di masa Orde Baru. Sampai hari ini, eksploitasi anak-anak dengan mengerahkan mereka untuk menyambut kedatangan pejabat, masih kerap terjadi; demi menopang eksistensi sang pejabat.*

  • Media Massa Murba

    SEBELUM Partai Murba didirikan, para pengikut Tan Malaka berjibaku menyediakan corong bagi suara mereka. Malelo Siregar, pengikut Tan Malaka dan pendiri Partai Rakjat yang kemudian berfusi menjadi Partai Murba, memulainya dengan mingguan Murba  yang terbit pada November 1947.

  • Murba Berseteru dengan PKI

    PERSETERUAN lama nyaris dilupakan ketika muncul upaya menjalin kerjasama di antara partai kiri pada awal 1950. Mula-mula inisiatif datang dari Ibnu Parna dari Angkatan Communis Muda (Acoma). Kendati ada anggota Murba menyambutnya, Dewan Partai Partai Murba menyebut itu pernyataan pribadi, sementara partai masih memberi perhatian pada persatuan internal.

  • Dalih Pembubaran Murba

    MENDAPAT perintah untuk menangkap Sukarni, Djokomoelyo, jaksa di Direktorat Resert Pusat Kejaksaan Agung, bergerak cepat. Dia mencari alamat Sukarni. Dalam file tokoh-tokoh politik di bagian politik DRP, ada banyak alamatnya. Bersama dua petugas lainnya, Djoko coba menelepon. Jawaban yang diterima sama, dengan tujuan berbeda-beda: Sukarni keluar kota.

  • SOBRI Bukan SOBSI

    DALAM pidato di depan kongres peleburan tiga partai pada 7 November 1948, Tan Malaka menggambarkan Syamsu Harya Udaya, kala itu ketua Partai Buruh Merdeka (PBM), sebagai sosok yang tegar; “berdiri seperti batu karang, yang tidak bisa diombang-ambingkan ombak perasaan.”

  • PRRI Kecil Hingga Pulau Terpencil

    PARTAI Murba memberi perhatian terhadap pendidikan kader. Anggota-anggota muda dari daerah dibawa ke Jakarta untuk digembleng. Sebagai wadah pemuda, dibentuklah Pemuda Republik Rakyat Indonesia (PRRI) yang berpusat di Surabaya. Ormas ini lahir dalam Kongres Pemuda IV di Surabaya pada 8-15 Juni 1950 –yang juga melahirkan sejumlah organisasi pemuda lainnya. Ia merupakan fusi dari lima organisasi pemuda: PRRI, Gerim, PRAI, PRI, dan Gapi.

bottom of page