top of page

Hasil pencarian

9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Perang Pidato Aidit-Sukarno

    AWAL 1965. Wajah Menteri Agama Saifuddin Zuhri tetiba mengeruh. Pernyataan Presiden Sukarno yang memberitahukan bahwa pemerintah berencana akan membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sama sekali tak bisa diterimanya. Ketika ditanya alasannya, Bung Karno menyebut HMI merupakan organisasi antirevolusi. “Kadar anti revolusinya sampai di mana, Pak?” tanya Zuhri seperti dikisahkannya dalam Berangkat dari Pesantren . “Yah, mereka suka bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan dan lain-lain,” jawab Sukarno. Zuhri lantas menolak tuduhan itu. Dia secara halus menyebut presiden hanya akan jatuh kepada tindakan berlebihan jika membubarkan HMI. Sukarno menukasnya dan terjadilah “perdebatan” sengit. “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan  gewetan  (perasaan hati) Bapak, maka tugas saya sebagai pembantu Bapak cukuplah hanya sampai di sini,” ujar Zuhri. Sukarno terdiam. “Ooohhh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara untuk membantu saya,” katanya kemudian. Setelah perdebatan itu mereda dan kedua pihak sempat terdiam, tetiba Bung Karno berkata memecahkan kesunyian: “Baiklah! HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Ruslan Abdulgani dan Syarif Thayeb harus membimbing HMI.” Batalnya pembubaran HMI oleh pemerintah menjadikan organisasi-organisasi yang berafiliasi ke PKI berang. Aksi pengganyangan HMI pun tetap berlanjut dengan pengerahan demonstrasi-demonstrasi di berbagai daerah oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan organ-organ kiri lainnya. “Dapat dipahami jika situasi kemudian menjadi panas. Generasi Muda Islam (Gemuis) pada 13 September 1965 lantas mengadakan demonstrasi (tandingan) di Jalan Merdeka Barat dalam rangka solidaritas terhadap HMI,” tulis Sulastomo dalam Hari-Hari yang Panjang 1963-1966 . Di kampus UI Salemba, terjadi kekisruhan. Seorang pemimpin mahasiswa yang dikenal pro PKI diturunkan secara paksa oleh para aktivis HMI pimpinan Fahmi Idris. Gegaranya sang pimpinan mahasiswa itu menyerukan aksi pengganyangan HMI di UI. Puncak kekisruhan terjadi pada 29 September 1965. Malam hari, CGMI mengadakan rapat umum “menuntut pembubaran HMI” yang dihadiri puluhan ribu anggota PKI di Istana Olahraga Senayan, Jakarta. Seperti diceritakan oleh Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno , kegiatan itu juga menghadirkan para tokoh, di antaranya Presiden Sukarno, Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pendidikan Johannes Leimena, Menteri Penerangan Achmadi, dan Ketua CC PKI D.N. Aidit. Sikap pemerintah sendiri awalnya akan disampaikan oleh Menteri Penerangan Achmadi. Namun begitu berdiri di depan mikrofon, teriakan-teriakan “bubarkan HMI” dari puluhan ribu peserta rapat umum seolah tak mau berhenti. Karena tak berhasil menenangkan massa, Achmadi merasa kesal lalu turun dari podium. Gagal menyampaikan sikap, pidato lantas dilanjutkan oleh Leimena. Dengan berteriak sekeras-kerasnya, sang menteri berkata: “Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI! HMI adalah organisasi yang nasionalistik, patriotik dan loyal kepada pemerintah. Pemerintah banyak mendapatkan sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan Nekolim.” Usai Leimena, tibalah giliran Presiden Sukarno. Seperti biasanya dengan suara mengguntur, Si Bung berkata di hadapan lautan manusia yang ada di depannya: “Saudara-saudara! Sebelum memulai pidato, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijakasanaan pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan! Karena saudara-saudara telah mendengarkan kebijaksanaan pemerintah, mungkin saudara-saudara ingin pula mengetahui sikap Ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walaupun dia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya, setuju?!” Massa menjawab ajakan Bung Karno dengan teriakan “setuju”. Saat dipanggil namanya, menurut Ganis, Aidit sendiri terlihat agak malas saat naik ke atas podium. Namun dia akhirnya berpidato juga di hadapan para anggotanya. “Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI! Lebih baik kalian bubarkan sendiri! Dan kalau kalian tidak mampu melakukannya, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi tapi tukar saja dengan sarung!” Seterusnya pidato Aidit tidak terbendung. Bukan hanya memprovokasi pembubaran HMI, dia pun memperingatkan kepada para anggotanya tentang bahaya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara istri hingga sampat empat dan lima. Jelas-jelas dia sudah menantang Presiden Sukarno dalam “perang pidato” itu. Sukarno sendiri berusaha untuk tampil elegan dan tak terpancing oleh pidato Aidit. Sebelum meninggalkan Senayan, dengan lantang dia menegaskan bahwa tidak ada pembubaran terhadap HMI. Soal organisasi kontra revolusioner, dia mengatakan sudah pasti soal itu akan ditangani oleh pemerintah. “CGMI pun apabila ternyata kontra revolusioner, juga akan dibubarkan!” kata Bung Karno. Ketegangan pun terus berlangsung. Gegara soal HMI, hubungan Sukarno-Aidit memburuk. Hingga terjadi Gerakan 30 September dua hari kemudian.*

  • Sontani, Pelopor Pelarian dari Kamp Boven Digul

    “Son! Tok! tok! tok! Sontani…!” “Hai, siapakah itu?" “Sssst! Lupakah kau? Aku Saleh.” “O, ya…! Silahkan masuk! Tunggulah sebentar!” “Mengapa, tadi tidak bersedia lebih dulu?” “Mana boleh, tidak bersedia lebih dulu. Lihatlah ini, sudah mulai tadi aku berpakaian, waktu tidur masih juga bersepatu.” Semua perlengkapan telah disiapkan. Parang panjang dan botol minum di pinggang. Bekal telah terbungkus karung. Topi dikenakan dan kapak besar dipanggul. “Mari!” kata Sontani kepada Saleh. Mereka pun bergegas menuju ke belakang rumah dan masuk ke dalam hutan rimba. Maka dimulailah perjalanan Sontani dan Saleh, kabur dari Boven Digul! Kisah pelarian Sontani dan Saleh, dua Digulis itu terdapat dalam Minggat dari Digul yang termuat dalam buku Cerita dari Digul yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer. Selain Minggat dari Digul , Pram juga memuat empat cerita lainnya yakni Rustam Digulist oleh D.E. Manu Turoe, Darah dan Air-Mata di Boven Digul oleh Oen Bo Tik, Pandu Anak Buangan oleh Abdoe'l Xarim M.S.,dan Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul oleh Wiranta. Namun, Minggat dari Digul merupakan satu-satunya yang tidak disertakan nama penulisnya, hanya tertera ‘Tanpa Nama’. Pram menambahkan bahwa cerita itu diterbitkan oleh PERSBUREAU ‘AWAS’, Solo, tanpa tahun. Sosok Sontani Pada 23 Mei 1965, surat kabar Harian Rakjat menerbitkan artikel tentang Sontani, tokoh dalam Minggat dari Digul yang juga sekaligus dijelaskan sebagai penulis kisah tersebut. Diceritakan, Sontani merupakan cucu dari Ronggopermadi, pejuang yang turut dalam barisan Diponegoro yang gugur di Gentingan. Ia lahir di Desa Modinan, Sleman, kemungkinan pada tahun 1895. Sontani tamat sekolah desa 3 tahun di Desa Modinan. Pernah bekerja sebagai buruh kereta api, kernet, tukang besi, hingga buruh pabrik gula. “Pengalaman-pengalaman revolusionernya dimulai sejak ia memasuki organisasi buruh gula, Sarekat Islam, VSTP. Sebagai buruh ia mengalami berbagai perlakuan-perlakuan yang kasar sampai pemecatan tanpa alasan dari majikannya,” tulis Harian Rakjat , 23 Mei 1965. Pada suatu ketika, terjadi sabotase di sekitar onderneming tebu di Beran, Yogyakarta. Pembakaran kebun-kebun tebu berhasil memusnahkan berhektar-hektar areal tebu. Sontani nampaknya turut dalam serangkaian aksi tersebut dan tertangkap pemerintah kolonial ketika hendak meledakkan gudang mesiu di Kotabaru, Yogyakarta. Tidak diketahui kapan ia bebas. Namun, ketika pemberontakan PKI meletus pada 1926, Sontani kembali ditangkap di Modinan saat sedang tidur. “48 orang polisi mengepungnya dan sebelum ia sadar dan sempat menggunakan pistolnya, tangannya telah diborgol lebih dahulu. Ia dibawa ke tahanan, disimpan di WO, lalu kemudian dipindahkan ke sel Wirogunan,” tulis Harian Rakjat. Di penjara Wirogunan, ia bertemu dengan Sadiun, seorang pejuang yang dihukum 40 tahun penjara. Sontani berhasil membuat duplikat kunci sel sehingga ia dapat keluar sel tiap malam dengan sembunyi-sembunyi menjumpai Sadiun. Namun tak lama, kesempatan Sontani keluar masuk sel untuk menemui kawan barunya itu berakhir. Pada 21 Juni 1927, Sontani diangkut ke pengasingan di Tanah Merah, Digul. Pelarian Pertama dan Terlama Kamp Tanah Merah letaknya jauh di pedalaman hutan Papua, di kawasan atas aliran Sungai Digul. Kala itu, kota terdekat yaitu Merauke yang jaraknya kira-kira 160 km. Jika naik sampan melewati sungai yang penuh buaya itu, bisa menghabiskan empat malam perjalanan. Meski demikian, nampaknya pengalaman Sontani sebelum dibuang ke Digul menjadi bekal yang berharga. Bersama Saleh, ia berbulat tekad untuk melarikan diri dari kamp pengasingan itu. Dalam masa pelariannya, Sontani dan Saleh kemudian bertemu beberapa pelarian lain yang kemungkinan menyusul kabur setelah mereka. Di pedalaman hutan, seorang kawannya yang bernama Abas tewas ketika melawan serangan suku Kaya-kaya. Sementara itu, kawan lainnya yang bernama Partatjeleng justru dirawat suku Kaya-kaya yang lain karena sakit. Bahkan setelah ia sembuh, ia juga kawin dengan gadis suku tersebut dan tinggal bersama suku. Namun, suatu ketika ia ditangkap dan dibawa kembali ke pengasingan. Istrinya dan anaknya kemudian menyusul Partatjeleng ke Tanah Tinggi. Harian Rakyat menyebut Sontani adalah tahanan yang memelopori pelarian pertama sekaligus yang terlama dari pelarian-pelarian yang pernah dilakukan di Digul. Sontani dan kawan-kawan berhasil kabur 11 bulan lamanya sampai kemudian mereka ditangkap di Kota Bowen, Australia. Mereka pun harus kembali merasakan pengasingan di Boven Digul. Menurut Molly Bondan dalam Spanning a Revolution , Kisah Mohamad Bondan, Eks Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia,  aksi kabur Sontani dan kawan-kawan terjadi pada Maret 1929. Namun, cerita versi Molly yang didapat dari eks Digulis bernama Dulrachman sedikit berbeda dari cerita Sontani. Menurut Sontani sendiri, tulisannya memang perlu diperbarui karena ada beberapa bagian tidak sesuai kenyataan. Hal itu dilakukan untuk menghindari sensor pemerintah kolonial saat itu. Sontani menulis kisah itu ketika masih di Digul. “Kisah itu ditulisnya selama satu setengah bulan dalam 3 buah buku tulis yang tebalnya 32 halaman dengan tulisan tangan kecil-kecil, setiap baris buku dijadikan dua, dengan begitu berarti menjadi 6 buku tulis X 32 halaman,” tulis Harian Rakjat . Dari Digul, tulisan Sontani dibawa ke Jawa oleh Siswomintardjo, tahanan dari Surakarta. Tulisan itu kemudian dapat diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Minggat dari Digul . Buku inilah yang membuat Utuy Tatang, sastrawan kelahiran Cianjur, menyematkan nama Sontani di belakang namanya menjadi Utuy Tatang Sontani. Dalam bukunya, Di Bawah Langit Tak Berbintang , Utuy mengaku mendapat buku Pelarian dari Digul (judul versi lain) dari seorang eks Digulis bernama Wiranta yang menulis Boeron dari Digoel . Tokoh Sontani membuatnya terkesan dan ia pertama kali menggunakan nama Sontani ketika mengirim cerita pendek ke surat kabar Sinar Pasundan . Menurut Harian Rakjat , selain Minggat dari Digul Sontani juga pernah menulis buku Perintis Djalan Menudju Marxisme , Twaalfstellingen , dan Political Economy . Dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Perjuangan Ex Digul , hingga tahun 1977, Sontani masih hidup dan bertempat tinggal di Yogyakarta.

  • Wartawan Historia Raih Penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

    Martin Sitompul, reporter Historia.id , memperoleh penghargaan dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam malam “Apresiasi Pendidikan Keluarga Tahun 2019” di Balai Kartini, Jakarta (6/11/2019). Penghargaan itu diberikan setelah Martin menulis artikel berjudul “Gila Baca Pendiri Bangsa”. Melalui artikel ini, Martin mengangkat kebiasaan membaca buku para tokoh pergerakan nasional seperti Sukarno, Hatta, RA Kartini, Abdul Rivai, HOS Tjokroaminoto, dan Tan Malaka. Artikel Martin berangkat dari diskusi publik bertajuk “Literasi Kita, Masa Depan Bangsa” di Perpustakaan Nasional, Jakarta (31/07/2019). Tapi Martin tak berhenti hanya mengutip keterangan narasumber diskusi. Martin mengatakan, dia menelusuri kembali biografi dan sumber sejarah lain tentang kegemaran tokoh-tokoh pergerakan nasional terhadap buku. Dia menemukan pengakuan unik Hatta tentang buku. Dalam surat bertanggal 20 April 1934, Hatta menulis dia bisa hidup di mana saja asalkan bersama buku. Sekalipun itu di penjara. Ketika itu, Hatta sedang menjalani hukuman di Penjara Glodok, Batavia. Martin menemukan surat itu dimuat oleh suratkabar Daulat Ra’jat , 10 Mei 1934. Dari kebiasaan membaca buku, para tokoh pergerakan nasional mampu merangkai gagasannya sendiri tentang beragam hal: kemanusiaan, kemerdekaan, agama, ideologi, politik, filsafat, emansipasi wanita, dan identitas. Inilah alasan Martin mengambil tema tentang kebiasaan membaca tokoh pergerakan nasional untuk artikelnya. “Secara khusus (artikel ini) mengulik bagaimana minat dan budaya membaca membentuk gagasan para pendiri bangsa,” kata Martin. Tokoh pergerakan nasional juga mengenal dunia dan pikiran-pikiran terhebat dari membaca buku. “Kendati hidup di dunia kolonial, Sukarno telah membayangkan akan kemerdekaan bangsanya dan menjadi bangsa yang digdaya,” tulis Martin. Sementara itu, HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam sekaligus salah satu guru politik Sukarno, berupaya mengawinkan gagasan sosialisme dengan nilai-nilai Islam setelah melahap banyak buku. Menurut Martin, eksplorasi gagasan itu bisa mewujud sebab Tjokro sama sekali tidak alergi dengan buku-buku beraliran kiri. Sikap Tjokro ini bertolak belakang dengan sikap sekelompok masyarakat hari ini. Razia terhadap buku-buku tanpa membacanya terlebih dulu semakin merajalela di beberapa kota Indonesia. Bagi Martin, ini cukup aneh. Seperti ada keterputusan kultur literasi di masyarakat. “Padahal kultur literasi ini sudah disemai oleh para pendiri bangsa yang umumnya bibliofil (pecinta buku),” kata Martin. Dia berharap artikelnya bisa menjadi refleksi betapa pentingnya budaya membaca buku. Senada dengan Martin, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus menerus menekankan pentingnya kebiasaan membaca buku. Kementerian menginginkan kebiasaan ini berakar dan bertumbuh dari lingkungan keluarga. Dari pemikiran tersebut, Kementerian mencanangkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) melalui Direktorat Pendidikan dan Keluarga. “GLN diharapkan menjadi pendukung keluarga, sekolah, dan masyarakat mulai dari perkotaan sampai wilayah terjauh untuk berperan aktif dalam menumbuhkan budaya literasi,” kata Dr. Sukiman, Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga. Salah satu strategi GLN ialah menumbuhkan budaya literasi keluarga melalui penghargaan jurnalistik. Penghargaan ini diwujudkan dalam Lomba Jurnalistik Pendidikan Keluarga. Lomba ini terbagi atas dua kategori: feature dan opini. Untuk menyeleksi artikel karya jurnalis, panitia mengundang juri dari beragam kalangan. Mulai pakar pendidikan, organisasi profesi wartawan, pegiat pendidikan keluarga, sampai orang dalam Kementerian. Juri telah menyeleksi 72 artikel feature di media daring terkait budaya literasi keluarga. Dari hasil seleksi itu, artikel Martin dianggap sebagai salah satu artikel yang layak memperoleh penghargaan. Selain kepada Martin, Kementerian juga memberikan penghargaan kategori Feature untuk Hari Setiawan dari jemberpost.net dan Susanto dari suaramerdeka.com . Harris Iskandar, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, mengatakan karya para jurnalis ikut mendukung program literasi Kementerian. Menurutnya, jurnalis juga mempunyai pengaruh dalam masyarakat dan berperan layaknya pendidik. “Para jurnalis ini juga adalah pendidik, pendidik bagi masyarakat. Influencer yang memberikan pengaruh pada masyarakat,” ungkap Harris.

  • Layar Terkembang PSM Makassar

    SEJAK menduduki jabatan sebagai CEO PSM Makassar pada 2016, Munafri Arifuddin alias Appi menelurkan sejumlah gebrakan. Ia punya visi yang terang soal bagaimana sepakbola modern dikelola. Hal itu dia ungkapkan secara bernas pada Historia di ruang VIP Stadion Andi Mattalatta usai kemenangan timnya atas Arema FC pada laga tunda pekan ke-23 Liga 1, Rabu, 16 Oktober 2019. Pria kelahiran Majene (kini Sulawesi Barat) 44 tahun lampau itu punya visi untuk tidak hanya membawa PSM kembali disegani di persepakbolaan Indonesia, namun juga kancah internasional. “Ini tim yang punya nama besar. Tim yang sangat legendaris, didukung oleh suporter yang begitu fanatik dan punya cerita panjang dalam persepakbolaan. Makanya jadi tantangan buat saya bagaimana membawa PSM kembali ke level yang harus disegani dan memberikan prestasi,” imbuhnya. Pasang-Surut Juku Eja Klub yang baru berdirgahayu ke-104 pada 2 November lalu itu terakhir mencicipi gelar hampir dua dasawarsa lewat, yakni juara Liga Indonesia VI (1999-2000). Juara liga itu jadi yang keenam buat PSM setelah bernaung di bawah PSSI sejak 1951. Sebelumnya, PSM jadi kampiun Perserikatan pada musim 1956-1957, 1957-1959, 1964-1965, dan 1991-1992. Hingga sekarang, prestasi 19 tahun lalu itu belum bisa diulangi tim berjuluk “Juku Eja” itu. Padahal, sejak 1991 PSM sudah ditopang sederet pengusaha. Artinya, dari segi finansial PSM tak punya masalah lantaran juga masih mendapat suntikan APBD. PSM Makassar menuntaskan dahaga gelar domestik 19 tahun dengan merebut Piala Indonesia pada Agustus 2019 (Foto: pssi.org ) Saat juara liga terakhir itu, PSM dipegang pengusaha agen perjalanan dan umrah Ande Latief. Kala itu, PSM disebutkan bisa juara karena beruntung lantaran lolos ke putaran enam besar hanya lewat keunggulan selisih gol. Keunggulan itu didapat setelah Persegres Gresik kalah 0-1 dari Persema Malang. Kompas 1 Maret 1992 menggambarkan kemenangan PSM atas PSMS Medan di final kompetisi Perserikatan 1991/1992 itu sebagai “foto kopi sebuah keberhasilan patriotisme atas idealisme.” “Persib Bandung yang secara teknik lebih unggul disingkirkan di semifinal. Kemudian Medan yang memilih bermain cantik dan menghilangkan ciri khas permainan kerasnya, disikat pula. Keduanya, Persib dan PSMS, dihantam PSM dengan skor yang sama 2-1,” ungkap Kompas. Meski tetap berlayar dengan gagah hingga partai puncak Perserikatan 1993, PSM dikaramkan Persib 0-2. Memasuki 1994, PSM dipegang Nurdin Halid. Untuk mengembangkan layar PSM di Liga Indonesia 1995, Nurdin menghadiahi tiga pemain asing: Marcio Novo, Jacksen F. Tiago, dan Luciano Leandro. Hasilnya? Tidak sesuai harapan. Harapan besar sempat muncul di musim 1997-1998. Namun sial, huru-hara Mei 1998 mengguncang negeri. “Ketika itu kita ada di posisi pertama (Divisi Timur). Tapi kompetisi stop karena ada masalah (kerusuhan) 1998 itu,” kenang Luciano. Sementara di pentas Asia, PSM yang ikut Piala Winners Asia 1997/1998 babak belur. Bahkan, mengalami kekalahan terburuk dibantai wakil Korea Selatan Suwon Samsung Bluewings 12 gol tanpa balas. Setelah kondisi negeri pulih dan kompetisi bergulir, di musim 1999/2000 PSM melaju kencang. PSM yang kala itu diperkuat banyak pemain timnas, tak terbendung. Mewakili Indonesia, PSM Makassar jadi kampiun Ho Chi Minh City Cup 2001 (Foto: thenurdinhalidinstitute.com ) Selain juara, hebatnya PSM hanya dua kali kalah dari total 31 laga yang dimainkan sejak babak penyisihan Wilayah Timur hingga final. Masa keemasan PSM itu mencapai klimaks dengan menjuarai Ho Chi Minh City Cup 2001. Di final, laskar ayam jantan dari Timur itu mengandaskan tim tuan rumah, Ho Chi Minh XI, 1-0. Di Liga Champions Asia 2001, PSM berhasil mencapai babak perempatfinal. Sebetulnya, PSM punya kesempatan mentas lagi Champions Asia 2004 sebagai runner-up Liga Indonesia. Namun, manajemen klub memilih menolak kesempatan itu karena alasan finansial. “Padahal PSM tak perlu melalui kualifikasi, langsung masuk babak penyisihan grup yang diikuti 32 klub elit Asia. PSM mengaku pihaknya dilanda kesulitan finansial. Sponsor utama tim, PT Semen Bosowa, mengurangi jatah pendanaan PSM. Mungkin menurut pemikiran PSM turun di Asia adalah sesuatu yang sia-sia, sekadar formalitas,” ungkap Eko Nurhuda dalam Sepakbola Itu Lucu: Kumpulan Kejadian-Kejadian Menggelikan dalam Sepakbola . Kala itu PSM baru setahun dipegang Bosowa Corp. sebagai sponsor utama, menggantikan Reza Ali. Kebijakan pengurangan dana oleh manajemen tak hanya membuat PSM gagal ikut Liga Champions Asia, tapi juga menunggak gaji pemain beberapa bulan. PSSI turun tangan. PSM “dipaksa” tetap tampil. Akibatnya, PSM “setengah hati” dengan menurunkan tim kelas duanya di event itu. Alhasil, PSM jadi juru kunci Grup F di bawah Krung Thai Bank (Thailand), Hoang Anh Gia Lai (Vietnam), dan Dalian Shide (Cina). Di Bawah Panji Bosowa Seiring keluarnya kebijakan bahwa klub tak lagi disuntik dana APBD untuk tata kelola klub yang lebih baik, PSSI mempersyaratkan agar klub peserta Liga Super Indonesia 2008 harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Aturan itu mendorong PSM per 2008 membentuk (PT). Mengutip Antara , 27 Januari 2008, pembahasannya digodok sebuah forum bernama “Tim Lima” yang berisi sejumlah pengusaha dan pejabat daerah. Mulanya ada tiga opsi untuk pengelola PSM, yakni perusahaan daerah, yayasan, atau PT. “Kami memilih PT sekaligus mengadopsi pengelolaan klub-klub profesional di Liga Eropa yang menjadi tulang punggung pendanaan bagi PSM pada setiap pergantian musim kompetisi,” tutur Ketua Harian PSM Kadir Halid. Lantas disepakati, PT dengan modal awal Rp10 miliar dari KONI Makassar itu dinamakan PT Paggalona Sulawesi Mandiri (PT PSM). Tim PSM Makassar tengah berlatih di Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, carut-marut kondisi persepakbolaan nasional yang bersumber dari kisruh di tubuh PSSI membuat PSM membelot dari Liga Super. PSM memilih ikut ke kompetisi tandingan, Liga Primer Indonesia (LPI). Alasannya PSM hanya ingin berlaga di kompetisi yang lebih bersih dan profesional. Meski sejak 2005 diponsori PT Semen Bosowa (Bosowa Corp.), manajemen PSM baru benar-benar dipegang perusahaan raksasa Sulawesi Selatan itu 10 dekade berselang. Tepatnya pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) klub, 23 Januari 2015. Bosowa melalui Bosowa Sport Indonesia mengambilalih saham mayoritas PT PSM, 51 persen, sekaligus mengubah susunan dewan komisaris dengan mengisi sejumlah petinggi Bosowa seperti Sadikin Aksa, Solihin J. Jalla, dan Andi Suruji. Posisi CEO kala itu masih dipegang Rully Habibie. Orang Bosowa, Munafri Arifuddin, baru menggantikannya pada RUPS 29 Januari 2016. Tugas berat langsung menanti Appi. Kompetisi Torabika Soccer Championship (TSC), kompetisi pengganti yang diadakan karena PSSI tengah disanksi FIFA, jadi yang pertama. Setelah itu, dia mesti membenahi klub agar memenuhi persyaratan standar internasional. “Setelah liga diadakan lagi habis tak lagi disanksi FIFA, kami berhasil dapat jatah Asia lagi. Tapi saat itu seluruh aspek yang menyangkut Club Licensing AFC kami di- reject . Dari pelajaran itu kami mendapat gambaran yang jelas, seperti apa seharusnya tatanan pengelolaan sepakbola yang benar,” terang Appi. Ada sekitar enam pilar pembangunan yang digulirkan Appi. Antara lain, akademi muda, pembinaan sepakbola putri, dan pembenahan stadion. Untuk itulah klub rela merogoh kocek ratusan juta rupiah untuk memasang sendiri rumput dan lampu penerangan berstandar internasional. Di tahun keduanya, Appi mengganti nama PT dan logo klub. “Saya mencoba merombak tim dan manajemen. Di tahun kedua, setelah melalui banyak diskusi hingga perdebatan dengan para senior dan pemain-pemain legenda PSM, saya melakukan perubahan yang revolusioner. Saya mengganti nama PT (Paggolona Sulawesi Mandiri menjadi Persaudaraan Sepakbola Makassar),” tambah Appi. Sejak 1959, PSM memakai logo Pemerintah Kota Makassar. Logo baru dibuat agar, menurut Appi, membawa PSM keluar dari kesan milik pemda. Hanya gambar kapal phinisi dan warna merah yang masih dipertahankan dalam logo baru itu. Logo baru itu sendiri merupakan penyempurnaan dari logo pemenang sayembara yang diadakan manajemen pada 2015. Munafri Arifuddin menakhodai PSM Makassar sejak 2016 (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Dengan sejumlah gebrakan itu, Appi berharap PSM bisa menyemai prestasi yang lebih bergengsi ketimbang Piala Indonesia pada Agustus 2019. Di bawah Appi, PSM berhasil menuntaskan puasa gelar 19 tahunnya dengan menjuarai Piala Indonesia pada 6 Agustus lalu di Stadion Andi Mattalatta. PSM menang 2-0 atas Persija di final leg kedua, sekaligus memutar agregat 2-1 setelah di leg pertama di Jakarta kalah 0-1. Prestasi itu jelas baru awal dari jalan panjang yang mesti dilalui PSM. Butuh modal besar, tekad kuat, dan waktu yang panjang untuk bisa memapankan diri dalam industri sepakbola modern. “Saya cuma mau membangun kembali kekuatan sepakbola, menata kembali sistem sepakbola yang lebih profesional. Kalau tidak dimulai, itu tidak akan pernah bergerak dari pakemnya, tetap ada di bottom. Harus digerakkan. Kalaupun rugi mungkin setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun. Pada suatu saat nanti, kalau nanti, di ujungnya akan menjadi industri sepakbola yang baik,” ujar Appi. Appi mencontohkan, Bali United sudah melalui proses semestinya sebagai sebuah klub dalam industri sepakbola modern. “Klub asal Pulau Dewata itu mencatatkan diri sebagai klub sepakbola pertama yang turun ke lantai bursa saham. Artinya ada harapan besar terhadap sepakbola di Indonesia.”

  • Sukarno Murka Jika Ada Orang Mengusik Hatta

    HASJIM Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi pengusaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, menyaksikan bagaimana banyak “serigala” di sekitar Presiden Sukarno ketika si bung berkuasa. Demi mencari muka dan tempat di hati presiden, para “serigala” itu saling memangsa kendati di permukaan terlihat selalu mesra. “Tradisi yang menjadi anggapan umum itu juga menjadi pedoman kerja para petugas intel dari berbagai instansi keamanan dan juga bagi instansi yang mengeluarkan izin, izin apa saja. Terutama oleh kalangan entrepreneur yang tidak mempunyai dukungan kekuatan politik, kondisi itu akan sama dengan penempatannya sebaga ‘mangsa’ yang setiap saat akan diserbu oleh para serigala yang kelaparan, yang sudah lama mengintai waktunya untuk melahap,” kata Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Sikap menjilat itulah yang membuat orang-orang non-politik yang bersabahat dengan Sukarno seperti Hasjim kerap jadi korban. Meski persahabatannya dengan presiden murni secara personal, Hasjim tak aman dari “terkaman” para serigala lantaran sebagai keponakan Bung Hatta, yang sering dianggap lawan politik pemerintah. Hasjim kerap ketiban sial oleh intrik atau insinuasi orang-orang yang tak suka pada dirinya ataupun Bung Hatta. “Suatu hari aku ‘terkena larangan’ menemui Bung Karno. Yang melarangku masuk dan menemui Bung Karno ke Istana adalah Kolonel Sabur, ajudan presiden sendiri,” sambung Hasjim. “Saudara tidak dibenarkan lagi masuk Istana, karena Suadara keponakan Hatta, lawan presiden,” kata Sabur sebagaimana dikutip Hasjim. Akibat larangan itu, enam bulan Hasjim tak pernah lagi ke Istana dan bertemu Sukarno. Keduanya baru kembali bertemu setelah menghadiri makan siang bersama antara presiden dan IPKI, partai politik yang ikut disokong Hasjim pada awal 1950-an. Sukarno kaget ketika di antara penyambutnya terdapat Hasjim. Saat berjabat tangan, Sukarno langsung menanyakan kenapa Hasjim tak pernah lagi ke Istana. Pertanyaan itu dijawab Hasjim dengan pemberitahuan bahwa dirinya dilarang Kol. Sabur. Jawaban Hasjim jelas membuat Sukarno kaget. Dia langsung marah pada Sabur yang berada di dekatnya. “Siapa yang kasih perintah sama kamu?” kata Sukarno bertanya kepada ajudannya. Sabur yang ketakutan pun menjawab sambil gelagapan bahwa larangan yang dikeluarkan terhadap Hasjim diambil atas inisiatifnya karena Hasjim merupakan keponakan Bung Hatta yang saat itu merupakan lawan politik Sukarno. Jawaban Sabur membuat presiden makin naik pitam. “Jangan kamu campur adukkan masalahku dengan Bung Hatta. Betul aku tidak suka pada sikap politiknya, tapi dia adalah sahabat baikku, tahu?” Sabur langsung mengambil sikap sempurna dan menyatakan kesiapannya begitu mendengar perkataan Sukarno. “Aku tidak suka kamu larang-larang Hasjim datang ke Istana. Kapan dia suka, dia boleh datang!” Begitulah Sukarno yang diketahui Hasjim. Ia hampir selalu “berkelahi” dengan Bung Hatta dalam soal politik, namun tak pernah terima bila kehidupan pribadi Hatta diusik orang. Saking pahamnya terhadap Sukarno, Hasjim langsung menemui sang presiden begitu mendengar di masyarakat terlontar isu Bung Hatta akan ditangkap tak lama setelah Bung Hatta mengkritik penguasa lewat tulisannya, “Demokrasi Kita”. “’Demokrasi Kita’ ditulis Bung Hatta pada tahun 1960 dan dimuat dalam Pandji Masjarakat, dengan Buya Hamka sendiri sebagai pengawas pencetakannya, meneliti sampai titik-komanya, tidak boleh ada salah cetak sedikitpun, untuk menyesuaikan dengan kebiasaan Bung Hatta yang selalu correct,” tulis Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal dalam Satu Abad Bung Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan . Tulisan itu membuat Sukarno marah. Hasjim melihatnya sendiri ketika bertemu di Istana. “Hai, Hasjim, Hatta itu mau apa sebenarnya menulis begitu?” kata Sukarno, dikutip Hasjim. Namun karena Hasjim tak tahu dan menyuruh Sukarno bertanya langsung pada pamannya, kemarahan Sukarno pun reda dan keduanya kembali bercanda. Yang pasti, tulisan itu dijadikan lawan-lawan politik Hatta untuk mencari simpati politik presiden. “Semua media massa yang memuat tulisan Bung Hatta itu diberangus oleh pemerintah. Sesungguhnya aku tidak percaya Bung Karno sampai mau memerintahkan pemberangusan itu. Meski tahu beberapa di antara media massa itu sangat tidak disukainya, aku percaya bahwa ada kekuatan politik tertentu yang meniup-niupkan api agar pemberangusan terjadi sehingga ketika yang berwenang melakukan pemberangusan itu, Bung Karno membiarkannya saja,” kata Hasjim. Maka begitu bertemu Sukarno di Istana, Hasjim langsung menanyakan benar-tidaknya isu penangkapan Bung Hatta. “Bapak, aku tahu bahwa Bapak tidak pernah bertindak keliru dalam hal-hal yang prinsipil,” kata Hasjim membuka pembicaraan. “Jadi, sekarang jij percaya bahwa aku telah melakukan kekeliruan?” jawab Sukarno untuk mendapatkan kejelasan maksud pertanyaan Hasjim. “Ya, kalau Bapak menangkap Bung Hatta,” kata Hasjim. Jawaban itu membuat Sukarno terperanjat. “Gila kamu bisa berpikir begitu. Tidak ada orang yang bisa berani-berani menangkapnya,” kata Sukarno setengah berteriak.

  • Kisah Penculikan Sjahrir

    PASCA 1945, Republik Indonesia belum menemukan arah politik yang jelas. Sekalipun partai-partai politik seperti Masyumi, Partai Sosialis, Partai Nasional Indonesia, dan sebagainya telah dibentuk, pendirian serta pandangan yang diambil sangat berbeda satu sama lain. Akibatnya, setiap wilayah memiliki sikap tersendiri dalam menjaga tempat bernaungnya. Bangsa ini tidak bisa sedikitpun disebut ajeg. M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since C.1200 menggambarkan situasi Indonesia pertengahan tahun 1946. Situasinya cukup tidak menentu. Terutama setelah Belanda kembali mencoba peruntungannya menguasai Indonesia. Sejumlah daerah dibuat bergolak karenanya. Sementara itu di ranah politik terjadi beberpa peristiwa penting, di antaranya pembentukan Kabinet Sjahrir II, penangkapan Tan Malaka, dan peristiwa Tiga Daerah di Pekalongan. Mengetahui keadaan semakin genting, Perdana Menteri Sutan Sjahrir terus mengusahakan perundingan dengan pihak Belanda. Dia bersikeras agar Belanda mengakui kekuasaan Indonesia secara de facto  dan menghentikan pendaratan bala tentaranya ke tanah air. Memang sejak dari perundingan di Hooge Veluwe tidak ada usulan baru yang diajukan Sjahrir, tetap pada persoalan hubungan baik antar dua negara berdaulat. Menurut Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik  usul perundingan antara Sjahrir dengan pihak Belanda diberitakan secara seenaknya oleh pers Belanda di Jakarta sehingga terjadi salah persepsi di antara para pembaca. Pemerintah Sjahrir pun dituduh oleh rakyatnya sendiri telah menjual negara kepada Belanda. “Karena Sjahrir berdiam diri, maka kecurigaan terhadap pemerintah makin meningkat,” tulisnya. Rupanya sikap Sjahrir tersebut dinilai oleh sejumlah pihak sebagai sikap yang lemah. Dia dianggap tidak tegas dalam mendukung upaya kemerdekaan. Mohammad Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku , menyatakan dirinya pernah mencoba untuk mengendalikan suasana dengan memberi penjelasan tentang isi usul balasan Indonesia pada sebuah rapat raksasa di Yogyakarta. Namun, tokoh-tokoh seperti Mr. Soebardjo, Chaerul Saleh, Iwa Kusumasumantri, dan Dr. Buntaran tetap menilai Sjahrir perlu “diamankan” agar proses melepaskan diri dari Belanda dapat berjalan lancar. Kelompok yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan ini dikenal sebagai oposisi pada era Kabinet Sjahrir. Mereka menginginkan Indonesia bebas sepenuhnya, tanpa intervensi Belanda sedikitpun. Dan penangkapan Sjahrir diyakini dapat mengubah politik diplomasi terhadap Belanda. Sebetulnya ada alasan lain mengapa Sjahrir ditangkap. Rosihan menyebut para oposisi menginginkan Tan Malaka yang tengah ditahan di Madiun dibebaskan dan kembali ke gelanggang politik. Mereka lebih memilih Tan Malaka ketimbang Sjahrir karena dianggap terlalu lemah dalam membangun Indonesia yang baru merdeka. Berbekal surat penangkapan dari Mayjen TNI Sudarsono, Mayor Abdul Kadir Yusuf berangkat ke Solo, ditemani sejumlah lakon oposisi lainnya. “Mereka mengetahui hari itu PM Sjahrir berada di Solo dalam perjalanan inspeksi kembali dari Jawa Timur.” Pada 27 Juni 1946 rencana berhasil dijalankan. Pemerintah dilanda kepanikan. Keadaan darurat pun langsung dikeluarkan presiden. Proses Penangkapan Dikisahkan salah seorang kepercayaan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, penangkapan terjadi di Javasche Bank, Solo. Saat itu dirinya sedang bersama dengan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Dr Sudarsono, Soemitro Djojohadikusumo, Mayjen Sudibjo, dan Darmawan Mangunkusumo. Sjahrir yang baru pulang dari Jawa Tengah, menginap di Javasche Bank. Sementara Soebadio sendiri telah lebih dahulu berada di Solo. Sekira pukul 11.16 malam, kata Soebadio, Mayor AK Yusuf bersama empat orang masuk ke dalam gedung Javasche Bank. Sambil menodongkan senjata, mereka memaksa Sjahrir untuk ikut ke dalam mobil yang telah mereka siapkan. Sang perdana menteri sempat protes dan berdebat dengan nada keras. Namun ancaman senjata membuat Sjahrir tak berdaya. Akhirnya rombongan itu menuruti apa kemauan AK Yusuf. Namun ternyata tidak semua orang berhasil diamankan. Soebadio dan Sudarsono yang melihat gelagat aneh sesaat setelah perdebatan dimulai segera pergi melepaskan diri. “Saya yang melihat gelagat itu meloloskan diri dengan menggunakan bambu melompat dan mencebur ke dalam kali yang mengalir di sekitar Hotel Merdeka. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, kami naik kereta api di stasiun Gowok menuju Yogyakarta. Setibanya di Yogya saya lapor pada kabinet,” terang Soebadio saat diwawancarai Rosihan Anwar pada 8 Oktober 1994. Dalam biografinya itu, Soebadio menyebut Sjahrir dibawa oleh rombongan AK Yusuf ke Desa Paras, sebuah daerah yang dahulu digunakan Pakubuwono X sebagai tempat meditasi. Di sana dia dititipkan kepada Mayor Soekarto. Menurut keterangan Sutrisno, salah seorang perwira yang bertugas di Paras, ketika penangkapan terjadi, para penjaga di sana tidak mengetahui kalau yang dibawa oleh rombongan AK Yusuf adalah Perdana Menteri Sjahrir. “Dikiranya seorang pembesar yang mau istirahat, makanya Sjahrir diterima dengan baik dan ditempatkan di sebuah pesanggrahan kepunyaan Susuhunan. Kini gedung itu sudah digusur,” ucap Sutrisno sewaktu diwawancarai Rosihan Anwar pada 10 Oktober 1994. Upaya Pembebasan Menurut Sejarawan Ricklefs setelah mendengar kabar penculikan Sjahrir, Sukarno berusaha secepatnya membuat siaran radio. Baginya kejadian itu merupakan peristiwa yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Untuk itu, demi menjaga pemerintahan tetap berjalan baik, Sukarno langsung melakukan pengambilalihan kekuasaan. Pada 28 Juni pemerintahan RI di Yogya belum mengetahui dengan jelas lokasi penahanan Sjahrir. Sukarno lalu melakukan siaran radio pada malam 29 Juni. Dia sangat mengecam aksi orang-orang yang melakukan penculikan tersebut. Sukarno juga menuntut pembebasan secepatnya. Si Bung ingin Sjahrir ada di Solo dalam keadaan baik. “Saya tidak ingin menjadi diktator! Saya ingin adanya satu pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Saya oleh karena itu hanya untuk sementara waktu saja mengambil segala kekuasaan negara di tangan saya sendiri. Kepada segenap rakyat berpikiran sehat, saya minta ikut berusaha untuk mengembalikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Kemakmuran Ir. Darmawan Mangunkusumo, Mayor Jenderal Sudibjo dan lain-lain yang turut kena culik dengan selamat kepada kami. Ini adalah kewajiban tiap-tiap warga negara Republik Indonesia yang cinta pada Republiknya," demikian isi sebagian pidato Presiden Soekarno tersebut. Setelah mendengar siaran radio Sukarno, orang-orang di Paras mulai menyadari bahwa tamu di tempat mereka adalah Perdana Menteri Sjahrir. Di saat yang bersamaan, AK Yusuf datang untuk membawa kembali Sjahrir. Namun permintaan itu segera ditolak oleh para penjaga di Paras. Mereka yang telah mengetahui identitas Sjahrir ingin mengembalikannya sendiri. Pengawalan Sjahrir dilakukan hingga rombongan tiba di Istana Negara di Yogyakarta pada 30 Juni dini hari. “Bung Karno dibangunkan dan waktu melihat Sjahrir dia langsung merangkul Sjahrir. Ibu Fatmawati juga bangun dan segera membuatkan kopi untuk pasukan yang mengawal rombongan Sjahrir,” tulis Rosihan.*

  • Pengkhianatan Sang Besan

    Kertanegara bimbang. Di hadapannya ada mantan patih, Ragananta dan patih penggantinya, Mahisa Anengah. Ragananta berusaha mengingatkan sang raja tentang pengkhianatan yang mungkin terjadi dari dalam negeri sementara ia sibuk memikirkan politik luar negerinya. Sang patih tua berpikir adanya kemungkinan balas dendam dari salah satu raja bawahan, Jayakatwang terhadap Singhasari. “Sudah agak lama Jayakatwang tak berseba di Singhasari,” ucap sang bekas patih dalam Kidung Harsawijaya . Namun, Patih Mahisa Anengah punya pendapat berbeda. Semestinya, kata dia, Jayakatwang berutang budi pada Kertanegara. Tadinya dia cuma juru pengalasan di pura Singhasari. Tapi Kertanegara mengangkatnya menjadi raja Kadiri di bawah kuasa Singhasari. “Atas semua itu, beliau tak akan memberontak pemerintahan Yang Mulia,” kata Patih Mahisa Anengah. Apalagi mengingat hubungan mereka. Prasasti Mulamalurung mencatat Turukbali, istri Jayakatwang, adalah saudara Kertanegara. Saudara ipar Kertanegara ini juga rupanya masih sepupunya. Ditambah lagi, menurut Prasasti Kudadu, Jayakatwang kemudian berbesan dengan Kertanegara. Ardharaja diambil mantu oleh Kertanegara. Melihat itu, rasanya tak mungkin Jayakatwang memberontak. Kertanegara pun merasa kemungkinan itu tak masuk akal. Ia menjadi tenang kembali. Ia pun menolak pendapat bekas Patih Ragananta. Ia segera melanjutkan rencananya mengirim utusan ke negeri Malayu untuk mengantar hadiah Arca Amoghapasa. Kerajaan pun kosong. Kekosongan itu dimanfaatkan oleh Arya Wiraraja, penguasa di Madura. Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan menjelaskan, pada masa Kertangera, Wiraraja menjabat sebagai demung atau demang. Tapi kemudian ia dilorot dari kedudukannya dan ditempatkan sebagai Bupati Sumenep. Karenanya Wiraraja tak senang kepada Kertanegara. “Ia merasa diserikkan hatinya. Ia dilorot dari demung dan dipindahkan ke Sumenep sebagai adipati. Ketika datang kesempatan membalas dendam, segera ia gunakan,” jelas Muljana. Wiraraja lalu bermaksud menggunakan Jayakatwang untuk melancarkan kesumatnya itu. Putranya ia utus untuk menyampaikan surat. Baik Kidung Harsawijaya maupun Kidung Panji Wijayakrama , memaparkan isi surat Wiraraja kepada Jayakatwang yang senada. Isinya adalah isyarat tentang kondisi istana Kertanegara. Bahwa Kertanegara telah memecat menteri-menterinya dan menggantinya dengan yang baru. Rakyat dianggap tak puas dengan sikap Kertanegara. “Jika Tuanku hendak berburu ke tegal lama sekaranglah saatnya…,” tulis Wiraraja dalam suratnya. Jayakatwang juga terpa n tik perkataan patihnya kalau moyangnya, Dandang Gendhis atau Kertajaya, binasa karena pemberontakan buyut Kertanegara, Ken Angrok. Kadiri dan bala tentaranya pun musnah akibat dijajah Singhasari. “Padukalah yang mempunyai kewajiban membangun Kerajaan Kadiri dan membalas kekalahan Prabu Kertajaya,” kata sang patih.   Setelah membaca surat Wiraraja dan pendapat patihnya, Jayakatwang segera memerintahkan Patih Kebo Mundarang untuk membagi dua tentara Kadiri. Sebagian pasukan di bawah Sinapati Jaran Guyangditugaskan menyerang Singhasari dari utara. Sisa pasukannya di bawah Patih Mundarang menyerang dari selatan. “Segenap pulau tunduk kepada kuasa Raja Kertanegara, tetapi raja Kadiri, Jayakatwang, membuta dan mendurhaka,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama. “Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat, berkhianat karena ingin berkuasa di wilayah Kadiri.” Dendam Lama Bersemi Kembali Selama ini selalu dikatakan bahwa runtuhnya Kerajaan Singhasari akibat serangan raja Jayakatwang dari Kadiri. Pemantiknya adalah dendam Jayakatwangatas kematian buyutnya, Kertajaya yang ditumpas oleh buyut Kertanegara, Ken Angrok. Menurut Nagarakrtagama, sejak Kertajaya ditumbangkan Sang Rajasa, sudah ada tiga raja yang menggantikannya. Atas perintah Rajasa, raja Jayabasa naik menjadi raja di Kadiri. Ia memerintah selama 36 tahun. Lalu digantikan Raja Sastrajaya yang memerintah 13 tahun. Setelahnya Jayakatwang memerintah di Kadiri. Soal siapa sebenarnya Jayakatwang, dikisahkan berbeda-beda oleh banyak sumber. Nagarakrtagama mengisahkannya sebagai Raja Kadiri, Pararaton mencatatnya sebagai Raja di Daha. Begitu juga Kidung Panji Wijayakrama yang menceritakannya dengan nama Jayakatong sebagai raja di Daha. Sementara Kidung Harsawihaya menyebutnya dengan jelas sebagai raja di Daha, keturunan Dandang Gendhis. Ada juga dalam Prasasti Kudadu yang diterbitkan masa pemerintahan Wijaya sebagai peringatan penetapan sima sekaligus balas jasanya kepada Desa Kudadu. Prasasti ini mengisahkan Sri Jayakatyeng dari Gelang Gelang yang menyerang Sri Kertanegara. “Ia bertindak sebagai musuh, melakukan perbuatan hina, mengkhianati sahabat, mengingkari perjanjian, ingin membinasakan Kertanegara di negara Tumapel,” catat prasasti itu. Mirip dengan pernyataan prasasti, berita Catatan Dinasti Yuan menyebut Jayakatwang sebagai raja dari Kalang. Namanya disebut dengan Haji Katang. Namun setelah ia berhasil membunuh raja Jawa, Haji Gedanajiala (Kertanegara), ia bertakhta di Daha. Di Daha pulalah terjadi pertempuran akhir antara pasukan Mongol di bawah Shibi, Ike Mese, dan Gao Xing yang dibantu pasukan Wijaya melawan pasukan Jayakatwang. Melihat itu, kata ahli epigrafiBoechari, dalam Melacak Sejarah Kuno Lewat Prasasti, wajar kalau beberapa sumber, termasuk Kidung Harsawijaya, mencatat alasan pemberontakan Jayakatwang kepada besannya karena dendam. Namun rupanya ada alasan lain yang membuat hubungan keluarga tak lagi berarti. Petunjuknya ada dalam Prasasti Mulamalurung (1255). Prasasti itu antara lain mencatat anak-anak Raja Wisnuwardhana, ayah Kertanegara, yang ditetapkan sebagai penguasa wilayah. Salah satunya disebutkan wilayah Gelang Gelang yang dikuasai Turukbali, putri Wisnuwardhana,istri Jayakatyang yang juga kemenakan Wisnuwardhana. Sementara Nararya Murdhaja, putra Wisnuwardhana yang bergelar Kertanegara dinobatkan di Daha. Ia menguasai wilayah Kadiri. “Jadi, Jayakatwang adalah pangeran dari Gelang Gelang, menyerang dari Gelang Gelang dan setelah berhasil menggulingkan Kertanegara ia menguasai Daha,” jelas Boechari. Sekali lagi, Jayakatwang adalah cucu buyut Kertajaya, raja Kadiri yang dikalahkan Ken Angrok. Ia bisa saja merasa tak senang wilayah kekuasaan moyangnya, yaitu Kadiri, justru diambil raja untuk diberikan kepada putra mahkota. Sementara ia hanya diambil mantu dan mendampingi istrinya sebagai penguasa Gelang Gelang. “Mungkin ini adalah sebab yang lain mengapa ia memberontak terhadap Kertanegara,” kata Boechari. Artinya, kendati sudah diikat hubungan perkawinan sedemikian rupa, Jayakatwang masih menyimpan sakit hati terhadap Kertanegara sejak lama. Namun, sejak menerima surat Wiraraja hingga akhirnya menyerang, ia membutuhkan waktu 38 tahun. Menurut Boechari mungkin Jayakatwang tengah menanti saat yang tepat. Pun ia mungkin juga dilema karena terikat perjanjian damai dengan penguasa Singhasari. “Ia ipar sekaligus besan Kertenegara,” kata Boechari. Karenanya tak berlebihan jika Prasasti Kudadu mengatakan kalau Jayakatwang telah mengkhianati sahabat dan mengingkari janji waktu ia menyerang Kertanegara. Pada akhirnya menyatukan keluarga lewat perkawinan politik juga tak cukup memperoleh koalisi permanen.

  • Di Balik Upaya Penangkapan Kolonel Simbolon

    LETNAN KOLONEL Soegih Arto bersekongkol dengan dengan orang-orang kepercayaannya:  Komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB setara Kodim), Kapten Kavaleri Cuk Soewondo, dan Letnan Satu Suharto. Mereka punya misi menangkap Panglima Kodam Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon. “Selama bertugas di Medan, peristiwa demi peristiwa terjadi, ada yang agak serius, ada pula yang menjurus ke makar, pemberontakan terhadap pemerintah pusat,” tutur Soegih Arto dalam memoarnya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto . Pada 22 Desember 1956, Simbolon memproklamasikan berdirinya Dewan Gajah di depan corong RRI. Dalam deklarasinya, Simbolon menyatakan pemutusan hubungan dengan pemerintah untuk sementara waktu. Simbolon juga menyatakan tidak mengakui Kabinet Ali II (Ali-Roem-Idham). Untuk melegitimasi kedudukan, Simbolon mengambil alih pemerintahan di teritorium Sumatra Utara. Soegih Arto menangkap gelagat bahwa Simbolon akan melancarkan pemberontakan. Sebagai perwira paling senior di kalangan pendatang, Soegih Arto didapuk menjadi pemimpin gerakan penangkapan Simbolon. Soegih Arto sempat perang batin karena ketakutan meringkus atasan sendiri. Tapi anak buahnya merongrong karena sudah ada perintah dari Panglima Tertinggi (Presiden Sukarno). “ Overste memimpin gerakan ini, atau Overste tidak akan meninggalkan ruangan ini hidup-hidup. Memimpin gerakan atau mati. Bulat sudah telad kami,” kata Letnan Satu Suharto kepada Soegih Arto dalam sebuah rapat di asrama kavaleri.      Setelah urun rembug, rencana esksekusi Simbolon akhirnya ditentukan: 26 Desember. Pada hari itu, Simbolon mengundang semua perwira teras ke rumahnya dalam sebuah jamuan makan malam perayaan Natal. Soegih Arto datang dengan hati kalut. Sementara itu, dia telah mengerahkan pasukan anti Simbolon sekira satu batalyon banyaknya mengepung Kota Medan, termasuk ke Jalan Walikota No. 2, alamat kediaman Simbolon. Dalam acara jamuan makan itu, suasana sukacita begitu diperlihatkan oleh tuan rumah. Aneka penganan lezat dan hidangan khas Batak berjejal di meja makan.  Pesta Natal merupakan hari raya bagi Simbolon sekeluarga. Simbolon sesekali meninggalkan ruangan makan karena harus menerima laporan anak buahnya via telepon. Kendati demikian,  Soegih Arto mengenang tawa selalui menghiasi wajah Simbolon pada malam itu. Namun bagi Soegih Arto, situasi sungguh genting dan tidak menentu. Makanan enak terasa hambar di lidahnya. Dia takut kalau gerakan bocor. Bisa-bisa, Soegih Arto jadi tawanan di tengah jamuan makan malam. “Begitu kacau pikiran saya, sampai makan pun kesasar ke tempat khusus yang disediakan untuk perwira Batak, karena di situ disajikan sayur anjing!” kenang Soegih Arto. Rupanya Simbolon keburu mengendus gerakan pasukan yang menentangnya sedang berjalan menuju Medan. Tapi Simbolon tidak menyadari komplotan Soegih Arto yang hendak meringkus dan menghadapkannya ke petinggi di Jakarta. Jamuan makan di rumah Simbolon akhirnya ditutup lebih awal. Semua perwira diperintahkan kembali siaga ke posnya masing-masing. Soegih Arto menyusut siasat mengepung Simbolon sampai menyerah. Namun dia terlambat, Pagi-pagi buta, Simbolon sekeluarga mengungsi ke arah Tapanuli Utara. Simbolon keluar dari Kota Medan dengan kawalan 400 orang tentara dari Kapten Sinta Pohan yang memihak Simbolon. Dengan lolosnya Simbolon, maka gagallah upaya kelompok Soegih Arto, setelah komandannya sempat hampir kecele memakan daging anjing.

  • Midway, Adu Kekuatan Dua Armada

    SUDAH 77 tahun ia terkubur di dasar Samudera Pasifik tanpa ada yang mengusik. Namun pada 20 Oktober 2019 lalu, posisi bangkainya ditemukan oleh sekelompok arkeolog maritim. Ialah Akagi, kapal induk kebanggaan Angkatan Laut (Jepang) yang jadi kapal komando ( flagship ) dalam Pertempuran Midway, 4-7 Juni 1942. Mengutip CBS News , 21 Oktober 2019, bangkai kapal induk berbobot 42 ribu ton itu ditemukan di 2.100 kilometer barat laut Pearl Harbor, Hawaii. Meski bekas gempuran memenuhi segala sisi badannya, Akagi ditemukan terkubur dalam posisi tegak di kedalaman 5.490 meter. Adalah tim ekspedisi Vulcan Inc. dan Komando Sejarah dan Warisan AL Amerika yang menemukan Akagi menggunakan kapal riset Petrel. Dua hari sebelum Akagi ditemukan, Petrel juga menemukan bangkai Kaga , kapal induk AL Jepang lain yang turut karam di pertempuran yang sama. “Saya yakin dengan apa yang saya lihat di sini. Dimensi yang kami dapatkan dari gambar ini sudah menyimpulkan. Kami juga membaca tentang pertempurannya dan tahu apa yang terjadi. Tapi bisa melihat sendiri di dasar lautan, Anda mendapatkan perasaan tentang semahal apa harga peperangan itu,” tutur Direktur Operasi Bawah Laut Vulcan Inc. Rob Kraft. “Penemuan ini tentang edukasi dan menghidupkan kembali sejarah bagi generasi penerus,” imbuhnya. Diangkat ke Layar Lebar Sebagai satu kisah pertempuran paling menentukan jalannya Perang Dunia II di front Pasifik, Pertempuran Midway pernah difilmkan pada 1976 dengan tajuk Midway . Film yang diproduksi The Mirisch Corporation dengan menggandeng Universal Pictures itu diracik sineas Jack Smight dengan “rombongan” aktor-aktor beken di masanya: Charles Heston, Henry Fonda, James Coburn, Glenn Ford, hingga Toshiro Mifune. Tahun ini film yang mengangkat pertempuran dahsyat itu kembali dilahirkan dengan tajuk serupa, Midway, besutan Roland Emmerich. Sutradara Jerman ini sudah malang-melintang menelurkan karya-karya box offic e macam Universal Soldier (1992), Independence Day (1996), The Patriot (2000), dan White House Down (2013). Emmerich mengumpulkan sejumlah aktor ternama untuk meramaikan filmnya, mulai dari Ed Skrein, Dennis Quaid, Woody Harrelson, Mandy Moore, Aaron Eckhart, Patrick Wilson, hingga Luke Evans. Rencananya, Midway akan tayang di Amerika mulai 8 November 2019, di pekan yang sama dengan perayaan Hari Veteran (11 November). Bagi Emmerich, bisa menggarap Midway adalah mimpi terpendam yang akhirnya terwujud. Dalam wawancaranya dengan James Barber yang dimuat military.com , 4 Juni 2019, ia sudah mencetuskan ide ingin menggarap kisah Pertempuran Midway sejak dua dekade lampau. “Saat itu saya masih terikat kerjasama dengan Sony, tapi karena studionya yang punya orang Jepang, jadi mereka tidak terlalu berminat karena filmnya akan dirasa membuat mereka (orang Jepang) sebagai pecundang. Saya selalu bilang bahwa saya tak ingin menonjolkan Jepang sebagai pecundang. Adalah pembuat kebijakan yang memulai perang. Bukan Angkatan Laut mereka,” tutur Emmerich. Kapal Induk Akagi saat masih gagah berlayar (kanan) & saat ditemukan di dasar laut (Foto: US Navy National Museum of Naval Aviation/Facebook RV Petrel) Butuh 20 tahun bagi Emmerich untuk bisa merealisasikannya, setelah bernaung di bawah raksasa film Lionsgate. Menengok trailer- nya yang sudah bertebaran di YouTube sejak 12 September 2019, Midway sudah terasa geregetnya. Emmerich menghadirkan babak demi babak yang menyebabkan Pertempuran Midway terjadi. Sebagaimana rangkaian kisah aslinya, Emmerich juga menonjolkan kekuatan udara dalam pertempuran di laut. Sebagaimana diketahui, Pertempuran Midway merupakan pertempuran laut pertama di dunia yang seluruhnya mengandalkan kapal induk dengan ratusan pesawat-pesawatnya tanpa diikuti baku gempur klasik antar-kapal tempur dengan meriam-meriamnya. “Sebelumnya ada Michael Bay dan Jerry Bruckheimer yang membuat Pearl Harbor (2001). Saya selalu ingin memulai film saya dengan (pembokongan) Pearl Harbor karena Anda hanya akan paham tentang Midway ketika Anda memperlihatkan Pearl Harbor,” sambungnya. Namun, Emmerich tak bisa menggarapnya dengan kelengkapan properti asli. Kapal-kapal perang di era itu yang kini masih bisa beroperasi sudah tak lagi ditemukan. Emmerich terpaksa harus membuat tiruannya dan mengombinasikannya dengan bluescreen. Pun dengan pesawat-pesawatnya. Untuk menghindari tersandung soal akurasi sejarah, Emmerich mengajak pakar riset film sejarah Kirk Petruccelli. Sebelumnya, Petruccelli juga diajak Emmerich kerjasama mengerjakan The Patriot. Meski jadwal resminya belum keluar, Midway patut dinanti lantaran sudah masuk dalam daftar Coming Soon . Semoga tak dikangkangi film-film genre horor hingga drama percintaan yang tengah marak. Pukulan Telak di Tengah Samudera Pasifik Bagi yang menantikan filmnya, akan lebih seru jika mengorek informasi tentang apa yang terjadi di tengah Samudera Pasifik 77 tahun lewat itu. Bagaimana sebuah atol bisa begitu penting arti strategisnya buat armada AL Jepang maupun Amerika? Mendiang jurnalis senior P.K. Ojong dalam Perang Pasifik menggambarkan atol Midway yang diameternya hanya enam mil dan kadang tergenang air laut, letaknya di antara Tokyo dan San Francisco. Oleh karenanya, Amerika menamainya Midway alias setengah jalan. Pasca-Pearl Harbor dibombardir Jepang pada 7 Desember 1941, Amerika melengkapi atol itu dengan landasan-landasan pesawat. “Kekuatan Jepang berada di puncaknya Maret 1942 ketika tujuan utama penguasaan sumber-sumber minyak di Indonesia tercapai. Tapi setelah kemenangan gilang-gemilang ini menjadi kenyataan, Tokyo tidak punya program konkret selanjutnya,” ungkap Ojong. Laksamana Chester Nimitz (kiri) & Isoroku Yamamoto, dua panglima tertinggi di Pertempuran Midway (Foto: Naval History & Heritage Command) Jepang sempat bingung apakah akan mengalihkan perhatian ke Burma dan India menghadapi Inggris atau Australia. Jepang merasa Amerika belum bakal bangkit setelah terpuruk di Pearl Harbor. Jepang yang terlena baru insyaf kala Tokyo dibombardir pesawat-pesawat Amerika lewat Serangan Doolitle, 18 April 1942. Ternyata Amerika masih mampu memberi perlawanan. Serangan perhitungan Amerika atas pembokongan Pearl Harbor itu dicanangkan Letkol James Harold Doolittle, perwira cadangan dalam Korps Udara Angkatan Darat Amerika. Tidak hanya mengarsiteki serangan dari Kapal Induk USSHornet , Doolitle memimpin langsung penyerangan itu hingga serangan itu diabadikan dengan namanya, Doolittle Raid. Meski militer Jepang syok ibukotanya bisa diserang, hikmahnya mereka punya fokus baru: menghancurkan armada Amerika di Pasifik tanpa niat maju terus sampai pantai barat Amerika. Namun, Amerika menyangka Jepang bakal melaju sampai daratannya. Laksamana Isoroku Yamamoto, panglima kaigun (angkatan laut Jepang), lantas merujuk target berikutnya, yakni Midway, untuk merebut Pearl Harbor, pusat AL Amerika di Pasifik. Yamamoto ingin armada Amerika, utamanya kapal-kapal induknya, segera dihancurkan sebelum industri AL Amerika bangkit lagi. Namun Yamamoto dan para petinggi kaigun tak mengetahui bahwa Amerika sudah tahu “isi perut” Jepang. Kendati jumlah kekuatan armada Jepang jauh lebih unggul, Amerika punya keuntungan berupa keberhasilan tim intelijen AL Amerika memecahkan kode AL Jepang tanpa disadari Jepang. Amerika pun sudah belajar dari kegagalan intelijennya di Pearl Harbor. “Sejak 1942 Amerika punya unit khusus memecahkan kode militer Jepang yang berbasis di Stasiun Radio HYPO di Hawaii. Kode yang dipecahkan HYPO mampu menentukan tanggal serangan, bahkan memberi informasi perintah pertempuran AL Jepang lengkap kepada (Panglima Armada Amerika di Pasifik, Laksamana Chester) Nimitz,” sebut sejarawan Michael Smith dalam The Emperor’s Codes: Bletchley Park and the Breaking of Japan’s Secret Ciphers. Dengan bekal kode itu, Nimitz tinggal menyesuaikan strategi meski armadanya kalah jumlah. Ia pun jadi tahu rencana Yamamoto yang mengirim manuver “pancingan” ke Kepulauan Aleut. Yamamoto pun tak insyaf Nimitz tidak termakan manuver pengalihan perhatian itu. Nimitz memusatkan kekuatan Armada Pasifiknya tetap di Midway. “Sementara Yamamoto memecah kekuatannya dengan berharap Nimitz terpancing dan mengirim armadanya ke sana,” imbuh Ojong. Dalam memancing Nimitz ke jurusan Aleut, Yamamoto mengerahkan 10 kapal perangnya, termasuk dua kapal induk. Jika Yamamoto tak memecah kekuatannya untuk memancing Nimitz dan memusatkannya di Midway, mungkin cerita Pertempuran Midway bakal beda. Jepang bisa mengerahkan enam kapal induk, bukan empat. Sedangkan Amerika hanya punya tiga di Midway. Aleut memang kemudian sukses direbut Jepang pada 3-4 Juni, namun Aleut tak punya arti strategis. Sejarawan militer Inggris Mayjen J.F.C. Fuller dalam The Decisive Battles of Western World jilid III menyingkap, armada gabungan Jepang totalnya 131 kapal, belum termasuk ratusan pesawat. AL Jepang membawa serta empat dari enam kapal induk “veteran” Pearl Harbor: Hiryu , Soryu , Kaga dan Akagi yang menjadi flagship alias kapal komando di bawah pimpinan Laksamana Madya Chuichi Nagumo. Sementara, dari 50 kapal perangnya, Amerika hanya diperkuat tiga kapal induk: USS Yorktown , USS Enterprise dan USS Hornet . Namun, jumlah pesawat Amerika lebih banyak lantaran tidak hanya yang berdiam di “perut” ketiga kapal induknya, namun juga ada ratusan lain yang berbasis di Atol Midway. Atol Midwal diperebutkan Amerika dan Jepang (kiri) & Kapal Induk Hiryu jelang karam usai dihantam pesawat-pesawat Amerika (Foto: Naval History & Heritage Command) Adu kuat dua armada pun terjadi mulai 4 Juni 1942 di perairan Midway. Gegara blunder strategi oleh Nagumo, Jepang kehilangan keempat kapal induknya, termasuk Akagi, yang memaksa Nagumo diungsikan ke salah satu kapal penjelahnya. Yang fatal, Nagumo salah taktik. Dia mempersenjatai ratusan pesawatnya dengan bom untuk membombardir atol. Padahal, dalam pertempuran laut modern menggunakan pesawat, lebih efektif menyerang kapal musuh dengan torpedo ketimbang bom biasa. Maka begitu pesawat-pesawat Amerika dari tiga kapal induk dan atol lebih dulu mendatangi mereka, Jepang ketinggalan start . Butuh satu jam untuk mengganti persenjataan ratusan pesawat dan itu memainkan peran vital. “Mulanya muatannya torpedo (karena Nagumo tak melihat kedatangan armada Amerika), kemudian ditukar dengan bom, kini diganti lagi dengan torpedo. Nah lalu ini seperti pertandingan cepat tukar baju saja,” sebut Ojong lagi. Pertempuran yang bergulir hingga 7 Juni itu menendatangkan malapetaka besar AL Jepang yang pertama sejak 350 tahun, yakni ketika armada Jepang dipukul telak pada 14-15 Agustus 1592 oleh armada Korea yang dipimpin Laksamana Yi Sun Shing di Pertempuran Kepulauan Hansan. Kabar kekalahan ini ditutup-tutupi petinggi militer Jepang agar tak kehilangan muka di hadapan Jepang publik Jepang maupun negeri-negeri jajahannya. Sejak itu, armada Jepang selalu dalam posisi defensif. “Kalau ini diketahui kita yang berada di Indonesia, alangkah berbedanya pandangan kita terhadap kekuatan Jepang,” tandas Ojong.

  • Celana Dalam Al-Baghdadi dan Kahar Muzakkar

    SAAT disergap pasukan Amerika Serikat pada 27 Oktober 2019, Abu Bakar al-Baghdadi, pemimpin ISIS, melarikan diri ke terowongan. Dia meledakkan dirinya yang juga menewaskan tiga anaknya. Tes DNA pada sisa tubuhnya memastikan kematian Al-Baghdadi. Setelah disalatkan, sisa tubuhnya dilarung ke laut seperti pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden, pada 2011. Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengecilkan peran pasukan Kurdi, Kekuatan Demokratik Suriah (SDF), dalam operasi itu. Trump menyebut Kurdi memberikan informasi yang membantu, namun sama sekali tidak melakukan peran militer. Polat Can, komandan senior SDF, pun bersuara lewat akun twitternya. Dia mengungkapkan bahwa SDF bekerja sama dengan CIA untuk melacak Al-Baghdadi sejak 15 Mei 2019, dan menemukan persembunyiannya di Provinsi Idlib. Al-Baghdadi akan pindah ke tempat baru di Jarablus namun keburu diserbu. “Semua intelijen dan akses ke Al-Baghdadi di samping identifikasi tempatnya adalah hasil pekerjaan kami. Sumber intelijen kami terlibat dalam pengiriman koordinat, mengarahkan penurunan satuan dari udara, terlibat bagi keberhasilan operasi sampai saat-saat terakhir,” kata Polat Can dikutip bbc.com . Bahkan, Can mengungkapkan, mata-matanya berhasil mencuri celana dalam Al-Baghdadi yang digunakan untuk tes DNA. “Sumber kami sendiri, yang telah dapat menjangkau Al-Baghdadi, membawa celana dalam Al-Baghdadi untuk dites DNA dan dipastikan (100%) bahwa orang yang dimaksud adalah Al-Baghdadi sendiri,” cuitnya pada 28 Oktober 2019. Dalam sejarah Indonesia, tentara Indonesia juga pernah mengidentifikasi pemimpin pemberontakan, Kahar Muzakkar, dengan celana dalam. Pada 3 Februari 1965 pukul 4:00, pasukan Peleton I/Kompi D dalam Operasi Kilat mengepung tempat persembunyian Kahar Muzakkar, pemimpin DI/TII, di sekitar Sungai Lasolo, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Pertempuran hanya berlangsung lima menit. Mayat-mayat yang ada dikumpulkan untuk diidentifikasi. Salah satunya diyakini mayat Kahar, orang yang ditakuti sejak tahun 1950 dan mengangkat dirinya sebagai khalifah RPII (Republik Persatuan Islam Indonesia). Kahar meninggal tepat di Hari Raya Idulfitri. Mayat Kahar dibawa ke pos TNI terdekat. Dari pos tersebut barulah informasi kematian Kahar disampaikan melalui radiogram ke pos komando di Pakue. Brigjen TNI M. Jusuf, Panglima Operasi Kilat, dan Brigjen TNI Rukman kebetulan berada di sana sedang merayakan Lebaran bersama pasukannya. Jusuf lalu meneruskan berita kematian Kahar kepada Menteri/Pangad Letjen TNI Achmad Yani yang saat itu juga langsung melaporkannya kepada Presiden Sukarno. Dari pos komando Pakue, Jusuf membawa jenazah Kahar dengan helikopter Mi-4 ke bandar udara Hasanuddin di Makassar. Achmad Yani mengutus Deputi I/Pangad Mayjen TNI Moersjid untuk memastikan yang mati benar-benar Kahar. Setelah melihat jenazah itu di bandara, Moersjid dibekali sejumlah foto segera terbang ke Jakarta untuk melaporkannya kepada Achmad Yani. Jenazah Kahar lalu dibawa ke rumah sakit tentara di Makassar. Jusuf memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihat jenazah itu dan memastikan sendiri bahwa yang mati benar-benar Kahar. “Sejak di Pakue saya telah memastikan bahwa yang meninggal adalah Kahar. Ciri utama dari Kahar adalah tahi lalat, gigi emas, dan yang paling penting adalah celana dalam dengan bordiran huruf KM (Kahar Muzakkar). Beliau tidak mau memakai sembarang celana dalam, kecuali yang dibordir khusus oleh istrinya yang keempat,” kata Jusuf dalam biografinya, Panglima Para Prajurit  karya Atmadji Sumarkidjo. Menurut Atmadji salah satu orang yang mendapat kesempatan langka memotret jenazah Kahar adalah wartawan Boet Ph M. Rompas. “Dia juga memotret celana dalam Kahar dengan inisial dua huruf KM yang jelas terlihat,” tulis Atmadji. Jusuf kemudian memerintahkan jenazah Kahar dikuburkan. Jusuf dan Kolonel Solichin GP, Kepala Staf Operasi Kilat, tidak pernah menceritakan di mana Kahar dimakamkan dan siapa yang diperintahkan memakamkannya. “Jusuf sendiri tetap konsisten dengan sikapnya, dan tidak pernah mau menceritakan di mana dia memerintahkan Kahar Muzakkar dimakamkan sampai dia meninggal pada September 2004,” tulis Atmadji.*

bottom of page