top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • 12 Sepatu Bola yang Hilang

    Sebagai cabang olahraga paling populer, sepakbola menjadi bahan obrolan orang di berbagai tempat, mulai televisi hingga warung kopi. Tak hanya jadwal plus hasil pertandingan dan para bintang lapangan, beragam hal lain seputar sepakbola juga menjadi “sorotan”. Sepatu bola tak ketinggalan, menjadi bahan obrolan di banyak tempat meski tak diobrolkan seluas topik obrolan seputar pemain. Sama seperti permainan dan para pemain sepakbola, sepatu bola juga terus mengalami kompetisi, evolusi, regenerasi. Meski sekarang praktis hanya Adidas, Nike, dan Puma yang mendominasi lapangan-lapangan, merek lain macam Asics, Diadora, Lotto, atau Mizuno tetap masih mewarnai berbagai pertandingan yang ada. Realitasnya agak berbeda dari masa lalu, ketika bisnis sepakbola belum sekuat sekarang. Merek-merek kecil macam Admiral, Cheetah Sport, Kronos, Penalty, Pony, Topper, atau Quassar di masa lalu ikut meramaikan pasar bisnis sepatu bola. Meski Adidas dan Puma sudah besar kala itu, merek-merek kecil tetap mendapat tempat dan bahkan bintang pemakai. Berikut ini 12 sepatu bola yang pernah jaya tapi kini sudah hilang dari lapangan. Admiral Sepatu bola Admiral memang kalah tenar dibanding jersey-nya. Jersey Admiral tak hanya jadi sponsor resmi tim nasional Inggris sejak 1974 hingga Piala Dunia 1982, tapi juga banyak klub liga Inggris hingga awal 1990-an. Admiral ikut mempelopori replika kaos pemain untuk dijual ke para fans. Prestasi itu memang tak bisa dicapai sepatu bola Admiral. Di Inggris saja, sepatu bola Admiral kalah jauh dari Umbro atau Mitre. Pemain-pemain Liga Inggris yang menggunakan sepatu bola Admiral hanya pemain-pemain biasa, bukan bintang top. Di luar Inggris, hampir tak ada pemain bintang yang mengenakan sepatu buatan mantan jurnalis Bert Patrick itu. Tapi, keberadaan sepatu ini di Liga Inggris membuktikan bahwa persaingan bisnis sepatu bola di masa lalu masih memungkinkan pemain kecil bersaing dengan raksasa-raksasa macam Adidas atau Puma. Begitu persaingan bisnis sepatu bola makin ketat sejak paruh kedua 1980-an, Admiral dan banyak merek lain harus tersingkir. Di Piala Dunia Mexico 1986, sepatu Admiral sudah tak lagi terlihat. Bintang pengguna: John Fashanu (Inggris). Cheetah Sport Pecinta sepakbola saat ini mungkin sedikit yang tahu sepatu bola satu ini. Selain mungkin namanya terdengar lucu, sepatu bola Cheetah Sport sudah lama menghilang. Pada pertengahan 1990-an saja, hanya beberapa pemain liga Eropa yang masih terlihat mengenakannya. Muncul pada tahun 1960-an, Cheetah Sport menjadi pilihan banyak pemain mulai kiper hingga penyerang. Bintang-bintang top 1970-an macam kiper legendaris Inggris Peter Shilton atau kiper legendaris Italia Dino Zoff merupakan para pengguna sepatu asal Inggris ini. Pada 1980-an makin banyak bintang lapangan yang mengenakan sepatu Cheetah Sport, terutama di Liga Italia. Bek Italia asal Inter Milan Guiseppe Bergomi merupakan salah satu penggunanya. Popularitas sepatu ini terus menanjak. Di awal 1990-an striker andalan Uruguay yang bermain di Inter Milan Ruben Sosa juga menjadi pemain yang dikontrak Cheetah Sport. Namun, paruh pertama 1990-an seperti menjadi klimaks bagi sepatu ini. Setelah Ruben Sosa, Cheetah Sport hampir tak terlihat lagi di kaki para bintang lapangan hijau. Bintang pengguna: Dino Zoff, Eraldo Pecci, Giancarlo Marocchi, Guiseppe Bergomi, Loris Boni, Mozzini, Paolini Pulici, Peter Shilton, Roberto Cravero, Ruben Sosa, dll. Dunlop Nama Dunlop mungkin lebih akrab di telinga para pecinta otomotif. Atau kalau pun akrab di telinga pecinta olahraga, Dunlop lebih familiar bagi para penyuka tenis ketimbang sepakbola. Dunlop memang fokus terjun ke cabang olahraga raket (tenis, badminton, squash). Tapi Dunlop juga tak ingin ketinggalan menggali laba dari bisnis sepakbola. Selain membuat bola sepak, Dunlop juga memproduksi sepatu bola. Para pecinta Liga Inggris hingga awal 1990-an mungkin tak asing dengan sepatu Dunlop. Banyak pemain liga tertua di dunia itu yang menggunakan atau bahkan mendapat kontrak eksklusif sepatu buatan Inggris ini. Awal 1990-an masih banyak pemain bintang Liga Inggris yang menggunakan sepatu bola Dunlop. Kiper legendaris Liverpool Bruce Grobbelaar salah satunya. Namun, Dunlop sepertinya tak mampu bersaing dengan para pemain lain di bisnis sepatu bola yang makin kemari makin adu kuat finansial. Setelah kedatangan Nike, praktis Dunlop menjadi merek yang tersingkir. Bintang pengguna: Bruce Grobbelaar, Graeme Souness, Terry McDermott, Trevor Brooking, Trevor Stevens, Zico, Gola Sebagai produsen tertua sepatu bola (1905), Gola menjadi merek yang dikagumi banyak pecinta bola. Pemain bintang banyak yang mengenakan sepatu buatan Inggris ini, beberapa di antara mereka kemudian mendapat kontrak eksklusif. Perkembangan sepakbola dan bisnis yang mengikutinya, berjalan beriringan dengan kemajuan sepatu Gola. Pada 1970-an hingga awal 1980-an, sepatu Gola menjadi pesaing berat Adidas ataupun Puma, yang usianya lebih muda. Gola antara lain menjadi pilihan bintang-bintang Liverpool dan beberapa tim di Liga Inggris. Hingga awal 1990-an, sepatu Gola masih ikut mewarnai lapangan-lapangan di berbagai liga Eropa. Mantan kapten Chelsea Dennis Wise, yang mulai melakukan debut pada awal 1990-an, juga lama menjadi pengguna sepatu ini. Namun, ketatnya persaingan dari para pendatang baru macam Nike dan Reebok membuat Gola akhirnya hilang dari lapangan. Bintang pengguna: Alan Whistle, Alec Lindsay, Dennis Wise, Ian Callaghan, Terry McDermott. Hummel Flemming Povlsen dan kawan-kawan berhasil menekuk Jerman di final Piala Eropa 1992. Kemenangan itu bukan hanya menggembirakan pemain plus ofisial dan rakyat Denmark saja tapi juga orang-orang di perusahaan Hummel. Kostum tim juara plus mayoritas sepatu yang dikenakan pemain Denmark saat itu bermerek Hummel. Alhasil, momen tersebut dimanfaatkan betul oleh produsen alat olahraga asal Denmark itu untuk mempromosikan produknya dan menggenjot penjualan. “Itu adalah bisnis yang bagus. Direktur pengelola Hummel, yang tampil dalam peluncuran versi kardigan kaos Meksiko, menghitung penjualan domestik saja bisa menghasilkan sepuluh juta kroner (£1 juta) . ‘Itu adalah kemenangan pemasaran,’ kata ahli fesyen Klaus Berggreen . ‘ Sungguh mengerikan saat Anda melihatnya sekarang, tapi sebagai publisitas, itu sangat fantastis’,” lanjutnya sebagaimana dikutip Lars Eriksen, Mike Gibbons, dan Rob Smyth dalam Danish Dynamite: The Story of Football’s Greatest Cult Team. Bagi para penggemar tim “dinamit” Denmark atau bintang asal Denmark seperti Soren Larby atau Morten Olsen, sepatu berlogo dua busur panah ini mungkin tak asing. Sebagai salah satu produsen sepatu bola tertua, muncul pada 1923, Hummel bertebaran di lapangan-lapangan berbagai liga Eropa. Selain liga lokal Denmark, pengguna Hummel terutama berasal dari Liga Inggris dan liga-liga negara-negara tetangganya. Meski kuat, sepatu bola Hummel punya kelemahan di harga: mahal. Jurnalis penggila bola Tim Lovejoy ingat betul di antara sekian banyak sepatu bola koleksinya, sepatu Hummel yang termahal. “Saya punya Pantofola d’Oros, Valsport Greenstars, dan ada masanya saya bermain dengan menggunakan sepasang Hummel Professionals berwarna mutiara seharga £280 yang menjadikannya sepatu termahal di dunia,” kenangnya dalam Lovejoy on Football: One Man’s Passion for the Most Important Subject in the World . Tetap saja, sepatu Hummel sepatu legendaris. Selain bintang-bintang asal Denmark sendiri, bintang top dunia macam Glenn Hoddle (Inggris) atau Osvaldo Ardiles (Argentina) merupakan para pengguna sepatu Hummel. Hanya saja, popularitas Hummel kemudian merosot setelah persaingan bisnis sepatu bola makin ketat. Pertengahan 1990-an hampir pemain-pemain Denmark saja yang masih mengenakan sepatu ini. Selepas timnas Denmark tak lagi memperpanjang kontrak kostum mereka dengan Hummel, jersey apalagi sepatu Hummel pun hilang dari pandangan. Bintang pengguna: Soren Larby dan mayoritas pemain tim nasional Dermark hingga akhir 1990-an, Glenn Hoddle, Lee Dixon, Osvaldo Ardiles, Paul Gascoigne, Nico Claesen, dan Vinny Samways. Kronos Saat mengantar Barcelona menjuarai Piala Champions tahun 1992, “begundal” Hristo Stoichkov namanya langsung meroket. Banyak klub Eropa langsung menaruh minat pada striker asal Bulgaria itu. Para produsen produk olahraga juga menaruh minat yang sama. Dengan mengontrak seorang bintang, mereka berharap produknya makin laris. Tapi Stoichkov tetap teguh memakai sepatu Kronos. Entah apa sebabnya, sepatu buatan Italia itu terus menjadi pilihan Stoichkov hingga akhir kariernya. Meski bukan merek top, yang dipakai bintang di masa puncak karier, sepatu Kronos pernah mewarnai lapangan-lapangan di berbagai liga Eropa dan Amerika Latin. Liga Italia sebagai pemakai terbanyak. Meski hanya Stoichkov dan Abel Balbo (Argentina) yang mengenakannya saat namanya sedang berkibar, sepatu berlogo sabit terbalik itu menjadi pilihan banyak pemain-pemain top saat awal merintis karier profesional di berbagai liga Eropa. Sayangnya, persaingan bisnis sepatu bola yang makin ketat membuat Kronos akhirnya tersingkir. Setelah Stoichkov, tak ada lagi bintang yang memakai sepatu berbasis di Vicenza itu. Pada paruh kedua 1990-an sepatu Kronos sudah mulai jarang terlihat di liga-liga Eropa. Bintang pengguna: Abel Balbo (sebelum kontrak dengan Diadora), Gabriel Batistuta (sebelum kontrak dengan Reebok), Hristo Stoichkov, Kjektil Rekdall, Maurizio Ganz, Paolo Sousa (sebelum kontrak dengan Kappa), Roberto Mancini (sebelum Asics). Le Coq Sportif Sampai Piala Dunia Mexico 1986 usai, logo ayam dengan bingkai segitiga masih bertebaran di kaos ataupun sepatu pemain sepakbola di berbagai liga Eropa maupun Amerika. Le Coq Sportif, pemilik logo itu, merupakan produsen peralatan olahraga asal Prancis. Mulai populer pada 1970-an, sepatu bola Le Coq Sportif tak hanya menjadi pilihan pemain-pemain di Liga Prancis tapi juga liga-liga lain di dunia. Bintang-bintang pada masa itu juga banyak yang mengenakan sepatu ini. Namun, hal itu tak berlanjut terus. Awal 1990-an sepatu Le Coq Sportif –dan juga jersey-nya– mulai jarang terlihat di berbagai gelaran pertandingan sepakbola. Kini, meski masih diproduksi, sepatu bola Le Coq Sportif tak lagi terlihat di liga-liga Eropa apalagi dunia. Bintang pengguna: Gary Stevens, Glenn Hoddle, Osvaldo Ardiles (sebelum Hummel), Pat Van Den Hauwe, Roger Mila, Zico. Line 7 Sebagai pemain yang ikut mengantar Jerman Barat menjuarai Piala Dunia 1990, Stefan Reuter menjadi incaran banyak klub besar setelah ajang sepakbola terbesar sejagat itu selesai. Juventus beruntung mendapatkan dia bersama beberapa pemain Jerman lain. Seakan tak ingin kalah dengan klub, produsen-produsen alat olahraga pun berburu bintang-bintang untuk dikontrak. Produsen sepatu bola Prancis Line 7 berhasil mengontrak pemain dengan posisi bek kanan itu. Wajah Reuter tampil dalam lembaran-lembaran media yang mengiklankan sepatu Line 7. Di masa 1990-an awal itu, sepatu Line 7 telah mencapai popularitas meski baru berusia sekira 10 tahun. Banyak pemain di liga-liga besar Eropa mengenakannya. Zenedine Zidane bersama Bixente Lizarazu dan Cristoph Dugarry merupakan pemain-pemain profesional yang di awal karier mereka mengenakan sepatu berlogo angka 7 itu. Sayangnya, sepatu Line 7 tak berhasil adu kuat dalam persaingan dalam bisnis peralatan olahraga. Pada akhir 1990-an, sepatu Line 7 sudah jarang terlihat di liga-liga Eropa. Jangankan bintang, pemain-pemain yang dulu mengenakannya pun sudah beralih ke sepatu-sepatu lain yang produsennya lebih berduit. Bintang pengguna: Alberigo Evani, Andy Todd, Brian O’Neill, Paul Stewart, Stefan Reuter. Patrick Sebagai dua bintang yang bersinar pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, Michel Platini dan Kevin Keegan bersaing ketat baik di level klub maupun negara. Tapi Platini lebih sukses dalam prestasi. Selain menjadi motor ketika Prancis sukses menjuarai Piala Eropa 1984, Platini juga menjadi tulang punggung Juventus ketika merebut Piala Champions untuk kali pertama. Sementara, Keegan dan Inggris tak mampu berbuat banyak. Persaingan kedua bintang juga merambat ke produk-produk komersil di mana banyak perusahaan mulai minuman hingga mobil menggunakan jasa Platini maupun Keegan sebagai bintang iklan mereka. Namun, ada satu yang membuat keduanya akur: sepatu bola Patrick. Sepatu berlogo dua garis vertikal sejajar di bagian tumit itu dibuat pertamakali oleh Patrice Beneteau pada 1892. Sejak akhir 1970-an, Patrick berada di jajaran atas merek sepatu bola. Keegan dan Platini hanya dua dari banyak bintang yang mendapat kontrak dari Patrick, dan hanya sedikit dari sekian banyak pesepakbola yang menggunakan sepatu buatan Prancis itu. Namun, bintang terang sepatu Patrick tak berlangsung lama. Pertengahan 1990-an sepatu itu tak lagi banyak terlihat. Setelah bintang Denmark Michael Laudrup gantung sepatu, tak terlihat lagi sepatu Patrick di pertandingan-pertandingan sepakbola Eropa maupun dunia. Bintang pengguna: Frank Vercauten, Georges Grun (Belgia); Jean Marie Pappin, Michel Platini (Prancis); Kevin Keegan, Steve Staunton, Ray Wilkins (Inggris); Michael Laudrup (Denmark); Mark Lawrensen (Rep. Ireland). Pony Meski skandal suap sempat hampir menamatkan karier Paolo Rossi, bintang Juventus itu akhirnya berhasil menjawabnya dengan prestasi pada Piala Dunia 1982 di Spanyol. Rossi tak hanya menjadi pencetak gol terbanyak, tapi juga ikut mengantar Italia menjadi juara. Bintang Rossi kembali bersinar. Tak hanya publik Italia, produsen alat olahraga Pony pun ikut gembira. Banyak anggota tim Italia saat itu yang menggunakan sepatu Pony. Tapi, Rossi punya pesona tersendiri. Wajar saja jika wajahnya yang terpampang di berbagai media sebagai bintang iklan sepatu bola Pony. Pada 1980-an itu, sepatu Pony mencapai puncak popularitasnya. Meski tak sebanyak dekade sebelumnya, banyak pemain top baik di Liga Italia maupun liga-liga lain di Eropa yang menggunakan sepatu bola Pony. Di kejuaraan antarnegara atau Piala Dunia pun sepatu bola Pony umum terlihat hingga Piala Dunia 1982. Namun, pada paruh kedua 1980-an sepatu itu mulai jarang terlihat. Para pemain yang mengenakannya pun hanya di liga-liga. Praktis pada 1990-an sepatu Pony jarang terlihat lagi, kecuali jersey-nya yang sempat digunakan beberapa klub Inggris seperti Tottenham Hotspur. Bintang pengguna: Antonio Carbrini, Billy Hamilton, Lee Sharpe, Martin O’Neill, Paolo Rossi, Radomir Antic, Roberto Bettega. Stylo-Matchmakers Bagi para pecinta sepakbola saat ini, sepatu bola buatan Inggris ini mungkin hanya bisa dibayangkan. Hingga paruh pertama 1960-an, pengguna sepatu ini masih terbatas di Inggris dan beberapa negara Eropa saja. Popularitas Stylo-Matchmakers baru meroket pada 1960-an setelah bintang Manchester United asal Irlandia Utara George Best menggunakannya. Selain mengontrak ekslusif Best, produsen Stylo-Matchmaker menggenjot penjualan dengan promosi dan mengeluarkan produk baru. “Georgie Best erat bekerjasama dengan produsen, Stylo Matchmakers International Ltd. untuk mengembangkan sebuah sepatu (Stylo-Matchmakers baru – red .),” tulis Rubber Journal Vol. 152. Namun, pada awal 1980-an sepatu ini sudah jarang terlihat. Seperti terkena gempa dahsyat, sepatu-sepatu Stylo-Matchmakers akhirnya tak lagi terlihat di lapangan. Jangankan bintang, pemain-pemain biasa pun tak ada lagi yang memakainya. Gemerlap sepakbola Inggris –dan dunia– yang makin terang pada akhir 1980-an tak lagi diikuti Stylo Matchmakers. Bintang pengguna: George Best, Zico (sebelum Le Coq Sportif) Valsport Valsport juga merupakan satu dari sedikit sepatu bola awal, berdiri pada 1920, yang bertahan hingga beberapa dekade. Dari semula terbatas digunakan pesepakbola Italia saja, seperti Fabio Capello (kemudian menjadi pelatih top), Valsport terus bertahan dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, Valsport menangguk untung dari kedigdayaan Liga Italia. Saat “Dream Team” AC Milan merajai sepakbola Eropa, setidaknya empat pemain inti klub itu merupakan pengguna –dengan kontrak ekslusif– sepatu Valsport. Meraka adalah Mauro Tasotti, Alessandro Costacurta, Daniel Massaro, dan Gianluigi Lentini. Namun, paruh kedua 1990-an mulai membawa pergeseran pada sepatu Valsport. Ia mulai jarang terlihat kecuali di Liga Italia. Meski Stefano Fiore masih mengenakannya pada awal 2000, pemain-pemain lain hampir tak ada lagi yang mengenakan sepatu Valsport. Dan kini? Silahkan Anda cari tahu sendiri. Bintang pengguna: Alberigo Evani, Alessandro Costacurta, Daniel Massaro, Fabio Capello, Gianluigi Lentini, Julio Cesar, Mauro Tasotti, Michel Padovano, Stefano Fiore.

  • Universitas Leiden Resmikan Koleksi Asia Terbesar di Dunia

    UNIVERSITAS Leiden sejak lama terkenal sebagai salah satu pusat kajian Asia dengan koleksi pustaka terlengkap di dunia. Kajian Indonesia (Indologi) di Univeritas Leiden bahkan telah dimulai sejak dua dekade awal abad ke-19 sebagai bagian dari dominasi kolonial atas Indonesia (dulu Hindia Belanda). Calon-calon pegawai yang akan dikirim bertugas ke Hindia Belanda terlebih dahulu mendapatkan pendidikan di jurusan Indologi Universitas Leiden untuk memahami kehidupan masyarakat jajahan. Pelajaran yang mereka terima meliputi sejarah dan kebudayaan sampai dengan penguasaan bahasa. Sebagai bagian dari upaya itu dan pula pengembangan ilmu pengetahuan, para Indolog (ahli kajian Indonesia) telah memiliki tradisi mengumpulkan berbagai ragam kepustakaan dari negeri-negeri koloni Belanda. Hari ini, Kamis, 14 September pukul 10:00 pagi waktu Belanda, Ratu Maxima, permaisuri Raja Willem membuka secara resmi pusat koleksi pustaka Asia di gedung Pieterskerk, kota Leiden. Rektor Universitas Leiden Prof. Dr Carel Stolker dalam sambutan persnya mengatakan pusat koleksi Asia di perpustakaan universitasnya itu merupakan hasil kerjasama berbagai lembaga yang juga menyimpan koleksi kepustakaan Asia. “Selama tiga tahun terakhir Perpustakaan Universitas Leiden mengambil alih tanggungjawab mengumpulkan berbagai koleksi Asia Universitas Leiden dan dari lembaga lainnya untuk berada di bawah satu atap,” kata dia. Rangkaian acara pembukaan, selain dihadiri oleh Ratu Maxima, juga akan dibuka dengan pidato kunci sejarawan Univeritas Oxford Prof. Peter Frankopan. Penulis buku The Silk Roads: A New History of the World itu menyampaikan materi bertema Asia dan riwayat pembentukan dunia modern. Selain Frankopan, puluhan akademisi ahli Asia lainnya akan tampil di berbagai forum yang diselenggarakan dalam rangka pembukaan ini. Selama seharian Universitas Leiden dipenuhi kegiatan diskusi, pameran, tur perpustakaan, serta pemutaran film bertema Asia. Pada bagian koleksi Indonesia, Marije Plomp dan Dick van der Meij akan mempresentasikan materi mengenai manuskrip-manuskrip bersejarah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden. Berbagai manuskrip yang tersimpan di sini dikumpulkan oleh para Indolog yang datang ke Hindia Belanda dan ini menjadi alasan kenapa sejak ratusan lalu Leiden menjadi tujuan penting bagi mereka yang ingin mempelajari Indonesia di negeri bekas penjajahnya itu.

  • Ketika Soeharto Melihat Atlet Tak Bersepatu

    KENDATI gagal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tadinya direncanakan akan menggowes sepeda pada peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 9 September 2017 di Kota Magelang, Jawa Tengah. Rute yang akan dilalui: dari Lapangan Secaba hingga Stadion Moch Soebroto.

  • Protes Pajak Penulis di Masa Lalu

    PENULIS Tere Liye memutuskan tidak menerbitkan lagi novel-novelnya di Gramedia dan Republika. Padahal, karya-karyanya laris manis sehingga royaltinya pun besar, tentu pajaknya juga tinggi. Keputusan itu diambilnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pajak royalti penulis yang menurutnya tidak adil. Menanggapi hal itu, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa “pangkal masalahnya saya kira ada pada PPh Pasal 23 tentang royalti penulis buku yang dipotong 15% atas jumlah bruto. Saya setuju kalau hal ini memang kejam karena umumnya jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan, cukup kecil.” Prastowo sepakat bahwa pajak royalti untuk penulis sebaiknya diturunkan agar lebih adil dan membantu pendapatan penulis. Menurutnya pemberlakuan pajak royalti sudah dikenakan sejak 1984 melalui UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. “Saya belum mencatat di masa sebelumnya, tapi setidaknya sejak 1 Januari 1984 royalti menjadi objek pajak,” kata Prastowo. Protes pajak penulis bukan terjadi kali ini saja. Pada 1950-an, Njoto, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) menyinggung tentang pajak penulis dan seniman di hadapan mahasiswa Fakultas Teknik di Bandung. Dalam ceramahnya berjudul “Utamakan Sektor Ekonomi Negara untuk Meringankan Pajak Rakyat” dimuat dalam Harian Rakjat, 27 Septemper 1956, Njoto menyebut beberapa nama penulis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani dan kawan-kawan berkali-kali mengeluh tentang pajak yang dikenakan. Mereka mengeluh tidak bisa dan tidak mungkin untuk membayar besaran pajak yang dibebankan. Njoto mencontohkan pemain film Sukarno M. Noer yang ditagih pajak Rp48.000. “Bukankah semua ini membunuh daya cipta, membunuh kehidupan kesenian, membunuh kebudayaan? Semua ini adalah akibat dari keadaan bahwa pendapatan negara sebagian terbesar digantungkan dari pajak,” kata Njoto. Keluhan penulis dan seniman sejak tahun 1956 tampaknya belum direspons positif oleh pemerintah. Pramoedya Ananta Toer pun kemudian menulis protesnya terkait pajak dan sistem honorarium penulis. “Setelah M. Yamin menjadi PPK (Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan) Kabinet Ali Sostroamidjojo I, honorarium Balai Pustaka menjadi semakin kecil sedangkan pajak yang dikenakan bisa mengakibatkan bangkrutnya si pengarang,” tulis Pram dalam “Keadaan Sosial Para Pengarang Indonesia,” StarWeekly No. 576, 12 Januari 1957. Besaran pajak yang dikenakan pada penulis apabila tidak bisa membuktikan penghasilannya dalam satu tahun dan bila honorarium yang dia terima tidak melampaui batas minimum adalah 15% atas honor yang diterima. Bila honorarium lebih dari batas minimum, maka besaran pajak yang dikenakan jauh lebih besar. “Pajak ini dikenakan sebagai pajak peralihan dalam setahun. Tidak peduli naskah ditulis selama dua atau lima tahun. Tidak mengherankan bila nafsu menulis roman yang tebal-tebal hanya berakibat bangkrutnya si pengarang,” tulis Pram. Protes Pram masih berlanjut hingga 1960. Melalui akun media sosialnya, Dodit Sulaksono, pedagang buku, membagikan artikel tentang petisi para pengarang dan seniman. Dari cuplikan artikel di majalah ZamanBaru No. 5 tahun 1960 itu tertulis bahwa para pengarang dan seniman mengajukan petisi karena keberatan atas kenaikan pajak yang dibebankan pada mereka. Para pengarang dan seniman terkemuka yang menandatangani petisi itu adalah Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Boejoeng Saleh, Gayus Siagian, Sitor Situmorang, dan kawan-kawannya yang jumlahnya mencapai 48 orang.*

  • Burma dan Kemerdekaan Indonesia

    KRISIS kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak. Massa berdemonstrasi di Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta sampai membakar bendera Myanmar. Muncul juga desakan menarik duta besar Indonesia dari Myanmar, bahkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Myanmar. “Masalah yang terjadi di Myanmar bukan masalah bilateral antara Indonesia dan Myanmar. Selama ini hubungan antarnegara baik-baik saja dan tidak pernah ada benturan apapun. Oleh karenanya memanggil pulang Dubes Indonesia di Myanmar bukan suatu tindakan tepat,” kata Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, kepada Historia.ID. Persahabatan Indonesia dan Myanmar (dulu Burma, Birma) sudah terjalin sejak awal Indonesia merdeka bahkan Burma belum merdeka secara penuh. Pada 30 Oktober 1946, Jenderal Aung San, kepala pemerintahan sementara Burma, mengirim kawat kepada Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. “Isi kawat antara lain harapan terciptanya kerjasama yang erat sekali antara Birma dan Indonesia serta negara-negara lain di Asia Tenggara, demi perdamaian dunia yang kekal. Selanjutnya, dia berharap agar wakil-wakil Indonesia yang akan menghadiri Konferensi Pan Asia di New Delhi tahun depan sudi singgah dan tinggal beberapa waktu lamanya di Birma,” tulis Pramoedya Ananata Toer, dkk., dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid II (1946) . Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir menghadiri acara Inter-Asian Relations Conference in New Delhi, India, pada 27 Maret-2 April 1947. Sekembali dari India, Sjahrir dan rombongan singgah di Rangoon, Burma. Sayangnya, dia tidak bertemu dengan Jenderal Aung San yang sedang berkampanye, tapi bertemu dengan Perdana Menteri U Nu. Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, Burma mengusulkan kepada India untuk mengadakan Conference on Indonesian di New Delhi, India, 20 Januari 1949. 18 negara Asia hadir dalam konferensi ini untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada 1947, Indonesia membuka Indonesian Office atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di Rangoon. Kantor ini yang mengurus izin agar pesawat RI-001 Seulawah bisa beroperasi di Burma sebagai penerbangan sipil dengan nama maskapai Indonesian Airways. Militer Burma mencarter pesawat Dakota DC-47 itu untuk memadamkan pemberontakan suku Karen. “Angkatan Udara kita dalam tahun yang lalu telah mengembangkan sayapnya lagi di angkasa Indonesia, setelah berbulan-bulan lamanya –yakni setelah aksi militer Belanda yang kedua– dia tidak mempunyai kesempatan untuk berada di udara. Akan tetapi selama waktu itu di negara sahabat Birma, Angkatan Udara kita memelihara penerbangan terus,” kata Presiden Sukarno dalam amanat pada Hari Angkatan Perang di Jakarta, 5 Oktober 1950, termuat dalam Bung Karno: Masalah Pertahanan Keamanan. Pada 24 Januari-2 Februari 1950, Presiden Sukarno melakukan kunjungan ke luar negeri untuk pertama kalinya, yaitu ke India, Pakistan, dan Burma. Setibanya di Rangoon, Burma, Sukarno disambut oleh Presiden Burma Sao Shwe Thaik. “Di samping mempererat hubungan dengan negara-negara sahabat, kunjungan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional. Ketiga negara yang dikunjungi Presiden Sukarno itu telah banyak memberikan bantuannya pada masa yang paling sulit bagi perjuangan Republik,” tulis buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964. Tidak lama kemudian, pada April 1950, Kantor Perwakilan RI yang dipimpin Maryunani diresmikan menjadi KBRI Rangoon diikut dengan dibukanya Kedubes Burma di Jakarta. Sebagai sesama bekas negara terjajah, Indonesia dan Burma aktif dalam menentang imperialisme dan kolonialisme. Di antaranya bersama India, Pakistan dan Sri Lanka, menjadi pemrakarsa Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18-24 April 1955. Pada masa rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, hubungan Indonesia dengan Myanmar semakin mesra. Keluarga Cendana leluasa berbisnis dengan Myanmar. Bahkan, junta militer Myanmar berguru kepada Soeharto agar dapat melanggengkan kekuasaannya.*

  • Tentang Mawie, Lili dan Romansa Perang Burma

    TIGA generasi berkumpul pada rumah yang terletak di jantung kota Almere itu. Sebagian besar berbahasa Indonesia, sedikit di antaranya terdengar bercakap-cakap dalam berbagai bahasa: Belanda, Cina dan bahkan Rusia. Hari itu, Sabtu 9 September yang lalu, mereka berkumpul memperingati enam bulan wafatnya seorang suami, ayah, kakek juga kawan yang selalu bersama di dalam hari-hari terang maupun kelam hidup berpuluh tahun jauh dari tanah air. Mawie Ananta Jonie, seorang penyair sekaligus wartawan yang dikenang hari itu, berpulang pada 1 Maret yang lalu. Mungkin namanya tak banyak dicatat dalam narasi utama sejarah di Indonesia yang seringkali hanya mengisahkan tokoh-tokoh besar beserta drama kehidupannya. Tapi Mawie punya kisahnya sendiri. Terlahir sebagai anak Minang dua tahun sebelum Jepang datang menduduki Indonesia. Malang melintang sebagai aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), penyair dan wartawan. Pada 1964 berangkat ke Tiongkok untuk tugas belajar namun prahara politik 1965 mengubah jalan nasib dari benderang menjadi remang. Semenjak itu dia meniti jalan hidup sebagai orang terhalang pulang, mengembara mulai dari negeri Tiongkok, Burma dan sejak 1989 bermukim di Belanda. Di tengah-tengah acara, seseorang yang hadir dalam peringatan itu berbisik-bisik, “Mawie kuat karena ada Lili,” katanya ditingkahi anggukan setuju dari kawan di sebelahnya. Siapa Lili? Lili Salawati, istri Mawie, bukan perempuan biasa. Sampai ketika dia mengatakannya sendiri, saya tak menyangka kalau dia berasal dari Burma. “Maaf bahasa Indonesia saya kurang bagus,” katanya merendahkan diri. Lili Salawati nama Indonesia pemberian Mawie. Dalam sambutannya, Lili kembali mengenang masa-masa awal pertemuannya dengan Mawie. “Waktu itu dia sering datang ke tempat saya, numpang makan. Saya waktu itu tegur dia kok setiap kali datang selalu makan,” kata Lili. Rupanya di sanalah cinta Mawie bersemi. “Waktu dia bilang cinta sama saya, saya tidak membalas dan tak bisa mengerti itu. Bahkan sampai kemudian kami menikah, punya anak, saya belum pernah mengatakan cinta padanya,” kata Lili menambahkan. Kesempatan membalas ucapan cinta baru terjadi saat suami yang mendampinginya selama berpuluh tahun itu terbaring sakit. “Waktu seminggu sebelum dia meninggal, saya bilang sama Mawie, bap...saya cinta kamu,” ujarnya disambut riuh tepuk tangan. Lili melanjutkan ceritanya tentang sebuah insiden yang nyaris membunuh nyawa sepuluh orang saat mereka berada di pedalaman Burma. Kala itu setiap kali musim penghujan tiba, sungai mendadak meluap dengan cepatnya. “Orang-orang itu naik gerobak yang ditarik sapi hanyut disapu banjir. Mawie lempar bajunya ke arah saya lantas loncat sungai selamatkan orang-orang itu. Untuk itu saya berterima kasih betul padanya.” Sepuluh nyawa manusia berhasil lolos dari maut berkat Mawie. Lantas bagaimana sepasang anak manusia itu bisa bertemu jodoh di Burma? Cerita saya dapatkan dari tamu lain. Lili, katanya, komandan kompi tentara perempuan kiri yang berafiliasi kepada Partai Komunis Burma ketika pecah perang sipil semasa kediktatoran Ne Win. Sedangkan Mawie turut berjuang atas nama solidaritas kaum kiri, datang langsung dari Tiongkok yang saat itu baru saja melangsungkan revolusi besar kebudayaan proletar. Mereka bertemu di medan perang Burma. Saya melihat ini sebuah kisah yang sangat filmis: dengan gambaran letusan senjata dan suasana mencekam di sela-sela peperangan. Lukisan romansa masa pertempuran itu terekam juga di dalam sebuah puisi karya Mawie untuk memperingati 30 tahun pernikahannya yang berjudul Untuk Sebuah Mimpi dan Arti Kata Merdeka . Ketika luka luka itu masih terus meradang dengan sakitnya adikku, aku seberangi sungai dan panjati puncak puncak gunung negerimu. Ini untuk sebuah mimpi dan arti kata merdeka yang diperjuangkan, dan di sini aku pernah bikin janji jika aku mati kuburlah tanpa nisan. Waktu itu barisanmu berderap maju tanpa kata menyerah, bersemangat sumpah “hutang darah harus dibayar dengan darah”. Orang orang boleh saja bermimpi ya adikku tiada yang melarang, tapi kenyataan kenyataan lain dari apa yang dirancang. Hari ini adalah hari yang Ke 30 pernikahan kita dibawah tenda dan senja dengan bunga merah kesumba. Sayup sayup terdengar suara tembakan senapan jauh, di lekuk siku jalan cinta kita bersauh. Amsterdam, 05/02/2006 Usai perang pasangan ini menetap di Tiongkok, kemudian mendapatkan suaka politik dari Belanda. Mereka dikarunia dua anak. Semua berbahasa Indonesia. “Bapak selalu mengajarkan kepada kami bahwa orang Indonesia harus bisa bahasa Indonesia,” ujar anak sulungnya. Hari makin surut. Matahari perlahan tenggelam, mengganti hari yang hangat menjadi dingin di awal musim gugur. Semua tamu beranjak pergi meninggalkan rumah yang telah dihuni oleh “keluarga gerilya” itu selama berpuluh tahun.*

  • Militer Myanmar Sewa Pesawat Indonesia

    Pada 1948 pemerintah Indonesia membeli pesawat angkut Dakota DC-47 dengan sumbangan dari masyarakat Aceh. Sebagai pesawat kepresidenan, pesawat ini diberi nomor registrasi RI-001 dan dinamakan Seulawah artinya gunung emas untuk menghomati rakyat Aceh. Pesawat ini pernah digunakan menembus blokade Belanda untuk menyelundupkan senjata, peralatan komunikasi, dan obat-obatan dari Burma (kini Myanmar) ke Pangkalan Udara Blangbintang dan Loknga, Aceh. Pesawat ini kemudian punya kisah sendiri di Burma. Pada Desember 1948, pesawat RI-001 berada di India untuk menjalani overhaul (pemeriksaan/perbaikan) mesin dan pemasangan long range tank (tangki bahan bakar jarak jauh). Namun, pesawat ini tidak bisa kembali ke Indonesia karena Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Akhirnya, pesawat ini dioperasikan sebagai penerbangan sipil di luar negeri. Namun, pemerintah India tidak memberikan izin karena sudah memiliki Indian National Airways. Menurut Irna HN Hadi Soewito, dkk. dalam Awal Kedirgantaraan Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950, pada Januari 1949, Maryunani, kepala perwakilan Indonesia di Myanmar, mememberi tahu bahwa pemerintah Burma membutuhkan pesawat angkut untuk operasi memadamkan pemberontakan golongan kiri (The White Flag People Volunteers Organization) dan golongan ekstrem kanan, suku Karen di perbukitan. “Berhubung kedudukan para pemberontak sangat sulit dicapai dengan jalan darat, maka keberadaan angkatan udara sangat diharapkan. Pada 20 Januari 1949 semua perbaikan dan penyempurnaan pesawat RI-001 Seulawah selesai dan di waktu yang sama, izin untuk terbang di wilayah Burma keluar,” tulis Irna. Pada 26 Januari 1949, pesawat RI-001 Seulawah diterbangkan dari Kalkuta menuju Rangoon (kini Yangon) dengan dipiloti Kapten James Maupin, kopilot Sutardjo Sigit, operator radio Sumarno dan teknisi Wallace Casselberry dengan mengikut sertakan Wiweko Supono, Sudaryono dan Ali Algadri, staf perwakilan Republik Indonesia di Myanmar. Berkat bantuan U Maung-Maung, mahasiswa dan redaktur surat kabar The Rangoon Post , pesawat RI-001 Seulawah mendapat izin terbang dan izin usaha dengan badan usaha bernama Indonesian Airways. Kantor dan mess para awaknya bertempat di Thamwee Road 30, Rangoon yang sedianya merupakan kantor perwakilan Republik Indonesia di Myanmar. Pesawat RI-001 Seulawah disewa oleh Union of Burma Airways dan berada di bawah wewenang skadron angkut Angkatan Udara Myanmar. Tidak hanya untuk mengangkut logistik, tentara, namun juga membawa pemimpin Myanmar dengan tarif 10 Rupee per mil. Sebut saja Perdana Menteri Thakin Nu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Bo Ne Win, Menteri Pertahanan U Win, Menteri Penerangan Myanmar U Tan Pa, hingga Menteri Pendidikan dan Direktur Penerbangan Sipil Bo Se Cha dalam beragam agenda inspeksi dan konsolidasi. Tidak jarang pula pesawat RI-001 Seulawah jadi sasaran tembak senapan mesin hingga meriam penangkis serangan udara pemberontak Karen di perbatasan Myanmar-China yang disokong CIA (Badan Intelijen Amerika Serikat). Tembakan itu tidak hanya melubangi beberapa bagian badan pesawat. Bahkan, awak operator radio, Sumarno terkena tembakan ketika pesawat mendarat di Lapangan Udara Mingladon, Rangoon. Tidak kapok, Indonesian Airways justru menambah satu armadanya yaitu Dakota C-47 bernomor registrai RI-007 yang dibeli dari Hong Kong. Dengan bertambahnya awak pesawat, mess dan kantor Indonesian Airways pindah ke Ady Road 6. Mess dan kantor itu dijuluki “The Eagle’s Nest” atau Sarang Rajawali. Keuntungan Indonesian Airways tidak hanya bisa membiayai diri sendiri, tapi juga membiayai pendidikan para kadet AURI di India dan Filipina. Indonesian Airways berhenti beroperasi di Myanmar setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda dan pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Mereka pulang dan tiba di Pangkalan Udara Andir, Bandung (kini Lanud Husein Sastranegara) pada 3 Agustus 1950. Lewat Surat Perintah KSAU No. 493 tanggal 7 Agustus 1950, pesawat RI-001 Seulawah dileburkan ke Skadron II Transpor kemudian digabungkan ke Dinas Angkatan Udara Militer (DAUM) dengan tugas pengangkutan logistik ke wilayah-wilayah terpencil. Baru sembilan hari rombongan pesawat RI-001 Seulawah tiba di Pangkalan Udara Andir, datang surat tagihan pajak dari Myanmar. Pemerintah Myanmar menyatakan Indonesian Airways masih punya utang sekitar 235-477 ribu Rupee selama beroperasi di Myanmar sepanjang tahun 1949. Angka itu melebihi harga satu unit pesawat Dakota. “KSAU Komodor Suryadi Suryadarma mengirim surat kepada Jenderal Bo Ne Win. Misinya permohonan keringanan utang pajak, sekaligus menawarkan pesawat RI-007 (yang masih ada di Rangoon) sebagai pembayaran utang Indonesian Airways kepada pemerintah Burma,” kata Adityawarman Suryadarma dalam biografi ayahnya, Suryadi Suryadarma: Bapak Angkatan Udara. Harga pesawat RI-007 hanya 190 ribu Rupee tidak cukup untuk membayar utang pajak. Namun, hubungan baik Indonesia-Burma membuat Jenderal Bo Ne Win mengabulkan permohonan keringanan dan penyelesaian utang pajak tersebut. Suryadi Suryadarma secara resmi menyerahkan pesawat RI-007 kepada pemerintah Burma yang diwakili Menteri Pertahanan Myanmar U Win di Lapangan Terbang Mingadon, Rangoon, pada 31 Oktober 1950. Suryadi Suryadarma sempat bertanya kepada Jenderal Ne Win kenapa memberi izin usaha kepada Indonesian Airways untuk memadamkan pemberontakan suku Karen ketimbang maskapai Asia lainnya? Jenderal Bo Ne Win menjawab karena Indonesian Airways satu-satunya maskapai di Asia yang manajemennya tidak dipegang perusahaan-perusahaan barat. Oleh karenanya, kerahasiaan gerakan pasukan Myanmar akan terus terjaga dan terhindar dari segala hal yang berkaitan dengan CIA dan sekutu-sekutu baratnya.

  • Orang yang Mengusulkan Presiden Bersepeda

    Presiden Joko Widodo akan menggowes sepeda pada peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 9 September 2017 di Magelang, Jawa Tengah. Rutenya dari Lapangan Secaba hingga Stadion Moch. Soebroto. Sebagaimana diketahui, Jokowi memang suka sepeda. Selain untuk olahraga, dia juga sering bagi-bagi sepeda dalam berbagai kesempatan. Presiden Soeharto juga pernah memperingati Haornas pada 9 September 1988 dengan bersepeda tandem bersama Ibu Tien. Rutenya dari kediamannya di Jalan Cendana menuju Gondangdia, Jalan Medan Merdeka Barat, hingga berakhir di Lapangan Monas. Tujuannya untuk menggelorakan jargon “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.” Ternyata, orang yang mengusulkan agar Presiden Soeharto dan Ibu Tien bersepeda adalah Asisten Menpora Bidang Olahraga MF Siregar . “Saya usul ke Menpora Akbar Tanjung agar membuat perayaan yang berbeda. Supaya Soeharto naik sepeda melalui jalan yang biasa dilaluinya dengan mobil. Rakyat tak pernah melihat presidennya secara langsung karena setiap hari Soeharto selalu pulang pergi kantor naik mobil dengan pengawalan ketat,” ungkap Siregar dalam biografinya, Matahari Olahraga Indonesia Menpora Akbar Tanjung setuju. Siregar segera mendatangi Kepala Bulog Bustanil Arifin agar menyediakan sepeda tandem untuk digowes Presiden Soeharto dan Ibu Tien beserta rombongan. “Olahraga bersepeda adalah salah satu olahraga yang merakyat, sehingga sesuai dengan tema kita untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat,” kata Siregar.

  • Loyalis Sukarno Bernama Ibrahim Adjie

    SEBINGKAI pigura memuat potret Bung Karno (BK) dengan senyum khasnya. Bersama foto itu, tertempel pula selembar pecahan uang kertas bernilai Rp. 100,- bergambar presiden pertama RI tersebut. Yang paling menarik, dalam bingkainya disertakan juga sepucuk surat BK tertanggal 3 Oktober 1965, persis dua hari usai terjadi Insiden Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965. “ Anakda I.Adjie, Kodam VI, Harap kerdja-sama sebaik-baiknya dengan sdr. Wiriadinata, menjelamatkan AURI, ADRI dan Revolusi. Keselamatan AURI dan ADRI adalah mutlak -perlu untuk menghadapi Nekolim ,” demikian bunyi tulisan surat yang ditulis di atas kertas putih berkop “Adjudan Presiden” tersebut. Sebagai panglima Kodam VI Siliwangi (1960—1966), reputasi militer Adjie terbilang gemilang. Darul Islam yang telah mengacau Republik sejak zaman revolusi berhasil ditumpas Divisi Siliwangi di bawah pimpinannya pada 1962. Operasi “Pagar Betis” yang dirancang Adjie berhasil meringkus pemimpin Darul Islam: S.M. Kartosoewirjo. Hubungannya dengan Sukarno pun cukup erat. Meski secara ideologis bukan pro Sukarnois, tetapi Adjie menaruh kesetiaan tinggi pada Sukarno. “Bung Karno adalah pemimpinku yang tertera dalam Caturlaksana Siliwangi,” kata Ibrahim Adjie pada 1964, dikutip David Jenkins dalam Soeharto & Barisan Jendral Orba: Rezim Militer di Indonesia 1975—1985. Anak kelima Ibrahim Adjie dinamai Mini Suharti Aminah Adjie. “Suharti itu yang kasih nama Bung Karno, diambil dari Sukarno-Hartini (Istri ketiga Sukarno). Bapak (Ibrahim Adjie) yang minta nama sama Sukarno saat itu” ujar Kiki Adjie (61), anak kedua Ibrahim Adjie kepada Historia . Pada 28 Agustus 1965, Presiden Sukarno memberikan anugrah Sam Karya Nugraha kepada Divisi Siliwangi. Anugrah tertinggi yang pertama dan satu-satunya diterimakan kepada kesatuan militer sepanjang pemerintahan Sukarno. “Hal ini menunjukkan kecintaan Bung Karno secara pribadi kepada Siliwangi dan kepada panglimanya, Mayor Jendral Ibrahim Adjie,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang . Ibrahim Adjie sangat marah mengetahui ketidakjelasan keberadaan Presiden Sukarno pada 1 Oktober 1965. Menurut Victor M. Fic, dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi , sepucuk surat diterima Ibrahim Adjie dari Sukarno yang diantar kurir Mayor Udara Subardjono, pilot pesawat Jet Star kepresidenan. Isi surat itu meminta Ibrahim Adjie agar sewaktu-waktu siap datang untuk menyelamatkan Sukarno di pangkalan udara Halim Perdanakusumah. Dia juga diminta supaya siap memberikan keamanan dan perlindungan kepada anak-anak Sukarno. Ibrahim Adjie langsung mengeluarkan sebuah peringatan bahwa dia akan memerintahkan Divisi Siliwangi untuk bergerak memasuki Jakarta jika Presiden berada dalam bahaya. Atas permintaannya pula, Sukarno lantas diamankan ke Istana Bogor, wilayah kekuasaan Divisi Siliwangi. Saat terjadi momen krusial pasca enam perwira tinggi TNI terbunuh, Sukarno mengajukan dua nama sebagai pimpinan TNI AD pengganti Ahmad Yani: Ibrahim Adjie dan Mursyid. Secara hirarkis, Mursyid yang menjabat sebagai Deputi I Panglima Angkatan Darat berada diatas Ibrahim Adjie. Namun Sukarno mendudukan Ibrahim Adjie pada pilihan pertama. Namun langkah Ibrahim Adjie terbentur perihal domestik. Dia gagal menjadi Panglima Angkatan Darat lantaran mengambil istri kedua seorang wanita berbangsa Yugoslavia. Penolakan terutama datang dari Menteri Pertahanan Jendral Nasution yang dikenal puritan. Menurut Julius Pour hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan kesulitan psikologis terhadap para prajurit dan kolega Ibrahim Adjie di TNI. Selain karena loyal kepada Sukarno, menurut Kiki Adjie, sebagai orang militer, ayahnya menghargai senioritas, sehingga tak terpikir untuk mengambil kekuasaan dalam suasana pergolakan. “Kalau bapak mau menguasai Indonesia saat itu bisa saja, kan dia punya pasukan (Siliwangi) yang bisa digerakkan,” kata Kiki Adjie. Saat itu ada Jendral Nasution yang dianggap sebagai sesepuh TNI. Ada juga Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Jendral Soeharto yang usianya tiga tahun di atas Adjie. Keduanya dianggap sebagai tokoh senior dalam TNI meski tak punya pasukan yang berpengaruh. Menurut tokoh militer Indonesia, Mayor Jenderal (Purn) Samsudin, dalam Mengapa G30S/PKI Gagal? Suatu Analisis , seandainya Ibrahim Adjie yang menjadi pimpinan TNI-AD pada waktu itu, dia akan dapat membatasi tindakan-tindakan yang akan diambil Soeharto sehubungan dengan persoalan G30S/PKI. Ketika rezim Soeharto berhasil merebut kekuasaan, penyingkiran adalah lazim bagi mereka yang setia terhadap Sukarno. Tak terkecuali bagi Adjie. Dia mendapat “pos pembuangan”. Pada 1966—1970, Ibrahim Adjie dikirim ke London sebagai duta besar Indonesia untuk Inggris. Duta besar Indonesia untuk PBB di Genewa, Swiss menjadi jabatan terakhir yang diembannya dalam pemerintahan. Ibrahim Adjie lantas menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik dan kekuasan, beralih ke dunia bisnis. “Bapak waktu itu beberapa kali ditawarkan duduk di kabinet dan menjadi wakil presiden. Tapi mana mau. Sebab Bapak tahu persis bagaimana orang-orang di sekitar Soeharto saat itu,” kata Kiki Adjie.*

  • Tudingan Kotor Kepada Aturan Menyalakan Lampu Motor

    Seiring bertambahnya jumlah sepeda motor di Indonesia, meningkat pula angka kecelakaan di jalan raya. Pemerintah berupaya menekan angka kecelakaan dengan mengeluarkan peraturan sepeda motor wajib menyalakan lampu utama di siang hari. Peraturan ini tercantum dalam Pasal 107 ayat (1) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) No. 22 Tahun 2009. Sanksi bagi pelanggar adalah pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp100.000. Butuh waktu lama sebuah peraturan dapat diberlakukan. Peraturan sepeda motor menyalakan lampu utama di siang hari (Daytime Running Light/Lamp) pertama kali dikeluarkan oleh Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan pada 1988. Dirjen Perhubungan Darat kala itu, Giri Suseno Hadihardjono, menjelaskan pertimbangan dikeluarkannya peraturan itu bahwa dalam berlalu lintas harus mengedepankan prinsip to see and to be seen (melihat dan dilihat). Pada siang hari yang sangat terang membuat mata pengendara melihat berbagai benda (jalanan, trotoar, pohon dan sebagainya). Ketika melihat ada cahaya pada saat seperti itu membuat pengendara segera mengarah ke cahaya itu. “Hal inilah yang menjadi dasar mengapa DRL perlu dilaksanakan. Refleks saat mengemudi dari apa yang kita lihat menentukan seberapa cepat respons kita saat melaju dalam kecepatan tertentu. Jika dibantu dengan menghidupkan lampu pada siang hari maka akan sangat membantu para pengendara melihat dari jauh kendaraan sepeda motor yang datang dari arah depan atau samping juga belakang melalui kaca spion,” kata Giri dalam memoarnya, Bermula dari Nol, Banda Aceh sampai Los Palos . Selain itu, kata Giri, alasan ilmiah kenapa siang hari harus menyalakan lampu kendaran karena cahaya memiliki kecepatan 300 ribu kilometer per detik. Sedangkan kecepatan suara hanya 344 meter per detik. Saat menyalakan lampu walau terang hari, akan segera terlihat kendaraan lain melalui spion daripada membunyikan klakson. “Dengan pertimbangan itu pula beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Jepang, serta tetangga kita Singapura, mewajibkan kendaraan bermotor (sepeda motor, mobil, bus, dan truk) untuk menyalakan lampu utama pada siang hari saat melaju di jalan raya,” kata Giri. Menurut Michael Paine dari Vehicle Design and Research dalam “A Review of Daytime Running Lights” Finlandia menjadi negara pertama yang mewajibkan DRL untuk semua pengendara pada 1972. Swedia menyusul pada 1977 dan kemudian diikuti negara-negara di Uni Eropa. Inggris baru memberlakukan DRL pada 1 April 1987. Kanada mengekor tiga tahun kemudian pada 1 Januari 1990. Setelah menerapkan DRL rata-rata angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor di negara-negara itu berkurang 20-30 persen dari sebelumnya. “Sebagaimana yang telah dilakukan banyak negara, kami pun meluncurkan program DRL bagi sepeda motor yang tujuannya untuk memperkecil angka kecelakaan lalu lintas khususnya yang melibatkan sepeda motor,” kata Giri. Namun, pemberlakuan DRL oleh Ditjen Perhubungan Darat sempat mendapat komentar sumbang dari DPR RI. “Kalangan DPR RI melontarkan kritik yang cenderung ‘asal tuding’ bahwa Ditjen Perhubungan Darat terpengaruh oleh penjual atau produsen aki ( accu ),” kata Giri. “Saya sebagai dirjen hanya bisa mengelus dada, bagaimana mungkin program yang bertujuan untuk mengamankan masyarakat pengguna jalan dari kecelakaan itu malah dituding mencari keuntungan pribadi. Sebuah tudingan yang mengada-ada karena kami jelas bukan pedagang atau produsen aki." Peraturan DRL lantas diperkuat dengan hadirnya UU LLAJ No. 14 Tahun 1992, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, hingga Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2003 tentang Menyalakan Lampu Depan Sepeda Motor Siang Hari dan Motor di Lajur Kiri. Giri mengakui sosialisasi peraturan DRL tidak mudah sehingga masih banyak pengendara sepeda motor yang belum menaatinya. Sementara pihak kepolisian selaku penegak hukum juga membiarkan para pelanggar peraturan lalu lintas itu melaju dengan leluasa (tanpa menyalakan lampu motor). Pada awal tahun 2005, DRL diuji coba di Surabaya, Jawa Timur. Mengacu pada hasil uji coba tersebut yang diklaim menurunkan angka kecelakaan hingga 50 persen, Polda Metro Jaya mengeluarkan seruan kepada pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu di siang hari mulai 4 Desember 2006. Namun, tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Peraturan DRL baru efektif diberlakukan setelah UU No. 14 Tahun 1992 direvisi menjadi UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Mengingat masih ada saja pengendara yang tidak menyalakan lampu di siang hari, produsen sepeda motor pun mengeluarkan motor-motor terbaru dengan menyetel lampu depan selalu menyala sejak motor dihidupkan.

  • Arsip-Arsip yang Tercecer

    Sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi era kolonial, pulau Jawa menyimpan banyak peninggalan sejarah. Termasuk dalam bentuk arsip-arsip berbahasa Belanda. Namun, selain faktor bahasa yang umumnya tidak dipahami, persebarannya juga tidak terpadu. “Banyak arsip yang tersimpan di lembaga keluarga atau dinasti-dinasti kerajaan yang masih tersisa,” ujar Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam seminar “Sinkronisasi Informasi Arsip Berbahasa Belanda di Indonesia melalui Penyusunan Guide Arsip di Luar ANRI (Pulau Jawa)” di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 5 September 2017. Sinkronisasi ini merupakan tahap awal pemetaan arsip berbahasa Belanda di Nusantara yang dilakukan antara ANRI dengan Arsip Nasional Belanda (Nationaal Archief Nederland). Nantinya, arsip tersebut akan dituangkan dalam sebuah sarana bantu berbentuk guide arsip. Arsip-arsip itu disimpan oleh beberapa lembaga pengelola arsip daerah yang meliputi tujuh kota: Bandung, Cirebon, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Sebagai contoh, Sri Margana menguraikan deskripsi arsip yang tersimpan di Pura Pakualaman, Yogyakarta. Menurutnya, Pura Pakualaman memiliki koleksi arsip yang sangat banyak. Data arsip terinventarisasi sejak awal berdirinya Pakualaman pada 1813 hingga pemerintahan Pakualam VIII (1980-an). Arsip-arsip itu berasal dari berbagai bagian atau kantor: pemerintahan, peradilan, keuangan, kepegawaian, dan kapujanggaan. Saat ini, semuanya tersimpan di Widya Pustaka, sebuah bagian ruangan yang terdapat di komplek perkantoran Pakualaman. Sebagian besar arsip memuat hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi sipil, sosial, dan hukum. “Yang paling menonjol adalah arsip-arsip sengketa,” ujar Sri Margana. Peristiwa yang disengketakan meliputi bermacam ranah: warisan, perceraian, kriminalitas, hingga hutang-piutang dan pinjam meminjam di kalangan bangsawan. “Malah ada bangsawan yang tercatat meminjam keris lantas digadaikan untuk menyambung hidup,” kata Sri Margana. Penjualan benda pusaka terjadi karena gaya hidup boros kaum bangsawan hingga menyebabkan mereka terlilit utang dan berjung kepada sengketa. Kasus sengketa agraria juga banyak terekam dalam arsip Pakualaman, seperti gugat menggugat antara para petani dengan administrator maupun pejabat kolonial. Hasilnya berupa proses verbal, penyelidikan, berita acara, hingga hasil sidang. Senada dengan Sri Margana, Bondan Kanumoyoso menyatakan bahwa keberadaan arsip-arsip tersebut, ke depannya diharapkan dapat membantu para sejarawan maupun peminat sejarah yang menggeluti penelitian sejarah sosial periode kolonial, khususnya di Jawa. “(Arsip) ini akan menjadi tema kajian yang menarik, karena bisa menampilkan sejarah masyarakat kolonial dari sudut yang lain. Misalnya, dari sudut masyarakat petani,” ujar sejarawan Universitas Indonesia itu.

  • Pura-pura demi Burma Merdeka

    KETIKA berusia 25 tahun, Aung San mendirikan Partai Thakin. Inggris yang merasa terancam menangkapi para pemimpinnya. Aung San bersama rekan-rekannya melarikan diri ke China untuk mencari suaka ke pemerintahan nasionalis Kuomintang. Ketika tiba di Amoy (kini Xiamen), dia dicegat tentara Jepang. Di Jepang, Aung San malah disambut sebagai adik dalam keluarga Asia Timur Raya. Bahkan, dia diberi nama Jepang, Omoda Monji. Bersama 30 rekannya yang dijuluki The Thirty Comrades , Aung San mendirikan Burma Independence Army. Mereka dilatih di Pulau Hainan hingga Formosa (Taiwan) untuk dikirim lagi ke Burma lewat Vietnam dan Thailand bersama serdadu Jepang. Menurut PK Ojong dalam Perang Pasifik: 1941-1945 , Jepang berjanji kepada Aung San bahwa Burma akan dijadikan negara merdeka dalam lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. “Aung San percaya bahwa janji ini akan dipenuhi. Kalau tidak, dia akan bertindak,” tulis Ojong. Pada Maret 1942, Jepang bersama Burma Independence Army merebut Rangoon. Pemerintahan British Burma tumbang dan Jepang mendirikan pemerintahan boneka dengan mengangkat Ba Maw. Setahun kemudian, 1 Agustus 1943, Burma “dimerdekakan” di bawah pimpinan Ba Maw. “Jepang hendak menipu rakyat Burma yang pura-pura diberi kemerdekaan sesuai janji Jepang. Sebenarnya, bukan Jepang yang menipu Burma, melainkan sebaliknya. Ketika Ba Maw mengangkat empat anggota Partai Thakin sebagai menteri kabinetnya, Jepang gembira karena berarti rakyat Burma menyokong politik Jepang,” tulis Ojong. Padahal, Ba Maw mengangkat pentolan gerakan Burma Independence Army yang berubah menjadi Burma Defence Army untuk menggulingkan pemerintahan boneka Jepang. Aung San merasa Jepang telah menipunya dengan janji kemerdekaan. “Dia mengatakan: ‘Jika Inggris menghisap darah kami, Jepang mengubur tulang-tulang kami’,” tulis Marsekal Sir William Slim dalam memoarnya, Defeat into Victory . “Sejak 1 Agustus 1944, dia mulai berani berbicara lantang menentang kebijakan-kebijakan Jepang. Dia tidak ingin negaranya dipimpin tirani jenis baru (Jepang) setelah lama punya tuan besar di masa lalu (Inggris).” Aung San memilih jalan halus dalam melawan Jepang. Terlebih dia sudah masuk kabinet pemerintahan boneka sebagai menteri pertahanan; Thakin Than Tun sebagai menteri perhubungan, Thakin Nu sebagai menteri luar negeri dan Thakin Mya sebagai wakil perdana menteri. Seraya mendirikan AFPFL (Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis), Aung San punya kesempatan membalas tipu-tipu Jepang. Saat Sekutu mulai memasuki Burma lagi, Aung San bersama serdadu Burma Defence Army berangkat ke front Meiktila pada 16 Maret 1945. Jepang percaya Aung San hendak menyokong tentara Jepang yang tengah menahan laju ofensif Sekutu dan China. Tapi yang terjadi, Aung San malah mencari kontak dengan otoritas Inggris. “Aung San dan serdadu-serdadunya pada 27 Maret 1945 memberontak dan justru memerangi Jepang bersama Inggris,” tulis Martin Smith dalam Burma: Insurgency and the Politics of Ethnicity. Burma Defence Army bertransformasi menjadi Burma National Army. Aung San membantu Inggris merebut kembali Meiktila dan Mandalay. Inggris menguasai kembali Burma pada 2 Mei 1945. Inggris tentu ingin berkuasa lagi di Burma, meski Aung San sudah mendirikan pemerintahan sementara dengan orang-orang dari AFPFL. Dalam rapat kabinet di London pada 30 Maret 1945, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill berpesan kepada Lord Louise Mountbatten, kepala pemerintahan militer Burma, ketika berhadapan dengan orang-orang Burma: “Jangan mengadakan perundingan dengan gerilyawan Burma dan memberikan janji politik!” Bahkan, Aung San diusulkan untuk ditangkap karena pengaruhnya yang besar dan membahayakan Inggris. Mountbatten menolak karena takut seluruh rakyat Burma berontak. Aung San menjalankan taktik politik yang halus terhadap Inggris. Ketika Jenderal Sir William Slim menemuinya, Aung San mengutarakan konsesi militer tanpa melepas status politiknya di pemerintahan sementara AFPFL. “Dia kembali pura-pura bekerja sama dengan Inggris di lapangan militer, seperti dia dahulu pura-pura bekerja sama dengan Jepang. Dia bersedia menaruh tentaranya di bawah komando Inggris, tapi dia tahu bahwa tentaranya hanya mendengar perintahnya sendiri. Dia tak bermaksud menghadiahkan tentaranya pada Inggris demi kepentingan politik Inggris,” tulis Ojong. Di lapangan politik, Aung San terus-menerus mendesak Inggris dengan berbagai gerakannya. Mulai dari rapat raksasa, hingga penolakannya secara keras terhadap janji Inggris yang ingin memberi status dominion (negara semiindependen di bawah Kerajaan Inggris) pada 1948. Inggris gagal memecahbelah rakyat Burma yang mengelu-elukan Aung San. Akhirnya, Aung San berhasil memaksa Inggris duduk di meja perundingan. Pada 26 Januari 1947 di London, Aung San meneken perjanjian dengan Perdana Menteri Inggris yang baru, Clement Attle. Perjanjian itu intinya akan diadakan pemilu pertama, pembentukan dewan konstituante, dan status dominion. Perjanjian itu jadi kemenangan tersendiri bagi Aung San melawan Inggris tanpa peluru dan darah di usia yang masih muda, 31 tahun. Sayangnya, Aung San tak bisa hidup sampai Burma benar-benar merdeka pada 1948. Saat sidang kabinet pada 19 Juli 1947, kelompok bersenjata merangsek masuk dan memberondongkan timah panas. Aung San tewas di tempat. “U Nu, rekan Aung San yang paling pandai, mengganti kedudukannya," tulis Ojong. "Penyerahan kedaulatan oleh Inggris pada Burma dilakukan tanggal 4 Januari 1948. Pemimpin British Burma terakhir, Sir Hubert Rance pergi sebagai sahabat. Tapi di mata orang-orang saat itu, yang terbayang-bayang adalah wajah Bogyok (pemimpin tertinggi) U Aung San."*

bottom of page