Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- "Steve McQueen" Merampok Duit Haram Presiden
SUATU siang di Deerwood, Pennsylvania medio 1980. Harry Barber (diperankan Travis Fimmel) menatap sekilas poster film Bullitt dengan foto aktor yang diidolakannya, Steve McQueen, di dinding kamar. Ia sudah membulatkan tekad untuk melakukan “pengakuan dosa”, bukan kepada pendeta, melainkan kepada pacarnya, Molly Murphy (Rachael Taylor). Rasa gugup luar biasa menerpanya saat akan mengungkap jati dirinya di hadapan Molly pacarnya. Saat keduanya bertemu di sebuah kedai dine-in, Harry mengungkapkan dirinya bukanlah John Baker, nama yang digunakannya sejak berpacaran dengan Molly tujuh tahun silam. Harry hanyalah seorang buron yang dicari FBI (Biro Penyelidik Federal) sejak 1972 akibat perampokan bank terbesar dalam sejarah Amerika saat itu. Molly terkejut bukan main. Tak percaya. Harry sampai memperlihatkan poster pencarian buronan yang ditemukannya di sebuah kantor pos. Harry pun mencurahkan kisahnya bersama kawanannya guna meyakinkan Molly. Alur mundur lantas tersaji di adegan berikutnya, sebuah pabrik kecil penghasil suplai mesin permen karet di Youngstown, Ohio, awal 1972. Scene itu hanya satu dari sekian scene dengan alur maju-mundur yang disuguhkan sutradara Mark Steven Johnson dalam membuka film Finding Steve McQueen . Di adegan berikutnya itulah Johnson menunjukkan motif mengapa kawanan Harry Barber yang acap berdandan ala Steve McQueen itu merampok sebuah bank di negara bagian lain. Ide merampok bank datang dari kepala Enzo Rotella (William Fichtner), paman Harry sekaligus pemilik pabrik permen karet tempat Harry bekerja. Enzo seorang hater presiden berkuasa, Richard Nixon. Ia mendapat ilham kala termakan isu adanya dana haram kampanye sang presiden jelang Pilpres Amerika 1972, di sebuah bank di California. Enzo pun mengumpulkan kawanannya: Tommy Barber (Jake Weary), adik Harry; Pauly Callahan (Louis Lombardi), dan Rhys Coiro (Ray Darrow) yang ahli bahan peledak. Enzo ingin menjatuhkan Nixon dengan merampok duit haram sang presiden yang kabarnya mencapai 30 juta dolar Amerika. Sebuah rencana yang simpel tapi efektif pun diracik. Dengan menggunakan nama Steve McQueen, Harry menyewa sebuah mansion di Laguna Niguel dekat Bank United California. Bank itu diyakini Enzo jadi tempat penyimpanan dana kampanye ilegal Presiden Nixon dari sejumlah mafia. Harry juga menyewa mobil untuk operasional perampokan, juga atas nama Steve McQueen. Pasca-observasi singkat mengenai lingkungan sekitar bank, kawanan itupun menjalankan aksinya pada 24 Maret 1972. Tidak hanya sekali, melainkan sampai tiga kali lantaran perampokannya dijalankan saat bank tutup di akhir pekan (Jumat, Sabtu dan Minggu). Mereka pede aksi mereka takkan mendapat perhatian sang presiden lantaran itu uang haram. Tapi dugaan mereka salah. Ratusan agen FBI diterjunkan untuk mengusut kasus itu. Wakil Direktur FBI Mark Felt (John Finn) sampai mengingatkan Kepala Cabang FBI California agen Howard Lambert (Forest Whitaker) agar kasus ini segera dituntaskan karena diduga berkaitan dengan Skandal Watergate di Washington DC. Enzo kurang puas terhadap hasil aksinya. Dari tiga hari aksi, mereka hanya mendulang sekira empat juta dolar. Hasil itu terpaksa mereka terima sebelum pulang ke Youngstown, kecuali Harry dan Tommy yang memilih kabur ke Las Vegas. Mereka kecele, ternyata bukan di bank itu Nixon diduga menyimpan dana haram kampanyenya. Semua anggota kawanan gagal. Namun, sutradara membuat ending dengan apik. Perbedaan tindakan dan nasib masing-masing anggota memperkuat drama di akhir film. Suasana heroik, menegangkan, atau mengharukan mewarnai akhir film. Harry sendiri memilih menceritakan semuanya pada Molly. Sang kekasih lalu mengajaknya kabur laiknya perampok legendaris Bonnie dan Clyde. Namun, lebih baik Anda tonton sendiri Finding Steve McQueen agar lebih greget. Film ini sudah rilis sejak 15 Maret 2019. Kombinasi Fakta dan Drama Selain punya alur maju-mundur, Finding Steve McQueen menarik lantaran didukung sejumlah lagu menarik seperti “Drivin’ My Life Away” (Eddie Rabbit), “Funk #49” (James Gang), dan “Draggin’ the Line” (Tommy James). Lagu-lagu itu memperkuat suasana era 1970-an. Tapi, jangan harap Anda menemukan twist rumit dan mengejutkan laiknya film-film bertema perampokan bank. Sebab, sutradara Johnson memang tidak ingin menyuguhkan kisah yang belum pernah diangkat ke layar lebar ini dalam film action . Finding Steve McQueen sengaja dihadirkan dengan titik-berat kisah historis yang dibumbui drama dan sedikit humor. Ya, keyword -nya fakta sejarah yang didramatisir. Johnson menambahkan keterangan, “ Inspired by True Events ”, karena hanya setengah dari film itu yang berdasarkan fakta. Dramatisasi fakta itu terlihat misalnya dalam jumlah uang yang dirampok kawanan Harry. Dalam film, kawanan itu hanya mendapatkan empat juta dolar. Faktanya, mereka mendapatkan sembilan juta dolar. Fakta lain adalah soal karakter dalam film. Hanya ada dua tokoh yang berdasarkan karakter asli dalam kejadian, yakni Harry Barber dan Wakil Direktur FBI Mark Felt. Sisanya disajikan dengan nama samaran. Faktanya, bisa ditengok dalam Inside The Vault: The True Story of a Master Bank Burglar karya Amil Dinsio. Amil merupakan otak perampokan yang dalam film karakternya dinamai Enzo Rotella. Karakter lainnya ada Tommy Barber, adik Harry Barber yang aslinya bernama Ronald Barber. Dua anggota lainnya, Phil Christopher dan Charles Broeckel, dalam film dinamai Pauly Callahan dan Ray Darrow. Namun, adegan-adegan aksi pembobolan brankas bank hingga faktor yang menyebabkan mereka tertangkap, benar adanya. Itu terjadi setelah identitas mereka terbongkar lantaran ditemukannya sidik jari pada mesin pencuci piring di mansion mereka. Johnson mengaku punya alasan soal ini. Ia ingin menghormati Harry yang sempat ditemuinya, di mana skenario filmnya memang dibuat berdasarkan versinya. Maka selain menyamarkan nama-nama karakter, Johnson juga berkenan meng- cut adegan-adegan yang menggambarkan keluarga. “Ketika Anda menghadapi kisah kejahatan seperti ini, tidak semua orang berkenan bercerita. Kami ingin menghormati Harry yang meminta agar tidak menggunakan nama asli karakter-karakter lainnya. Harry juga yang meminta karakter ibu dan ayahnya tidak dimasukkan ke film. Akhirnya kami memutuskan untuk menghormatinya dengan mengganti nama-nama karakternya dan memotong adegan keluarganya,” terang Johnson, dikutip comicbook .com, 11 Maret 2019.
- Masa Jaya Telepon Umum Kartu
YURI Arief Waspodo, kolektor kartu telepon, masih duduk di bangku SMPN 2 Depok ketika telepon umum kartu pertamakali terpasang di Depok, paruh kedua 1990-an. Yuri ingat betul telepon umum pertama itu dipasang di dekat rumahnya, Perumahan Nasional Depok 1. Seperti remaja dan orang dewasa pada umumnya, Yuri memanfaatkan betul alat komunikasi jarak jauh itu. Ketika mengabari keluarganya karena akan telat pulang akibat kegiatan sekolah, Yuri biasa menggunakan telepon umum yang terpasang di sekolah. “Zaman dulu telepon umum jadi andalan karena belum ada HP,” kata Yuri. Beroperasi pertamakali pada 1988, telepon umum kartu mengalami masa uji coba sejak November-Mei di 12 titik di Jakarta, sebelum dioperasikan di kota besar lain. Gema Telekomunikasi edisi Desember 1988 menyebut, 12 titik strategis yang dipilih Telkom antara lain Gedung Depparpostel di Jalan Merdeka Barat, Bandara Soekarno Hatta, Stasiun Gambir, Dunia Fantasi Ancol, toko buku Gramedia Matraman, Sarinah Thamrin, Pasaraya Sarinah (kini Pasaraya Blok M), Wisma Nusantara, BCA Jalan Sudirman, Ratu Plaza, Hotel Indonesia, dan Hotel Hilton. Pemasangan telepon umum sistem baru tersebut tidak menghilangkan telepon umum koin, melainkan menambah jenis layanan serta mempermudah para pemakai jasa telepon umum. Dengan sistem kartu, penggunanya tidak lagi direpotkan menukar uang koin. Mereka cukup membeli kartu yang dijual di toserba, kantor pos, atau gerai Telkom. Harga satu lembar kartu telepon paling murah 1500 rupiah, sementara yang termahal berisi pulsa 1000 dengan harga 75000 rupiah. Tak heran bila pengguna telepon umum kartu kebanyakan kalangan menengah ke atas karena harga beras di tahun 1989 berkisar 500 rupiah per kilogram. Sama seperti koin, kartu dimasukkan ke lubang di pesawat telepon sebelum pemakainya bisa ber-“halo-halo” ria. Kelebihan lain telepon umum kartu, adanya panduan yang tertera dalam layar kecil telepon umum yang memudahkan pemakainya. Misal, keterangan pesawat rusak, silakan tunggu, jumlah pulsa yang digunakan, ambil kartu, masukkan kartu, dan terima kasih. Telepon umum kartu juga punya fungsi baru dibanding pendahulunya, yakni kartu telepon bisa digunakan untuk menyimpan nomor telepon. Kartu juga bisa digunakan berulang kali, tapi tak bisa diisi ulang. Awet-tidaknya jumlah pulsa di kartu bergantung pada pemakaian yang didasarkan pada jarak dan durasi telepon. Hal ini pula yang mengundang “tangan-tangan” nakal untuk mengakali kartu telepon. Di masyarakat, banyak orang mengakali kartu telepon sehingga bisa diisi kembali. Mereka menarik laba dengan menjual murah kartu isi ulang itu secara sembunyi-sembunyi. Keunggulan lain telepon umum kartu adalah, bila jumlah pulsa dalam kartu habis sedangkan obrolan di telepon belum selesai, akan keluar petunjuk untuk memasukkan kartu baru. Sementara, kartu lama yang habis otomatis keluar otomatis dan panggilan telepon tak terputus. Sisa pulsa terpakai juga tertera pada layar telepon telepon. Dengan begitu, pemakai tahu jumlah pulsanya. Tidak seperti kartu ATM yang terbuat dari plastik, kartu telepon generasi pertama terbuat dari kertas tebal yang dihiasi gambar-gambar seperti pada perangko. Dalam Dari Monopoli Menuju Kompetisi, Ramadhan KH menulis ada edisi Bobo, flora, fauna, partai politik, dan rumah adat. Keberagaman gambar ini menarik minat pengoleksi kartu telepon umum. Popularitas telepon umum kartu terus meningkat, khususnya pada dekade 1990-an. Penggunaannya yang praktis dan terhitung teknologi baru di masanya membuatnya jadi andalan hingga ramai peminat. Jumlah telepon umum kartu pun meningkat. Dari 12 titik pemasangan telepon umum kartu yang ada ketika masa uji coba, jumlah telepon umum kartu sudah mencapai 95 buah pada awal 1990. Jumlah itu naik berkali lipat menjadi 7835 pada 1993. Namun, masa jaya itu memudar seiring kemunculan HP pada awal tahun 2000 menenggelamkan popularitas telepon umum. Meski telepon umum kartu masih tersedia di beberapa sudut kota, seperti Bentara Budaya, Kampus UI Salemba, dan Halte Sarinah, pesawatnya sudah tidak befungsi. Telepon-telepon itu hanya tergantung tapi tak tersentuh dan tak berfungsi meski fisiknya masih bagus. Kini orang tak lagi pakai telepon umum untuk mendengar suara orang terkasih di seberang sana.
- Pelajar Makassar Bernyali Besar
Maulwi Saelan jengkel menyaksikan tingkah tentara Sekutu dan Belanda di Makassar. Serdadu asing yang baru saja memenangkan Perang Dunia II ini menduduki objek vital dalam kota. Mereka bukan saja menguasai Hotel Empres tapi juga menduduki tangsi dan kantor polisi. Namun yang paling menohok, para tentara Sekutu itu membiarkan bendera Belanda berkibar di mana-mana. “Pemandangan ini tentu sangat tidak menyenangkan karena terasa suasana Indonesia merdeka yang mendominasi Kota Makassar dan seluruh Sulawesi Selatan, terancam berganti,” kenang Maulwi dalam memoar Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa . Pemuda-pemuda Makassar tak terima. Mereka berpikir, orang-orang Belanda itu harus dikasih pelajaran. “Walaupun dengan menempuh kekerasan dan pengorbanan jiwa,” demikian kata Saelan. NICA Cari Perkara Sejak 21 September 1945, tentara Sekutu mendarat di Makassar di bawah komando Brigadir I. Dougherty. Di antara mereka terdapat 250 tentara Australia yang dipimpin Brigadir Chihon. Mereka datang guna melucuti tentara Jepang sekaligus menjalankan proses kapitulasi. Selain itu, Sekutu juga membawa tentara NICA yang mewakili pemerintah Belanda. Khusus untuk tentara NICA, mereka punya tujuan mengembalikan kekuasaan Belanda di Sulawesi. Mayor Wagner ialah komandannya. Namun, baru beberapa hari bertugas, Wagner digantikan oleh Letnan Kolonel Dr. C. Lion Cachet. Di Makassar, kekuatan pro Republik Indonesia dimotori oleh kaum pemuda. Saat itu, barisan pemuda paling kuat terhimpun dalam Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI). Mereka yang menjadi pentolannya antara lain: Manai Sophian, S. Sunari, M. Zajad, Ali Malaka, Aminuddin Muchlis, S. Moon, Intje Abdullah. Pemudi-pemudi Palang Merah Indonesia ikut tergabung dalam PPNI sementara pemuda-pemuda jebolan Heiho juga digalang. PPNI tersebar sebanyak 25 kelompok meliputi seluruh distrik kota. Sementara kelompok yang lebih junior berada di barisan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nasional. Sekolah tersebut didirikan pada 8 Oktober 1945 guna menampung pelajar-pelajar yang putus sekolah akibat perang semasa pendudukan Jepang. Tenaga pengajar diambil dari kalangan pejuang sendiri. Gubernur Sulawesi, Samuel Ratulangi bertindak selaku kepala sekolahnya. “Saya sendiri pelajar sekolah itu dan dipilih memimpin kelompok kami untuk melakukan penyerbuan,” tutur Maulwi Saelan. Di pihak lawan, tentara NICA semakin merajalela. NICA memboyong pegawai-pegawai sipil dan polisi istimewa untuk dikerahkan ke berbagai sektor. Mereka juga membebaskan tentara KNIL dan pegawai Belanda yang tertawan semasa pendudukan Jepang untuk dikaryakan kembali. Di antara pasukan KNIL itu, banyak terdapat orang-orang Ambon bersenjata. Sejak kedatangannya, Mayor Wagner melancarkan propaganda melalui selebaran. Dia memperingatkan supaya penduduk Makassar ikut menjaga ketertiban umum. Pemuda Angkat Senjata Kaum Republikan gerah juga dengan aksi pendudukan NICA. Pada 27 Oktober 1945, PPNI mulai melacarkan pemberontakan bersenjata. Mereka merebut segala tempat strategis yang diduduki NICA. Mulai dari Radio Makassar, stasiun radio Matoangin dan Maradekaja, tangsi polisi di Jalan Gowa, hingga kantor CoNICA (Commanding Officer NICA). Meski bertugas menjaga keamanan sipil, nyatanya tentara Australia malah membalas aksi pemuda. Menurut Maulwi, komandan pasukan Australia, Brigjadir Chihon sikapnya lebih pro Belanda ketimbang Brigjadir Dougherty yang berkesan simpati terhadap perjuangan Indonesia. Ketika markas CoNICA diserbu, seorang pemuda yang sedang memanjat tiang ditembak oleh tentara Australia. Pemuda malang itu gugur seketika karena hendak menurunkan bendera Belanda dengan panji Merah Putih. Gerakan bersenjata kelompok pemuda pada akhirnya dapat dipatahkan. Belanda menyerang balik kelompok pemuda dengan senjata yang lebih modern. Pada pukul 11 pagi, markas pemuda di Jongaya diserbu dan jatuh ke tangan musuh. Menurut buku babon Republik Indonesia: Provinsi Sulawesi yang diterbitkan Kementerian Penerangan (1954), korban gugur maupun luka-luka di pihak pemuda cukup banyak. Sebanyak 46 orang pemuda ditangkap, termasuk tokohnya yang bernama Wolter Mongisidi. Giliran Pelajar Beraksi Dua hari kemudian (29 Oktober), pelajar-pelajar yang tergabung dalam SMP Nasional pun ikut dikerahkan. Mereka kebagian misi menyerbu Hotel Empress dan menangkapi opsir-opsir NICA yang tinggal disitu. Selain itu, mereka juga ditugaskan untuk mengadakan perintang-perintang jalan guna menghalangi mobilitas pasukan musuh. Pelajar-pelajar nekat ini bergerak sedari pukul 4 pagi kala orang-orang Belanda masih terlelap di atas ranjang. Ketika serangan mendadak dilancarkan, Dr. Lion Cachet juga berada di Hotel Empress. Mendengar ada kericuhan, Cachet keluar dari kamarnya tapi lupa membawa senjata. Beberapa pelajar mendapati Cachet dan langsung menghadangnya. Karena ketakutan, perwira Belanda itu mengakat tanganya seraya berteriak. “ Ik ben ongewapend, Menner ” (Saya tidak bersenjata, tuan),” kata Cachet kepada remaja-remaja tanggung itu sebagaimana dituturkan Maulwi Saelan. Seorang tentara Sekutu asal Pakistan turut menyaksikan ketika serangan ke Hotel Empress berlangsung. Namanya Kapten Ziaul Haq, yang kelak menjadi Presiden Pakistan. Menurut keterangan Omar Sakri, atase militer Pakistan yang berkunjung ke Kodam Wirabuana dilansir Pedoman Rakyat 1 Junia 1982, Ziaul Haq menyatakan kekagumannya atas semangat dan keberanian pemuda pelajar Makassar.
- Pemberontakan Terhadap Sriwijaya
Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet di medan pertempuran. Ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh Tandrum Luah. Tandrun Luah mati terbunuh di medan pertempuran. Tetapi bagaimana nasib Kayet yang berhasil membunuh itu? Juga Kayet berhasil ditumpas. Ingatlah akan kemenangan itu! ia enggan untuk tunduk kepadaku. Ingatlah akan kemenangan itu! Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang berkumpul menjaga Kadatuan Sriwijaya, juga kau Tandrum Luah, dan semua dewata yang mengawali setiap mantra kutukan! Begitulah sejarawan Slamet Mulajna menerjemahkan bagian manggala atau pembuka dari Prasasti Kota Kapur, peninggalan Kedatuan Sriwijaya dari 686 M. Prasasti ini ditemukan di Bangka, di dusun kecil bernama Kota Kapur. Isinya adalah kutukan kepada siapun yang berani memberontak terhadap pemerintahan Sriwijaya. Yang menarik, sejumlah prasasti kutukan dari Sriwijaya selalu diawali seruan Tandrun Luah. Slamet Muljana itu menafsirkan Tandrun Luah merupakan seorang senapati Sriwijaya yang gugur ketika melawan pemberontak yang sakti mandraguna, Kandra Kayet. “Namun, akhirnya, Kandra Kayet berhasil juga diringkus oleh Dapunta Hyang (Raja Sriwijaya, red. ),” tulis Slamet Muljana dalam Sriwijaya. Menurut Slamet Muljana, karena prasasti-prasasti kutukan Sriwijaya seringkali menyebut tokoh Tandrun Luah, peristiwa penundukkan Kandra Kayet masih hangat sekali dalam ingatan setiap orang di wilayah Sriwijaya. Peristiwa itu adalah pengingat bagi mereka yang berniat melawan atau memberontak kepada Sriwijaya. Jangankan orang lain yang lebih lemah, Kandra Kayet yang sangat kuat sekalipun berhasil ditumpas oleh Dapunta Hyang. Pemberontakan yang mungkin timbul adalah pemberontakan dari negeri-negeri bawahan. Tidak mustahil pula pemberontakan timbul di pusat kerajaan akibat hasutan para pembesar yang tidak menyetujui politik Dapunta Hyang. “Karenanya tekanan terletak pada Drohaka , pengkhianat. Barang siapa melawan kekuasaan Dapunta Hyang, atau barang siapa melakukan pemberontakan atau bersekutu dengan pemberontakan terhadap kekuasaan Sriwijaya, dicap sebagai drohaka atau pengkhianat,” tulis Slamet Muljana. Ahli lainnya, seperti arkeolog Prancis, G. Coedes yang telah mempublikasikan beberapa prasasti Sriwijaya, dan J.G. de Casparis, peneliti dari Belanda, yang mempublikasikan Prasasti Telaga Batu, menahan diri dalam memberi tafsiran pada bagian manggala prasasti-prasasti kutukan itu. Arti Lain Tandrun Luan Filolog Poerbatjaraka melihat Tandrun Luah berhubungan dengan sang hyang tandang luah dalam prasasti Jawa Kuno, Mantyasih dari 907 M. Interpretasinya merujuk pada roh penunggu sungai atau air. Biasanya dewa akan disebut dalam prasasti-prasasti. Dewa-dewa atau roh itu diyakini melindungi dan menjadi saksi atas sumpah dan segala perbuatan manusia. Adapun arkeolog Belanda V. Obdeijn, menghubungkan kata luah dengan bahasa Minangkabau, lua, yang merujuk pada teritori atau distrik. Jadi, dia menduga tandrun luah berarti pemimpin dari suatu wilayah. Di luar tafsiran yang berbeda-beda mengenai Tandrun Luah, Sriwijaya memang seringkali menakut-nakuti rakyatnya yang punya niat tak setia pada negara. Sebagai Kedatuan, Sriwijaya terdiri dari wilayah-wilayah yang dipimpin oleh datu. Mereka yang mengakui kedaulatan Sriwijaya, yaitu Kedah, Ligor, Semenanjung Melayu, Kota Kapur, Jambi, Lamoung, dan Baturaja. “Kedatuan dari kata datu atau orang yang dituakan. Dalam prasastinya tidak pernah menyebutnya sebagai kerajaan,” kata Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia. Menurut Ninie, prasasti-prasasti yang berisi kutukan adalah salah satu cara Sriwijaya untuk menancapkan hegemoninya. Sejauh ini telah ditemukan enam prasasti yang berisi hal serupa. “Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan raja. Ini sebagai bukti bagaimana ia (Sriwijaya, red. ) diakui,” ujar Ninie lagi.
- Laku Pandita Seorang Raja Jawa
ROMBONGAN turis asing itu terpukau oleh koleksi benda-benda antik nan cantik milik Museum Puro Mangkunegaran. Selain jumlahnya masih banyak, mayoritas koleksi itu juga terawat. Komentar acap keluar dari mulut para turis itu. Sambil menenteng plastik kresek sebagai tempat alas kaki –karena aturan dalam museum mengharuskan alas kaki pengunjung dilepas saat di dalam Dalem Ageng, tempat yang kini jadi museum– mereka terlihat sering manggut-manggut setelah mendapat penjelasan dari tourguide . Dari sekian banyak koleksi milik museum, benda-benda milik dan tentang Mangkunegara VII mungkin terbanyak. Penguasa Mangkunegara berpikiran maju itu punya kepedulian tinggi terhadap seni-budaya dan sejarah. “Beliau kan orangnya multitalenta,” ujar Supriyanto, petugas Dinas Urusan Istana Mangkunegaran, kepada Historia. Pengembaraan Mangkunegara VII atau RM Soerjo Soeparto merupakan putra laki-laki ketiga dari 12 putra laki-laki Mangkunegara V. Lahir pada 15 Agustus 1885, Soeparto menjalani kehidupan masa kecil jauh dari kemewahan selayaknya anak-anak raja pada umumnya. Penyebabnya, Mangkunegaran saat itu sedang mengalami defisit yang disebabkan oleh salah urus perekonomian oleh Mangkunegara V, krisis ekonomi dunia, dan hancurnya perkebunan kopi yang menjadi sumber keuangan Mangkunegaran oleh hama. Selain itu, sejak kecil Soeparto hidup dalam pengasuhan pamannya, Pangeran Handajaningrat (kemudian Mangkunegara VI). “Mangkunegoro V kan meninggal dalam usia muda, kecelakaan,” ujar Supriyanto. Dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944 karya Wasino disebutkan, Soeparto sejak kecil diberikan oleh orangtuanya kepada Pengeran Handajaningrat lantaran sang pangeran belum dikaruniai putra kendati telah lama menikah. Dalam kesehariannya, Soeparto memiliki banyak perbedaan dibandingkan anak-anak pada umumnya. Dia lebih senang melihat tanaman di kebun dan menanyakan nama tanaman-tanaman yang ada ketimbang bermain bersama anak-anak sebayanya. Soeparto juga lebih banyak menyendiri. Andai berkumpul, Soeparto lebih senang duduk-duduk dengan emban dan para abdi dalem . “Tidak ikutnya Soeparto bermain seperti putra-putra Mangkunegara V yang lain menandakan sikap rendah diri, karena walaupun merupakan putra Mangkunegara V ketika itu, toh ia sudah diberikan kepada Mangkunegara VI. Dengan demikian, derajat sosialnya lebih rendah daripada putra Mangkunegara V yang langsung di bawah asuhannya sendiri,” tulis Wasino. Namun, pendidikan Soeparto sampai jenjang Europeesche Lagere School (ELS) tetap ditanggung oleh Mangkunegara VI seperti anak Mangkunegara V yang lain. Pembatasan jenjang itu jelas membuat Soeparto tak puas. Hasratnya untuk mengenyam pendidikan ke jenjang lebih tinggi amat besar. Setelah berupaya meminta izin untuk melanjutkan pendidikan kepada Mangkunegara VI dan ditolak, Soeparto frustrasi. Dia kemudian menikah dengan Mas Rara Mardewi, putri bekel bernama Mas Wangsasutirta. Alih-alih bahagia setelah menikah dan dikaruniai putri bernama BRA Partini, Soeparto justru melampiaskan rasa frustrasinya dengan meninggalkan anak, istri, dan Mangkunegaran. Dengan bekal alakadar, Soeparto mengembara. Sesekali menumpang kereta api kelas III, Soeparto lebih banyak berjalan kaki mengunjungi desa-desa. Dia makan sekadarnya, terkadang pemberian penduduk. Apabila tak beruntung mendapat tumpangan menginap di rumah kepala desa, Soeparto menginap di rumah penduduk atau bahkan seringkali di pinggir jalan. Pengembaraan itu membuat Soeparto melihat langsung dan mengenali wilayah-wilayah yang disinggahinya berikut kondisi masyarakat di dalamnya. Dia merasakan perasaan sebagian besar masyarakat. Di Demak, Soeparto menetap dan mendapat pekerjaan sebagai juru tulis, lalu mantri. Saat menjadi mantri itulah Soeparto mengetahui kondisi kesehatan masyarakat. Sambil bekerja, Soeparto terus menambah pengetahuan bahasa Belanda dan sastra Jawanya dengan mengikuti kursus yang biayanya didapatnya dari menyisihkan gaji. Namun, itu tak berlangsung lama. Konfliknya dengan bupati Demak dan membuatnya berhenti bekerja. Soeparto kembali frustrasi lantaran tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Frustrasi itu baru sirna setelah dia mendapat pekerjaan dari Residen Van Wijk, menerjemahkan naskah-naskah berbahasa Jawa ke bahasa Belanda atau sebaliknya. Soeparto amat menikmati pekerjaan barunya. Sambil bekerja, Soeparto bergabung dengan Boedi Oetomo dan aktif berdiskusi serta menulis di Dharmo Kondo . Tak lupa, dia terus menabung untuk biaya sekolah di Eropa yang diimpikannya. Kerja keras dan ketekunan Soeparto menjadi perhatian residen. Setelah melihat semangat Soeparto yang tak pernah kendur, residen akhirnya merekomendasikan agar Soeparto bisa belajar di Eropa dengan biaya sendiri. Mimpi Soeparto akhirnya menjadi kenyataan ketika pada 12 Juni 1913 dia berangkat ke Eropa untuk belajar di Leiden. Soeparto memanfaatkan betul kesempatannya di Eropa untuk menambah pengetahuan dan pergaulan serta pengalaman. Selain senang berkeliling ke berbagai tempat, dia bersahabat dengan banyak orang. “Mangkunegara VII menikmati kehangatan hubungan dengan etnografer tari Claire Holt dan arkeolog Belanda, Willem Suttterheim,” tulis Laurie Margot Ross dalam The Encoded Cirebon Mask: Materiality, Flow, and Meaning along Java’s Islamic Nortwest Coast . Soeparto juga berkarib dengan etnomusikolog Jaap Kunst. Pengetahuan, pergaulan, dan pengalaman di Eropa menambah kaya pengalaman Soeparto yang banyak didapat saat menderita di masa pengembaraan. “Dalam perjalanan pengembaraan itu ia dapat mengenal wilayah dan kehidupan masyarakat yang disinggahi. Dengan cara itu ia dapat mempelajari kehidupan masyarakat Jawa. Kesan ini tampak memengaruhi kepribadiannya, sehingga ketika menjadi Mangkunegara, ia sangat memikirkan nasib kemajuan dan kemakmuran rakyatnya,” tulis Wasino.*
- Ajakan Menghapus Feminisme
KAMPANYE antifeminis muncul pertengahan Maret 2019 di Instagram melalui akun Indonesia Tanpa Feminis. Akun tersebut mengampanyekan uninstall feminisme, Indonesia tidak butuh feminisme, dan “Tubuhku bukan miliku”. Kampanye yang disebut terakhir selain menegasi pandangan para feminis bahwa perempuan punya ototritas atas tubuhnya, juga bertentangan dengan desakan pengesahan RUU PKS baru-baru ini. Per 4 April 2019, pengikutnya mencapai 2700-an akun. Namun, jumlah like kirimannya hanya sekira 300-an, jauh lebih sedikit dari jumlah pengikut akun tersebut. Kehadiran akun tersebut pun memancing komentar pengguna Instagram . Mayoritas mencibir kampanye antifemnisme yang diusung. Menurut Julia Suryakusuma, penulis Ibuisme Negara , kemunculan akun ini sudah lagu lama yang hanya menemukan platform baru, yakni lewat media sosial. Pada tahun-tahun sebelumnya, gerakan serupa bermunculan dari kelompok konservatif, seperti penentang pacaran, atau anti asing. Sebelum dibubarkan, Muslimah HTI bahkan secara terang-terangan menolak feminisme dalam demonstrasi mereka, seperti diberitakan Republika Online , Maret 2015. Julia menuturkan kampanye yang dilakukan Indonesia Tanpa Feminis menunjukkan ketidakpahaman akun tersebut. Feminisme disederhanakan sebagai liberalisme Barat, dianggap membenci lelaki, suka bakar bra, lesbian, dan membenci kegiatan domestik. “Mau disodori fakta tentang feminisme, mereka tidak akan berubah karena tidak mau tahu,” kata Julia kepada Historia . Selain mispersepsi tentang feminisme, menururt Julia, nalar kampanye akun tersebut, yang membenturkan Islam dan feminisme, amat keliru. Pasalnya, keduanya sama-sama membuka kesempatan bagi perempuan. Islam hadir membela hak perempuan ketika orang-orang di negara Arab masih menggangap perempuan sebelah mata. Soal hak waris, misalnya, semula tak ada, setelah Islam datang perempuan mendapat 1/3 bagian. Pernyataan bahwa Indonesia tidak butuh feminisme pun menjadi wagu ketika orang-orang di balik akun ini justru menikmati usaha panjang para perempuan di masa lalu seperti kemampuan membaca, menulis, dan akses untuk menyalurkan pendapat. “Ironinya itu, mereka bisa bersuara juga akibat gerakan feminisme. Jadi, aneh-aneh-lucu,” kata Julia. Sejak akhir abad ke-19, usaha pengentasan buta huruf bagi anak perempuan sudah dilakukan banyak tokoh perempuan, seperti RA Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusiyah. Sementara gerakan perempuan dengan bentuk organisasi, tulis Ruth Indiah Rahayu dalam “Gerakan Perempuan Indonesia dalam Belenggu Historiografi Indonesia-Androsentris”, baru dikenal pada awal abad ke-20. Di masa itu, kesadaran perempuan untuk memerdekakan diri dari penjajahan dan adat yang membelenggu mulai bangkit. Masalah yang disoroti pun melebar ke soal praktik kawin paksa, perkawinan anak, penelantaran keluarga, dan permaduan sewenang-wenang. Para permepuan berusaha mengatasi masalah ini lewat pembentukan Biro Konsultasi yang diketuai Maria Ullfah (menteri sosial RI pertama). Dari usaha bertahun-tahun tersebut, lahir Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang mengatur pencatatan perkawinan, batas usia, dan taklik-talak. Usaha melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga menyusul diupayakan sejak 1997 dan berbuah sebuah legislasi: UU KDRT tahun 2004. Usaha ini tak mulus lantaran penentangan dari golongan konservatif Islam muncul sejak aturan itu diusulkan. Mereka menganggap kemunculan RUU KDRT berpotensi menghancurkan keharmonisan rumah tangga sehingga mesti ditolak. Dalam bidang politik, para perempuan menuntut hak mereka untuk bisa memilih dan mengajukan diri dalam Volksraad. Meksi akhirnya hanya lolos sampai Dewan Kota, usaha ini menjadi bekal perjuangan hak politik perempuan ketika Indonesia merdeka. Jaminan akan hak dasar yang sama bagi semua penduduk juga diperjuangkan hingga lahir UUD 1945 pasal 27. “Padahal, apa yang mereka kecam adalah apa yang diperjuangkan oleh para aktivis perempuan sejak lama. Saya yakin tidak banyak yang akan tertarik,” kata Julia. Sejak 25 Maret 2019, akun tersebut mengajak pengguna Instagram untuk memposting foto diikuti tagar uninstallfeminisme. Dari pantauan Historia, sejauh ini ajakan itu sepi peminat. Jumlahnya bisa dihitung jari, hanya sembilan kiriman.
- Kado Berdarah Buat Siluman Merah
SEKIRA awal 1947, tersebutlah sebuah warung kecil di Soreang (sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Bandung). Letaknya yang dekat jembatan Citarum menjadikan warung tersebut kerap dikunjungi para serdadu Belanda yang melintas di sana. Mereka bukan saja menjadikan warung yang dikelola sepasang suami isteri yang sudah uzur itu sebagai tempat makan, tetapi juga tempat yang sangat enak untuk bercengkrama dan melepas lelah sehabis melakukan patroli ke pelosok. Tanpa dinyana oleh para serdadu itu, Kapten Achmad Wiranatakusumah (Komandan Batalyon 26 Divisi Siliwangi) kerap menyambangi juga warung itu. Tujuannya mematai-matai secara langsung gerik-gerik musuh. Tentu saja kehadiran Achmad di sana dalam samaran. Dia berperan sebagai asisten pemilik warung tersebut. Berbulan-bulan lamanya, Achmad berlaku sebagai telik sandi. Hingga sampailah suatu hari dia meminta kakek dan nenek itu untuk menyingkir selamanya dari warung itu. Setelah membayar harga warung beserta seisinya dengan harga yang mahal, Achmad kemudian meminta beberapa anak buahnya untuk memindahkan sepasang orang tua itu ke tempat yang lebih aman. “Pak Achmad kemudian secara total menggantikan kedua orang tua itu dalam melayani semua pembeli termasuk melayani serdadu Belanda langganan warung tersebut,” ungkap Uweb (98 tahun), eks anggota Batalyon 26 (selanjutnya disebut Yon 26). Suatu senja datanglah puluhan serdadu Belanda yang baru pulang berpatroli. Seperti biasa usai makan dan minum, mereka lalu bercengkrama di warung itu. Situasi sangat santai ketika Achmad berdehem keras. Begitu deheman yang ketiga habis, tetiba rentetan senjata dari berbagai jenis menyalak dari atas para-para. Para serdadu yang sedang lengah itu tentu saja tak bisa berbuat apa-apa kecuali terpaksa menerima siraman peluru. Beberapa menit kemudian, situasi menjadi sepi. Darah membanjiri setiap sudut yang dipenuhi tubuh-tubuh yang sudah tak bernyawa. Beberapa anggota Yon 26, berloncatan dari atas para-para. Mereka lantas mengamankan senjata-senjata milik para para serdadu itu untuk kemudian menghilang di balik lembah-lembah dan hutan-hutan di sekitar Kali Citarum. “Usai kejadian itu pimpinan tentara Belanda di Bandung sangat marah dan memerintahkan untuk membuat operasi khusus penghancurkan “pasukan siluman” yang telah menghabisi anak buahnya,” ujar Rochidin (103 tahun), eks anggota Yon 26 yang lain. Diincar Militer Belanda Sejak kejadian di Soreang, pamor “pasukan siluman” semakin mencorong. Seiring dengan itu, kebencian militer Belanda menjadikan mereka terus mengincar kedudukan Yon 26 dan menghantamnya terus dengan berbagai serangan. Puncaknya terjadi pada 21 Juli 1947. Akibat serangan besar itu, Yon 26 terpaksa mundur ke Gunung Sadu. Yang berada di pinggiran Soreang. “Dipilihnya Gunung Sadu karena di situ Yon 26 bisa memanfaatkan gua-gua pertahanan yang dulu pernah dibikin serdadu Jepang,” ujar Letnan Sastrawirya (salah satu perwira di Yon 26) seperti dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid V: Agresi Militer Belanda I. Untuk lebih menggandakan semangat dan memunculkan kebanggan korps, di Gunung Sadu, Kapten Achmad lantas memberi nama baru untuk Yon 26. Uniknya nama baru itu diambil dari julukan kebencian militer Belanda terhadap pasukan mereka, yakni Siluman Merah. Singkat cerita, Siluman Merah tetap melakukan perlawanan. Bahkan dari Gunung Sadu, kini justru giliran Siluman Merah yang kerap melakukan serangan ke posisi militer Belanda di Soreang. Terlebih secara militer, posisi Siluman Merah ke Soreang lebih strategis karena tepat berada di atas pertahanan tentara Belanda dan jaraknya hanya sekitar 0,5 km saja. “Secara jelas, bendera merah putih yang kami pancangkan di puncak Gunung Sadu bisa terlihat dari arah mana pun seolah menantang tentara Belanda,” ujar Achmad Wiranatakusumah seperti dikutip oleh Aam Taram, R.H. Sastranegara, dan Iip D. Yahya dalam Letjen TNI (Purn.) Achmad Wiranatakusumah, Komandan Siluman Merah. Wajar jika kemudian militer Belanda kalap dan balas menghujani Gunung Sadu dengan serangan artileri, siraman peluru senapan mesin 12,7 mm dan bom yang dilemparkan dari pesawat udara. Mereka seolah ingin memberikan kado berdarah buat Siluman Merah atas aksi-aksi maut batalyon itu di Soreang. “Memang banyak anggota pasukan kami yang menjadi korban,” kenang Uweb. Pindah Markas Kendati dibombardir dari berbagai arah, awalnya Kapten Achmad tetap memilih bertahan di Gunung Sadu. Namun keputusan itu ternyata dianggap konyol oleh Kolonel A.H. Nasution. Panglima Divisi Siliwangi itu lantas memerintahkan Achmad untuk pindah markas ke kawasan Barutunggul di Ciwidey. Sebuah perintah yang kemudian sangat disesali oleh Achmad. “Dengan ditinggalkannya Gunung Sadu, terbukti kemudian tentara Belanda dari Pangalengan bisa menguasai Ciwidey melalui Perkebunan Gambung,” ujar Achmad. Namun perintah dari Nasution merupakan komando. Mau tidak mau, Siluman Merah harus tetap bergerak ke Barutunggul. Di lihat dari segi militer, sejatinya Barutunggul merupakan wilayah strategis. Posisinya berupa lembah dengan hutan lebat diapit oleh dua gunung: Sepuh dan Tambakruyung. “Tidak rugilah kalau Siluman Merah bermarkas di sana,” ujar Rochidin. Memang dalam kenyataannya, militer Belanda seolah tak bisa menembus Barutunggul. Walaupun sudah mengirim panser, tank dan pesawat pembom, pasukan Belanda tetap tidak bisa mengusir lagi Siluman Merah dari Barutunggul. Sebelum mereka melewati jalan-jalan yang diapit tebing curam dan jurang-jurang yang sangat dalam, mereka dipastikan hancur duluan karena serangan-serangan yang dilakukan dari atas tebing. “Posisi ini tak dapat lagi mereka rubah sampai saat perintah cease fire ,” ungkap A.H. Nasution.
- Peraih Derajat Tertinggi dari Universitas Al-Azhar
Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam. Universitas tertua di dunia ini jadi tujuan para pencari ilmu keislaman dari Nusantara. Orang Indonesia pertama yang belajar di Masjid al-Azhar, cikal bakal Universitas al-Azhar, adalah Abdul Manan Dipomenggolo sekira tahun 1850. Dia merupakan pendiri pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, dan juga kakek dari Syekh Mahfudz Tremas. Sedangkan orang Indonesia pertama yang meraih derajat tertinggi ( alamiyya ) dari Universitas al-Azhar adalah Janan Thaib. Dia lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, tahun 1891. Dia pergi untuk belajar ke Makkah pada 1911. Delapan tahun kemudian, pada 1918, dia menempati peringkat ketujuh di Universitas al-Azhar. Dia lulus dengan gelar alamiyya pada 1924. Janan Thaib memimpin organisasi mahasiswa Indonesia di Universitas al-Azhar, yaitu Jam'iyyah al-Khairiyyah al-Thalaba al-Azhariyyah al-Jawiyyah (Asosiasi Pelajari Jawi al-Azhar untuk Kebaikan), yang dibentuk pada 14 September 1923. Organisasi ini memberi layanan kesejahteraan bagi mahasiswa komunitas Jawi . “Perkumpulan ini, dengan Janan Tayyib dari Minangkabau sebagai presiden pertamanya, menjadi forum penting bagi komunitas Jawi di Kairo,” tulis Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam Sejarah Indonesia. Jam'iyyah al-Khairiyyah dibubarkan pada 1937 karena terlalu masuk ke ranah politik. Sementara para mahasiswa mestinya fokus pada pendidikan. Penggantinya Perhimpunan Pemuda Indonesia dan Malaya tetap tak bisa menghindari politik. Menurut Muhammad Zein Hassan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, waktu itu nama “Indonesia” belum dikenal orang dan nama “Jawa” meliputi seluruh wilayah Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaya, Siam, dan Filipina. Meskipun dalam surat izin berdirinya No. 323 untuk kegiatan-kegiatan sosial, perhimpunan itu juga mulai memperkenalkan dan mendorong rakyat Indonesia untuk memenangkan tuntutan-tuntutan nasional seperti dikumandangkan dalam majalahnya, Seruan Azhar. Seruan Azhar yang dipimpin Janan Thaib terbit pertama kali pada Oktober 1925 dengan dukungan keuangan dari seorang pelajar Melayu yang kaya, Haji Othman bin Abdullah. Seruan Azhar berhenti terbit pada Mei 1928 karena kesulitan keuangan. Setelah penerbitan pertamanya, Janan Thaib memutuskan untuk meninggalkan Kairo. Dia ingin meluaskan wawasannya dengan pergi ke Eropa. Setelah mengunjungi Paris, dia pergi ke Belanda . Di Belanda, catat Zein, Janan Thaib menemui Mohammad Hatta, ketua Perhimpunan Indonesia, dalam rangka koordinasi perjuangan Indonesia di luar negeri. Berkat usaha mereka, pada 1926 Indonesia diundang ke Konferensi Islam di Kairo, yang diwakili oleh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Abdullah Ahmad. Pada 1929, Abdul Kahar Muzakkir (Indonesia) dan Abubakar Asy’ari (Malaya) menghadiri Konferensi Buraq (Islam) di Palestina. “Dalam konferensi-konferensi Islam dan lain-lainnya itu diutamakan memperkenalkan bangsa dan aspirasi-aspirasi nasional Indonesia,” tulis Zein. Dari Belanda, Janan Thaib menuju dan menetap di Makkah. Dia mendirikan Madrasah Indonesia al-Makkiyah. Madrasah lain yang juga penting dan didirikan oleh orang Indonesia, Syaikh Muhammad Yasin al-Padani, adalah Dar al-Ulum al-Diniyyah. “Nama ‘Indonesia’ telah mulai dikenal di Timur Tengah pada pertengahan tahun dua puluhan, seperti terbukti dari nama ‘Madrasah Indonesia’ yang didirikan Janan Thaib di Makkah, sekembalinya dari melawat ke Eropa, dan menetap di Tanah Suci,” tulis Zein. Madrasah Indonesia, lanjut Zein, telah mengembangkan kesadaran berbangsa pada warga Indonesia-Malaya yang bermukim di sana. Mereka yang dipecah oleh soal-soal khilafiah dan perbedaan suku yang diembuskan agen-agen Belanda dan Inggris di Jedah, sedikit demi sedikit menyadari akan bahaya fitnah dari agen-agen kolonial itu. Sehingga pada pertengahan tahun tiga puluhan mereka berhimpun dalam satu ikatan Pertindom (Persatuan Talabah Indonesia-Malaya). Menurut Arief Subhan dalam Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-20 , di samping untuk mengembangkan ilmu dan kebudayaan Islam di kalangan murid-murid mukimin Indonesia dan Malaya, Madrasah Indonesia juga mengajarkan bahasa Melayu. Janan Thaib memimpin madrasah ini sampai wafat pada 1946. Madrasah ini terpaksa ditutup tahun 1970 karena kesulitan keuangan dan kalah bersaing dengan madrasah negeri yang mendapat dukungan dari pemerintah Arab Saudi.
- Penaklukkan Sriwijaya di Pulau Bangka dan Jawa
“…Jika pada saat mana pun di seluruh wilayah kerajaan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan pengkhianat, tidak mau tunduk, dan tak mau berbakti, tak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu, orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah. Kepada mereka, akan segera dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Mereka sesanak keluarganya akan ditumpas!” Begitu sejarawan Slamet Muljana dalam Sriwijaya menerjemahkan sebagian kalimat kutukan yang ada dalam Prasasti Kota Kapur. Prasasti Kota Kapur adalah satu dari enam prasasti kutukan Kedatuan Sriwijaya yang sejauh ini sudah ditemukan. Prasasti ini berasal dari 686 M. Ada beberapa hal yang bisa diketahui lewat prasasti itu. Ini terutama yang berkaitan dengan ekspedisi militer Sriwijaya. Pertama , pendapat Slamet Muljana bahwa Prasasti Kota Kapur menunjukkan hubungan antara Sriwijaya dan Pulau Jawa. Pada 686 M, Sriwijaya berusaha menundukkan Pulau Jawa. Sayangnya, kerajaan mana yang akan ditundukkan tak diketahui pasti. Nama kerajaannya tak disebut. Yang dinyatakan pada Prasasti Kota Kapur hanyalah bhumi Jawa. “Tentara Sriwijaya berangkat ke Jawa pada hari pertama bulan terang bulan Waisaka 608 Saka. Piagam persumpahan Sriwijaya adalah follow up operasi militer Sriwijaya,” tulisnya. Kedua,pendapat Nicholaas Johannes Krom, peneliti sejarah awal Indonesia asal Belanda, bahwa prasasti ini merupakan pernyataan pemilikian atas wilayah baru. Karena Prasasti Kota Kapur ini ditemukan di Pulau Bangka, di sebelah utara Sungai Menduk, artinya pada 686 M, Pulau Bangka sudah ditaklukkan. “Sampai ke mana ekspansi itu pada akhir abad ke-7? Hal ini ditunjukkan justru dengan adanya prasasti-prasasti tadi,” tulis George Coedes, arkeolog asal Prancis, dalam Kedatuan Sriwijaya Penyebutan bhumiJawa dalam prasasti itu menimbulkan berbagai tafisran. Bagi Kern dan Blagden, bhumi Java berarti Jawa atau Sumatra. Sementara Rouffaer memilih Jawa. Namun, Krom lebih melihatnya sebagai Pulau Bangka atau bagian Nusantara yang kemudian oleh bangsa Arab dinamakan negeri Zabaj. “Sebab, jika yang dimaksud Pulau Jawa, maka tak masuk akal mengapa ekspedisi yang dilancarkan untuk menyerbu bhumi Java disebut dalam prasasti yang ditemukan di Bangka,” kata Krom, sebagaimana dikutip Coedes. Coedes lebih sepakat pada penafsiran bhumi Java harus dicari di luar Bangka. Itu tiada alasan untuk tidak mengidentifikasikannya sebagai negeri yang sudah selama-lamanya bernama Jawa. “Jika dalam sejarah Jawa benar-benar ada kurun waktu sebagian Pulau Jawa diserang oleh Sriwijaya, maka mungkin asal mulanya harus dicari pada ekspedisi 686 itu,” tulis Coedes. Karenanya, bisa disimpulkan, prasasti itu tak menyebut perebutan wilayah sesudah perang. Prasasti Kota Kapur hanya memberitakan, pemahatannya terjadi pada saat balatentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bhumi Java yang tak takluk pada Sriwijaya. “Jelaslah ekspedisi itu disebut sebagai contoh agar penduduk tempat prasasti itu didirikan, yaitu di Pulau Bangka, berpikir dulu kalau-kalau ada niat untuk memberontak terhadap kekuatan Sriwijaya,” kata Coedes. Itu sebagaimana yang bisa ditafsirkan dari penutup prasasti. Kalimatnya, bahwa pada waktu prasasti itu dikeluarkan, tentara Sriwijaya berangkat ke bhumi Java. Alasannya, kata Slamet Muljana, karena Pulau Jawa tidak berbakti kepada Sriwijaya. Ceritanya, keberangkatan tentara Sriwijaya ke Jawa berakibat berkurangnya kekuatan pertahanan dalam negeri. Raja Dapunta Hyang yang ketika itu berkuasa pun takut kalau-kalau timbul pemberontakan di wilayah Sriwijaya sebagai usaha untuk memperoleh kemerdekaan mereka kembali atau sebagai balas dendam terhadap Sriwijaya. “Pemberontakan yang mungkin timbul adalah pemberontakan di negeri bawahan,” catat Slamet Muljana. Sebagai Kedatuan, Sriwijaya terdiri dari wilayah-wilayah yang dipimpin oleh datu. Mereka ini masuk ke wilayah Sriwijaya setelah mengakui kedaulatan Sriwijaya, yaitu Kedah, Ligor, Semenanjung Melayu, Kota Kapur, Jambi, Lamoung, dan Baturaja. “Kedatuan dari kata datu atau orang yang dituakan. Dalam prasastinya tidak pernah menyebutnya sebagai kerajaan,” kata Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia. Menurutnya, prasasti-prasasti semacam ini adalah salah satu cara Sriwijaya untuk menancapkan hegemoninya, “Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan raja. Ini sebagai bukti bagaimana ia (Sriwijaya, red. ) diakui,” ujar Ninie lagi.
- Politisi Bertensi Tinggi
BILA seorang jenderal berperangai temperamental bisa jadi wajar. Dunia militer yang penuh disiplin dan tegas biasanya membentuk watak prajurit menjadi keras. Sebelumnya, beberapa profil jenderal dengan tipikal demikian telah kami ulas. Namun bagaimana dengan para politisi sipil bertensi tinggi alias gampang tersulut emosi? Tentu saja ada. Baru-baru ini kita menyaksikan video viral yang memperlihatkan Senator Australia, Fraser Anning meninju dan menendang seorang remaja tanggung yang melemparkan telur ke batok kepalanya. Masih aktual juga, Menteri Pertahanan kita, Ryamizard Ryacudu pernah bilang akan menempeleng mereka yang suka menuding orang lain dengan sebutan kafir secara serampangan. Di masa lalu pun begitu. Alih-alih kalem dan santun, sewaktu-waktu mereka dapat meledak melampiaskan kemarahan bak sebagian koleganya yang berasal dari kalangan militer. Berikut kisahnya. Duel Badik Wartawan tiga zaman Rosihan Anwar punya pengalaman dengan Ketua Umum PNI, Soejono Hadinoto. Pada 1949, mereka sama-sama ke Den Haag, Belanda menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB). Soejono menjadi salah satu delegasi pemerintah Indonesia. Sementara Rosihan, jurnalis suratkabar Pedoman yang bertugas meliputnya. Pada dekade 1950-an, Soejono menjabat Menteri Perekonomian. Rosihan tetap berkhidmat di Pedoman selaku pemimpin redaksi. Pernah sekali waktu, Soejono menantang Rosihan berduel memakai badik (pisau belati bermata satu). Soejono ingin pertarungan satu lawan satu dengan Rosihan; sama-sama masuk ke dalam sarung lantas saling tikam dengan badik. Rosihan enggan menanggapi. Laga adu bacok itu pun urung terjadi. “Soejono bilang dalam bahasa Belanda kepada saya, ‘ Je bent een viswif ’. Maksud dia, saya tukang ngomong doang, tapi pengecut,” kenang Rosihan dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 5: Sang Pelopor . Soejono emosi lantaran ilustrasi tentang dirinya muncul dalam pojok Kili-Kili – rubrik satir khas Pedoman. Dalam pojok Kili-Kili , Soejono dilukiskan sebagai Menteri Perekonomian yang mobilnya mengibarkan bendera Merah Putih dengan didahului oleh polisi voorijder lengkap dengan bunyi sirene. Soejono yang membacanya tersinggung. Sekonyong-konyong, timbulah niatnya untuk mengadu badik dengan Rosihan Anwar, orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas pemuatan gambaran tersebut. Hampir Adu Jotos Chaerul Saleh adalah pentolan tokoh pemuda pada hari-hari menjelang kemerdekaan. Presiden Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat menyebut Chaerul sebagai pemuda yang berkepala panas. Namun pada awal 1960, Chaerul Saleh menjadi pembantu Sukarno paling loyal. Dia dipercaya menjabat Wakil Perdana Menteri Tiga yang mengurusi bidang ekonomi. Pada akhir 1964 ketika sidang kabinet berlangsung, Charul Saleh hampir saja adu jotos dengan pemimpin PKI, D.N. Aidit. Saat itu, Chaerul menemukan risalah yang secara tersirat menunjukan rencana PKI merebut kekuasaan paling lambat tahun 1970. Aidit membantah. Dengan muka merah padam dan tangan gemetar, Aidit menegaskan bahwa dokumen tersebut bukan buatan PKI. Sebaliknya, dia menyerang Chaerul merupakan kaki tangan musuh sekaligus antek nekolim. Sebagaimana dicatat Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang, nyaris terjadi keributan antara Chaerul dan Aidit. Di kemudian hari terungkap bahwa dokumen tersebut memang palsu. Aidit menyayangkan sikap Chaerul. “Tetapi dia (Chaerul) sudah mengakui kesalahannya dengan mengatakan, perbuatannya merupakan vergissing , kekhilafan,” tulis Julius Pour. Presiden Sukarno sendiri tidak bereaksi menyikapi polemik dokumen itu dan segera menutup persidangan. Umpatan dan Gamparan Kendati merintis kariernya sebagai perwira TNI Angkatan Laut, namun Ali Sadikin lebih dikenal karena reputasinya memodernisasi Jakarta kala menjabat gubernur. Bang Ali -panggilan warga Jakarta kepada Ali Sadikin - menjadi orang nomor satu Jakarta selama dua periode (1966-77). Selama memimpin Jakarta, Bang Ali kerap kali kontroversial. Bicara nya ceplas-ceplos. Tindakannya pun kadang-kadang di luar dugaan. Mulai dari kata-kata yang ketus hingga main tangan. “Ali Sadikin jika marah sering mengumpat. Banyak pejabat yang pernah jadi sasarannya, termasuk saya,” kenang mantan bawahan Ali Sadikin di Pemda Jakarta, Wardiman Djojonegoro yang pernah jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam memoarnya Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar. Ali Sadikin bahkan pernah menggampar sopir truk ABRI yang menyetir ugal-ugalan. Ketika itu, Ali Sadikin hendak menuju Menteng menghadiri upacara, tiba-tiba mobilnya di salip sang sopir truk. Selain itu, sopir truk melaju kencang di tengah jalan. Karena dapat membahayakan pengguna jalan yang lain, sontak saja Bang Ali murka. Dia perintahkan sang sopir untuk menepi. Sopir truk didatangi, lantas melayanglah dua kali tempelengan Bang Ali ke wajahnya. Setelah puas melampiaskan kemarahan dengan menggampar si sopir tadi, Bang Ali tetap saja dongkol. “Lalu lintas di Jakarta brengsek. Sayalah yang paling tidak puas terhadap keadaan itu,” demikian kekesalan Bang Ali sebagaimana dikisahkannya kepada Ramadhan K.H. dalam Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi.
- Aneka Olahraga Sandiaga
ADA Sandiaga, ada olahraga. Di sela kesibukan politiknya jelang Pilpres 17 April 2019, cawapres nomor urut dua bernama lengkap Sandiaga Salahuddin Uno itu tak pernah lepas dari olahraga. Entah itu lari, senam aerobik, renang, atau basket. Dalam Debat Cawapres yang digelar KPU pada 17 Maret 2019, pasangan capres Prabowo Subianto itu bahkan mengangkat program promotif preventif 22 menit per hari berolahraga untuk masyarakat Indonesia. Gaya hidup semacam ini sudah lama diterapkan dalam keluarganya. “Sejak dini saya sudah mengajarkan kepada Sulaiman (putra bungsu Sandi, red. ) pentingnya berolahraga. Dari kecil saya sudah merutinkan Sulaiman untuk les renang,” kicau Sandi di akun Twitter -nya, @sandiuno, 4 Oktober 2018. Kendati hobi renang, sosok kelahiran Rumbai, 28 Juni 1969 itu memang tak pernah punya prestasi membanggakan. Namun, hobi itu pernah bikin heboh ketika dia ikut memeriahkan Festival Danau Sunter, 25 Februari 2018. Sandi berduel dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Danau Sunter. Dalam perlombaan itu, Sandi berenang sementara Susi berkayak dengan paddle board -nya sejauh 2x500 meter. Dalam olahraga basket, Sandi rutin sparring dengan para sahabatnya atau terkadang dengan kolega politik. Menjelang debat 17 Maret 2019, Sandi bermain dengan Agus Harimurti Yudhoyono di Bulungan, Jakarta Selatan. “Mudah-mudahan ini juga menjadi motivasi untuk muda-mudi yang hadir, bahwa menempuh jalur politik itu banyak kebaikannya dan tentunya harus diperjuangkan setiap saat dengan cara-cara yang baik pula,” ungkapnya, dikutip Kumparan , 17 Maret 2019. Dorongan Orangtua Sedari dini, Sandi sudah menjajal olahraga renang dan basket. Aktivitas itu berasal dari dua faktor: keturunan dan dorongan orangtua. Ibunda Sandiaga, Rachmini Rachman alias Mien Uno, sejak belia sudah terobsesi dengan banyak jenis olahraga. “Berawal dari kemampuannya berlari cepat, ia mudah mengakrabi bidang atletik, termasuk lompat jauh dan lompat tinggi. Tak ketinggalan, ia juga piawai bermain voli. Bisa dipastikan, nilai rapor Mien untuk mata pelajaran Pendidikan Djasmani selalu tinggi cemerlang. Jadilah ia langganan mendapat rupa-rupa piala dan piagam,” tulis Herry Gendut Janarto dalam Mien R. Uno: Menjadi Wanita Indonesia . Namun, Mien Uno anti terhadap satu olahraga yang justru disenangi Sandi, yakni renang. “Gara-gara guru olahraganya pernah bernasihat bahwa otot-otot untuk lari cepat akan terganggu bila ia juga berenang. Karena itu, Mien enggan berlatih renang, di samping karena merasa jijik melihat kolam yang amit-amit dicemplungi banyak orang,” lanjut Herry. Maka itu, hobi renang Sandi berasal dari ayahnya, Razif Halik ‘Henk’ Uno. Selain memperkenalkannya, Henk mengajarkan Sandi renang sejak masih tinggal di Rumbai. Kian intensnya renang Sandi membuatnya dimasukkan ke klub renang setelah pindah ke Jakarta. “Setiap pagi sehabis salat Subuh, dia bersama kakaknya (Indra Cahya Uno, red. ) berlatih renang, setelah itu baru mereka berangkat sekolah. Ketika masih SD, ia lalu didaftarkan ayahnhya menjadi anggota klub renang,” tulis Bintang Wahyu dalam Ketika Mimpi & Usaha Berbuah Manis . Selain lari dan renang, Sandiaga rutin berolahraga basket (Foto: Twitter @sandiuno) Saking intensnya berlatih renang, baik di klub maupun oleh ayahnya, Sandi dan Indra pun sempat jenuh. Namun, Henk bergeming. “Supaya kalau tercebur ke sungai tidak tenggelam,” cetus Henk. Setelah sekian lama Sandiaga baru insyaf bahwa kata-kata ayahnya punya makna dalam: belajar berenang ibarat belajar survive dan menyesuaikan diri di lingkungan yang berbeda. Faktor lain yang membuat Henk terobsesi terhadap renang adalah Lukman Niode. Putra Gorontalo itu merebut tiga medali emas renang di SEA Games 1977. Di SEA Games 1979 dia bahkan meraih lima emas. Pilih Basket Terinspirasi Magic Johnson Sandi tak pernah benar-benar menseriusi renang. Ayahnya pun pasrah setelah Sandi jatuh cinta pada basket. “Saya tidak ingin menjadi Lukman Niode. Cukup satu Gorontalo saja yang mengharumkan nama bangsa di kolam renang. Biarkan Gorontalo yang satu ini mengibarkan Sang Merah Putih di arena bola basket,” papar Sandi dalam otobiografinya, Kerja Tuntas, Kerja Ikhlas . Sandi kepincut basket saat duduk di kelas lima SD PSKD Bulungan. Saking seriusnya menekuni basket, dia tidak hanya sekadar berlatih di sekolah tapi juga masuk ke klub basket Tunas Junior pada 1980. Idolanya, Earvin ‘Magic’ Johnson. Sandi acap membayangkan dirinya dengan bintang NBA itu setiapkali bermain. “Saya ingin menjadi Magic Johnson. Dengan tinggi badan 206 sentimeter, Johnson seharusnya bisa jadi center yang kokoh tapi memilih menjadi point guard untuik tim LA Lakers. Cincin NBA pertamanya bersama Lakers didapatkannya bersamaan dengan mulainya saya bermain basket pada 1980,” kenang Sandi. Di timnya, Sandi pun memilih posisi yang sama dengan idolanya, point guard. Baginya, posisi itu punya peran besar menciptakan visi permainan dengan menjaga keakuratan passing , menciptakan peluang mencetak angka, dan menjaga penguasaan bola. Saat bertahan, orang di posisi itu jadi yang pertama menghadang serangan lawan. “Posisi ini memberikan banyak pelajaran hidup untuk saya di masa depan. Saya belajar bahwa kita butuh kerjasama tim dan strategi untuk mencapai kemenangan. Di luar lapangan, terutama setelah divonis mengidap HIV, Johnson juga tak kalah ajaibnya. Lewat basket, saya belajar dari Magic Johnson bahwa kita tidak boleh berhenti berlari bahkan ketika waktu tak lagi berpihak pada kita semua,” sambung Sandi. Menukil otobiografi Johnson, My Life , ia pertamakali mengetahui dirinya mengidap HIV medio November 1991. Saking down -nya mental Johnson, ia sampai berniat pensiun. Johnson mengakui bahwa ia terkena HIV karena seks bebas. Beruntung, istri dan anak dalam kandungan istrinya tak ikut terpapar HIV. Earvin "Magic" Johnson (Foto: nba.com ) Namun, Johnson akhirnya batal pensiun. Kariernya tetap cemerlang hingga dia dipercaya memegang ban kapten The Dream Team alias timnas Amerika Serikat di Olimpiade 1992. Namanya tetap populer di kalangan generasi muda penggila basket. “Banyak orang memanggil saya pahlawan karena saya kemudian mendedikasikan hidup saya untuk mengedukasi generasi muda tentang HIV dan bagaimana mereka bisa terlindungi. Saya katakan, saya bukan pahlawan karena saya mengidap HIV, karena saya melakukan seks yang tidak aman. Tapi kini saya hanya bisa menatap ke depan. Saya akan berjuang dan berbagi pada generasi muda tentang apa yang sudah saya alami,” ujar Johnson. Hal itu amat inspiratif buat Sandi. Tapi, Sandi akhirnya gagal jadi atlet basket profesional. Begitu bersekolah di SMP 12 dan di SMA Pangudi Luhur, Sandi beralih minat ke olahraga lari yang tak lain bermula dari kewajiban dari mata pelajaran Pendidikan Jasmani. “Ketika cita-cita basket redup, saya berkenalan dengan cinta baru yang kelak jadi rutinitas saya. Guru olahraga kami, almarhum Bapak Bobby, selalu mewajibkan seluruh siswanya menempuh lari jarak jauh sebagai syarat kelulusan ujian olahraga,” kenang Sandiaga. Kala itu, olahraga lari belum booming seperti beberapa tahun belakangan. Lari seolah hanya jadi formalitas di setiap sekolah atau pelengkap sesi pemanasan macam-macam olahraga lain. Tapi, Sandi memandangnya berbeda. “Ibu” dari berbagai cabang olahraga itu lantas kemudian terbukti jadi tren baru di berbagai daerah di Indonesia. Pada akhirnya, Sandi tak mengentaskan cita-citanya jadi atlet basket. Tapi antusiasmenya terhadap basket dan renang tak hanya sekadar rutinitas. Sandi ikut mengurus timnas basket putri sebagai manajer jelang SEA Games 2005 dan sempat jadi ketua umum Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) periode 2013-2017.
- Kala Budak Dibebaskan
PADA 1 April 1905, Raja Rama V atau dikenal pula Raja Chulalongkorn mengesahkan penghapusan perbudakan dan kerja paksa yang sudah dipraktikkan sejak masa Raja Ramathibodi II (1518). Ia juga menyatakan bahwa semua orang Siam yang lahir ketika ia berkuasa (1868-1910) adalah orang merdeka. Tanggal 1 April kemudian diperingati sebagai Hari Penghapusan Perbudakan di Thailand. Pada 1874, ia memberlakukan aturan yang menurunkan harga penebusan budak. Antonio L. Rappa dalam The King and the Making of Modern Thailand menyebut langkah Rama menjadi satu kemajuan untuk penghapusan perbudakan. Di beberapa negara, semisal Inggris Raya, aturan tentang pembatasan perbudakan dikeluarkan pada 1807 atas usulan William Wilberforce, anggota House of Commons. Inggris akhirnya mengeluarkan undang-undang penghapusan perbudakan pada 1833. Amerika Serikat mengikuti menghapus perbudakan dengan amandemen ke-13 konstitusi AS pada 1865. Di Indonesia, usaha penghapusan perbudakan dimulai sejak masa VOC. Kala itu, banyak orang-orang kaya memelihara budak, baik orang Eropa, Tionghoa, maupun bumiputra kaya. De Graaff secara khusus menyoroti perilaku orang-orang Belanda pada budak mereka sebagai sebuah kecongkakan yang memuakkan. Hal itu umum terlihat antara lain saat para perempuan Belanda pergi ke gereja. Mereka pergi dengan rombongan budak laki-laki dan perempuan untuk melayaninya. Ada budak yang bertugas untuk memayungi, membawakan kitab, dan kotak sirih. Mereka dilayani laiknya puteri raja. Bila si budak tidak memuaskan majikannya, hukuman penyiksaan sebagai ganjaran lumrah terjadi. Ada budak yang dipukuli, dicambuk, disiram air panas, atau dipaksa bekerja tanpa istirahat hingga putus asa dan memilih bunuh diri. Ada juga budak yang mengamuk dan balik menyerang majikannya. Dengan banyaknya kasus kekerasan antara majikan dan budak sepanjang abad ke-17, penguasa Belanda mulai ikut campur dalam kasus perbudakan pada abad ke-18. Jika ada budak yang dibunuh oleh majikannya, budak yang memiliki hubungan dengan korban harus dipindahtangankan. Aturan ini barang kali untuk melindungi majikan agar terhindar dari balas dendam. Meski demikian, menurut Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia, pada akhirnya penguasa Belanda mulai serius memikirkan nasib budak. Pada 1742, seorang Belanda kaya diusir dari seluruh wilayah VOC karena menembak mati seorang budak dan menyiksa tiga orang lain. Hukuman bisa pula berupa pencabutan hak kepemilikan budak karena memperlakukan budak dengan sangat kejam. Pada 1757, aturan yang membatasi kepemilikan budak dikeluarkan. Untuk budak yang dipelihara dalam kastil, batas maksimal adalah 1200 orang sedangkan budak yang boleh dipelihara di Pulau Onrust (sekarang Pulau Kapal di dekat Teluk Jakarta) maksimal 300 orang. Aturan-aturan tentang perbudakan lebih baru keluar pada 1 Januari 1758. Isinya, larangan membawa budak di bawah umur 14 tahun ke Batavia. Pada 1803, pemerintah Batavia mengeluarkan aturan tentang pemenuhan akomodasi dan pembagian makanan yang adil. Ketika Thomas Raffles berkuasa, aturan pembatasan budak usulan Wilberforce masih dipergunakan. Pada 1812, Raffles melakukan pembatasan budak dengan mewajibkan majikan mendaftarkan budak mereka, memberi pajak lebih pada para majikan, dan mengeluarkan larangan mengimpor budak ke Pulau Jawa sejak 1813. Perdagangan budak akhirnya dilarang di Jawa pada 1860 kendati pasar budak di Batavia baru tutup tahun 1880 ketika impor dan perdagangan budak dihentikan.





















