top of page

Hasil pencarian

9600 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Murba Bangkit Lagi Gagal Lagi

    PAGI, 28 Mei 1998, Forum Komunikasi Murba (FKM) menggelar konferensi pers di Gedung Joeang 45 Menteng 31 Jakarta Pusat. Nelly, istri Adam Malik, selaku penasihat FKM yang membuka pertemuan menyebutkan soal rencana menghidupkan kembali Partai Murba, yang kemudian menyebut dirinya Partai Musyawarah Rakyat Banyak.

  • Misi Murba dalam PDI

    SEBAGAI respons atas gagasan Presiden Soeharto mengenai pengelompokan partai-partai politik yang mengarah pada penyederhanaan kepartaian, pada 9 Maret 1970 lima pemimpin partai politik yang tergabung dalam kelompok Demokrasi Pembangunan mengadakan pertemuan di Gedung MPRS Jalan Teuku Umar, Jakarta.

  • Mimpi Ibukota di Tengah Rimba Raya

    17 JULI 1957. Diiringi sejumlah perahu, Presiden Sukarno mengarungi Sungai Kahayan. Sepanjang perjalanan, orang-orang kampung keluar untuk menyambut dan memekikkan “Merdeka!” Setelah berjam-jam, rombongan presiden pun sampai tujuan, desa Pahandut.

  • Menjelaskan Kontroversi-Kontroversi Bung Karno

    SELAMA hampir 60 tahun telah terjadi rekayasa sejarah terhadap Sukarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama. Rekayasa itu menimbulkan kontroversi sejarah. Ada kontroversi ringan yang dapat dijelaskan dengan mudah misalnya tentang kota kelahiran Bung Karno. Termasuk peristiwa yang didukung oleh sebuah dokumen namun diragukan kesahihannya misalnya harta Sukarno di Amerika Serikat atau Swiss. Disebut kontroversi berat bila rekayasa itu berlangsung sangat lama sampai puluhan tahun seperti kelahiran Pancasila atau memang sulit mengatasinya melalui aturan perundang-undangan seperti TAP no XXXIII MPRS/1967.

  • Jatuh Bangun Negeri Beruang Merah

    DESEMBER adalah bulan penting dalam sejarah Rusia. Pada Desember 1922, Union of Soviet Socialist Republics   (USSR) atau dikenal dengan Uni Soviet didirikan sebagai negara konfederasi yang kemudian beranggotakan 15 republik. Pada bulan yang sama, 69 tahun kemudian, Uni Soviet yang kala itu negara terbesar di dunia bubar.

  • Ibukota Tetap di Jakarta

    PRESIDEN Joko Widodo tampaknya serius dengan rencana memindahkan ibukota negara. Bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah melakukan kajian teknis. Kepada media, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bambang Brodjonegoro bilang hasil kajian ditargetkan selesai tahun 2018.

  • Ibukota dalam Konstitusi

    KONSTITUSI punya andil dalam mencuatnya wacana pemindahan ibukota. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak mencantumkan secara definitif kedudukan ibukota negara. Pasal 2 ayat 2, yang mencantumkan kata “ibukota”, hanya menyebut: Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Klausul itu bukan tanpa perdebatan, bahkan harus diputuskan melalui pemungutan suara.

  • Skandal Senjata Era Soeharto

    PEPERANGAN yang terjadi di berbagai belahan dunia kerap mengundang pihak-pihak yang "bermain" dalam perdagangan senjata ilegal. Hal ini pernah terjadi dalam perang saudara di Nigeria (1967-1970) yang melibatkan seorang perwira Angkatan Darat Indonesia bernama Mayjen TNI Hartono Wirjodiprodjo.

  • Aksi Poncke Princen di Hardjasari

    GEDUNG tua itu terlihat sangat suram. Warnanya yang kelabu semakin seram dengan kehadiran ilalang dan pepohonan liar di halamannya. Sarang laba-laba memenuhi setiap sudut gedung yang terletak di selatan Cianjur itu, hanya sekira 1 km dari Stasiun Lampegan.

  • Ulah Pasukan Poncke Princen di Sukaraja

    SAAT Jawa Barat masih jadi daerah pendudukan tentara Belanda, pada Senin malam (4 April mejelang 5 April 1949), pos polisi Sukaradja yang terletak di jalan utama menuju Cianjur, sekitar 5 km sebelah timur Sukabumi, kedatangan tamu. Para anggota polisi di kantor itu adalah orang-orang pribumi juga meski bekerja untuk pemerintahan NICA. Tamu para polisi itu lelaki berseragam tentara kolonial –yang anggotanya kebanyakan orang bumiputra juga– Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL). Sejatinya KNIL juga satu kubu dengan polisi di pos Sukaraja tersebut.

  • Dirgahayu, Poncke!

    HARI ini dalam sejarah, H.J.C. Princen berulang tahun. Dia lahir pada 21 November 1925 di Den Haag, Belanda. Jika dia masih ada di tengah kita, usia lelaki yang akrab dipanggil Poncke itu sudah mencapai angka 94. Namun nyatanya Poncke sudah pergi sejak 22 Februari 2002 dan sekarang jasadnya bersemayam di Taman Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tempat yang dia pilih sendiri untuk beristirahat panjang. Poncke sebenarnya sangat bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tahun 1949, Presiden Sukarno telah menganugerahinya Bintang Gerilya dan itu memberinya hak untuk dimakakamkan di “tempat yang terhormat” tersebut. Tapi sejak awal, Poncke telah menolaknya. “Papah pernah bilang ingin dimakamkan sebagai orang biasa saja dan tidak di TMP Kalibata yang dia bilang banyak koruptornya,” ungkap Wilanda Princen suatu hari kepada saya. Saya percaya Poncke pernah mengatakan itu. Sebagai pejuang kemanusiaan yang hampir tiap waktu bertempur melawan kesewenang-wenangan, hal-hal yang terkait dengan heroisme baginya sudah selesai. Tak ada sikap pamrih seperti dimiliki sebagian besar para politisi kita hari ini. Karakter dan prinsipnya sangat jelas. “Dia orang yang setia kepada hatinurani dan rakyat tertindas,” ujar Y.B. Mangunwijaya alias Romo Mangun dalam Gerilya yang Tak Pernah Selesai . Romo Mangun tentunya tidak sembarang meyebut Poncke seperti itu. Tapi saya yakin, dia tidak memiliki kalimat lain untuk melukiskan seorang lelaki Belanda yang “nekad” berpihak kepada “kaum ekstrimis” yang dimusuhi negaranya hanya karena soal kemanusiaan. Padahal bila mau, (seperti puluhan ribu serdadu Belanda lainnya saat itu) bisa saja Poncke berdalih bahwa dia hanya eksekutor dari para jenderal semata. Tapi toh itu tidak dilakukannya. “Aku pernah menjadi bagian suatu negara yang ditindas oleh para fasis Jerman, apakah aku harus berlaku sama seperti para penindas itu kala berhadapan dengan orang-orang Indonesia yang ingin merdeka?” kata Poncke saat saya wawancarai pada 1996. Desember 1948, Poncke secara resmi membelot ke kubu Republik. Ia lantas bergabung dengan Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi dan ikut melakukan long march dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Bersama sekira seribu prajurit (ditambah para perempuan dan anak-anak), dia berjalan dari hari ke hari hampir dalam waktu dua bulan lamanya menyusuri kaki gunung, hutan, sawah dan sungai. Masih segar dalam ingatan Poncke, saat mereka tengah berjalan tertatih-tatih dalam suatu barisan panjang, kerap kali pesawat-pesawat tempur militer Belanda menghujani mereka dengan peluru dan bom. Dia harus menjadi saksi semua hal buruk yang ditimbulkan oleh saudara-saudara sebangsanya: orang-orang terluka karena bom, anak-anak stres karena ketakutan dan para istri yang menangis karena kehilangan suami. “Omong kosong, kalau itu semua tidak membuatku semakin terikat dalam satu nasib dan satu penderitaan dengan mereka!” ujarnya seperti dikutip oleh penulis Joyce van Fenema dalam Kemerdekaan Memilih . Bisa jadi, pengalaman itu pula yang menjadikan Poncke selalu memilih posisi bersama rakyat tertindas dan bersebrangan dengan pihak penguasa. Baginya kemanusiaan melebihi semua ideologi yang dimiliki manusia termasuk nasionalisme. Setelah keluar masuk penjara karena kerap berbeda pendapat dengan pemerintah Sukarno, pada awal 1969, Poncke lagi-lagi memerahkan kuping penguasa. Kali ini rezim Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto yang menjadi sasarannya. Saat itu, di hadapan pers, Poncke membongkar pembunuhan ratusan anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Purwodadi. Rezim Orde Baru murka. Mereka menyebut berita itu disebarkan oleh seorang “komunis kesiangan”. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, Gubernur Jawa Tengah Moenadi menuduh Poncke sebagai anggota Partai Komunis Belanda. Sebuah tuduhan yang tentu saja sangat ngawur. Sudah pasti Poncke tak pernah peduli dengan semua tuduhan tersebut. Bahkan saat dia dikecam sebagai “sekali pengkhianat tetap pengkhianat” oleh Ali Said (Ketua Komnas HAM) karena pembelaanya kepada para aktivis pro kemerdekaan Timor Leste, Poncke tetap setia dengan jalan oposisi-nya. Poncke memang manusia yang jarang dilahirkan oleh zaman. Saya pikir, hingga kini tak banyak orang seperti dia lagi. Kendati begitu banyak hal yang bisa diteladani darinya, orang-orang hari ini agaknya tidak akan seberani dia lagi ketika harus memilih jalan. Dirgahayu, Poncke!*

  • Seolah Menginap di Rumah Sendiri

    MALAM kian larut. Namun, suasana di Jalan Jaksa di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, masih ramai. Para pelancong mancanegara memenuhi kafe dan kedai, yang berjejer di kiri-kanan jalan sepanjang 400 meter itu. Banyaknya penginapan murah di kawasan ini menjadikan Jalan Jaksa sebagai tempat favorit turis-turis remaja berkantong cekak dan backpacker .

bottom of page