Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menolak Melupakan Munir
HARI masih pagi. Orang-orang tumpah ruah di jalan Sudirman-Thamrin Jakarta Pusat yang bebas kendaraan (car free day). Mereka berolahraga, bersantai, dan sejenak melupakan masalahnya. Namun, tidak bagi sekelompok orang. Mereka tidak ingin masyarakat melupakan peristiwa terbunuhnya pahlawan kemanusiaan, Munir Said Thalib dan ketidakjelasan penanganan kasusnya. Dalam rangka memperingati 10 tahun pembunuhan Munir, mereka yang tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas Munir (Kasum) dan Sahabat Munir mengadakan acara artwork di ruang publik, tepatnya di dekat Halte Tosari selama car free day pada 7 September 2014. Acara diisi dengan pertunjukkan seni, pembuatan mural, orasi, sampai permainan untuk mengedukasi publik tentang sosok Munir dan kasus pembunuhannya. Mereka mengajak masyarakat menolak lupa terhadap sosok Munir. “Kampanye ini juga untuk memperingatkan pemerintah khususnya pemerintahan yang baru, yaitu Jokowi-JK agar memprioritaskan agenda penyelesaian kasus ini,” tutur Chris Biantoro, wakil koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Sebagai sosok terdepan dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, selama hidupnya Munir banyak mengurus kasus-kasus hilangnya aktivis. Dia juga menjadi salah satu pendiri dua organisasi penegakan HAM, yakni KontraS dan Imparsial, yang berjasa dalam mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM selama operasi militer Indonesia di Aceh, Papua dan Timor Timur. Pada hari ini, tepat 10 tahun lalu. Munir berangkat ke Belanda dengan pesawat Garuda nomor penerbangan GA 974 untuk melanjutkan pendidikan pascasarjananya dalam bidang hukum internasional dan HAM. Namun, dia ditemukan tewas diracun di dalam pesawat saat dalam perjalanan. Belakangan diketahui pelakunya adalah bekas pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto yang divonis hukuman 14 tahun penjara pada Desember 2005. Namun, publik masih belum puas karena otak di balik pembunuhan ini masih belum terungkap. “Di masa awal pemerintahannya, Susilo Bambang Yudhoyono berjanji untuk menyelesaikan kasus Munir dan bahkan menyatakan bahwa hal tersebut akan menjadi ‘ujian bagi sejarah kita’,” ujar Choirul Anam dari Kasum seperti dikutip dari thejakartaglobe.com (5/9/2014). “Namun, pada akhirnya pemerintah tidak pernah serius menghukum pelaku yang bersalah, menjadikan kasus pembunuhan ini makin diselubungi misteri.” Tidak hanya di Jakarta, aksi solidaritas untuk Munir juga dilakukan di Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Solo. Di Malang, rumah masa kecil Munir yang sekarang dikenal sebagai Omah Munir dan Museum Keadilan dan HAM, pun terpantau ramai. Semuanya bersuara satu tanpa rasa takut, menuntut kejelasan dan ketegasan pemerintah untuk menyelesaikan kasus Munir. Seperti pernah dikatakan oleh Munir sendiri: “Kita harus lebih takut kepada rasa takut itu sendiri, karena rasa takut menghilangkan rasio dan kecerdasan kita.”
- Sunan Kuning dan Geger Pacinan
MENYEBUT Sunan Kuning, pikiran sebagian besar orang tertuju pada lokalisasi di bagian barat Kota Semarang. Sebelumnya, lokalisasi yang berdiri pada 1966 ini dinamakan lokalisasi Argorejo. “Lokalisasi ini kelak dikenal sebagai lokalisasi Sunan Kuning karena terdapat petilasan Sun-Kun-Ing yang dipercaya sebagai tokoh Tionghoa penyebar agama Islam di kawasan lokalisasi Argorejo tersebut. Petilasannya pada waktu-waktu tertentu diramaikan oleh para peziarah,” tandas Akhriyadi Sofian, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dian Nuswantoro Semarang, yang meneliti sejarah perkembangan Sunan Kuning dari tahun 1966 hingga 1984. Menurut Remy Silado dalam 9 Oktober 1740: Drama Sejarah , dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, dikatakan bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer bagi Raden Mas Garendi. Sunan Kuning berasal dari kata cun ling (bangsawan tertinggi) merupakan salahsatu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743). Dalam Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC , R.M. Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara. Para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai raja Mataram bergelar “Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama” pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun –sumber lain menyebut 12 tahun. Dia pun dianggap sebagai “Raja orang Jawa dan Tionghoa.” Pengangkatan Sunan Kuning sebagai simbol perlawanan rakyat Mataram yang dikhianati Pakubuwono II, raja Mataram yang bersekongkol dengan VOC. Padahal, sebelumnya dia mendukung perlawanan Tionghoa-Jawa terhadap VOC. Dia meminta pengampunan VOC, karena orang-orang Tionghoa kalah perang, banyak pembesar Jawa tidak tertarik pada kebijakannya, dan bagian timur kerajaannya jatuh ke tangan Cakraningrat IV, raja Madura yang bersekutu dengan VOC. Balatentara Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742 setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Kapitan Sepanjang yang bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning, kini bertindak sebagai komandan tentara pendudukan. Pakubuwana II melarikan diri dari Kartasura, dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorf ke arah timur Kartasura, menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan. Peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan c andrasengkala (penanda waktu) yang berbunyi “Pandito Enem Angoyog Jagad” (seorang raja Mataram telah kehilangan keratonnya). Sunan Kuning bertahta di Kartasura, ibukota kerajaan Mataram, terhitung 1 Juli 1742. Dia mengangkat komandan perlawanan, seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden Suryokusumo sebagai panglima perang –kelak dikenal sebagai Pangeran Prangwedana. Segera setelah itu, Sunan Kuning merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. 1200 prajurit gabungan Jawa-Tionghoa dipimpin Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko) menuju Welahan. Di Welahan mereka bertempur dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan itu. Setelahnya berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Tionghoa-Jawa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di Pulau Mandalika, lepas pantai Jepara dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana. Pada November 1742, keadaan semakin tidak berpihak kepada Sunan Kuning. Kartasura diserang dari tiga penjuru: Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwono II dari Ngawi, dan pasukan VOC dari Ungaran Salatiga. Sunan Kuning meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa. Walaupun Kartasura telah jatuh, perlawanan terus berlangsung di berbagai tempat di wilayah Mataram. Akhir dari perjalanan Sunan Kuning terjadi pada September 1743 saat tedesak di sekitar Surabaya bagian selatan. Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang, Sunan Kuning menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk, disusul oleh banyak pemberontak lain. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka). Menurut Remy, sumber riwayat Semarang menyebutkan bahwa Sunan Kuning dimakamkan di bagian barat kota, di atas sebuah bukit. Sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran, dan ini terus dikecam oleh banyak kalangan yang mengira bahwa sebutah ‘sunan’ niscaya berhubungan dengan Walisanga.
- Riwayat Durian di Nusantara
Sejak kapan manusia mulai menyantap buah durian ( durio zibethinus ) atau siapa yang pertama kali menemukan buah durian tak pernah ada fakta sejarah yang pasti mengenai itu. Namun bila pertanyaan diajukan tentang sejak kapan penduduk di Nusantara mengonsumsi durian, maka jawabannya selalu tersedia. Paling tidak petunjuk tersebut terdapat dalam beberapa relief di candi Borobudur. Dari 2672 panel kisah, beberapa di antaranya menampilkan buah durian yang dijadikan sesembahan buat raja, diperjualbelikan, juga tampak orang-orang yang membawanya bersama buah lain seperti mangga dan manggis. “Dari relief ini kita bisa tahu bahwa durian sudah dikonsumsi oleh penduduk Nusantara sejak 1300 tahun yang lalu,” kata pakar durian Mohamad Reza Tirtawinata dalam diskusi tentang durian di Serang, Banten tiga pekan lalu. Reza doktor dari Institut Pertanian Bogor, orang penting di balik pendirian taman buah Mekarsari. Berdasarkan prasasti Kayumwungan bertitimangsa 26 Mei 824, Candi Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga sekira abad ke-8 hingga abad ke-9. Selain durian, buah lain yang juga terdapat dalam relief Borobudur antara lain mangga, pisang, sukun dan manggis. Catatan mengenai durian di masa lalu lainnya terdapat di dalam laporan perjalanan para penjelajah Eropa abad ke-15. Dalam buku Java Essay: The History and Culture of Southern Country karya Masatoshi Iguchi mengisahkan ekspedisi VOC di wilayah Batavia sampai Bogor pada 1687. Dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Pieter Scipio van Ostende itu diketahui telah banyak pohon durian yang tumbuh di sekitar Bogor. “Jalan dari Parung Angsana ke Cipaku sangat lebar dan dilapisi bebatuan dengan pohon durian yang tumbuh di kedua sisinya,” ujar Pieter seperti dikutip Masatoshi. Parung Angsana kini bernama Tanah Baru yang ada di wilayah utara Bogor. Namun dari beberapa laporan yang dibuat oleh para penjelajah Eropa itu seringkali masih terdapat kerancuan antara durian dengan sirsak ( Annona muricata ). Sirsak juga sering disebut sebagai “nangka Belanda” atau “durian Belanda”. Adalah Georg Eberhard Rumphius seorang ahli botani kelahiran Jerman yang bekerja untuk VOC, yang pertama kali mendeskripsikan durian secara detail dalam laporan penelitianya. Laporan itu kemudian diterbitkan jadi buku pada 1741 dengan judul Herbarium Amboinense . Dalam penelitiannya di Ambon, Maluku, Rumphius menyaksikan penduduk lokal menggunakan aroma durian untuk menangkap musang. Itulah awal mula dia melihat buah durian dan mencatat nama genus durian sebagai “durio” dalam laporannya. Sejak saat itu nama durian mulai masuk ke dalam khasanah botani dan mengundang perhatian ahli botani Eropa lainnya. Lantas 33 tahun setelah terbitnya Herbarium Amboinense karya Rumphius, Carl Linnaeus ahli botani dari Swedia menerbitkan buku Systema Vegetabilium yang memasukan nama buah durian dengan nama latin durio zibethinus . Dia melekatkan nama zibethinus di belakang nama genus “durio” untuk mengenang kisah temuan Rumphius di Ambon. Zibethinus diambil dari zibetto nama musang dalam bahasa latin. Kisah Rumphius tentang orang-orang Ambon yang menggunakan aroma durian untuk menjebak musang itu menginspirasi Linnaeus untuk mengabadikannya pada nama latin durian. Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace yang melakukan penelitian di kepulauan Nusantara, antara lain di Ternate, pada kurun 1848 sampai dengan 1854 juga kepincut pada durian. Ahli ilmu alam yang dinobatkan sebagai peletak dasar teori evolusinya Charles Darwin itu pernah menulis secarik surat untuk rekannya sesama ahli botani, Sir William Jackson Hooker, menyampaikan kekagumannya pada durian. “Aroma buah yang matang itu belum tentu menyenangkan, walaupun tidak begitu menyengat baunya begitu buah baru jatuh dari pohonnya. Satu-satunya cara untuk menyantap durian yang telah matang sempurna adalah saat buah itu jatuh. Mungkin tidak benar jika mengatakan kalau durian adalah buah yang terbaik dari semua buah-buahan yang ada, terutama karena tak berair berasa masam menyegarkan seperti jeruk ( orange ), anggur, mangga dan manggis. Tapi sebagai sebuah makanan, kelezatan durian tidak tertandingi. Jika saya harus membuat dua hal yang mewakili kesempurnaan, maka saya akan menobatkan Durian dan Jeruk sebagai raja dan ratu buah-buahan,” tulis Wallace. Dan tersohorlah buah khas Asia Tenggara yang banyak tumbuh di Indonesia itu sebagai rajanya buah-buahan.
- Peristiwa Belangguan 1993
PETANI di desa Belangguan, Situbondo, Jawa Timur tak berdaya ketika ladang jagung mereka beralih fungsi menjadi area latihan tempur tentara. Asa mulai meronta ketika puluhan mahasiswa datang ke kampung mereka. Berdasarkan hasil rembukan, mahasiswa dan petani sepakat melakukan aksi tanam jagung bersama di ladang yang sudah dikuasai tentara. Para petani menyiapkan bibit jagung yang akan ditanam. Mahasiswa membekali diri dengan poster berukuran sepuluh meter. Tulisannya: HIDUP MATI KAMI DARI TANAH INI. Rencananya aksi tanam jagung dilakukan pagi hari tanggal 23 Januari 1993. Sehari menjelang hari H, sebanyak 26 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi asal Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan Surakarta menginap di rumah-rumah penduduk. Mereka aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi di Indonesia (SMDI) –kemudian hari menjadi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Jelang pukul 11 malam, kampung yang tadinya tenang berubah mencekam. Mobil patroli berputar-putar mengelilingi jalan desa. Tentara berkeliaran memburu mahasiswa. “Rumah-rumah di pinggir hutan itu digeledah. Aksi militer itu membuat kaum perempuan serta anak-anak ketakutan,” tulis dokumen kronologis Komite Solidaritas Rakyat Belangguan (KIRAB) sebagaimana dicuplik buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan . Meski daerah itu sudah diblokade oleh militer dengan menempatkan tiga sampai lima tentara di tiap jalan strategis, para petani setempat berhasil menyembunyikan mahasiswa di tempat aman. Petani-petani itu memang hafal tiap jengkal kampung halamannya. Hingga pukul 03:00 dini hari tentara masih mengintimidasi. Di tengah guyuran hujan malam itu, Webby Warouw dan Budiman Sudjatmiko dari UGM memimpin rapat darurat. Setelah menimbang segala sesuatunya, aksi tanam jagung di Belangguan dibatalkan. Aksi dipindahkan ke kantor DPRD Tingkat I Surabaya. Siang itu, usai aksi di kantor DPRD, para mahasiswa berkumpul di terminal Bungurasih menanti bus untuk kembali ke Yogyakarta sebelum pulang ke kota masing-masing. Tanpa disadari, terminal sudah dikuasai aparat berpakaian preman. Tigabelas orang berhasil ditangkap. “Kami dibawa ke sebuah kantor. Tempatnya tersembunyi. Terpencil. Tidak ada papan nama. Di temboknya terukir gambar telinga besar dan di tengahnya ada mata,” ujar Wilson, 47 tahun, saat bertandang ke redaksi Historia , pekan lalu. “Belakangan,” kata Wilson melanjutkan, “baru diketahui bahwa itu kantor Bakorstanasda. Dan gambar mata di tengah telinga besar itu simbol intelijen.” Para mahasiswa diinterogasi bergantian. “Ketika dinterogasi, tiap jemari dililit kabel setrum. Terlihat voltase dari angka 0 sampai 100. Kalau mereka tidak puas dengan jawaban yang kita berikan, voltasenya dinaikkan. Kita juga disuruh menyaksikan kawan yang sedang disiksa,” lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI itu mengenang pengalaman buruk semasa rezim militeristik Orde Baru berkuasa. Budiman Sudjatmiko dalam memoarnya, Anak-Anak Revolusi , juga mengenang penangkapan itu. “Mulai saat itu terjadi ritual interogasi dan penyiksaan. Tidak ada manusia di tempat itu, yang ada hanya segerombolan hewan pemburu dan segerombolan hewan buruan mereka. Kami disiksa seperti binatang ... ada yang disetrum, dipukul, dikencingi dan wajahnya dimasukkan ke dalam toilet.” Setelah kenyang menyiksa dan menakut-nakuti, aparat tentara itu memperbolehkan mahasiswa pulang. Mereka meminta agar para mahasiswa itu tak lagi mengulangi aksi “sok pahlawan”. Para aktivis mahasiswa itu pun dipaksa bungkam untuk tidak menceritakan apa saja yang dialami selama dalam tahanan. Tapi tentu, mereka tak tunduk begitu saja. “Walaupun sebagian anggota kami mengalami trauma, sebagian besar tetap berdiri tegar,” kata Budiman dalam memoarnya.
- Aparat Keamanan dalam Pemilihan Umum
PENGAMANAN pemilihan presiden 9 Juli 2014 sangat ketat. Sekira 1,2 juta personel TNI/Polri bersenjata lengkap, ditambah panser, telah siaga di seluruh Indonesia. Unjuk kekuatan ini dianggap terlalu berlebihan. Namun aparat keamanan tak ingin kecolongan. Pada pemilu pertama tahun 1955, aparat keamanan juga disiagakan karena saat itu keamanan negara tidak kondusif. Beberapa daerah, seperti Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, dirundung kekacauan oleh gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Menurut Andi Tjatjo, kepala kantor pemilihan daerah XII Sulawesi Selatan, dengan koordinasi aparat dan penyelenggara pemilu, “Sulawesi Selatan siap menyelenggarakan pemilu,” tulis Harian Rakjat , 3 September 1955. Demikian pula di Jawa Tengah. Tentara bersenjata lengkap disiagakan di setiap tempat pemungutan suara (TPS). “Di setiap TPS akan dijaga beberapa tentara bersenjata lengkap, ditambah aparat keamanan dari kalangan sipil yang telah ditetapkan dengan besluit (keputusan) dari residen,” ujar Soemarsono, residen yang diperbantukan pada gubernur Jawa Tengah. Jumlah pemilih di Jawa Tengah berjumlah 10.120.963 orang, tersebar di 16.897 TPS. Guna memaksimalkan pengamanan, wilayah Jawa Tengah dibagai beberapa bagian. Menurut Yoga Sugama, asisten I bidang intelejen di Tentara Teritorium IV Diponegoro, Jawa Tengah, “Soeharto yang menjabat komandan resort militer di Solo diserahi tanggung jawab pengamanan pemilu di Jawa Tengah bagian timur meliputi daerah Demak ke selatan sampai Solo,” ujarnya dalam Memoar Jenderal Yoga karya B. Wiwoho dan Banjar Chaerudin. Bukan hanya gangguan keamanan secara fisik, Harian Rakjat , 16 September 1955, menurunkan berita mengenai upaya beberapa perwira Angkatan Darat (AD) yang menginginkan pemilu diundur. Suara-suara dari perwira AD ini muncul tak lama setelah Kabinet Burhanuddin Harahap dilantik. Mereka diperkirakan tidak berjumlah banyak, dan diindikasikan sebagai orang-orang politik yang berseragam militer. Pihak AD pun buru-buru menangkal berita itu. Juru bicara AD mengeluarkan pernyataan resmi bahwa tugas AD adalah menghadapi gerombolan keamanan dan menjamin terselenggaranya pemilu pada 29 September 1955. Panglima TT-IV Diponegoro Kolonel Bachrum juga mengeluarkan enam maklumat yang ditujukan kepada anggotanya agar bersikap sopan santun; tidak menyalahgunakan kekuasaaan untuk kepentingan pribadi; jangan merugikan orang lain melalui ucapan dan tindakan; bersikap netral dan adil; jujur dan bijaksana; serta menggunakan hak pilih tidak lebih dengan warga negara lainnya –saat itu, tentara dan kepolisian memiliki hak suara. Sekira seminggu sebelum pemungutan suara, Dewan Keamanan Nasional yang bersidang pada 21 September 1955 mengeluarkan peraturan batas kampanye untuk menghindari gangguan dari DI/TII. Di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Cilacap tidak boleh ada kampanye terbuka pada 22-29 September 1955; wilayah Jawa Barat dan ibukota Jakarta pada 25-29 September 1955; dan seluruh wilayah Indonesia pada 28 September 1955. Pemungutan suara dimulai pada 29 September 1955. Meski pasukan keamanan sudah disiagakan jauh-jauh hari, mereka masih kecolongan. Empat tentara dan seorang anggota panitia pemungutan suara di Enrekang, Sulawesi Selatan, meregang nyawa ditembak gerombolan DI/TII saat akan mengambil kotak suara di daerah Kalosi.
- SI School, Sekolah Alternatif
BERDIRINYA SI School merupakan cara untuk mengimbangi keberadaaan Hollandsch-Indische School (HIS), sekolah menengah yang hanya ditujukan bagi segelintir kalangan pribumi. “Sekolah ini menjadi pesaing HIS, sekolah sekunder, terbuka dan terbatas untuk orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan dasar mereka di Sekolah Kelas II (Tweede Klasse) ,” kata sejarawan Harry Poeze, penulis biografi Tan Malaka, dalam pengantar brosur Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs . Kualitas sekolah pada masa kolonial dikategorikan berdasarkan strata sosial dan ras. Seorang anak pribumi priayi tinggi diperbolehkan masuk ke sekolah-sekolah khusus warga kulit putih, sementara anak-anak dari rakyat biasa hanya diperbolehkan masuk di sekolah rendahan. Untuk ukuran zaman itu, sekolah Tan Malaka terbilang sangat maju dan menjadi alternatif bagi anak-anak buruh untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Tak ayal, SI School mendapatkan cercaan dan kritik dari banyak media massa pro kolonial. Tan Malaka menulis salah satu koran yang mengeritiknya adalah Soerabajaasch Handelsblad . “Hai, pemerintah awasi S.I itu,” kata Tan Malaka menirukan berita di koran terbitan Surabaya itu. Bahkan pemerintah kolonial di Semarang, melalui asisten residennya melarang siswa-siswa SI School untuk menyelenggarakan “pasar derma” untuk mengumpulkan sumbangan masyarakat demi pembiayaan sekolah mereka. Pemerintah kolonial memberlakukan larangan berdasarkan undang-undang pidana sehingga usia sekolah Tan Malaka itu tak berlangsung lama. Masa hidup SI School berakhir seiring pengusiran Tan Malaka oleh pemerintah kolonial pada 1922. Tan Malaka memilih untuk diasingkan ke Belanda. Maka berakhirlah riwayat sekolah yang bercita-cita memerdekakan jiwa dan pikiran anak-anak buruh itu. Upaya pelestarian bangunan SI School Sejak dua tahun lalu, bangunan SI School yang reyot dan hampir rubuh tersebut menjadi bahan pemberitaan berbagai media massa. Musababnya adalah rencana pemugaran bangunan oleh Yayasan Balai Muslimin Indonesia (Yabami), pengelola tanah wakaf di mana bangunan sekolah itu berdiri. Atas desakan kelompok masyarakat yang peduli sejarah Semarang, upaya pemugaran itu pun urung dilakukan. Kini Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah telah menetapkan bangunan SI tersebut sebagai bangunan bersejarah yang dilindungi UU Cagar Budaya No. 11/2010. Menurut Yunantyo Adi, aktivis dari Kelompok Pegiat Sejarah Semarang (KPS Semarang), pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah telah menghibahkan dana sebesar Rp600 juta untuk merenovasi bangunan tersebut. “Menurut rencana, bangunan mau dipugar dan direnovasi seperti gambar Gedung SI tahun 1978 seperti sebuah foto yang sudah kami temukan,” katanya kepada Historia , Rabu (16/07). Adi menuturkan, Tim BPCP Jawa Tengah akan mengupayakan pembangunan kembali gedung itu semirip mungkin dengan aslinya. Dia bersama KPS Semarang juga giat melobi Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi persoalan hukum atas status lahan yang dimiliki oleh Yabami tersebut. “Besok (hari ini (17/07), Red .) kami akan menemui Walikota Semarang untuk mendorong dia memanggil pihak Yabami agar menyetujui pemugaran sehingga tak ada lagi kendala yang menghalangi upaya pelestarian bangunan bersejarah itu,” demikian pungkasnya.
- Hatta Keliru Kalpataru
DALAM debat putaran terakhir di Hotel Bidakara, Jakarta, 5 Juli 2014, calon wakil presiden Hatta Rajasa menyerang calon presiden Joko Widodo mengenai kegagalan DKI Jakarta meraih penghargaan Kalpataru tahun ini. Padahal, Jakarta langganan penghargaan itu. Hatta juga menegaskan bahwa Solo juga belum pernah mendapatkannya. Calon wakil presiden Jusuf Kalla menyanggah pernyataan Hatta itu. “Pertanyaan bapak bagus, tapi keliru. Harusnya Adipura,” kata Kalla. Kalpataru dan Adipura merupakan penghargaan lingkungan hidup yang diberikan pemerintah setiap tahun kepada dua pihak yang berbeda. Sesuai namanya dari bahasa sanskerta yang artinya “kota yang indah dan agung,”Adipura adalah penghargaan untuk kebersihan kota yang kali pertama diberikan pada 1986. Penghargaan Adipura sangat prestisius karena diberikan langsung oleh Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta. Belakangan, piala Adipura memiliki “kesakralan” lain karena dijadikan tolok ukur keberhasilan seorang pejabat daerah dalam memelihara lingkungan hidupnya. “Adipura merupakan kebanggaan luar biasa untuk kota-kota yang mendapatkannya. Bila Presiden Soeharto memberikan Adipura, dapat dipastikan bahwa bupati atau walikota yang menerimanya akan terpilih kembali pada periode berikutnya,” kata wakil presiden Jusuf Kalla dalam sambutan penganugerahan lingkungan hidup pada 2005, sebagaimana dimuat dalam Berbekal Seribu Akal Pemerintahan Dengan Logika karya Tomi Lebang. Kendati sejak reformasi kepala daerah dipilih secara langsung, penghargaan Adipura tetap menggiurkan. Demi penghargaan itu, walikota Bekasi, Mochtar Mohamad, menyuap panitia penilai dari Kementerian Lingkungan Hidup sehingga Bekasi meraih Adipura tahun 2010. Komisi Pemberantasan Korupsi kemudian menetapkan Mochtar Mohamad sebagai tersangka. Sedangkan Kalpataru adalah penghargaan yang diserahkan kepada perseorangan atau kelompok masyarakat yang dinilai berjasa dalam menjaga dan menyelamatkan lingkungan hidup. Penghargaan ini guna mendorong kepedulian masyarakat untuk memelihara, menyelamatkan, dan meningkatkan kualitas hidup. Kalpataru diambil dari nama pohon yang dikenal oleh masyarakat Jawa Kuna, selain pohon boddhi waringin . Pohon Kalpataru atau kalpawreksa ( kalpa , dari kata sansekerta klp yang berarti ingin, dan taru = wreksa = pohon). Jadi, Kalpataru berarti pohon Keinginan. Kalpataru juga sering disebut pohon surgawi yang tumbuh di surga Dewa Indra. Ada juga yang menghubungkan dengan pohon keinginan dan sebagai lambang “keabadian.” Dan belakangan Kalpataru lebih diartikan sebagai pohon kehidupan. Pohon Kalpataru terpahat dalam relief candi-candi, seperti candi Borobudur yang memiliki 1460 relief. Selain banyak relief kapal layar yang menjadi bukti kejayaan bahari nenek moyang bangsa Indonesia, yang menarik hampir setiap pigura relief-relief itu dihiasi pohon Kalpataru. Menurut Rajasa Mu’tasim dalam “Borobudur: Kearifan Lokal dan Keberagaman yang Damai,” meskipun pohon Kalpataru telah dijadikan lambang penghargaan nasional bagi para aktivis lingkungan hidup sejak menteri lingkungan hidup dipegang oleh Emil Salim dan grup Bimbo telah mendendangkan lewat lagunya Kalpataru, tetapi terasa betul bahwa perilaku bangsa kita terhadap lingkungan sungguh masih menyedihkan. “Budaya mengarungi lautan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup yang telah dikembangkan oleh nenek moyang kini semakin tidak populer,” tulis Rajasa, termuat dalam Reinventing Indonesia .
- Pesepakbola Kulit Hitam Profesional Pertama di Dunia
DUNIA telah mengenal Arthur Wharton sebagai pesepakbola kulit hitam profesional pertama di dunia. Nama pria yang lahir pada 28 Oktober 1865 di Jamestown, Pantai Emas (sekarang Ghana) itu telah ditahbiskan dalam English Football Hall of Fame pada 2003 atas jasanya dalam sepakbola Inggris. Kini, jejaknya dalam sejarah olahraga terpopuler di dunia itu, semakin dikuatkan dengan temuan foto dan dokumen yang rencananya akan dipublikasikan pihak keluarga dalam Antiques Roadshow , acara televisi seputar penelitian benda-benda antik di Inggris. Wharton awalnya datang ke Inggris bukan untuk bermain sepakbola. Ayahnya, seorang misionaris, mengirim Wharton ke Inggris untuk mendalami agama sebagai misionari Metodis. Dia tiba di Cannock, Staffordshire pada 1882. Setibanya di sana, dia mendalami atletik, bahkan memenangkan kejuaraan nasional Asosiasi Atletik Amatir selama dua tahun berturut-turut. Setelahnya, Wharton beralih ke sepakbola. Dia bergabung dengan kub Darlington pada 1885 sebagai pemain amatir. Posisinya sebagai penjaga gawang. Tak lama, Preston North End kepincut dengan talenta Wharton dan merekrutnya. Pada 1889, Wharton meneken kontrak profesional dengan klub Rotherham Town. Ini yang pertama untuk seorang pemain berkulit hitam di dunia. Dia kemudian bergabung dengan Sheffield United pada 1894 dan bermain di First Division, divisi teratas Liga Inggris kala itu. “Ibu saya dan saya menemukan foto-foto Arthur dan kami menelusurinya,” ujar Dorothy Rooney, cicit dari Arthur Wharton dikutip dailymail.co.uk (4/7). “Dia adalah seorang pahlawan olahraga di era Victoria.” Selama karirnya sebagai pesepakbola dari 1885 sampai 1904, Wharton tidak pernah memenangkan satupun trofi. Namun karakternya yang unik dikenang oleh kawan-kawannya, terutama kebiasaannya menangkap bola dengan kaki sambil bergelantungan di tiang gawang. Wharton tak hanya lihai bermain bola, dia atlet serba bisa. Selain atletik, dia juga pemain kriket profesional dan atlet sepeda yang disegani. Pada 1914, dia memutuskan mundur dari dunia olahraga untuk bekerja sebagai penambang di Yorkshire Selatan. Wharton meninggal dalam keadaan miskin pada 13 Desember 1930. Makamnya direnovasi pada 1997 sebagai bagian kampanye antirasisme dalam sepakbola yang dikelola Football Unites, Racism Divides. “Kisah Arthur menjadi penting karena menunjukkan bahwa orang kulit hitam pun sudah terlibat sejak sistem profesionalisme diterapkan di Liga Inggris,” ucap Howard Holmes, ketua kampanye. Setahun setelahnya, Phil Vasili menerbitkan biografi untuk mengenangnya, The First Black Footballer: Arthur Wharton 1865-1930 .*
- Pesawat Delegasi KAA Jatuh di Perairan Natuna
SEBUAH pesawat carteran milik Air India berjenis Lockheed L-7492A jatuh di perairan dangkal dekat kepulauan Natuna Laut Cina Selatan, pada 11 April 1955. Pesawat yang tinggal landas dari Bandara Kai Tak, Hongkong itu sejatinya akan menuju Bandung dalam rangka Konferensi Asia Afrika. Enam belas penumpangnya dilaporkan tewas, sedangkan tiga orang lainnya mengalami luka berat. Kashmir Princess, pesawat carteran milik Air India itu sebelumnya sempat mengisi bahan bakar dan menjalani pemeriksaan rutin usai menempuh perjalanan dari Bombay, India. Pesawat tersebut membawa delegasi Tiongkok, juga wartawan dari berbagai negara, yang akan menghadiri Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Rencananya, pesawat itu pula yang akan mengangkut Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Tiongkok Zhou Enlai. Penumpang yang selamat mengisahkan sekira lima jam perjalanan, pada jam tujuh malam, kru mendengar ledakan. Api berhembus ke arah lubang tangki bahan bakar nomor tiga. Dengan cepat pilot mematikan mesin nomor tiga, menyisakan tiga mesin yang menggerakkan pesawat. Dalam waktu sepuluh menit, situasi memburuk. Penumpang ngeri melihat api mulai melahap sayap pesawat dan membayangkan kematian di depan mata. Asap juga memasuki kabin dan kokpit. Kru sempat mengirimkan sinyal bahaya; memberi tahu posisi mereka di atas Kepulauan Natuna, sebelum radio terputus. Tak ada pilihan bagi pilot kecuali mencoba mendaratkan pesawat di laut. Para kru mengeluarkan jaket pelampung dan membuka pintu darurat. Pesawat menghujam ke laut. Sayap kanan menghantam air terlebih dahulu, merobek pesawat menjadi tiga bagian. Enambelas orang tewas. Tiga orang selamat: Anant Shridhar Karnik, teknisi perawatan pesawar Air India International Cooperation; kapten perwira pertama Dixit; dan navigator penerbangan J.C. Pathak. “Kami jatuh ke dalam air. Ketika saya menyembul ke permukaan, ada api besar di laut. Mr Dixit mengalami patah tulang di bagian leher sementara tangan saya patah. Arus sangat kuat. Kami, entah bagaimana, berenang selama sembilan jam di perairan gelap hingga akhirnya mencapai pantai... Kami akhirnya diselamatkan penduduk setempat, memakai kapal ke Singapura, kemudian dibawa ke Mumbai oleh kapal Angkatan Laut Inggris atas perintah Pandit Nehru,” kenang Karnik seperti dimuat Asian Age , 9 April 2005. Karnik menerbitkan buku tentang insiden ini berjudul Kashmir Princess . Sehari setelah insiden itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengeluarkan pernyataan yang menuding keterlibatan dinas rahasia Amerika Serikat (CIA) dan Chiang Kai-shek. Mereka, sebagaimana dikutip dari Steve Tsang, The Cold War’s Odd Couple , “berencana menyabot pesawat carteran Air India, menjalankan rencana mereka untuk membunuh delegasi kami ke Konferensi Bandung yang dipimpin oleh Perdana Menteri Zhou Enlai, dan untuk menggagalkan Konferensi Bandung.” Chiang Kai-shek adalah pemimpin Koumintang –juga dikenal dengan nama KMT atau Partai Nasionalis Tiongkok– yang berhadapan dengan kubu komunis pimpinan Mao Zedong dalam perang saudara. Mao memenangi perang dan memproklamasikan Republik Rakyat China (RRC) pada 1949 sementara Chiang Kai-shek melarikan diri ke Pulau Formosa atau Taiwan. Pemerintah Indonesia, juga peserta konferensi, terhenyak mendengar kabar kecelakaan itu. Mereka tak ingin konferensi terganggu karena sudah merancangnya jauh-jauh hari; dari usulan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada 1953, Konferensi Kolombo di Sri Lanka pada April 1954, hingga pematangannya dalam Konferensi Bogor pada Desember 1954. Mereka akhirnya bisa bernafas lega ketika tahu Zhou Enlai tak berada dalam pesawat naas itu. Untuk menyelidiki penyebab kecelakaan, pemerintah Indonesia membentuk komisi penyelidikan. Komisi mewawancarai sejumlah saksi mata, mengunjungi lokasi kejadian, melakukan pencarian fakta di Singapura, Jakarta hingga Hong Kong, serta menelisik reruntuhan pesawat.
- Konferensi Panca Negara, Pertemuan Penting di Balik Kesuksesan KAA
KOTA Bogor berbeda dari hari-hari biasanya. Selain banyak bendera memenuhi jalan-jalan di sekitar Kebun Raya, jalan raya di depan Hotel Salak jadi memiliki gerbang. Sejak sore, masyarakat juga berkerumun di sepanjang jalan-jalan utama. Mereka terus menunggu kedatangan iring-iringan yang membawa lima pemimpin negara (termasuk Indonesia) ke Istana Bogor. Di tempat itulah kelima perdana menteri lima negara akan mengikuti Konferensi Panca Negara (KPN) selama dua hari, dari 28-29 Desember 1954. Pada pukul delapan malam, sirene sepeda motor voorijder mengaung-ngaung. “Orang-orang mulai bersorak,” tulis majalah Merdeka , 1 Januari 1955. Iring-iringan kepala pemerintahan lima negara yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kelima kepala pemerintahan itu adalah, Jawaharlal Nehru (India), Mohammad Ali Bogra (Pakistan), U Nu (Birma), dan Sir John Lionel Kotelawala (Seilon/Ceylon/Sri Lanka), serta Ali Sastroamidjojo (Indonesia). Mereka datang atas undangan PM Ali Sastroamidjojo. “Maksud Konperensi tersebut ialah untuk membicarakan persiapan-persiapan terakhir daripada Konperensi Asia-Afrika yang telah disetujui dengan lebih tegas oleh 4 perdana menteri daripada ketika saya mengusulkannya di dalam Konperensi Colombo,” ujar Ali dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku . Ali mengatakan kepada empat perdana menteri yang hadir, Indonesia telah menempuh jalur diplomatik kepada negara-negara yang bakal diundang dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA). Upaya tersebut dilakukan bukan semata karena Indonesia menjadi penggagas KAA, tapi juga lantaran tiap negara yang akan diundang punya politik luar negeri yang berbeda-beda dan punya hubungan dengan negara lain yang tak selalu sama. Sebagaimana diakui Ali, masalah politik luar negeri menjadi pembicaraan paling serius dalam KPN. Salah satu pembicaraan yang paling alot adalah perlu-tidaknya mengundang RRC/Tiongkok ke KAA. Masing-masing perdana menteri berteguh pada pendapatnya, yang tentunya terkait dengan hubungan bilateral negerinya dengan Tiongkok. “Konsensus barulah bisa tercapai ketika Perdana Mentri U Nu menegaskan bahwa akan sukarlah bagi Birma untuk turut serta dalam Konperensi Afro-Asia apabila RRC sebagai negara terbesar di Asia tidak diundang. Karena Asia tanpa RRC akan tidak begitu berarti di dalam arena politik internasional,” kenang Ali. Dalam aspek-aspek persiapan lainnya, para perdana menteri tak banyak bersilang pendapat. Mereka mendukung penuh langkah-langkah yang telah diambil Indonesia. Konferensi juga merumuskan tujuan KAA, yakni: mengusahakan kerjasama antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika, membina hubungan bersahabat antara mereka sebagai tetangga baik; membicarakan soal-soal sosial, ekonomi, dan kebudayaan; kedaulatan nasional, soal-soal rasialisme dan kolonialisme; serta sumbangan apa yang mereka dapat berikan untuk memajukan perdamaian dan kerjasama dunia. KPN berjalan lancar hingga usai di hari kedua. Pada 29 Desember, konferensi mengeluarkan komunike bersama yang terdiri dari delapan butir. Selain menetapkan Bandung sebagai tempat berlangsungnya KAA, butir-butir lainnya antara lain adalah nama negara yang akan diundang ke KAA. Komunike juga menyebutkan KAA tak bertujuan membentuk blok baru di luar dua blok yang ada, kelima perdana menteri KPN mendukung langkah Indonesia atas Irian Barat, dan kekhawatiran mereka terhadap ujicoba senjata nuklir negara adikuasa. “Akhirnya kelima perdana menteri itu menyatakan harapannya pada ambang pintu tahun baru bahwa tahun 1955 akan mengalami kamjuan dalam kerjasama di antara negara-negara itu dan dengan negara-negara lain dan dengan demikian memajukan usaha-usaha ke arah perdamaian,” tulis Majalah Merdeka , 1 Januari 1955.
- Tambora Disangka Letusan Meriam Nyi Roro Kidul
Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, mulai meletus pada 5 April 1815. Lahar menyelimuti permukaan gunung dan bergerak menyapu desa-desa di sekitarnya. Abu vulkanik menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, diikuti hujan abu seminggu kemudian. Kala itu, mereka yang berada di pulau lain hanya bisa bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Laporan dari petugas kolonial di Makassar, Maluku, dan Jawa senada menyebutkan bahwa pada 5 April 1815 terdengar suara tembakan meriam dari seberang lautan, tetapi tak diketahui dari mana asal-usulnya. “Suara itu, pada awalnya disangka suara tembakan meriam, sampai-sampai satu detasemen tentara siap dikirim dari Yogyakarta untuk memeriksa apakah wilayah terdekat sedang diserang. Dan di pantai kapal-kapal langsung disiagakan untuk merespons kemunculan asal suara tersebut,” tulis Raffles dalam The History of Java, Volume 1 . Letusan terkuat Tambora terjadi pada 10 April 1815. Desa-desa di sekitarnya hancur lebur diterjang material-material vulkanik, menghancurkan daerah Sanggar dan memaksa mereka yang selamat untuk mengungsi. Begitu pula yang terjadi di Dempo dan Bima, sebelah timur dari Tambora. Residen-residen di Jawa memberikan laporan efek letusan Tambora di wilayahnya masing-masing kepada Thomas Stamford Raffles selaku letnan gubernur Inggris di Batavia. Surat-surat tersebut, sebagaimana terlampir dalam Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles, Volume 1 , senada menyebutkan bagaimana gelapnya hari-hari setelah letusan 10 April 1815 itu, akibat cahaya matahari tertutup material vulkanik yang beterbangan di langit Jawa dan sekitarnya. Residen Gresik bahkan mencatat bagaimana penduduk lokal menganggap letusan Tambora sebagai pertanda aktivitas supranatural: “Orang-orang lokal mengaitkannya dengan kisah legenda, yang mengatakan bahwa Nyai Loroh Kidul tengah menikahkan salah satu anaknya, ditandai dengan tembakan salut dari artileri supranatural miliknya. Mereka melihat abu-abu vulkanik yang beterbangan di udara merupakan ampas bubuk mesiu meriam milik Nyai Loroh Kidul.” Satu lagi laporan yang komprehensif datang dari Letnan Owen Philips, utusan Raffles yang ditugaskan untuk menginspeksi efek dari letusan Tambora terhadap masyarakat lokal Sanggar, Dempo, dan Bima, sekaligus memberikan bantuan logistik. Menurut laporannya, pemandangan di sana amat mengerikan. Mayat-mayat masih tergeletak di jalan-jalan. “Mereka juga terkena penyakit diare yang disebabkan karena meminum air yang telah tercampur abu vulkanik. Kuda-kuda mereka juga mati, dalam jumlah yang besar, dikarenakan hal yang sama,” lapor Philips sebagaimana termuat dalam History of Java Volume 1 . Owen berhasil menemui Raja Sanggar dan keluarganya yang merupakan saksi hidup letusan. Dia menceritakan dengan mendetail detik-detik terjadinya letusan Tambora, yang kemudian Philips laporkan kepada Raffles di Batavia. Diperkirakan 11.000 orang tewas terkena efek langsung letusan Tambora, menyusul 49.000 lainnya karena bencana kelaparan di Sumbawa, Lombok dan Bali. Efek Tambora juga mempengaruhi pertanian di seluruh dunia. Setahun setelah letusan Tambora, negeri-negeri belahan utara mengalami anomali cuaca hebat; yakni sebuah tahun tanpa musim panas (The Year Without Summer).
- Gunung Tambora Meletus dalam Naskah Kuno
Beberapa naskah kuno menyebutkan Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meletus lantaran Abdul Gafur, raja kerajaan Tambora, melakukan kelalaian. Dia memerintahkan pembunuhan seorang warga keturunan Arab dengan alasan telah menghina kerajaan. Dalam Syair Kerajaan Bima karya Khatib Lukman, sebagaimana termuat dalam Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah karya Henri Chambert-Loir, orang yang dibunuh itu bernama Haji Mustafa. Syair yang ditulis sekitar tahun 1830 itu mengisahkan tentang Haji Mustafa yang segala permintaannya selalu dikabulkan Allah karena dirinya pernah mengunjungi Baitullah. Penduduk setempat meyakininya sebagai orang keramat. Cerita musabab letusan Tambora pun hadir dalam Asal Mulanya Meletus Gunung Tambora karya Roorda van Eysinga, terbitan 1841, yang disusun berdasarkan kisah perjalanan C.G.C Reinwardt dan H. Zollinger. Keduanya mendapatkan gambaran tentang bencana Tambora dari Ismail, Raja Bima 1819-1854. Menurut cerita ini, seorang Arab dari Bengkulu bernama Said Idrus singgah di Kerajaan Tambora untuk berniaga. Ketika pergi ke mesjid, dia melihat ada seekor anjing di sana. Lalu disuruhnya penjaga mesjid untuk mengusirnya. Si penjaga berkata bahwa raja adalah empunya anjing itu. Said Idrus menjawab, “Siapa yang memasukan anjing di dalam mesjid, orang kafir itu.” Merasa tak punya kuasa, pergilah sang penjaga anjing itu menghadap raja. Raja tak terima disebut kafir, lalu memerintahkan orang untuk membunuh Said Idrus. Akibatnya, Allah murka atas ulah raja. Meletuslah Tambora. Api menyala dari pusat letusannya, mengejar para pembunuh di kota, hutan hingga ke laut yang juga ikut menyala. Lalu turun hujan abu. Kala itu langit gelap gulita, abu dan api berkuasa. Mulai 11 April 1815, selama tiga hari dua malam Tambora meletus bergemuruh tiada henti. Catatan dari Kerajaan Bima, Bo ’ Sangaji Kai , menyebutkan akibat letusan Tambora, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Papekat lenyap dari muka bumi. Kedua kerjaan itu dibanjiri lahar, ditimbun batu dan pasir. Letusan Tambora pun menyebabkan terjadinya tsunami. Kerajaan lain di Sumbawa, yakni Kerajaan Dompo, Sanggar, Sumbawa, dan Bima juga mengalami duka. Menurut Adrian B. Lapian dalam “Bencana Alam dan Penulisan Sejarah” termuat pada Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis , diperkirakan Pulau Sumbawa kehilangan 85.000 warganya yang tewas karena letusan, wabah penyakit, kelaparan, serta meninggalkan Sumbawa untuk pergi ke pulau lain. Syair karya Khatib Lukman pun menceritakan malapetaka letusan Tambora berakhir karena orang sembahyang dan meminta ampun pada Allah. Tetapi kemelaratan, kelaparan dan wabah penyakit tidak bisa dihindarkan. Banyak orang meninggal tergeletak di jalan, tak dikubur dan tak disembahyangkan. Kedatangan para pedagang dari pulau sekitar Sumbawa dan Maluku serta pedagang Arab, Tionghoa dan Belanda, kemudian menyelamatkan Bima. Mereka membawa beras, gula, sagu, jagung, dan kacang kedelai yang dapat dibarter dengan piring mangkok, kain tenunan, senjata, barang emas dan perak, sereh, gambir, serta budak. * Tulisan ini direvisi pada 14 April 2022 .






















