top of page

Sejarah Indonesia

Dokter Pribumi Menolak Diskriminasi Gaji

Dokter Pribumi Menolak Diskriminasi Gaji

Kisah Abdul Rivai, Bahder Djohan, dan Tjipto Mangunkusumo melawan diskriminasi gaji era kolonial. Mereka menolak dibayar murah.

Oleh :
21 Februari 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Siswa sekolah kedokteran di Surabaya membaca terbitan organisasi pergerakan Jong Java. Sumber: Hans Pols, Nurturing Indonesia.

ABDUL Rivai kesal. Kualifikasi medis lokalnya hanya memungkinkan untuk mendaftar di posisi rendah dalam layanan medis kolonial. Gaji yang ia dapat bahkan kurang dari setengah gaji rekan-rekan Eropanya. Ia pun memprotes kebijakan diskriminatif pada dokter pribumi.


Protes soal gaji juga pernah diutarakan dokter Tjipto Mangunkusumo. Tjipto tak hanya memprotes soal gaji dokter pribumi, tetapi juga gaji mantri Jawa. Protes gaji mantri dilakukan Tjipto saat dia dan dokter Eropa JT Terburgh, dibantu sepuluh mantri, ditugaskan menangani epidemi malaria yang melanda Jawa. Para mantri rupanya dibayar amat rendah. Mereka mengeluhkan hal itu pada Tjipto sebagai dokter pribumi sekaligus atasan mereka.


Begitu mendengar hal itu, Tjipto langsung melapor ke pejabat Eropa setempat. Terburgh menyanggah Tjipto dengan mengatakan para mantri Jawa hanya mau bekerja jika dibayar di atas standar upah. Lebih jauh Terburgh menuduh Tjipto dan para mantri Jawa tidak paham dengan kerja kemanusiaan.


Jelas saja Tjipto tidak terima dengan tuduhan itu. Pasalnya, ia merupakan salah satu dokter yang berani masuk ke kampung-kampung kala pes mewabah di Jawa Timur sementara para dokter Eropa ogah turun tangan. Tjipto pun mengancam akan mengundurkan diri kalau permintaan kenaikan gaji tidak dikabulkan. Benar saja, Tjipto mengundurkan diri ketika Terburgh menolak protesnya.


Penilaian tentang dokter pribumi lulusan negeri jajahan lebih rendah dari lulusan Eropa membuat pemerintah kolonial menggaji mereka setengah atau lebih rendah dari para dokter Eropa. Para dokter pribumi juga ditempatkan di pedalaman atau bagian medis di mana dokter Eropa ogah menempati.


Hans Pols dalam Nurturing Indonesia menyebut, penjajah Eropa umumnya berangggapan bahwa dokter dan pribumi terpelajar lain sebagai orang yang terlalu ambisius dan lupa akan tempatnya di sistem kolonial. Para dokter Eropa sangat memusuhi mereka, meski sebenarnya mereka sangat terbantu dengan kehadiran dokter pribumi.


Pengalaman diskiminatif dan penyingkiran inilah yang memantik kesadaran politik para dokter pribumi. Sebagian besar dari mereka kemudian bergabung dengan gerakan nasionalis, semisal Tjipto, Bahder Djohan, dan Abul Rivai yang selain melancarkan protes soal diksriminasi gaji juga aktif dalam gerakan politik.


Protes soal diskriminasi gaji mereka utarakan lewat Asosiasi Dokter Hindia (Vereeniging van Inlandsche Geneeskundingen, VIG) yang beridiri pada 1911. Resistensi terus tumbuh hingga mereka didukung oleh Sarekat Islam. Beberapa cabang mendukung usulan aksi mogok para dokter Jawa.


Protes itu akhirnya didengar pemerintah kolonial. Pada minggu kedua November 1919, pemerintah mengirim banyak proposal anggaran 1920 ke Volksraad. Isinya antara lain mengenai usulan anggaran 1920, usulan dewan kabupaten, dan prinsip sistem remunerasi baru, dan proposal tentang kenaikan gaji untuk dokter di Hindia.


Langkah Dewan Rakyat menaikkan gaji dokter pribumi berhasil meredakan gelombang protes. Dewan Rakyat juga meminta pemerintah untuk mengubah jumlah kenaikan gaji tahunan dan penggantian biaya perjalanan.


Namun, rupanya kenaikan itu tak signifikan. Ketika Bahder Djohan lulus dari STOVIA dan menjadi dokter pada 1927, gaji dokter pribumi masih setengah dari gaji dokter Eropa. Sebagai Indische Arts, gaji Bahder hanya 250 gulden sebulan, sedangkan teman Belandanya mendapat 500 gulden meskipun keahlian dan diplomanya sama. Padahal, Bahder memegang banyak pekerjaan. Ia bertanggung jawab atas dua bangsal: III dan IV. Tiap bangsal dihuni 10-15 pasien. Belum lagi ketika ada pasien TBC atau lepra yang datang, dialah yang harus menangani.


Gaji yang sedikit itu bahkan tidak cukup untuk membayar langganan jurnal medis Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (GTNI) yang cukup mahal. Kepincangan itu juga dialami rekan sejawat Bahder yang pribumi. “Hal ini terang sekali memperlihatkan bagaimana pemerintah kolonial membedakan antara bangsanya sendiri dangan anak jajahannya meskipun memiliki pendidikan dan pekerjaan yang sama,” kata Bahder dalam otobiografinya, Bahder Djohan Pengabdi Kemanusiaan.


Menurut Bahder, masalah kepincangan gaji merupakan bentuk diskriminasi nyata di depan mata dan mencerminkan bagaimana pemerintah kolonial memandang petugas medis pribumi. Lebih jauh ia mengatakan, persoalan ini bukan semata soal uang, melainkan apresiasi kerja dan martabatnya.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page