top of page

Sejarah Indonesia

Sejarawan Sukarnois

Sejarawan Sukarnois Berpulang

Peter Kasenda, sejarawan produktif yang sepenuh hati meneliti Sukarno.

10 September 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Peter Kasenda. (Youtube).

GRUP WhatsApp Alumni Sejarah UI terhentak oleh kabar duka. Berita tersiar: Peter Kasenda meninggal dunia (10/9). UI kehilangan salah satu sejarawannya yang produktif.


Meski terhitung sebagai junior, saya tak pernah jumpa beliau di kampus. Maklum saja, Peter Kasenda alumni sejarah UI angkatan 1980 sementara saya angkatan 2010. Terpaut dua puluh angkatan.


Kali pertama bersua dengan Bang Peter sekira medio 2013 di Megawati Institute. Saat itu, beliau membawakan materi tentang pemikiran Sukarno. Guyon dan tawa selalu menyelingi kuliahnya, menjadikan pemikiran Sukarno begitu hidup dan tak berjarak.


Selalu tentang Sukarno. Sedari lama Peter menggumuli pemikiran Sukarno. Peter Kasenda menulis mulai dari pemikiran Sukarno muda, percintaan Sukarno, hingga hari-hari terakhir presiden pertama Indonesia itu. Skripsinya berjudul “Machtsvorming dan Machttsaanwending: Studi awal terhadap tulisan-tulisan Soekarno tahun 1926–1933” rampung tahun 1987.


Dalam abstraksi skripsinya, Peter mengulik pemikiran Sukarno yang dituangkan secara tertulis. Beberapa di antaranya terdapat di harian Indonesia Moeda, Soeloeh Indonesia Moeda, dan Fikiran Ra'jat, kemudian pledoi pembelaan Indonesia Merdeka dan risalah Mencapai Indonesia Merdeka yang ditulis Sukarno antara 1926–1933. Melalui buah pikiran Sukarno tadi, Peter meneliti bagaimana Sukarno punya gagasan untuk menumbangkan kekuasaan kolonial Hindia Belanda yang mencengkram tanah airnya yang begitu indah, kaya dan subur itu.


“Kepada mereka yang tak pernah merasa menikmati hasil pembangunan,” tulis Peter Kasenda dalam satu halaman khusus. Kepada merekalah Peter mendedikasikan karyanya. Tak lupa dia mengucap terimakasih kepada orang-orang kecil macam pedagang buku bekas di Kramat Raya dan Pasar Senen. Mereka yang mau bersusah payah mengadakan buku-buku yang diperlukan Peter dalam penelitiannya.


Sebelum dikenal sebagai sejarawan produktif, sejak muda Peter telah aktif menulis, baik di media maupun jurnal. Tulisan pertamanya mengenai Sukarno dimuat harian Prioritas pada 2-3 Oktober 1986. Skripsinya pun kemudian dibukukan pada 2010 berjudul Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 19261933. Selain itu, Peter juga membukukan sejumlah penelitian sejarah kontemporer maupun biografi.


Beberapa karya Peter antara lain: Heldy Cinta Terakhir Bung Karno (2011), Hari-hari Terakhir Sukarno (2012), Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD: Zulkifli Lubis (2012), Soeharto (2013), Sukarno, Marxisme & Leninisme (2014), Bung Karno Panglima Revolusi (2014), Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 (2015), Hari-hari Terakhir Orde Baru (2015), Soekarno Di Bawah Bendera Jepang (2015), Kematian D.N. Aidit dan Kehancuran PKI (2016).


Di kalangan sejawat, Peter dikenal sebagai sosok yang karib. Rekan sepantaran Ali Anwar yang juga redaktur senior Tempo mengenang Peter yang selalu menyapa “selamat pagi” di grup WhatsApp Sejarah UI. Menurut Ali, Peter adalah segelintir contoh sejarawan sejati. Meski pada era Orde Baru banyak orang alergi dengan Sukarno, Peter tetap tekun menulis tentang Sukarno yang diawali dari beberapa surat kabar sampai buku.


“Peter sosok yang bersahaja, menganggap adik-adik kelasnya sebagai teman. Dia amat ikhlas membantu siapa pun yang membutuhkan bantuan literatur dan bimbingan,” kata Ali Anwar lewat pesan WhatsApp.


Pun demikian terhadap junior yang lain. Hendaru Tri Hanggoro, alumni sejarah UI 2005 yang juga rekan sesama jurnalis di Historia mengingat Peter sebagai sosok sederhana nan rendah hati.   


“Bang Peter, senior yang sangat ramah dan kemana-mana naik angkot,” tutur pemuda yang akrab disapa Ndaru ini. “Terakhir kali ketemu beliau di dalam terminal Kampung Rambutan, 2017, dengan kemeja batiknya.”


Tak hanya di kalangan terdekat, Peter juga cukup dikenal lintas angkatan. Setidaknya melalui karya-karyanya. “Intelektual panutan dengan sejumlah karya-karya tentang Sukarno yang baik hasilnya,” kata Agil Kurniadi, alumni sejarah UI 2010.


Rekan lain seangkatan saya, Servulus Erlan de Robert pun senada. “Cerdas dan humoris. Seorang sejarawan-cum-penulis yang produktif,” ujar Erlan. “Saya banyak menikmati karya-karya mendiang. Ia dan buah-buah pemikirannya akan tetap lestari.”


Insan sejarah patut berterimakasih pada Peter Kasenda karena karya-karyanya. Selamat jalan Bang Peter.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page