- Bonnie Triyana
- 21 Agu 2019
- 6 menit membaca
Diperbarui: 6 hari yang lalu
LELAKI yang rambutnya memutih itu duduk di hadapan saya. Jarak kami berdua dibatasi sebuah meja, dengan dua cangkir kopi terletak di atasnya. Ketika pembicaraan dimulai, dia tampak berhati-hati. Saya lebih banyak bertanya, dia menjawab seperlunya. Rupanya jarak di antara kami berdua lebih dari sekadar ukuran meja pada sebuah kafe yang terletak di stasiun sentral Amsterdam itu. Ibrahim Isa, lelaki yang saya temui pada sebuah hari di bulan Juni 2004 itu, seperti sedang menahan diri supaya tak terlalu lepas menderas cerita.
Ingin membaca lebih lanjut?
Langgani historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.