Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Tudingan Kotor Kepada Aturan Menyalakan Lampu Motor
Seiring bertambahnya jumlah sepeda motor di Indonesia, meningkat pula angka kecelakaan di jalan raya. Pemerintah berupaya menekan angka kecelakaan dengan mengeluarkan peraturan sepeda motor wajib menyalakan lampu utama di siang hari. Peraturan ini tercantum dalam Pasal 107 ayat (1) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) No. 22 Tahun 2009. Sanksi bagi pelanggar adalah pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp100.000. Butuh waktu lama sebuah peraturan dapat diberlakukan. Peraturan sepeda motor menyalakan lampu utama di siang hari (Daytime Running Light/Lamp) pertama kali dikeluarkan oleh Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan pada 1988. Dirjen Perhubungan Darat kala itu, Giri Suseno Hadihardjono, menjelaskan pertimbangan dikeluarkannya peraturan itu bahwa dalam berlalu lintas harus mengedepankan prinsip to see and to be seen (melihat dan dilihat). Pada siang hari yang sangat terang membuat mata pengendara melihat berbagai benda (jalanan, trotoar, pohon dan sebagainya). Ketika melihat ada cahaya pada saat seperti itu membuat pengendara segera mengarah ke cahaya itu. “Hal inilah yang menjadi dasar mengapa DRL perlu dilaksanakan. Refleks saat mengemudi dari apa yang kita lihat menentukan seberapa cepat respons kita saat melaju dalam kecepatan tertentu. Jika dibantu dengan menghidupkan lampu pada siang hari maka akan sangat membantu para pengendara melihat dari jauh kendaraan sepeda motor yang datang dari arah depan atau samping juga belakang melalui kaca spion,” kata Giri dalam memoarnya, Bermula dari Nol, Banda Aceh sampai Los Palos . Selain itu, kata Giri, alasan ilmiah kenapa siang hari harus menyalakan lampu kendaran karena cahaya memiliki kecepatan 300 ribu kilometer per detik. Sedangkan kecepatan suara hanya 344 meter per detik. Saat menyalakan lampu walau terang hari, akan segera terlihat kendaraan lain melalui spion daripada membunyikan klakson. “Dengan pertimbangan itu pula beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Jepang, serta tetangga kita Singapura, mewajibkan kendaraan bermotor (sepeda motor, mobil, bus, dan truk) untuk menyalakan lampu utama pada siang hari saat melaju di jalan raya,” kata Giri. Menurut Michael Paine dari Vehicle Design and Research dalam “A Review of Daytime Running Lights” Finlandia menjadi negara pertama yang mewajibkan DRL untuk semua pengendara pada 1972. Swedia menyusul pada 1977 dan kemudian diikuti negara-negara di Uni Eropa. Inggris baru memberlakukan DRL pada 1 April 1987. Kanada mengekor tiga tahun kemudian pada 1 Januari 1990. Setelah menerapkan DRL rata-rata angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor di negara-negara itu berkurang 20-30 persen dari sebelumnya. “Sebagaimana yang telah dilakukan banyak negara, kami pun meluncurkan program DRL bagi sepeda motor yang tujuannya untuk memperkecil angka kecelakaan lalu lintas khususnya yang melibatkan sepeda motor,” kata Giri. Namun, pemberlakuan DRL oleh Ditjen Perhubungan Darat sempat mendapat komentar sumbang dari DPR RI. “Kalangan DPR RI melontarkan kritik yang cenderung ‘asal tuding’ bahwa Ditjen Perhubungan Darat terpengaruh oleh penjual atau produsen aki ( accu ),” kata Giri. “Saya sebagai dirjen hanya bisa mengelus dada, bagaimana mungkin program yang bertujuan untuk mengamankan masyarakat pengguna jalan dari kecelakaan itu malah dituding mencari keuntungan pribadi. Sebuah tudingan yang mengada-ada karena kami jelas bukan pedagang atau produsen aki." Peraturan DRL lantas diperkuat dengan hadirnya UU LLAJ No. 14 Tahun 1992, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, hingga Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2003 tentang Menyalakan Lampu Depan Sepeda Motor Siang Hari dan Motor di Lajur Kiri. Giri mengakui sosialisasi peraturan DRL tidak mudah sehingga masih banyak pengendara sepeda motor yang belum menaatinya. Sementara pihak kepolisian selaku penegak hukum juga membiarkan para pelanggar peraturan lalu lintas itu melaju dengan leluasa (tanpa menyalakan lampu motor). Pada awal tahun 2005, DRL diuji coba di Surabaya, Jawa Timur. Mengacu pada hasil uji coba tersebut yang diklaim menurunkan angka kecelakaan hingga 50 persen, Polda Metro Jaya mengeluarkan seruan kepada pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu di siang hari mulai 4 Desember 2006. Namun, tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Peraturan DRL baru efektif diberlakukan setelah UU No. 14 Tahun 1992 direvisi menjadi UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Mengingat masih ada saja pengendara yang tidak menyalakan lampu di siang hari, produsen sepeda motor pun mengeluarkan motor-motor terbaru dengan menyetel lampu depan selalu menyala sejak motor dihidupkan.
- Arsip-Arsip yang Tercecer
Sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi era kolonial, pulau Jawa menyimpan banyak peninggalan sejarah. Termasuk dalam bentuk arsip-arsip berbahasa Belanda. Namun, selain faktor bahasa yang umumnya tidak dipahami, persebarannya juga tidak terpadu. “Banyak arsip yang tersimpan di lembaga keluarga atau dinasti-dinasti kerajaan yang masih tersisa,” ujar Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam seminar “Sinkronisasi Informasi Arsip Berbahasa Belanda di Indonesia melalui Penyusunan Guide Arsip di Luar ANRI (Pulau Jawa)” di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 5 September 2017. Sinkronisasi ini merupakan tahap awal pemetaan arsip berbahasa Belanda di Nusantara yang dilakukan antara ANRI dengan Arsip Nasional Belanda (Nationaal Archief Nederland). Nantinya, arsip tersebut akan dituangkan dalam sebuah sarana bantu berbentuk guide arsip. Arsip-arsip itu disimpan oleh beberapa lembaga pengelola arsip daerah yang meliputi tujuh kota: Bandung, Cirebon, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Sebagai contoh, Sri Margana menguraikan deskripsi arsip yang tersimpan di Pura Pakualaman, Yogyakarta. Menurutnya, Pura Pakualaman memiliki koleksi arsip yang sangat banyak. Data arsip terinventarisasi sejak awal berdirinya Pakualaman pada 1813 hingga pemerintahan Pakualam VIII (1980-an). Arsip-arsip itu berasal dari berbagai bagian atau kantor: pemerintahan, peradilan, keuangan, kepegawaian, dan kapujanggaan. Saat ini, semuanya tersimpan di Widya Pustaka, sebuah bagian ruangan yang terdapat di komplek perkantoran Pakualaman. Sebagian besar arsip memuat hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi sipil, sosial, dan hukum. “Yang paling menonjol adalah arsip-arsip sengketa,” ujar Sri Margana. Peristiwa yang disengketakan meliputi bermacam ranah: warisan, perceraian, kriminalitas, hingga hutang-piutang dan pinjam meminjam di kalangan bangsawan. “Malah ada bangsawan yang tercatat meminjam keris lantas digadaikan untuk menyambung hidup,” kata Sri Margana. Penjualan benda pusaka terjadi karena gaya hidup boros kaum bangsawan hingga menyebabkan mereka terlilit utang dan berjung kepada sengketa. Kasus sengketa agraria juga banyak terekam dalam arsip Pakualaman, seperti gugat menggugat antara para petani dengan administrator maupun pejabat kolonial. Hasilnya berupa proses verbal, penyelidikan, berita acara, hingga hasil sidang. Senada dengan Sri Margana, Bondan Kanumoyoso menyatakan bahwa keberadaan arsip-arsip tersebut, ke depannya diharapkan dapat membantu para sejarawan maupun peminat sejarah yang menggeluti penelitian sejarah sosial periode kolonial, khususnya di Jawa. “(Arsip) ini akan menjadi tema kajian yang menarik, karena bisa menampilkan sejarah masyarakat kolonial dari sudut yang lain. Misalnya, dari sudut masyarakat petani,” ujar sejarawan Universitas Indonesia itu.
- Pura-pura demi Burma Merdeka
KETIKA berusia 25 tahun, Aung San mendirikan Partai Thakin. Inggris yang merasa terancam menangkapi para pemimpinnya. Aung San bersama rekan-rekannya melarikan diri ke China untuk mencari suaka ke pemerintahan nasionalis Kuomintang. Ketika tiba di Amoy (kini Xiamen), dia dicegat tentara Jepang. Di Jepang, Aung San malah disambut sebagai adik dalam keluarga Asia Timur Raya. Bahkan, dia diberi nama Jepang, Omoda Monji. Bersama 30 rekannya yang dijuluki The Thirty Comrades , Aung San mendirikan Burma Independence Army. Mereka dilatih di Pulau Hainan hingga Formosa (Taiwan) untuk dikirim lagi ke Burma lewat Vietnam dan Thailand bersama serdadu Jepang. Menurut PK Ojong dalam Perang Pasifik: 1941-1945 , Jepang berjanji kepada Aung San bahwa Burma akan dijadikan negara merdeka dalam lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. “Aung San percaya bahwa janji ini akan dipenuhi. Kalau tidak, dia akan bertindak,” tulis Ojong. Pada Maret 1942, Jepang bersama Burma Independence Army merebut Rangoon. Pemerintahan British Burma tumbang dan Jepang mendirikan pemerintahan boneka dengan mengangkat Ba Maw. Setahun kemudian, 1 Agustus 1943, Burma “dimerdekakan” di bawah pimpinan Ba Maw. “Jepang hendak menipu rakyat Burma yang pura-pura diberi kemerdekaan sesuai janji Jepang. Sebenarnya, bukan Jepang yang menipu Burma, melainkan sebaliknya. Ketika Ba Maw mengangkat empat anggota Partai Thakin sebagai menteri kabinetnya, Jepang gembira karena berarti rakyat Burma menyokong politik Jepang,” tulis Ojong. Padahal, Ba Maw mengangkat pentolan gerakan Burma Independence Army yang berubah menjadi Burma Defence Army untuk menggulingkan pemerintahan boneka Jepang. Aung San merasa Jepang telah menipunya dengan janji kemerdekaan. “Dia mengatakan: ‘Jika Inggris menghisap darah kami, Jepang mengubur tulang-tulang kami’,” tulis Marsekal Sir William Slim dalam memoarnya, Defeat into Victory . “Sejak 1 Agustus 1944, dia mulai berani berbicara lantang menentang kebijakan-kebijakan Jepang. Dia tidak ingin negaranya dipimpin tirani jenis baru (Jepang) setelah lama punya tuan besar di masa lalu (Inggris).” Aung San memilih jalan halus dalam melawan Jepang. Terlebih dia sudah masuk kabinet pemerintahan boneka sebagai menteri pertahanan; Thakin Than Tun sebagai menteri perhubungan, Thakin Nu sebagai menteri luar negeri dan Thakin Mya sebagai wakil perdana menteri. Seraya mendirikan AFPFL (Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis), Aung San punya kesempatan membalas tipu-tipu Jepang. Saat Sekutu mulai memasuki Burma lagi, Aung San bersama serdadu Burma Defence Army berangkat ke front Meiktila pada 16 Maret 1945. Jepang percaya Aung San hendak menyokong tentara Jepang yang tengah menahan laju ofensif Sekutu dan China. Tapi yang terjadi, Aung San malah mencari kontak dengan otoritas Inggris. “Aung San dan serdadu-serdadunya pada 27 Maret 1945 memberontak dan justru memerangi Jepang bersama Inggris,” tulis Martin Smith dalam Burma: Insurgency and the Politics of Ethnicity. Burma Defence Army bertransformasi menjadi Burma National Army. Aung San membantu Inggris merebut kembali Meiktila dan Mandalay. Inggris menguasai kembali Burma pada 2 Mei 1945. Inggris tentu ingin berkuasa lagi di Burma, meski Aung San sudah mendirikan pemerintahan sementara dengan orang-orang dari AFPFL. Dalam rapat kabinet di London pada 30 Maret 1945, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill berpesan kepada Lord Louise Mountbatten, kepala pemerintahan militer Burma, ketika berhadapan dengan orang-orang Burma: “Jangan mengadakan perundingan dengan gerilyawan Burma dan memberikan janji politik!” Bahkan, Aung San diusulkan untuk ditangkap karena pengaruhnya yang besar dan membahayakan Inggris. Mountbatten menolak karena takut seluruh rakyat Burma berontak. Aung San menjalankan taktik politik yang halus terhadap Inggris. Ketika Jenderal Sir William Slim menemuinya, Aung San mengutarakan konsesi militer tanpa melepas status politiknya di pemerintahan sementara AFPFL. “Dia kembali pura-pura bekerja sama dengan Inggris di lapangan militer, seperti dia dahulu pura-pura bekerja sama dengan Jepang. Dia bersedia menaruh tentaranya di bawah komando Inggris, tapi dia tahu bahwa tentaranya hanya mendengar perintahnya sendiri. Dia tak bermaksud menghadiahkan tentaranya pada Inggris demi kepentingan politik Inggris,” tulis Ojong. Di lapangan politik, Aung San terus-menerus mendesak Inggris dengan berbagai gerakannya. Mulai dari rapat raksasa, hingga penolakannya secara keras terhadap janji Inggris yang ingin memberi status dominion (negara semiindependen di bawah Kerajaan Inggris) pada 1948. Inggris gagal memecahbelah rakyat Burma yang mengelu-elukan Aung San. Akhirnya, Aung San berhasil memaksa Inggris duduk di meja perundingan. Pada 26 Januari 1947 di London, Aung San meneken perjanjian dengan Perdana Menteri Inggris yang baru, Clement Attle. Perjanjian itu intinya akan diadakan pemilu pertama, pembentukan dewan konstituante, dan status dominion. Perjanjian itu jadi kemenangan tersendiri bagi Aung San melawan Inggris tanpa peluru dan darah di usia yang masih muda, 31 tahun. Sayangnya, Aung San tak bisa hidup sampai Burma benar-benar merdeka pada 1948. Saat sidang kabinet pada 19 Juli 1947, kelompok bersenjata merangsek masuk dan memberondongkan timah panas. Aung San tewas di tempat. “U Nu, rekan Aung San yang paling pandai, mengganti kedudukannya," tulis Ojong. "Penyerahan kedaulatan oleh Inggris pada Burma dilakukan tanggal 4 Januari 1948. Pemimpin British Burma terakhir, Sir Hubert Rance pergi sebagai sahabat. Tapi di mata orang-orang saat itu, yang terbayang-bayang adalah wajah Bogyok (pemimpin tertinggi) U Aung San."*
- CIA Menggulingkan Sukarno demi Emas di Papua
PADA akhir Agustus 2017, pemerintah mengumumkan bahwa Freeport bersedia melepas 51% sahamnya. Keputusan ini disambut gembira. Namun, itu tidak akan menguntungkan Indonesia sampai Freeport sepakat untuk mengubah hal mendasar dalam pengawasan operasional. Hal itu disampaikan Greg Poulgrain, sejarawan University of Sunshine Coast, Brisbane, Australia, dalam acara bedah buku terbarunya, The Incubus of Intervention , di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 5 September 2017. Poulgrain mengatakan dengan perubahan mendasar dalam pengawasan operasional, Indonesia memiliki hak untuk mengaudit Freeport. “Hal ini harus diupayakan agar Indonesia bisa mengonfirmasi kekayaaan Freeport yang sebenarnya. Freeport tidak memberikan secara rinci kekayaannya ke Jakarta,” kata Poulgrain. Tambang emas di Papua yang dikuasai Freeport ditemukan oleh geolog Belanda, Jean Jacques Dozy bersama dua temannya pada 1936. Pihak Freeport mengaku memperoleh laporan penelitian Dozy dari perpustakaan di Leiden, Belanda. Dozy membantahnya. “Cerita bahwa Freeport menemukan laporan penelitian Dozy sebelum Perang Dunia II di perpustakaan merupakan kebohongan besar. Karena orang yang membuat Forbes Wilson (geolog pada Freeport Sulphur) tertarik dengan temuan Dozy adalah keluarga dekat Dozy,” kata Poulgrain. Poulgrain mewawancarai Dozy setelah 20 tahun menemukan Ertsberg di Papua. Dozy mengungkapkan bahwa dia menemukan gunung emas bukan gunung tembaga. “Ertsberg merupakan tambang emas terbesar di dunia dan Grassberg yang berada di bawahnya ternyata lima kali lebih besar,” kata Poulgrain. Penemuan itu membuat Amerika Serikat memihak Indonesia dalam sengketa Irian Barat (kini Papua) dengan Belanda. Amerika mendorong Belanda untuk melepaskan Papua. Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns mengatakan Amerika memaksa Belanda keluar dari Papua setelah menolak kerja sama penambangan sumber emas dan tembaga. Akan tetapi setelah berhasil mendepak Belanda dari Papua, Amerika juga tidak berhasil masuk lantaran kebijakan ekonomi Sukarno. Oleh karena itu, Direktur CIA Allan Dulles, berusaha menggulingkan Sukarno. Menurut Poulgrain, sejak lama Dulles mengetahui kekayaan alam di Indonesia. Ketertarikannya terhadap Indonesia dimulai pada 1928 ketika dia bekerja sebagai pengacara muda yang memenangkan kasus hukum melawan Henri Deterding dari Royal Dutch Petroleum Company yang berniat membangun industri minyak di Indonesia. “Dari sini dia memiliki akses untuk mengetahui tentang tambang di Hindia Belanda,” kata Poulgrain. Selain itu, Dulles menganggap pemerintahan Sukarno berbahaya dan cenderung mendukung komunisme. Sebaliknya, Presiden John F. Kennedy melihat Sukarno sebagai seorang nasionalis. Kennedy memberhentikan Dulles sebagai direktur CIA pada 1961 karena CIA beroperasi di Indonesia selama enam tahun di antaranya mendukung PRRI/Permesta. Pada 22 November 1963, Kennedy dibunuh dalam kunjungan ke Dallas, Texas. Presiden Lyndon Johnson memasukan Dulles sebagai anggota Komisi Warren yang menyelidiki kematian Kennedy. Dulles menyimpulkan pelaku pembunuhan Kennedy adalah Lee Harvey Oswald. Poulgrain justru menduga Dulles kemungkinan dalang pembunuhan Kennedy. Sebab, Kennedy percaya Sukarno bukan seorang komunis dan berusaha menjadi mediator konfrontasi Indonesia-Malaysia. “Kennedy dibunuh tahun 1963 agar tidak jadi datang ke Jakarta pada awal 1964. Bagi saya ini menarik. Karena Kennedy ingin menengahi masalah agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam. Menurut Poulgrain, bila Kennedy jadi ke Jakarta dan menjalin kerjasama dengan Sukarno, rencana Dulles menjatuhkan Sukarno bisa gagal dan posisinya akan lebih kuat. “Ketika politik Indonesia memanas dan perubahan haluan menjadi pro-Barat di masa Soeharto, Freeport berhasil masuk,” kata Poulgrain. Asvi mengeritik metode penelitian yang dilakukan Poulgrain yang mewawancarai Dozy setelah 20 tahun penemuannya atas gunung emas di Papua. “Sejarah lisan atau wawancara merupakan pelengkap kalau sumber-sumber tertulis tidak ditemukan. Sejarah lisan akan melengkapi itu supaya lebih sempurna. Sejarah lisan ini memiliki jebakan apalagi kalau dilakukan 20 atau 30 tahun sesudah peristiwa itu terjadi. Orang yang diwawancara atau pelaku sejarah itu punya kesempatan kedua untuk memperhebat dirinya atau mereduksi kesalahannya. Itu jebakan dari sejarah lisan,” kata Asvi. Asvi memberikan contoh Poulgrain menulis bahwa kematian Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjold merupakan siasat Allan. Dag dinilai ikut campur masalah Papua karena berkeinginan untuk membantu rakyat Papua dengan merencanakan program ekonomi. Hal ini dianggap akan mengganggu rencana Allan. “Tidak mudah untuk menyimpulkan bahwa Dag terbunuh karena urusan Papua,” tegas Asvi.*
- Serdadu Jepang Dimangsa Buaya di Burma
Kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya di Myanmar mengundang simpati dari berbagai pihak. Di Indonesia, elite sampai akar rumput ramai-ramai mengutuk perbuatan keji itu. Di dunia maya, solidaritas begitu tinggi. Unggahan berita terkait Rohingya bertebaran di berbagai laman, disebarkan melalui sosial media hingga grup WhatsApp . Kontan berita itu menyulut emosi para pembaca. Namun, warga net masih banyak yang meyakini dan menyebarkan berita hoax terkait Rohingya. Salah satu yang terkenal yaitu foto seorang pemuda yang tubuhnya terbakar. Berita-berita hoax menyebut pemuda itu Muslim Rohingya yang dibakar hidup-hidup. Padahal, pemuda itu merupakan aktivis Tibet bernama Jamphel Yesh yang membakar diri saat demonstrasi menentang kedatangan Presiden RRC Hu Jintao. Berita dari Burma (kini Myanmar) yang juga disangsikan kebenarannya pernah terjadi di masa lalu dan hingga kini masih dipercaya banyak orang yaitu tentang ratusan serdadu Jepang yang dimangsa buaya muara. Berita itu bermula dari kisah naturalis Bruce Stanley Wright dalam bukunya, Wildlife Sketches: Near and Far . Wright menceritakan Inggris makin gencar melakukan serangan menyusul melemahnya Jepang pada akhir 1944. Pada awal 1945, Inggris melancarkan operasi untuk merebut Pulau Ramree yang dijaga sebuah garnisun Jepang. Wright ikut dalam operasi ini. Meski Inggris menyerukan agar menyerah, pasukan Jepang memilih mundur sambil melawan, termasuk ketika operasi merebut Ramree mencapai tahap akhir pada Februari 1945. “Dalam keputusan khas samurai, komandan memutuskan tidak menyerah tapi membawa pasukannya keluar dengan rute yang tidak terblokir melintasi sepuluh mil rawa bakau. Itu adalah skenario mimpi buruk karena rawa-rawa ini adalah hutan lebat tak tertembus, gelap bahkan di siang hari, hanya beberapa mil dari lumpur hitam dalam, penuh dengan ular, nyamuk, kalajengking dan serangga berbahaya lainnya,” tulis Franck McLynn dalam The Burma Campaign: Disaster Into Triumph 1942-45 . Sekira satu batalion pasukan Jepang itu akhirnya mencapai rawa-rawa meski terus diburu pasukan Inggris yang sesekali membombardir dengan artileri dan serangan udara. Pada 18 Februari 1945 malam, pasukan Inggris yang mengejar berhenti dekat rawa-rawa itu. Peristiwa mengerikan pun segera terjadi. Wright mulai mendengar jeritan kesakitan serdadu Jepang. Makin lama, suara jeritan makin banyak. Suara jeritan itu kemudian diikuti suara tembakan membabi buta. “Malam itu (19 Februari) adalah kejadian paling mengerikan yang pernah dialami beberapa awak ML ( motor launch ). Tembakan senapan tersebar di rawa hitam yang ditimpali oleh jeritan orang-orang yang hancur terluka di rahang reptil-reptil besar. Saat fajar, burung-burung pemakan bangkai tiba untuk membersihkan apa yang ditinggalkan oleh buaya-buaya. Sekitar seribu tentara Jepang yang memasuki rawa-rawa Ramree, hanya sekira 20 yang ditemukan hidup,” tulis Wright. Wright mencatat para serdadu Jepang itu dimangsa buaya muara yang menghuni rawa hutan mangrove. Dari sekira 1000 personel hanya 20 orang yang selamat. Kisah ini sampai masuk dalam Guinness Book of Records. Kesaksian Wright, yang ditulis hampir 20 tahun kemudian, disangsikan banyak sejarawan dan ilmuwan. Selain satu-satunya sumber, kisah Wright tak pernah mendapat pemberitaan setelah dibukukan. Banyak sejarawan dan ilmuwan, seperti Franck McLynn, lalu melakukan penelitian terhadap kisah tersebut. Mereka tak hanya menggali arsip militer Inggris dan Jepang, tapi juga mewawancara banyak vetaran, baik Jepang maupun Inggris, dan orang-orang tua setempat. Hasil penelitian menyimpulkan tak satu pun yang menyebut pernah mengetahui pembantaian tentara Jepang oleh buaya rawa Ramree. “Apakah kita benar-benar percaya bahwa pasukan bersenjata Jepang, yang merobek-robek tank dan kendaraan bersenjata Inggris, benar-benar tak berdaya melawan buaya? Lalu tak adakah seorang pun serdadu Jepang yang tewas itu mati karena tembakan pasukan Inggris atau gigitan ular, atau terserang dehidrasi dan penyakit?” tulis McLynn mempertanyakan data-data dari kisah Wright Dari perspektif zoologi sederhana saja, kata McLynn, ekosistem rawa bakau dengan beragam kehidupan mamalia dan persaingan ketat untuk makan di dalamnya tak memungkinkan buaya hidup dalam jumlah begitu besar. “Bahaya dari ular memang cukup nyata, tapi sepertinya ini tidak cukup mengerikan untuk memuaskan imajinasi. Itu tidak cukup baik untuk para sensasionalis dan pembuat mitos, yang mengarang cerita liar dan tidak mungkin, kecuali (membuat kisah – red .) 20 orang dipenjara oleh Inggris sementara yang lainnya dibunuh oleh buaya. Kisah itu memiliki kemungkinan masuk akal, karena buaya muara atau air asin yang bisa tumbuh sepanjang 20 kaki dikenal sebagai pembunuh dan pemakan manusia,” tulis McLynn. “Yang lebih masuk akal, beberapa (bukan ratusan) serdadu Jepang yang terluka mungkin telah menjadi mangsa buaya air asin.”
- Kuliner Tiga Dunia
Rumah Makan Abu Salim dipenuhi pengunjung siang itu. Berbeda dari resto-resto khas Timur Tengah lainnya di Jakarta, sebagian besar pengunjung justru bukan orang keturunan Arab. Mereka ingin ingin mencicipi menu andalan rumah makan ini: sate kambing dan nasi kebuli. Menurut Salim al Kaff, berusia 32, mayoritas pengunjung gandrung bersantap di Abu Salim justru karena kepiawaian para kokinya menyesuaikan cita rasa Timur Tengah dengan selera lokal. “Kendati bercitarasa Arab, takaran bumbunya sudah kami sesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Secara umum kami juga menambahkan unsur-unsur makanan lokal seperti bawang merah, bawang putih, mentimun, nanas, bengkoang ke menu sajian kami,” ujar Salim al Kaff (32), putra dari Ahmad al Kaff, pemilik Rumah Makan Abu Salim yang berlokasi di kawasan Condet, Jakarta Timur. Condet kerap disebut menggantikan peran Pekojan dan Krukut, keduanya di Jakarta Barat, sebagai penyandang kampung Arab. Banyak keturunan Arab tinggal di sana. Di Jalan Raya Condet, toko-toko bernuansa Timur Tengah menjajakan barang dagangan mereka seperti parfum, kurma, hingga habbatus sauda. Rumah makan Arab juga bertebaran. Selain Abu Salim, restoran Al-Mukalla juga cukup dikenal. Nama “Al-Mukalla” diambil dari nama kampung halaman leluhur si pemilik restoran, Ahmad Salmin (60), di Hadramaut, Yaman. Namun bukan sekadar nama, Al-Mukalla menyediakan menu-menu hidangan khas Yamani. Tentu saja cara pembuatannya sudah disesuaikan dengan citarasa lokal. Lihat saja menu andalannya, mughal gal; tumisan daging kambing yang diiris kecil-kecil, dibalut aroma rempah yang kuat dan disajikan dengan roti ala Timur Tengah. Ada banyak makanan khas Arab yang bisa cocok dengan lidah orang Indonesia. Sebut saja kafsah, kebuli, dan mandee. Ketiganya berbahan utama beras, minyak zaitun, daging kambing segar, dan rempah-rempah (kapolaga, pala, cengkeh, kayu manis dan jahe). Namun sejatinya, beras atau nasi, rempah-rempah, bawang dan daun-daunan tak dikenal dalam tradisi kuliner Arab. Lalu sejak kapan bahan-bahan yang biasa disantap oleh masyarakat Nusantara itu menyelusup ke budaya kuliner orang-orang keturunan Arab tersebut? Alkisah pada abad ke-18, tanah Jawa dibanjiri imigran Hadramaut (sebuah provinsi di Yaman), Hijaz, dan Mesir. Selain berdakwah, mereka mencari peruntungan dengan berniaga di kota-kota pelabuhan seperti Batavia, Banten, Cirebon, Surabaya, Pekalongan, dan Semarang. Lambat-laun, mereka menyebar ke wilayah-wilayah lainnya seperti Bogor, Bandung, Malang, Pemalang, dan Tegal. “Maka, sejak itu, muncullah kampung-kampung Arab lengkap dengan tradisi, budaya, dan kuliner khas mereka” tulis L.W.C van den Berg dalam Orang Arab di Nusantara . Bagi orang Arab, ke mana pun merantau, mereka harus mengonsumsi masakan yang sesuai dengan lidah mereka. Ciri khas hidangan mereka bergantung pada bahan kurma, gandum, daging, dan labhah (yogurt tanpa lemak mentega). Namun di rantau, mau tak mau, bahan-bahan itu harus mengalami percampuran dengan bahan-bahan setempat. Salah satu jenis makanan khas imigran Arab yang cukup populer adalah nasi kebuli. Embel-embel “nasi” di depan nama makanan itu tentu saja terdengar agak aneh mengingat beras atau nasi secara geografis dan historis tak dikenal di dunia orang-orang padang pasir. Menurut wartawan-cum-sejarawan Alwi Shahab (81), kemungkinan besar orang-orang Arab mengenal beras atau nasi saat bersinggungan dengan orang-orang India. Disebutkan Alwi, sebelum tiba di Nusantara, orang-orang Arab biasanya singgah di India dalam waktu cukup lama. Di sinilah mereka mengenal nasi dan rempah-rempah yang dibawa orang-orang India dari kawasan Nusantara. “Buktinya, hingga kini makanan khas Arab yang menggunakan nasi mutlak harus berbahan utama beras basmati yang hanya ada di wilayah India,” ujar Alwi kepada Historia . Ada versi lain mengenai asal-usul nasi kebuli. Dalam Jejak Kuliner Arab di Pulau Jawa , Gagas Ulung dan Deerona menyebut para jurumasak Kerala, India, yang dibawa saudagar-saudagar Gujarat, bertanggungjawab terhadap pengenalan nasi kebuli kepada orang-orang Nusantara untuk kali pertama. “Pada abad ke-18, para imigran Hadramaut yang sebelumnya lama tinggal di Gujarat, kemudian mempopulerkan hidangan ini di Pulau Jawa,” tulis Gagas dan Deerona. Di Nusantara, terutama Jawa, citarasa nasi kebuli yang dikembangkan orang-orang Hadrami (sebutan untuk orang-orang Hadramaut) berubah kembali begitu bersentuhan dengan lidah orang-orang setempat. Masuklah bahan-bahan khas Nusantara seperti ketumbar, cengkih, kayu manis, salam koja, mentimun, dan bawang merah. Dengan demikian makanan ini punya citarasa tiga dunia: Arab, India, dan Nusantara. “Pengaruh lokal yang paling kentara di makanan Arab yang kami buat adalah penaburan bawang goreng di setiap makanan utama seperti nasi kebuli, nasi mandee, nasi biryani, dan nasi kafsah,” ujar Salim.
- Aung San Suu Kyi Menulis Sejarah Arakan
TRAGEDI kemanusiaan kembali menimpa orang-orang Rohingya. Mereka melarikan diri ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari tentara Myanmar. Kendati terlacak sejak abad 15, namun setelah junta militer berkuasa identitas Rohingya pelan-pelan dihapus. Arakan, nama wilayah yang identik dengan orang-orang Rohingya, secara resmi diubah menjadi Rakhine pada 1974. Hingga kini, pemerintah Myanmar tidak mengakui orang-orang Rohingya sebagai warga negara. Aung San Suu Kyi, yang mengecewakan karena diam melihat tragedi kemanusiaan Rohingya, pernah menulis sejarah Arakan dalam Let’s Visit Burma . Tulisan yang diterbitkan oleh Burke Publishing Company di London pada 1985 ini tidak menyebut orang Rohingya sebagai kelompok yang mendiami Arakan. Tulisan ini kemudian dimuat dalam Freedom from Fear (Bebas dari Ketakutan) yang terbit di Indonesia pada 1993. Arakan (kini Rakhine) merupakan salah satu dari tujuh suku bangsa minoritas di Myanmar yang menjadi negara bagian, selain Kachin, Kayah, Kayin, Chin, Mon, dan Shan. Semua suku bangsa di Myanmar dikelompokan dalam tiga suku bangsa besar yaitu Mon-Khmer, Tibeto-Myanmar, dan Shan Thai. “Orang-orang Arakan agak gelap asal asal usulnya. Diperkirakan mereka merupakan campuran orang Mongol dan Arya yang datang dari India. Dapat dipastikan bahwa para raja Arakan dahulu keturunan India,” tulis Suu Kyi. Di Arakan terdapat beberapa kelompok masyarakat antara lain orang Arakan, Thek, Dainet, Myuo, Mramagyi, dan Kaman. Namun, Suu Kyi tidak menyebut orang Rohingya karena Burma Citizenship Law tahun 1982 yang dikeluarkan junta militer secara resmi mengeluarkan Rohingya dari delapan suku bangsa dan 135 etnis. Orang Arakan adalah orang Tibeto-Myanmar dan bahasanya amat mirip dengan Bahasa Myanmar. Sebagian orang menganggapnya sebagai Bahasa Myanmar kuno. Bahasa kelompok ini juga memperlihatkan pengaruh bahasa Bengali. Lantaran posisi geografisnya, Bengali (kini Bangladesh) memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban orang Arakan. Pada abad ke-15, Bengali membantu Arakan melawan kekuasaan raja-raja Ava. Inilah awal Islam masuk ke Arakan. “Sejak itu, raja-raja Arakan menggunakan gelar Islam, walaupun mereka dan sebagian besar rakyatnya tetap beragama Budha. Namun, terdapat lebih banyak orang yang memeluk agama Islam di Arakan daripada di daerah Myanmar yang lain,” tulis Suu Kyi. Meskipun terdapat pengaruh Bengali dan Islam, menurut Suu Kyi, sebagian besar Arakan didiami orang-orang Budha selama berabad-abad. Menurut sejarah, Budhisme sampai di pantai barat Myanmar pada waktu Budha masih hidup. Hal ini memang tidak dapat dibuktikan, tetapi patung Budha yang paling terkenal dibuat orang-orang Arakan sekitar abad ke-2. Patung ini, Maha Myamuni, diambil oleh putra Raja Bodawpaya ketika merebut Arakan. Patung ini salah satu patung yang paling dimuliakan di Myanmar dan sekarang disimpan di Mandalay. Ada banyak pagoda dan kuil Budha di Arakan. Banyak hari raya keagamaan mereka merupakan festival para penganut Budha sama dengan yang dirayakan orang Myanmar. Namun terdapat pula adat kebiayaan orang Arakan yang sangat asing bagi orang Myanmar. “Suku bangsa Arakan menyukai perkawinan antara sepupu (anak-anak dari saudara laki-laki ibu atau dari saudara perempuan ayah). Hal ini mencerminkan pengaruh Islam,” tulis Suu Kyi.*
- Ketika Aung San Merangkul Rohingya
KRISIS kemanusiaan di Myanmar semakin berkepanjangan. Praktik kekerasan terhadap etnis Rohingnya pun semakin menggila. Puluhan ribu pengungsi memenuhi perbatasan. Situasi centang perenang itu menurut Hikmahanto Juwana tak lepas dari tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga Myanmar oleh rezim yang tengah berkuasa. "Bahkan ada kecenderungan pemerintah Myanmar melakukan ethnic cleansing (pembersihan etnis) saat terjadinya konflik antaretnis Rohingya dengan otoritas Myanmar,” ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu kepada Historia.ID. Apa yang dikatakan Hikmahanto diamini oleh berbagai kalangan. Moshe Yegar dalam Between Integration and Secession: The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma mengungkapkan, masyarakat Rohingya tidak lagi diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar sejak 1982. Dua dekade setelah terjadinya kudeta militer oleh Jenderal Ne Win, hingga menetapkan pemerintahan junta militer. Paspor mereka dicabut, hak-hak politik mereka dikebiri. Dalam Debating Democratization in Myanmar yang dirangkum Nick Cheesman dan Nicholas Farrelly, masyarakat Myanmar tidak lagi dicantumkan sebagai satu dari 135 kelompok etnis resmi yang disebut national races di Myanmar. Padahal secara historis, Bapak Bangsa Myanmar, U Aung San, pernah merangkul kelompok Rohingya. Aung San, tak lain adalah ayah dari Aung San Suu Kyi, tokoh Myanmar yang menerima Nobel Perdamaian pada 1991. Aung San merangkul kelompok Rohingya, bahkan sebelum Myanmar (dulu Birma/Burma) merdeka pada 1948. Pada Perang Dunia II, Aung San dengan kelompok antifasisnya bahu-membahu dengan milisi Rohingya yang didukung Inggris dalam memerangi Jepang. “ Bokyoke Aung San dengan sangat ramah menerima Rohingya sebagai satu dari ras asli Burma sebagaimana Kachin, Kayah, Karen, Chin, Mon dan Rakhine. Dia menjamin kewarganegaraan (warga Rohingya) saat bertemu para petinggi muslim di Akyab, Mei 1946,” sebut U Kyaw Min alias Shamsul Anwarul Haque dalam artikel Legal Nexus Between Rohingya and the State di jurnal An Assessment of the Question of Rohingya’s Nationality. Setelah Myanmar resmi merdeka, masyarakat Rohingya sempat bisa hidup tenang. Hak-hak ekonomi dan politik bisa turut mereka nikmati. Mereka benar-benar bisa hidup setara di bawah payung Residents of Burma Registration Act yang dirilis 1949 dan disusul Burma Registration Rules pada 1951. Tidak hanya sebagai pemilik suara, seorang etnis Rohingya pun bahkan berhak menyalonkan diri sebagai anggota parlemen. Itu terjadi sejak 1951, ketika mereka mewakili daerah-daerah pemilihan (dapil) Buthidaung Utara, Buthidaung Selatan, Maungdaw Utara serta Maungdaw Selatan. Tercatat beberapa nama anggota parlemen terkemuka asal Rohingya. Sebut saja nama-nama seperti Abdul Gaffar, Abul Bashar, Sultan Ahmed, Daw Awe Nyunt (a) Zurah, Ezar Meah, Sultan Mahmood, Abul Khair, Rashid, hingga MA Subhan. Apresiasi pemerintah terhadap kebudayaan Rohingya diperlihatkan pula dengan adanya acara program bahasa Rohingya d BBS (Burma Broadcasting Service) atau stasiun radio milik pemerintah Myanmar. Hak-hak beragama pun dijamin oleh pemerintah. Untuk mengikuti ibadah haji misalnya, pemerintah Myanmar menerbitkan paspor bagi masyarakat Rohingya yang sudah memiliki NRC (Kartu Registrasi Nasional) dan FRC (Sertifikat Registrasi Orang Asing), agar mereka bisa pergi naik haji ke Makkah. Sayangnya, kehidupan mereka perlahan berubah suram semenjak kudeta dilakukan oleh pihak militer pimpinan Jenderal Ne Win pada 2 Maret 1962. Pemerintahan junta militer lantas melindas pemerintahan sipil AFPFL (Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis) yang kala itu dipimpin Perdana Menteri U Nu. Usai berhasil menggulingkan U Nu, secara sistematis hak-hak politik masyarakat Rohingya dihapuskan. Baik dalam mengikuti pencalonan, maupun memberikan suaranya dalam pemilu, melalui UU baru tentang Kewarganegaraan Tahun 1982. Benih-benih konflik mulai tertebar hingga menuai krisis hingga sekarang. “Rohingya telah ada di Rakhine sejak dunia diciptakan. Arakan adalah tanah kami; tanah India selama seribu tahun lalu,” cetus politisi Rohingya Kyaw Min dalam surat kabar The Economist, 3 November 2012. Pemerintahan junta militer Myanmar sedianya sudah mulai punah sejak 2016. Lewat Pemilu, NLD (Liga Nasional Demokatik) pimpinan Aung San Suu Kyi, hingga wakilnya, U Htin Kyaw jadi presidennya. Pun begitu, nasib masyarakat Rohingya belum menemukan titik terang dan justru belakangan kian suram. Suu Kyi nampaknya tidak belajar dari pengalaman sang ayah yang dikenang sebagai Bapak Bangsa Myanmar.*
- Idul Adha di Kesultanan Aceh
HARI Raya Idul Adha 1637.Peter Mundy terkagum-kagum kala menyaksikan prosesi itu. Seperti dikisahkannya dalam buku Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda , ia melihat semua warga Kesultanan Aceh seolah larut dalam suatu perayaan pesta akbar: seluruh lapangan besar antara pintu masuk istana hingga ke masjid Bait ur-Rahman dihiasi dengan bendera-bendera besar. Sultan datang dengan menaiki gajah yang dihias sangat megah dan mewah. “Kedatangan Sultan diiringi arak-arakan besar yang terdiri atas 30 barisan,” ujar pedagang Inggris tersebut Mundy juga melihat, dalam barisan ke-28 ada 30 ekor gajah yang dihias dengan benda mirip menara kecil di atas punggungnya. Di setiap menara berdirilah dengan gagah masing-masing seorang serdadu yang berpakaian merah seraya memegang bedil. Pada deretan pertama rombongan yang terdiri atas 4 ekor gajah, gadingnya masing-masing dipasangi dua pedang besar. Banyak di antara gajah itu memiliki nama, salah satunya, gajah yang dinaiki Sultan, bernama Lela Manikam. Perayaan Idul Adha yang disaksikan Mundy bertepatan dengan pengangkatan Iskandar Tsani sebagai sultan. Karena itu, tak aneh jika prosesinya berlangsung sangat panjang dan melibatkan banyak petinggi kerajaan, tentara, para pelayan istana, berbagai senjata, dan simbol kebesaran kerajaan. Menurut Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah Budaya dan Tradisi ada banyak alasan yang menjadikan perayaan Idul Adha kerap melibatkan seluruh elemen negeri secara massif. Namun yang pasti, faktor Aceh sebagai seuatu kerajaan Islam menjadikan penguasanya memiliki otoritas politik maupun agama. Perayaan juga menggunakan dua tempat, yakni istana sebagai simbol perayaan sedang masjid sebagai simbol keagamaan. Mundy melanjutkan, ketika sampai di dalam masjid, Sultan dan para pembesar istana masuk untuk melaksanakan ibadah. Setelah beriabadah di masjid bersama Syaikh Syams ud-Din, Sultan pergi ke tempat rajapaksi. Di sana hewan-hewan yang akan dikurbankan sudah diikat di bawah kemah. Sultan kemudian melakukan penyembelihan pertama menggunakan belati emasnya. Begitu muncul tetesan darah pertama, belati diserahkan kepada Syaikh Syams ud-Din untuk meneruskan prosesi penyembelihan hewan kurban. Dari kesaksian Mundy, Sultan saat itu mengurbankan 500 kerbau muda. Tidak hanya Sultan, pejabat kerajaan pun ikut berkurban. Salah satunya adalah Kadi Malik ul-adil. Perayaan Idul Adha di rajapaksi dilanjutkan hingga selesai sementara Sultan kembali lagi ke istananya. Dalam perjalanan pulang Sultan beserta rombongan arak-arakannya diiringi berbagai macam musik. Rakyat sangat tertarik melihat rajanya. Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra menulis bahwa ibu-ibu yang sedang hamil juga keluar untuk menyaksikan rajanya. Banyak yang melahirkan anak di jalan atau di pasar, bahkan ada orang yang tidak mendapat tempat dan harus berdesakan karena terlalu banyak orang yang ingin menyaksikan arak-arakan ini. Begitu banyak orang yang terlibat dan panjangnya prosesi membuat hampir tidak ada ruang yang tersisa dan sedikit kacau. Oleh karena itu, menurut Mundy prosesi tersebut sangat tidak beraturan. Bersumber dari Adat Aceh, disebutkan Amirul Hadi bahwa ada lebih banyak peserta yang terlibat dengan lencana kebesaran kerajaan yang lebih lengkap dibanding perayaan dan prosesi lain di Kesultanan Aceh. Idul Adha memang secara resmi dijadikan perayaan paling penting di sana saat itu.*
- Hoax Masa Revolusi
Pertengahan 1946, Bekasi dibekap kecemasan. Beredar isu bahwa mata-mata Belanda dari arah Jakarta mengalir deras ke daerah-daerah Republik. Ciri-ciri mereka: selalu menyembunyikan kode dengan simbol-simbol merah-putih-biru, corak bendera kebangsaan Belanda. Akibatnya, penjagaan di stasiun-stasiun sekitar garis demarkasi pun diperketat. Kepada Historia , Mat Umar (90) menyatakan kesaksiannya bagaimana para penumpang kereta api dari arah Jakarta diturunkan di stasiun Kranji. Sebagian yang dicurigai kemudian dipisahkan dan langsung dieksekusi di belakang stasiun. “Saya melihat seorang bapak dan anak perempuannya dipenggal dengan sebilah clurit karena membawa kertas warna merah putih biru di tas mereka,” ujar eks anggota lasykar di Bekasi. Sementara itu di daerah Karawang terjadi saling curiga mencurigai di antara para pejuang. Pasalnya, seorang pemuda lasykar yang baru keluar dari tawanan militer Belanda “dipesan”oleh seorang letnan Belanda dari bagian intelijen untuk menyampaikan pertanyaan kepada seorang jenderal: mengapa sudah lama tidak pernah berkirim surat? Alih-alih menyampaikan “pesan” itu langsung kepada sang jenderal, bekas tawanan Belanda itu justru menyampaikan soal ini kepada atasannya langsung di kelasykaran. Maka beberapa hari usai pengaduan itu, seisi kota dipenuhi dengan selebaran gelap yang menyebutkan bahwa “Jenderal A” adalah agen NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda). Di lain kesempatan, seorang agen NICA beneran, secara sengaja menjatuhkan sepucuk surat di lantai sebuah kereta api yang menuju daerah Republik. Isi surat itu adalah “perintah-perintah dari NEFIS (Dinas Intelijen Belanda) kepada Mayor Anu disertai ucapan terimakasih atas laporan-laporannya”. Sesuai target sang intel, surat ini kemudian ditemukan oleh seorang anggota lasykar, dibawa ke markas dan dilaporkan kepada sang atasan. Kegiatan intrik mengintrik, fitnah memfitnah pun dimulai. Hoax (berita bohong) ternyata sudah dijadikan “senjata” sejak masa revolusi oleh intelijen Belanda. Biasanya cara-cara perang urat syaraf itu efektif membuat situasi kacau di garis belakang pihak Republik. Almarhum Jenderal A.H. Nasution menyebut mudahnya pejuang kita terjebak dalam hoax yang diciptakan NEFIS karena banyaknya masalah internal yang belum terselesaikan saat itu. “ Serangan psikologis itu mencapai targetnya karena adanya kekacauan organisasi pertahanan dan masih kurang cerdasnya rakyat kita…” tulis Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia Bagian I . Yang paling menderita dari adanya situasi tersebut tentu saja adalah rakyat sipil. Menurut Jenderal Nasution, akibat “kesembronoan” pihak lasykar dan tentara Republik saat menyikapi hoax , tak jarang jatuh korban jiwa dari kalangan rakyat sipil tak berdosa . Selain ancaman pembunuhan dan penyiksaan, “isu mata-mata Belanda” juga kerap dimanfaatkan oleh “para lelaki hidung belang” untuk menjalankan praktek pelecehan seksual terhadap para pedagang perempuan yang sehari-hari harus melintasi garis demarkasi. Itu bisa dilakukan oleh para anggota lasykar, tentara Republik maupun serdadu Belanda. Soe Hok Gie pernah membahas tentang nasib memilukan para perempuan tukang beras antara Krawang-Bekasi pada era revolusi tersebut. Ia menuliskan bagaimana untuk menghindari tewas atau ditangkap karena hoax , para tukang beras itu tak segan-segan mengorbankan harga dirinya dengan membiarkan mereka dilecehkan(bahkan disetubuhi) oleh para lasykar dan tentara yang menjaga perbatasan garis demarkasi. “ Di daerah garis demarkasi yang dijaga serdadu Belanda , mereka pun harus mengalami kejadian yang sama…” tulis Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan .
- Pembunuhan Keji Panglima Keraton Yogyakarta
DENGAN rasa sedih dan letih rakyat Sumodiningratan menggotong mayat Panglima Pasukan Yogyakarta ke pemakaman keluarga Sumodiningratan. Raden Tumenggung Sumodiningrat tewas dikeroyok pasukan gabungan serdadu Inggris dan Legiun Mangkunegaran pada penyerbuan Inggris ke keraton 20 Juni 1812. " Koyo kewan neng wono mboten ingkang gadah wono". Begitu perumpamaan yang dirasakan pengikut Sumodiningrat sebagaimana yang dikutip sejarawan Inggris Peter Carey dari salah satu surat yang dirampas Inggris. Mereka bingung bagaikan binatang hutan yang tak lagi memiliki hutannya. Dalam Babad Bedhah ing Ngayogyokarta karya Pangeran Panular, menjelang subuh, Pangeran Prangwedono (Mangkunegoro II) dan pasukan Legiun Mangkunegaran disertai Sekretaris Keresidenan John Deans dan pasukan Inggrisnya mendatangi kediaman Sumodiningrat. Gabungan kedua pasukan itu mengepung dan menghujani rumah Sumodiningrat dengan peluru meriam. Ketika itu sumadiningrat sudah ditinggalkan oleh sebagian besar pengikut dan kerabatnya. Mereka terlalu takut untuk bertahan setelah mendengar jatuhnya keraton utama Yogyakarta dalam penyerbuan tentara Inggris. Prangwedono pun maju ke depan masuk ke pelataran dengan niat menangkap Sumodinongrat, jagoan Yogya yang terkenal pemarah sekaligus pemberani. Prangwedono memerintahkan pasukannya untuk memberondong kediaman Sumodiningrat. Namun ternyata sang penasihat dekat Sultan HB II itu tak berada di kediamannya. Namun John Deans menemukan Sumodiningrat berlindung di dalam masjidnya. Tanpa babibu dia pun langsung jadi sasaran tembak para prajurit. Perlawanan tak ada gunanya. Penyerbu terlalu banyak. Kalah jumlah, Sumodiningrat dan pengawalnya pun turut terbunuh. Sementara pengikutnya lari tercerai berai. Tak puas hanya melihat Sumodiningrat mati dihujani peluru, John Deans menebas leher Sumodiningrat dengan pedangnya. Tapi tebasan itu tak sampai memisahkan kepala dari badannya. Menurut Peter Carey hal tersebut dilakukan Deans sebagai cara untuk menunjukkan gengsinya saja. "Saya kira dia ingin pencitraan seolah dia sendiri yang membunuh Panglina Pasukan Jogja walaupun sebenarnya tidak. Dia hanya ikutan mengeroyok," kata Peter, saat mengikuti Tur Sejarah "Jejak Inggris di Jawa 1811-1812", di Yogyakarta, Rabu (30/8). Mayat Sumodiningrat kemudian dikerubuti pasukan. Baju dan perhiasan yang dipakainya jadi rayahan. Tak lama kemudian Prangwedono menyusul masuk masjid, berlama-lama memandangi tubuh Sumodiningrat. Sambil menatap wajah Sumodiningrat yang berjanggut itu dia berkata, " Makane aja kementhus! (jangan belagu – red .)". Episode kekejian selanjutnya adalah perintah Prangwedono dan John Deans untuk membakar serta menjarah wilayah Sumodiningratan dan seluruh daerah selatan keraton itu. Bahkan jenazah Sumodiningrat yang sudah dilucuti itu beberapa bagian tubuhnya dimutilasi. Mengapa Prangwedono sedemikian kesumatnya pada Sumodiningrat? Menurut Peter, Sumodiningrat pernah mengejek Prangwedono sebagai prajurit bayangan yang penuh kepura-puraan dan tak bernyali. Ejekan itu membuat Prangwedono tersinggung karena merasa jadi bahan guyonan. "Dia balas dendam kepada Sumodiningrat. Dengan begitu Pangeran Surakarta itu sangat benci sekali dengan Sumodiningrat," kata Peter. Menurut Peter, Sumodiningrat keturunan bangsawan Kedu yang jadi salah satu ujung tombak politik menantang birokrat kolonial. "Sebelumnya ia pun tak pernah mau menerima apa yang diminta Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Daendels," katanya. Ada banyak kisah kematian Sumodiningrat. Ada versi yang mengatakan dia dibunuh pasukan Letkol. James Dewar yang memimpin serangan ke selatan keraton, sebelum serangan induk ke dalam keraton. Sementara cerita kematian sang panglima versi babad milik Panular tadi didukung Serat Sarasilah Para Leloehoer ing Kadanoerejan. Jenazah Sumodiningrat baru dibawa para punggawanya pada pukul 10.00 malam dengan menggunakan keranda. Sebelum dimakamkan, para pengikutnya itu terlebih dulu memandikannya lantas menguburkannya di Jejeran, 10 kilomter ke arah selatan Yogyakarta, di tepi Kali Code. "Ada lambang dari Keraton Yogya di nisan. Ini tempat akhir dari Sumodiningrat yang dulunya tanah bengkok milik Sumodiningrat," jelas Peter. Kini tak ada lagi warga setempat yang merawat ingatan mengenai tragedi yang menimpa Sumodiningrat itu.
- Kriuk Sejarah Kerupuk
Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu memastikan Indonesia akan membeli sebelas unit pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia senilai Rp15 triliun. Pembelian ini dengan cara barter berbagai komoditas. Menariknya, salah satu produk yang akan dibarter adalah kerupuk. Mungkin ini kali pertama alutsista dibarter dengan kerupuk . Kerupuk merupakan makanan ringan yang disukai banyak orang. Selain bisa dimakan langsung, kerupuk biasanya melengkapi berbagai jenis makanan. Menurut sejarawan kuliner Fadly Rahman kerupuk sudah ada di Pulau Jawa sejak abad ke-9 atau 10 yang tertulis di prasasti Batu Pura. Di situ tertulis kerupuk rambak (kerupuk dari kulit sapi atau kerbau) yang sampai sekarang masih ada dan biasanya jadi salah satu bahan kuliner krecek. “Kerupuk kulit dengan bahannya kulit ternak dibuat dengan cara sesudah lapisan selaput dibuang dan bulunya dihilangkan biasanya dengan jalan dibakar, kulit digodog hingga empuk kemudian diiris-iris dan dijemur hingga kering,” tulis A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum. Pada perkembangannya, kerupuk juga menyebar ke berbagai wilayah pesisir Kalimantan, Sumatra, hingga Semenanjung Melayu. Masyarakat Melayu di sana menjadikan kekayaan laut macam ikan hingga udang, menjadi kerupuk. “Itu tercatat dalam naskah Melayu karya Abdul Kadir Munsyi saat menyebut Kuantan (Malaysia), sekitar abad 19, dia juga membahas keropok (kerupuk). Kerupuk mulai disukai di mancanegara sedari masa kolonialisme Hindia Belanda dan dianggap jadi pelengkap yang harus ada dalam berbagai kuliner Nusantara yang mereka santap,” kata Fadly kepada historia.id . Meski awalnya dianggap pelengkap, namun perlahan kerupuk mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat bangsa Eropa. Sampai-sampai ada ungkapan “kurang nikmat menyantap makanan Nusantara tanpa kerupuk”. “Tentunya juga selain sambal. Di Suriname yang jadi tempat migrasi orang Jawa di masa kolonial, kerupuk jadi makanan yang populer. Buat orang-orang mancanegara, kerupuk jadi satu hal yang melekat dan menarik minat karena menganggap kerupuk adalah identitas kuliner Indies (Hindia Belanda),” kata Fadly. Selain kerupuk kulit, menurut Pringgodigdo, kerupuk juga terbuat dari tepung singkong (tepung kanji), tepung terigu sedikit dan garam secukupnya ditambah daging udang atau ikan. Jenisnya bermacam-macam tergantung bahan lain yang ditambahkan, misalnya kerupuk udang atau kerupuk ikan. “Nama dagang kerupuk juga biasanya diambil dari nama bahan tambahannya: kerupuk udang, kerupuk (ikan) tenggiri, dsb., atau menurut tempat pembikinannya, seperti kerupuk Sidoarjo, kerupuk Palembang, dsb.,” tulis Pringgodigdo. Ada juga nama dagang yang menggunakan nama pemilik perusahaannya. Misalnya, kerupuk “Sudiana” di Jalan Kopo Bandung. Sebelumnya, Sudiana bekerja di pabrik kerupuk milik Sahidin. Keuletannya membuat dia diangkat menantu oleh Sahidin dan membangun perusahaannya sendiri. Sahidin dan Sukarma, pengusaha kerupuk asal Tasikmalaya, memulai usahanya sejak tahun 1930 di daerah Jalan Kopo depan Rumah Sakit Emanuel Bandung. Mereka begitu tersohor sehingga namanya diabadikan menjadi nama gang. “Buruh-buruh pabrik yang pernah bekerja di pabrik mereka tidak sedikit yang bisa berdiri sendiri. Bahkan, 250 pengusaha kerupuk di Bandung sebelumnya pernah bekerja pada Sukarma dan Sahidin,” tulis Tempo , 13 Oktober 1979. Setelah menjadi komoditas ekspor, kini kerupuk menjadi salah satu produk yang akan dibarter dengan pesawat tempur Sukhoi. “Pamornya naik. Ini jadi penanda bahwa sensasi cita rasa kerupuk di mancanegara tidak bisa dianggap remeh,” kata Fadly.






















