Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Perempuan Amerika yang Memecahkan Sandi Jepang
PERTUKARAN informasi menggunakan kode atau sandi sudah menjadi hal umum dalam menyampaikan pesan sensitif dan rahasia. Oleh karena itu, Jepang beralih dari kode yang rumit ke mesin sandi untuk lalu lintas pesan diplomatik. Pada 1930-an, Jepang membeli mesin sandi Kryha dan Enigma untuk diteliti dan dimodifikasi. Jepang berhasil mengembangkan dua mesin sandi, yakni Angooki Taipu A atau Mesin Sandi Tipe A yang disebut Red Machine oleh Amerika Serikat, dan Angooki Taipu B atau Mesin Sandi Tipe B yang dikenal sebagai Purple Machine.
- CIA Incar Jenggot Fidel Castro
CENTRAL Intelligence Agency (CIA) selalu punya rencana kreatif untuk menghabisi pemimpin negara lain yang kontra terhadap Amerika Serikat. Salah satunya ditujukan untuk menggulingkan pemimpin Kuba Fidel Castro. Untuk menyukseskan rencana itu, pada awal tahun 1960 CIA menjalankan misi rahasia bernama Operasi Musang. Operasi bertujuan membunuh Fidel Castro atau paling tidak mempermalukannya di hadapan pendukungnya. Bermacam alat pendukung pun diciptakan untuk melancarkan jalannya operasi tersebut.
- Tat-Tit-Tut, Ding-Dong, Sejarah Video Game
COLORADO, Amerika Serikat, 20 April 1999. Eric David Harris dan Dyland Klebold, pemuda berusia 18 tahun, menembaki teman dan guru sekolahnya di SMA Colombine. 12 murid dan seorang guru tewas. 24 orang lainnya luka-luka. Inilah pembunuhan tersadis sepanjang SMA Colombine berdiri. Orang kemudian mencari tahu bagaimana mungkin anak seusia mereka bisa bertindak brutal?
- Gesang Telah Terbang
BENGAWAN Solo akan tetap sebagai sungai apabila Gesang tidak menuangkannya menjadi syair lagu nan syahdu. Semuanya bermula saat musim kemarau di tahun 1940, saat Gesang muda duduk di tepian sungai menatap Bengawan Solo yang surut. Ia pun mulai mengungkai kata demi kata, merangkainya menjadi syair pada secarik kertas pembungkus rokok. Enam bulan kemudian, Gesang menjuduli tembang barunya itu Bengawan Solo . Sejarah pun terukir.
- Ada Jepang di Belakang PKS
BEBERAPA bulan setelah menduduki Jawa, balatentara Jepang membutuhkan banyak dukungan logistik, tak terkecuali sayuran. Untuk keperluan itulah Jepang mendirikan Pertaroehan dan Keloearan Sajoeran-sajoeran (Penyimpanan dan Distribusi Sayur-sayuran, red. ) pada pengujung 1942 di Lembang, Bandung. Suratkabar Tjahaja menyingkatnya menjadi PKS. Organisasi yang mengatur hasil pertanian itu langsung di bawah pengawasan bagian pertanian balatentara Dai Nippon di Jawa.
- Di Balik Sejarah Kutang
JEJAK pemakaian kutang/bra dimulai sejak abad ke-3 ketika para perempuan Romawi membebatkan semacam perban untuk membungkus dada mereka saat berolahraga.
- Sisi Lain Dinasti Agnelli
DI Eropa, Agnelli adalah nama besar. Sebuah dinasti. Perintisnya Giovanni Agnelli Sr., seorang pensiunan tentara yang banting stir jadi pebisnis otomotif.
- Romusha di Seberang Lautan
BANJARNEGARA, Jawa Tengah, 1943. Karja Wiredja meninggalkan desanya, Madukara. Bersama ribuan romusha lainnya, Karja menjadi tenaga kerja kasar di Thailand. Di sana dia menjadi mandor pada proyek pembangunan jalan kereta api Nong Pla Duk (Thailand)-Thanbyuzayet (Burma, kini Myanmar) sepanjang 415 km. Untuk hasil kerjanya, Karja mendapat dua sen per hari.
- Dari BBS hingga Facebook
JIKA saja salah satu badai salju terbesar tak terjadi di Chicago pada Januari 1978, mungkin saat ini kita belum bisa berasyik-asyik mengomentari status terbaru dari teman di salah satu situs jejaring sosial.
- Guru Besar Itu Bernama Mamdani
IBARAT butterfly effect , kemenangan Zohran Kwame Mamdani di Pemilihan Walikota New York 2025 berimbas lintas benua dari Amerika Serikat ke Asia. Indonesia bahkan masyarakatnya via aneka platform media sosial mensyukuri kemenangannya di tengah gencarnya Islamofobia, diskriminasi, dan rasisme yang kembali terjadi. Zohran sebagai calon walikota dengan latar belakang minoritas bisa unggul dari dua lawannya yang di- endorse penguasa dan oligarki. Dengan program-programnya yang “sosialis” dan merakyat dan cara-caranya yang unik ketika menghadapi black campaign yang berbau Islamofobia dari lawan-lawannya, Zohran menuai suksesnya. Pada pemilihan walikota di kota keuangan di Amerika pada Rabu (4/11/2025), hasilnya Zohran mendapatkan 1.036.051 suara (50,4 persen), membawahkan Andrew Cuomo sebagai calon independen (dengan 854.995 suara atau 41,6 persen) dan Curtis Sliwa dari Partai Republik (146.137 suara atau 7,1 persen). Maka jadilah Zohran walikota New York terpilih. Ia akan dilantik pada 1 Januari 2026. Zohran menjadi walikota New York pertama keturunan India dan beragama Islam. Di usia 34 tahun, ia juga tercatat jadi walikota New York termuda kedua setelah Hugh John Grant –juga dari Partai Demokrat– pada 1889-1892 yang kala itu berusia 30 tahun. Pada pidato kemenangannya, Zohran berterima kasih atas dukungan keluarganya. Juga kepada Rama Duwaji, seorang aktivis dan sineas animasi keturunan Suriah, lalu kepada warga New York terutama –keturunan imigran Amerika Selatan, Afrika, Arab, dan Asia Barat yang notabene warga kelas pekerja dari sopir taksi, koki hingga perawat– atas kepercayaan mereka. “Seperti yang biasa kami katakan di (Jalan) Steinway, ana minkum wa ilaykum (aku untukmu dan hanya untukmu). Berdiri di hadapan kalian, saya memikirkan kata-kata Jawaharlal Nehru: ‘Sebuah momen yang jarang terjadi dalam sejarah datang ketika kita melangkah dari masa lalu ke masa depan, ketika sebuah era berakhir, dan ketika jiwa dari sebuah negeri yang telah lama tertindas menemukan suaranya,” seru Zohran Mamdani dalam penggalan pidatonya, dilansir The Guardian , Kamis (5/11/2025). Ayah Zohran dan Pemikirannya soal Afrika Pasca-Kolonialisme Zohran Kwame Mamdani lahir di Kampala, Uganda pada 18 Oktober 1991. Ia lahir sebagai anak tunggal pasangan suami-istri India, Mira Nair –yang seorang Hindu Punjab– dan Mahmood Mamdani– seorang muslim Gujarat. Nama tengahnya, Kwame, diambil dari tokoh Ghana yang dikagumi ayahnya, Kwame Nkrumah. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Mira seorang sineas sebagaimana Rama, istri Zohran. Sedangkan Mahmood Mamdani seorang akademisi, sejarawan, dan antropolog dengan bidang studi Afrikana, sebagaimana juga putranya yang sarjana bidang studi serupa. Bedanya Zohran kemudian memilih jalan sebagai aktivis dan politikus, sementara Prof. Mahmood Mamdani tetap di jalan akademik sebagai guru besar besar di Departemen Antropologi, Columbia University. “Mahmood Mamdani seorang akademisi Afrika terkemuka yang karya-karyanya sangat berpengaruh terhadap sejumlah studi akademik. Ia berkewarganegaraan Uganda berdarah India. Lahir di Mumbai, India pada (23 April) 1946 namun dibesarkan dan sekolah di Uganda,” tulis Meike de Goede dalam An Analysis of Mahmood Mamdani’s Citizen and Subject. Mamdani dibesarkan di Uganda sebagai anak diaspora India, di masa Uganda masih “dibekap” segregasi rasial. Namun ia cukup beruntung bisa sekolah tinggi karena jadi salah satu dari 23 siswa Uganda penerima beasiswa program “Kennedy Airlift” pada 1963, untuk kemudian makan bangku kuliah di Program Studi (Prodi) Ilmu Politik di University of Pittsburgh. Sedangkan gelar masternya diperoleh setelah kuliah lagi di Tufts University pada 1968. Mamdani sempat balik ke Uganda pada 1972 dan mengajar sebagai asisten dosen di Makerere University, sembari mencari bahan penelitian untuk program doktoralnya. Sialnya baru beberapa bulan, ia dan para diaspora India lainnya diusir oleh diktator Uganda, Idi Amin. Dekrit itu datang tepatnya pada 4 Agustus 1972, di mana Idi Amin memberikan waktu sampai 90 hari agar diaspora India, Pakistan, dan Bangladesh untuk angkat kaki karena dianggap mensabotase ekonomi Uganda dan menyebarkan korupsi. Inggris dituntut Idi Amin untuk bertanggungjawab, mengingat mereka pula yang membawa para pendatang itu ke Uganda. Maka ke Inggris pula Mamdani dan sekitar 23 ribu orang India mengungsi ke kamp pengungsian di Kensington, Inggris. Setidaknya sebagai akademisi, Mamdani bisa “balik” ke Afrika, tepatnya ke Tanzania untuk mengajar di University of Dar es Salaam, sembari menyusun disertasinya. Ia lantas memperdalam lagi studi kolonialisme, anti-kolonialisme, dan dekolonisasi hingga akhirnya mendapat gelar PhD di Harvard University pada 1974 lewat disertasinya, Politics and Class Formation in Uganda , di bawah bimbingan langsung Prof. Karl Deutsch. Mamdani baru benar-benar kembali ke Uganda pada 1986 setelah pemerintahan Presiden Milton Obote berakhir. Sejak saat itu Mamdani tidak hanya mengajar namun juga melahirkan banyak karya untuk menuangkan pemikirannya tentang situasi dan aneka konflik di Afrika pasca-kolonialisme. Dari beberapa karyanya, nama Mamdani melejit jadi akademisi antropologi yang diperhitungkan dunia lewat buku Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism (1996). Sederhananya, Mamdani menganalisa mengapa banyak negara-negara Afrika terbilang gagal dalam pemerintahannya hingga menimbulkan banyak konflik dan perang saudara lewat kacamata historis dan warisan kolonialisme. “Mamdani juga menganalisa banyak argumen tentang sumber masalah-masalahnya, menarik implikasi-implikasi dan asumsi-asumsi tersembunyi untuk memuluskan visi barunya yang kreatif tentang bagaimana mengatasi halangan-halangan demokratisasi di Afrika. Lewat analisisnya yang padat dan brilian tentang warisan alami kolonialisme di Afrika, karya Mamdani itu masih jadi referensi berpengaruh sampai hari ini,” sambung De Goede. Dalam Citizen and Subject , Mamdani menggali analisis dengan studi-studi lapangan di Uganda hingga Afrika Selatan. Bahwa kegagalan demokratisasi di negara-negara Afrika bukan semata karena ketidakmampuan orang-orang Afrika dalam memerintah secara fundamental namun juga sangat dipengaruhi akar-akar kolonialisme dari masa lalu. Di salah satu identifikasinya, Mamdani menguak problem utamanya adalah terputusnya kehidupan masyarakat urban dan pedalaman, hasil dari warisan kolonial yang punya kebijakan yang berbeda di dua area itu: pemerintahan kolonial dengan hukum modern di area-area urban, sementara di area-area pedalaman kolonial seperti butuh perantara otoritas tradisional dan hukum-hukum adat sesuai adat-istiadatnya masing-masing. Menjadi menarik karena Mamdani juga sedikit-banyak kembali membahas soal hukum adat dalam karyanya yang lain, Define and Rule: Native as Political Identity (2012). Dalam bukunya itu, sedikit banyak ia mengambil contoh tentang mulanya hukum adat di Indonesia pada era kolonial Hindia Belanda. Mamdani menganalisa karya orientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, The Achehnese (1906) dan menganalisa “jasa” antropolog Cornelis van Vollehoven yang merumuskan hukum adat lewat semacam kitab kecil hukum adat, Het adatrecht van Nederlandsch-Indië (1918). Hal itu turut ditiru di koloni-koloni Prancis di Afrika Utara. “Snouck Hurgronje pada 1931 juga pernah menyampaikan saran kepada pemerintah Prancis tentang menyalurkan hukum adat masyarakat Berber. Sementara di Indonesia, di Vollenhoven menyelesaikan apa yang diawali Hurgronje, begitu juga (sosiolog) Jacques Berque yang pada akhirnya menyelesaikan implementasi hukum adat Berber di Maroko,” tulis Mamdani dalam bukunya itu. “Hurgonje melihat pengaruh historis eksternal dan menengok ke belakang sejauh mungkin untuk melihat sejarah untuk memisahkan (pengaruh) eksternal dan internal atas nama mendefinisikan, memulihkan, dan melestarikan tradisi. Pada akhirnya, pemerintahan Hindia (Belanda) dijalankan melalui hukum terpisah bagi orang-orang Eropa, Timur Asing, dan pribumi; sistem yang terus diterapkan sampai Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945.”*
- Dimusuhi PKI, PRD Ikut Murba
PARTAI Rakjat Djelata (PRD) yang diketuai oleh St. Dawanis kian aktif di panggung politik nasional. Setelah sempat berseteru dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) soal tuduhan adanya “pihak musuh yang hendak mengacaukan dan membingungkan rakyat”, partai yang sekretaris jenderalnya dijabat oleh Pandu Kartawiguna itu menggabungkan diri ke dalam Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka.
- Mamdani di Persimpangan Kiri Jalan
WALIKOTA terpilih New York, Zohran Mamdani, bakal menyambangi Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Gedung Putih, Washington DC. Pertemuan keduanya dijadwalkan hari ini, Jumat (21/11/2025) waktu setempat. Agendanya dikonfirmasi langsung oleh Presiden Trump. “Walikota komunis New York, Zohran ‘Kwame’ Mamdani, sudah meminta sebuah pertemuan. Kami telah menyetujui pertemuannya akan berlangsung di Oval Office (kantor kepresidenan) pada Jumat, 21 November. Detail lebih jauh akan disampaikan selanjutnya!,” ungkapnya di laman media sosial Truth-nya, @realDonaldTrump , Kamis (20/11/2025). Itu bukan kali pertama Trump melabeli Mamdani sebagai komunis. Pada 5 November 2025 atau sehari pasca-pemilihan walikota New York 2025 yang dimenangi Mamdani yang disokong Partai Demokrat, Trump menyatakan kota Miami di Florida akan jadi tempat pelarian orang-orang komunis di kota New York. Meski sebelumnya diserbu propaganda berbau Islamofobia oleh lawan-lawan politiknya dan kini dicap komunis, Mamdani tetap jadi harapan baru bagi mayoritas warga kota berjuluk “Big Apple” tersebut. Bahkan pada pidato kemenangannya pada hari yang sama, 5 November 2025, Mamdani dengan berani dan lantang menantang Trump. “Ini bukan semata soal bagaimana kita menghentikan Trump; ini soal bagaimana kita menghentikan (Trump) berikutnya. Jadi, Donald Trump, karena saya tahu Anda menyaksikan, saya punya empat kata untuk Anda: Naikkan volume suaranya...kami akan mengakhiri budaya korupsi yang membolehkan miliuner seperti Trump menghindari pajak dan mengeksploitasi pengurangan pajak. Kami akan berdiri bersama serikat-serikat dan memperluas perlindungan para pekerja. Jadi dengarlah, Presiden Trump, ketika saya mengatakan ini: untuk bisa menghadapi salah satu dari kami, Anda harus menghadapi kami semua,” seru Mamdani. Sejatinya, sosok kelahiran Kampala, Uganda, 18 Oktober 1991 itu menolak disebut komunis. Meski sama-sama di “kiri jalan”, Mamdani lebih mendeskripsikan dirinya sebagai sosialis demokrat. Oleh karenanya ia punya segudang kritik terhadap oligarki dan kapitalisme. “Pada akhirnya, mengapa saya menyebut diri saya seorang sosialis demokrat adalah karena kata-kata Dr. King (aktivis HAM Martin Luther King Jr., red. ) beberapa dekade lalu. Ia mengatakan, sebutlah demokrasi atau sebutlah sosialisme demokratis. Masih ada pemerataan kemakmuran yang lebih baik bagi semua anak-anak Tuhan di negeri ini,” kata Mamdani ketika diwawancara penyiar CNN , Erin Burnett, 26 Juni 2025 lalu. Meski begitu, Zohran Mamdani tidak fanatik buta pada pandangan-pandangan kiri. Ia tetap berusaha merelevansikan filosofi-filosofinya untuk menjaring banyak keresahan warga New York, utamanya mereka yang berasal dari golongan kelas pekerja. Ayahnya yang guru besar antropologi, Prof. Mahmood Mamdani, pun demikian meski di masa mudanya pada 1960-an Mahmood pernah ikut-ikutan protes anti-diskriminasi bersama para aktivis Student Nonviolent Coordinating Comittee (SNCC). Mahmood jelas mempelajari sosok Karl Marx, si “Bapak Komunisme Modern”, berkat biro investigasi federal Amerika FBI. Prof. Mahmood Mamdani, ayah dari Zohran Kwame Mamdani ( unisa.ac.za ) Mahmood Membaca Karl Marx Suatu hari di Pittsburgh medio 1965, Mahmood muda bersama seorang rekan mahasiswa begitu terkesan ketika tak sengaja mendengar pidato dan membaca pamflet yang disebarkan serikat pelajar dan SNCC dekat kampusnya, University of Pittsburgh. Kebetulan hari itu rombongan aktivis SNCC hendak berangkat dengan bus ke Montgomery, Alabama dalam rangka perjuangan solidaritas anti-segregasi dan anti-diskriminasi. Tanpa ragu, Mahmood yang belum paham sepenuhnya justru tertarik untuk ikut. Ia baru memperdalam inti-inti perjuangan SNCC dalam perjalanan di dalam bus menuju Montgomery. Ia bahkan sukses sampai ke Montgomery dan sempat mendengarkan pidato Martin Luther King. Akan tetapi setelahnya ketika mereka hendak long march ke pusat kota, mereka dihadang barisan polisi berkuda dan banyak yang ditangkapi, termasuk Mahmood. Di penjara, para aktivis setidaknya diizinkan sekali melakukan panggilan telefon. Mahmood memilih mengontak Duta Besar Uganda untuk Amerika Serikat, Olcott Hawthorne Deming, mengingat ia masih warga negara Uganda yang tengah kuliah di Amerika. “Buat apa Anda ikut campur urusan dalam negeri di negara asing?” ketus sang dubes di ujung telefon. “Ini bukan urusan negeri asing semata. Apa Anda lupa bahwa kita juga baru meraih kemerdekaan beberapa tahun lalu? Ini perjuangan yang sama, demi kebebasan,” jawab Mahmood. Begitu setidaknya yang diingat Mahmood dan ia tuangkan dalam salah satu bukunya, Slow Poison: Idi Amin, Yoweri Museveni, and the Making of the Ugandan State. Meski sang dubes jengkel, setidaknya malam itu juga Mahmood dibebaskan. Namun masalah tak berhenti sampai di situ. Dua bulan pasca-dibebaskan dan kembali ke Pittsburgh, dua agen FBI menyatroni kediamannya. Apa yang sering dilihatnya di film-film terjadi di hadapannya: agen FBI mengenakan mantel menunjukkan lencananya pada Mahmood. Setelah pertanyaan-pertanyaan basa-basi, tetiba saja ditanyakan perihal sosok Karl Marx. “Bagaimana menurut Anda tentang Marx?” tanya seorang agen FBI. “Saya belum pernah bertemu dengannya,” jawab Mahmood. “Dia sudah mati,” lanjut sang agen FBI. “Saya turut belasungkawa, apa yang menyebabkannya meninggal?” Mahmood bertanya balik. “Bukan, maksudnya dia sudah lama matinya,” timpal agen FBI. “Lalu kenapa Anda menanyakannya pada saya?” cetus Mahmood lagi. “Marx percaya bahwa kekayaan orang-orang kaya harus diambiol dan dibagikan kepada orang-orang miskin,” terang dua agen FBI. “Kedengarannya itu ide yang bagus,” celetuk Mahmood. Yang terjadi adalah suasana canggung. Karena meskipun pernah punya catatan dipenjara akibat ikut unjuk rasa bersama SNCC, mahasiwa asing asal Uganda berdarah India itu bukan mahasiswa apalagi aktivis komunis. Mahmood justru pertamakali mengenalnya dari dua agen FBI itu. “Setelah perbincangan itu, mereka pergi. Itu bukan akhir cerita. Setelahnya saya ke perpustakaan dan mencari (karya-karya) Marx. Kemudian saya jadi terkenang: FBI memperkenalkan saya pada Karl Marx! Itu di tahun 1965. Itu menjadi pintu masuk saya untuk lebih mengenal gerakan HAM,” tandasnya.*






















