Hasil pencarian
9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu
BEBERAPA hari lalu, banjir parah melanda sejumlah daerah di Aceh dan Tapanuli, Sumatra Utara. Banjir itu tak hanya menghancurkan permukiman, tapi juga menghanyutkan gelondongan kayu. Banjir di akhir tahun 2025 ini setidaknya telah menewaskan 442 orang. Lingkungan di sekitar tempat kejadian ini seharusnya diwaspadai. Sejak dulu, beberapa daerah di Aceh dan Sumatra Utara memang rawan banjir pada musim hujan. Banjir di Aceh dan Tapanuli setidaknya pernah terjadi tahun 1953. Koran Belanda Trouw dan Het Vaderland tanggal 11 Februari 1953 memberitakan bahwa 82 orang meninggal dunia akibat banjir di Aceh dan Tapanuli. Di Aceh, seperti diberitakan Nieuwsblad van het Noorden edisi 9 Februari 1953, banjir terjadi pada 27 Januari 1953 setelah hujan turun dua hari berturut-turut di lereng Seulawah Agam (Gunung Emas), Kabupaten Aceh Besar. Dampaknya, desa-desa di sekitar Kotaraja (kini Banda Aceh) terendam banjir. Tanggul-tanggul yang memagari air di sekitar kota hancur. Banjir tersebut merusak sarana komunikasi. Pelayanan pos dan telegram terganggu. Begitu juga pasokan listrik. Stasiun radio lokal yang mengandalkan pasokan listrik pun tak bisa siaran. Banyak jembatan rusak dan jalur kereta api antara Aceh dengan Sumatra Utara juga terganggu. Kerugian akibat banjir itu sekira Rp15 Juta. Banjir di Aceh diduga akibat penebangan hutan dalam jumlah besar di wilayah sekitar Kotaraja. Sebelum terjadinya banjir, sudah ada peringatan dari pemerintah. Atas banjir yang terjadi di Aceh itu, pada pertengahan tahun 1953, Pos Indonesia merilis prangko khusus tentang banjir. Perbaikan pasca bencana diupayakan pemerintah. Koran De Vrije Pers tanggal 13 Februari 1953 memberitakan, sebuah komite yang diketuai Residen R.M. Danubroto dibentuk di Aceh pada 10 Februari 1953. Penggalangan dana dilakukan, berhasil menghimpun uang sebesar Rp28 ribu serta 1.875 pakaian serta obat-obatan. Palang Merah Indonesia dari Medan juga ikut memberi bantuan kepada korban-korban di Aceh. Banjir tahun 1953 itu mengingatkan pemerintah pada banjir-banjir yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Koran Trouw tanggal 11 Februari 1953 mencatat, pihak berwenang meyakini bahwa banjir 1953 adalah yang terburuk sejak 1917 di Tapanuli. Pembalakan liar besar-besaran pada hutan-hutan di sebagian besar wilayah Sumatra Utara dianggap sebagai biang kerok terjadinya banjir tersebut. Jauh sebelumnya, Tapanuli pernah pula dilanda banjir. De Sumatra Post tanggal 12 Januari 1916 memberitakan, karena banjir di Tanah Batu pada akhir tahun 1915, 65 warga terpaksa mengungsi. Banyak rumah rusak dan perabotan hilang. Parahnya dampak yang ditimbulkan banjir itu membuat Ketua Sarekat Islam Tapanuli Haji Ibrahim mengadakan penggalangan dana di kota-kota besar Sumata Utara. Di Medan, jumlah uang yang terkumpul 100 gulden. Ketika itu harga emas sekitar 1,5 gulden. Tak sampai dua tahun kemudian, awal 1917, Aceh juga dilanda banjir. De Courant tanggal 23 Januari 1917 memberitakan, Aceh Besar rusak berat karena banjir. Banyak jembatan, sawah, dan kebun lada rusak sebagai akibatnya. Banyak ternak warga juga hilang. Setidaknya dua perempuan dan seorang anak tenggelam karena banjir. Banjir serupa terjadi pada 1908, namun banjir tahun 1917 dianggap lebih parah. Aceh dilanda banjir lagi pada 1955 dan 1956. Koran De Locomotief tanggal 11 Februari 1955 memberitakan daerah Perlak di Aceh Timur mengalami kerusakan karena banjir selama delapan hari. Sementara Het Rotterdamsch Parool edisi 11 Juni 1956 menginformasikan, banjir terjadi di Aceh Barat dan menghanyutkan 40 rumah serta menghancurkan ratusan hektar lahan pertanian. Beberapa orang diduga tenggelam dimangsa banjir. Penyebab banjir diduga karena hujan yang membuat sungai-sungai di sekitarnya meluap.*
- Ziarah Sejarah di Kota Leiden
LEIDEN yang terletak di Provinsi Belanda Selatan memiliki ikatan historis sangat kuat dengan Indonesia. Populasinya hanya berkisar 122.000 jiwa, masih lebih sedikit dibandingkan Kota Pangkal Pinang. Lokasi Leiden hanya berjarak 20 kilometer dari Den Haag (15 menit dengan kereta) serta 40 kilometer dari Amsterdam (30 menit dengan kereta).
- Sekali Bandit Tetap Bandit
BERHASIL menggaet Rohimah, kembang desa Sugutamu (kini masuk wilayah Kecamatan Sukmajaya, Depok), Sengkud menyiapkan pesta. Anak buahnya merampok berkarung-karung beras dari gudang kongsi dagang milik orang Belanda. Mereka juga menggarong dua kerbau dari rumah Pak Sakam.
- Revolusi Memakan Anaknya Sendiri
SUATU hari, segerombolan pemuda beringas di bawah pimpinan Kutil, seorang jago, mendatangi rumah Bupati Tegal R.M. Soenarjo. Karena tak mendapati sang bupati, mereka mengamuk dan mengobrak-abrik isi rumah. Mereka juga memaksa penghuninya mengganti pakaian dengan karung goni.
- Perbarui Kurikulum Itu Tak Mudah
SUATU opini dalam kanal Historia.ID berjudul Perlukah Materi Sejarah Diperbarui? karya Alvie Sheva Zahira menarik perhatian saya. Sebagai orang yang pernah kuliah di program studi pendidikan sejarah hingga sarjana, hati saya tergerak untuk berkomentar terhadap opini tersebut. Ada beberapa poin yang saya setujui dari opini tersebut, namun ada pula poin yang tidak saya setujui.
- Pahit Manis Kisah Ahli Waris
SETELAH buka puasa, pertengahan Juni 2016 lalu, Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDI Perjuangan, menerima majalah Historia , di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta. Wawancara yang berlangsung hingga jam sebelas malam itu membahas beragam hal, terutama tentang Sukarno dan PNI.
- Orang Jawa Mengamuk di Malaka
AWAL Juli 2024, saya berkesempatan mengunjungi Kampung Jawa di Malaka. Kawasan ini berada di pinggir Sungai Malaka, tak jauh dari Gereja Merah dan Kompleks Perbentengan Eropa. Suasananya tak ubahnya kampung-kampung di Indonesia. Sepi dan lengang.
- Menggusur Marhaenis Gadungan
PADA 7 Juli 1963, PNI merayakan ulang tahun ke-36 di Stadion Utama Senayan. Dalam pidatonya, Ketua Umum PNI Ali Sastroamidjojo menerima Marxisme sebagai sumber Marhaenisme yang diusulkan Sukarno tiga tahun sebelumnya dalam kongres kesembilan di Solo. Definisi “Marhaenisme sebagai Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia” ini secara resmi diterima dalam kongres kesepuluh PNI pada September 1963 di Purwokerto.
- Memasung Kaki Banteng
JUMAT, 1 Oktober 1965, Radio Republik Indonesia ( RRI ) menyiarkan berita operasi Gerakan 30 September (G30S). Gerakan militer yang dipimpin Letkol Untung itu mengumumkan telah menyelamatkan Presiden Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal. Pukul 11.30, DPP PNI menyambutnya dengan nada mendukung.
- Kusut Masai Aset Partai
DI persimpangan antara Jalan Salemba Raya dan Jalan Pramuka, terhampar lahan seluas 1.600 meter persegi. Tak ada bangunan berdiri di areal tanah itu, hanya tembok yang mengitari sekelilingnya, membatasi akses warga sekitar. Sebuah papan pengumuman terpampang di sana: Tanah Ini Milik PT Solid Gold Abadi berdasarkan sertifikat hak milik dilarang memasuki lahan ini/melakukan kegiatan tanpa izin dari pemilik akan dikenakan sanksi pidana dengan pasal 167 KUHP .
- Kisah Naga Terbang dan Gagak Hitam
KABAR proklamasi sampai ke telinga Timur Pane, pemimpin geng copet Medan. Dia meresponsnya dengan mendirikan badan perjuangan bernama Naga Terbang yang beranggotakan para jago dan kalangan dunia hitam.
- Kala Hak Imunitas Anggota DPR Kandas
SABTU malam, 30 November 1957, Perguruan Cikini menggelar lustrum ke-3. Presiden Sukarno, sebagai orangtua dari Guntur Soekarnoputra dan Megawati Soekarnoputri, hadir dan memberikan sambutan.





















