top of page

Sejarah Indonesia

Konferensi Panca Negara Pertemuan Penting Di Balik Kesuksesan

Konferensi Panca Negara, Pertemuan Penting di Balik Kesuksesan KAA

Terdorong keinginan segera mewujudkan KAA, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundang lima  perdana menteri ke Bogor. Sempat berdebat mengenai kehadiran Tiongkok.

19 April 2015

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Konferensi Panca Negara di Bogor, 1954. Kiri-kanan: U Nu (Burma), Mohammad Ali Bogra (Pakistan), Ali Sastroamidjojo (Indonesia), Sir John Lionel Kotelawala (Seilon/Ceylon/Sri Lanka), dan Jawaharlal Nehru (India).

KOTA Bogor berbeda dari hari-hari biasanya. Selain banyak bendera memenuhi jalan-jalan di sekitar Kebun Raya, jalan raya di depan Hotel Salak jadi memiliki gerbang. Sejak sore, masyarakat juga berkerumun di sepanjang jalan-jalan utama. 


Mereka terus menunggu kedatangan iring-iringan yang membawa lima pemimpin negara (termasuk Indonesia) ke Istana Bogor. Di tempat itulah kelima perdana menteri lima negara akan mengikuti Konferensi Panca Negara (KPN) selama dua hari, dari 28-29 Desember 1954.


Pada pukul delapan malam, sirene sepeda motor voorijder mengaung-ngaung. “Orang-orang mulai bersorak,” tulis majalah Merdeka, 1 Januari 1955. Iring-iringan kepala pemerintahan lima negara yang ditunggu-tunggu pun tiba.


Kelima kepala pemerintahan itu adalah, Jawaharlal Nehru (India), Mohammad Ali Bogra (Pakistan), U Nu (Birma),  dan Sir John Lionel Kotelawala (Seilon/Ceylon/Sri Lanka), serta Ali Sastroamidjojo (Indonesia).


Mereka datang atas undangan PM Ali Sastroamidjojo. “Maksud Konperensi tersebut ialah untuk membicarakan persiapan-persiapan terakhir daripada Konperensi Asia-Afrika yang telah disetujui dengan lebih tegas oleh 4 perdana menteri daripada ketika saya mengusulkannya di dalam Konperensi Colombo,” ujar Ali dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.


Ali mengatakan kepada empat perdana menteri yang hadir, Indonesia telah menempuh jalur diplomatik kepada negara-negara yang bakal diundang dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA). Upaya tersebut dilakukan bukan semata karena Indonesia menjadi penggagas KAA, tapi juga lantaran tiap negara yang akan diundang punya politik luar negeri yang berbeda-beda dan punya hubungan dengan negara lain yang tak selalu sama.


Sebagaimana diakui Ali, masalah politik luar negeri menjadi pembicaraan paling serius dalam KPN. Salah satu pembicaraan yang paling alot adalah perlu-tidaknya mengundang RRC/Tiongkok ke KAA. Masing-masing perdana menteri berteguh pada pendapatnya, yang tentunya terkait dengan hubungan bilateral negerinya dengan Tiongkok.


“Konsensus barulah bisa tercapai ketika Perdana Mentri U Nu menegaskan bahwa akan sukarlah bagi Birma untuk turut serta dalam Konperensi Afro-Asia apabila RRC sebagai negara terbesar di Asia tidak diundang. Karena Asia tanpa RRC akan tidak begitu berarti di dalam arena politik internasional,” kenang Ali.


Dalam aspek-aspek persiapan lainnya, para perdana menteri tak banyak bersilang pendapat. Mereka mendukung penuh langkah-langkah yang telah diambil Indonesia. Konferensi juga merumuskan tujuan KAA, yakni: mengusahakan kerjasama antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika, membina hubungan bersahabat antara mereka sebagai tetangga baik; membicarakan soal-soal sosial, ekonomi, dan kebudayaan; kedaulatan nasional, soal-soal rasialisme dan kolonialisme; serta sumbangan apa yang mereka dapat berikan untuk memajukan perdamaian dan kerjasama dunia.


KPN berjalan lancar hingga usai di hari kedua. Pada 29 Desember, konferensi mengeluarkan komunike bersama yang terdiri dari delapan butir. Selain menetapkan Bandung sebagai tempat berlangsungnya KAA, butir-butir lainnya antara lain adalah nama negara yang akan diundang ke KAA. Komunike juga menyebutkan KAA tak bertujuan membentuk blok baru di luar dua blok yang ada, kelima perdana menteri KPN mendukung langkah Indonesia atas Irian Barat, dan kekhawatiran mereka terhadap ujicoba senjata nuklir negara adikuasa.


“Akhirnya kelima perdana menteri itu menyatakan harapannya pada ambang pintu tahun baru bahwa tahun 1955 akan mengalami kamjuan dalam kerjasama di antara negara-negara itu dan dengan negara-negara lain dan dengan demikian memajukan usaha-usaha ke arah perdamaian,” tulis Majalah Merdeka, 1 Januari 1955.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
NU Seteru Orde Baru

NU Seteru Orde Baru

Nahdlatul Ulama berperan dalam lahirnya Orde Baru. Namun, NU melawan rezim militer itu karena menganggap Islam sebagai kekuatan yang membahayakan bagi kekuasaan.
Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Setelah menumpas PKI, rezim Orde Baru kemudian menghabisi PNI dan NU. Dengan begitu Soeharto dapat berkuasa selama tiga dekade.
Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

HR Rasuna Said turut berguru pada Rahmah El Yunusiyah. Universitas Al-Azhar di Kairo terinspirasi membuka kampus khusus perempuan darinya.
Melatih Andjing NICA

Melatih Andjing NICA

Martin Goede melatih para mantan interniran Belanda di kamp. Pasukannya berkembang jadi andalan Belanda dalam melawan pejuang Indonesia.
Dasar NU Mendukung Bung Karno

Dasar NU Mendukung Bung Karno

Nahdlatul Ulama mendukung Presiden Sukarno atas dasar kepentingan bersama. Tidak semua pemimpin NU suka dengan Sukarno.
bottom of page