top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mula Riset Radioaktif

    Kontaminasi radiokatif yang ditemukan di tanah kosong Perumahan Batan Indah, Serpong diketahui berasal dari rumah Blok A22. Polisi tengah memeriksa pemilik zat radioaktif illegal yang merupakan pegawai Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan pembuang limbah radioaktif tersebut. Sementara, Cesium 137 yang berada di dalam rumah tersebut disita polisi. “BATAN mendukung kegiatan yang dilakukan Kepolisian dan Bapeten untuk menyelidiki adanya zat radioaktif yang tidak sah," kata Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama, BATAN Heru Umbara sebagaimana diberitakan Tempo. Sebelumnya, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) menemukan paparan radiasi nuklir mencapai 1.818 kali lipat ambang batas kala melakukan uji fungsi alat pemantau radioaktivitas lingkungan bergerak (mobile RDMS-MONA) pada 30 dan 31 Januari 2020. Setelah ditelusuri, radiasi nuklir yang ditemukan berjenis radioaktif Cesium 137 yang merupakan zat tunggal. Jenis ini berbeda dengan zat radioaktif di fasilitas Reaktor riset GA Siwabessy. Lebih lanjut, sembilan detektor pemantau radiasi di Kompleks Puspiptek Serpong juga tidak menunjukkan adanya kebocoran nuklir dari Reaktor GA Siwabessy. Untuk menanggulangi paparan radiasi ini, proses pembersihan terus dilakukan dengan mengeruk tanah yang terpapar radiasi nuklir. Sembilan warga di sekitar titik penemuan zat radioaktif pun menjalani pemerisaan kesehatan. Bermula dari Ledakan Pulau Eniwetok Riset nuklir di Indonesia mulai dilakukan sejak 1950-an. Hal ini bermula dari ujicoba bom hidrogen di Pulau Eniwetok oleh Amerika Serikat sejak 1952.  Ujicoba itu menimbulkan efek tak sepele bagi kawasan sekitarnya. Percobaan yang dilakukan beberapa kali oleh Amerika Serikat itu menurut Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy menyebabkan banyak efek pada lingkungan sekitar Samudra Pasifik. Di Jepang, misalnya, ikan-ikan mati di tepian pantai. Orang-orang yang memakan ikan tersebut juga menjadi sakit. Debu radioaktif dari bom nuklir tersebut diperkirakan terbawa angin dan air yang kemudian dikomsumsi ikan di laut. Dari sinilah sebab orang-orang Jepang menjadi sakit. Ilustrasi Prof. dr. G.A. Siwabessy (dok. Mursid D.) Kekhawatiran ini pun melanda Indonesia yang letaknya berdekatan dengan Samudra Pasifik. Presiden Soekarno lantas mencari ahli-ahli yang dapat mengukur tingkat paparan radioaktivitas di lautan, udara, dan daratan Indonesia yang bersinggungan dengan Samudra Pasifik. Tugas itu lantas diserahkan pada Lembaga Radiologi dari Departemen Kesehatan yang punya peralatan geiger. Namun lantaran tugas memeriksa paparan radioaktif dan riset nuklir merupakan bidang yang berbeda dengan penggunaan radio aktif untuk kebutuhan medis, dibentuklah Panitia Penyelidikan Radioaktifitas dan Tenaga Atom (PPRTA) berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 230 tahun 1954 tertanggal 23 November 1954. Dokter GA Siwabessy sebagai ketuanya. Siwabessy yang kala itu menjadi Menteri Kesehatan punya banyak pengalaman dalam bidang radiologi. Sebelum menjabat sebagai menteri, ia pernah bertugas sebagai kepala Bagian Radiologi RSCM dan Kepala Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan. Siwabessy mendapat beasiswa dari British Council untuk belajar radiologi di Universitas London pada 1949. Kerja Siwabessy di PPRTA dibantu beberapa ahli dari Universitas Gadjah Mada, seperti Dr. Baiquni dan Prof. Ir. Herman Johannes yang namanya kini dijadikan nama jalan yang membentang di timur Galleria Mall ke utara hingga perempatan Sagan (MM UGM), Yogyakarta. Dalam tim ini, seperti dicatat “Sejarah BATAN Jogja 1961-2014”, Herman Johannes bertugas sebagai Ketua Seksi Fisika, Kimia, dan Teknologi. Ahli lain yakni dr. Rubiono dari Bagian Radiologi Rumah Sakit Gatot Subroto dan Prof. Ir. Gunarso dari ITB. Ada pula wakil-wakil dari instansi Angkatan Darat, udara, dan meterologi. Prof. Ir. Herman Johannes. Sumber: Sejarah Batan Jogja 1961-2014. Panitia ini kemudian dikirim ke area yang berdekatan dengan Samudra Pasifik, seperti Manado, Ambon, dan Timor. Papua tidak termasuk karena masih jadi bagian Belanda. Selain air laut, pohon-pohon di sekitar, rumput, dan tanah diteliti. “Rumput-rumput terutama menjadi perhatian karena bila rumput-rumput yang mengandung fall out (jatuhan) radioaktif dimakan, hewan-hewan itu akan mati,” kata Siwabessy dalam memoarnya, Upuleru. Namun, sambungnya, syukurlah di Indonesia tidak terdapat jatuhan radioaktif yang berbahaya. Sejak berkumpulnya para ahli nuklir dalam proyek ini, perhatian pada studi nuklir meningkat. Para ahli, seperti Erman Natawidjaja dan Sombu Pillay yang juga anggota tim PPRTA, dikirim ke luar negeri untuk mendalami nuklir. Siwabessy mengirim mereka ke London agar mereka memperdalam ilmu ini selama dua tahun. Tim PPRTA lain yang dikirim untuk mempelajari radiologi ialah Baiquni. Ia berangkat ke Amerika Serikat pada 1955 untuk mengikuti International School of Nuclear Science and Engineering di Argonne National Laboratory yang jadi bagian dari program Atom for Peace oleh Presiden Eisenhower sejak 1953. Ilustrasi Prof. Dr. A. Baiquini (dok. Mursid D.) Pengiriman para ahli nuklir ke luar negeri bertujuan untuk mempersiapkan personel bagi pembangunan tenaga atom untuk maksud damai, misalnya pengembangan teknik nuklir, fisika nuklir, dan perlindungan serta keamanan radiasi nuklir. “Berbagai ahli dalam bidang atom perlu dididik di luar negeri. Lulusan ITB dan Gadjah Mada dan lain-lain ditarik ke dalam kegiatan,” kata Siwabessy. Sekembalinya dari studi di luar negeri, para ahli ditempatkan di lembaga yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pengembangan nuklir. Erman Natawidjaja dan Sombu Pillay, seperti dikisahkan Siwabessy, kemudian ditugaskan di Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan. Sementara Baiquni, ikut menjadi anggota pendirian Pusat Penyelidikan Tenaga Atom Nasional bersama Herman Johannes dan Siwabessy. Setelah melalui serangkaian riset, dibentuklah Lembaga Tenaga Atom pada 5 Desember 1958 yang kemudian diperingati sebagai hari jadi BATAN.

  • Para Raja Baru dan Juru Selamat

    Kurang dari dua bulan, empat kerajaan baru beserta rajanya bermunculan dengan membawa sejarah dan cita-cita masing-masing. Hal ini mengingatkan pada fenomena gerakan milenarisme atau penantian akan datangnya juru selamat kala Indonesia di bawah kolonialisme. Ciri gerakan milenaristis, kata Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, adalah adanya harapan masyarakat akan tokoh yang memberikan keadilan dan kesejahteraan. Ini yang disebut sebagai tokoh juru selamat atau ratu adil. Di bawah kepemimpinan tokoh penyelamat ini, diyakini nantinya akan lahir negara yang sempurna dan rukun. “Ini cirinya. Ingat tentang Sunda Empire? Mereka juga punya harapan itu. Tapi apakah ini juga gerakan milenaristis? Kita lihat nanti,” kata Agus dalam diskusi bertema “Raja-raja Nusantara dalam Pusaran Ketoprak dan Pemahaman Sejarah” di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PuslitArkenas), Jakarta, Selasa (25/2). Dalam gerakan milenarisme, semua anggota masyarakat dijanjikan akan mempunyai status sederajat. “Semua dijanjikan dikasih duit satu miliar atau lebih, tiga miliar?” ujar Agus. Adanya kepatuhan mutlak kepada pemimpin juga tampak dalam gerakan ini. Anggotanya siap sedia membela kepercayaan mereka. Milenaristis, kata Agus, biasanya terjadi beriringan dengan gerakan keagamaan, yang kurang lebih hampir sama dengan milenarisme. Mereka berorientasi kepada leluhur. Jadi, biasanya mereka menyebutkan ada ramalan dari para leluhur tentang suatu zaman yang adil dan sejahtera. “Bersifat magico-mysticim, adanya narasi kekuatan gaib dan kekuatan supernatural yang turut berperan,” kata Agus. Cirinya, akan muncul tokoh yang dianggap keramat, sakti atau telah mendapat wahyu setelah bertapa atau meditasi. Pada masa lalu, kehebatan tokoh ini biasanya diwujudkan dengan kisah-kisah kesaktiannya. “Kalau masa kini bentuknya simpanan dana yang tak ada habisnya di Swiss, lalu orang kagum,” ujar Agus. Contoh dalam sejarah misalnya, Trunojoyo yang melawan pemerintahan Amangkurat I. Lalu Diponegoro melawan kolonialis Belanda. Yang kedua ini kemudian bergelar Herucakra, seperti gelar Ratu Adil yang ada dalam Serat Jayabaya dari abad ke-19. Sebagaimana dijelaskan sejarawan Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang, dalam Serat Jayabaya, Ratu Adil bergelar Tanjung Putih atau Herucakra, pendiri zaman emas baru yang akan membebaskan masyarakat Jawa dari zaman kaliyuga atauzaman sulit. “ Serat Jayabaya merupakan sejarah ramalan Jawa yang membagi sejarah dalam empat yuga atau zaman. Dimulai dari pemerintahan Raja Jayabaya di Kediri abad ke-11 yang merupakan zaman keemasan, disusul oleh zaman yang makin memburuk, sampai pada zaman dekadensi. Yang terburuk adalah yang terakhir, kaliyuga ,” tulis Ong Hok Ham. Wahyu yang diterima tokoh semacam itu, seringkali mendasari legitimasi kekuasaan seorang raja Jawa. Konsep ini lebih dominan daripada konsep legitimasi berdasarkan syarat lainnya. Seperti misalnya keturunan. “Konsep wahyu, di satu pihak, menjelaskan kekuasaan mutlak raja dan menganggap perlawanan terhadap dia sebagai perlawanan terhadap Tuhan,” tulisOng Hok Ham. Sementara wahyu dapat berpindah setiap waktu dan datang pada siapapun juga. Kekuasaan raja menurut konsep ini adalah reinkarnatif. Teori-teori reinkarnatif wahyu kerajaan semacam inilah yang dipakai oleh berbagai gerakan milenarisme atau Ratu Adil. Muncul Akibat Tekanan Ketika Serat Jayabaya terbit pada abad ke-19, dari tahun 1830 hingga masa pergerakan nasional hampir tak ada tahun yang lewat tanpa gerakan Ratu Adil di Jawa. Banyak pemimpin gerakan menyebut diri sebagai penerima wakyu kerajaan. Menurut Ong Hok Ham, ini mungkin berhubungan dengan hilangnya kekuasaan politis raja-raja Jawa ke tangan Belanda. Penguasa kolonial pun membebani rakyat dengan pajak yang tinggi dan kerja paksa. Hingga timbul harapan-harapan agar ada pembebasan. Hal ini menjadikan harapan lahirnya dinasti baru oleh Ratu Adil di masyarakat. Gerakan ini , tak menutup kemungkinan, yang memimpin adalah tokoh-tokoh setempat. Bahkan ada yang dipimpin oleh seorang petani. Tidak pula mencapai skala luas sehingga mudah ditindak. Seperti yang terjadi di wilayah budaya Sunda, gerakan Raksapraja pada 1842, gerakan Bapa Kantang pada 1853, perkumpulan Mutayam pada 1863. Semua gerakan ini didasarkan atas harapan milenarisme. “Mereka percaya akan tampil lagi kerajaan Sunda yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan untuk rakyat,” kata Agus. Gerakan paling fenomenal dan ditakuti Belanda, yaitu Gerakan Nyi Aciah (1870-1871). Ia dianggap sebagai perempuan suci dari Sumedang. Masyarakat percaya Nyi Aciah punya kesaktian, termasuk dapat menyembuhkan macam-macam penyakit.Bahkan berkembang ramalan akan datang zaman yang aman sejahtera. Disebut pula soal kemunculan keraton di Keling dan Banjar. “Nyi Aciah akan menjadi ratu di Keraton Tegalluwar. Dia dipercaya sebagai jelmaan Dewi Siti Johar Manikam, putri Syeh Jumadilkubro,” jelas Agus. “Ini tokoh yang dikeramatkan.” Pendukung Nyi Aciah makin banyak. Pada Mei 1871 gerakan ini makin meluas ke Malangbong, Garut. Mereka mengadakan arak-arakan dan ziarah ke tempat-tempat keramat. Pemerintah kolonial Belanda menangkap tokoh-tokohnya. Gerakan ini padam. “Sama dengan Keraton Agung Segajat, kan arak-arakan juga, ditangkap polisi, runtuh sudah,” kata Agus.   Di Jawa Tengah hampir sama. Ada gerakan Jumadilkubro di selatan Pekalongan dan di kawasan utara Banyumas. Pemimpinnya Ahmad Ngisa. Gerakan ini mulai bergerak dari 1870-1871. Konon, ada wangsit dari Syeh Jumadilkubro dari Wanabadra. Bunyinya, ketika orang-orang asing (Belanda) diusir keluar, akan muncul tiga penguasa dari Majapahit, Pajajaran, dan Kalisalak (Pekalongan). Gerakan ini sempat meluas di Pekalongan dan Batang. Pemerintah Belanda menangkapi pengikutnya. Gerakan ini juga bubar. “Di sini ramalan-ramalan selalu mengiringi dan cerita-cerita kehebatan selalu ada,” kata Agus. Di Jawa Timur,tercatat gerakan Jasmani dari Desa Sengkrong di Blitar. Jasmani berguru kepada Amat Mukiar orang yang dianggap sakti dan keramat. Pada 1887, Amat Mukiar meramalkan, bahwa akan muncul Kerajaan Sultan Adil di wilayah Birowo, Lodoyo, dan Blitar. Muridnya, Jasmani akan dinobatkan sebagai Ratu Adil Igama. “Amat Mukiar meminta agar rakyat memerangi orang Eropa dan Cina, seluruh pejabat pribumi dianjurkan membantu gerakan ini,” kata Agus. Jasmani menyebarluaskan gagasan itu di Blitar. Ia juga menyiapkan pemberontakan terhadap Belanda.“Namun belum juga melaksanakan pemberontakan, Belanda sudah tahu. Mereka ditangkap dan bubar. Sama kasusnya,” lanjut Agus. Saluran Ketidakpuasan Kasus-kasus pada abad ke-19 itu memperlihatkan akar dari gerakan milenaristis, yaitu tekanan, kesewenangan, di tengah era kolonialisme Belanda. Masyarakat banyak yang mengharapkan kelahiran kembali kerajaan-kerajaan besar di masa lalu untuk mengusir Belanda.   Lalu, apakah keraton dan raja baru masa kini, seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, King of the King, dan belakangan Kerajaan Mulawarman, adalah wujud gerakan milenarisme juga? Menurut Agus,bukan. Apa yang terjadi lebih kepada upaya revitalisasi tendensius. “Mereka mendaku punya keterkaitan dengan kemegahan masa silam. Mencari dan menghidupkan kegiatan seni budaya yang telah lama tak ditampilkan. Ini adalah upaya revitalistik,” kata Agus .   Tendensinya apa? Menurut Agus untuk menghadirkan kebanggaan karena menjadi terpandang di kalangan masyarakat. Bisa juga untuk mengumpulkan dana masyarakat yang kecenderungannya penipuan. “Positifnya untuk meneruskan tradisi keraton yang telah lama hilang dan menjadi acara dalam kalender kegiatan pariwisata,” lanjutnya. Sayangnya, kata Agus, dalam rangka menghidupkan tradisi keraton yang hilang, pencetus raja dan keraton baru ini membuat cerita karangan. Ini adalah upaya legitimasi untuk mencari simpati dan dukungan masyarakat. “Mencari simpati dan dukungan masyarakat dengan bilang masih punya darah biru dan layak untuk melanjutkan tradisi raja-raja. Mengaku mempunyai dana simpanan di luar negeri yang tak terhingga,” katanya. Agus pun menyimpulkan munculnya keraton dan raja baru adalah gejala masa kini. Kemunculan mereka bukan gerakan milenarisme karenamasyarakat tidak dalam tekanan. “Kalau dulu kan ditekan imperialisme,” kata Agus. “Munculnya raja-raja dan keraton baru ini adalah gejala zaman sekarang, zaman gabut dan galau. Dengan pakai simbol masa lalu berbau milenarime.” Dari sudut pandang Ong Hok Ham, gerakan milenarisme muncul tak spesifik karena di bawah tekanan imperialisme. Menurutnya jelas sekali dalam Serat Jayabaya itu adalah persoalan hilangnya kekayaan dari masyarakat. Zaman edan dilukiskan sebagai zaman di mana emas hilang dari desa-desa, bahkan dari negara, untuk dikirim ke luar negeri. Bagaimanapun, kata Ong Hok Ham , gerakan Ratu Adil dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat atau pribadi tertentu. Munculnya gerakan ini adalah saluran baru bagi masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasan mereka kepada pemerintah.

  • Aliarcham, Buangan Paling Dihormati

    PADA 1 Juli 1933, laki-laki itu dipapah kawan-kawannya menaiki perahu motor. Dari Tanah Tinggi, perahu itu menyusuri Sungai Digul hendak menuju Tanah Merah untuk berobat. Butuh waktu sekitar enam jam menuju Tanah Merah dengan aliran sungai yang berkelok-kelok. Sesekali lajunya terhalang batang-batang pohon yang hanyut di sungai. Aliarcham memang telah sakit-sakitan. Ia sering batuk-batuk dan mengidap penyakit paru-paru. Tapi meski kondisinya semakin buruk, ia enggan berobat. "Saya sangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlah kematian saya di hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci oleh Belanda ini," katanya sepeti dikutip Mangkudun Sati dalam Aliarcham, Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya. Keinginannya itu benar-benar tercapai. Belum sempat sampai ke Tanah Merah, di antara deru mesin perahu dan sunyinya hutan Papua, laki-laki 32 tahun itu menarik napas terakhirnya. Aliarcham, buangan Digul paling dihormati itu meninggal dunia dikelilingi sahabat-sahabatnya. Aliarcham ditangkap pemerintah kolonial pada 5 Desember 1925. Saat itu ia sedang berada di Solo untuk mengikuti kongres Organisasi Perguruan dan Pendidikan Indonesia (OPPI). Pemerintah kolonial menduga Aliarcham merupakan organisator penting dalam pemogokan besar buruh di sejumlah tempat di Jawa Timur, satu bulan sebelumnya. Pada 24 Desember 1925, ia diangkut dengan kapal Van Der Wijck ke Papua bersama seorang kawannya bernama Mardjohan. Merauke adalah lokasi pertama Aliarcham dibuang. Ia tinggal di sana kira-kira hanya seminggu. Aliarcham lalu dipindahkan ke Okaba dan tinggal di sana sekitar satu setengah tahun. Dari Okaba, ia dipindahkan ke Tanah Merah. Di sini, sudah ada buangan lainnya yang ditangkap setelah pemberontakan PKI pada November 1926. Saat itu, di Tanah Merah tengah terjadi perselisihan antara kaum buangan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas gagalnya pemberontakan 1926. Aliarcham mengambil sikap yang tegas. Ia menganggap tak ada yang patut disalahkan kecuali pemerintah kolonial yang menyebabkan rakyat harus memberontak. "Suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai satu risiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yang bersalah. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara. Kita harus terus menggunakan waktu pembuangan ini untuk belajar pengetahuan Marxisme dan pengetahuan umum," katanya. Perselisihan itu menyisakan perpecahan antara mereka yang bersifat keras dan mereka yang mulai luntur semangat perjuangannya. Karena dianggap berbahaya, sebagian dari mereka yang bersifat keras dipindahkan ke Gudang Arang yang letaknya berada di tengah rawa. Beberapa di antaranya adalah para pemimpin PKI seperti Mas Marco Kartodikromo, Thomas Najoan, Budisucitro, dan Aliarcham. Karena banyak diprotes kaum progresif Belanda, pada Januari 1928, Aliarcham dan kawan-kawan dipindahkan ke Tanah Tinggi. Meski tak lagi di tengah rawa, Tanah Tinggi letaknya jauh masuk ke dalam belantara hutan Digul. Enam jam perjalanan dari Tanah Merah jika naik perahu. Kamp paling sunyi di Digul. Aliarcham termasuk orang buangan yang paling dikenal di Digul. Ia dianggap sebagai pemimpin para buangan dan kerapkali mewakili kaum buangan dalam pelbagai persoalan. Misalnya ketika tunjangan 30 sen perhari hendak dicabut, bersama Budisucitro dan Said Ali, ia dikirim untuk menanyakan keputusan itu. Setelah beradu debat dengan kontrolir, tunjangan 30 sen akhirnya tidak jadi dicabut. Menurut Mas Marco Kartodikromo dalam Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel , ketika kaum buangan Tanah Merah membentuk Centrale Raad Digoel  (CRD) Aliarcham terpilih sebagai anggota dengan suara terbanyak, yakni 515 suara. Ia juga terpilih menjadi anggota komisi pembentuk Anggaran Dasar CRD bersama Soenarjo dan Budisucitro. Meninggalnya Aliarcham meninggalkan kesan mendalam bagi kaum buangan. Baik mereka yang telah loyal terhadap kolonial maupun mereka tetap radikal, menganggap Aliarcham adalah pemimpin mereka. "Aliarcham dimakamkan dengan peghormatan besar, semua kelompok berjalan kaki dalam iringan pemakamannya, seakan akan ia telah menyatukan semua tapol, yang sebelumnya terlibat dalam perselisihan sengit tentang status di pengasingan, dan tentang dukungan untuk organisasi-organisasi mereka yang ini atau yang itu," tulis Molly Bondan dalam Spanning a Revolution. Menurut Molly, tidak orang lain lagi yang pernah menerima penghormatan sebesar itu dari semua tapol. Makam Aliarcham di Tanah Merah juga merupakan makam yang paling dirawat dengan layak. Tertulis sebuah sajak di makamnya: " Obor yang dinyalakan di malam gelap-gulita ini, kami serahkan kepada angkatan kemudian. "*

  • Solidaritas Prajurit India Untuk Indonesia Merdeka

    SUATU hari di bulan Maret 1971. Mayor Z.A. Maulani bersama rekannya dari KKo-AL, Mayor Suharmo Haryanto bertamu ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Pakistan. Saat akan memasuki pintu gerbang kedutaan, mereka berdua disambut dengan penghormatan “jaga jajar” dari para satpam KBRI. Begitu turun dari mobil, betapa terkejutnya kedua perwira itu saat melihat di saku kiri kameja para petugas satpam tersebut terpasang Bintang Gerilya. Itu nama medali penghargaan bagi seorang tentara Indonesia yang pernah terlibat aktif dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949). “Setelah memberi salut secara sempurna kepada mereka, sebagai tanda hormat kepada senior, saya tidak dapat menahan diri untuk bertanya tentang Bintang Gerilya yang mereka kenakan,”ujar Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara era Presiden B.J. Habibie itu. Salah seorang dari mereka akhirnya menjelaskan bahwa pada 1945-1949, mereka pernah tergabung dalam TNI-Polri dan aktif dalam perjuangan fisik melawan militer Belanda. Rupanya para satpam itu adalah para prajurit Inggris muslim dari kesatuan British Indian Army (BIA) yang membelot ke kubu kaum Republik karena tidak merasa nyaman harus memerangi orang-orang yang seagama dengan mereka. Perasaan simpati para prajurit muslim dari BIA memang sudah muncul sejak awal kedatangan mereka di Pulau Jawa. Tersebutlah pada suatu hari di bulan Oktober 1945. Sebuah iring-iringan konvoi BIA yang melewati jalanan Bogor tetiba dihadang sekelompok  lasykar yang terdiri dari anak-anak muda bersenjatakan beberapa pucuk bedil usang dan parang. Alih-alih bisa menghancurkan konvoi kecil itu, para serdadu BIA malah dalam waktu cepat bisa balik bisa mengepung  dan menjadikan anak-anak muda tersebut bertekuk lutut. Usai mengumpulkan para tawanan, salah seorang opsir mereka menyampaikan ceramah pendek di hadapan anak-anak muda itu. “Isinya nasehat supaya anak-anak kita jangan melawan, karena katanya mereka bersimpati terhadap perjuangan kita. Dianjurkan pula oleh opsir itu agar anak-anak berlatih dahulu sebelum turun dalam suatu pertempuran sungguh-sungguh…” ungkap Jenderal (Purn) A.H Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 2. Menurut Nasution, adanya rasa simpati pasukan Inggris asal anak benua India  terhadap perjuangan orang-orang Indonesia tentunya bukan tanpa dasar. Bukan rahasia lagi jika sebagian besar bangsa India, saat itu  menyimpan rasa kurang suka terhadap  Belanda, yang menjadi musuh orang-orang Indonesia. Hal itu terkait dengan kejadian di Afrika Selatan, di mana perlakuan rasis keturunan Belanda berlangsung secara kencang terhadap orang-orang keturunan India di sana. Namun para peneliti sejarah BIA di Indonesia seperti Firdaus Sjam dan Zahir Khan menyebut justru karena soal kesamaan agama-lah yang menjadi pemicu utama munculnya rasa simpati tersebut. “Faktor ini yang melahirkan sikap mereka untuk bahu membahu dengan para pejuang republik berperang melawan penjajah sebagai satu fisabilillah …”tulis Sjam dan Khan dalam Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia . Hal itu terbukti pada saat satu seksi BIA pimpinan Letnan Abu Nawaz menolak keras perintah atasannya untuk menghancurkan Masjid Jami yang terletak di Jalan Serdang, Medan. Alih-alih melaksanakan perintah atasannya itu, seksi BIA yang keseluruhan prajuritnya beragama Islam itu malah membelot ke kubu musuh: para pejuang Indonesia. “Penghancuran Masjid itu kemudian dilakukan oleh pasukan Inggris yang lain…”ujar Muhammad TWH, wartawan senior sekaligus pemerhati sejarah di Medan. Sementara itu, di Utara Jakarta, Prajurit Ghulam Ali  awalnya sama sekali tak mengerti mengapa pimpinan pasukan Inggris  melarang keras para prajurit BIA untuk bergaul dengan penduduk lokal. Ketidakmengertian itu mulai terjawab saat suatu hari ia diikutkan dalam suatu patroli ke sebuah kampung. “Ketika kami memasuki sebuah rumah kosong, kami menemukan kaligrafi basmallah dan sebuah kitab Al Qur’an di sana. Kami menjadi terharu dan muncul keinginan untuk membantu orang-orang Indonesia…”kenang pensiunan Polri itu seperti ditulis dalam Buletin Badan Kontak Purnawirawan/Warakawuri-Polri Mabes edisi Agustus 1986. Munculnya rasa solidaritas sebagai sesama muslim dan bangsa Asia  menjadikan prajurit-prajurit  muslim asal India bertambah nekad. November 1945, terjadi pembangkangan massif saat  Panglima Pasukan Sekutu di Jawa Barat memerintahkan 400 serdadu BIA untuk berangkat ke front Surabaya. Beberapa hari sebelumnya, pembangkangan terhadap intruksi itu  dilakukan pula oleh 200 prajurit BIA dengan melakukan aksi duduk di tempat dan mogok kerja. “Keenamratus serdadu itu akhirnya ditindak oleh Panglima Sekutu dengan mengirim mereka ke kamp militer di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu,” tulis Muhammad Rivai dalam Merdeka atau Mati.

  • Persahabatan Kyai Mansur dengan Pendiri Muhammadiyah

    Nama Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Kyai Haji Mas Mansur akan selalu terkenang dalam sejarah perjuangan kaum Muslimin di Indonesia. Keduanya berperan penting dalam mensyiarkan gema Islam ke seluruh lapisan masyarakat sejak Indonesia masih berada di bawah kuasa kolonialisme Belanda. Melalui organisasi Islam Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansur mampu membawa perubahan bagi umat Muslim di Indonesia. Pertemuan dua tokoh penting Muhammadiyah ini terjadi pada permulaan abad ke-20, tepatnya pada 1915, atau tiga tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Dikisahkan Sutrisno Kutoyo dalam biografi Pahlawan Nasional: Kyai Haji Mas Mansur , nama KH Ahmad Dahlan telah sering didengar KH Mas Mansur sejak ia tinggal di Mesir dan Mekah. Ketika pada 1915 berkesempatan kembali ke tanah air, KH Mas Mansur tidak langsung pulang ke rumahnya di Surabaya, tetapi memilih pergi ke Yogyakarta untuk menemui KH Ahmad Dahlan. Pertemuan pertama tersebut memberi kesan yang amat mendalam bagi Mansur muda. Ketika itu usianya baru menginjak 20 tahun, sementara KH Ahmad Dahlan berusia 48 tahun. Bagi KH Mas Mansur, KH Ahmad Dahlan adalah sosok seorang ayah. Wajah yang tenang dan selalu dihiasi senyuman ketika berbicara membuat kiyai muda itu nyaman berbincang lama dengannya. Meski baru pertema bertemu, KH Mas Mansur merasa sosok pendiri Muhammadiyah itu memiliki budi pekerti tinggi. “Dalam kehidupan Kyai Haji Mas Mansur, maka tokoh Kyai Haji Ahmad Dahlan mempunyai pengaruh yang besar. Antara pribadi Kyai Haji Mas Mansur dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan, dua tokoh yang harus ditulis dengan tinta emas dalam sejarah kebangunan umat Islam di Indonesia, terdapat hubungan yang mendalam,” ungkap Kutoyo. Namun perjumpaan tahun 1915 itu hanya terjadi singkat. KH Mas Mansur harus segera pergi ke Surabaya untuk menyelesaikan urusannya. KH Ahmad Dahlan lalu menganjurkan kepada pemuda Mansur untuk kembali ke Yogyakarta ketika memiliki waktu yang lebih lapang. Ia ingin membicarakan banyak hal dengan KH Mas Mansur, termasuk tujuannya mendirikan Muhammadiyah, yakni memperbaiki keadaan umat Islam di Indonesia. Paruh pertama tahun 1916 kedua tokoh ini berkesempatan mengadakan pertemuan keduanya. KH Mas Mansur kembali mengunjungi KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Kali ini KH Mas Mansur datang di waktu luang sehingga tidak akan ada gangguan seperti pada pertumuan sebelumnya. Ia benar-benar berusaha bertukar pikiran dengan KH Ahmad Dahlan karena jika ditinjau dari segi ilmu, KH Ahmad Dahlan adalah guru bagi KH Mas Mansur. Pada pertemuan ini KH Ahmad Dahlan menerangkan jika orang perlu kembali kepada tauhid, dan kehidupan umat Muslim secara sadar harus didasarkan pada ketentuan Islam. Sehingga alat terbaik untuk memperbaiki umat Islam di Indonesia hanyalah kitab suci Al-Qur’an dan Hadits dari Nabi Muhammad SAW dan para ulama terdahulu. Tapi bukan berarti pencarian terhadap ilmu pengetahuan mesti dikesampingkan, atau malah dihilangkan. Bahkan salah besar jika banyak umat Muslim yang masih menganggap bahwa Islam itu hanya soal shalat atau ibadat saja. Manusia hidup di dunia, kata KH Ahmad Dahlan, karenanya perlu juga dibekali pengetahuan, serta menaruh perhatian akan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. “Pendirian Kyai Haji Ahmad Dahlan ini sesuai pula dengan pendirian yang dianut oleh Kyai Haji Mas Mansur, yaitu bahwa sebab-sebab yang menjadikan kaum Muslimin Indonesia itu mundur, ialah karena pendidikan kepada akhirat terlalu dalam. Akibatnya mereka melupakan akan kehidupan dunianya. Mereka terlalu mendalam perasaan bahwa Al mautu haqqun (mati itu pasti), sehingga kaum Muslimin Indonesia lupa bahwa hayat itu mesti pula diperhatikan dan dimanfaatkan,” tulis Kutoyo. Menurut KH Mas Mansur, gurunya itu senang sekali mengupas keterangan-keterangan tafsir. Beliau selalu menyelidiki terlebih dahulu makna dalam setiap perkataan dalam ayat satu per satu. Kemudian perkataan dalam ayat itu dikaitkan dengan ayat-ayat lain. “Kemudian barulah beliau sesuaikan sehingga keterangan beliau itu hebat, dalam, serta tepat,” ucapnya. Bagi KH Ahmad Dahlan juga setiap hal yang bersangkutan dengan ibadah harus dikembalikan kepada ketentuan agama. Sedikit pun tidak boleh dilebihkan dan tidak ada yang perlu dikurangi. Meski begitu KH Ahmad Dahlan tetap memiliki sikap pendekatan ilmiah. Sebelum ilmunya disebar kepada umat, ia seringkali mengadakan penelitian secara teratur agar tidak ada kesalahan dalam penyampaiannya. “Kyai Haji Ahmad Dahlan selalu menganjurkan sedikit bicara dan banyak bekerja. Biar lambat dan tenang tetapi terus, lebih baik dari pada cepat tetapi terjungkir sesudah beberapa langkah,” ungkap Kutoyo.

  • Enam Kegagalan Mongol di Seluruh Dunia

    Satu demi satu kerajaan-kerajaan di dunia jatuh di bawah Kekaisaran Mongol. Kekuasaannyamenghubungkan Asia dan Eropa, menjadi yang terbesar dalam sejarah. Namun, gelombang kemenangan mereka bukannya tak terpatahkan. Paling tidak ada enam kegagalan yang pernah dialami Mongol.  Bulgar Volga Volga Bulgaria, negara berbahasa Turki di Eropa Timur yang eksis pada abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-13. Negara ini menguasai tanah luas yang sebagian besar berada di sekitar sungai Volga tengah dan Kama. Volga Bulgaria penting karena mengendalikan rute utama antara Asia Tengah dan Eropa utara. Mereka adalah orang-orang yang pertama masuk Islam di Eropa Timur. Awalnya hidup sebagai penggembala nomaden, sama seperti orang Mongol. P ada perkembangannya Volga Bulga ria mengembangkan peradaban perkotaan , namun sebagian besar penduduk nya tinggal di luar pusat kota. Volga Bulgaria memiliki dua kota, Bulgar dan Suvar. Mereka menguasai kawasan Sungai Volga di dekat wilayah yang hari ini merupakan Kazan. Pada 1223, Jochi, anak tertua Jenghis Khan, mengalami kekalahan. Mongol pun mengakui Volga Bulgariasebagai lawan terberat. Menurut John Man, sejarawan Inggris, dalam  Jenghis Khan, Legenda Sang Penakluk dari Mongolia , setelah mengalami kekalahan pertama yang juga satu-satunya, orang Mongol mundur sekaligus mencamkan dalam benak mereka rasa malu yang akan tetap bertahan. Balas dendam mereka baru bisa terwujud 15 tahun kemudian. Pada 1236, bangsa Mongol akhirnya menaklukkan negara Volga Bulgaria, yang akhirnya berkembang menjadi Kekhanan Kazan. Mamluk (Mesir) Pada 1258, Hulagu Khan menyerang Timur Tengah, menaklukkan Persia dan Baghdad di Irak. Ia kemudian mengirim utusan ke Sultan Qutuz. Penguasa Dinasti Mamluk di Mesir itu menolak mengakuinya bahkan mengeksekusi utusan itu. Dalam  Battles that Changed History  yang diterbitkan Smithsonian dijelaskan, Hulagu Khan yang sedang menghadapi masalah suksesi di kampung halamannya, mundur ke Azerbaijan. Ia bersama sebagian besar pasukannya, mundur ke wilayah yang lebih dekat dengan Mongol. Letnan Kitbuga tetap tinggal memimpin 20.000 penunggang kuda. Sultan Qutuz mengambil keuntungan untuk menyeberang dari Mesir ke Palestina. Pada 3 September 1258, pasukan Sultan Qutuz menghadapi Mongoldi Ain Jalut, Galilea. Jenderal Baybars mencontek taktik lawannya: menyembunyikan sebagian besar pasukan, lalu mundur dengan kekuatan kecil untuk menarik maju pasukan Kitbuga. Pasukan Mongol tertipu. Namun, meski sudah dihujani panah Mamluk, mereka masih berhasil membekuk sayap kiri tentara Mesir. Mamluk mendapat peluang ketika sekutu Kitbuga dari Suriah membelot. Tentara Mongol melarikan diri. Mamluk mengejarnya sambil memukul telak reputasi Mongol sebagai yang tak terkalahkan. Kendati Mongol kembali ke Suriah pada 1262, dan mencoba maju lagi ke Mesir beberapa kali 50 tahun kemudian, Ain Jalut tetap menandai batas ekspansinyadi Timur Tengah. Lukisan dari 1281 tentang kekalahan pasukan Mongol dan Armenia dari Dinasti Mamluk. (Wikipedia). Dai Viet (Vietnam) Mongol tiga kali menyerang Dai Viet di bawah kekuasaan Dinasti Tran (1225–1400 M). Serangan pertama dipimpin oleh Mongke Khan, cucu Jenghis Khan . Vu Hong Lien, sejarawan Vietnam-Inggris dalam  The Mongol Navy: Khubilai Khan’s Invasions in Dai Viet and Champa , menjelaskan Mongke mengirim adiknya, K h ub i lai Khan , ke Yunnan untuk membuka rute darat ke perbatasan selatan Cina, melalui wilayah Dai Viet , utara Vietnam saat ini. Tujuannya, untuk menjebak Dinasti Song di tengah dua kekuatan militer Mongol. Namun, Dai Viet menolak bekerja sama. K h ubilai Khan pun menugaskan Jend e ral Uriyangkhadai untuk menginvasi Dai Viet pada 1257. Menurut Vu Hong Lien, berdasarkan  Catatan Dinasti Yuan, Sejarah Vietnam , dan  Sejarah Singkat Annam,  bangsa Mongol hanya bertahan sembilan hari di ibukota Dai Viet, Thang Long (sekarang Hanoi). Mereka diserang penyakit dan kelaparan. Pada 1258, Uriyangkhadai manarik sisa pasukannya ke Yunnan. Sikap ramah Dinasti Tran terhadap orang-orang Dinasti Song tak luput dari perhatian Khub i lai Khan, yang sudah menjadi kaisar Dinasti Yuan. Permusuhan terbuka antara Dai Viet dan Dinasti Yuan meningkat pada 1276. Namun , Dai Viet terhindar dari invasi karena Mongol disibukkan dengan misi di Pagan (sekarang Myanmar ) dari 1271-1287. Invasi kedua Mongol ke Dai Viet terjadi pada 1285. Penyebabnya, Dinasti Tran menolak permintaan Jenderal Alihaya,untuk mengizinkan tentara Dinasti Yuan menyeberang tanah Dai Viet untuk menyerang Champa pada 1283. Kendati penuh persiapan, Mongol tetap kesulitan karena menghadapi serangan panah beracun yang menewaskan Jenderal Li Heng. Mongol mundur dengan sedikit prajurit. Invasi ketiga pada 1287-1288. Khubilai Khan menambah armadanya. Sebelas dari 70 kapal perbekalan diserang Dai Viet. Akibatnya, tentara Mongol kekurangan makanan. Ditambah lagi mereka kalah mahir dalam peperangan di laut. Tiga serangan Mongol ke Dai Viet pun berakhir dengan kegagalan. Invasi ketiga Mongol ke Đại Việt pada 1288. (Wikipedia). Jepang Setelah menaklukkan Dinasti Goryeo di Korea pada 1260, Khubilai Khan dua kali menyerang Jepang. Sebelumnya, pada 1266 ia mengirim utusan agar Jepang mengakui kekuasaan Mongol dan mengirim upeti. Sang shogun, Hojo Tokimune, menolak. Menurut Sejarawan Queens College dan Columbia University, Morris Rossabi dalam  Khubilai Khan: His Life and Times , Tokimune percaya diri dengan kekuatan para samurai. Ia juga menganggap pulau-pulau Jepang terlalu sulit untuk diakses. “Tokimune dan pendahulunya Hojo Masamura, menolak permintaan duta Mongol,” tulis Rossabi. Di satu sisi, menurut Rossabi, keputusan menaklukkan Jepang untuk mendapatkan nilai baik di mata bangsa Tiongkok. Ini merupakan bagian dari strategi Khubilai Khan untuk mengambil alih negeri-negeri yang secara berkala mengirimkan upeti kepada penguasa Dinasti Sung.Karenanya ia tak hanya meminta upeti dari Jepang. Ia juga mengirim tuntutan serupa ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Pagan (kini Myanmar), Dai Viet, dan Champa. Penolakan Jepang membuat Khubilai Khan untuk pertama kali terlibat dalam pertempuran laut.“Meski ia tak berniat (awalnya,  red .) melakukan perang angkatan laut, inisiatifnya terhadap Jepang membawanya pada keputusan yang mengerikan,” tulis Rossabi. Dua serangan Mongol ke Jepang digagalkan oleh cuaca buruk dan cacat dalam desain kapal. Armada mereka hancur. Serangan pertama pada 1274, dengan armada 900 kapal terdiri dari tentara Korea dan Mongol. Masih tak menyerah, pada 1281, Khubilai Khan menggunakan banyak pelaut Tionghoa yang lebih berpengalaman. Namun, lagi-lagi kandas akibat serangan topan. Samurai Jepang menyerang kapal Yuan pada 1281 (Wikipedia) Champa (Vietnam) Serangan ke Champa diawali dengan tuntutan Mongol yang menginginkan hubungan lebih dari sekadar mitra dagang. Champa diincarkarenalokasinya lebih menguntungkan untuk mengendalikan rute perdagangan maritim timur-barat. Champa selama bertahun-tahun secara rutin mengirimkan hadiah kepada penguasa Dinasti Song. Tujuannya untuk menjaga hubungan dagang dengan Cina agar terus lancar. Maka, Champa tak merasa aneh ketika Dinasti Yuan di bawah Khubilai Khan mengundangnyapada 1278. Raja Champa, Jaya Indravarman V, mengirim utusan setahun kemudian. Namun, kemitraan sudah berubah. Dari sudut pandang Dinasti Yuan, hadiah berarti upeti sebagai wujud bakti bawahan kepada yang lebih berkuasa. Ia memandang hubungan ini lebih dari sekadar mitra dagang, tapi penyerahan total kepada Dinasti Yuan. Selama 1276 hingga 1282 interaksi Champa dan Dinasti Yuan selalu bernada ancaman. K emungkinan invasi Mongol mendorong Champa mencari sekutu di seantero Laut Cina Selatan. Ia pun mempererat hubungan dengan Chenla, Dai Vi e t, dan Jawa. Hubungan dengan Jawa bahkan diikat dengan perkawinan. Prasasti Po Sah (1306) di dekat Phanrang menyebut seorang permaisuri Raja Champa adalah putri dari Jawa bernama Tapasi. Adik Kertanegara itu menikah dengan Raja Jaya Simhawarman III (1287-1307). Maka, ketika Mongol menyerang, Champa meminta bantuan kepada sekutu-sekutunya. Pada 19 Maret 1283, pasukan Mongol di bawah komando Sodu berada dalam kesulitan besar. “Pasukannya kurang, situasinya kritis, ia harus mengirim utusan meminta diselamatkan,” tulis Vu Hong Lien. Ditambah lagi Mongol harus menghadapi medan perang yang sulit. Hutannya penuh malaria dan penyakit tropis lainnya. Kendati pasukan Mongol telah diperkuat pasukan Cina utara dan selatan untuk membantu mengatasi iklim dan medan selatan, pasukannya tetap banyak yang tak bertahan. Majapahit (Jawa) Jawa tak luput dari incaran Mongol. Pada 1280, 1281, dan 1286, Khubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari untuk meminta raja mengakui kekuasannya. Namun, menurut Slamet Muljana dalam  Menuju Puncak Kemegahan,  Raja Kertanegara yang sadar akan keagungannya dan kekuasannya tidak sudi menyerah. Utusan Mongol terakhir datang pada 1289. Kali ini mukanya dirusak oleh Kertanegara. Untuk menghukum Kertanegara, Khubilai Khan mengirim angkatan perang  ke Jawa pada 1292. Namun, Kertanegara telah tewas di tangan Jayakatwang, penguasa Glang Glang. Kedatangan pasukan Mongol dimanfaatkan Raden Wijaya, menantu Kertanegara , untuk menyerang Jayakatwang. Mongol meminta Raden Wijayamengakui kekuasaan Khubilai Khan. Namun, ia mengajukan syarat: akan tunduk kalau Mongol membantunya melawan Jayakatwang. Pada 20 Maret 1293, tentara gabungan Raden Wijaya dan Mongol mengepung Jayakatwang. Pasukannya kocar-kacir dan terjun ke Sungai Brantas. Lebih dari 5.000 orang mati.  Jayakatwang dan pengikutnya menyerah.  Setelah kemenangan itu, Raden Wijaya minta izin pulang ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar. Ternyata, itu cuma dalih. Raden Wijaya dan pasukan Majapahit berbalik menyerang Mongol hingga mundur ke laut. Selain karena muslihat Raden Wijaya, ada pendapat bahwa kekalahan Mongol diakibatkan strategi pasukan berkuda mereka tidak cocok dipakai di Jawa. Adieyatna Fajri, dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada, mengatakan di Jawa wilayah dengan padang rumput sulit ditemui. Sementara tentara Mongol datang ke Jawa via Tuban. Pada abad ke-13, sebagian besar Jawa masih ditutupi hutan. Karenanya pasukan Mongol tak bisa berperang secara efektif. “Kuda itu paling cocok habitatnya di Asia Tengah yang daerahnya stepa,” kata Adieyatna. Kondisi Nusantara berupa kepulauanjuga menyulitkan pasukan Mongol. Sebelum tiba di Jawa, mereka harus berlayar mengarungi samudera selama 68 hari. Berkat hubungan baik Kertanegara dengan Champa, Raja Jaya Singhawarman III tidak mengizinkan armada Mongol menurunkan jangkar di pelabuhan Champa untuk mengisi perbekalan dan beristirahat. Mongol kehilangan 3.000 prajurit. Panglimanya, Shin Bi dan Iki Mese dihukum. Mereka gagal menunaikan tugas. Sisanya kembali ke Tiongkok pada 24 April 1293. Dua tahun setelah Kertanegara dihabisi Jayakatwang, Khubilai Khan wafat pada 18 Februari 1294. Akhirnya, ambisi Khubilai Khan tak melulu terpenuhi. Kendati demikian, pasukan Mongol tak pulang dengan tangan kosong. Mereka membawa lebih dari seratus tawanan, peta, daftar penduduk, surat bertulis dari Bali, dan barang lainnya yang bernilai sekira 500 ribu tail perak.

  • M. Jusuf Kerjai Solichin GP Saat Tertidur

    PERINTAH Presiden Sukarno agar Kahar Muzakkar ditangkap hidup atau mati sebelum 17 Agustus 1964 menjadi tugas berat yang harus dilaksanakan dengan sukses oleh Pangdam Hasanuddin Kolonel M. Jusuf. Untuk itu, Jusuf meminta tambahan pasukan dari Siliwangi. “Untuk menumpas Kahar Muzakkar, selain berhasil mendapat 2 brigade infantri dari Siliwangi plus Yon 330, Panglima Jusuf juga mendapat dukungan sejumlah perwira staf dari Siliwangi. Salah seorang yang kemudian berperan penting dalam operasi pemulihan keamanan di Sulawesi Selatan adalah Kolonel Infantri Solichin GP. Oleh Jusuf ia dijadikan Kepala Staf Operasi ‘Kilat’,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit. Keputusan Jusuf memilih Solichin GP tepat. “Penghujung 1964 pasukan Siliwangi, di bawah komando Solichin, berhasil memburu Kahar Muzakkar dan sisa-sisa gerombolan DI/TII sampai memasuki wilayah Sulawesi Tenggara,” tulis Syafruddin Usman dalam Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar .  Operasi militer yang digelar mulai April 1964 itu berhasil diselesaikan pada 3 Februari 1965 dengan tertembaknya Kahar, mantan atasan Jusuf selama revolusi. Karena kinerja apik Solihin itulah Jusuf tak pernah melupakannya. Termasuk ketika Jusuf sudah diangkat Presiden Sukarno menjadi Menteri Perindustrian Ringan di Kabinet Dwikora I. Saat menjabat sebagai menteri itu Jusuf masih tetap menyandang jabatan Pangdam Hasanuddin karena Menpangad Letjen A. Yani sampai wafatnya belum sempat menunjuk pengganti Jusuf. Akibatnya, Jusuf mesti mondar-mandir Jakarta-Makassar. Menetapnya Jusuf di Jakarta baru terjadi setelah G30S. Menpangad Jenderal Soeharto yang membutuhkan tenaga Jusuf, akhirnya mencari orang yang pas untuk meminpin Kodam Hasanuddin. Setelah berkonsultasi dengan Jusuf, Soeharto menunjuk Solichin. Penunjukan itu tak diberitakan langsung kepada Solichin. Akibatnya ketika dia bertemu Jusuf dalam sebuah kesempatan di Makassar tak lama kemudian, dia menolak ajakan Jusuf untuk menghadiri acara syukurannya karena merasa lelah. Namun karena Jusuf memaksa, Solichin tak kuasa menolak. Sesampainya di Jakarta, Solichin tak dibawa Jusuf ke rumahnya atau penginapan, tapi langsung ke tempat acara. Tenda dan deretan kursi serta podium langsung menyambut pandangan matanya. Namun karena lelah dan kantuk yang tak tertahankan, Solichin akhirnya mulai tertidur saat Jusuf menyampaikan pidatonya. Meski masih mendengar secara samar ketika Jusuf mengatakan tugasnya di Makassar sudah berakhir mulai hari itu, Solichin akhirnya kalah oleh kantuknya dan pulas. Sementara, Jusuf terus melanjutkan pidatonya yang juga diisi dengan kejahilannya. “Selanjutnya saya akan melaksanakan tugas baru di Jakarta. Yang akan menggantikan tugas saya sebagai Panglima di Kodam XIV Hasanuddin ini adalah perwira yang sedang ngorok di sebelah saya ini,” kata Jusuf, dikutip Atmadji. Pidato Jusuf sontak disambut gelak-tawa para hadirin. Sebaliknya, pidato itu membuat panik Letnan Said, ajudan Solichin. Sang ajudan buru-buru membangunkan komandannya sambil memberitahu apa yang baru saja dikatakan Jusuf. Solichin yang kaget setelah bangun, langsung duduk dengan tegak. Sikap itu tak mendapat respon apapun dari Jusuf. Usai acara, kejahilan Jusuf pun diprotes Solichin. “Pak, kalau menunjuk saya menjadi panglima, kasih tahu dulu dong. Jangan di saat saya lagi tidur. Saya jadi malu, nanti bagaimana penilaian rakyat kepada saya?” “Ah, kau bereskan saja nanti!” jawab Jusuf santai.

  • Konflik Muslim-Hindu India dari Masa ke Masa

    DI balik melesatnya India sebagai salah satu kekuatan dunia di bidang militer dan gemerlapnya industri hiburan lewat Bollywood-nya, negeri itu dari masa ke masa senantiasa menyimpan konflik bersandarkan agama. Pekan ini minoritas muslim di negeri itu kembali terjebak dalam kerusuhan yang cenderung mendekati genosida dari mayoritas warga Hindu. Kerusuhan Muslim-Hindu kembali meletus di Delhi sepanjang Minggu hingga puncaknya Selasa (23-25 Februari 2020). Kerusuhan bermula dari unjuk rasa kaum muslim yang memprotes Amendemen Undang-Undang Kewarganegaraan yang kental nuansa anti-Islam. Amandemen itu berbunyi bahwa imigran Sikh, Buddha, Hindu, hingga Kristen dari tiga negara tetangga: Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan, dibolehkan menjadi warga negara India dengan syarat yang dipermudah. Bila sebelumnya regulasi naturalisasi jadi warga negara India mensyaratkan wajib tinggal di India selama 11 tahun, dengan amandemen kini syarat itu cukup enam tahun saja. Para politisi BJP (Bharatiya Janata Party) yang menopang kekuasaan Perdana Menteri India Narendra Modi, membela amandemen itu. Pengecualian terhadap Muslim, kata mereka, lantaran di tiga negara itu sudah mayoritas muslim dan tak semestinya jadi imigran ilegal di India. Sontak pernyataan itu menuai penentangan banyak pihak yang menyimpulkan amandemen itu justru akan mendelegitimasi warga Muslim. Protes pun menyeruak kemudian dan mendapat tentangan dari mayoritas kaum Hindu. Beberapa korban mengklaim barisan kepolisian turut membantu massa anti-Islam melakukan serangan terhadap warga Muslim di titik-titik konflik di timur laut India dan utamanya di Maujpur, Mustafabad, Jaffrabad, dan Shiv Vihar. Tak hanya rumah-rumah dan pertokoan, masjid-masjid pun turut jadi sasaran amuk massa anti-Islam. “Massa membakar rumah, toko dan mobil saya. Saat saya berusaha memadamkan api, massa melemparkan batu ke arah saya. Seseorang bahkan melempar gas air mata ke dalam rumah saya. Dari samping rumah, saya melihat polisi dan massa bersama-sama melakukan pembakaran. Saya dan keluarga saya harus melarikan diri melompat dari balkon atas,” kata Bhura Khan lirih kepada BBC , Rabu (26/2/2020). Pengamat politik Universitas Brown, Bhanu Joshi, menyatakan kepada BBC  juga bahwa kerusuhan massa anti-Islam itu memang “disokong” polisi atau polisi mendiamkan tindakan massa sehingga kejadian yang lebih parah terjadi. Itu cenderung genosida terhadap Muslim seperti pada kerusuhan 1984 dan 2002 yang bisa saja terulang. Dalam tiga hari kerusuhan di Delhi itu, sekira 20 warga Muslim tewas. Dendam Masa Silam Aksi-aksi kekerasan terhadap Muslim di India tentu  bukan perkara baru. Akarnya jauh membentang ke belakang di abad ke-8 (tahun 712-740) seiring kampanye penaklukan Asia Selatan (Afghanistan, Pakistan, dan India) oleh Kekhalifahan Umayyah. Hingga abad ke-16 tak terkira berapakali  konflik terjadi antara kekhalifahan dari Jazirah Arab dengan dinasti-dinasti Hindu di India. Dalam tulisannya yang dimuat di Violent Internal Conflicts in Asia Pacific , “Hindu-Muslim Conflict in India in a Historical Perspective”, Marc Gaborieau memaparkan penyebab konflik selain karena kampanye penyebaran Islam dari Jazirah Arab ke India di Abad Pertengahan itu, kekerasan sporadis Muslim-Hindu juga tak pernah punah gegara sejumlah kebijakan kolonial Inggris sejak abad ke-19. Salah satu akibatnya, pemisahan India-Pakistan pada 1947. Sementara konflik-konflik di abad ke-20 turut disuburkan oleh Islamofobia yang dipicu sejumlah aksi terorisme mengatasnamakan Islam. “Karena hegemoni politik kaum Muslim di Asia Selatan didirikan lewat penaklukan, bukan ekspansi damai seperti di Indonesia dan itu berjalan selama enam abad sejak berdirinya Kesultanan Delhi di awal abad ke-13 hingga kemunduran mereka di abad ke-18 yang disertai penaklukan Inggris dari 1765-1818,” ujar Gaborieau. Ilustrasi kampanye Pasukan Kekhalifahan Umayyah untuk menaklukkan Tanah India (Foto: Youtube MyNation) Pemicu konflik yang paling banyak mencetuskan kerusuhan di era kolonialisme Inggris adalah soal ritual agama. G.R. Thursby dalam Hindu-Muslim Relations in British India  menguraikan, di era itu kebanyakan warga Muslim dan Hindu tinggal berdampingan namun jarang harmonis. Banyak ritual warga Hindu menggunakan tabuhan gendang yang nyaring dan itu dianggap mengganggu ibadah salat umat Muslim. Sebaliknya, ritual kurban Idul Adha di mana banyak sapi disembelih bikin sakit hati umat Hindu yang mensakralkan sapi. “Setidaknya tercatat ada 31 kerusuhan besar sepanjang 1923-1928 dan kebanyakan terjadi di dekat masjid. Seperti kerusuhan Kalkuta pada April-Mei dan Juli 1926 yang menewaskan 140 orang. Penyebabnya gara-gara seorang penabuh gendang bersikeras memainkan musik dekat masjid di waktu salat untuk prosesi Arya Samaj,” ungkap Thursby. Kerusuhan Berujung Pembantaian Pasca-pemisahan India dan Pakistan, lanjut Thursbys, sejumlah kerusuhan yang terjadi justru ditunggangi isu-isu politik. Kaum Muslim dengan kendaraan politik All-India Muslim League masih mempertahankan hegemoni politik masa lalunya. Sementara mayoritas kaum sayap kanan nasionalis-Hindu berusaha mengikisnya. Kerusuhan Muslim-Hindu skala besar terjadi pertamakali di India merdeka pada 13 Januari 1964 di Kalkuta. Kronologinya bermula dari hilangnya sebuah benda keramat di sebuah masjid di Srinagar, ibukota Jammu dan Kashmir. Kaum Muslim menuduh pelakunya orang-orang Hindu. Sebagai pelampiasan, mereka menyerang pengungsi Hindu yang baru keluar dari Pakistan Timur (kini Bangladesh). Serangan itu menyebabkan 29 pengungsi Hindu tewas. Kejadian itu memicu pembalasan oleh kaum Hindu di Bengali Barat dan menjalar ke Kalkuta. Di kota itu tercatat setidaknya 100 warga Muslim tewas dan 438 luka-luka. Sementara, 70 ribu warga Muslim lainnya yang menjadi tunawisma sebagai imbas pengeroyokan, penusukan, pemerkosaan, hingga pembakaran oleh massa anti-Islam. Kerusuhan besar Muslim-Hindu berikutnya terjadi di Gujarat medio September-Oktober 1969. Mengutip laporan Depdagri Negara Bagian Gujarat yang disusun Pingle Jagamohan Reddy dkk. pada 1971, kerusuhan itu menewaskan 24 warga Hindu dan 430 muslim. Kerusuhan yang berupa pembunuhan, pembakaran, dan penjarahan itu dibidani perselisihan antaretnis dan agama terkait urusan perut. Warga Hindu merasa dirugikan dengan membanjirnya imigran Muslim yang dianggap merebut lapangan pekerjaan mereka di pabrik-pabrik. Kerusuhan pun pecah pada 18 September yang menyebar di kota-kota di Gujarat, seperti Ahmedabad, Vadodara, Mehsana, Nadiad, Anand, dan Gondal. Sempat reda pada 26 September, kerusuhan itu membara lagi sepanjang 18-28 Oktober. Kerusuhan tak kalah besar terjadi di Desa Nellie, Assam pada 18 Februari 1983, di dikenal sebagai “Pembantaian Nellie”. Pembantaian terhadap pengungsi Muslim dari Bangladesh itu terjadi akibat gerakan dari organisasi pemuda All Assam Students Union dan All-Assam Gana Sangram Parishad yang menentang imigran Muslim Bangladesh. Ahmedabad terbakar kala terjadi Kerusuhan Gujarat 2002 (Foto: Wikipedia) Kejadiannya bermula dari keputusan Perdana Menteri India Indira Gandhi yang memberi hak suara dalam pemilu kepada enam juta imigran Muslim Bangladesh yang mengungsi di Desa Nellie. Keputusan itu ditentang oleh organisasi pemuda Hindu All Assam Students Union dan All-Assam Gana Sangram Parishad. Kedua organisasi terus menyebarluaskan sentimen anti-imigran Muslim dan direspon orang-orang Suku Tiwa (Lalung). Mereka pun bersatu menyerang permukiman imigran di Desa Nellie. Pembantaian pada 18 Februari itu terjadi selama enam. Tak pandang bulu, mereka membunuhi perempuan maupun anak-anak imigran Bangladesh. Rumah-rumah dan tanah imigran juga dirusak. Militer baru berhasil mengkondusifkan situasi empat hari berselang. Akibat Pembantaian Nellie, menurut pemerintah India, 2.191 jiwa melayang. Beberapa sumber tak resmi menyebutkan jumlah korban lebih dari 10 ribu. Pembantaian Nellie jadi genosida terburuk di dunia sejak Perang Dunia II yang dialami jutaan Yahudi oleh Nazi-Jerman. Kerusuhan tak kalah memilukan terjadi di Bhalgapur pada Oktober-November 1989. Kerusuhan dipicu oleh munculnya sejumlah hoaks terkait isu politik. Akibatnya, warga Muslim bentrok dengan polisi yang dibantu warga Hindu yang melakukan pembakaran, penjarahan, hingga pembunuhan di Distrik Bhalgapur. Sepanjang dua bulan masa mencekam itu, lebih dari seribu jiwa melayang, 900 jiwa di antaranya warga Muslim. Belum lagi kerusuhan Bhalgapur hilang dari ingatan, kerusuhan kembali pecah di Mumbai 6 Desember 1992-26 Januari. Pemicu kerusuhan adalah peledakan Masjid Babri oleh para aktivis Hindu dari Partai Shiv Sena. Sekira 900 orang tewas akibat kerusuhan itu. Kerusuhan yang juga bikin pedih kembali terjadi pada Februari-Maret 2002, dikenal sebagai “Pembantaian Gujarat”. Menukil artikel Christophe Jaffrelot bertajuk “Communal Riots in Gujarat: The State at Risk?” yang dimuat dalam Heidelberg Papers in South Asian and Comparative Politics , korban tewasnya lebih dari seribu jiwa, 790 warga Muslim dan 254 Hindu. PM Modi yang pada kejadian itu masih menjabat Ketua Menteri di Gujarat, disebutkan Jaffrelot turut mengorkestrasikan pembantaian oleh Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), organisasi nasionalis Hindu di mana Modi merupakan mantan kadernya.

  • Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1

    Pada Januari 1926, tiga orang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) diburu pemerintah kolonial Belanda. Mereka menghilang dan kemudian diketahui melarikan diri ke Singapura. Ketiga pemimpin itu adalah Musso, Soegono, dan Budisucitro. Nama terakhir kemudian ditangkap pasca gagalnya pemberontakan PKI. Dia dibuang ke Boven Digul dengan nomor deportasi 1. Di kamp Tanah Merah, selain terkenal sebagai buangan nomor 1, Budisucitro juga cukup terhormat. Bersama Aliarcham, ia seringkali menjadi perwakilan para tahanan dalam berbagai persoalan. Misalnya ketika tunjangan 30 sen perhari hendak dicabut, Budisucitro, Aliarcham, dan Said Ali, dikirim untuk menanyakan keputusan itu. Adu debat dengan kontrolir membuahkan hasil, tunjangan tidak jadi dicabut. Peran Budisucitro berlanjut. Pada 24 hingga 27 Januari 1928, diadakan kongres untuk membentuk Centrale Raad Digoel  (CRD) atau Dewan Pusat Digul. CRD berisi 21 anggota yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan langsung. Pemilihan tersebut baru rampung pada 27 Februari 1928. Budisucitro berada di urutan kedua dengan mendapat 462 suara, sedangkan urutan pertama dipegang oleh Aliarcham dengan 515 suara. CRD kemudian membentuk komisi , sebuah tim yang akan menyusun Anggaran Dasar CRD. "Terpilih Aliarcham, Soenarjo dan Budisucitro," tulis Mas Marco Kartodikromo dalam Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel . Sejak awal masa pembuangan, telah terjadi perpecahan karena perdebatan tentang siapa yang bertanggungjawab terhadap gagalnya pemberontakan. Perpecahan membelah kaum buangan menjadi dua. Mereka yang tetap "keras" terhadap kolonialisme dan mereka yang mulai "jinak". Sebagai mantan pemimpin PKI, Budisucitro tentu saja mengambil sikap tegas terhadap kolonial. Bersama Mas Marco Kartodikromo, Thomas Najoan dan pemimpin PKI yang lain, ia dipindahkan ke Gudang Arang, lalu ke Tanah Tinggi. "Ketika pada suatu saat pertentangan hebat merobek-robek Tanah Merah, pemerintah Belanda memandang Budisucitro menjadi ancaman, maka ia pun dibuang ke Tanah Tinggi di hulu," tulis Molly Bondan dalam Spanning The Revolution . Gudang Arang letaknya beberapa puluh kilometer di hulu Sungai Digul. Sementara Tanah Tinggi juga terletak di tepi Sungai Digul. Dibuang ke Tanah Tinggi berarti menjalani kehidupan yang lebih berat dan lebih sepi dari kamp Tanah Merah. Tempat ini ternyata berhasil membuat para pembangkang menyerah. "Di Tanah Tinggi, Budisucitro tanpa disangka-sangka menyerah dan pulang ke Tanah Merah. Begitu pula dengan Najoan dan Marco. Padahal, Budisucitro, Najoan, dan Marco termasuk pimpinan PKI yang keras," tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan . Begitu kembali dari Tanah Tinggi, Budisucitro diangkat menjadi kepala kampung. Jabatan barunya mengubah penampilannya pula. Ia terlihat memakai jas putih, celana putih, lengkap dengan lars dan helm. Sejak itu pula ia mulai tidak disukai sebagian besar orang buangan. Musababnya, pajak pendapatan mulai ditarik dari para tahanan. "Kamu tidak akan pernah dipulangkan jika tidak mau membayar," kata Budisucitro untuk menakut-nakuti tahanan yang enggan membayar. Mereka yang berkeinginan dipulangkan ke kampung halaman kemudian akan berusaha mencari uang dan membayar kepada Budisucitro. Budisucitro kemudian menyerahkan sen demi sen kepada pemerintah kolonial. Padahal, ia tidak mendapat bayaran sepeser pun atas pekerjaannya itu. Semakin hari Budisucitro menjadi pembicaraan dan cemoohan karena dianggap telah berkhianat terhadap partainya dahulu. Bahkan, mereka menjulukinya "Stalin Setalen" yang artinya Stalin 25 sen. Rumah Budisucitro berada di lokasi yang strategis, di sisi persimpangan jalan, tempat bertemunya jalan dari dermaga dengan jalan yang membelah Kampung B dan Kampung C. Di sebelah kirinya adalah rumah yang diberikan kepada Bung Hatta ketika Bung Hatta dibuang ke Digul pada 1935. "Barangkali inilah alasannya, mengapa rumah itu disediakan untuk Bung Hatta; cocok bagi penguasa yang mau memata-matainya," tulis Molly Bondan. Di Digul, Kadirun, mertua M.H. Lukman, mendirikan Malay-English School,  sekolah bagi anak-anak Digul. Sekolah ini kemudian dimatai-matai oleh Budisucitro. Budisucitro mengumpulkan laporan tentang kejadian-kejadian kecil hingga pertemuan-pertemuan sambil lalu. Ia kemudian menyusun laporan sebagai bukti bahwa beberapa tahanan tengah merencanakan pemberontakan. Budisucitro bahkan mendesak pemerintah untuk membuang mereka ke Tanah Tinggi. Budisucitro tampaknya telah benar-benar berubah. Tindakannya menunjukan bahwa ia telah berhasil dijinakkan dan bahkan mengabdi pada pemerintah kolonial. Perubahan sikapnya itu akhirnya membuahkan hasil bagi dirinya sendiri. Buangan nomor 1 itu dipulangkan ke Jawa dengan kapal Albatros pada 19 Maret 1938. "Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Budisucitro masuk Partai Sosialis Amir Sjarifuddin, barangkali ia takut masuk Partai Komunis baru karena para anggotanya yang lama tentu masih ingat pada pengkhiatannya ketika di Digul," sebut Molly Bondan. Pada 1948, menurut surat kabar yang dibaca Mohammad Bondan, suami Molly, Budisucitro ditembak mati oleh Tentara Nasional Indonesia di daerah Pati, Jawa Tengah. Saat itu diduga Budisucitro hendak meloloskan diri dari Madiun, di mana ia terlibat pemberontakan. Menurut Koesalah Soebagyo Toer dalam Tanah Merah yang Merah, Budisucitro sempat menjadi anggota Badan Eksekutif Keresidenan Pati, dengan Residen Milono. Peristiwa Madiun membuatnya dipenjara di Blora hingga kemudian ditembak mati oleh Polisi Istimewa di utara markas kepolisian. "Ia ditembak di kepala hingga batok kepalanya tersingkap. Korban-korban penembakan waktu itu diketahui sebelumnya oleh penghuni penjara, karena pembuat nisan dengan namanya adalah mereka," tulis Koesalah berdasarkan wawancara dengan Sarmidi, seorang mantan pejuang kemerdekaan.

  • Alex Kawilarang Anak Mami

    Alexander Evert Kawilarang atau lebih dikenal dengan nama Alex Kawilarang dikenal sebagai komandan kharismatik di berbagai palagan. Kemampuan tempurnya telah terasah sejak menjadi taruna Akademi Militer Kerajaan Belanda (KMA) di Bandung. Alex dikenal piawai main anggar, jago lempar pisau, dan ahli senapan. Jebolan KMA angkatan 1941 ini lulus dengan predikat mengaggumkan kendati dirinya tergolong taruna bumiputra. “Saya mendapat nilai yang bagus. Malahan yang mendapat tanda istimewa sebagai satu-satunya di seluruh KMA yang lulus dengan predikat: “ahli segala senjata” ( meester in all wapens ),” kenang Kawilarang dalam otobiografinya A.E. Kawilarang untuk Sang Merah Putih yang disusun Ramadhan K.H. Dalam usianya yang masih terbilang muda (28 tahun) Alex telah menjadi panglima untuk Teritorium I/Sumatra Utara (kini Kodam I/Bukit Barisan). Wilayah operasi yang dibawahi Kawilarang meliputi Aceh, Sumatra Timur, dan Tapanuli.  Salah satu peran terpenting Kawilarang adalah menyelesaikan pertikaian para perwira setempat yang melibatkan Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau. Terhitung sejak akhir 1948 sampai awal 1950, Alex Kawilarang bertugas di Sumatra Utara.   Di balik wibawa dan keberaniannya di medan tempur, siapa sangka jika Alex menjadi penurut bila berhadapan dengan sang ibu, Nelly Betsy Mogot-Kawilarang. Ya, Alex Kawilarang ternyata “anak mami”. Kisah ini terjadi ketika Alex menjadi Panglima Teritorium VII/Indonesia Timur (kini Kodam XIV/Hasanuddin) pada 1950. Sekali waktu, Alex mengajak ajudannya, Andi Muhammad Jusuf menginap di kediamannya di Makassar. Turut pula Letnan Satu Rais Abin, perwira urusan personel dan logistik dari pasukan Batalion 706 Kopas C Sunda Kecil. Rais Abin saat itu sedang bertugas di Makassar.   “Kawilarang sangat dicinta para prajuritnya. Dia sangat memuja dan menyegani ibunya,” ujar Rais Abin dalam memoarnya Mission Accomplished yang disusun Dasman Djamaluddin. Jusuf dan Rais Abin merupakan perokok. Sewaktu menginap di rumah Alex, mereka pun  tidak sungkan merokok di kamar. Namun keduanya tidak mengetahui bahwa Nyonya Nelly, ibunya Kawilarang akan datang berkunjung. Besoknya, Kawilarang memerika kamar yang ditempati Jusuf dan Rais Abin. Tempat itu disterilisasi dari asap ataupun puntung rokok.    “Jangan ada asbak,” kata Kawilarang, “Mami akan datang.” Meski diatur seperti itu, Rais Abin justru menghormati pribadi Kawilarang. Dia melihat betapa Kawilarang sangat hormat dan patuh kepada ibunya. Ketika ibunya datang berkunjung, situasi rumah pun aman terkendali. “Terhadap ibunya, kami lihat ia hampir seperti anak kecil,” kenang Rais Abin.   Setelah purnatugas dari jabatan Panglima Teritorium VII, Kawilarang bertugas di Jawa Barat sebagai Panglima Teritoium III/Jawa Barat (kini Kodam III/Siliwangi). Kemudian Kawilarang bertugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia untuk Amerika Serikat. Reputasi cemerlang Kawilarang pudar setelah mendapat cap panglima pembangkang karena terlibat dalam pemberontakan Permesta. Padahal, sewaktu menjadi Panglima di Jawa Barat, Kawilarang punya jasa merintis pembentukan korps pasukan elite TNI yang kita kenal hari ini dengan nama Kopassus .

  • Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad

    PERDANA Menteri Malaysia Mahathir Mohamad melepaskan jabatannya pada Senin, 24 Februari 2020. Koalisi Pakatan Harapan yang ia bentuk bersamaAnwar Ibrahimpada 2018 pun turut bubar.“Dr. M”, julukan Mahathir, juga mundur dari kursi tertinggi Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM),kendaraan politikyang didirikannya pada 2016. Mahathir memang bukan termasuk jajaran “Bapak Pendiri Bangsa” negeri jiran. Namun 22 tahun pemerintahannya begitu sarat kontroversi, membuatnya dikenang bak “Macan dari Negeri Jiran”. Didikan Keras Zaman Sulit Keras dan kontroversial. Dua karakter itu melekat pada sosoknya sepanjang 22 tahun memimpin Malaysia. Dua karakter itu jelas buah dari pertautan sifat pribadinya dan pendidikan serta lingkungan tempat masa kecilnya bertumbuh. Dalam memoarnya, A Doctor in the House , ia mengisahkan garis keluarganya. Ia lahir pada 10 Juli 1925 dari pas angan Mohamad Iskandar asal Penang dan Wan Tempawan yang masih kerabat dengan Kesultanan Kedah . Mahathir lahir sebagai anak kesembilan dari 10 bersaudara di rumah sederhana di perkampungan Seberang Perak, Alor Setar yang merupakan ibukota Kesultanan Kedah. Meski bukan bangsawan, Iskandar punya kedudukan lumayan tinggi. Kesultanan Kedah mendatangkannya khusus dari Penang Free School pada 1908 untuk mengepalai sekolah menengah (SMP, red. ) berbahasa Inggris pertama di Kedah, Government English School (kini Kolej Sultan Abdul Hamid). Sekolah itu merupakan sekolah khusus kaum elit dan aristokrat Kedah. Namun besarnya keluarga membuat biaya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi Iskandar besar pula. Akibatnya Mahathir dan saudara-saudaranya hanya bisa memulai pendidikan dasardi sekolah rakyat. “Orangtua saya tak mampu belikan sepatu, oleh karenanya saya bersekolah tanpa sepatu. Selepas sekolah selalu berlanjut belajar mengaji Al-Quran,” kataMahathir di memoarnya. Selepas mengaji punMahathir dan saudara-saudaranya harus langsung pulang karena sang ayah sudah menunggu mereka untuk mengajarkan bahasa Inggris pada petang. Pasalnya, anak-anak Iskandar tak mendapat pelajaran bahasa Inggris di sekolah. Harapan Iskandar, agar mereka bisa masuk GES yang ia dirikan lewat jalur selektif, semacam beasiswa. Masa kecil Mahathir Mohamad yang penuh perjuangan sebagai anak dari keluarga kelas menengah (Foto: cronkitehhh.jmc.asu.edu ) Namun dari beberapa anak Iskandar, hanya Mahathir yang bisa lulus. Saudari-saudari Mahathir pun tak diterima GES yang saat itu baru membuka asrama putri. “Dia (ayah) sangat kesal karena dia sendiri jadi pejabat pemerintah dan dia diundang ke Kedah untuk membangun sebuah sekolah. Akan tetapi sekolah putri yang dihadirkan kemudian di sekolah itu, menolak menerima saudari saya,” sa mbu ng Mahathir. Meskiberjasa ikut membangun sekolah itu, Iskandar dianggap sekadar bawahan dan pegawai pemerintah non-bangsawan. Ibunda Mahathir walau punya gelar “Wan”, hubungan kekerabatannya dengan kesultanan terbentang jauh. Keluarga Iskandar pun dianggap keluarga biasa dari kalangan “proletar”, sebagaimana yang diingat Tunku Abdul Rahman, pangeran Kedah yang menjadi perdana menteri pertama Malaysia. “Dia (Mahathir) bukan siapa-siapa. Ayahnya hanya pegawai bawahan biasa di Kedah. Saya tidak bergaul dengan ayahnya. Kami punya perkumpulan di Kedah, seperti perkumpulan pegawai dan perkumpulan anggota kerajaan dan lain-lain. Mereka punya perkumpulan pegawai bawahan sendiri,” ujar Tunku Abdul Rahman, dikutip Barry Wain dalam salah satu biografi Mahathir, Malaysian Maverick: Mahathir Mohamad in Turbulent Times. Biografi yang dituliskan jurnalis politik asal Australia itu juga menyebutkan latarbelakang keluarga Mahathir yang sensitif dan tak diungkap di memoar Mahathir. “Mohamad Iskandar adalah ‘Melayu Penang’, atau lebih tepatnya Jawi Peranakan, yang artinya orang lokal yang terlahir muslim dengan darah India. Iskandar, ayah Mohamad, adalah imigran dari selatan India yang merantau ke British Malaya dan menikahi orang Melayu,” tulis Wain. Mahathir Mohamad (kedua dari kanan) saat meneruskan sekolah pada 1946 setelah sempat terhenti di masa perang (Foto: mtholyoke.edu ) Latarbelakang leluhurnya itu tak pernah Iskandar kisahkan secara terang-benderang kepada keluarganya, termasuk Mahathir. Sebaliknya, Mahathir juga tak pernah bertemu kakek dari garis ayahnya lantaran Iskandar sudah wafat sebelum Mahathir lahir. “Mohamad Iskandar tak mengenal saudaranya dari India, juga tak bicara bahasa India. Walau beberapa anggota keluarga berspekulasi bahwa Iskandar berasal dari Kerala, Mahathir sendiri justru tak yakin kakeknya merupakan imigran, karena tak ada catatan tertulis tentang sosoknya dan ayahnya (Mohamad Iskandar) tak pernah menyebut tentangnya. Mahathir juga tak pernah membicarakan tentang keluarganya secara terbuka ke publik,” sambung Wain. Kedai Kopi hingga Panggung Politik Usia Mahathir baru sekira 16 tahun ketika Jepang mendepak Inggris dan menggantikan kolonialis lama itu menduduki Semenanjung Malaya. Seperti kebanyakan pemuda Melayu, hidup Mahathir mesti berbelok tajam dari mimpi awalnya akibat pendudukan Jepang. “Saya tak pernah menyangka Jepang akan menginvasi Malaya, namun runtuhnya Prancis di Eropa membuat Jepang bisa menempatkan pasukan di Indocina Prancis. Inggris yang khawatir , memperkuat Alor Setar dengan pasukan East Surrey Regimental dan juga pasukan Gurkha,” k at a Mahathir dalam memoarnya. Seme n tara, pemerintahan Kesultanan Kedah menerapkan kebijakan ARP (Air Raid Precautions). Mahathir di barisan pelajar turut serta masuk Auxiliary Fire Service. Ia dilatih mengatasi kebakaran untuk antisipasi pemadaman api jika terjadi pemboman oleh Jepang. Namun ketika Jepang masuk Malaya via Kelantan pada 8 Desember 1941, pasukan Inggris malah mundur. “Dengan invasi Jepang, roda pemerintahan (kesultanan) Kedah berhenti berputar dan semua saudaraserta saudara ipar saya yang bekerja di pemerintahan tiba-tiba harus menganggur. Para pedagang Cina melarikan diri dan kemudian penjarahan marak terjadi,” sambungnya. Banyak kawan Mahathir kemudian bergabung ke Heiho atau barisan tentara pembantu Jepang. Beberapa milisi, sebagaimana di Indonesia, pun bertumbuhan.Antara lainKesatuan Melayu Muda (KMM). Seingat Mahathir, ia pernah mendengar kabar bahwa Sukarno yang kelak jadi presiden pertama Indonesiasempat melawat ke Malaya bertemu para petinggi KMM guna membicarakan rencana mendirikan Indonesia Raya sebagai bentuk kolaborasi KMM dengan Heiho Malaya serta Heiho Indonesia. “Namun mayoritas rakyat Malaya tak mendukung pergerakan itu dan malah menginginkan Sekutu menang perang terhadap Axis (Jerman-Italia-Jepang). Saya sendiri sudah sibuk terbelit kemiskinan. Dengan modal seadanya saya dan saudara-saudara saya memilih berjualan pisang di jalanan Pekan Melayu,” lanjut Mahathir. Mahathir Mohamad di masa muda kala merintis karier di politik di Partai UMNO pada 1969 (Foto: Twitter @officialchedet) Di jalan itu pula Mahathir bertemu lagi dengan kawan-kawan sekolahnya.Mereka  lantas mengajak Mahathir buka usaha bareng. Tak pikir dua kali, Mahathir berkenan, mengingat usahanya menjajakan pisang dengan menggelar lapak di jalanan tak menguntungkan dan butuh upaya lain untuk membantu mencari nafkah keluarga. Bersama dua kawannya , Mahathir pun membuka kedai kopi di Pasar Pekan Rabu, semacam Pasar Rebo di Jakarta yang hanya buka di hari Rabu. Selain menjajakan kopi, mereka juga menjajakan pisang goreng sebagai teman ‘ngopi’ para pelanggan dan minuman cendol sebagai menu lainnya . Usaha itu berjalan hingga Perang Dunia II usai. Nasib Mahathir berbalik 180 derajat usai Perang Dunia II. Setahun usai perang, ia menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah untuk kemudian melanjutkan studi medis lewat beasiswa ke King Edward VII College of Medicine (kini Yong Loo Lin School of Medicine) di Singapura. Di masa kuliah itulah Mahathir mulai terjun ke politik. Ia jadi aktivis anti-pendatang dengan ikut berunjuk rasa terhadap pemerintahan Malayan Union yang memberi kewarganegaraan kepada orang-orang non-Melayu. Ia mulai bergabung dengan UMNO. Pada pemilu pertama di Malaysia, 1959, ia sudah menduduki kursi ketua UMNO cabang Kedah. Mahathir baru bisa masuk lingkaran pemerintahan pada 1973 setelah ditunjuk sebagai anggota senat di Dewan Negara oleh Perdana Menteri Abdul Razak Hussein. Setahun kemudian,iamenjabat sebagai menteri pendidikan; wakil perdana menteri pada 1976 merangkap menteri perdagangan dan industri, serta menteri pertahanan. Menyusul mundurnya Perdana Menteri Hussein Onn dengan alasan kesehatan, nama Mahathir diajukan Tengku Razaleigh dan Ghazali Shafie sebagai suksesor. Pasalnya, di antara dua kandidat UMNO, Mahathir dan Ghafar Baba, yang fasih bahasa Inggris dan punya pendidikan lebih tinggi adalah Mahathir. Pertemuan Mahathir Mohamad dengan Soeharto di Malaysia, Juni 1993 (Foto: Repro "Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President") Per 16 Juli 1981, Mahathir resmi memegang jabatan perdana menteri. Indonesia jadi negara pertama yang dikunjunginya karena kekagumannya terhadap program-program pembangunanPemerintahan Soeharto. “Saya selalu mengikuti perkembangan berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintahan beliau. Maka kunjungan luar negeri saya yang pertamakali setelah saya dilantik (perdana menteri) menggantikan Datuk Hussein Onn pada 1981 adalah kepada Presiden Soeharto,” tutur Mahathir yang dikutip Mahpudi dkk dalam Pak Harto: The Untold Stories .

  • Aksi Spionase Pierre Tendean di Malaysia

    Selama tiga bulan Letnan Dua Pierre Tendean mengikuti pelatihan di Pusat Pendidikan Intelijen (Pusdikintel), Bogor. Setelah menamatkan kursus kilat, Pierre langsung menerima surat tugas. Pierre ditugaskan untuk memimpin pasukan gerilya yang akan menyusup ke Negara Federasi Malaysia. “Ia ikut operasi-operasi penyusupan ke Malaysia dari selat panjang,” kata Abdul Haris mengenang sang ajudan, Pierre Tendean. “Dalam masa setahun ia telah tiga kali menyusup ke daratan Malaysia,” ungkap Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru . Pierre merupakan komandan Basis Y yang terletak di daerah Pasir Panjang, Kepulauan Karimun. Pada Maret 1964, Pierre dikirimkan ke Malaysia melalui Selat Panjang, Kepulauan Meranti, Riau. Malaka dan Johor adalah wilayah yang menjadi wilayah sasaran penyusupan. Dalam aksi pertamanya, Pierre menyamar sebagai turis yang melancong. Karena memiliki paras blasteran Indo-Prancis, Pierre tidak kesulitan menembus ke jantung kota. Selain perawakan yang menunjang, Pierre juga telah dibekali sejumlah ilmu intelijen maupun kemampuan tempur. Dalam Memoar Oei Tjoe Tat  yang disusun Pramoedya Ananta Toer, Pierre tercatat mengawal Menteri Negara Oei Tjoe Tat. Saat itu, Oei diperintahkan Presiden Sukarno menjalin kerja sama dengan semua pihak yang anti dengan pembentukan federasi Malaysia. Oei berlakon sebagai pedagang Tionghoa. Sementara Pierre, dengan wajah bulenya cukup apik berperan menjadi turis.   Sembari menjalakan tugas, Pierre masih berbelanja. Di pusat-pusat pertokoan yang dikunjungi, Pierre membeli raket merk Dunlop, jam tangan, rokok merk Commodore untuk ayahnya, dan pakaian serta aksesori impor buat kakak dan ibunya. Sang kekasih, Rukmini Chamim pun tidak ketinggalan kebagian oleh-oleh berupa satu stel pakaian. Pada aksi yang kedua, Pierre terlibat bentrokan kecil. Dalam kontak tersebut, Pierre dapat merebut senjata dan verrekijker  (teropong) dari pasukan lawan. Sewaktu melakukan penyusupan yang ketiga kalinya, nyawa Pierre bahkan hampir melayang. Ketika berada di tengah lautan, Pierre dan pasukannya dipergoki oleh kapal perang jenis destroyer milik tentara Inggris. Dalam kejar-kejaran itu, Pierre memutuskan untuk turun dari speedboat- nya lalu berenang ke perayu nelayan. “Berhari-hari Pierre memegang perahu nelayan itu dari belakang sambil berenang,” kata Nasution. Sepulang penugasan dari Malaysia, Pierre naik pangkat jadi letnan satu. Dalam biografi resmi Pierre Tendean, Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi,  Mitzi Fare sang kakak mengenang semua pemberian Pierre yang dibeli kala bertugas di Malaysia. Selain seuntai ikat pinggang, Mitzi juga mendapat jaket merah yang memiliki model serupa dengan kepunyaan Pierre yang berwarna biru. “Jaket biru inilah pakaian terakhir yang melekat di badan Pierre saat ia diculik pada dini hari 1 Oktober 1965,” tutur Mitzi kepada tim penulis biografi resmi Pierre Tendean yang disunting Abie Besman. Raket Dunlop  juga diserahkan Pierre kepada Mitzi. Di balik benda itu, seuntai pesan tersua dari si pemberi: “ Ojo didol lho (jangan dijual ya),” demikian amanah Pierre kepada Mitzi. Raket Dunlop  itu bersama verrekijker  yang berhasil disita Pierre kini masih tersimpan di Museum Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

bottom of page