Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Hoegeng, Polisi Anti Suap
Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso tahu betul bagaimana kentalnya tradisi menjilat di kalangan pejabat Orde Baru. Demi bercokol dalam lingkaran kekuasaan, mereka berusaha menarik simpatik Presiden Soeharto sekalipun dengan cara memalukan. Lapangan golf biasanya menjadi arena dimana praktik menyanjung dan melobi itu dilancarkan. Dalam suatu wawancara dengan George Junus Aditjodro, wartawan Tempo pada akhir 1970, terkuaklah kejengkelan Hoegeng. Dia mengungkapkan tentang seorang pejabat kabinet yang suka menjalankan aksi tersebut. Namanya, Maraden Pangabean, Menhankam/Pangab. Panggabean rela membeli stik golf paling mahal untuk menjadi rekan main golf Soeharto. Namun, saat permainan dia kerap mengalah atau pura-pura tak mampu melawan Soeharto. Saat itulah Panggabean mengeluarkan jurusnya: memuji-muji permainan golf Soeharto. “Ini diceritakan oleh Hoegeng, dengan meniru logat Batak Panggabean yang sangat kental,” kata Aditjondro dalam testimoni buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa yang ditulis Aris Santoso, dkk. Hoegeng sendiri mengecam tradisi permainan golf di kalangan pejabat. “Saya tidak bermain golf bukan karena antigolf tetapi karena itu permainan mahal. Harga stik golf sangat mahal dan saya tidak punya uang. Saya juga tak bersedia meminta-minta,” kata Hoegeng dalam Tempo , 22 Agustus 1992. Seorang menteri pernah mengeluhkan sikap Hoegeng yang tidak mau main golf. Padahal, hampir semua pejabat telah menjajal olahraga mewah ini. Hoegeng pun dijanjikan akan diberikan seperangkat alat main golf cuma-cuma. Tapi Hoegeng dengan tegas menolaknya. “Wah, saya ndak mau dibelikan stik golf. Nanti saya beban utang budi,” demikian kata Hoegeng. Disogok Tionghoa Medan Sifat lurus Hoegeng telah terbentuk sejak kariernya di kepolisian masih di jenjang bawah. Harga diri Hoegeng sebagai pejabat negara pernah diuji tatkala dirinya ditugaskan di Medan. Pada 1956, Hoegeng diangkat menjadi Kadit Reskrim Kantor Polisi Propinsi Sumatra Utara. “Saya ditakdirkan bertugas di wilayah kerja yang dimitoskan sebagai wilayah ‘ test case ’ yang berat di Indonesia itu,” kenang Hoegeng dalam otobiografi Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan yang disusun Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. Wilayah Sumatra Utara saat itu tergolong rawan. Tindakan kriminal seperti penyelundupan, korupsi dan perjudian sedang marak-maraknya. Untuk membereskan itulah Jaksa Agung Soeprapto menugaskan Hoegeng dan segera disetujui oleh Kepala Kepolisian Negara Soekanto. Kolega Hoegeng di kepolisian memperingatkannya agar berhati-hati. Di Medan, telah menjadi rahasia umum kalau pejabat negara dapat dibeli oleh kelompok pengusaha Tionghoa yang menjalankan bisnis gelap. Bisnis itu bisa menggeliat karena ada backing dari oknum tentara atau kepolisian. Hoegeng sempat memikirkan kesiapannya namun pada akhirnya dia mantap berangkat ke Medan. Lagi pula, Hoegeng selalu ingat pesan ayahnya untuk selalu menjaga nama baik. Baru saja berlabuh di Pelabuhan Belawan, Hoegeng langsung disambut dengan acara “Selamat Datang yang Unik”. Seorang Tionghoa bertubuh gemuk menghampiri dirinya ketika hendak menuju tempat penginapan sementara. Hoegeng lupa siapa namanya namun orang Tionghoa itu memperkenalkan dirinya sebagai “Ketua Panitia Selamat Datang”. Dengan ramah, Ketua Panitia menyatakan kegembiraan atas pengangkatan Hoegeng sebagai pejabat baru di Medan. Selanjutnya, jurus pamungkas pun dikerahkan. Dia menawarkan rumah dan mobil untuk membantu Hoegeng bertugas. Hoegeng mengucapkan terimakasih namun menolak pemberian itu. Orang Tionghoa itu pun hanya bisa melongo dan segera pamitan. Dua bulan kemudian, orang yang sama “mengerjai” rumah dinas Hoegeng, di Jalan Rivai 26. Ketika Hoegeng akan menempati rumah itu, dia dikejutkan dengan kiriman perabotan rumah tangga yang serba mahal. Barang-barang itu antara lain: piano, lemari, meja dan kursi tamu, bufet, meja makan, kulkas, tape rekorder, dipan-dipan jati, dan entah apalagi. Sogokan itu benar-benar membuat Hoegeng marah. “Cina tukang suap itu memang badung,” kata Hoegeng. Dia mengultimatum orang yang pernah menyambutnya di Belawan dulu agar mengeluarkan barang itu dari rumah dinas. Hingga waktu yang ditentukan, barang sogokan itu belum juga diambil. Hoegeng pun habis kesabaran. Dia memerintahkan anggota kepolisian yang membantu kuli mengeluarkan perabotan mewah itu dan meletakkannya di pinggir jalan begitu saja. Menurut Hoegeng, seluruh pendapatannya sebagai polisi barangkali tidak dapat membeli barang-barang itu. Memutuskan untuk membuang barang-barang pemberian itu agak disayangkan juga oleh Hoegeng. “Akan tetapi itu lebih baik ketimbang saya melanggar amanah almarhum ayah saya dan mengkhianati sumpah jabatan sebagai penegak hukum di Republik ini,” kenang Hoegeng dalam otobiografinya. Disikut Sesama Pejabat Menurut Aris Santoso, dkk, selama Hoegeng memimpin reskrim, tidak terhitung banyaknya kasus penyelundupan dan perjudian di Sumatra Utara yang berhasil dibongkar. Kasus-kasus yang ditangani banyak sekali. Frekuensinya tidak terhitung lagi. Benar-benar daerah rawan hukum. “Dalam banyak kasus, senantiasa tertangkap juga beberapa orang Cina yang terlibat dalam sindikat perjudian. Sekali gebrak, bisa ditangkap dua atau tiga orang,” tulis Aris Santoso, dkk. Acap kali Hoegeng menangkap basah anggota tentara atau polisi yang menjadi backing usaha ilegal seperti itu selama operasi. Selepas tugas di Medan, karier Hoegeng terus melesat. Berturut-turut Hoegeng menjabat Kepala Jawatan Imigrasi (kini Dierjen Imigrasi) dan Menteri Iuran Negara (kini Dirjen Pajak). Pada 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kapolri menggantikan Soetjipto Joedihardjo. Di masa puncak kariernya inilah Hoegeng kembali mengalami ujian terberat sebagai abdi negara. Dua kasus menggemparkan terjadi di masa kepemimpinan Hoegeng. Pada 1969, Hoegeng berhasil membongkar penyelundupan mobil mewah yang dilakukan kelompok Robby Tjahyadi. Robby Tjahyadi sendiri dikenal sebagai penyelundup kelas kakap yang punya koneksi dengan pejabat teras dalam pemerintahan. Setahun berselang, Hoegeng juga turun tangan menguak kasus pemerkosaan gadis bernama Sumarijem alis Sum Kuning yang melibatkan anak pembesar sebagai tersangka. Anehnya, tidak lama kemudian, pada 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan dengan alasan peremajaan. Adapun pengganti Hoegeng ialah Mohamad Hasan yang merupakan senior Hoegeng. Banyak yang mengaitkan pencopotan Hoegeng dengan terbongkarnya kasus Robby Tjahyadi dan kegigihannya menguak kasus Sum Kuning. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Hoegeng tidak disukai sesama pejabat. Ketika menghadap Presiden Soeharto, Hoegeng ditawarkan tugas baru: “didubeskan” ke Belgia. Seperti dituturkan kepada Ramadhan K.H dan Abrar Yusra, Hoegeng menolak halus tawaran jadi dubes, dengan mengatakan, “Tugas apapun di Indonesia akan saya terima. Tapi Soeharto seakan menutup kesempatan bagi Hoegeng dengan jawaban, “di Indonesia sudah tidak ada lowongan lagi buat Mas Hoegeng.” “Kalau begitu, saya keluar saja,” ujar Hoegeng. Mendengar itu, Soeharto terdiam. Usulan menggeser Hoegeng dari jabatan Kapolri ke Belgia datang dari Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean. Menurut Aditjondro, anekdot soal kelakuan Panggabean di lapangan golf itu bisa jadi mencerminkan ketegangan antara Hoegeng dan Panggabean. “Yang jelas, kedua tokoh itu punya sikap yang diametral berbeda dalam soal korupsi, yang meliputi sikap terhadap nepotisme,” tulis Aditjondro.
- Tan Jin Sing, Sang Bupati Yogyakarta
Permulaan abad ke-19 perpecahan terjadi di Kesultanan Yogyakarta. Perselisihan antara Sri Sultan Hamengkubuwono II dengan pemerintah kolonial Inggris di bawah perintah Thomas Stanford Raffles berakhir dengan diturunkan sang sultan dari takhtanya. Raffles lalu mengangkat putra Hamengkubuwono II, Raden Mas Surjo, sebagai raja baru dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono III. Selama bertakhta (1810-1814), Sultan Hamengkubuwono III dianggap sebagai raja boneka. Dia banyak mengeluarkan kebijakan yang diyakini hanya menguntungkan kaum penjajah, terutama soal tingginya pungutan pajak dan keleluasaan orang Eropa di dalam kota. Namun di antara semua kebijakan, ada satu yang menjadi pemicu kemarahan rakyat, yakni pengangkatan kapiten Tionghoa Tan Jin Sing sebagai bupati Yogyakarta. Mengingat saat itu persaingan antara rakyat (baca: etnis Jawa) dengan orang-orang Tionghoa begitu besar di berbagai bidang. Ditambah jabatan bupati, banyak diminati bangsawan Jawa. “… Terdapat karier yang termasuk luar biasa dari seorang laki-laki yang memainkan peran sangat menentukan dan membantu menguatkan perasaan saling mencurigai dan tidak menenangkan antara kedua komunitas,” tulis Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi Tentang Cina (1755-1825) . Siapakah Tan Jin Sing? Suksesor Sultan Diceritakan Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik , Tan Jin Sing lahir pada 1760 dari keluarga berbeda etnis. Ibunya, R.A. Patrawijaya, berasal dari keturunan Sunan Mataram Mangkurat Agung. Sementara ayahnya adalah seorang Tionghoa yang meninggal enam bulan sebelum kelahiran Tan Jin Sing. Namun sumber lain, T.S. Werdaya dalam Tan Jin Sing: Dari Kapitan Tionghoa Sampai Bupati Yogyakarta , menyebut bahwa Tan Jin Sing bukan dari keluarga beda etnis, melainkan keluarga priyayi Jawa. Ayahnya adalah Demang Kalibeber, dan ibunya R.A. Patrawijaya. Werdaya sendiri merupakan keturunan Tan Jin Sing yang membentuk trah Secodiningrat. Meski ada perbedaan dalam penyebutan asal-usul keluarga, kedua sumber sama-sama sepakat soal ayah angkat Tan Jin Sing bernama Oei Tek Liong. Olehnya Jin Sing diasuh dan dididik secara adat istiadat Tionghoa. Dia juga diajari bahasa kromo inggil dan tata cara budaya Jawa. Ketika Jin Sing berusia 10 tahun, Tek Liong menikah dengan Liam Lian Nio Jin Sing. Keluarga itu kemudian menetap di Magelang. Jin Sing diajarkan bahasa Belanda dan Inggris, serta budaya Eropa. “Demikianlah Jin Sing tumbuh menjadi seorang pemuda yang cakap dan pandai. Orang-orang Eropa yang hidup pada zaman itu menggambarkan Tan Jin Sing sebagai ‘seorang laki-laki yang benar-benar cerdas dan terampil’. Ia mampu memadukan ‘ketajaman seorang Tionghoa’ dengan pengetahuan lokal dan ‘kecerdikan orang Jawa’,” tulis Carey. Jin Sing lalu tinggal di Yogyakarta dan menikahi putri seorang kapiten Tionghoa bernama U Li. Pada 1803, dia menggantikan posisi mertuanya sebagai kapiten Tionghoa. Sebagaimana para pendahulunya, Jin Sing memegang peran menyewakan gerbang-gerbang tol di wilayah kesultanan untuk keperluan perdagangan. Dengan jabatannya itu, dia dapat mengembangkan kegiatan dagang milik pribadinya. Namun bukan itu keresahan utama para elit Jawa atas posisi Jin Sing. Sebagai kapiten Tionghoa, dia memiliki koneksi yang baik dengan pemerintah kolonial. Jin Sing bisa menjadi penghubung para bangsawan yang ingin bernegosiasi dengan pihak kolonial. Dan salah satu elit Jawa yang dekat dengan Jin Sing adalah putra mahkota Kesultanan Yogyakarta, Raden Mas Surjo. Menurut Peter Carey, Jin Sin dan Raden Mas Surjo berteman baik. Dia bertekad membantu Mas Surjo mengambil kembali tahta dari HB II. Kapiten Tionghoa ini lalu menerima titah sebagai utusan rahasia sang putra mahkota dalam berbagai perundingan dengan Inggris pada 1812. Perundingan tersebut memunculkan perjanjian antara Inggris dan Raden Mas Surjo. Pihak Inggris sepakat memberi jaminan untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan HB II ke Rade Mas Surjo. Pihak Inggris lalu melakukan penyerbuan ke kraton pada Juni 1812 dan menggulingkan takhta sultan. Raden Mas Surjo pun dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono III. Sebagai imbalan atas perannya, sultan mengangkat Tan Jin Sing sebagai bupati Yogyakarta dengan gelar Raden Tumenggung Secodiningrat. Di dalam buku Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia karya Budi Susanto (ed), disebutkan bahwa Jin Sing diberi sebuah wilayah berpenduduk 1.000 kepala keluarga di bekas perkebunan merica dan nila milik VOC di Lowanu, sebelah timur Bagelen. Bekas kapiten Tionghoa itu juga diketahui menjadi seorang Muslim. Dia mengucap dua kalimat syhadat dan disunat sebagai bentuk pengakuan diri telah memeluk Islam. “Sayangnya, persoalannya tidak berhenti di situ saja. Perihal kehadiran seorang Tionghoa dalam jabatan tinggi birokrasi orang Jawa, walaupun hal itu lazim ditemukan di Jawa Timur dan di pantai utara, tetapi hal itu tidak ada sejarahnya di Yogyakarta. Oleh sebab itu, pengangkatan Tan Jin Sing/Secodiningrat itu membangkutkan kemarahan beberapa kelompok,” tulis Carey. Akhir Hidup yang Tragis “ Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung ” (bukan lagi Tionghoa, belum lagi menjadi orang Belanda, dan Jawa pun masih tanggung). Ungkapan tersebut begitu populer di antara rakyat Yogyakarta pada awal abad ke-19 untuk menggambarkan sosok Tan Jin Sing yang terkatung-katung di antara tiga dunia (Tionghoa, Eropa, dan Jawa). Kelompok elit Jawa yang paling vokal dalam menentang jabatan Jin Sing adalah Pangeran Notokusumo (Paku Alam I), saudara kandung HB II. Kegagalan menduduki takhta Kesultanan Yogyakarta membuat Notokusumo menyimpan dendam kepada bupati Yogyakarta ini. Bahkan menurut beberapa laporan pada Oktober 1812, Notokusumo berencana menghilangkan tanah pemukiman orang-orang Tionghoa dan membunuh Tan Jin Sing. Ancaman itu tentu membuat Jin Sing hidup dalam ketakutan. Ketakutan akan ancaman pembunuhan itu semakin hebat ketika pelindungnya (HB III), meninggal pada 3 November 1814. Jis Sing kehilangan koneksi utama di dalam Kesultanan Yogyakarta. Meski begitu dia tetap melanjutkan tugasnya sebagai bupati Yogyakarta. Menurut Peter Carey, Jis Sing sebenarnya tidak benar-benar kehilangan kedudukan di dalam birokrasi istana. Dia masih menjadi penghubung antara keraton dengan pihak kolonial selama HB IV bertakhta. Sebagian pejabat istana pun, khususnya istri HB III, masih senang kepadanya. “Meskipun demikian, hubungannya dengan orang di istana tetap saja renggang. Ia dinilai bersikap angkuh dan congkak oleh para pejabat istana sebab mendapat perlakuan khusus dan istimewa; suatu hal yang sesungguhnya tidak berhak untuk ia dapatkan menurut ketentuan adat istana,” tulis Carey. Bupati Yogyakarta itu sudah tidak mendapat tempat di antara bangsawan Jawa. Seorang pejabat tinggi Belanda Wouter Hendrik van Ijsseldijk mendapati kecemburuan mereka itu telah menghancurkan karir Jin Sing. Banyak pejabat istana yang menyatakan perasaan tidak senang secara terang-terangan atas kedudukan Jin Sing. Bahkan tidak hanya oleh para elit Jawa, mantan kapiten Tionghoa itu juga begitu dibenci oleh kelompok-kelompok masyarakat Tionghoa di Semarang dan Surakarta akibat kedudukannya di Yogyakarta. Penolakan itu membuat Jin Sing mengusahakan permohonan gelijkgestelde (disamakan) dengan kelompok Eropa. Nantinya dia tidak lagi ada di golongan Tionghoa maupun bumiputra, tetapi Eropa. Berdasarkan keputusan gubernur jenderal hal itu bisa saja dilakukan, sudah banyak kelompok elit bumiputra yang melakukannya. Namun tidak mudah memperolehnya, dan Jin Sing mendapat penolakan atas kedudukan tersebut. “Demikianlah, Tan Jin Sing alias Secodiningrat terpaksa harus menghabiskan sisa hari tuanya di dalam suatu kehidupan kultural yang aneh, tidak menyenangkan, dan terasing. Ia dengan penuh kehinaan ditolak oleh orang senegerinya; akibat penolakannya terhadap adat Tionghoa. Ia pun dicurigai begitu rupa oleh kebanyakan orang Jawa dari kalangan atas sebagai orang kaya baru yang penuh ambisi, serta membuat dirinya sendiri digunakan oleh orang Eropa yang membutuhkan jasanya sebagai informan politik,” ungkap Carey.
- Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional
Nama Sultan Hamid II atau Sultan Syarif Hamid Alkadrie dari Kesultanan Pontianak kini tengah ramai diperbincangkan. Musababnya, muncul perseteruan antara Kesultanan Pontianak dengan A.M. Hendropriyono yang bermula dari komentar Hendropriyono tentang Sultan Hamid II. Dalam sebuah video yang diunggah di saluran Youtube Agama Akal TV , Hendropriyono menyebut bahwa Sultan Hamid II adalah seorang pengkhianat, alih-alih seorang pahlawan. Ia juga menyebut bahwa Sultan Hamid bukanlah perancang lambang negara Garuda Pancasila. Sementara itu, pihak Kesultanan Pontianak yang kini tengah mengusahakan gelar Pahlawan Nasional bagi Sultan Hamid II geram. Kesultanan Pontianak kemudian melaporkan Hendropriyono ke Polda Kalimantan Barat terkait dugaan pencemaran nama baik. Polemik Sejarah Sultan Hamid II adalah sultan ke-7 (1945–1978) dari Kesultanan Qadriyah Pontianak. Lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913 dari pasangan sultan ke-6 Syarif Muhammad Al-Qadrie dan Syecha Jamilah Syarwani. Hamid mendapat pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Lalu melanjutkan ke Hogeere Burger School (HBS) di Bandung dan HBS V di Malang. Kemudian sempat ke Technische Hooge School (THS) –sekarang Institut Teknologi Bandung– namun kemudian lebih memilih Akademi Militer Belanda (Koninklijke Militaire Academie) di Breda, Belanda. Lulus pada 1938, Hamid bergabung dengan Koninklijke Nederlandsche Indische Leger (KNIL) dan bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya. Ia pernah ditahan Jepang selama 3,5 tahun di Jakarta. Pasca kemerdekaan, Hamid dilantik menjadi sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak pada 29 Oktober 1945. Kemudian pada 1946, ia naik pangkat menjadi mayor jend e ral dan menjadi ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina. Anshari Dimyati, Direktur Eksekutif Yayasan Sultan Hamid II dalam webinar nasional “Sultan Hamid II, Pengkhianat atau Pahlawan?” pada 21 Juni 2020 menyebut Sultan Hamid II memiliki banyak peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah perundingan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun, ia menyayangkan, peran itu justru dinafikan karena Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk sejak penyerahan kedaulatan pada KMB itu tidak dilihat secara utuh sebagai mata rantai sejarah bentuk negara Indonesia. “Pertanyaannya kemudian hari ini, sejarawan-sejarawan yang menolak bahwa Sultan Hamid II itu berperan terhadap kedaulatan tersebut, apakah RIS ini, Republik Indonesia Serikat ini merupakan negara ilegal? Kan tidak,” kata Anshari. Jasa lain Hamid yang memunculkan kontroversi adalah rancangan logo elang rajawali Garuda Pancasila. Dalam sayembara merancang lambang negara , karyanya dipilih dan ditetapkan sebagai lambang negara RIS pada 11 Februari 1950. Gambarnya kemudian mengalami beberapa kali perbaikan dan jadilah Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara Republik Indonesia sekarang. “Beliau sebagai perancang lambang negara itu tidak bisa dinafikan. Tidak dapat dibantah. Bertahun-tahun kami melakukan penelitian dan sudah diuji oleh banyak guru besar dan kemudian sudah diakui sebagai benda cagar budaya peringkat nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2015,” ujar Anshari. Hamid ditangkap pada 5 April 1950 atas tuduhan berniat menyuruh Westerling dan Frans Najoan menyerbu Dewan Menteri RIS dan menembak mati tiga pejabat pemerintah. Hamid diadili dan pada 8 April 1953 Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun. Hamid dibebaskan pada 1958 dan tak lagi berpolitik. Namun, pada Maret 1962, ia kembali ditangkap dan dipenjara di Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur atas tuduhan makar dan membentuk VOC (Vrijwillige Ondergrondsche Corps). Hamid baru bebas pada 1966 setelah Sukarno lengser. Narasi terkait Westerling itu dibantah Anshari. Menurutnya, ada sentimen sejarah dari para peneliti dan pengkaji gelar pahlawan ditingkat pusat. Ia menjelaskan bahwa dakwaan primer Jaksa Agung Suprapto pada 1953 tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa Hamid terlibat Westerling. “Sultan Hamid II tidak terlibat Westerling. Apa buktinya? Kita lihat putusan Mahkamah Agung, baca betul-betul. Saya kira ini sentimen sejarah yang tidak bijak dibaca oleh orang-orang yang ada di tim peneliti dan pengkaji gelar di tingkat pusat atau TP2GP,” sebut Anshari. Politik Kepahlawanan Sejarawan J.J. Rizal lebih menyoroti mengenai kontroversi gelar Pahlawan Nasional yang sering terjadi Indonesia. Di mana persoalan gelar Pahlawan Nasional bukan hanya perihal sejarah, melainkan juga politik. Ia mencontohkan misalnya, pada 2004 muncul kontroversi kepahlawanan Sultan Hasanuddin setelah terbit buku biografi The Heritage of Arung Palaka yang ditulis oleh Leonard Y. Andaya. Dalam buku itu, digambarkan bahwa kejatuhan Sultan Hasanuddin dirayakan besar-besaran oleh masyarakat Bone karena dianggap sebagai kejatuhan seorang diktator. Padahal Sultan Hasanuddin telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada era Sukarno. Wacana kepahlawanan Sultan Hasanuddin pun menjadi polemik. Kemudian polemik terjadi pula pada 2007 tentang kepahlawanan Imam Bonjol setelah terbit cetak ulang buku Tuanku Rao yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan dan Greget Tuanku Rao dari Basyral Hamidy Harahap. Dari situ, muncul kritik keras terhadap kepahlawanan Imam Bonjol karena dianggap menggunakan kekerasan secara masif di Minangkabau dan Batak. Menurut Rizal, kekritisan terhadap sejarah itu muncul dan menimbulkan kontroversi terkait kepahlawanan tidak terlepas dari semangat Reformasi. “Saya pikir harus ditarik ke periode tahun 1998 di mana ada semangat besar untuk mengkritisi sejarah dari periode Orde Baru dan juga ada dorongan dari Pak Habibie sendiri untuk berdamai dengan sejarah,” kata Rizal. Ketika Orde Baru lengser, B . J . Habibie sebagai presiden baru memberikan Bintang Mahaputra kepada Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir. Padahal, dua tokoh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) itu pada era Sukarno dan Soeharto dianggap sebagai pemberontak. Pasca Reformasi, narasi sejarah kedua tokoh tersebut memang berubah. Ada usaha-usaha untuk membersihkan nama baik dua tokoh tersebut. Hingga pada 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Sementara Sjafruddin ditunda karena ada kemungkinan kontroversi akan membesar. Sjafruddin baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2011. “Tapi yang paling menarik menurut saya bagaimanapun ada semangat lebih serius terkait pemberian gelar pahlawan. Ada peninjauan ulang terhadap latar belakang historis dari tokoh yang diajukan sebagai pahlawan,” kata Rizal. Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kemudian juga menghapus Undang-Undang No. 33 Prps Tahun 1964 yang mencantumkan kriteria “karet” bahwa calon Pahlawan Nasional tidak boleh melakukan perbuatan yang mencederai perjuangannya. Yang pada masa Orde Baru ditafsirkan sesuai dengan kepentingan penguasa. “Dan di masa Orde Baru juga dengan pasal kriteria karet itu, tokoh seperti Tan Malaka, Alimin yang kiri itu dimakzulkan. Jadi dihilangkan di dalam peta universe dari para pahlawan,” terang Rizal. Berubahnya narasi sejarah Natsir dan Sjafruddin, menurut Rizal, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yang pertama, citra sejarah seperti apa yang ingin dihadirkan dan tengah menghadapi persoalan apa pemerintah saat itu. Lalu ada semangat berdamai dengan sejarah dan politik literasi dari para intelektual dan politisi. Kemudian, ada riset sejarah besar-besaran mengenai penjernihan narasi sejarah. Dan terakhir, ada penerbitan ulang karya-karya tokoh terkait secara stimulan dan orang bisa membaca kembali tentang tokoh tersebut. “Jadi kesimpulan saya adalah proses pemilihan pahlawan ini peristiwa politik. Lebih banyak urusan politik daripada urusan sejarah tapi bukan menafikan sama sekali urusan sejarah,” pungkas Rizal.
- Lima Dekade Lagu Anak-anak Indonesia
Abang tukang bakso mari-mari sini. Aku mau beli . Sepenggal lirik ini berasal dari lagu anak-anak berjudul “Abang Tukang Bakso”. Ia muncul pada dekade 1990-an. Liriknya pendek. Pilihan lemanya sederhana. Tapi lagu ini sangat populer dan punya pengaruh kuat pada perkembangan anak-anak. Raisye Soleh Haghia (34), pengajar Program Studi Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia, mengaku sering mendengar ibunya menyanyikan lagu itu ketika dia kecil. “Sekarang saya suka banget sama bakso,” kata Raisye. Raisye juga mencontohkan adanya ikatan kuat pada lagu anak-anak berjudul “Bangun Tidur” ciptaan Pak Kasur pada 1950-an. “Kalau kita telaah liriknya, lagu itu mengajarkan kebiasaan baik untuk anak-anak,” kata Raisye. Dia biasa menyanyikan lagu itu kepada anak-anaknya. Dan itu membantu menyampaikan apa yang dia inginkan dari anak-anaknya. Dua lagu anak tadi muncul pada rentang berbeda. Masing-masing punya latar belakang penciptaan berlainan. Kekuatan, tema, dan liriknya bertaut erat dengan kemampuan pencipta lagu, kondisi sosial, perkembangan teknologi, dan semangat zamannya. Perubahan kekuatan, lirik, dan tema pada lagu anak cenderung mengikuti pergeseran tonggak-tonggak zaman. Baca juga: Balonku dan Rahasia Penciptaan Lagu Anak-anak Pencipta lagu anak-anak dekade 1950-an berasal dari kalangan pendidik taman kanak-kanak. Mereka punya bekal pendidikan bagus dari masa kolonial. Pencipta lagu masa ini antara lain Pak Kasur (Soerjono), Ibu Sud (Saridjah Niung), dan Pak Dal (Daldjono Hadisudibyo). Lagu-lagu ciptaan mereka terdengar dan populer melalui siaran Radio Republik Indonesia dan majalah anak-anak. Masa ini anak-anak mengakrabi tema transportasi, cinta tanah air, dan penghargaan pada lingkungan (hewan dan alam). Pak Kasur menciptakan “Naik Delman”, “Tetap Merdeka”, dan “Kucingku”; Ibu Sud membuat “Naik Kereta Api”, “Berkibarlah Benderaku”, dan “Burung Ketilang”; sedangkan Pak Dal menyusun “Berlabuh” dan “Bintang Kecil”. Pengutamaan Kualitas Anak-anak mempelajari nada dan irama lagu-lagu itu dari RRI . Sedangkan untuk menghafalnya, mereka membaca liriknya secara berulang di majalah khusus anak-anak, seperti Si Kuntjung dan Kunang-Kunang . Si Kuntjung dan Kunang-Kunang punya rubrik khusus untuk nyanyian anak-anak. Tujuannya mengundang para pencipta lagu anak mengirim lagu ciptaannya agar bisa dinikmati secara luas. Undangan itu bersifat umum. Setiap orang boleh mengirim ciptaannya. J.A. Dungga dan L. Manik, penulis musik dan komponis andal, menyebut para pencipta lagu anak masa 1950-an memahami dasar cipta-mencipta yang baik. Sehingga mereka mampu “Membuat lagu-lagu yang berguna untuk anak-anak dan sekolah-sekolah umumnya,” catat Dungga dan Manik dalam “Lagu Anak-Anak” termuat di Musik Indonesia dan Beberapa Persoalannja . Dungga dan Manik juga mengajukan pentingnya lagu anak-anak gubahan baru. Artinya lagu itu harus sesuai dengan alam dan perasaan kemerdekaan. Bukan lagi alam dan perasaan warisan kolonial dan pendudukan Jepang. Dengan prinsip ini pulalah para pencipta lagu anak-anak mengalasi proses kreatifnya sehingga tema dan lirik lagu mereka pun tumbuh dengan tujuan kemerdekaan jiwa. Baca juga: Ibu Sud Bahagiakan Anak Indonesia Memasuki dekade 1960-an, api revolusi 1945 menyala kuat. Presiden Sukarno membawanya kemana-mana lewat pidatonya. Dia lalu berbicara tentang pembentukan karakter dan kepribadian bangsa melalui kesenian. Termasuk pula seni musik dan suara. Para pencipta lagu anak masa ini ikut nyala api itu bersama Sukarno. Kebanyakan pencipta lagu anak adalah juga penulis atau pengasuh rubrik anak di media massa. Pak Kasur, misalnya, tampil di rubrik “Taman Ria” dalam Mingguan Djaja pada 1964. Dia sering berpesan kepada anak-anak untuk menyayangi, mendoakan, dan mendukung Sukarno. “Anak-anakku, percayalah di bawah pimpinan Bapak Presiden, diiringi dengan paham dan yakin akan Pancasila, kerja giat rajin bekerja, anak-anakku akan menjadi Putera Negara yang maju dan karenanya menjadi pembantu Bapak Presiden yang paling dekat,” pesan Pak Kasur dalam Djaja , 6 Juni 1964. Meski hiruk-pikuk pembangunan karakter dan kepribadian bangsa memenuhi hari-hari awal 1960-an, lagu anak-anak relatif bersih dari jargon politik. Para pencipta lagu anak juga masih mengandalkan lagu-lagu ciptaan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari anak-anak. Secara umum, tak banyak perubahan tema dan lirik lagu. Tapi dari sisi aransemen musik, perubahannya cukup terasa. Band-band bocah dan remaja bermunculan pada dekade 1960-an. “Lebih-lebih daripada waktu yang sudah-sudah, dewasa ini –harus diakui–sementara anak-anak kita, terutama para remaja yang tengah menginjak masa akil-balig, telah keranjingan band,” ungkap Djaja , 16 Mei 1964. Baca juga: Liku-Liku Hidup Ibu Sud Band-band bocah dan remaja awalnya membawakan lagu-lagu orang-orang dewasa. Seiring pidato Sukarno tentang karakter dan kepribadian bangsa, mereka ditantang mengaransemen musik untuk lagu-lagu anak ciptaan Ibu Sud, Pak Kasur, dan Pak Dal. Sebagian mereka sedikit ragu melakukannya. “Susah,” kata seorang pemimpin band bocah dan remaja. Tapi anggota band bocah dan remaja lainnya yakin mereka mampu mengaransemen lagu anak-anak ciptaan Ibu Sud, Pak Kasur, dan Pak Dal. Menurut mereka, lagu-lagu anak mempunyai nilai musikal tersendiri dan akan sedap didengar bukan saja oleh anak-anak, melainkan juga orang dewasa. Komersialisasi Lagu Anak Kekuatan, tema, dan lirik lagu-lagu anak belum banyak berubah pada dekade 1970-an. Sebagian besar masih berciri serupa dekade sebelumnya. “Masih bersifat sederhana, dalam arti bahwa yang dijadikan tema lagu anak-anak adalah sesuatu yang dekat dengan diri anak,” catat Djoko Marihandono dalam “Perkembangan Tematis Syair Lagu Anak-Anak”, Laporan Penelitian pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tapi dekade ini menandai perubahan besar dalam teknologi dan motivasi penyebaran lagu anak-anak. Kaset dan pemutarnya membuat lagu anak-anak dapat dinikmati kapan saja. Anak-anak tak harus menunggu lagu diputar dalam siaran di RRI . Tercatat pula benih-benih komersialisasi lagu anak mulai tumbuh mengingat pasar kaset lagu anak-anak cukup besar. Penyanyi anak-anak juga perlahan bermunculan. Baca juga: Cerita dari Gulungan Pita Dalam dekade 1980-an, lagu anak-anak Indonesia memperoleh pengaruh dari pertautan kebudayaan lokal dan luar. Peningkatan pendapatan ekonomi sekelompok masyarakat menciptakan kebutuhan akan informasi yang lebih besar. Dari sini dongeng, legenda, dan cerita negeri Barat merasuk dalam lagu-lagu anak. “Beberapa tema cerita dari Barat karya penulis cerita anak Grimm, yang terkenal dengan cerita Cinderella , tampil dalam syair lagu anak-anak tahun 80-an,” tulis Djoko. Tema baru lagu anak-anak pada dekade 80-an juga meliputi mainan dan tempat wisata. Boom-boom Car, permainan tabrak-menabrak mobil,muncul pada awal 1980-an seiring pembukaan tempat wisata modern baru di kota-kota besar. Ini terekam dalam lagu “Boom-Boom Car” yang dinyanyikan Joan Tanamal. Bersama-sama gembira ke taman ria Naik boom-boom car Penurunan Kualitas Dekade 1990-an menjadi periode paling subur kelahiran lagu anak-anak. Temanya makin beragam dan pendengarnya terus meluas. Inilah masa puncak komersialisasi lagu anak-anak. Televisi swasta berlomba-lomba menayangkan acara lagu anak-anak. Kaset lagu anak-anak laku keras. Kuantitas lagu anak sangat tinggi, tapi kualitasnya justru memendek. Djoko menyebut sejumlah kelemahan mendasar lagu-lagu anak dekade 90-an. “Ketidakselarasan nada suara penyanyi dan instrumen, syair yang terlampau panjang, tidak rasional, mengajarkan percaya kekuatan lain di luar kekuasaan Tuhan, dan penonjolan anggota badan.” Untuk kelemahan terakhir, maksudnya ialah eksploitasi terhadap bagian tubuh. Simaklah lirik lagu berjudul “Bodong” berikut: Idih udelnya kelihatan Pakai bajunya kesempitan Malu dong malu dong Malu kalau pusarnya bodong Setelah mengalami perjalanan hampir lima dekade, anak-anak mulai mengalami krisis lagu anak pada dekade 2000-an. Masa ini kebanyakan anak-anak mulai fasih merapal lagu-lagu orang dewasa. Kalaupun ada lagu-lagu anak yang berkualitas baik, biasanya dipinjam dari dekade-dekade sebelumnya.
- Sukarno dan Bantuan Beras Indonesia untuk India
SETIDAKNYA ada dua pencapaian pemerintah Republik Indonesia di level internasional yang patut diperhitungkan pada paruh pertama tahun 1946. Pertama, pengakuan secara de facto kemerdekaan Indonesia oleh Mesir pada 23 Maret 1946, yang disusul negara-negara Arab lainnya. Kedua, bantuan beras Indonesia untuk India, negeri tetangga yang berjarak ribuan kilometer tapi punya ikatan sejarah dan kultural yang dalam dengan Indonesia.
- Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman
HARI-hari kejayaan Reich Ketiga Nazi sudah berlalu. Tetapi gestur Hermann Goering (dalam bahasa Jerman ditulis Göring) menampakkan seolah tak terjadi satu hal apapun. Di hari yang cerah itu, 16 Mei 1945, di bawah pohon rindang Goering dengan seragam kebanggaannya duduk di hadapan sejumlah wartawan Inggris dan Amerika Serikat di Augsburg. Setelah menyerahkan diri ke pasukan Amerika Serikat di akhir Perang Dunia II, Goering masih membanggakan diri sebagai pemimpin Jerman yang sah pengganti Adolf Hitler. Dengan santai Goering melayani setiap pertanyaan yang terlontar di sesi konferensi pers, beberapa bulan sebelum ia diajukan ke Pengadilan Nürnberg, pengadilan penjahat perang yang digelar Sekutu, 20 November 1945-1 Oktober 1946. “Apakah Anda tahu bahwa Anda masuk dalam daftar penjahat perang?” tanya seorang wartawan, dikutip Ann dan John Tulsa dalam The Nuremberg Trial. “Tidak. Pertanyaan itu sangat mengejutkan saya karena saya tak bisa bayangkan alasan kenapa saya harus dimasukkan daftar itu,” jawab Goering. Mulanya Goering mengira Sekutu bakal bekerjasama dengannya untuk membangun kembali Jerman yang luluh-lantak akibat perang. Tapi dugaan Goering keliru. Berangsur-angsur ia ditransfer di kamp penahanan di Austria, kemudian Luksemburg, sebelum akhirnya dijebloskan ke penjara untuk disidangkan di Pengadilan Nürnberg. Hermann Goering di persidangan Pengadilan Nuremberg (kiri) sebelum akhirnya pilih bunuh diri (Foto: trumanlibrary.gov/US Army) Ada empat dakwaan terhadap Goering: penjarahan benda-benda seni dan properti, memulai agresi perang, kejahatan konspirasi, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Goering yang menganggap pengadilan itu sebagai dagelan lantas memanfaatkannya sebagai panggung membela diri. Goering bahkan berbalik melayangkan fakta bahwa setidaknya Amerika juga pernah melakoni hal-hal demikian saat menyingkirkan bangsa pribumi Indian. Toh, pada akhirnya Goering tetap divonis bersalah dan hakim Kolonel Sir Geoffrey Lawrence asal Inggris menjatuhkan vonis hukuman mati dengan tiang gantung. Meski Goering meminta dieksekusi dengan ditembak laiknya prajurit, hakim menolaknya. Goering akhirnya memilih jalannya sendiri untuk mati ketimbang mati digantung bak penjahat perang. Itulah bab terakhir kehidupan salah satu gembong terbesar di lingkaran pucuk kekuasaan Jerman-Nazi sejak Adolf Hitler berkuasa pada 1933. Keluarga Broken Home Hermann Wilhelm Goering, itulah nama lengkap yang diberikan kedua orangtuanya ketika ia dilahirkan dari rahim Franziska Tiefenbrunn pada 12 Januari 1893 di Rosenheim, Bavaria. Goering anak keempat dari lima bersaudara. Tiga saudaranya: Karl-Ernst, Olga, dan Paula, berbeda ibu tapi tetap satu bapak, Heirinch Ernst Göring. Diungkapkan Roger Manvell dan Heinrich Fraenkel dalam Goering: The Rise and Fall of the Notorious Nazi Leader , ayahnya eks perwira kavaleri Kerajaan Bavaria yang sempat jadi gubernur jenderal di koloni Jerman di Afrika Barat Daya (kini Namibia). Kala Goering lahir, ayahnya sudah dimutasi jadi konsul jenderal di Haiti. “Hanya dalam waktu lima tahun (1885-1980) dia (Heirinch Göring) berhasil membuat aman daerah koloninya untuk jalur perdagangan. Dia memperlakukan kepala-kepala suku di Afrika dengan bijak dalam diplomasinya. Di Afrika juga dia berteman baik dengan Dr. Hermann Epenstein, pebisnis yahudi yang kemudian jadi ayah baptis Hermann (Goering), sebelum pindah jabatan ke Haiti,” tulis Manvell dan Fraenkel. Heirinch Ernst Göring (kiri) & Hermann Goering saat berusia 14 tahun (Foto: Bundesarchiv) Goering kecil sosok periang yang senang main perang-perangan mengenakan seragam militer Boer pemberian ayahnya. Ia juga sosok penyayang, terutama pada adik bungsunya, Albert Goering. Ironisnya, Albert kemudian jadi aktivis anti-Nazi yang acap membantu orang-orang Yahudi melarikan diri. Sempat empat kali ditangkap, tetapi Albert selalu bebas berkat pengaruh sang kakak. “Paman Albert selalu berusaha sebisa mungkin membantu orang Yahudi yang butuh pertolongan, termasuk secara finansial dengan pengaruh pribadinya. Tetapi ketika ia juga membutuhkan keterlibatan otoritas pejabat tinggi, dia pasti datang minta bantuan ayah saya yang selalu ia dapatkan,” tutur Edda, putri tunggal Goering, kepada The Guardian , 20 Februari 2010. Masih menjadi misteri mengapa hal itu tak jadi perhatian khusus bagi Hitler, mengingat Goering merupakan kolega terdekatnya selain Heinrich Himmler, dan Joseph Goebbels. Albert juga sempat diajukan ke Pengadilan Nurnberg sebagaimana kakaknya. Tapi atas beberapa kesaksian soal aktivitas anti-Nazi di masa perang, Albert dibebaskan. Beda nasib yang dialami Goering bersaudara itu jelas berbeda dari pengalaman keduanya di masa kecil dalam keluarga. Keduanya sama-sama merasakan hidup pas-pasan setelah ayahnya pensiun karena hanya mengandalkan uang pensiunan. Keluarga mereka sampai harus dibantu Dr. Epenstein. Keluarga mereka diberikan mansion di Veldenstein. Namun, sang ibu, Franziska, justru berselingkuh dengan Epenstein. Franziska bahkan bercerai dan memilih dinikahi Epenstein ketika Goering baru setahun masuk ketentaraan di Infantri ke-112, Resimen Pangeran Wilhelm pada 1913. Meski langkah Goering tak mudah, dia serius dalam profesinya. Sahabatnya, Bruno Loerzer, kemudian membujuknya untuk meninggalkan infantri dan bergabung ke Luftstreitkräfte (Unit Tempur Udara) pada 1916. Goering menurutinya. Hermann Goering menjadi komandan Jagdgeschwader I di Perang Dunia I (Foto: Library of Congress) Goering tak salah jalan. Setelah menyelesaikan ujian terbang, ia terjun ke medan perang dengan pesawat Fokker D-VII. Kejayaannya sebagai jago tempur membawanya memimpin Jagdstaffel (Skadron Tempur) 27 berpangkat letnan. Seragamnya pun dipenuhi medali dan yang paling dibanggakannya adalah Pour le Mérite yang diperolehnya pada Mei 1918 dengan catatan 22 kemenangan duel udara. Kiprah Goering kian melesat. Pada Juli 1918, dia dipercaya mengomandani Jagdgeschwader I (Wing Tempur I). Unit itu kondang lantaran sebelumnya pernah dipimpin Kapten Manfred von Richthofen, pilot tempur legendaris berjuluk “Si Baron Merah”. Di Bawah Panji Nazi Seraya jadi pilot pesawat sipil carteran yang bolak-balik Jerman-Skandinavia, Goering tinggal di Munich pasca-Perang Dunia I. Pada 1922, nama Hitler begitu familiar bagi warga di Munich mengingat di sanalah Hitler membangun Partai Nazi dengan sayap militernya, Sturmabteilung (SA), yang acap bentrok dengan para simpatisan komunis. Dalam pengakuannya di salah satu persidangan di Pengadilan Nürnberg, Goering mengingat kembali bagaimana ia pertamakali kenal Hitler. Di musim gugur 1922, ia mulai sering mendengar pidato Hitler tentang kekalahan Jerman di Perang Dunia I. Kekalahan itu menurut Hitler bukan karena kalah strategi dari Sekutu, melainkan karena digembosi para politikus kiri, kaum republikan, dan orang-orang Yahudi dari dalam. “Suatu hari saya memberanikan diri datang ke kantor NSDAP (Partai Nazi, red. ). Awalnya saya hanya ingin bicara dan mungkin saya bisa menawarkan bantuan padanya. Dia langsung melayani permintaan saya dan ketika saling memperkenalkan diri, kami banyak mengobrol tentang kekalahan tanah air kami, tentang Perjanjian Versailles dan sebagainya,” kata Goering, disitat Manvell dan Fraenkel. Seketika Goering masuk Partai Nazi dan berkat curriculum vitae -nya sebagai veteran jago udara, Hitler mempercayakan komando SA padanya dengan berpangkat Gruppenführer (setara letnan jenderal). Kepercayaan itu tak disia-siakan Goering yang segera merapikan organisasi SA. “Saya menyukainya. Saya menjadikannya kepala SA. Dia satu-satunya yang punya pemikiran untuk mengatur SA dengan benar. Awalnya organisasi SA sangat berantakan. Dalam waktu singkat, dia mampu mengorganisir satu divisi berisi 11 ribu anggota,” kata Hitler menyanjung Goering dalam salah satu memoarnya, Tischgespräche im Führerhauptquartier (terjemahan: Hitler’s Table Talk: 1941-1944 ). Saat masuk Partai Nazi pada 1922, Hermann Goering (tengah) langsung diangkat jadi Kepala Sturmabteilung oleh Hitler (Foto: Bibliothèque nationale de Franc) Sebagai kepala SA, Goering ambil bagian dalam kudeta terhadap pemerintahan oleh Partai Nazi (Beer Hall Putsch) pada 8-9 November 1923. Kudetanya gagal dan Goering tertembak selangkangannya. Ia lantas dirawat dan sejak saat itu ia sangat ketergantungan morfin sampai jadi pecandu. Ketika Hitler berkuasa pada Januari 1933, Goering diberi jabatan menteri dalam negeri, menteri zonder portfolio, serta Komisaris Negara bidang Penerbangan. Goering pula yang pada 30 November 1933 mendirikan Geheime Staatspolizei (Gestapo), polisi rahasia yang ditakuti, meski pada 20 April 1934 ia menyerahkan kepemimpinannya pada Himmler. Untuk percepatan pembangunan Jerman seperti yang diinginkan Hitler, Goering menggulirkan program ekonomi The Four Year Plan. Tujuannya untuk mendongkrak produksi industri Jerman yang melempem pasca-Perang Dunia I akibat klausul pembatasan dalam Perjanjian Versailles. Programnya termasuk mendorongunifikasi Austria karena Jerman butuh sumber-sumber bijih besi di negara serumpun itu, dan pengerahan para tahanan Yahudi dan untermeschen (ras-ras inferior) lain dari kamp-kamp konsentrasi untuk dijadikan pekerja paksa. “Saya tak menyangkal bahwa saya tahu tentang dua juta buruh yang dipekerjakan, tapi saya tak tahu bahwa semuanya berasal dari luar negeri yang dibawa ke Jerman. Tetapi saya menyangkal hal itu adalah perbudakan. Lebih kepada buruh paksa, tetapi bukan perbudakan,” ujar Goering membela diri di persidangan saat ditanya soal pekerja paksa dari kamp-kamp konsentrasi, dikutip Manvell dan Fraenkel lagi. Pada 1940, Goering dianugerahi pangkat khusus Reichsmarschall des Grossdeutschen Reichess. Pangkat itu membuatnya paling tinggi di antara semua pimpinan empat matra militer Jerman. Namun tetap saja Goering hanya mau memakai seragam parlente Luftwaffe, matra yang paling dibanggakannya. “Tidak satupun pesawat pembom mampu mencapai (distrik industri) Ruhr. Jika ada satu saja yang mencapai Ruhr, maka nama saya bukan Goering. Panggil saja saya Meyer!” kata Goering sesumbar; Meyer, kadang dieja Maier atau Mayer, merupakan nama “pasaran” orang Jerman dari kelas jelata. Selain jadi pecandu morfin, Goering (kedua dari kanan) hobi mengoleksi barang seni jarahan (Foto: ushmm.org ) Arogansi Goering ditujukannya pula saat dia meyakinkan Hitler bahwa Luftwaffe bukan tandingan RAF (Royal Air Force/AU Inggris) di awal Pertempuran Udara Britania (10 Juli-31 Oktober 1940). Arogansi itu harus dibayar mahal lantaran akhirnya Luftwaffe keok dari RAF meski pesawatnya dua kali lebih banyak dari RAF. Imbas dari kekalahan itu, Operasi Singa Laut untuk menginvasi Inggris batal digulirkan. Sejak kekalahan itu pula Luftwaffe tak mampu lagi melindungi kedaulatan udara Jerman. Sejak itulah Hitler menilai Goering tak becus dan Goering nyaris tak pernah ambil bagian dalam operasi-operasi militer lagi. Meski jabatan-jabatannya tak dicopot, Hitler tak pernah lagi mengajak Goering dalam rapat-rapat militer. Non-job membuat Goering lebih sering aktif mengambil jatah 50 persen dari semua barang seni jarahan dari negara-negara yang dikuasai Jerman. Goering mempercayakan bandar barang seni Bruno Lohse untuk mengumpulkan koleksinya, termasuk 300 lukisan bernilai tinggi di antara dua ribu barang seni lain. Ketika para petinggi Jerman, termasuk Hitler, sudah merasa Jerman bakal kalah, Goering berinisiatif mengirim telegram untuk Hitler pada 23 April 1945 dini hari dari Obersalzberg. Intinya telegramnya berbunyi, jika Hitler dalam posisi tak bisa memimpin, Goering sebagai wakil pertama di pemerintahan meminta izin untuk menggantikan Hitler. Jika telegram itu tak dijawab sampai pukul 10 malam di hari yang sama, Goering berhak mengasumsikan diri sebagai pengganti sah Hitler. “Jelas Hitler murka. Hitler baru membalas telegram pada 25 April yang berisi bahwa Goering telah melakukan pengkhianatan. Hitler memerintahkan Reichsleiter atau Ketua Partai Nazi Pusat Martin Bormann untuk menghubungi Pasukan SS di Obersalzberg guna menangkap Goering,” tulis Richard J. Evans dalam The Third Reich at War. Goering (tengah) saat menyerahkan diri ke pasukan Amerika (Foto: ushmm.org ) Tetapi saat itu Goering sudah memindahkan markasnya ke Mauterndorf lantaran Obersalzberg jadi sasaran serangan Sekutu. Setelah mendengar Hitler dan Eva Braun bunuh diri pada 30 April, Goering memilih menyerahkan diri ke pihak Sekutu. Pada 6 Mei, Goering resmi menyerahkan diri ke pasukan Divisi Infantri ke-36 Amerika di Radstadt, Austria. Sebelum diseret ke Pengadilan Nurnberg, Goering lebih dulu dikumpulkan sebagai tahanan bersama para gembong Nazi di Hotel Palace, Mondorf-les-Baines, Luksemburg. Bersama Goering, yang ditahan di “kamp” itu adalah Menteri Luar Negeri Joachim von Ribbentrop, Komandan Oberkommando der Wehrmacht (Komando Tertinggi Militer Jerman) Generalfeldmarschall Wilhelm Heitel, Kepala Staf OWK Generaloberst Alfred Jodl, Reichpräsident Großadmiral Karl Dönitz, Komandan Oberbefehlshaber West (Komando Barat) Generalfeldmarschall Gerd von Rundstedt, dan Albert Goering si adik sang Reichsmarschall. Tak terima permintaannya untuk dieksekusi dengan tembak mati, Goering lalu menyelundupkan kapsul sianida ke selnya. Kapsul itulah yang dia gunakan untuk bunuh diri pada 15 Oktober 1945 atau sehari sebelum hari-H eksekusi.
- Berbagai Ekspresi Bung Karno Dalam Fotografi
Sosok Sukarno tak pernah habis dibahas. Perjuangan, pemikiran, dan warisannya sudah sering dibahas. Tapi ada yang sering luput dari pembahasan : sosoknya dalam foto. Banyak foto Sukarno yang menunjukkan mimik dan gestur menawan. Beberapa diantaranya sangat ikonik dalam dunia fotografi. Foto Sukarno saat mengecap pendidikan sekolah. ( Foto : Wikimedia Commons ) Bung Karno tampak dengan ekspresi serius ditengah pemuda Indonesia. ( Foto : geheugen.delpher.nl ) Salah satu potret Bung Karno dengan ekspresi khasnya. ( Foto : Wikimedia Commons ) Foto Bung Karno paling ikonik terlihat ketika dia berpidato di depan ribuan massa. Gestur tangan bertenaga, pakaian penuh wibawa, dan wajah serius menambah kekuatan kata-katanya. Semangat juang rakyat pun jadi terbakar. Di foto lain, suasana justru berkebalikan. Tenang, damai, dan hening. Seperti foto saat dia membacakan teks Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, 56. Wajahnya tampak tegang seperti menyimpan banyak perasaan. Ekspresi ikonik Bung Karno ketika membacakan teks kemerdekaan di Jakarta. ( Foto : Wikimedia Commons ) Salah satu ekspresi Bung Karno saat berorasi di tengah bangsa Indonesia. ( Foto : Wikimedia Commons ) Bung Karno saat bertemu dengan para pemuda bangsa Indonesia ( Foto : Wikimedia Commons ) Bung Karno dengan ekspersi khasnya yang berhasil terekam oleh kamera. ( Foto : Wikimedia Commons ) Tak semua foto Sukarno memperlihatkan keseriusan atau ketegangan. Foto lain menangkap mimik dan ekspresinya yang segar dan ceria. Ini biasanya tampak dalam foto yang memuat dia beserta sahabatnya, dari dalam dan luar negeri. Atau ketika dia rehat di sesela menunaikan ibadah haji. Bung Karno tampak tersenyum santai saat menunaikan ibadah Haji. ( Foto : Wikimedia Commons ) Sukarno tampak tersenyum saat memberikan pidato kenegaraan. ( Foto : https://geheugen.delpher.nl/ ) Di berbagai pameran fotografi, foto-foto Sukarno beberapa kali pernah dibahas. Tapi belum banyak yang serius mengungkap cerita apa yang ada di balik atau di sekeliling foto-foto itu. Foto Sukarno juga bagian dari sejarah. Masih banyak cerita yang tersimpan di dalamnya yang menjadi kenangan berharga akan semangat dan perjuangannya semasa hidup. Bung Karno tersenyum dan melambaikan tangan saat parade di Amerika Serikat. ( Foto : Wikimedia Commons )
- Pengaruh Kebudayaan India di Pantura
Nur Rohmat, ketua pengurus pembangunan musala, membidik lokasi di tengah lahan persawahan Desa Tohyaning. Di situlah musala akan didirikan bagi para peziarah makam Ki Gede Miyono, tokoh cikal bakal masyarakat Desa Kayen, Kabupaten Pati. Ketika pembangunan musala dimulai, Nur Rohmat dan kawan-kawan menemukan struktur bangunan dan re runtuhan bata berukuran besar. Mereka kumpulkan bata yang masih untuh untuk merenovasi makam Ki Gede Miyono. Meski pondasinya telah rampung, pembangunan musala dihentikan. Lokasinyadigeser 5 meter dari penemuan bata kuno. Penemuan bata kuno itu dilaporkan kepada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. Setelah ditinjau oleh BP3, diketahui bahwa di Desa Kayen terdapat struktur bata kuno yang terpendam dalam tanahhampir seluas kolam renang standar Olimpiade. Temuan lain berupa arca Siwa Mahakala, keramik, dan artefak perunggu. Temuan itu menarik karena berada di kawasan pantai utara Jawa Tengah. Ditambah lagi, menurut Hery Priswanto, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta,ukuran bata kuno di Kayen mirip dengan bata kuno yang ditemukan pada candi-candi di sekitar Candi Borobudur. Artinya, mungkin candi di Kayen juga berasal dari masa yang sama, yakni abad ke-8 hingga ke-9. Keterangan Hery Priswanto itu terdapat dalam "Situs Candi Kayen: Data Baru Candi Berbahan Bata di Pantai Utara Jawa", yang terbit di Prosiding the 4th International Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity, and Future. Baca juga: Raja-Raja di Singgasana Mataram Kuno Di kawasan itu juga pernah ditemuan peninggalan dari abad ke-6 dan ke-7. Candi bata di Kayen punmenambah bukti penting awal peradaban Hindu dan Buddha di pantai utara Jawa Tengah. Berdasarkan temuan itu, Sukawati Susetyo, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menyebut bahwa awal perkembangan masyarakat Jawa Kuno berada di pantai utara sebelum berdiri kerajaan besar di pedalaman, yakni Mataram Kuno. "Sebagaimana di Bali dan Jawa Barat, awal kontak dengan budaya India juga terjadi di pantai utara sebagai pintu masuk menuju daerah pedalaman," tulis Sukawati dalam "Situs Kesuben: Suatu Bukti Peradaban Hindu-Buddha di Pantai Utara Jawa Tengah", yang terbit di majalah arkeologi, Kalpataru , Vol. 24 No. 2, November 2015. Bukti-bukti dari Pantura Sugeng Riyanto, kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam "Dinamika Kebudayaan dan Perdaban Batang Kuna" terbit di Berkala Arkeologi, Vol.34 Edisi No.2, November 2014,menyebut kawasan pantai utara Jawa Tengah secara hipotetis adalah kawasan yang paling dulu mendapat pengaruh budaya dari India. Berbagai temuan arkeologis yang terdata di sepanjang kawasan itu berasal dari periode awal masuknya Hindu dan Buddha. Misalnya, di Situs Kesuben, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal , ditemukan struktur bangunan candi dan berbagai artefak termasuk arca batu. Sekitar 5 km dari Situs Kesuben terdapat Candi Bulus di Kecamatan Dukuhwaru. Candinya terbuat dari bata dan bersifat Siwaistik karena memiliki lingga, yoni, dan fragmen arca tokoh Agastya. Di Kecamatan Talun,Kabupaten Pekalongan, ditemukan jejak peradaban Siwaistik berupa fragmen arca Ganesa, Siwa, Wisnu, dan Brahma. Baca juga: Ekspedisi Mataram Kuno ke Luar Jawa Tak jauh dari sana, di Kabupaten Batang lebih banyak lagi bukti arkeologis yang ditemukan. Di antaranya reruntuhan candi, petirtaan, lingga, yoni, dan berbagai arca dari beragam tokoh dewa. Prasasti yang ditemukan antara lain Prasasti Balekambang, Prasasti Sojomerto, Prasasti Banjaran, Prasasti Blado, dan Prasasti Indrakila. Prasasti Sojomerto dari abad ke-7 merupakan bukti penting karena menyebut Dapunta Sailendra, pendiri wangsa Sailendra yang berkuasa di Jawa dan Sumatra.Di Kecamatan Bawang terdapat Arca Selaraja yang diduga perwujudan Dapunta Salendra. Menurut Sofwan Noerwidi,nama Selaraja bisa disamakan dengan Salendra atau Sailendra. Kata Sela berasal dari kata Saila yang berarti gunung. Sedangkan kata Raja sama artinya dengan Indra atau pemimpin para dewa. "Arca itu dapat diperkirakan arca perwujudan dari tokoh Dapunta Salendra yang setelah wafat diperdewakan oleh rakyatnya," tulis Sofwan dalam "Melacak Jejak Indianisasi di Pantai Utara Jawa Tengah" dalam Berkala ArkeologiXXVII , Edisi No.2, November 2007. Baca juga: Perempuan Penguasa Masa Mataram Kuno Sementara itu, Prasasti Balekambang mungkin dari periode yang sama sekira tahun 600-an M, terlihat dari bagaimana prasasti itu memakai aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Menurut Sofwan, Prasasti Blado dari sekira tahun 700 M berisi pemberian sedekah dari raja dengan menetapkan daerah bebas pajak untuk membiayai sebuah bangunan suci. Dengan adanya sima berarti telah ada institusi politik di kawasan Batang kuno. Institusi ini berupa perangkat pemerintah yang melakukan pengelolaan hasil bumi, pajak, dan pemeliharaan bangunan suci. "Makin kuat dugaan kalau daerah pantai utara Jawa Tengah merupakan awal daerah perkembangan institusi politik yang mendapat pengaruh India," tulis Sofwan. Dibandingkan kawasan Jawa Tengah bagian selatan, data institusi politik baru muncul paling awal pada 732 M dalam Prasasti Canggal dari Gunung Wukir, Kabupaten Magelang. Lebih jauh lagi, Sugeng Riyanto berhipotesis ada pergeseran pusat peradaban dari Batang menuju kawasan Kedu-Prambanan, di selatan Jawa bagian tengah. Itu karena beberapa temuan di Batang kemungkinan besar berkaitan dengan tokoh Sailendra dan wangsanya, seperti Prasasti Blado, Sojomerto, dan arca Selaraja. "Jelas sekali membawa ke pemikiran adanya benang merah yang lebih banyak tentang keberadaan Sailendra di Kabupaten Batang dari data hasil eksplorasi," tulis Sugeng. Batang sebagai Pintu Masuk Menurut Sofwan, masih menjadi misteri di mana letak "pintu" masuk dan jalur Indianisasi hingga akhirnya berkembang, mengkristal, dan mencapai puncaknya di poros Kedu-Prambanan pada masa Mataram Kuno, abad ke-8 hingga ke-10. Namun, pantai utara Jawa Tengah punya peran strategis bagi awal pendaratan kebudayaan India di Jawa. "Pantai utara Jawa Tengah dan perubahan angin musim yang dimanfaatkan para pelaut-pedagang untuk berlayar di Kepulauan Nusantara," tulis Sofwan. Khususnya Kabupaten Batang dengan banyaknya temuan didukung letak geografisnya. Wilayah pantai utara Kabupaten Batang merupakan teluk besar yang landai. Ia dialiri oleh tiga sungai besar yang bermuara di Laut Jawa, yaitu Sungai Kuto di timur, Sungai Sambong di barat, dan Sungai Gede di tengah. Ketiganya berhulu tepat di Gunung Prau di sebelah utara bagian dari dataran tinggi Dieng. Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno Dataran tinggi Dieng di Wonosobo dipercaya sebagai awal kemunculan monumen kebudayaan Hindu tertua di Jawa Tengah. Di sana terdapat candi tertua di Jawa Tengah, yaitu Candi Arjuna dan Candi Semar yang dibangun sekira tahun 750 M. "Paling awal (bukti arkeologis, red. )di Kabupaten Batang berasal dari abad ke-5 sampai abad ke-8," tulis Sofwan. Karenanya, Kabupaten Batang yang memiliki kombinasi daerah pantai, dataran rendah, dan pegunungan memiliki potensi strategis untuk menguak jejak awal proses Indianisasi di pantai utara Jawa Tengah. "Masih perlu dilakukan banyak pengembangan penelitian mengenai proses awal masuknya pengaruh Hindu dan Buddha di Jawa Tengah hingga mengkristal di kawasan poros Kedu-Parambanan," tulis Sofwan.
- Kontestasi Narasi Historis di Balik Patung Edward Colston
SEMENJAK patung Edward Colston di Bristol, Inggris digulingkan oleh massa Black Lives Matter pada 7 Juni 2020, perdebatan tentang patut-tidaknya seorang pedagang budak diabadikan dalam monumen kota kembali mengemuka. Kesangsian akan kedermawanan Colston di Bristol sudah muncul sejak 1920-an, namun terus diabaikan. Baru pada 1990-an ketika sejarawan University of West England Profesor Madge Dresser berbicara tentang sosok Colston dan keterlibatannya dalam perdagangan budak, perdebatan kembali memanas. “Kalau orang kulit putih melihat patung Edward Colston dengan rasa hormat, orang-orang kulit hitam di Inggris, saya menduga melihatnya sebagai masa lalu yang menyakitkan,” kata sejarawan UGM Budiawan pada Historia. Budiawan menambahkan, dalam narasi sejarah resmi yang dominan di Inggris, Edward Colston digambarkan sebagai pebisnis galangan kapal yang menyumbangkan kekayaannya untuk yayasan filantropi. Dari sudut pandang orang kulit putih Inggris, namanya dikenang sebagai sosok dermawan. Namun ada sisi lain yang dilupakan orang kulit putih Inggris, bahwa Colston bukan hanya menjalankan bisnis galangan kapal tapi juga jual-beli budak. Dialah yang mengirimkan orang-orang Afrika ke Amerika sebagai budak. Baca juga: Robohnya Patung Edward Colston Si Tokoh Perbudakan dan Rasisme Keterlibatan Colston dalam perdagangan budak dimulai sejak dia bergabung dengan Royal African Company (RAC) pada 26 Maret 1680. Kariernya terus meningkat hingga menjadi wakil gubernur RAC pada 1689-90. Pertemuan-pertemuan perusahaan yang membahas barang yang diperlukan untuk membeli budak di Afrika, upah untuk kapten kapal, pengiriman kapal-kapal perusahaan, kualitas gula yang dikirim ke London dari India Barat, serta kondisi Afrika Barat dan Karibia terus dihadirinya. Jabatan penting di RAC itu melibatkan Colston secara langsung dalam pengiriman 19.000 hingga 84.000 orang Afrika yang terdiri atas anak-anak, perempuan, dan pria ke Amerika. Budak yang dibeli di Afrika Barat itu kemudian dicap dengan inisial perusahaan RAC sebelum dikirim. Mereka kemudian digiring ke kapal, berangkat menghadapi mimpi buruknya. Selain diikat ramai-ramai, para budak di kapal juga tidak diberi akses untuk menggunakan kakus sehingga ratusan budak terpaksa berbaring di atas kotoran mereka sendiri. Kondisi tak manusiawi itu menimbulkan keputusasaan dan penyakit. Diperkirakan ada 10 hingga 20 persen budak mati dalam perjalanan selama enam hingga delapan minggu ke Amerika entah karena penyakit, bunuh diri, atau bahkan dibunuh. Dari penderitaan yang menyakitkan itulah Colston memperoleh kekayaannya. Tetapi elit Victoria mengabaikan ini. Bagi mereka, Colston hanyalah seorang dermawan dan tokoh terhormat. Baca juga: Memaknai Perobohan Patung Sebagian dari kekayaan Colston yang diperoleh dari perdagangan budak ia sumbangkan untuk pembangunan kota Bristol, khususnya dalam bidang pendidikan. Namun, hubungan Colston dengan perdagangan budak membuat citranya sebagai dermawan menjadi kontroversial. Terlebih, kedermawanan Colston tidak menyasar orang-orang kulit hitam, yang makin mengukuhkan dugaan rasisme dan penindasan. Fakta historis itulah yang mendorong orang kulit hitam Inggris mengkritik pemujaan pada sosok Colston. Bagi mereka sanjungan tanpa mengindahkan fakta keterlibatan Colston dalam perdagangan budak menunjukkan perayaan kewarganegaraan yang tidak kritis. Penghargaan pada tokoh yang memperbudak leluhur suatu kelompok tidak hanya menghina, tetapi juga meminggirkan mereka dari rasa memiliki kota. Mereka melihatnya sebagai wujud ketidakadilan historis. “Jelas itu satu sisi gelap dalam sejarah kemanusiaan. Kalau kita sudah menggunakan perspektif hak asasi manusia, bagaimanapun perbudakan itu adalah sisi gelap dalam sejarah,” kata Budiawan. Keberadaan patung sebagai pengingat jasa Colston kemudian mendapat kecaman. Madge Dresser dalam tulisannya “Obliteration, contextualisation or ‘guerrilla memorialisation’? Edward Colston’s statue reconsidered” yang dimuat dalam buku kumpulan tulisan Slavery: Memory and Afterlives, menyebut pada 1998 citra Colston sebagai dermawan dipertanyakan dalam pameran besar pertama tentang Bristol dan perbudakan. Keesokan harinya, patung Colston dipulas dengan cat merah bertuliskan “F—k off slave trader”. Baca juga: Coreng Moreng Anugerah Nasional Vandalisme itu menyulut kemarahan penduduk Kota Bristol. Penduduk pro-Colston berargumen bahwa jasa Colston dalam pendirian banyak sekolah dan gereja merupakan bagian dari identitas kota. Ada banyak pengingat tentang keberadaan putra daerah Bristol yang banyak berjasa pada kotanya itu. Selain patung, ada nama jalan, gedung konser, dan dua sekolah di Bristol. Namun, banyak juga kelompok yang mempertanyakan kepatutan patung Colston. Dengan kondisi Bristol yang jauh berbeda dari dua abad lalu, yakni semakin banyak pendatang berpendidikan, orang-orang berpikiran bebas, dan penduduk asal Karibia dan Afrika, ide untuk meniadakan patung Colston mengemuka. Ray Sefia, satu-satunya anggota berkulit hitam di Dewan Bristol, mengatakan bahwa memiliki monumen publik untuk menghormati Colston sebenarnya tidak pantas, ibarat memiliki patung Hitler. Menurut Madge Dresser, polemik yang makin memanas ini di satu sisi mencerminkan perpecahan bersejarah antara faksi pendukung perbudakan dan anti-perbudakan pada dua abad sebelumnya. Baca juga: Perdebatan di Kongres Perempuan Perdebatan tentang patung Colston terus berlanjut hingga awal abad ke-21. Para seniman turut andil dalam upaya memprotes keberadaan patung Colston. Pada peringatan dua abad penghapusan perdagangan budak di Inggris tahun 2007, ditemukan tetesan darah di alas patung Edward Colston. Sebagian orang meyakini bahwa tetesan darah itu merupakan ulah Banksy. Tahun berikutnya, seniman Graeme Evelyn Morton mengajukan izin untuk memasang instalasi seni berjudul "The Two Coins". Instalasi itu rencananya berupa: Patung Colston dimasukkan ke kotak dan kemudian kotak itu dijadikan layar untuk pemutaran film tentang perbudakan. Namun, pemerintah Kota Bristol tak memberi izin pementasan ini. Dalam debat tahunan yang diselenggarakan Bristol Institute for Research in the Humanities and Arts pada Mei 2016, kontroversi seputar patung Colston kembali ditinjau. BBCRadio Bristol juga memantik pembicaraan dengan para pendengarnya seputar layak-tidaknya keberadaan patung Colston dan bagaimana mereka memaknai warisannya. “Jawabannya menggambarkan bagaimana masalah sosial saat ini membentuk persepsi orang tentang masa lalu,” tulis Olivette Otele dalam “Slavery and visual memory: what Britain can learn from France”. Baca juga: Monumen yang Ternoda Olivette menambahkan, ada masalah rasial dalam masyarakat Bristol yang diekspresikan lewat istilah "kita" yang sering bertentangan dengan "mereka". Dalam hal ini, ada anggapan bahwa "warga" Bristol tidak termasuk keturunan orang-orang yang diperbudak. Perdebatan ini kembali mengemuka setelah patung Edward Colston diceburkan ke sungai pelabuhan, 7 Juni lalu. Para pendemo yang menentang rasialisme dengan merobohkan patung jelas mempunyai cara pandang berbeda dengan narasi sejarah dominan atas tokoh yang dipatungkan. “Jadi mereka melihat Edward Colston punya sisi gelap, sebagai pedagang budak, sebagai pelaku kekerasan, dan penyebab penderitaan pada orang kulit hitam,” kata Budiawan. Perobohan patung kemudian bisa dimaknai sebagai puncak pertentangan wacana yang sudah lama berlangsung. Publik pun Inggris kembali terbelah, antara yang pro-penggulingan patung dan yang menganggapnya sebagai aksi kriminal. Perdana Menteri Boris Johnson merupakan penentang perobohan patung, sementara Walikota Bristol Marvin Rees, seperti dikabarkan BBC , tidak merasa "kehilangan" setelah patung kontroversial itu dibuang ke sungai pelabuhan oleh para pengunjuk rasa. Baca juga: Jalan Panjang Mewujudkan Monumen Nasional Empat hari setelah diceburkan, patung tersebut diangkat dan dirawat tim konservasi Dewan Kota Bristol. Rencananya patung tersebut akan disimpan di museum kota dan grafiti yang disemprotkan pada patung akan tetap dilestarikan sebagai pengingat akan adanya protes tentang keberadaan patung tersebut di jantung Kota Bristol. “Perobohan patung Edward Colston bisa diartikan sebagai upaya pembentukan wacana tandingan akan tokoh yang dipatungkan. Bila dalam narasi sejarah resmi yang dominan Edward Colston dianggap sebagai pahlawan, bagi para pendemo Black Lives Matter, Edward Colston adalah pedagang budak yang mencederai kemanusiaan,” kata Budiawan.
- Bom Siliwangi di Bumi Pasundan
SUATU hari di bulan Mei 1948. Senja mulai memasuki Curug Sawer yang dingin. Suara air terjun bergemuruh memerangi sunyi di kawasan yang termasuk wilayah Cianjur Selatan itu. Diapit tebing tinggi dan jurang menganga, iring-iringan konvoi militer Belanda merayap di jalan sempit. Beberapa serdadu bule di dalamnya nampak tegang, sebagian di antara mereka menghisap rokok untuk mengusir rasa takut. Senjata-senjata mereka siap ditembakkan. Begitu jip pengawal iring-iringan lewat, rentetan tembakan berhamburan dari atas tebing-tebing tinggi. Granat-granat melayang dibarengi teriakan nyaring yang membuat suasana semakin mencekam. Di balik sebuah pohon besar, Kopral BM. Permana menembakan Stengun-nya. Begitu juga dengan pimpinan pasukan, Letnan Djadja Djamhari tak henti-henti menembakan pistol seraya memberi komando. Tak terasa setengah jam pun berlalu. “Mereka akhirnya lari dengan meninggalkan sebuah truk yang berisi sekitar 10 prajurit KL yang langsung kami hantam tanpa ada yang tersisa,” kenang lelaki kelahiran Kebumen, 94 tahun lalu itu. BM. Permana adalah seorang prajurit muda dari Kompi IV Batalyon 2 Brigade Infanteri 2 Soerjakantjana Divisi Siliwangi. Berbeda dengan sebagian besar kawan-kawannya yang dikirim untuk berhijrah ke Yogyakarta akibat pemberlakuan Perjanjian Renville saat itu, ia justru ditugaskan untuk tetap bertahan di wilayah Cianjur Selatan. “Tentu saja kami kami tidak menggunakan nama Siliwangi lagi, tapi sebagai Kesatuan Patriot Bangsa. Kalau Belanda sih menyebut kami sebagai “gerombolan liar,” kata BM. Permana. Letnan M. Adnan dari Brigade Infanteri 2 (Brigif 2) Soerjakantjana menguatkan pernyataan BM. Permana. Ia masih ingat, pada hari-hari menjelang hijrah, dirinya dipanggil oleh Letnan Kolonel A.E.Kawilarang (Komandan Brigif 2 Soerjakantjana) ke Sukabumi. “Saat bertemu Pak Kawilarang itulah, saya diperintahkan untuk tinggal di Jawa Barat untuk terus menghadapi tentara Belanda,” ujar M. Adnan seperti tertulis dalam dokumen Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Cianjur berjudul Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1942-1949. Namun ada dua syarat yang wajib ditaati oleh pasukan-pasukan Siliwangi yang diperintahkan bertahan itu. Pertama, jika tertangkap oleh militer Belanda jangan pernah mengaku sebagai bagian dari Divisi Siliwangi dan saat beraksi dilarang keras menggunakan nama kesatuan asli. Kedua, seluruh anggota Divisi Siliwangi yang ditanam di Jawa Barat dilarang keras masuk ke wilayah-wilayah Republik Indonesia versi Perjanjian Renville. Jika ternyata tetap ada yang melarikan diri ke wilayah-wilayah tersebut, maka mereka akan langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan. Soal “penanaman” pasukan itu juga tercatat dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi pada 1968), hasil kesepakatan Perjanjian Renville memang diterima dengan setengah hati oleh pihak tentara. Kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman telah menugaskan Letnan Kolonel Soetoko untuk tetap mengkoordinasikan perlawanan bersenjata di tanah Pasundan. “Mereka ibarat bom waktu yang sengaja ditinggal oleh Siliwangi di bumi Pasundan,”ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Letnan Kolonel Soetoko kemudian membentuk Brigade Tjitaroem, sebagai induk pasukan dari beberapa kesatuan tempur “bekas” Divisi Siliwangi. Soetoko sendiri akhirnya tertangkap Belanda pada Agustus 1948. Di bawah kendali Brigade Tjitaroem, ada beberapa batalyon yang tidak ikut hijrah ke Yogyakarta dan memang secara sengaja “ditanam” di daerah pendudukan. “Yang saya ingat di antaranya adalah pasukan Mayor Soegih Arto di Cililin, pasukan Letnan Effendi di Gentong-Tasikmalaya, pasukan Letnan Tjoetjoe di Gunung Cikuray-Galunggung, pasukan Letnan Zakaria di Bekasi, dan sebagian anggota Brigade Infanteri Soerjakantjana di Cianjur-Sukabumi,” kata Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, sesepuh Divisi Siliwangi. Aksi rahasia yang dilakukan oleh TNI itu bukannya tidak tercium oleh pihak militer Belanda. Guna mengantisipasi aksi-aksi yang dijalankan oleh “pasukan liar” tersebut, pihak militer Belanda memutuskan untuk menjalankan operasi-operasi pembersihan di daerah-daerah yang ditinggalkan oleh pasukan Siliwangi. Salah satu kawasan di Jawa Barat yang dinilai “corak republik”nya masih kental adalah Sukabumi. Di daerah itu, propaganda-propaganda pro-republik terus berlangsung. Bahkan, penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda juga sering terjadi, kadang-kadang secara sporadis. Kekacauan-kekacauan itu tentu saja menimbulkan kemarahan pihak militer Belanda. Menurut salah seorang saksi sejarah bernama Atjep Abidin (93), tidak jarang usai terjadi penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda, operasi pembersihan langsung dilakukan beberapa jam kemudian. “Rakyat sipil dikumpulkan. Setelah dintimidasi, beberapa kaum lelaki dari mereka diambil dan dimasukkan ke penjara militer Van Delden, yang terletak di Gunung Puyuh, Sukabumi” ujar anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Takokak ini. Menurut Atjep, operasi pembersihan yang paling sering dilakukan yaitu di kawasan Nyalindung dan Sagaranten. Kedua tempat tersebut memang dikenal sebagai basis fanatik kaum Republik. Selanjutnya dari Van Delden, secara berkala, orang-orang yang dinilai militer Belanda sebagai kaum Republik dibawa ke wilayah Takokak, nama suatu kawasan yang terletak kira-kira 25 km di utara Sukabumi. Sejak zaman Hindia Belanda, kawasan itu merupakan daerah perkebunan teh yang memiliki kontur pegunungan serta dipenuhi hutan dan jurang. Salah seorang mantan gerilyawan di Sukabumi, Yusuf Soepardi (95) mengakui bahwa saat itu nama Takokak sebagai tempat eksekusi mati kaum Republik, sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Sukabumi dan Cianjur. “Kalau ada orang Sukabumi atau Cianjur dibawa oleh tentara Belanda ke sana, ya jangan berharap ia bisa pulang lagi ke rumah…” ujar veteran yang di masa-masa tuanya pernah menjadi kuli panggul di Pasar Induk Cianjur tersebut. Sepeninggal Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, sesungguhnya tak ada perubahan situasi yang berarti di Jawa Barat. Pertempuran tetap berlangsung dan penyerangan pos-pos militer Belanda tetap terjadi. Itu dilakukan baik oleh pasukan Siliwangi yang sengaja ditinggalkan di Jawa Barat, maupun oleh pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang secara resmi menentang Perjanjian Renville. Kondisi tanpa stabilitas tersebut berlangsung hingga “para maung” Siliwangi pulang kembali ke Jawa Barat menyusul hancurnya kesepakatan Renville pada 19 Desember 1948. Rakyat Pasundan memang tak pernah ikhlas berada di bawah kungkungan Belanda.
- Cara Istana Menjamu Tamunya Kala Indonesia Masih “Balita”
Setelah hampir tanpa kegiatan resmi akibat pandemi COVIC-19, Istana Kepresidenan kembali “buka” pada 4 Juni 2020 dengan menerapkan new normal . Keputusan itu dikemukakan Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono. Menurutnya, sebagaimana diberitakan kompas . com , 4 Juni 2020, “Yang pertama adalah kita lihat arahan Bapak Presiden bahwa kita memang sudah mulai harus kegiatan sehari-hari dengan melakukan new normal .” Heru melanjutkan, sejumlah prosedur baru juga diterapkan di lingkungan seperti penyediaan sabun dan hand sanitizer di beberapa titik. New normal juga mengubah banyak kebiasaan yang sudah terjadi sebelumnya. “Adaptasi kebiasaan baru juga diterapkan dalam kegiatan-kegiatan presiden di Istana. Untuk acara pelantikan, misalnya, pejabat yang hadir dibatasi antara 5 hingga 7 orang,” sambungnya. Upaya tersebut merupakan langkah antisipatif pihak Istana dengan organisasi yang sudah mapan. Di masa Indonesia masih “balita”, kebijakan-kebijakan yang diambil Istana amat spontan karena memang belum ada institusi resmi yang menanganinya. Protokoler acara-acara kenegaraan pun setali tiga uang. “Tamu-tamu pemerintah ditempatkan di satu rumah dan tiga kali dalam sehari seorang pembantu istana mengisi mobil Cadillac presiden dengan makanan untuk tamu-tamu terhormat itu. Begini cara kami bekerja di hari-hari ini. Kami tidak mengetahui sama sekali tentang tata-cara penerimaan tamu,” kata Presiden Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Dalam serba ketidaktahuan dan keterbatasan itu, Sukarno banyak meminta tolong Husein Mutahar, komposer yang pernah ditugaskan Sukarno menyelamatkan Sang Saka Merah Putih. Sebagai bekas pelaut, Mutahar dianggap Sukarno lebih tahu soal urusan etiket resepsi resmi. Maka jadilah dia kepala rumah tangga Istana tak resmi. Berbekal pengetahuan seadanya, Mutahar mengomandani rumah tangga Istana yang dalam keadaan nol itu sebisanya. Perangkat makan, misalnya, baru diperoleh Istana setelah Mutahar meminjam barang pecah-belah plus sendok-garpu perak dari Toko Oen. Taplak meja juga diperoleh Istana setelah Mutahar berkeliling ke tetangga untuk meminjam taplak-taplak yang mereka punya. Pengaturan taplak pun dilakukan sekehendak Mutahar. Itu sempat mengundang pertanyaan dari Ibu Negara Fatmawati mengapa hanya taplak putih yang digunakan. “Putih itu suci. Ia melambangkan kemurnian. Kebersihan. Kekudusan. Lagi pula taplak meja putih itulah yang bisa banyak kita peroleh,” kata Mutahar menjawab pertanyaan Fatmawati, dikutip Cindy Adams. Apa yang dikatakan Mutahar bahwa putih melambangkan kemurnian itu pun benar-benar terjadi dalam tindakan. Ketika Jenderal Rumulo dari Filipina menjadi tamu negara, Istana hanya menyuguhkan air putih sebagai minuman sang tamu lantaran hanya itu yang dimiliki. Mutahar tak pernah malu dengan kondisi Istana presidennya dalam menjamu tamu-tamu negara. Akalnya tak pernah habis untuk menyiasati keterbatasan kemampuan maupun pengetahuan dalam menjamu tamu-tamu negara. “Panjang akal” itu pula yang dilakukan Mutahar ketika presiden menanyakannya bagaimana cara mengatur duduk ketika presiden menerima tamu. “Menjawablah ‘Pembesar Protokol dengan tenang, ‘Presiden duduk di kepala meja menghadap ke beranda. Di kepala meja di depannya, Ketua KNI. Pembesar tentara di sebelah kiri. Di sebelah kanan anggota Kabinet’,” kata Mutahar menjelaskan. Lalu ketika ditanya lebih lanjut di mana para tamu terhormat didudukkan, Mutahar menjawab, “di antara itu.” Meski terkesan “semau gue”, Mutahar tak mengecewakan Sukarno lantaran selalu punya akal untuk mendapat solusi soal perjamuan resmi. Ketika kehabisan akal, Mutahar pergi ke keraton untuk mencontoh tata-cara penerimaan tamu adat Jawa. Tata-cara keraton tentu tak mentah-mentah ditelan karena presiden dan pejabat tinggi lain selalu menentang sistem feodal. “Apa yang tidak bisa dicaplok sama sekali dari cara ini lalu diubah, ditambah, dikurangi dan diperbaharui sehingga ia cocok untuk Republik,” kata Sukarno. Kebijakan “semau gue” Mutahar pernah juga membuat presiden amat nurut seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Itu terjadi ketika acara jamuan makan terhadap korps diplomatik yang dihelat di ruang resepsi Istana. Sebelum acara, Mutahar mengatur presiden duduk membelakangi dinding sehingga bisa melihat Mutahar yang akan berdiri di sudut pintu pertama sebelah kanan. Di posisi yang hanya akan bisa dilihat oleh presiden itu Mutahar akan memberi aba-aba. “Supaya pesta ini berjalan lancar, saya telah mengatur caranya dengan baik. Kalau saya menggerakkan jari, itu berarti Bung berdiri. Kalau mengedipkan mata, Bung memperkenalkan tamu terhormat itu. saya menganggukkan kepala sebagai tanda dimulainya toast untuk keselamatan,” kata Mutahar mengarahkan presiden yang seratus persen menurutinya. Maka ketika resepsi dimulai, ia berjalan lancar. Presiden pun keasyikan berbincang dengan para tamunya sambil sebentar-sebentar menatap Mutahar yang stand-by di tempatnya. “Sepanjang malam berlangsungnya jamuan itu Mutahar memberikan tanda-tanda. Aku begitu asyik dengan pembicaraan politik, sehingga aku bahkan tidak menyadari bahwa aku secara membabi-buta mengikuti cara seorang ahli etiket yang tidak mempelajari huruf dari orang buta,” kata Sukarno. “Mutahar memutuskan secara serampangan menurut pikirannya sendiri. Ia merasa terhibur oleh karena betapapun juga ternyata tak seorang pun yang lebih mengetahui daripada dia sendiri."
- Manusia Pertama di Jawa Mungkin bukan dari Afrika
Penemuan fosil di Bumiayu dan Sangiran pada 2019 menggoyahkan teori manusia pertama di Jawa berasal dari Afrika. Di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta men emukan fosil tulang Homo erectus berusia 1,8 juta tahun. Di Sangiran, Kecamatan Sragen, Jawa Tengah, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menemukan fragmen tulang manusia berusia 1,7juta tahun. Padahal, teori Out of Africa menyebut Homo erectus pertama kali keluar dari Afrika pada 1,8juta tahun lalu. Harry Widianto, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta yang memimpin kedua penelitian itu, menjelaskan bahwa Homo erectus adalah spesies pertama manusia dari genus Homo yang mampu keluar dari benua Afrika. Populasi manusia ini bermigrasi ke iklim dingin (Eropa dan China), iklim sedang (Asia depan), dan tiba di Pulau Jawa yang beriklim panas pada 1,5juta tahun lalu. "Jangan dibayangkan ini berjalan selama 300ribu tahun. Tapi ini adalah migrasi populasi sehingga saling sambung menyambung sampai ke Pulau Jawa pada 1,5juta tahun lalu," kata Harry dalam diskusi daring via zoom yang diadakan Balai Arkeologi Yogyakarta, Rabu, 18 Juni 2020. Baca juga: Awal Kedatangan Manusia ke Nusantara Penelitian terdahulu menemukan fosil tertua di Jawa di Situs Sangiran. Usianya lebih muda 300ribu tahun dari penemuan terbaru di Bumiayu. "Kalau Erectus keluar dari Afrika 1,8juta tahun lalu sampai di Jawa 1,5juta tahun, okelah. Tapi ini sudah ada di Jawa, di Bumiayu 1,8juta tahun dan di Sangiran 1,7juta tahun," kata Harry. Menurut Harry tak mungkin Homo erectus di Jawa bermigrasi dari Afrika, sedangkan pada saat yang sama hadir di kedua tempat itu. "Ada jarak terbentang sangat jauh dan itu membutuhkan waktu sangat lama untuk bermigrasi (dari Afrika ke Jawa, red. )," kata Harry. "Jadi, apakah teori Out of Africa masih bisa dipertahankan?" Bukti Tertua di Jawa Bagian Barat Bumiayu termasuk wilayah di Jawa yang pertama kali terangkat. Pada 2,4juta tahun lalu, Pulau Jawa yang tampak hanya Jawa bagian barat. Sedangkan Jawa bagian tengah dan timur masih terendam di bawah permukaan laut. "Semakin ke timur semakin miring, pengangkatan Pulau Jawa tidak serentak tapi dimulai dari barat ke timur," kata Harry. Bumiayu yang telah terangkat sebagai daratan merupakan pantai timur Jawa Barat. Karenanya fauna di kawasan itu hingga sekarang yang paling tua. "Baru pada 1,65juta tahun lalu Pulau Jawa terangkat total," kata Harry. Baca juga: Bukti Terbaru Asal-Usul Manusia Modern Bagaimana manusia sampai ke Jawa sementara wilayahnya dikelilingi lautan? Rupanya mereka sampai ke Jawa dengan memanfaatkan jembatan darat yang tercipta selama zaman es. "Pada sekira 2 juta tahun terakhir terjadi beberapa kali zaman es. Paling tidak ada empat kali zaman es," kata Harry. Ketika zaman es terjadi permukaan laut turun rata-rata 100 meter. Sedangkan kedalaman laut di antara Jawa dan Kalimantan hanya 40meter dan di antara Sumatra dan Kalimantan hanya 60 meter. Begitupula di Laut China Selatan. Ketika laut turun sampai 100 meter, maka lautan dangkal itu menjadi sirna dan terbentuklah paparan sunda. "Ketika zaman es itulah terjadi migrasi, dari Afrika sampai ke Jawa cukup jalan kaki," kataHarry. Menurut teori Out of Africa kedatangan manusia ke Pulau Jawa melewati lembah antara Sumatra dan Kalimantan yang kini sudah tenggelam. Dari lembah itu kemudian masuk ke wilayah Sangiran di Jawa Tengah dan berikutnya ke arah timur. "Makanya mewarnai penemuan di Trinil, Perning, Kedungbrubus di Jawa Timur. Jadi usia di sana lebih muda daripada yang ditemukan di Sangiran," kata Harry. Baca juga: Tak Ada Ras, Semua Manusia dari Afrika Selama ini diketahui manusia tertua ada di Sangiran dari 1,5juta tahun lalu. "Ini adalah manusia tertua Homo erectus . Jadi, sangat logis dari Afrika 1,8 juta tahun dan di Sangiran 1,5juta tahu," kata Harry. Tapi kemudian ditemukan situs purba di Jawa bagian barat, seperti di Semedo, Kabupaten Tegal, dan Rancah, Ciamis, Jawa Barat. Di Semedo ditemukan bukti atap tengkorak Homo erectus berusia 0,7juta tahun. Sedangkan penggalian Puslit Arkenas di Rancah menemukan gigi seri manusia bagian bawah berusia 660ribu–516 ribu tahun. "Ini membuktikan adanya sebaran Homo erectus di Jawa Barat tak hanya dari Sangiran ke timur," kata Harry. Menurut Harry, mengingat Jawa Barat adalah wilayah yang pertama kali terangkat, mungkin saja fauna atau manusia pertama berasal dari Jawa Barat. "Siapa tahu. Pandangan peneliti perlu ke bagian barat jangan ke timur terus," ujar Harry. Pemikiran itu menurut Harry semakin logis ketika di daerah Bumiayu (Cisaat dan Kali Glagah) pada 17 Juni–4 Juli 2019 ditemukan beberapa fosil fauna tertua. Kawasan yang pernah diteliti pada 1920–1930 ini menyimpan beberapa fosil spesies fauna yang usianya sekira 1,67 juta–2 juta tahun. Lebih tua dibandingkan fauna-fauna di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hewan-hewan yang hidup pada masa itu misalnya Sinomastodon (gajah purba), Hexaprotodon (kuda air), Geochelon (kura-kura raksasa), Bubalus paleo karabau (kerbau), dan Bos bubalus (banteng). Baca juga: Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika Lalu ada lagi temuan dua bonggol tulang paha manusia. "Ini lakonnya. Proses memfosil yang sangat lanjut, warnanya menghitam dan sangat keras. Sejenis tingkat fosilisasinya dengan temuan sisa-sisa fauna di Kali Glagah yang berumur sampai 2juta tahun," kata Harry. Untuk sementara, perkiraan usia fosil Homo erectus di Bumiayu memang masih menggunakan sistem pertanggalan relatif. Namun, setelah dianalisis kandungan yang menempel pada fosil lalu dikorelasikan dengan stratigrafi (susunan lapisan tanah di dalam kulit bumi), para peneliti menyimpulkan fosil itu pernah terendapkan pada lapisan tanah berusia 1,8juta tahun. "Ini sangat jelas karena satu-satunya lapisan napal carbonatan hanya ada pada formasi Kali Glagah ini dan ini sudah terdeteksi secara absolut yaitu 1,8juta tahun," kata Harry. Hal baru lainnya yang ditemukan adalah artefak paleolitik. Pengerjaan alat batu itu telah menunjukkan teknologi yang sangat maju. "Ini penemuan artefak paleolitik pertama di Bumiayu," kata Harry. Baca juga: Bukti Leluhur Austronesia Tertua di Taiwan dan Cina Selatan Sementara itu, lewat penelitian terbaru di daerah Ngampon dan Mlandingan, Desa Sangiran, Kecamatan Sragen p ada 12–27 Agustus 2019, ditemukan kalau fosil manusia tertua di sana rupanya lebih tua dari dugaan sebelumnya, 1,5juta tahun. Temuan barunya adalah sebuah fragmen tulang pinggul manusia yang berada pada lapisan endapan lempung hitam formasi Pucangan yang menunjukkan usia 1,7juta tahun. "Jadi, di Jawa ada Semedo 0,7juta tahun, ada Bumiayu 1,8juta tahun, ada Rancah 0,6juta tahun, Sangiran bukan lagi 1,5juta tahun tapi sudah ditempatkan ke 1,7juta tahun,” kata Harry. Jika melihat persebaran yang lebih luas, penemuan terbaru fosil Homo erectus di Dminasi (Georgia) menunjukkan usia 1,8juta tahun, di Mohui Cave (China) juga 1,8juta tahun, dan di Longgupo (China) pun 1,8juta tahun. "Apakah teori Out of Africa masih dipertahankan atau kita ganti ke teori multiregional bahwa di berbagai belahan bumi ini sanggup memunculkan manusia di masing-masing lokasi dan berevolusi secara lokal? Kita masih perlu data-data untuk mengidentifikasi manusia yang berusia 1,8juta tahun,” kata Harry.






















