Hasil pencarian
9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ibu Para Pohon
SETELAH bersusah payah melangkah sambil dipapah seorang pengawal presiden, perempuan berusia lebih dari 90 tahun itu akhirnya sampai ke tempat Presiden India Ram Nath Kovind berdiri. Sebuah penghargaan diterimanya dari sang presiden. Naluri keibuannya muncul dengan mengusap kepala sang presiden sebagai bentuk restu tatkala sang presiden memintanya menghadap kamera. Gemuruh tepuk tangan langsung memenuhi seisi ruangan pada 16 Maret 2019 itu. Senyum tipis langsung tersungging di bibir Saalumarada Thimmakka, perempuan tadi. Senyum itu menjadi tanda perjuangannya selama puluhan tahun menjaga lingkungan akhirnya berbuah manis. Thimmakka lahir di Gubbi, Tamakuru, Karnataka, India pada 1 Januari 1926 (sumber lain menyatakan tahun 1927, ada pula 1912) dari pasangan Smt Vijayamma dan Sri Chikkarangayya. Kemiskinan membuat Thimmakka kecil tak pernah mencicipi bangku sekolah. Sedari usia 10 tahun, Thimmakka sudah membantu keluarganya dengan bekerja menggembalakan ternak milik beberapa tetangganya. Beranjak dewasa dia juga menjadi buruh kasar. Kehidupan yang berat tetap menggelayutinya ketika sudah berumahtangga dengan Sri Bikkala Chikkayya. Maklum, pemuda asal Hulikal, Magadi Taluk, Distrik Ramnagar itu juga datang dari keluarga ekonomi lemah. Namun, kemiskinan sama sekali bukan peruntuh semangat hidup Thimmkka dan suaminya. Keluarganya tetap berjalan harmonis kendati mesti berjuang keras untuk sekadar membuat dapur ngebul. Bahu-membahu selalu dilakukan pasangan suami-istri itu untuk mengatasi rintangan. Sekian tahun keluarga itu berjalan, Thimmakka kemudian merasa ada yang kurang pada keluarga mereka. Kesepian selalu menemani mereka karena anak yang dirindukan tak kunjung hadir. Kehidupan Thimmakka semakin berat karena cemoohan orang-orang sekitar. “’Anak-anakmu yang akan mengingatmu hidup.’ Begitulah mitos yang abadi. Di India, mitos ini begitu kuat sehingga pasangan tanpa anak seperti terkutuk. Perempuan yang tidak memiliki anak dianggap tidak memiliki kehidupan. Mitos inilah yang jadi ejekan buat Thimmakka,” tulis laman goodnewsindia.com , Mei 2002. Seiring perjalanan waktu, hinaan itu membuat Thimmakka kian tersiksa. Saking frustrasinya, Thimmakka sampai ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Beruntung, sang suami menggagalkannya. Dengan setia sang suami terus membesarkan hati Thimmakka. “Malam hari kami kesepian. Tapi dia pria yang baik. Ada tekanan padanya untuk mencari istri lain tetapi dia menolak. Dia terus memikirkan sesuatu yang harus dilakukan dalam hidup kami,” kata Thimmakka mengenang kebaikan suaminya, dimuat goodnewsindia.com. Keduanya lalu sepakat untuk menanam pohon. Mereka memilih menanam pohon itu bukan di pekarangan rumah tapi di pinggir jalan antara Hulikal dan Kudur yang merentang sepanjang empat kilometer. “Itu jalan yang kering dan panas. Penduduk desa kami harus sering ke Kudur dan takut. Jadi kami pikir akan lebih baik jika pohon-pohon muncul dan memayungi jalan,” sambungnya. Thimmaka dan suami pun menanam 10 bibit pohon beringin di satu sisi tepi jalan itu. “Dia memilih pohon beringin karena spesies itu tersedia secara bebas saat itu. Selain itu, beringin, atau pohon ‘bodhi’, dipuja di India,” demikian majalah Outlook Vol. 5 Th. 1999 memberitakan. Tanpa peduli cemoohan orang akan perbuatannya yang dianggap aneh, setiap hari Thimmakka dan suaminya menyirami pohon-pohon itu dan merawatnya. Lantaran kesukaran mesti menggotong kendi-kendi penampung air setiap hari, Thimmakka lalu membuat tangki air untuk menyirami pohon-pohonnya. Kawat berduri juga dibuat untuk melindungi pohon-pohon itu. Kendati ada beberapa pohon yang rusak oleh cuaca dan orang-orang tak bertanggung jawab, perjalanan waktu akhirnya mengubah bibit beringin itu menjadi pohon rindang. Kerindangan di kedua sisi jalan itu kian bertambah karena Thimmakka dan suaminya menanam 15-20 pohon baru setiap tahun, yang akhirnya membentang sejauh bentangan jalan itu. “Pada 1991, ketika Chikkaiah meninggal, ada 284 pohon beringin sehat yang menyediakan perlindungan bagi banyak burung dan hewan, selain tempat teduh dan tempat peristirahatan bagi para pejalan kaki. Bagi Thimmakka, pohon-pohon itu dulu dan sekarang adalah anak-anaknya,” kata Vinathe Sharma-Brymer, peneliti dan pemimpin Forest School di Brisbane, dalam “Locations of Resistance and Agency: The Actionable Space of Indian Women’s Connection to the Outdoors” yang termuat di The Palgrave International Handbook of Women and Outdoor Learning. Thimmakka tetap melanjutkan merawat pohon-pohonnya dan terus menanam pohon baru selepas kepergian sang suami. Penduduk desa lalu menambahkan Saalumarada, kata dalam bahasa Kannada yang berarti “sebaris pohon”, di depan nama Thimmakka. Upaya itu membuat nama Thimmakka makin dikenal sehingga dia kerap diminta menjadi pembicara atau motivator lingkungan oleh berbagai organisasi lokal maupun internasional. Di California, AS, sebuah organisasi lingkungan sampai menamakan dirinya dengan Thimmakka’s Resources for Environmental sebagai bentuk penghargaan. Lebih dari 45 penghargaan diterima Thimmakka sejak 1995, tahun ketika dia dianugerahi National Citizen Award oleh pemerintah. Pada Maret 2019, pemerintah India menganugerahinya penghargaan sipil tertinggi, Padma Shri. Berbagai penghargaan itu tetap tak mengubah diri Thimmakka sebagai perempuan rendah hati, ulet, setia pada pendirian, dan penyayang. Dia tetap menanam dan merawat pohon. Saat menjadi pembicara dan motivator lantaran diundang berbagai organisasi dalam maupun luar negeri pun Thimmakka terus mengkampanyekan tanam pohon. Lebih dari 8000 pohon telah ditanam perempuan yang juga berjuluk “Ibu para pohon” itu di berbagai tempat sepanjang pengabdian tanpa pamrihnya selama hampir 70 tahun. “[Sekarang] Aku punya cukup banyak anak (mengacu ke 284 pohon yang ditanamnya), sekarang Anda juga harus mencapainya,” kata Thimmakka beberapa tahun silam sebagaimana ditulis BR Srikanth, editor senior, di laman outlookindia.com .*
- Wabah Penyakit Gondok
ADA yang berbeda di Desa Ngepos, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, tahun 1972. Hampir seluruh warganya menderita penyakit gondok. Di leher mereka terdapat benjolan; bahkan ada yang sebesar kepalan tangan orang dewasa. Orang-orang menyebutnya penyakit gondok, gangguan akibat kekurangan yodium.
- Tak Sekadar Aspirasi Umat
MUNCULNYA Republik Maluku Selatan (RMS) pada April 1950 menarik perhatian Johannes Leimena. Di depan umat Kristen di Maluku, dia menyerukan bahwa yang terpenting bagi warga Maluku adalah tetap memeluk Kristen dan menjadi warga negara Indonesia.
- Setelah Peluit Kapal Berbunyi
KAPAL Hr. Ms. De Zeven Provincien bertolak dari pelabuhan Surabaya pada 2 Januari 1933 untuk keliling Sumatra selama tiga bulan. Dalam pelayaran latihan ini, awak kapal terdiri dari 141 Eropa (30 perwira dan 26 perwira menengah) dan 256 pribumi (tujuh perwira menengah dan 80 siswa KIS atau Kweekschool voor Inlandse Schepelingen atau Pendidikan Dasar Pelaut Pribumi).
- Primbon Wadah Laku Mistik
GERHANA matahari total melintasi sejumlah provinsi di tanah air pada 9 Maret 2016. Beberapa orang antusias menyambutnya. Peristiwa ini juga dijadikan ajang promosi pariwisata. Bagi ilmu pengetahuan modern, gerhana matahari merupakan fenomena alam yang biasa. Tidak demikian menurut primbon Jawa.
- Preman Pasar dan Seniman Algojo
ABU Berto kesohor sebagai jagoan pasar di depan Istana Kedatuan Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan. Sekitar 1940-an, bersama kawan-kawannya, Berto membentuk perkumpulan bernama Anak Pasar.
- Mengelola Film Lama
FIRDAUS, staf pemeliharaan film Sinematek Indonesia, masuk ke ruang penyimpanan film di basement gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), yang berlokasi di Jalan Rasuna Said Kav C-22, Jakarta Selatan. Begitu melewati pintu masuk, aroma pengap yang kuat tercium. Bau itu, yang berasal dari film seluloid, bisa membuat pusing. Namun, tanpa mengenakan masker, Firdaus tetap melenggang masuk.
- Kisah Dua Kampung Halaman
KETIKA melakukan perjalanan ke Tiongkok bersama Yin Hua Meishu Xiehui (Lembaga Seniman Indonesia Tionghoa) tahun 1956, Wen Peor sempat berkunjung ke kampung halamannya di Meixian, sebuah distrik di Kota Meizhou, Provinsi Guangdong, Tiongkok. Bahkan menghasilkan lukisan cat minyak “Terang Bulan di Kampung Halaman” yang dibeli oleh Presiden Sukarno. Siapa sangka dia akan kembali karena situasi pelik di Indonesia.
- Kiprah Menteri Bersandal
SUATU malam, di rumahnya di Yogyakarta, S.K. Trimurti kedatangan seorang tamu. Namanya Setiadjit, ketua Partai Buruh Indonesia (PBI). Dia bilang Presiden Sukarno meminta dirinya, Adnan Kapau (AK) Gani, dan Amir Sjarifoeddin untuk menyusun kabinet baru dalam waktu 14 jam. Dan sebagai anggota formatur kabinet, mereka akan membentuk Kementerian Perburuhan. Dia menanyakan apakah Trimurti bersedia mengisi pos itu. Spontan Trimurti menolak.
- Kembalinya Si Burung Camar
IBARAT burung camar, pelukis Wen Peor mencari kebebasan sekaligus mencoba mengatasi situasi sulit dengan cara yang anggun. Ketika situasi di Indonesia tak menentu pasca-Peristiwa 1965, dia memutuskan pergi, menetap, dan berkarya di tanah leluhurnya.
- Kelompok Tanpa Nama
AYANDE Sloan berusia 14 tahun ketika Jepang mendarat di Tarakan, Januari 1942. Karena berparas bule, gadis muda itu tak bisa keluar rumah. Dalam tempo-tempo tertentu, saat serdadu Jepang merazia rumah-rumah penduduk untuk mencari orang bule, Ayande digulung dalam kasur oleh ibunya.
- Geger Sampai ke Negeri Induk
PEMBERONTAKAN awak kapal De Zeven Provincien dengan cepat menimbulkan berbagai reaksi, baik di Hindia Belanda maupun di Belanda. Di Batavia, kecaman datang dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda B.C. de Jonge yang dalam pidatonya pada 7 Februari 1933 menyebut aksi para matros kapal perang Hindia Belanda itu sebagai tindakan tak bertanggungjawab.





















