Hasil pencarian
9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mencari Nyai Blorong
SUATU sore, sekira 1960-an. Warga Magelang berkumpul di tepi jalan utama yang menghubungkan Magelang dan Yogyakarta sembari membunyikan kentongan dan apapun yang menimbulkan bunyi berisik. Sebagai anak kecil, Prapto Yuwono turut berbaur dalam kerumunan. Namun, herannya jalanan sedemikian sepi; tak ada yang lewat. Selang beberapa waktu, angin berhembus dari arah selatan.
- Mencari Cincin Nabi Sulaiman
KARENA tanah airnya dilanda kelaparan, seorang Hadrami muda meninggalkan rumah dan keluarganya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Di pelabuhan, ketika orang-orang bertanya tujuannya, dia menjawab: “Aku ingin pergi di mana ada timbunan emas dan perak, kuda bercap, dan lahan subur yang bisa digarap.” Dia naik kapal, memulai perjalanannya dan tiba di Surat, India.
- Menangkap Masa Lalu Tuyul
KETIKA melakukan penelitian di Mojokuto, nama samaran untuk Pare, Jawa Timur pada 1952–1954, antropolog Clifford Geertz mendapat uraian sistematis mengenai makhluk halus di Jawa. Seorang tukang kayu muda mengatakan ada tiga jenis pokok makhluk halus: memedi, lelembut, dan tuyul. Dia menunjuk dua anak kecil berumur tiga tahun yang sedang berdiri mendengarkan percakapan mereka.
- Mas Marco dan Politik Busana Kolonial
PADA pertengahan 1914, Mas Marco Kartodikromo, dalam kolom surat kabar Doenia Bergerak mengisahkan pengalaman buruk jadi korban diskriminasi ketika naik kereta dari Solo ke Semarang. Apa sebabnya? Hanya karena ia mengenakan ikat kepala batik! Ketika itu dia pergi bersama seorang Belanda dan seorang Jawa yang mengenakan setelan Belanda. Mereka membeli tiket kelas tiga. Namun, karena gerbong kelas tiga penuh, ketiganya kemudian pindah ke gerbong kelas dua.
- Hak Hidup Makhluk Halus
MEMASUKI ruang auditorium gedung 4 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) bau hio menyengat bercampur aroma melati yang ditaruh di setiap kursi. Acara promosi doktor Sunu Wasono pada 22 Desember 2015 agak menyeramkan. Sang calon doktor pun mengenakan pakaian hitam dan blangkon.
- Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak
AHMAD Ryan Pratama, lelaki asal Balikpapan, tak pernah melupakan pengalaman “pahit” di masa kecilnya. Sewaktu masih duduk di Sekolah Dasar di Balikpapan, dia mengalami infeksi mata yang akut. Penyebabnya adalah kabut menyelimuti sebagian daerah Kalimantan Timur sekitar 1997-1998. Tak hanya Balikpapan, Samarinda dan sekitarnya termasuk daerah terdampak kabut asap itu. Kabut ini muncul sebagai dampak dari kebakaran hutan pada musim kemarau. Kendati begitu, Ryan tetap tak lepas dari bahan bacaan. Dia ingat, kala itu dirinya membaca Kisah Si Pongi, suatu karakter orangutan, satu jenis satwa yang dilindungi. “Si Pongi itu adalah anak orangutan yang survive atau selamat dari pembakaran hutan dan kemudian dia ditolong oleh jagawana atau penjaga hutan,” kenang Ryan tentang komik berwarna itu. Nama Si Pongi merujuk pada Pongo pygmaeus , nama latin untuk spesies orangutan Kalimantan. Sekitar 38 km dari tempat Ryan dulu tinggal, terdapat penangkaran orangutan yang nama kawasannya dikenal sebagai Bukit Soeharto. Belakangan, jumlah orangutan di Kalimantan menurun drastis. Hanya sekitar 50.000-an yang tersisa sekarang. Mereka masih terus terganggu oleh penggundulan hutan (deforestasi) untuk industri besar yang ada. Lebih parahnya, selain ruang hidup mereka direnggut, ada pula orangutan seperti si Pony yang dijadikan pelacur. “Bagian akhir menyebut kalau yang menyebabkan terjadinya kebakaran 1997-1998 itu bukan pemilik lahan yang luasnya 1.000 hektar, tapi ada orang yang membuang puntung rokok dari bus jalan Balikpapan-Samarinda, sama orang-orang Dayak yang mengunakan teknik slash and burn membakar lahan ukuran kecil kemudian ditanami,” terang Ryan. Slash and burn biasa dilakukan oleh peladang berpindah. Hidup dari pertanian ladang berpindah dilakukan oleh orang Dayak secara turun-temurun. Tanah Kalimantan tidak sesubur Jawa untuk digunakan sebagai lahan pertanian pangan, jadi ladang berpindah sejak lama menjadi solusi. Dalam sistem ladang berpindah itu biasanya setelah lahan dibuka dengan cara dibakar, lalu ditanami. Luasannya tidaklah besar, jauh lebih kecil daripada hutan yang ditebang untuk tanaman industri. Kegiatan ladang berpindah oleh beberapa pihak disebut sebagai sebuah kearifan lokal. Tradisi ini sudah turun-temurun dan menjadi bagian dari ketahanan pangan –juga kesehatan–orang Dayak di Kalimantan Timur dan lain-lain. “Teknologi ladang berpindah mendukung pemulihan kesuburan lahan secara alami dan dapat menekan populasi gulma dengan menurunnya viabilitas cadangan biji gulma dalam tanah,” kata Suyadi Jelai dalam Bahan Pangan Pokok Alternatif Dan Fungsional . Namun, “teknologi” ladang berpindah dianggap sebagian kalangan sebagai pemborosan karena memerlukan waktu setidaknya tujuh tahun. Karena sistem itu pula orang Dayak yang hidup sebagai peladang berpindah lebih sering disalahkan daripada perusahaan-perusahaan yang dilindungi pemerintah, terutama Orde Baru, dalam membuka hutan. Penebangan hutan untuk industri di Kalimantan sendiri baru masif setelah abad ke-20. Akibatnya, luas tutupan hutan alam berkurang. Kendati penebangan hutan untuk kepentingan industri sudah ada di Kalimantan sebelum Perang Dunia II, jumlahnya jauh lebih kecil dari yang ada pada era Orde Baru. Masifnya penggundulan hutan era Orde Baru berdampak parah hingga kini. Dengan HPH sebagai andalannya untuk mendapatkan “cuan”, Orde Baru membuat Kalimantan yang awalnya berhutan lebat menjadi botak. Mongabay menyebut antara 1973 hingga 2010, telah terjadi penebangan hutan seluas 270.819 km 2 . Hutan-hutan ditebangi untuk diambil kayu-kayu gelondongannya. Bank Dunia melanjutkan, selama periode 1986-1997 sekitar 1,7 juta hektare per tahun lahan hutan menghilang di Kalimantan. Mayoritas pelakunya adalah perusahaan-perusahaan industri hasil hutan yang mendapat izin Orde Baru. Bank Dunia menginformasikan, pada tahun 1900, asumsi tutupan hutan alam Kalimantan masih seluas 17.500.000 hektar. Jumlah itu berkurang drastis hingga 11.111.900 hektar pada 1985. Lalu pada 1997, luas tutupan hutan itu hanya 4.707.800 hektar. Data tersebut jelas mematahkan klaim Orde Baru yang menyatakan bahwa orang Dayak sebagai salah satu penyebab utama kebakaran dan kabut 1997-1998. Kendati ratusan tahun orang-orang Dayak mempraktikkan sistem ladang berpindah, jumlah tutupan hutan Kalimantan di hingga 1900 masih tinggi. Artinya, ladang berpindah yang dijalankan orang Dayak tidaklah masif. “Pulau Kalimantan merupakan pusat keanekaragaman hayati Asia Tenggara, dengan mayoritas spesies dan garis keturunan evolusi dari wilayah yang lebih luas berasal dari Kalimantan. Kalimantan diperkirakan telah kehilangan lebih dari 30% hutannya antara tahun 1973 dan 2010. Kebakaran dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan —terutama kelapa sawit ( Elaeis guineensis ) dan tanaman pohon-pohon lainnya (seperti Acacia specis dan karet)— merupakan pendorong terbesar hilangnya hutan. Pada 2010, pulau ini menampung hampir 65.000 km² (6,5 juta ha) perkebunan kelapa sawit dan 10.537 km² (1,1 juta ha) perkebunan pohon lainnya, yang secara keseluruhan menempati 10% dari total luas daratannya,” kata buku Industrial Agricultural and Ape Conservation yang dieditori Helga Rainer, Alison RT dkk. Kini, orang Daya justru tak bisa lagi melakukan kegiatan ladang berpindah akibat deforestasi oleh industri baik untuk diambil kayunya atau pertambangan batubara serta kegiatan-kegiatan bisnis lain. Para peladang berpindah dipaksa hidup di luar pertanian ataupun penangkapan ikan alami yang telah turun-temurun menjadi jalan hidup mereka. "Nilai belom bahadat terhadap lingkungan yang terkandung dan tercermin dalam tindakan orang Dayak memperlakukan alam sekitarnya. Upaya memanfaatkan hutan dan alam sebagai tempat memenuhi segala kebutuhan, kearifan lokal orang Dayak berdampak terhadap kebersinambungan alam dan hutan. Mereka tidak menebang pohon dengan ‘ chain saw ’ atau gergaji mesin dan alat berat yang mempunya daya rusak tinggi. Kearifan lokal Dayak mengajarkan mereka bagaimana memanfaatkan alam dengan baik serta tidak merusak tatanan ekosistem," tulis Linggua Sanjaya Usop dalam Mempertahankan Hak Atas Tanah .
- Di Balik Skandal Putri Angkat Gubernur Jenderal VOC
KEMARAHAN Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen tak dapat dibendung. Putri angkatnya, Sara Specx, tertangkap basah melakukan perbuatan tak senonoh dengan Pieter Cortenhoeff, seorang pemuda berusia enam belas tahun, di kediamannya pada 1629. Sara yang berusia 12 tahun merupakan anak dari Jacques Specx, seorang anggota Raad van Indie (Dewan Hindia), dengan perempuan Jepang. Sementara Pieter merupakan putra dari saudagar senior Jacob Cortenhoeff dengan perempuan Burma.
- Biaya Perjalanan Presiden Sukarno Dipertanyakan
KUNJUNGAN Presiden Sukarno ke Bojonegoro, Jawa Timur, menuai tanda tanya. KH Misbach, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Masyumi, mempertanyakan biaya kunjungan tersebut yang dibebankan kepada rakyat.
- Berenang Hingga ke Cikini
SEMENTARA menunggu anak-istrinya berganti pakaian, Aditya Perdana duduk santai di bawah payung-tenda di tepi kolam renang. Terik mentari sore sehabis hujan itu seakan menghalanginya untuk beranjak.
- Berbisnis di Rantau
TIGA bersaudara keturunan Arab dari Padang, Sumatra Barat, tiba di Batavia pada 1920-an. Semuanya pengusaha. Harta mereka berlimpah, hasil dari warisan orangtua dan keuntungan bisnis. Namun, misi utama mereka di Batavia bukan untuk berbisnis, melainkan memperkenalkan tradisi musik dan sandiwara khas mereka kepada warga Batavia.
- Bangkit Lewat Sekolah
SEBUAH bangunan empat lantai berdiri kokoh di Jalan KH Mas Mansyur No. 17 Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bercat kuning gading. Berkaca gelap. Ia diapit toko tekstil dan toko buku. Sebuah nama terpampang di dindingnya: Jamiat Kheir. Di tempat inilah orang-orang Hadrami memelopori gerakan pembaruan pendidikan Islam di Batavia.
- Ada Apa dengan Koteka
SEORANG pengunjung Museum Nasional, Jakarta Pusat, tersenyum geli ketika mengamati salah satu koleksi etnografi Papua. Berbentuk selongsong panjang, berwarna coklat, terbuat dari buah labu kering bernama latin Lagenaria siceraria . Keterangan di etalase terpampang: “ penish sheath ” atau pembungkus penis.





















